Anda di halaman 1dari 8

LKM PRAKTIKUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN

“MUSUH ALAMI”
Nama : Revina Devi Arifanty

NIM : 205040201111045

Kelas : D

Musuh Alami (Predator)


Na Nam Gambar Tangan + Gambar Hasil Observasi
ma a keterangan
Um Latin
um
Laba Oxyo
-laba pes
lynx saltic
berg us
aris

Mangsa : Belalang
To Paed
mca erus
t littor
alis

Mangsa : Wereng
Resume Jurnal Entomopatogen
Jurnal : HPT Tropika
Judul jurnal : Uji Efektivitas Nematoda Entomopatogen (Rhabditida: Steinernema Dan
Heterorhabditis) Sebagai Musuh Alami Non-Endemik Penggerek Batang Padi
Kuning (Scirpophaga incertulas)
Volume : Vol. 7, No. 2: 71 – 79, September
2007
Tahun : 2007
Penulis : Chaerani dan Bebet Nurbaeti
Pendahuluan
Penggerek batang badi kuning merupakan spesies yang paling dominan di Indonesia.
Iamgo meletakan telur di daun dan setelah menetas larvanya menggerek kedalam batang yang
kemudian hidup hingga menjadi pupa di dalam batang dengan memakan jaringan dalam batang.
Bila serangan terjad mpada stadia vegetatif disebut dengan gejala sundep yang gejalanya ditandai
dengan tunas menjadi kering, coklat dan gagal membuka. Serangan pada fase generatif disebut
dengan gejala beluk yang ditandai dengan terpotongngnya pangkal malai akibat dari gerekan
larva yang menyebabkan bulir gabah menjadi hampa dan berwarna putih.
Serangan penggerek batang efektif dikendalikan dengan karbofuran dan insektisida, akan
tetapi jika penggunaannya tidak bijaksana akan menimbulkan resistensi pada penggerek batang
padi putih. Pengendalian hayati dengan musuh alami aman terhadap lingkungan dan tidak
menimbulkan resistensi serangga. Salah satu jenis musuh alami yang non-endemik di pertanaman
padi adalah nematoda dari genus Steinernema dan Heterorhabditis Kedua genus dapat menjadi
agen pengendalian hayati yang efektif karena memiliki hampir semua karakter yang diperlukan
sebagai musuh alami yang ideal. Aplikasi nematoda entomopatogen (NE) di alam tidak
berdampak negative terhadap jasad bukan sasaran termasuk serangga-serangga berguna,
vertebrata dan manusia. Serangga yang hidup di permukaan tanah dalam habitat tersembunyi
sulit dijangkau oleh kebanyakan insektisida sehingga lebih efektif dikendalikan dengan NE.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan NE yang potensial mengendalikan penggerek batang padi
kuning. Metode Penelitian
Ngengat PBPK hasil tangkapan dilepas pada tanaman padi dalam pot. Ngengat dibiarkan
bertelur kemudian kelompok telurnya diletakkan pada cawan petri dan dibiarkan menetas. NE
diperbanyak pada larva Tembrio molitor dengan menggunakan metode infeksi kertas saring
yang dirancang untuk skala massal. Tanaman muda dalam gelas plastik yang telah diinfestasi
dengan 10 ekor L-1 disemprot dengan JI yang telah disuspensikan dalam air ditambah dengan
bahan perata Triton X-100 sebanyak 0.1% (v/v). Sebagian besar nematoda diaplikasikan pada
konsentrasi 2.0×104 JI ml-1 air, sedangkan S. glaseri pada 0.5×104 JI ml-1 air. Larva yang mati
terinfeksi oleh Heterorhabditis berwarna coklat kemerahan dan berpendar dalam keadaan gelap
sedangkan yang terinfeksi oleh Steinernema berwarna krem kehijauan. Nematoda yang dapat
mematikan >50% larva pada uji laboratorium diuji lanjut rumah kaca. Percobaan dilaksanakan
dua kali. Pada percobaan Rumah Kaca I (RK I) nematoda diaplikasikan pada konsentrasi
