Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nematoda adalah mikroorganisme berbentuk cacing berukuran 700-1200


mikron dan berada di dalam tanah. Nematoda yang ada di dalam tanah, ada yang
tergolong free living, nematode parasit tanaman dan nematode entomopatogen.
Nematoda yang saat ini dikembangkan adalah nematoda entomopatogen yang
dapat digunakan sebagai insektisida biologi yang sangat potensial untuk
mengendalikan serangga hama baik ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera .
Nematoda entomopatogen telah dipergunakan untuk mengendalikan serangga
hama pada tanaman pangan, perkebunan, rumput lapangan golf serta tanaman
hortikultura. Nematoda entomopatogen dapat diisolasi dari berbagai tempat
diseluruh belahan dunia, khususnya dari golongan Steinernematidae dan
Heterorhabditidae dapat digunakan untuk mengendalikan hama-hama golongan
Lepidoptera, seperti : Galleria mellonella (L), Spodoptera exigua Hubner, Agrotis
ipsilon Hufnayel yang virulensinya mencapai 100 persen.

Nematoda entomopatogen ( NEP ) merupakan nematoda yang bersifat


vektor dari bakteri yang memarasit serangga inang dengan penetrasi langsung
melaluli kutikula serangga dan lubang alami seperti spiracle, mulut dan anus.
Nematoda entomopatogen ( NEP ) masuk ketubuh serangga dan menyerang
sluran darah ( hemocoel ) dan masuk kedalam saluran pernafasan ( visikel ).
Selanjutnya NEP mengeluarkan bakteri simbion yaitu bakteri yang bersifat
simbiosis mutualisme dan tersimpan di intestinal dan lumen usus nemotede.

Pada umumnya segala serangga yang terserang oleh nematoda


entomopatogen ( NEP ) adalah adanya perubahan warna, tubuh menjadi lembek,
danbila dibedah konstitusi jaringan menjadi cair tapi tidak berbau. Perilaku
nematoda entomopatogen ( NEP ) untuk menemukan inang bermacam-macam
nematoda steinenerma spp berperilaku “ Ambuser “ adalah diam dan menunggu
inang sampai berada didekatnya, kemudian menyarang. Nematoda
heterorhabdistis spp berperilaku “ hanter “ adalah nematoda entomopatogen
( NEP ) adalah nematoda entomopatogen yang mempunyai kemampuan gerakan
tinggi dan menyerang.

Nematoda hidup dalam tanah yang lembab,basah,daerah perakaran,


vegetasi rimbun,kedalaman 0 – 10 cm dari permukaan tanah. Temperatur yang
sesuai bagi nematode adalah 19 derajat sam pai 29 derajat celsius dan kelembaban
100 %. Hambatan terjadi di bawah 10 derajat Celsius dan diatas 33 derajat
Celsius. Tipe tanah liat menghambat pergerakan nematode,sehingga penyebaran
didalam tanah liat sangat terbatas.
Kelembaban 75 % dan suhu 25 derajat celsiuc dapat menghambat
keluarnya juvenile infektif NEP dari inang ulat yang terinfeksi.Kelembaban 85
sampai 98 % dan temperature 30 derajat Celsius NEP akan mati setelah 102 jam.
Kebutuhan oksige ( O2 ) NEP tergantung pada temperature yang ada.
Nematoda masih infektif pada temperatur tinggi jika terdapat jumlah oksigen yang
banyak dan mampu bertahan selama 43 hari pada oksigen 0,5 % suhu 20 derajat
Celsius. NEP mempunyai respon positip terhadap Ion Na, Mg, Ca, dan Cl.
Faktor biotis yang menghambat atau musuh Nematoda ialah Cendawan
nematofagus dari beberapa genus Carterbaria, Dactylaria, Dactitella dan
Arthobotrys mengurangi infeksi NEP pada hama uret ( Inang ). Tungau
Mesostigmata Gamasellodes vernivorax dan Colembolla Hypogaster scotii dapat
memangsa NEP.

