Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bertambahnya jumlah penduduk disertai dengan meningkatnya pendapatan
mempengaruhi jumlah konsumsi pangan. Kebutuhan pangan tidak terbatas hanya
pada komoditas pangan seperti beras atau jagung, tetapi juga sayur-sayuran.
Kacang panjang (Vigna sinensis) merupakan jenis sayuran yang banyak diusahakan
petani Indonesia serta mengandung banyak vitamin dan protein nabati.
Kacang panjang adalah tanaman yang telah di kenal sejak lama sebagai
tanaman yang menyehatkan serta tumbuh baik di dataran rendah maupun dataran
tinggi di Asia (Kuswanto et al. 2006). Apabila kontribusi kacang panjang dalam
komposisi sayuran mencapai 10%, maka diperlukan sekitar 763.200 ton/tahun
polong segar. Menurut Departemen Pertanian produksi kacang panjang tahun 2000
baru mencapai 313.526 ton polong segar atau sekitar 41% dari total kebutuhan
penduduk, sehingga produksi kacang panjang belum dapat memenuhi kebutuhan
gizi ideal penduduk Indonesia (Kuswanto et al. 2006).
Penurunan produksi kacang panjang dapat disebabkan oleh beberapa faktor
salah satunya adalah serangan hama. Salah satu hama penting pada tanaman kacang
panjang adalah hama penggerek polong (Maruca testulalis) (Sureja et al. 2010).
M. testulalis adalah hama penting pada tanaman kacang-kacangan di daerah tropis
dan subtropis. Hama ini mengakibatkan kerusakan karena menyerang tunas, bunga
dan polong. Kerusakan yang disebabkan hama ini berkisar antara 9 sampai 51 %
(Baghwat et al. 1998).

pengendalian hama yang dianjurkan oleh pemerintah adalah pengendalian hama


secara terpadu (PHT), yang bertujuan untuk memanfaatkan metode-metode yang
memenuhi syarat-syarat ekonomi, toksikologi dan ketentuan lingkungan.
Pengendalian hayati, cara bercocok tanam dan penggunaan varietas yang tahan
merupakan teknik pengendalian yang bekerjanya tidak bertentangan dengan fungsi
faktor ekologi alami yakni dengan memanfaatkan bahan tanaman dan pemanfaatan
berupa bakteri, jamur dan virus sebagai agen pengendali yang bisa disebut sebagai
pestisida biologi (Sostromarsono, 1990).

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Hama penggerek polong ( Maruca testulalis Geyer )

Klasifikasi hama Maruca testulalis Geyer. menurut Borror dan Dwight


(1970) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Pyralidae
Genus : Maruca
Spesies : Maruca testulalis Geyer.

M. testulalis dideskripsikan pertama kali oleh Hubner, dipublikasikan


posthumously oleh Geyer. Terdapat beberapa spesies Maruca, tetapi hanya satu
spesies yang penting sebagai hama utama pada legum yang dibudidayakan, yakni
M. testulalis.

2.1.1. Bioekologi M. testulalis


Telur M. testulalis umumnya diletakkan pada kuncup bunga kacang panjang,
namun telur juga terdapat pada pucuk, polong dan daun muda. Biasanya terdapat
banyak telur pada kuncup bunga dan bunga dibanding bagian lain pada tanaman.
Kelopak tidak dimakan oleh larva, tetapi paling disukai sebagai tempat peletakan
telur.

Telur biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok atau sendiri-sendiri antara


2 - 16 butir. Jumlah telur yang diletakkan bergantung pada kondisi iklim dan
tanaman inang. Seekor ngengat (imago) betina meletakkan 10 - 200 butir telur
selama hidupnya. Telur dari M. Testulalis memiliki bentuk agak pipih, bulat sampai
sedikit oval. Berwarna kuning pucat, dan pada permukaannya terdapat jaringan
halus seperti jala. Telur berukuran 0.65 x 0.45 mm, dengan diameter antara 0.35 -
0.55 mm. Pada saat telur akan menetas, terlihat bintik hitam yang merupakan bakal
kepala larva. Telur menetas setelah 2 - 3 hari.