2.0×104 JI ml-1 air. Percobaan RK II, nematoda diaplikasikan pada konsentrasi 2.0×104 JI ml-1
air.
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui lama kemampuan dan lokasi bertahan JI pada
tanaman padi. JI dianggap hidup apabila bergerak setelah disentuh dengan ujung jarum.
Hasil dan Pembahasan
Perbedaan antar NE dalam menyebabkan kematian larva sangat nyata (P<0.01). Sebagian
besar Heterorhabditis spp. lebih efektif dibandingkan dengan sebagian besar Steinernema.
Efektivitas Heterorhabditis yang pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan Steinernema
juga telah dilaporkan sebelumnya. NE yang memperlihatkan efektivitas >50% pada percobaan di
laboratorium diuji kembali di rumah kaca. Pada RK I persentase kematian PBPK terlihat lebih
rendah dibandingkan dengan yang terdapat pada RK II. Penyemprotan air pasca aplikasi
nematoda pada RK II berhasil meningkatkan persentase kematian serangga. Akan tetapi
pengaruh positif dari perlakuan pasca penyemprotan ini tidak berlaku untuk semua NE karena
korelasi antara kedua percobaan rumah kaca tidak nyata Persentase kematian PBPK pada kedua
percobaan rumah kaca jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi di laboratorium.
Penurunan efektivitas NE yang besar di rumah kaca dibandingkan dengan di laboratorium dapat
diakibatkan oleh desikasi yang cepat ditambah oleh radiasi surya dan paparan suhu yang
cenderung tinggi pada tanaman rumah kaca. Untuk mengetahui nematoda yang paling efektif
dilakukan penghitungan rata-rata keseluruhan dari kedua percobaan dengan cara memboboti rata-
rata kematian PBPK untuk tiap perlakuan dari masing-masing percobaan dengan nilai
keragaman. Dari rata-rata kematian terboboti terlihat bahwa H. indicus INAH17 merupakan
nematoda yang paling efektif pada kondisi rumah kaca (78%). Aplikasi NE, walaupun efektif
mematikan. PBPK, tidak berpengaruh terhadap pengurangan gejala serangan PBPK.
Penyebabnya adalah aplikasi NE dilakukan seminggu setelah infestasi larva penggerek. Pada
kurun waktu ini sudah terjadi kerusakan tanaman yang cukup besar, sehingga penggunaan NE
tidak lagi dapat menekan gejala kerusakan. Selain itu, tanaman yang sudah melewati fase
vegetatif sehingga tidak mampu beregenerasi dengan jumlah anakan yang relatif tetap persentase
kerusakan akan tampak besar. Implikasi praktis dari percobaan rumah kaca ini untuk aplikasi di
lapangan ialah NE harus diaplikasikan pada waktu yang tepat, misalnya pada ambang kerusakan
tanaman untuk penyemprotan insektisida atau pada fase kritis tanaman terhadap serangan
penggerek, agar diperoleh penekanan kerusakan tanaman yang maksimal. Pengulangan aplikasi
NE, penambahan antidesikan atau bahan pemekat dan penambahan volume air akan dapat
mengkompensasi kehilangan nematoda dan memperpanjang masa hidup nematoda pada
tanaman.
Kesimpulan
Kemampuan NE untuk menginfeksi PBPK yang berada dalam batang telah ditunjukkan
dalam penelitian ini sehingga NE berprospek baik sebagai musuh alami non-endemik PBPK.
Strategi aplikasi NE yang disarankan untuk mendapatkan efektivitas pengendalian PBPK dan
pengurangan kerusakan tanaman yang maksimum antara lain mengulangi aplikasi, menambah
antidesikan dan menambah volume semprot untuk memperpanjang masa hidup Nematoda, serta
mengaplikasikan NE di lapangan pada ambang kerusakan tanaman atau fase kritis tanaman.