Pengendalian hama yang ramah lingkungan sudah saatnya digalakkan


mengingat pengendalian dengan pestisida pada produk pertanian menyebabkan
berbagai dampak negatif. Salah satu pengendalian yang ramah lingkungan yaitu
pengendalian hayati dengan menggunakan Nematoda Entomopatogen (NEP).
NEP terbukti dapat mengendalikan berbagai larva serangga hama. Peranan NEP
dalam pengendalian hayati sangat penting karena NEP mempunyai kemampuan
mencari inang yang tinggi, menginfeksi dan membunuh serangga sasaran dalam
waktu singkat hanya 24-48 jam. Pengendalian NEP pada larva Coleoptera banyak
diteliti dari berbagai aspek, juga pada larva Lepidoptera. Nematoda ini tidak
berbahaya bagi mamalia dan vertebrata, tidak meracuni lingkungan, kompatibel
dengan sebagian besar pestisida kimia. Namun demikian aplikasi NEP di
lapangan terkendala dengan penyediaan NEP yang siap pakai.NEP dapat
diperoleh melalui isolasi dari tanah, namun memerlukan waktu dan ketrampilan
khusus. NEP dapat diperoleh dengan cara membeli sebagai biopestisida, namun
Biopestisida NEP ternyata tidak tahan lama, banyak yang mati setelah dua minggu
jika tidak diberi media pakan. Selama ini pembiakan NEP masih terbatas
menggunakan carain vivoyaitu pembiakan dengan menggunakan larva serangga,
diantaranya ulat hongkong (Tenebrio molitor) atau ulat bambu (Galeria
melonella) dan ulat jagung (H. armigera). Kendala menggunakan cara pembiakan
secara in vivo adalah ketergantungan pada stok serangga inang. Oleh sebab itu
perlu dicarimedia pengembangbiakan NEP secara in vitro yang murah dan mudah
digunakan petani.Tujuan penelitian ini yaitu untukmendapatkan media yang cocok
untuk perbanyakan NEP secarain vitro.

Pengamatan pada serangga inang berfungsi untuk melihat gejala serangan


oleh nematoda parasit serangga pada bagian kutikula yang ditunjukkan dengan
adanya perubahan warna. Apabila tubuh serangga berwarna hitam
kecoklatan/caramel, berartiserangga tersebut terinfeksi Steinernematidae, dan
berwarna kemerahanjikaterinfeksiHeterorhabditidae. Hal ini disebabkan oleh
adanya reaksi bakteri simbion, Xenorhabdusspp. atau Photorhabdus spp. yang
dikeluarkan oleh nematoda pada saat didalam tubuh serangga inang. Pengujian
menggunakan ulat bambu yang berwarna putih namun dapat juga digunakan
G.mellonella atau Tenebriomolitorsebagai alternatif.Uji dilakukan dengan
menginokulasikan nematoda entomopatogenfasejuvenilinfektifpadaulat/larva
tersebut dan ditempatkan pada temperatur ruang selama 24-48 jam. Hasilnya
cukup dapat dijadikan acuan untuk membedakan antara Steinernematidae dan
Heterorhabditidae.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui dan


mengidentifikasi nematoda entomopatogen dari tanah perakaran tanaman untuk
mengendalikan hama serangga.
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Praktikum nematoda entomopatogen dilaksanakan pada hari Rabu, 30


oktober 2019 dan 6 oktober 2019 pukul 13.30-15.00 wib di laboratorium
Pengendalian hayati, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah gelas plastik, tutup gelas
plastik, petridish besar, petridish kecil, mikroskop dan kamera.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel tanah perakaran kacang


tanah, larva Tenebrio molitar, aquades, kertas saring.

C. Cara Kerja

Adapun cara kerja pada praktikum ini yaitu pertama menggunakan metode
BAIT, siapkan alat dan bahan, sampel tanah dimasukkan kedalam gelas plastik
sebanyak seperempat gelas , Tanah dikondisikan dalam keadaan lembab (jangan
becek) dengan air atau aquades, kemudian dimasukkan larva T.molitar sebanyak 3
ekor, kemudian ditimbun lagi dengan tanah hingga setengah gelas dan
dilembabkan lagi tanah yang baru dimasukkan, kemudian diletakkan serangga
T.molitar sebanyak 3 ekor.selanjutnya tutup gelas plastik dan di inkubasi selama
3-5 hari.