2
Larva M. Testulalis meililiki warna krem, putih pudar atau putih kekuningan.
Terdapat dua pasang bintik hitam pada setiap ruas tubuhnya. Bintik-bintik tersebut
membentuk baris membujur pada dorsal, dan semakin jelas bersamaan dengan
berkembangnya larva.

Larva M. testulalis terdiri dari 12 ruas dan memiliki dari 9 ruas abdomen,
pada ruas ke 3, 4, 5, 6 dan 9 pada abdomen terdapat sepasang tungkai palsu.
Toraksnya 3 ruas, dan pada setiap ruas terdapat sepasang tungkai sejati. Kepala
larva berwarna coklat atau gelap, pronotum berwarna hitam.

Larva ini memiliki 5 instar, masing-masing 2 - 4 hari. Periode larva bervariasi


antara 10 - 15 hari, tergantung pada makanan dan kondisi iklim. Panjang larva yang
sudah berkembang penuh sekitar 16 mm.

Bunga dan polong biasanya menjadi tempat persembunyian bagi larva pada
siang hari, namun ketika malam hari larva keluar dan berkelana pada permukaan
tanaman. Biasanya jumlah dari larva pada polong lebih sedikit dibanding dibanding
pada bunga. Kuncup bunga dan bunga mengandung jumlah terbesar larva instar
muda yang sedang makan.

Tipe dari kanopi tanaman akan berpengaruh terhadap populasi larva di


lapangan. Tingkat populasi yang tinggi terdapat pada kultivar yang bertajuk lebat.

Periode larva diikuti oleh periode prapupa yang singkat, berlangsung selama
1 - 2 hari. Pada periode tersebut, larva berhenti makan dan turun ke permukaan
tanah dengan benang suteranya, menuju ke bawah guguran daun.

Pupa terbentuk di dalam sel pupa berdinding ganda di bawah daun-daun yang
telah gugur. Dinding luar sel pupa mengandung benang sutera yang dianyam
bersama-sama dengan tanah dan sisa-sisa tanaman. Dinding sebelah dalam
merupakan anyaman longgar benang keputih-putihan, dan memiliki lubang di
bagian depan (anterior). Pembentukan pupa juga dapat terjadi pada kokon di dalam
polong, atau lebih jarang di dalam tanah.

Warna awal saat pupa terbentuk adalah kuning pudar atau kehijauan, tetapi
kemudian pupa menjadi lebih gelap dan berwarna coklat keabu-abuan . Periode
pupa berlangsung selama 7 - 10 hari.

3
Kemunculan imago didorong oleh curah hujan dan kelembaban tanah yang
tinggi. Imago M. testulalis sangat aktif pada musim hujan.

Imago berwarna coklat cerah, dengan panjang tubuh 11.2 mm, dan rentang
sayap 21 - 27 mm. Imago M. testulalis memiliki sayap yang berwarna coklat, dan
memiliki tiga bercak tembus cahaya yang bentuknya tidak beraturan. Sayap
belakang imago berwarna putih keabuabuan, dengan ciri coklat cerah pada bagian
ujungnya. Pada tepi kedua pasang sayap terdapat rumbai yang sangat halus
Abdomen imago betina relatif lebih besar dibanding yang jantan. Abdomen imago
jantan berbentuk lebih mengerucut ibandingkan imago betina. Lama hidup dari
imago M. testulalis adalah 5 - 7 hari.

Imago M. testulalis adalah hewan nokturnal atau aktif pada malam hari
.populasi imago pada siang hari akan di pengaruhi oleh kanopi tanaman. Pada
kultivar dengan tajuk yang terbuka atau jarang, terdapat sedikit imago dari M.
testulalis.