Resume Jurnal Parasitoid
Jurnal : Litbang Pertanian
Judul Jurnal : Introduksi Parasitoid, Sebuah Wacana Baru Dalam Pengendalian Hama Kutu
Putih Pepaya Paracoccus Marginatus di Indonesia

Volume : Vol. 30, No. 3

Tahun : 2011

Penulis : Lina Herlina


Hama kutu putih Paracoccus marginatus merupakan salah satu kendala utama dalam
budi daya tanaman papaya. Awalnya ham aini bukan merupakan ancaman bagi tanaman
hortikultura. Namun, sekitar tahun 2008, hama tersebut telah menginfestasi secara luas tanaman
pepaya di daerah Bogor dan menimbulkan kerugian besar bagi tanaman papaya. Sejak terdeteksi
keberadaannya pada Mei 2008 di pertanaman pepaya di Bogor, serangan hama kutu putih meluas
secara cepat ke berbagai wilayah Indonesia. Aplikasi insektisida dengan bahan aktif imidakloprid
secara tunggal dapat menurunkan populasi hama hingga 40%, sedangkan aplikasi yang
dikombinasikan dengan air sabun mampu menekan populasi hama hingga 60%. Pengendalian
hayati klasik dengan mengoptimalkan musuh alami merupakan cara pengendalian yang paling
sesuai. Namun, karena tergolong hama baru, inventarisasi musuh alami P. marginatus di
Indonesia masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan survei ke berbagai wilayah di
Indonesia. Beberapa negara telah mempraktekkan pengendalian secara biologi tersebut, sehingga
cara pengendalian tersebut menginspirasi untuk mengimplementasikannya di Indonesia melalui
introduksi parasitoid. Tulisan ini bertujuan memberikan ulasan mengenai introduksi parasitoid.
Dengan karakternya yang bersifat polifag, relatif tahan terhadap pestisida, menyebar
sangat mudah dan cepat, serta pada serangan berat menyebabkan kematian pada tanaman. Hama
biasanya menginfestasi sepanjang tepi tulang daun tua atau pada hampir seluruh bagian daun
muda serta buah. Serangga menusuk dan mengisap cairan floem tanaman inangnya dan
mengeluarkan toksin yang dapat mengakibatkan daun klorosis (menguning) dan mengerut,
tanaman mengalami deformasi dan kerdil, serta daun dan buah gugur premature. Koloni P.
marginatus menghasilkan cairan madu yang menginisiasi tumbuhnya cendawan jelaga yang
berwarna kehitaman. Permukaan daun, batang maupun buah yang tertutupi jelaga akan
mengalami gangguan difusi gas dan menghambat proses fotosintesis sehingga selain produksi
buah turun drastis.
Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan petani, antara lain dengan melakukan
eradikasi tanaman terserang, mengganti tanaman pepaya dengan tanaman lain yang relatif tahan
(misalnya ubi kayu), dan menyemprot hama menggunakan pestisida. Namun dari sekian usaha
pengendalian, belum ada satupun yang efektif menghentikan invasi hama ini. Pengendalian
populasi hama dengan memberdayakan musuh alami dikenal sebagai pengendalian hayati.
Pengendalian hayati sebagai isu lingkungan berskala internasional mempunyai keunggulan, yaitu
bersifat permanen dalam mempertahankan populasi hama pada tingkat yang aman, tidak
mencemari lingkungan, dan menguntungkan, ekonomis karena tidak membutuhkan biaya
tambahan. Penggunaan parasitoid untuk pengendalian hayati lebih aman bagi lingkungan karena
spesifik terhadap inangnya. Pengendalian hama dengan memanipulasi musuh alami dimaksudkan
untuk memberikan peran yang lebih besar kepada musuh alami untuk menekan populasi hama.
Inventarisasi musuh alami P. marginatus dari pertanaman pepaya di Bogor dan Sukabumi pada
tahun 2008 dan 2009 memperoleh beberapa jenis musuh alami, antara lain dari kelompok
predator (ordo Neuroptera, Coleoptera, Diptera), dan parasitoid (ordo Hymenoptera), serta dari
kelompok cendawan Entomophthorales.
Pengendalian hayati dengan mengoptimalkan kinerja musuh alami makin banyak
diadopsi petani. Kemajuan di bidang teknologi produksi massal, pengawasan mutu,
penyimpanan, pengkapalan, dan teknik pelepasan telah menurunkan biaya produksi secara
signifikan sehingga komersialisasi musuh alami bukan lagi hal yang sulit. Potensi parasitoid
Trichogramma sebagai agens pengendali hama secara hayati telah diuji di berbagai belahan
dunia dan memberikan hasil yang baik. Spesies Trichogramma dan Trichogrammatoidea yang
dipilih adalah yang tergolong parasitoid telur karena lebih efektif untuk mengendalikan beberapa
jenis hama.
Introduksi parasitoid merupakan salah satu tahapan pengendalian hayati, yaitu melepas
musuh alami eksotis ke dalam lingkungan baru sehingga nantinya secara permanen dapat mapan
dan mampu mengendalikan populasi hama dalam jangka panjang tanpa intervensi lebih lanjut.
Introduksi umumnya diikuti oleh konservasi musuh alami, yaitu menciptakan kondisi yang
memungkinkan agens hayati untuk tetap tinggal dan hidup pada area target. Musuh alami yang
efektif memiliki ciri-ciri mampu mendeteksi populasi hama pada kepadatan yang rendah,
memiliki pertumbuhan populasi lebih cepat dibanding hama, toleran terhadap berbagai aktivitas
pengelolaan tanaman, serta mudah diadopsi petani dan diperbanyak secara massal.
Keberhasilan introduksi parasitoid sebagai musuh alami sangat ditentukan oleh
