Anda di halaman 1dari 10

Keanekaragaman Serangga (1-10)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN TEH


WONOSARI LAWANG DENGAN DAN TANPA APLIKASI PESTISIDA
Ari Sumiswatrika
Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maliki Malang
ABSTRAK
Teh (Camellia sinensis) merupakan salah satu subsektor perkebunan yang penting dalam
sektor pertanian. Perkebunan teh sebagai salah satu komoditas yang mampu memberikan
kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia. Akhir-akhir ini produksi teh di Indonesia
berfluktuasi dan cenderung menurun. Rendahnya produksi tersebut disebabkan oleh barbagai
faktor salah satunya yaitu adanya serangan hama dan penyakit. Maka, cara pestisidalah yang
digunakan para petani untuk mengendalikan serangan hama tersebut. Dengan adanya
pengaplikasian pestisida dilapangan, akan menyebabkan berkurangnya musuh alami (predator
dan parasitoid) dan kematian serangga lain (serangga netral) sehingga dapat mengurangi
keanekaragaman serangga pada perkebunan teh tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis serangga serta
keanekaragamannya pada perkebunan teh area bebas pestisida dan area aplikasi pestisida.
Penelitian ini dilakukan di Perkebunan Teh Wisata Agro Wonosari Lawang dan Laboratorium
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim
Malang, pada bulan Juni-Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan pada perkebunan teh seluas
370,3 ha dengan menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan pada
perkebunan teh bebas pestisida dan aplikasi pestisida dengan menggunakan metode nisbi
(dengan perangkap Pitfall trap, Window trap dan Light trap).
Hasil penelitian pada area bebas pestisida diperoleh 9 ordo, 23 famili, dan 336 individu
yang berperan sebagai pollinator (2 famili), parasitoid (2 famili), herbivora (8 famili), scavenger
(3 famili) dan predator (8 famili). Pada area aplikasi pestisida diperoleh 9 ordo 16 famili, dan
258 individu yang berperan sebagai pollinator (1 famili), parasitoid (1 famili), herbivora (4
famili), scavenger (2 famili) dan predator (6 famili). Indeks Keanekaragaman (H) serangga
secara kumulatif didapatkan lebih tinggi pada area bebas pestisida (ABP) (2,89) dari pada area
aplikasi pestisida (AAP) (2,50). Indeks Keanekaragaman (H) dengan menggunakan metode
Pitfall trap pada perkebunan teh area bebas pestisida lebih tinggi (2,28) dari pada area aplikasi
pestisida (2,16), Sedangkan pada metode Window trap dan Light trap Indeks Keanekaragaman
pada area bebas pestisida lebih besar (2,13 dan 2,16) dari pada area aplikasi pestisida (1,29 &
1,51).
Kata Kunci: Keanekaragaman, Serangga, Teh, Pestisida
PENDAHULUAN
Salah satu subsektor pertanian yang
berpotensi untuk dijadikan andalan adalah
subsektor perkebunan. Sebagai salah satu
subsektor yang penting dalam sektor
pertanian, subsektor perkebunan mempunyai

kontribusi
yang
signifikan
terhadap
perekonomian Indonesia. Dari beberapa
komoditas perkebunan yang penting di
Indonesia, teh adalah merupakan salah
satunya. Teh sebagai salah satu komoditas
yang bertahan hingga saat ini mampu
Ari Sumiswatrika (08620011) | 1

Keanekaragaman Serangga (1-10)