Periode dari telur sampai dewasa 30 - 35 hari. Siklus satu generasi terjadi
antara 22 - 25 hari. Secara teoritis, dalam satu musim tanam bisa terdapat sampai
empat generasi

2.1.2. Gejala serangan M. testulalis

Gejala serangan penggerek polong pada bunga menyebabkan bunga akan


mengalami kerusakan dan berwarna pucat. Bunga tidak berproduksi dengan baik.
Polong juga mengalami penurunan produksi. Polong kacang hijau berlubang dan
bebercak kecil berwarna gelap . M. testulalis pada stadia muda lebih menyukai
bagian bunga dan jumlah larva yang masih hidup lebih banyak menempati bagian
bunga dibanding pada bagian daun dan polong

M. testulalis menyerang bagian bunga dan polong. Polong yang diserang


akan tampak lubang-lubang bundar kecil dan bijinya habis dimakan . Serangan pada
bagian bunga dan polong ini berpengaruh langsung terhadap kualitas dan kuantitas
produksi.
Kerusakan yang paling serius akibat serangan hama M. testulalis pada
tanaman kacang panjang adalah dengan cara larva memakan tunas, bunga, daun

4
muda dan polong muda, terkadang larva juga memakan daun dan batang yang
lembut

Larva M. testulalis merusakan dimulai dari pucuk, lalu ke peduncle, batang


utama dan percabangan. Larva menggerek ke dalam pucuk dan batang yang hijau.
Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.
Kerusakan oleh larva instar lanjut sering mengakibatkan kematian jaringan di atas
liang gerek yang dibuat oleh larva.

Terdapatnya kuncup bunga merupakan fase dimana imago M. testulalis


menyukai untuk peletakan telur, dan merupakan tingkat terpenting dimana larva-
larva muda mengakibatkan kerusakan besar. Serangan pada tingkat tersebut
menurunkan potensi tanaman untuk membentuk bunga dan polong. Kerusakan
bunga karena M. testulalis tidak mudah ditaksir.

Pada bunga, larva membuat lubang masuk ke dalam dan keluar dari bagian-
bagian bunga. Larva instar awal menggerek ke dalam bunga muda, makan di
dalamnya, dan menyebabkan gugurnya bunga. Larva M. testulalis tidak memakan
kelopak, melainkan cenderung menggerek ke dalam tabung mahkota. Larva instar
lanjut menggerek dan memakan jaringan polong maupun biji. Polong muda akan
menjadi rusak yang di akibatkan dari aktivitas makan larva; sedangkan pada polong
hijau yang lebih tua larva memakan beberapa biji yang sedang berkembang.

Biasanya serangan M. testulalis terdapatnya kotoran dan penjalinan. Jaringan


yang terserang dijalin bersama, menggunakan benang sutera yang dihasilkan oleh
larva. Larva menjalin pucuk, bunga, polong, dan daun tanaman. Bunga dan tunas
yang terserang layu, tetapi tetap tergantung pada jalinan.

Kerusakan yang di akibatkan M. testulalis mudah untuk dikenali. Larva


membuat liang gerek pada pucuk, batang, bunga dan polong. Pada lubang masuk
yang besar ditutupi dengan frass berwarna coklat.

Berdasarkan studi populasi di lapangan, serangan M. testulalis mulai terjadi


21 hari setelah tanam (hst). Titik puncak infestasi biasanya antara 42 - 49 hst.
(Ginting, 1998).

