Nim : 205040200111082
Absen : 10
Kelas : E1/Agroekoteknologi
Asisten: M. Bayu Mario, S.P., M.P., M. Sc.
Oecophylla
Semut smaragdina
Rangrang
Laba-laba Araneidae
2. Entomopatogen absen genap
Pendahuluan:
Di Indonesia penggerek batang padi kuning menjadi spesies paling dominan dibandingkan dengan
enam jenis spesies lainnya. Penggerek batang padi kuning menyerang dengan meletakkan telurnya
di daun, kemudian setelah menetas larvanya akan masuk dari pelepah daun dan akan menggerek
ke dalam batang, akan hidup hingga menjadi pupa dan memakan jaringan di dalam batang. Apabila
serangan terjadi pada fase vegetatif, tunas yang sedang mengalami pertumbuhan akan menjadi
kering, coklat dan gagal membuka. Gejala yang ditimbulkan pada fase ini biasa disebut dengan
“sundep”. Sedangkan jika serangan terjadi pada fase generatif, maka akan menyebabkan
kehilangan hasil yang besar, karena gerekan larvanya akan menyebabkan terpotongnya pangkal
malai sehingga gabah menjadi hampa atau tidak berisi. Bulir gabah yang hampa akan tampak
berwarna putih, gejala ini yang biasa disebut dengan “beluk”.
Pengendalian dapat dilakukan dengan berbagai cara:
• Melakukan penaburan karbofuran, insektisida anjuran yang bersifat sistematik. Namun
dengan peggunaan yang tidak bijaksana dapat menimbulkan resistensi.
• Menggenangi singgang yang bertujuan untuk mematikan larva dan pupa, namun cara ini
tidak efektif karena lubang gerekan tertutup oleh jalinan benang sutera yang tidak tembus
air. Sedangkan feromon seks sintetik dapat menjadi cara pengendalian yang efektif namun
hingga kini belum tersedia di pasaran.
• Pengendalian secara hayati dengan musuh alami aman terhadap lingkungan dan tidak
menimbulkan resistensi serangga.
Salah satu jenis musuh alami yang non-endemik adalah nematoda dari genus Steinernema
dan Heterorhabditis (Rhabditida: Steinernematidae dan Heterorhabditidae). Kedua genus
tersebut dapat menjadi pengendali hayati yang unggul karena memiliki hampir semua
karakter yang diperlukan sebagai musuh alami yang ideal, antara lain:
1) Mampu mencari serangga di dalam tanah atau habibat yang tersembunyi.
2) Mempunyai virulensi dan daya reproduksi tinggi.
3) Dapat menyebabkan kematian serangga <48 jam.
4) Mencegah kerusakan lebih lanjut.
5) Dapat dikembangbiakkan pada serangga atau media buatan yang biayanya relatif lebih
murah.
6) Bekerja dengan meracuni darah dan akan menyebabkan kematian serangga.
Tujuan penulisan jurnal:
Penelitian memiliki tujuan untuk mendapatkan NE yang potensial dalam mengendalikan
penggerek batang padi kuning.
Metode:
1. Serangga uji dan tanaman padi
Dengan menggunakan ngengat PBPK dari Leuwiliang (Bogor). Ngengat dibiarkan bertelur dan
telur tersebut diletakkan pada cawan petri dan dibiarkan menetas. Sepuluh atau 20 ekor larva
instar-1 (L-1) diinfestasikaan pada tanaman padi varietas IR64 yang berumur 30 HST yang
ditanam pada gelas plastik bervolume 240 ml dan pada tanaman padi IR64 yang berumur 60 HST
yang ditanam pada pot ember plastik bergaris tengah 25 cm. Tanaman disungkup dengan plastik
mylar berkasa selama seminggu sebelum diberlakukan nematoda.
2. Pembiakan nematoda entomopatogen
NE dari isolat Indonesia koleksi BB-Biogen dan introduksi yang diperbanyak pada larva Tenebrio
molitor (Coleoptera: Tenebrionidae) menggunakan metode infeksi kertas saring yang dirancang
untuk skala massal yang JI dipanen setiap dua hari sekali dan disimpan dalam air dalam cawan-
cawan petri yang berdiameter 15 cm yang diletakkan di dalam inkubator bersuhu 10oC (Sanyo
MIR-151). Dengan umur simpan JI pada saat digunakan dalam percobaan tidak lebih dari 3
minggu.
3. Efikasi nematoda entomopatagen
• Uji di Laboratorium.
Tanaman yang disemprot dengan air saja dan dengan air ditambah 0.1% Triton X-100
digunakan sebagai pembanding.
• Analisis statistika
Data kematian larva PBPK dianalisis menggunakan prosedur ANOVA dari GenStat® 6.
Sebelum dianalisis data ditransformasi ke dalam arcsin √(Y/100) untuk menstabilkan
keragaman. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada P=0.05 digunakan untuk membedakan
rata-rata antar perlakuan nematoda.