memberikan kontribusi yang besar bagi
perekonomian Indonesia melalui devisa
yang dihasilkan, selain untuk menjaga fungsi
hidrolis dan pengembangan agroindustri
(Maulana, 2000)
Dalam hal produksi, Jawa Barat
merupakan penghasil teh terbesar di
Indonesia. Provinsi ini menghasilkan teh
sebesar 70 % dari total produksi nasional.
Provinsi lain yang juga merupakan penghasil
teh terbesar adalah Sumatera Utara dan Jawa
Tengah. Produksi teh Indonesia berfluktuasi
dan cenderung menurun. Pada tahun 2003,
produksi teh Indonesia tercatat 169.821 ton.
Kemudian menurun pada tahun 2004
menjadi 165.951 ton. Dan terus menurun
pada tahun 2006 menjadi 146.859 ton, tahun
2007 menjadi 150.623 ton. Untuk tahun
2008 dan 2009 produksi teh nasional
masing-masing 153.971 ton dan 148.916
ton.
Rendahnya
produksi
tersebut
disebabkan oleh barbagai faktor salah
satunya adalah adanya serangan hama dan
penyakit
(Asosiasi
Penelitian
dan
Pengembangan
Perkebunan
Indonesia,
2010).
Adanya serangan hama yang
menyerang tanaman teh, maka cara kimia
atau pestisidalah yang paling sering
digunakan para petani untuk mengendalikan
serangan hama tersebut, bahkan aplikasi
pestisida dilakukan secara terjadwal.
Penggunaannya hampir menjadi salah
satunya cara pengendalian karena pestisida
bekerja sangat efektif, praktis, serta cepat
membunuh pathogen dan hama (Budiasa,
2011).
Pengendalian hama dengan pestisida
kimia secara berlebihan di lapangan telah
disadari merupakan tindakan yang salah
karena keuntungan yang diharapkan dari
aplikasi pestisida tersebut telah berbalik
menjadi kerugian ekosistem yang tak ternilai
harganya. Selain itu pestisida kimia bukan
merupakan salah satu strategi pengendalian
hama yang baik. Dampak negatif

penggunaan pestisida kimia yang digunakan


secara berlebihan telah menimbulkan
fenomena resistensi dan timbulnya hama
kedua, serta berkurangnya musuh alami
(predator dan parasitoid) dan kematian
serangga lain (serangga netral) sehingga
dapat
mengurangi
keragaman
serta
mencemari lingkungan (Oka, 2005).
Semakin berkembangnya kesadaran
masyarakat terhadap dampak penggunaan
pestisida bagi kesehatan dan lingkungan
hidup, maka berkembanglah konsep
Pengendalian
Hama
Terpadu
yang
merupakan wujud dari pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
(Untung, 2006). Salah satu konsep
Pengendalian Hama Terpadu adalah strategi
pengendalian hama untuk memaksimumkan
efektifitas pengendalian biologi dengan
menggunakan musuh alami (bioagents),
sedangkan penggunaan pestisida masih
diperbolehkan, tetapi aplikasinya menjadi
alternatif
terakhir
bila
cara-cara
pengendalian
lainnya
tidak
mampu
mengatasi wabah hama atau penyakit
(Budiasa, 2011).
Usaha yang harus dilakukan dalam
mengelola ekosistem pertanian agar populasi
hamanya terkendali secara alami adalah
dengan mempelajari struktur ekosistem,
antara lain jenis tanaman, jenis hama dan
musuh alaminya. Musuh alami merupakan
salah satu faktor yang penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem olehnya
keberadaannya dalam suatu ekosistem
sangat dipertahankan serta interaksi satu
dengan lainnya (Nurkhasanah, 2011).
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam
mengamati serangga di pertanaman adalah
mengumpulkan semua jenis serangga dan
mengidentifikasi serangga hama dan bukan
hama, dari kegiatan ini akan diketahui
berbagai
jenis
hama
yang
dapat
mengakibatkan kerusakan bagi pertanaman
yang sedang diusahakan, sehingga dapat

Ari Sumiswatrika (08620011) | 2

Keanekaragaman Serangga (1-10)


ditetapkan
tindakan
(Suheriyanto, 2000).

pengendaliannya

teh pada area aplikasi pestisida dilakukan 1


hari sebelum pengambilan data serangga.

METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk
jenis
penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan
data menggunakan metode eksplorasi, yaitu
pengamatan atau pengambilan sampel
langsung dari lokasi pengamatan. Parameter
yang diukur dalam penelitian adalah Indeks
Keanekaragaman (H) dari ShannonWienner, Indeks Kesamaan Dua Lahan
Sorensen (Cs), Indeks Dominansi (C).

4. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah semua jenis
serangga yang ditemukan dan terjebak dalam
alat perangkap jebak Pitfall trap (perangkap
sumuran), Window Trap (perangkap
jendela), dan Light Trap (perangkap lampu),
yang diambil pada masing-masing area yaitu
area perkebunan teh bebas pestisida (ABP)
dan area perkebunan teh dengan aplikasi
pestisida (AAP) di Perkebunan Teh
Wonosari Lawang.