5
2.1.3. Pengendalian M. testulalis

Dengan cara mekanis dapat langsung di ambil dan di musnahkan yang


terlihat pada tanaman yang terserang. Dengan cara budidaya ( penerapan pola
tanam tumpang sari tanaman utama dengan jagung, menggunakan tanaman
peerangkap seperti kacang tanah,dan menggunakan varietas tahan), membersihkan
serasah dan gulma di sekitar tanaman utama.
Secara kimiawi dengan menyemprotkan insektisida kontak berbahan dasar
Protiofos, berbahan aktif Klorantraniliprol, Fipronil
Penggunaan insektisida kimia telah memberikan banyak dampak negatif
bagi lingkungan karena itu diperlukan metode pengendalian lain seperti penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT). Penggunaan insektisida biologi dapat dijadikan
salah satu alternatif dalam menanggulangi organisme pengganggu tanaman .
 Insektisida Biologi
Berdasarkan asalnya pestisida biologi dapat dibedakan menjadi dua yakni
pestisida hayati dan pestisida nabati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi
bagian tertentu dari tanaman yang senyawa atau metabolit sekundernya memiliki
sifat racun terhadap hama dan penyakit. Pestisida hayati merupakan formulasi yang
mengandung mikroba tertentu baik berupa bakteri, jamur maupun virus yang
bersifat antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman.
Pestisida nabati dapat berfungsi sebagai : (1) penghambat nafsu makan (anti
feedant); (2) penolak (repellent); (3) penarik (atractant); (4) menghambat
perkembangan; (5) menurunkan keperidian; (6) pengaruh langsung sebagai racun
dan (7) mencegah peletakkan telur (Setiawati et al., 2008).
Penggunaan pestisida sintetis yang dinilai praktis untuk mengendalikan
serangan hama, ternyata membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar bahkan
bagi penggunanya sendiri. Pestisida nabati selain ramah lingkungan, pestisida
nabati ini merupakan pestisida yang relatif aman dalam penggunaannya dan
ekonomis.
Kelebihan utama penggunaan insektisida alami adalah mudah teurai atau
terdegradasi secara cepat. Proses penguraiannya dibantu oleh komponen alam,
seperti sinar matahari, udara dan kelembaban. Dengan demikian insektisida alami

6
yang disemprotkan beberapa hari sebelum panen tidak meninggalkan residu
(Sukrasno, 2003).
 Sirih (Piper betle)
Tanaman sirih (Piper betle) di berbagai daerah di Indonesia disebut juga
dengan ranub, belo, demban, cambai, sedah, dan suruh, termasuk dalam famili
Piperaceae. Tanaman sirih mengandung minyak atsiri seperti kadinen, kavikol,
sineol, eugenol, karofilen, karvakol, terpinen dan seskuiterpen (Aldywaridha,
2010).
Sirih merupakan tanaman merambat dan dapat mencapai tinggi 15 m.
Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan
tempat keluarnya akar. Daun tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh
berselang-seling dan bertangkai . Senyawa yang terkandung dalam sirih antara lain
karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C, tanin, gula, pati, dan asam
amino. (Setiawati et al., 2008).
 Akar Tuba (Derris eliptica)
Akar tuba selama ini dikenal sebagai bahan untuk meracuni ikan di sungai
ternyata juga bersifat toksik pada hama. Akar tuba memiliki senyawa toksis
rotenoid yang dapat mempengarugi enzim respirasi serangga organisme
pengganggu tanaman.
Akar tuba berperan sebagai moluskisida, insektisida, akarisida, nematisida.
Akar tuba bekerja sebagai racun perut dan kontak, menyebabkan serangga untuk
berhenti makan (Setiawati et al., 2008).
Akar tuba mengandung senyawa rotenon, deguelin, elipton, toxicarol.
Rotenon adalah racun kontak yang memiliki daya kerja lambat dan mudah
terdegradasi oleh sinar matahari dan udara.
 Sirsak (Annona muricata)
Sirsak adalah sejenis tanaman berkayu dan dapat hidup menahun. Daging
buah bertekstur empuk dan berwarna putih . Senyawa yang terkandung dalam sirsak
antara lain senyawa tanin, fitosterol, Ca-oksalat dan alkaloid murisine. Cara
kerjanya bersifat sebagai insektisida, racun kontak, penolak (repellent) dan
penghambat makan (antifeedant). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun dan
biji (Setiawati et al., 2008).