Selanjutnya menggunakan Metode White Trap, Setelah 3-5 hari serangga


yang mati diambil dan disusun dalam cawan petri besar yang didalamnya diberi
cawan petri kecil yang dibalik, diberi kertas saring yang menjulur sampai ke dasar
petri besar dan diberi air sampai setengah tinggi petri kecil , kemudian serangga
diletakkan diatasnya, Simpan/Inkubasikan selama 2 hari pada suhu 25’C , maka
nematoda dalam tubuh serangga akan keluar dan turun ke air. Kemudian diamati
dibawah mikroskop.
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Adapun hasil yang didapatkan pada praktikum ini yaitu

Tidak ditemukan Nematoda


entomopatogen

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan yang menggunakan metode BAIT,


Serangga yang mati dengan menunjukkan gejala warna coklat/merah pada
tubuhnya, dan terdapat juga serangga yang masih hidup sebanyak 2 ekor.
Kemudian dilakukan pengamatan menggunakan Metode White Trap. Namun pada
pengamatan ini , kami tidak menemukan nematoda entomopatogen, hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor , seperti tanah perakaran tanaman yang sedikit
populasi nematodanya , ataupun nematoda telah mati akibat terlalu lama disimpan
sebelum dilakukan pengamatan, hal ini dibuktikan dengan ditemukan adanya
larva lalat atau belatung pada objek pengamatan.

Pada pengamatan juga ditemukan adanya serangga lain, seperti belatung


akibat pengamatan yang dibiarkan terlalu lama atau lebih dari 48 jam sehingga ,
larva membusuk dan nematoda tidak dapat diamati lagi karena telah bercampur
atau terganggu dengan adanya belatung atau larva dari lalat.

Selain itu, Faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, cahaya pada


tempat penyimpanan juga dapat mempengaruhi nematoda entomopatogen dalam
memparasit serangga inang. Pengamatan sebaiknya dilakukan pada suhu 25’C
dengan keadaan sterilisasi dari gangguan mikroorganisme lain, karena bisa saja
serangga mati disebabkan oleh patogen lain seperti bakteri atau jamur.

Untuk dapat mengamati nematoda entomopatogen perlu juga dilakukan


Uji gejala pada serangga inang, Uji gejala pada serangga inang berfungsi untuk
melihat gejala serangan oleh nematoda parasit serangga pada bagian kutikula yang
ditunjukkan dengan adanya perubahan warna. Hal ini disebabkan oleh adanya
reaksi bakteri simbion, Xenorhabdus sp. atau Photorhabdus sp. yang dikeluarkan
oleh nematoda pada saat didalam tubuh serangga inang. Pengujian gejala
menggunakan larva Tenebrio molitor. Uji gejala dilakukan dengan menginokulasi
nematoda entomopatogen fase juvenil infektif pada tubuh larva Tenebrio molitor
dan ditempatkan pada temperatur ruang selama 24-48 jam. Hasilnya cukup dapat
dijadikan acuan untuk membedakan antara Steinernematidae dan
Heterorhabditidae, yaitu jika terinfeksi Steinernematidae inang akan berwarna
kecoklatan / coklat caramel dan jika terinfeksi Heterorhabditidae kutikula inang
akan berwarna kemerahan.

Penggunaan nematoda entomopatogen untuk pengendalian hama secara


hayati merupakan salah satu alternatif pengendalian hama yang ramah
lingkungan. Salah satu patogen serangga yang sudah dimanfaatkan dalam
pengendalian serangga hama adalah nematoda Steinernema spp. dari ordo
Rhabditidae. Steinernema spp. siklus hidupnya memiliki 3 macam stadium yaitu
telur, larva (juvenil), dan dewasa. Juvenil memiliki empat stadium yaitu : juvenil
stadium I (JI), juvenil stadium II, juvenil stadium III, dan juvenil stadium IV.
Pergantian stadium ditandai dengan terjadinya pergantian kulit. Juvenil stadium
III merupakan stadium infektif yang hidup bebas di luar inang tempat awal juvenil
ini dihasilkan, biasanya tahan terhadap lingkungan yang buruk, dan merupakan
stadium yang mampu menginfeksi inang baru sehingga disebut juvenil infektif.