2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Juni-Juli 2012. Penelitian ini
dilakukan di Perkebunan Teh Wonosari
Lawang, yaitu di perkebunan teh area bebas
pestida (ABP) dan dengan area aplikasi
pestisida (AAP). Serangga diidentifikasi di
Laboratorium Ekologi dan Laboratorium
Optik Jurusan Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang.

5. Prosedur Kerja
a. Observasi
Dilakukan untuk mengetahui kondisi
lokasi penelitian yaitu di Perkebunan Teh
Wonosari Lawang yang nantinya dapat
dipakai sebagai dasar dalam penentuan
metode dan teknik dasar pengambilan
sampel.

3. Alat dan Bahan


Alat
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah alat pengamatan
(traping) yang terdiri dari Pitfall trap
(perangkap sumuran), Window Trap
(perangkap jendela), dan Light Trap
(perangkap lampu), Mikroskop, kaca
pembesar, Pinset, higrometer, anemometer,
tali rafia, kertas label, plastik, gunting, botol
pembunuh, kamera digital, alat tulis dan
buku identifikasi Boror, dkk,. (1992), Siwi
(1991) dan Capinera (2008).
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu Alkohol 70%, Jenis
pestisida yang diaplikasikan yaitu jenis
insektisida dengan nama pestisida Confidor
200
SL.
Aplikasi
pestisida
atau
penyemprotan pestisida kimia di perkebuan

b. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel


Berdasarkan hasil observasi, maka
lokasi pengamatan serangga dilakukan di 2
area yaitu di area perkebunan teh bebas
pestisida (ABP) dan area aplikasi pestisida
(AAP).
c. Metode Pengambilan Sampel

Ari Sumiswatrika (08620011) | 3

Keanekaragaman Serangga (1-10)

) Ln (

Keterangan rumus:
H : Indeks keanekaragaman ShannonWiener
Pi : Proporsi spesies ke I di dalam
sampel total
ni : Jumlah individu dari seluruh jenis
N : Jumlah total individu dari seluruh
jenis
2. Indeks Dominansi (C) dari Simpson
(Southwood, 1980)
C=

d. Pola Atau Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini yaitu, menentukan petak
pengamatan
dengan
cara
Purposive
sampling, luas petak pengamatan dalam
penelitian ini yaitu 60 X 60 m. kemudian
penentuan titik (unit sampel) dengan cara
Systematic random sampling secara pola
lajur tanaman pada masing-masing petek
pengamatan yang telah ditentukan, yaitu
pada area perkebunan teh bebas pestisida
dan area perkebunan teh dengan aplikasi
pestisida. Unit sampel yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu berjumlah 12 titik
atau unit sampel. Masing-masing unit
sampel berukuran 3 X 3 m, dengan jarak
antara unit sampel satu dengan unit sampel
lainnya berjarak 2 m, setiap unit sampel
diletakkan 3 perangkap sumur (Pitfall Trap),
sedangkan untuk
perangkap
jendela
(Window Trap) dan perangkap lampu (Light
Trap) diletakkan berselang-seling antara unit
sampel satu dengan yang lainnya dalam
petak pengamatan yang telah ditentukan.
e. Analisis Data
1. Indeks Keanekaragaman
Menurut Southwood (1978), indeks
keanekaragaman di rumuskan sebagai
berikut:

Keterangan Rumus:
C : Dominansi
ni : Jumlah total individu dari suatu
jenis.
N : total individu dari seluruh jenis.

3. Indeks Kesamaan 2 lahan (Cs) dari


Sorensen (Southwood, 1978)

Keterangan Rumus:
j : Jumlah individu terkecil yang sama
dari ketiga lahan
a : Jumlah individu dalam lahan A
b : Jumlah individu dalam lahan B

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Identifikasi Serangga Pada
Perkebunan Teh Wonosari Lawang
Pada Area Aplikasi Pestisida (AAP)
Dan Area Bebas Pestisida (ABP)
Tabel 1. Jumlah Individu Serangga Secara Komulatif
di Perkebunan Teh Wonosari Lawang Pada
Area Aplikasi Pestisida (AAP) dan Area
Bebas Pestisida (ABP)

Ari Sumiswatrika (08620011) | 4

Keanekaragaman Serangga (1-10)


jenis famili dan predator 8 jenis famili
(Gambar 1).