7
Daun sirsak diketahui dapat meningkatkan mortalitas hama karena memiliki
senyawa squamosin dan asimisin. Semakin tinggi konsentrasi senyawa tersebut
maka semakin tinggi pula mortalitas pada hama tersebut .
Biopestisida daun sirsak juga mengandung tanin dalam kadar tinggi.
senyawa tanin merupakan suatu senyawa yang dapat memblokir ketersediaan
protein dengan membentuk kompleks yang kurang bisa dicerna oleh serangga.
Senyawa tersebut dapat menghambat enzim pada saluran pencernaan sehingga akan
merobek pencernaan serangga dan akhirnya menimbulkan kematian.
 Daun Pepaya (Carica papaya)
Pepaya (C. papaya) merupakan tumbuhan yang berbatang tegak dan basah.
Tinggi pohon pepaya dapat mencapai 8 sampai 10 m. Helaian daunya menyerupai
telapak tangan manusia . Pepaya bersifat sebagai insektisida, fungisida, dan
rodentisida dan juga sebagai zat penolak (repellent). Pepaya mengandung
betakarotene, pectine, d-galaktosa, I-arabinosa, papain, papayotimin papain,
vitokinose, glucodise cacirin, karpain, papain, kemokapain, lisosim, lipase,
glutamin, dan siklotransferase (Setiawati et al., 2008).
Daun pepaya mengandung enzim alkaloid karpain, pseudo karpain,
glikosida, karposid, dan saponin. Alkaloid pada daun pepaya dapat berfungsi
sebagai insektisida.

 Pemanfaatan agens hayati


 Bacillus thuringiensis
Seperti halnya pengendalian hayati lainnya (parasitoid dan predator),
pemanfaatan patogen di lapangan dapat dilakukan dengan cara mengintroduksikan
patogen ke dalam populasi hama dengan harapan dapat menekan secara lebih
permanen. Penggunaan patogen B. thuringiensis mempunyai harapan untuk
dikembangkan di masa mendatang, karena mudah dan murah serta
pengaplikasiannya yang efektif dan berwawasan lingkungan.
Bacillus thuringiensis menghasilkan kristal protein yang bersifat
insektisidal disebut dengan δ-endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan
protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida
yang lebih pendek. Pada umumnya kristal B. thuringiensis di alam bersifat

8
protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga
dapat mengubah kristal protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan
bersifat toksin. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin ini menyebabkan
terbentuknya pori-pori pada sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu
keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Terganggunya keseimbangan osmotik
ini menyebabkan sel menjadi bengkak dan pecah. Sel yang telah pecah akan
menyebabkan kematian pada serangga .
Viabilitas entomopatogen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu,
kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, nutrisi dan zat kimia seperti pestisida.
Semakin tinggi viabilitas jamur entomopatogen semakin efektif dalam
mengendalikan hama (Susanto, 2007).
Bacillus thuringiensis merupakan bakteri gram-positif berbentuk batang.
Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada
fase vegetatif, namun bila suplai makanannya menurun maka akan membentuk
spora dorman yang mengandung satu atau lebih jenis kristal protein. Kristal ini
mengandung protein yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka.
 Beauveria bassiana
Salah satu teknik pengendalian yang berprinsip ramah lingkungan adalah
pemanfaatan agens hayati seperti jamur entomopatogenik Beauveria bassiana.
Jamur ini bersifat saprofit dan parasit pada serangga, keberadaan jamur ini tidak
mengganggu ekosistem dalam tanaman budidaya. Sekarang teknik pengendalian ini
lebih dikenal dengan istilah pengendalian menggunakan bio-insektisida.
Beauveria bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat
menginfeksi serangga melalui kulit kutikula, mulut, dan ruas-ruas yang terdapat
pada tubuh serangga. Jamur ini juga memiliki spektrum yang luas dan dapat
mengendalikan banyak spesies serangga sebagai hama tanaman (Susanto, 2007).
Virulensi bioinsektisida B. bassiana yang disimpan lebih dari 2 bulan akan
menurun karena nutrisi dalam media banyak digunakan untuk memproduksi
konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi. Pada bioinsektisida ini
kerapatan konidia dan viabilitas konidia juga akan menurun.

