EUIS RAKHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Euis Rakhmawati
NIM C151160221
RINGKASAN
Ikan Synodontis eupterus adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang
berasal dari sungai Niger di benua Afrika. Ikan dewasa memiliki corak totol hitam
di tubuhnya serta memiliki kebiasaan berenang unik secara terbalik, sehingga
memiliki nilai ekonomis untuk dijual bahkan diekspor pada pasar perdagangan
ikan hias. Akan tetapi produksi ikan ini masih terkendala dengan persentase benih
ikan jantan yang dihasilkan dari proses pemijahan buatan jauh lebih sedikit
dibandingkan benih betina, hal ini menyebabkan ketersediaan ikan jantan menjadi
sedikit sehingga akan berefek terhadap kurangnya ketersediaan calon induk jantan
di kalangan pembudidaya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi
kendala ini adalah dengan teknik pembentukan kelamin jantan (maskulinisasi).
Hormon yang umumnya digunakan untuk maskulinisasi adalah hormon 17α-
metiltestosteron (MT) (Zairin 2002). Namun, penggunaan hormon MT diduga
dapat menyebabkan adanya residu yang berpotensi larut dalam limbah air
budidaya dan mempengaruhi diferensiasi kelamin ikan-ikan non-target di
sekitarnya (Green dan Teichert-Coddington 2000).
Penggunaan hormon alami berbahan dasar tumbuhan dapat digunakan untuk
maskulinisasi telah banyak diteliti. Cabe Jawa Piper retrofractum merupakan
tanaman yang banyak digunakan oleh industri obat tradisional di Indonesia (Usia
2012). Buah cabe Jawa mengandung senyawa kimia turunan steroid, saponin,
alkaloid dan tanin yang dapat berperan sebagai afrodisiak yaitu memberi efek
androgenik dan anabolik (Moeloek et al. 2010). Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak cabe Jawa (ECJ) pada stadia larva
melalui perendaman terhadap maskulinisasi ikan sinodontis. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap dengan 8 perlakuan terdiri dari perlakuan
ekstrak cabe Jawa dosis 0.0625 mg L-1 dan 0.125 mg L-1, kontrol negatif (tanpa
ekstrak dan 17α-metiltestosteron) serta kontrol positif (2 mg L-1 17α-
metiltestosteron). Tiap perlakuan terdiri dari dua perlakuan suhu (normal dan
32ᴼC). Ikan yang digunakan adalah larva ikan S. eupterus berumur 10 hari setelah
menetas dengan berat rata-rata 0.023 gr ekor-1, masing-masing ulangan perlakuan
sebanyak 150 ekor. Kemudian untuk perlakuan suhu, air media pemeliharaan
larva diupayakan bersuhu 32ºC, hal ini dilakukan sampai hari ke-40 pemeliharaan
sesuai dengan pendekatan waktu diferensiasi kelamin pada ikan jenis catfish
(Raghuveer et al. 2011). Pemanas (heater) digunakan untuk menjaga suhu air agar
tetap konstan.
Perendaman dilakukan selama lima jam, kemudian larva dipindahkan ke
dalam akuarium pemeliharan berukuran 29 x 30 x 30 cm dan diberi pakan naupli
artemia sehari empat kali pada pukul 04.00, 11.00, 17.00, dan 22.00 WIB secara
at satiation selama satu minggu. Selanjutnya diberikan pakan cacing sutra secara
ad libitum sampai minggu ke lima, dan dilanjutkan dengan pemberian pakan
komersil berbentuk tepung sampai minggu ke-13. Ikan selanjutnya dipindahkan
ke akuarium yang berukuran 50 x 60 x 50 cm dan diberikan pakan komersil
berbentuk remah sampai berumur lima bulan. Pakan komersil diberikan sehari tiga
kali pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB secara at satiation. Selama
pemeliharaan dilakukan penyiponan dan pergantian air sebanyak 10% per hari dan
30% setiap seminggu sekali. Sampling bobot dan panjang tubuh dilakukan setiap
dua minggu selama 14 minggu, sementara data tingkat kelangsungan hidup
(TKH) diambil pada hari ke-7 pasca perendaman dan akhir pemeliharaan.