Gambar 1. Diagram Batang proporsi serangga hasil


penelitian
berdasarkan
peranan
ekologinya pada lahan area aplikasi
pestisida (AAP) dan area bebas pestisida
(ABP) di Perkebunan Teh Wonosari
Lawang

Berdasarkan hasil penelitian dan


identifikasi, secara komulatif serangga yang
diperoleh pada perkebunan teh Wonosari
Lawang yaitu pada area aplikasi pestisida
(AAP) dan pada area bebas pestisida (ABP)
terdiri dari 9 ordo, 24 famili serangga. Pada
area aplikasi pestisida (AAP) serangga yang
ditemukan terdiri dari 9 ordo 16 famili 258
individu, sedangkan pada area bebas
pestisida (ABP) serangga yang ditemukan
terdiri dari 9 ordo 23 famili 336 individu
(Tabel 1).
2. Hasil
Identifikasi
Serangga
Berdasarkan
Peran
Ekologi
di
Perkebunan Teh Wonosari Pada Area
Aplikasi Pestisida (AAP) dan Area
Bebas Pestisida (ABP)
Berdasarkan peran ekologi dari
serangga pada perkebunan teh lahan area
aplikasi pestisida (AAP) diperoleh serangga
polinator 1 jenis famili, parasitoid 1 jenis
famili, herbivora 4 jenis famili, scavenger 2
jenis famili, dan predator 6 jenis famili.
Sedangkan pada lahan area bebas pestisida
(ABP) diperoleh serangga polinator 2 jenis
famili, parasitoid 2 jenis famili, herbivora 8
jenis famili, hama 4 jenis famili, scavenger 3

Diagram batang diatas menunjukkan


bahwa lahan area bebas pestisida (ABP)
memiliki komposisi jenis serangga yang
lebih banyak dari pada lahan area aplikasi
pestisida (AAP), terutama komponen musuh
alami atau predator herbivora dan hama. Hal
ini menunjukkan stabilitas agro ekosistem
pada lahan area bebas pestisida (ABP) lebih
baik dari pada lahan area aplikasi pestisida
(AAP). Oka (2005), semakin banyak jenis
yang membentuk komunitas maka semakin
beragam komunitas tersebut. Jenis-jenis
serangga dalam populasi akan berinteraksi
satu dengan yang lain membentuk jaringjaring makanan.
Tabel 2. Komposisi Serangga berdasarkan peranan
ekologinya pada lahan area aplikasi
pestisida (AAP) dan area bebas pestisida
(ABP) Perkebunan Teh Wonosari Lawang

Ari Sumiswatrika (08620011) | 5

Keanekaragaman Serangga (1-10)


Tabel 2. menunjukkan komposisi
serangga berdasarkan peran ekologinya yaitu
dapat diketahui dengan nilai persentase (%).
Dari tabel diatas nilai persentase (%)
serangga yang berperan sebagai herbivora
pada lahan area bebas pestisida (ABP)
(52,98%) lebih tinggi dari pada lahan area
aplikasi
pestisida
(AAP)
(51,55%).
Tingginya kelimpahan relatif serangga
herbivora pada area bebas pestisida
dimungkinkan karena tidak digunakannya
pestisida sintetik pada area tersebut.
Sehingga serangga herbivora berkembang
stabil. Persentase serangga herbivora pada
area aplikasi pestisida tidak berbeda jauh
dengan persentase pada area bebas pestisida
dikarenakan serangga herbivora resisten
terhadap aplikasi pestisida dan dapat
menimbulkan ledakan hama. Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh Sutanto (2006),
penggunaan pestisida dapat menimbulkan
akibat samping yang tidak diinginkan yaitu
hama sasaran berkembang menjadi tahan
terhadap pestisida, musuh-musuh alami
serangga hama yaitu predator dan parasitoid
juga ikut mati, pestisida dapat menimbulkan
ledakan hama sekunder. Morin (1999)
menyatakan, bahwa penggunaan pestisida
untuk
mengendalikan
hama
dapat
menyebabkan peledakan hama dan matinya
musuh alami.
Persentase (%) predator pada
perkebunan teh area bebas pestisida (ABP)
(27,98 %) lebih tinggi dari pada KR pada
lahan area aplikasi pestisida (AAP) (27,13
%). Tingginya Kelimpahan Relatif predator
pada area bebas pestisida (ABP) disebabkan
karena sebagian besar predator yang
ditemukan pada lahan area bebas pestisida
(ABP) (famili Formicidae, Coccinelidae)
bersifat polyphagus (Borror dkk, 1992),
sehingga predator dapat melangsungkan
hidupnya tanpa tergantung satu inang.
Untung (2006) menyatakan, predator
merupakan organisme yang hidup bebas
dengan memakan, atau membunuh binatang