9
 Musuh Alami
Di antara beberapa cara pengendalian hama tumbuhan yang ada,
pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami merupakan cara
pengendalian yang paling aman. Musuh alami yang terdapat pada tanaman kacang
panjang adalah kumbang Coccinellidae, lalat Syrphidae, kumbang Paederus sp.,
laba-laba (Araneae) dan Formicidae (Syahrawati & Busniah 2009).
 Kumbang Coccinellidae (Coloeptera: Coccinellidae)
Kumbang famili Coccinellidae banyak ditemukan di tanaman sayuran yang
merupakan habitatnya. Perbedaan karakteristik dari distribusi kumbang koksi
dipengaruhi oleh topografi, posisi geografi wilayah dan kekayaan floranya.
Kumbang koksi dewasa aktif pada pagi dan sore hari sedangkan siang hari biasanya
tersembunyi. Coccinellidae predator yang efektif karna mempunyai spektrum
mangsa yang luas karena dapat memangsa berbagai jenis serangga .
 Lalat Syrphidae (Diptera: Syrphidae)
Serangga ini biasanya disebut hover fly karena kemampuannya melakukan
hovering. Syrphidae termasuk famili yang besar. Tercatat terdapat 870 spesies di
Amerika Utara, 250 spesies di Eropa kepulauan Inggris, 300 spesies di Eropa
daratan dan mungkin lebih banyak lagi di Asia termasuk Indonesia.
AnggotaSyrphidae hidup pada berbagai habitat dengan beragam peran seperti
sebagai saprofag, mikofag, herbivor, dan predator. Subfamili yang anggotanya
sebagian besar menjadi predator terutama kutu daun adalah Subfamili Syrphinae.
Kumbang Paederus sp. (Coleoptera: Staphylinidae)
Paederus sp. merupakan salah satu predator polifag yang memangsa
berbagai serangga Kumbang ini termasuk ke dalam ordo Coleoptera, super famili
Staphylinoidea, famili Staphylinidae dan genus Paederus. Pergiliran tanaman
dengan kedelai atau jagung setelah padi dapat membantu mempertahankan populasi
predator tersebut.
Laba-laba (Araneae)
Laba-laba merupakan hewan pemangsa (karnivora), bahkan kadangkadang
kanibal dengan mangsa utamanya adalah serangga. Kebanyakan laba-laba
merupakan predator (pemangsa) penyergap, yang menunggu mangsa lewat di
dekatnya sambil bersembunyi di balik daun, lapisan daun bunga, celah bebatuan,

10
atau lubang di tanah. Laba-laba merupakan predator polifag sehingga berperan
penting dalammengontrol populasi serangga.
Artropoda Permukaan Tanah
Berdasarkan tingkat trofiknya, artropoda dalam pertanian dibagi menjadi 3
yaitu artropoda herbivora, artropoda karnivora dan artropoda omnivora. Di
ekosistem persawahan, artropoda predator (serangga dan laba-laba) merupakan
musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama. Hal ini
disebabkan predator tersebut memiliki kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem
efemeral tersebut. Menurut (Herlinda et al. (2008)), artropoda yang aktif pada
permukaan tanah yang kelimpahannya tertinggi ialah famili Carabidae, Formicidae,
Collembola dan Lycosidae.