Nematoda entomopatogen Steinernema spp. sangat ideal dikembangkan


sebagai agensia pengendalian hayati serangga hama, karena memiliki keunggulan,
antara lain : aktif mencari mangsa, memiliki virulensi tinggi, kisaran inang luas,
mudah dibiakkan di media buatan, mudah diaplikasikan, tidak bersifat racun
terhadap lingkungan, dan bersifat kompatibel dengan beberapa jenis pestisida
sintetik. Steinernema spp. mampu menginfeksi serangga hama dalam waktu yang
relatif cepat 24-72 jam yang mengakibatkan serangga mengalamai kematian.
Juvenil infektif (JI) masuk melalui lubang-lubang alami pada tubuh serangga
seperti mulut, anus, integumen, dan spirakel. Nematoda bersimbiosis dengan
bakteri simbion dalam tubuh serangga dan mengeluarkan enzim yang bersifat
toksis bagi serangga hama. Mekanisme patogenisitas nematoda entomopatogen
genus Steinernema terjadi melalui simbiosis dengan bakteri pathogen 
Xenorhabdus. Infeksi dilakukan melalui mulut, anus, spirakel ataupun penetrasi
langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah
mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke
dalam haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang
mematikan. Dua faktor ini menyebabkan nematoda entomopatogen mempunyai
daya bunuh yang sangat cepat. Senyawa antimikrobia ini mampu menghasilkan
lingkungan yang sesuai untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya
sehingga mampu menurunkan dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain
yang berkompetisi mendapatkan makanan di dalam serangga mati.

Penelitian penggunaan Steinernema spp. sebagi agens pengendali hayati


tanaman menunjukkan hasil yang memuaskan. Steinernema terbukti efektif untuk
mengendalikan hama dari ordo Lepidoptera maupun Coleoptera seperti ulat
grayak Spodoptera litura pada sawi atau kubis; Helicoverpa armigera pada
bawang merah; ulat tanah Agrotis Epsilon pada tomat, jagung, padi, tebu dll; larva
Kumbang badak Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa; Plutella xylostella pada
kedelai; Croccidolomia binotalis pada kubis, sawi,dll.

Studi tentang famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae telah


dilakukan secara intensif karena kemampuan keduanya sebagai agens pengendali
hayati pada serangga hama. Kedua famili adalah nematoda yang sangat kecil atau
kurang dari 1-3 mm panjang. Kedua famili ini termasuk dalam ordo Rhabditida,
meskipun tidak terlalu dekat akan tetapi keduanya memiliki strategi hidup yang
sangat mirip. Untuk Steinernema jantan dan betina harus masuk ke dalam tubuh
serangga inang agar dapat bereproduksi, sedangkan Heterorhabditis semua juvenil
akan menjadi hermaphrodit, sehingga hanya diperlukan hanya satu individual
untuk menginfeksi serangga inang agar dapat bereproduksi. Juvenil akan tetap
berada dalam tubuh induknya, pada dasarnya memparasit juga induknya, hanya
akan meninggalkan induknya ketika akan menjadi dewasa. Aspek unik dari
nematoda ini adalah simbiosisnya dengan bakteri. Juvenil stadia ke-3 membawa
bakteri dalam saluran pencernaannya (gut) dan ketika sesudah menginfeksi
inangnya, maka bakteri itu akan dikeluarkan. Bakteri yang bersimbiosis itu adalah
Xenorhabdus pada Steinernematidae dan Photorhabdus pada Heterorhabditidae.

Entomopatogen Steinernema sp. adalah salah satu nematoda serangga


yang telah banyak digunakan sebagai bioinsektisida, di Jerman, Amerika Serikat,
Kanada, Jepang, dan China, karena memiliki efektivitas yang tinggi dan kisaran
inang yang luas. Produk bioinsektisida Steinernema sp. ini juga telah banyak
digunakan untuk mengendalikan lebih dari 100 spesies serangga hama pada
berbagai komoditas Hasil penelitian pengendalian larva Cydia pomonella (L.)
pada apel dengan Steinernema sp. menyebabkan kematian larva hingga
73%.Sedangkan terhadap kumbang Diaprepes abbreviatus (L.) yang menyerang
bibit jeruk dalam polybag menyebabkan kematian kumbang 69-85%. Efektivitas
pengendalian yang tinggi menunjukkan bahwa Steinernema sp. cukup prospektif
dikembangkan sebagai biopestisida.