lainnya. Predator dapat memangsa lebih dari


satu inang dalam menyelesaikan satu siklus
hidupnya, dan pada umumnya bersifat
polyphagus, sehingga dapat melangsungkan
siklus hidupnya tanpa tergantung pada satu
inang.
Persentase (%) serangga parasitoid
pada lahan area aplikasi pestisida (AAP)
prosentasinya (2,33 % Tabel 2) lebih besar
dari pada lahan area bebas pestisida (ABP)
prosentasinya (2,08 % Tabel 2). populasi
parasitoid didominasi oleh ordo Diptera dan
Hymenoptera.
Untung
(2006)
menyatakan,
parasitoid merupakan binatang yang hidup
diatas atau didalam tubuh binatang lain yang
lebih besar yang merupakan inangnya.
Serangan parasitoid dapat melemahkan
inang dan akhirnya dapat membunuh
inangnya karena parasitoid makan atau
mengisap cairan tubuh inangnya. Parasitoid
juga mempunyai peranan yang sangat
penting dalam agroekosistem yaitu sebagai
serangga musuh alami. Parasitoid sangat
baik digunakan dalam mengendalikan
serangga herbivora bila dibandingkan
dengan agensia pengendali lainnya.
Rendahnya populasi parasitoid pada
kedua
lahan
disebabkan
adanya
ketergantungan yang sangat tinggi dari
keberadaan hama inang dan adanya
kompetisi intra spesifik dengan serangga
lainnya serta secara tidak langsung
terjadinya persaingan antara parasitoid
dengan predator untuk mendapatkan inang,
khususnya
dari
famili
Formicidae,
khususnya
semut
yang
merupakan
kompetitor penting didaerah tropis.
persentase (%) serangga Scavenger
pada lahan perkebunan teh area bebas
pestisida (ABP) (8,63 % Tabel 2) lebih
rendah daripada lahan perkebunan teh area
aplikasi pestisida (AAP) (16,28 % Tabel 2).
Tingginya serangga scavenger pada lahan
area aplikasi pestisida (AAP) diperkirakan
karena dipengaruhi tingginya jumlah materi
Ari Sumiswatrika (08620011) | 6

Keanekaragaman Serangga (1-10)


jasad renik, dari serangga lain yang mati
akibat adanya pengaplikasian pestisida pada
lahan area aplikasi pestisida tersebut.
Sehingga serangga scavenger yang tahan
terhadap pestisida akan menguraikan
serangga tersebut menjadi bahan organik
yang dibutuhkan oleh tanaman.
Persentase (%) serangga pollinator
pada lahan perkebunan the area bebas
pestisida (ABP) 8,33 % (Tabel 2) lebih
tinggi dari pada area aplikasi pestisida
(AAP) 2,71 % (Tabel 2). Tingginya
serangga polinator pada lahan area bebas
pestisida (ABP) dibandingkan dengan lahan
area aplikasi pestisida (AAP), disebabkan
karena pada lahan area bebas pestisida
(ABP) tidak adanya pengaplikasian pestisida
sintetik atau kimia, sehingga serangga
polinator bertahan hidup pada area tersebut
karena persediaan makanan yang banyak
sehingga populasi serangga polinator stabil.
Serangga
polinator
merupakan
bagian integral dari budidaya tanaman
holtikultura secara intensif serta merupakan
serangga yang berperan dalam penyerbukan
(Liferdi, 2008). Untung (2006) menjelaskan
bahwa matinya serangga polinator akan
mengurangi proses penyerbukan sehingga
akan mengurangi produksi hasil panen.
Rendahnya serangga pollinator pada lahan
perkebuan teh area aplikasi pestisida
dikarenakan akibat adanya penggunaan
pestisida sintetik atau kimia pada area
tersebut, serta kurang tersedianya nectar atau
madu yang dihasilkan oleh bunga tanaman
teh (Camellia sinensis). Dari hasil
pengamatan diperkebunan bahwa prosentase
bunga tanaman teh pada lahan area bebas
pestisida (ABP) lebih banyak daripada lahan
perkebunan teh area aplikasi pestisida
(AAP).
3. Proporsi Serangga Menurut Taksonomi
Hasil
penelitian
dengan
menggunakan
metode
relatif (nisbi)
diketahui bahwa pada area aplikasi pestisida