11
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

M. testulalis tergolong ke dalam ordo Lepidoptera dan famili Pyralidae.


Serangga ini merupakan hama penting pada tanaman kacang-kacangan,dan salah
satu hama penting pada tanaman kacang panjang yang menyerang bagian bunga
dan polong,
M. testulalis menyerang bagian bunga dan polong, Polong yang diserang akan
tampak lubang-lubang bundar kecil dan bijinya habis dimakan . Serangan pada
bagian bunga dan polong ini berpengaruh langsung terhadap kualitas dan kuantitas
produksi. Kerusakan yang paling serius akibat serangan hama M. testulalis pada
tanaman kacang panjang adalah dengan cara larva memakan tunas, bunga, daun
muda dan polong muda, terkadang larva juga memakan daun dan batang yang
lembut
Pengendalian M. testulalis dengan cara mekanis dapat langsung di ambil dan
di musnahkan yang terlihat pada tanaman yang terserang. Dengan cara budidaya (
penerapan pola tanam tumpang sari tanaman utama dengan jagung, menggunakan
tanaman peerangkap seperti kacang tanah,dan menggunakan varietas tahan),
membersihkan serasah dan gulma di sekitar tanaman utama. Secara kimiawi dengan
menyemprotkan insektisida kontak berbahan dasar Protiofos, berbahan aktif
Klorantraniliprol, Fipronil, Menggunakan pestisida biologi yang dibedakan
menjadi dua yakni pestisida hayati dan pestisida nabati, dan memanfaatkan Musuh
alami yang dominan adalah kumbang Coccinellidae dan kumbang Paederus sp. Yang
mampu menekan populasi beberapa hama utama pada kacang panjang termasuk M.
testulalis.

12
DAFTAR PUSTAKA

Aldywaridha. 2010. Uji Efektifitas Insektisida Botani terhadap Hama Maruca


testulalis (Geyer) (Lepidoptera;Pyralidae) pada Tanaman Kacang Panjang
(Vigna sinensis). Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.

Eka S.S,Yuswani P, Lisnawati , 2015, Uji Efektifitas Insektisida Biologi Terhadap


Hama Penggerek Polong (Maruca Testulalis Geyer.) (Lepidoptera ;
Pyralidae) Pada Tanaman Kacang Panjang Di Lapangan, Program Studi
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU, Medan

Ginting B, B. 1998.Maruca testulalis Geyer, Hama Penggerek Polong Pada


Berbagai Tanaman Kacangan. Universitas Khatolik Santo Thomas Sumatra.
Medan.

Herlinda S, Waluyo, Estuningsih S.P, Irsan C. 2008. Perbandingan keragaman


spesies dan kelimpahan artropoda predator penghuni tanah di sawah lebak
yang diaplikasi dan tanpa aplikasi insektisida. J Entomol Indon.

Johan. 2011. Kelimpahan Hama Dan Musuh Alami Serta Pengaruh Perlakuan
Insektisida Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna Sinensis L.) Fase
Generatif. Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor

Kuswanto N, E Basuki & Rejeki. 2006. Uji Adaptasi Kacang Panjang (Vigna
sesquopedalis L. Friwith) Galur UNIBRAW. Universitas Brawijaya Gresik.

Setiawati W, R Murtiningsih N .G & T Rubiati. 2008. Tumbuhan Bahan Pestsida


Nabati Cara Pembuatannya untuk Mengendalikan Organisme Pengganngu
Tanaman. Balai Sayuran Lembang, Bandung Barat.

Sostromarsono S. 1990. Peranan Sumber Hayati dan Pengelolaan Serangga dan


Tungau Hama.Seminar Pengelolaan Hama dan Tungau dengan sumber
hayati. Bandung.

Sukrasno. 2003. Mimba Tanaman Obat Multi Fungsi, Agromedia Pustaka,

13
Susanto H. 2007. Pengaruh Insektisida Nabati terhadap Viabilitas Jamur
Entomopatogen. Beauveria bassiana Bals. Universitas Islam Negeri Malang.
Malang.

Syahrawati M, Busniah M. 2009. Serangga hama dan predator pada pertanaman


kacang panjang (Vigna sinensis L.) fase generatif di kota Padang.

14

Anda mungkin juga menyukai