Hasil penelitian:
1. Efikasi Nematoda Entomopatogen di Laboratorium
• Sebagian besar Heterorhabditis spp. lebih efektif dibandingkan dengan sebagian besar
Steinernema, dengan menyebabkan kematian larva >50%. Pengecualian terlihat pada H.
indicus P2M dan S. carpocapsae #25. Dibandingkan dengan Heterorhabditis lainnya P2M
hanya mampu menyebabkan kematian PBPK sebesar 31%.
• Sementara itu S. carpocapsae #25 adalah yang paling efektif di antara Steinernema lainnya
dengan menyebabkan kematian hampir 60% larva.
2. Efikasi Nematoda Entomopatogen di Rumah Kaca
NE yang memperlihatkan efektivitas >50% pada percobaan di laboratorium diuji kembali di rumah
kaca. Repetisi percobaan terlihat berpengaruh nyata (P<0.01) sehingga data percobaan RK I dan
II dianalisis secara terpisah. Pada kedua percobaan aplikasi NE berpengaruh nyata terhadap
kematian PBPK (P=0.018 untuk RK I dan P=0.005 untuk RK II), tetapi tidak mampu mengurangi
terjadinya gejala sundep (P=0.837 untuk RK I dan P=0.736 untuk RK II). Stadia larva dan pupa
keduanya dapat terinfeksi oleh nematoda.
3. Kemampuan Bertahan Nematoda Entomopatogen
• Pada Tanaman Padi laju penurunan JI H. indicus INA H4 hidup pada pelepah daun bagian
dalam pada 24 dan 48 JSA lebih lambat, masing-masing 53 dan 68%, bila dibandingkan
dengan laju penurunan pada permukaan daun (100%) dan pelepah bagian luar (58 dan
90%).
• JI hidup dan aktif masih dapat ditemukan pada pelepah bagian dalam hingga hari ke7
setelah penyemprotan walaupun hanya 0.5%. Sementara itu pada pelepah bagian luar JI
hidup tidak dijumpai lagi pada 48 JSA.
• Pada ketiak pelepah bagian dalam air biasanya dapat tertampung sehingga dapat menjadi
lokasi ideal bagi NE menunggu datangnya larva yang akan menggerek. Air juga dapat
masuk dan membasahi bagian dalam pelepah sehingga menjadi sarana bergerak nematoda
ke dalam batang melalui lubang masuk larva dan mengikuti lorong gerekan mencari
serangga sasaran.
• Untuk aplikasi di lapangan penyemprotan air pasca aplikasi nematoda tidak diperlukan
karena selain tidak praktis, biasanya terjadi kondensasi pada tanaman yang dapat
membantu menciptakan lapisan air bebas pada permukaan tanaman.
Kesimpulan:
• NE berprospek baik sebagai musuh alami non-endemik PBPK.
• H. indicus INA H17 merupakan nematoda yang paling efektif di antara 13 NE yang diuji
dengan menyebabkan kematian PBPK sebesar 78%.
• Penurunan gejala kerusakan tanaman akibat aplikasi NE tidak terlihat dalam percobaan
skala pot ini.
• Pelepah bagian dalam batang tanaman padi merupakan lokasi bertahan yang paling baik
bagi NE dimana JI hidup masih dapat ditemukan hingga 7 HSA.
2. Parasitoid Absen Genap
Judul jurnal : Jurnal Litbang Pertanian
Judul : INTRODUKSI PARASITOID, SEBUAH WACANA BARU DALAM
PENGENDALIAN HAMA KUTU PUTIH PEPAYA Paracoccus marginatus
DI INDONESIA
Vol No Hal : Vol.30 No.3 Hal: 87-97
Tahun : 2011
Penulis : Lina Herliana
Abstrak:
Di Indonesia, hama eksotis Paracoccus marginatus telah menimbulkan permasalahan yaitu
pengendalian hama tersebut pada tanaman pepaya (Carica papaya). Belum terdapat alternatif
pengendalian yang efektif untuk menekan populasi hama ini di Indonesia. Pengendalian hayati
dengan mengoptimalkan musuh alami sebenarnya merupakan alternatif yang paling sesuai, namun
hasil penelitian yang memadai untuk mengembangkan musuh alami lokal yang potensial belum
tersedia. Introduksi parasitoid yang efektif mengendalikan P. marginatus di luar negeri
menginspirasi upaya pengendalian hama ini di Indonesia.
Tujuan:
• Mengetahui karakter agens hayati introduksi
• Mengetahui prosedur pelepasan musuh alami
• Mengetahui dampak negatif terhadap organisme bukan sasaran
• Mengetahui prospek aplikasi parasitoid introduksi di Indonesia.
• Mengetahui karakteristik parasitoid yang efektif serta faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam introduksi musuh alami.