(AAP) ditemukan 9 ordo, 16 famili dan 258


individu. Sedangkan pada area bebas
pestisida (ABP) ditemukan 9 ordo, 23 famili
dan 336 individu.

Gambar 2. Diagram batang proporsi serangga hasil


penelitian berdasarkan taksonominya
pada lahan area aplikasi pestisida (AAP)
dan area bebas pestisida (ABP) di
Perkebunan Teh Wonosari Lawang.

Gambar 2 dapat diketahui bahwa


secara umum jumlah serangga berdasarkan
proporsi taksonominya di lahan area bebas
pestisida (ABP) lebih tinggi dibandingkan
pada lahan area aplikasi pestisida (AAP).
Dari
hasil
diatas
dapat
diketahui
bahwasannya penggunaan pestisida pada
lahan area aplikasi pestisida (AAP) secara
langsung dapat mengakibatkan kematian
beberapa serangga yang terdapat di
perkebunan tersebut. Menurut Suheriyanto
(2000), dengan berkurangnya jenis dan
jumlah serangga, menyebabkan rantai
makanan yang terbentuk dilahan area
aplikasi pestisida (AAP) lebih sederhana
dibandingkan lahan area bebas pestisida
(ABP).
Sehingga
menyebabkan
ketidakseimbangan komunitas.
Hal tersebut diperkuat dengan
pernyatan Leksono (2007) yang menyatakan
bahwa, pengaplikasian pestisida secara
langsung dapat mengurangi keanekaragaman
organisme pada suatu komunitas, sehingga
menyebabkan
ketidaksetimbangan
komunitas. Jika gangguan sering terjadi
Ari Sumiswatrika (08620011) | 7

Keanekaragaman Serangga (1-10)


maka spesies banyak yang punah, jika
gangguan jarang terjadi maka sistem akan
mengarah pada kesetimbangan kompetitif
dan spesies yang memiliki kemampuan
kompetisi rendah akan hilang.
Hasil
identifikasi
menunjukkan
bahwa serangga yang ditemukan pada lahan
area aplikasi pestisida (AAP) dan area bebas
pestisida (ABP) terdiri dari 9 ordo. Jenis
serangga yang banyak ditemukan pada lahan
area aplikasi pestisida (AAP) adalah ordo
Diptera dan Coleoptera, sedangkan pada
lahan area bebas pestisida (ABP) yang
banyak ditemukan dari ordo Hymenoptera
(Gambar 3).

bahwa
pemakaian
pestisida
dapat
menimbulkan dampak negatif yaitu matinya
musuh alami atau predator sehingga
mengakibatkan resistensi hama sehinga
kerusakan terhadap perkebunan akan
semakin meningkat.
Tingginya populasi dan kekayaan
jenis Hymenoptera pada area bebas pestisida
(ABP) diprediksi tidak digunakannya
pestisida sintetis dalam menanggulangi
hama. Kelompok Hymenoptera kebanyakan
perperan sebagai predator dan parasitoid
sensitif dan mudah mati akibat aplikasi
pestisida. Price (1997) menjelaskan bahwa
aplikasi pestisida akan berpengaruh besar
terhadap matinya musuh alami (predator dan
parasitoid).
4.

Keanekaragaman
Serangga
Dominansi pada Perkebunan
Wonosari
Lawang Pada
Aplikasi Pestisida (AAP) dan
Bebas Pestisida (ABP)

dan
Teh
Area
Area

Tabel 3. Indeks keanekaragaman (H) dan Dominansi


(C) pada perkebunan teh area aplikasi
pestisida (AAP) dan area bebas pestisida
(ABP).
Gambar 3. Diagram
batang
jumlah
Famili
berdasarkan proposi taksonominya pada
lahan area aplikasi pestisida (AAP) dan
area bebas pestisida (ABP) di
Perkebunan Teh Wonosari Lawang.