kemampuannya beradaptasi terhadap iklim, tanaman inang, serangan musuh alami lokal, dan
menemukan inang alternatif di lokasi yang baru. Ketidaksesuaian lingkungan biologis musuh
alami introduksi dengan lokasi baru dapat menyebabkan kegagalan dalam ‘memapankan’ agens
hayati tersebut di lapangan. Introduksi musuh alami akan lebih berhasil bila musuh alami
tersebut berasal dari negara yang memiliki iklim/cuaca yang sama dengan negara penerima.
Keberhasilan parasitoid introduksi untuk bertahan di lokasi baru sangat ditentukan oleh
kemampuannya merespons faktor-faktor fisik yang ekstrem, antara lain iklim maupun cuaca
panas, dingin, kelembapan, dan kekeringan.
Solusi untuk mengatasi perbedaan iklim dalam introduksi musuh alami adalah
menggunakan climate-matching. Teknik ini telah digunakan secara luas untuk memprediksi
potensi distribusi berbagai jenis tanaman maupun serangga introduksi pada kondisi iklim aktual
maupun di masa mendatang. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan memapankan parasitoid
introduksi di kawasan beriklim marginal, strategi yang dapat dilakukan adalah melepas secara
berkala parasitoid setiap musim tanam, membuat area mengungsi (refugee) untuk B. tabaci
ketika populasi inang rendah, untuk jangka pendek (sementara) maupun permanen, dengan
menanam berbagai jenis tanaman tahunan, memelihara parasitoid yang dilepas pada vegetasi
yang ditanam di kebun maupun pekarangan rumah di perkotaan.
Kemampuan menemukan inang merupakan karakter penting yang harus dimiliki
parasitoid. Parasitoid umumnya memiliki kemampuan mengeksploitasi senyawa kimia tertentu
yang dikeluarkan tanaman sehingga dapat menemukan inangnya secara akurat. Sedangkan
tanaman memproduksi senyawa bau tertentu yang dapat dengan mudah dieksploitasi musuh
alami hama.
Parasitoid yang efektif menyerang hama spesies tanaman tertentu, belum tentu efektif jika
digunakan untuk memarasit spesies hama yang sama pada tanaman inang yang berbeda. Salah
satu risiko introduksi parasitoid di lokasi baru adalah serangan dari organisme/musuh alami
local, baik berupa hiperparasitoid, predator maupun mikroba entomopatogen. Serangan oleh
musuh alami lokal berpengaruh terhadap keberhasilan introduksi parasitoid di lapangan.
Dalam tataran parasitisasi, parasitoid dikelompokkan menjadi parasitoid primer,
parasitoid sekunder, dan hiperparasitoid. Parasitoid primer adalah parasitoid yang tidak
menyerang parasitoid lain, sedangkan hiperparasitoid adalah parasitoid yang hidup berkembang
pada parasitoid lain.
Keberhasilan introduksi parasitoid juga ditentukan oleh kemampuannya mengkolonisasi
inang alternatif jika pada lingkungan introduksi tidak ditemukan inang target. Adanya inang
alternatif juga akan mempermudah produksi parasitoid di laboratorium. Umumnya, parasitoid
spesifik untuk inang tertentu. Oleh karena itu, ketahanan hidup parasitoid pada inang alternatif
perlu diteliti.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelepasan agens hayati yaitu parasitoid dalam kondisi
sehat, bebas dari infeksi patogen, cukup mendapat pakan, telah kawin (untuk imago) serta
mewakili karakteristik genetik yang luas dari populasi aslinya. Pemeliharaan/perbanyakan
parasitoid dilakukan pada stadium hama target yang disukai parasitoid untuk menghindari
dihasilkannya keturunan yang kerdil serta memiliki fekunditas dan lama hidup yang rendah.
Untuk mempertahankan keragaman genetik musuh alami, pelepasan sebaiknya dilakukan dalam
area yang cukup luas dan sedapat mungkin menyerupai kondisi lingkungan aslinya sehingga
agens hayati dapat menyebar, menemukan pasangan dan inangnya. Persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pelepasan parasitoid diuraikan adalah Jumlah parasitoid yang efektif untuk
mengendalikan hama berbeda untuk setiap spesies parasitoid dan hama yang dikendalikan.
Media diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan introduksi parasitoid di lapangan.
Pelepasan parasitoid hasil pemeliharaan di laboratorium, akan lebih baik jika dilakukan dengan
menyertakan hama yang telah terparasitisasi, misalnya berupa larva, telur atau imago. Dengan
memberikan parasitoid kesempatan untuk mengenal hama target sebelum dilepas akan
meningkatkan keberhasilan parasitoid untuk memarasit hama inangnya di lokasi baru. Pelepasan
parasitoid sedapat mungkin dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari suhu yang
ekstrem.
Introduksi musuh alami eksotis maupun pelepasannya secara massal berpotensi
menimbulkan efek negatif terhadap organisme nontarget. Kemungkinan terjadi atau tidaknya
dampak negatif tersebut ditentukan oleh kisaran inang musuh alami. Salah satu kelebihan
pengendalianhayati dibanding pengendalian lainnyaadalahsangat mengutamakan keamanan.
Sebagai agens hayati,parasitoid memiliki kespesifikan lebihtinggi dibanding predator.
Metode untuk memprediksi dampaknegatif pelepasan musuh alami terhadaporganisme
nontarget antara lain adalahmelalui evaluasi faktor-faktor yang terkaitdalam penetapan
kisaran inang.