Pemeriksaan jenis kelamin ikan dilakukan setelah ikan berumur empat dan
lima bulan dengan mengambil sampel gonad ikan dari masing-masing ulangan
perlakuan sebanyak 30% populasi. Ikan dibedah dan diambil gonadnya untuk
diperiksa dengan metode pewarnaan asetokarmin (Guerrero & Shelton 1974), dan
untuk pembuatan preparat histologi. Hasil pemeriksaan gonad ikan umur empat
bulan menunjukkan bahwa pemeliharaan suhu ruang pemberian ekstrak cabe jawa
dosis C2 (0.125 mgL-1) terbukti mampu menghasilkan persentase ikan jantan
sebanyak 54.13±13.61% berbeda nyata terhadap kontrol (C0T0) (P<0.05). Pada
hasil pemeriksaan gonad ikan umur lima bulan tidak ditemukan keberadaan ikan
interseks, dan perlakuan perendaman dengan ekstrak cabe jawa terbaik tetap
dihasilkan oleh ekstrak dosis 0.125 mg L-1 dengan menghasilkan persentase ikan
jantan sebesar 37.78±18.49% dan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
(P<0.05).
Data TKH pada 7 hari setelah perendaman menunjukkan bahwa
perendaman larva menggunakan hormon 17α-metiltestosteron dalam suhu 32 ⁰C
(MTT1) menghasilkan nilai persentase tingkat kelangsungan hidup yang paling
rendah yakni sebesar 93.30 ± 1.54%, berbeda signifikan (P<0.05) dibanding
perlakuan lainnya. Demikian juga kelangsungan hidup ikan S. eupterus setelah
empat bulan pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman MT dalam
suhu 32⁰C adalah yang terendah yaitu sebesar 86.16 ± 0.77%, namun nilainya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan perlakuan kontrol C0T0. Nilai laju
pertumbuhan harian rata-rata antar perlakuan pada minggu ke-2 serta minggu ke-
14 dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) baik pada perlakuan dengan
perendaman ekstrak cabe jawa maupun kontrol positif dan negatif. Sebagai
kesimpulan, maskulinisasi ikan sinodontis pada stadia larva menggunakan ekstrak
cabe Jawa melalui perendaman selama 5 jam dengan dosis 0.125 mg L-1 pada suhu
normal dapat meningkatkan persentase ikan jantan secara konsisten pada umur 4
dan 5 bulan sebesar 4 kali lipat dibandingkan kontrol. Pemberian perlakuan suhu
sebesar 32 ⁰C dapat meningkatkan kematian pada perlakuan perendaman 17α-
metilestosteron.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MASKULINISASI IKAN SINODONTIS Synodontis eupterus PADA
STADIA LARVA MENGGUNAKAN EKSTRAK CABE JAWA
Piper retrofractum DAN PENINGKATAN SUHU
EUIS RAKHMAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Yani Hadiroseyani, MM
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2017 ini ialah alih
jenis kelamin jantan (maskulinisasi), dengan judul Maskulinisasi Ikan Sinodontis
Synodontis eupterus pada Stadia Larva Menggunakan Ekstrak Cabe Jawa Piper
retrofractum dan Peningkatan Suhu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Muhammad Zairin
Junior MSc dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA selaku pembimbing yang
telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Yani
Hadiroseyani, MM selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Widanarni,
MSi sebagai ketua program studi Ilmu Akuakultur SPS IPB yang telah
memberikan saran dan masukan dalam ujian sidang tesis. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Euis Rakhmawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Ikan Sinodontis 4
Biosintesis Testesteron 4
Diferensiasi Jenis Kelamin 5
Sex Reversal 6
Cabe Jawa Piper retrofractum 7
Induksi Suhu terhadap Maskulinisasi 7
3 METODE 9
Waktu dan Tempat 9
Prosedur Penelitian 10
Parameter Uji 12
Prosedur Analisis Data 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Hasil 15
Pembahasan 20
5 SIMPULAN DAN SARAN 24
Simpulan 24
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 31
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Ikan Synodontis eupterus adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang
berasal dari sungai Nil di benua Afrika. Setiap tahun permintaan ikan ini terus
meningkat baik permintaan untuk pasar lokal maupun pasar ekspor. Ikan ini
dijuluki featherfin squeaker karena memiliki sirip dorsal yang panjang dan tegak
serta dapat mengeluarkan suara (Shinkafi and Daneji 2011). Ikan dewasa
memiliki corak totol hitam di tubuhnya serta memiliki kebiasaan berenang unik
secara terbalik, sehingga memiliki nilai ekonomis untuk dijual bahkan diekspor
pada pasar perdagangan ikan hias. Akan tetapi produksi ikan ini masih terkendala
dengan persentase benih ikan betina yang dihasilkan dari proses pemijahan buatan
jauh lebih besar dibandingkan benih jantan, hal ini menyebabkan ketersediaan
ikan jantan menjadi sedikit sehingga akan berefek terhadap kurangnya
ketersediaan calon induk jantan di kalangan pembudidaya. Kurangnya
ketersediaan induk jantan mengakibatkan kendala dalam kegiatan produksi benih
masal.