Diptera dan Coleoptera merupakan


famili yang paling banyak ditemukan pada
perkebunan teh pada lahan area aplikasi
pestisida (AAP). Tingginya populasi dan
kekayaaan jenis dari kelompok Diptera pada
perkebunan teh area aplikasi pestisida (AAP)
dikarenakan kelompok Diptera mampu
resisten terhadap aplikasi pestisida. Sehingga
populasi Diptera tinggi. Diptera merupakan
kelompok serangga yang mayoritas berperan
sebagai hama, akan tetapi peranan Diptera
tidak hanya sebagai hama yaitu sebagai
predator, polinator dan pengurai bahanbahan organik. Untung (2006) menyatakan

Tabel 3 menunjukkan Indeks


keanekaragaman (H) pada lahan area lahan
area bebas pestisida (ABP) lebih tinggi dari
pada pada area aplikasi pestisida (AAP). Hal
ini bisa dilihat pada lahan area bebas
pestisida (ABP) dengan menggunakan
metode Pitfall trap (perangkap sumuran)
dengan nilai H yaitu 2,28 dengan nilai C
yaitu 1,12 lebih tinggi dari pada lahan area
aplikasi pestisida (AAP) dengan nilai H
2,16 dengan nilai C 0,13.

Ari Sumiswatrika (08620011) | 8

Keanekaragaman Serangga (1-10)


Indeks Keanekaragaman serangga
dengan menggunakan metode Window trap
(Perangkap jendela) dan Light trap
(perangkap lampu) pada area aplikasi
pestisida (AAP) dengan nilai H (1,29 &
1,51 Tabel 4.5) dengan nilai C (0,29 & 0,24)
lebih rendah dari pada lahan area bebas
pestisida (ABP) yaitu dengan nilai H (2,13
& 2,16 Tabel 4.5) dengan nilai C (0,12 &
0,13). Menutut Smith (2006), Nilai indeks
dominansi Simpson berkisar antara 0 dan 1.
Ketika hanya ada 1 spesies dalam komunitas
maka nilai indeks dominansinya 1, tetapi
pada saat kekayaan spesies dan kemerataan
spesies meningkat maka nilai indeks
dominansi mendekati 0.
5. Analisis Indeks Kesamaan Dua Lahan
Sorensen (Cs)
Tabel 4. Indeks Kesamaan pada kedua lahan area
aplikasi pestisida (AAP) dan area bebas
pestisida (ABP) Berdasarkan Perangkap.

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan


bahwa nilai Indeks Kesamaan Dua Lahan
(Cs) yaitu pada area aplikasi pestisida (AAP)
dan area bebas pestisida (ABP) hasil
pengamatan dengan menggunakan metode
perangkap sumuran (Pitfall trap) didapatkan
nilai 0,85, nilai Cs yang didapatkan pada
perangkap pitfall trap ini mendekati 1,
sehingga dapat dikatakan bahwa pada kedua
lahan tersebut yaitu pada area aplikasi
pestisida (AAP) dan area bebas pestisida
(ABP) dengan menggunakan jebakan pitfall
trap jenis serangga yang ditemukan
mendekati kesamaan atau tidak berbeda
jauh.
Sedangkan pada jebakan Window
trap (Perangkap jendela) dan Light trap nilai
Indeks Kesamaan Dua Lahan (Cs) yaitu