Berdasarkan faktor iklim, sifat agens hayatiyang diintroduksi, dan dampak


terhadaporganisme nontarget, introduksi parasi-toid berpeluang dilakukan di Indonesia. Jika
dilihat dari segi keberlan-jutan, pengendalian menggunakan musuhalami (parasitoid) cukup
murah karenaefeknya terhadap populasi hama akanberlanjut tanpa batas waktu, kecuali
bilaterjadi bencana alam atau kerusakanlingkungan yang fatal. Kelemahan pemanfaatan
parasitoid sebagai pengendali hama adalah kemampuan mencari inang dipengaruhi oleh cuaca
dan faktorlain, hanya parasitoid betina yang aktif mencari inang, dan parasitoid
yangmempunyai daya cari tinggi memiliki jumlah telur sedikit. Terkait dengan rencana
introduksi parasitoid untuk mengendalikan hama kutu putih pepaya, langkah konkret yang
perlu segera dilakukan adalah melakukan studi pendahuluan, menyusun proposal,
melaksanakan survei dan eksplorasi, penelitian aspek biologi dan seleksi kandidat parasitoid,
karantina dan seleksi sebelum pelepasan, memfasilitasi infrastruktur dan sumber daya
manusia untuk produksi parasitoid secara massal. Pelepasan parasitoid dengan berbagai
strategi ,evaluasi terhadap efektivitas parasitoid dan dampak terhadap ekosistem setelah
pelepasan, serta mendokumentasi seluruh kegiat-anpengendalian.
Kesimpulan
P. marginatus atau kutu putih merupakan hama penting pada tanaman pepaya.Upaya
pengendalian yang telah dilakukan terhadap hama eksotis ini belum mampu secara efektif
menekan populasi hama dilapangan. Pengendalian hayati merupakan alternatif terbaik bagi
pengendalian hama, antara lain dengan memanfaatkan musuh alami. Keberhasilan introduksi
parasitoid sebagai musuh alami ditentukan oleh kemampuan beradaptasi terhadap iklim dan
tanaman inang, menahan serangan musuh alami lokal, dan menemukan inang alternatif di
lokasi introduksi. Introduksi parasitoid untuk mengendalikan hama kutu putih pepaya cukup
layak (prospektif) karena hama menyebabkan kerugian yang besar bagi petani. Selain itu,
belum ada alternatif pengendalian yang efektif, serta belum terdapat musuh alami lokal yang
dapat dikembangkan untuk pengendalian hayati dalam kurun waktu 5-10 tahun untuk menekan

populasi hama tersebut.

Anda mungkin juga menyukai