Dalam menginfeksi inang, Steinernema sp. aktif memburu inangnya


dengan menggunakan organ pengindera amphids, yaitu organ khusus yang
memiliki signal penarik untuk mengetahui keberadaan inangnya. Fase infektif
atau patogenik dari Steinernema sp. disebut juvenil instar-3 atau juvenil infektif
(JI) memiliki panjang tubuh 438-650 µm dan diameter 20-30 µm. Di dalam tanah
pada kondisi yang sesuai, JI dapat bergerak /menyebar sepanjang 4-90 cm dari
lokasi asalnya atau lokasi dimana mula-mula disebarkan. Rata-rata kecepatan
menyebarnya, tanpa ada inang, adalah 23 cm/minggu. Kecepatan ini jauh
meningkat apabila JI menangkap signal penarik dari inangnya, terutama
hemolimfa, kotoran, atau bangkai inang. Setiap strain Steinernema sp. mempunyai
spesifikasi inang yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain : daya tarik kimiawi serangga terhadap JI, ketebalan kutikula
serangga inang, mekanisme imunitas pada inang, dan kesesuaian nutrisi dalam
tubuh inang yang dibutuhkan untuk perkembangan bakteri Xenorhabdus
nematophillus, yaitu bakteri simbion di dalam tubuh nematoda yang berperan
penting dalam infeksi inang.

Nematoda entomopatogen mempunyai habitat di dalam tanah. Hampir di


seluruh tempat di Indonesia mengandung jenis nematoda tersebut. Setiap tempat
memberikan karakteristik sendiri bagi nematoda, tergantung kondisi iklim suatu
daerah. Kedua jenis nematoda tersebut dapat dibedakan dengan gejala yang
ditimbulkannya pada serangga. Jenis Steinernema menunjukkan gejala berwarna
coklat, sedangkan Heterorhabditis menunjukkan warna kemerahan. Nematoda
entomopatogen (NEP) seperti nematoda yang lain mempunyai habitat di tanah,
oleh sebab itu NEP ini dapat diisolasi dari tanah dengan metoda bait trap.
Serangga yang digunakan sebagai umpan adalah Greater wax moth larva Galleria
mellonella atau larva kumbang Tenebrio molitor.
DAFTAR PUSTAKA

Baliadi, yuliantoro. 2007.potensi nematoda entomopatogen. balitkabi. litbang.


pertanian.go.id

Chaerani, dkk.2007. Isolasi Nematoda Entomopathogen serangga Steinernema


dan Heterorhabditis. J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 1 Vol. 7, No. 1: 1 –
9, Maret 2007

Indrayani,dkk. 2005. Efektivitas nematoda entomopatogen Steinerma sp. pada


hama utama beberapa tanaman perkebunan. JURNAL LITTRI VOL. 11
NO. 2, JUNI 2005 : 60 – 66. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat
Jl. Raya Karangploso, Po Box 199, Malang – Jawa Timur.

Nugrohorini.2010. eksplorasi nematoda entomopatogen pada beberapa wilayah di


jawa timur. Jurnal Pertanian MAPETA, ISSN : 1411-2817, Vol. XII. No. 2.
April 2010 : 72 – 144

Monograf . Nematoda Entomopatogen. Eprints-upnjatim.ac.id - ISBN 978 - 979 -


3100 - 9 8 – 2

Sumarmiyati.2018.nematoda entomopatogen pengendali hayati hama tanaman.


kaltim.litbang.pertanian.go.id
DOKUMENTASI

Gambar keterangan
Serangga Tenebrio Molitar

Serangga T.molitar yang ditimbun


tanah dan di masukkan ke dalam
gelas plastik

Pengamatan masing - masing


kelompok

Pengamatan nematoda didalam


cawan petri

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGANTAR NEMATOLOGI TUMBUHAN

”Nematoda Entomopatogen”

OLEH:

NAMA : SUCI NUR AFELAN

NO.BP : 1710253021

KELAS : PROTEKSI C

DOSEN : Prof. Dr. Ir, TRIZELIA, M.Si

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019

Anda mungkin juga menyukai