Hama kutu putih, Paracoccus marginatus merupakan salah satu kendala utama dalam budi
daya tanaman pepaya (Carica papaya) karena dapat menimbulkan kerugian yang besar. Sejak
terdeteksi keberadaannya pada Mei 2008 di pertanaman pepaya di Bogor, serangan hama kutu
putih meluas secara cepat ke berbagai wilayah Indonesia, antara lain Kabupaten Bogor, Sukabumi,
Cianjur, Kota Depok (Jawa Barat), DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang (Banten), beberapa
kabupaten di Jawa Tengah, Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Pekanbaru (Riau), Denpasar (Bali),
dan Sulawesi.
Pengendalian hama kutu putih dapat dilakukan dengan:
• Mengaplikasikan insektisida dengan bahan aktif imidakloprid. Namun hal ini tidak efisien
karena berbiaya tinggi, pengendalian dengan pestisida juga tidak dapat menekan populasi
hama kutu putih di lapangan sebagaimana yang telah dipraktekkan sebagian petani pepaya
di Indonesia. Bahkan dalam waktu singkat, serangan hama meluas lintas pulau. Hal ini
terjadi karena hama kutu putih memiliki lapisan lilin di permukaan tubuh kutu putih
merupakan perisai yang mampu melindungi hama kutu putih dari zat toksik insektisida.
• Pengendalian hayati klasik dengan mengoptimalkan musuh alami merupakan cara
pengendalian yang paling sesuai. Namun, inventarisasi musuh alami P. marginatus di
Indonesia masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan survei ke berbagai wilayah di
Indonesia, khususnya di daerah endemis kutu putih untuk menggali informasi mengenai
keberadaan musuh alami lokal yang potensial untuk dikembangkan.
4. Introduksi Parasitoid
• Definisi
Introduksi berarti membawa masuk/memperkenalkan sesuatu yang baru ke suatu
tempat/lokasi/daerah tertentu. Introduksi parasitoid merupakan salah satu tahapan
pengendalian hayati, yaitu melepas musuh alami eksotis ke dalam lingkungan baru
sehingga nantinya secara permanen dapat mapan dan mampu mengendalikan populasi
hama dalam jangka panjang tanpa intervensi lebih lanjut.
• Tujuan
Tujuan dasarnya adalah mengembalikan keseimbangan alami yang terganggu akibat
masuknya spesies hama eksotis dengan cara menghadirkan musuh alaminya.
Dalam pengendalian hayati, musuh alami yang efektif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
mampu mendeteksi populasi hama pada kepadatan yang rendah, memiliki pertumbuhan
populasi lebih cepat dibanding hama, menunjukkan laju penekanan populasi hama per
kapita cukup tinggi, memiliki fenologi yang sinkron dengan hama target, persisten pada
kepadatan populasi hama yang rendah, musim tanam maupun rotasi tanaman, toleran
terhadap berbagai aktivitas pengelolaan tanaman, serta mudah diadopsi petani dan
diperbanyak secara massal.
Strategi ini dapat ditiru untuk memperbesar peluang keberhasilan introduksi parasitoid A. papayae
dan A. loecki di Indonesia.
Kesimpulan:
• P. marginatus atau kutu putih merupakan hama penting pada tanaman pepaya.
• Upaya pengendalian yang telah dilakukan terhadap hama eksotis ini tetapi belum mampu
secara efektif menekan populasi hama di lapangan.
• Pengendalian hayati merupakan alternatif terbaik bagi pengendalian hama, antara lain
dengan memanfaatkan musuh alami.
• Keterbatasan pengkajian maupun penelitian terhadap musuh alami lokal Indonesia
mengisyaratkan perlunya kegiatan survei dan eksplorasi musuh alami untuk pengendalian
jangka panjang.
• Dalam jangka pendek, pengendalian hayati melalui introduksi musuh alami seperti
parasitoid dapat menjadi alternatif pemecahan masalah hama kutu putih.
• Keberhasilan introduksi parasitoid sebagai musuh alami ditentukan oleh kemampuan
beradaptasi terhadap iklim dan tanaman inang, menahan serangan musuh alami lokal, dan
menemukan inang alternatif di lokasi introduksi. Selain itu, juga ditentukan oleh ketepatan
teknik pelepasan, seperti jumlah parasitoid yang dilepas, penggunaan media untuk pele-
pasan, praadaptasi terhadap hama target sebelum dilepas, proteksi saat distribusi, dan
pelaksanaan pelepasan.
• Introduksi parasitoid untuk mengendalikan hama kutu putih pepaya cukup layak
(prospektif) karena hama menyebabkan kerugian yang besar bagi petani. Selain itu, belum
ada alternatif pengendalian yang efektif, serta belum terdapat musuh alami lokal yang dapat
dikembangkan untuk pengendalian hayati dalam kurun waktu 5-10 tahun untuk menekan
populasi hama tersebut.