pada lahan area aplikasi pestisida (AAP) dan


lahan area bebas pestisida (ABP) didapatkan
nilai 0,24 dan 0,47. Dari nilai tersebut di
katakana 0 dikarenakan nilai Cs tersebut
masih dibawah kisaran angka 0,5 sehingga
dapat pada kedua lahan tersebut dengan
menggunakan jebakan Window trap
(Perangkap jendela) dan Light trap serangga
yang ditemukan relative tidak sama dan
terdapat berbedaan.
Rendahnya indeks kesamaan dua
lahan (Cs) pengamatan Window trap
(Perangkap jendela) (Metode nisbi),
menghasilkan angka penduga populasi yang
sulit dikonversikan dalam unit permukaan
tanah karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi angka penduga tersebut.
Dibandingkan dengan metode mutlak,
metode nisbi merupakan metode yang lebih
mudah dan lebih praktis karena umumnya
dengan metode ini individu serangga lebih
mudah tertangkap dan dihitung. Akan tetapi
dilihat dari segi ketelitian statistik metode ini
termasuk rendah (Untung, 2006).
KESIMPULAN
1. Serangga yang diperoleh pada lahan area
aplikasi pestisida (AAP) dan area bebas
pestisida (ABP) terdiri dari 9 ordo yang
terdiri dari 24 famili yaitu Calliphoridae,
Tachnidae,
Scathophagidae,
Stratiomydidae,
Dermestidae,
Coccinelidae
I,
Coccinelidae
II,
Meloidae,
Gryllidae,
Tettigoniidae,
Blattellidae, Blattidae, Pentatomidae,
Miridae,
Reduvidae,
Forficulidae,
Carcinophoridae,
Formicidae
I,
Formicidae II, Braconidae, Cixidae,
Flatidae, Saturnidae dan Noctuidae.
2. Indeks Keanekaragaman (H) serangga
secara kumulatif didapatkan lebih tinggi
pada area bebas pestisida (ABP) (2,89)
dari pada area aplikasi pestisida (AAP)
(2,50). Indeks Keanekaragaman (H)
serangga dengan menggunakan metode
Pitfall trap (perangkap sumuran) pada
Ari Sumiswatrika (08620011) | 9

Keanekaragaman Serangga (1-10)


lahan pada area bebas pestisida (ABP)
lebih tinggi (2,28) dari pada area aplikasi
pestisida
(AAP)
(2,16).
Indeks
Keanekaragaman serangga pada lahan
area aplikasi pestisida (AAP) dengan
menggunakan metode Window trap
(Perangkap jendela) dan Light trap
(perangkap lampu) lebih rendah (1,29 dan
1,51) dari pada area bebas pestisida
(ABP) (2,13 dan 2,16).
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan Indonesia. 2010. Petunjuk
Kultur Teknis Tanaman Teh. Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Perkebunan, Gambung. Bandung.
Borror, dkk,. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga Edisi Keenam. UGM:
Gadjah Mada University Press.
Budiasa,
Wayan,
2011,
Pertanian
Berkelanjutan Teori & Pemodelan.
Denpasar: Udayana University Press
Capinera, John L, 2008. Encylopedia Of
Entomology. University of Florida:
USA
Leksono, S. 2007. Ekologi : Pendekatan
Deskriptif dan Kualitatif. Malang :
Bayumedia Publishing.
Maulana, Mohammad. 2000. Identifikasi
Permasalahan Pengelolaan Mutu Teh
Do Unit Usaha Perkebunan Malabar
PT Nusantara VIII Jawa Barat.
Diakses
dari
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%28
10%29%20
socamaulanapengelln%20mutu%20teh%281%29.p
df pada Rabu, 3 Maret 2012
Morin, P.J. 1999. Community Ecology. New
York: Blackwell science, inc
Nurkhasanah, 2011. Struktur Komunitas
Arthropoda Pada Ekosistem Cabai
Tanpa Perlakuan Insektisida. Media
Litbang Sulteng IV (1): 57-62, Juni
2011. ISSN: 1979-5971.

Oka, Nyoman, 2005. Pengendalian Hama


Terpadu dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Price, P.W., 1997. Insect Ecology, Third
Edition, John Wiley & Sons, Inc., New
York.
Siwi, Subyanto. 1991. Kunci Determinasi
Serangga. Yogyakarta: Karnisius.
Southwood, T. R. E., 1978. Ecological
Methods Second Edition. Chapman
and Hall. New York.
Southwood, T.R.E., 1980, Ecological
Methods: with particular reference to
the study of insect population, Second
Edition, Chapman and Hall, New York
Suheriyanto, 2000. Kajian Komunitas Fauna
Pada Pertanaman Bawang Merah
Dengan dan Tanpa Aplikasi Pestisida.
Fakultas
Pertanian:
Universitas
Brawijaya.
Sutanto, R. 2006. Pertanian Organik
Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan.
Yogyakarta
:
Kanisisus.
Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan
Hama
Terpadu
Edisi
Kedua.
Yogyakarta: Gadjah mada University
Press

Ari Sumiswatrika (08620011) | 10

Anda mungkin juga menyukai