Penyelesaian dalam permasalahan produksi ikan jantan pada sinodontis
dapat didekati dengan penggunaan teknik alih kelamin (sex reversal). Teknologi
sex reversal adalah suatu teknologi yang mengarahkan perkembangan kelamin
menjadi jantan atau betina seluruhnya. Sex reversal dilakukan pada saat gonad
ikan belum terdiferensiasi menjadi jantan atau betina dan umumnya digunakan
untuk produksi ikan monoseks. Teknik alih kelamin menjadi jantan disebut
dengan maskulinisasi dan umumnya dilakukan dengan pemberian hormon steroid
17α-metiltestosteron (MT). Namun, penggunaan hormon MT diduga dapat
menyebabkan adanya residu yang bersifat karsinogenik pada manusia (Phelps et
al. 2000). Penggunaan MT juga berpotensi larut dalam limbah air budidaya dan
mempengaruhi diferensiasi kelamin ikan-ikan non-target di sekitarnya (Green dan
Teichert-Coddington 2000).
Penggunaan hormon alami berbahan dasar tumbuhan dapat digunakan untuk
maskulinisasi telah banyak diteliti. Hormon steroid yang dihasilkan oleh suatu
tumbuhan serta memiliki efek spesifik pada reproduksi organisme jantan dikenal
dengan istilah fitoandrogen. Maskulinisasi menggunakan fitoandrogen pernah
dilakukan antara lain melalui perendaman larva ikan nila dalam ekstrak
purwoceng Pimpinella alpine dosis 20 mg L-1 terbukti mampu meningkatkan
persentase ikan jantan sebanyak 73.3% (Putra 2011). Alternatif bahan lain yang
dapat digunakan adalah cabe jawa. Cabe jawa atau Piper retrofractum merupakan
salah satu tanaman yang mempunyai potensi sebagai afrodisiak. Cabe jawa
memiliki efek stimulan terhadap sel syaraf dan efek hormonal sebagai afrodisiak
karena mempunyai efek androgenik dan anabolik (Moeloek et al. 2010). Bagian
cabe Jawa yang dimanfaatkan sebagai afrodisiak adalah bagian buahnya.
Senyawa yang diduga berkhasiat sebagai afrodisiak adalah senyawa piperin dan β-
sitosterol (Usia 2012). Penelitian terkait penggunaan cabe Jawa sebagai afrodisiak
pada ikan telah dilakukan terhadap ikan patin siam stadia juvenil dan stadia calon
induk masing-masing diberikan ekstrak cabe jawa melalui pakan selama delapan
minggu terbukti dapat meningkatkan indeks kematangan gonad dan kadar
2
Perumusan Masalah
Ikan synodontis banyak diminati pasar sebagai salah satu komoditas ikan
hias. Bentuk tubuh yang unik serta tingkah laku saat berenang membuat ikan ini
sangat diminati oleh para pecinta ikan hias. Dalam teknologi budidayanya, ikan
synodontis sudah dapat dipijahkan sendiri secara buatan, namun permasalahan
yang muncul yaitu belum efisien dalam produksi karena terkendala ketersediaan
induk jantan. Jumlah populasi ikan jantan dari total populasi induk terbilang
sedikit, sehingga tidak dapat dilakukan produksi secara masal. Jenis kelamin ikan
ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Perubahan sifat kelamin ikan dapat
terjadi secara alami maupun rekayasa. Perubahan seks pada ikan dapat
dimanipulasi dengan pemberian hormon steroid. Hormon yang umum digunakan
untuk maskulinisasi adalah hormon 17α-metiltestosteron (MT), namun
penggunaannya telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di
ikan maupun perairan. Bahan alami dapat digunakan sebagai alternatif untuk
maskulinisasi. Salah satu bahan alami yang berasal dari tanaman dan bersifat
androgenik adalah tanaman cabe Jawa.
Cabe Jawa merupakan bahan fitofarmaka bersifat afrodisiak yang memiliki
efek androgenik. Ekstrak tanaman cabe jawa dapat meningkatkan kadar hormon
testosterone darah. Senyawa kimia yang terdapat pada buah cabe jawa yang
diduga memiliki efek androgenik adalah piperin dan sitosterol. Senyawa piperin
3
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Sinodontis
Ikan sinodontis Synodontis eupterus merupakan ikan hias air tawar yang
berasal dari sungai Niger di Afrika. Ikan ini dijuluki featherfin squeaker karena
memiliki sirip dorsal yang besar dengan jari-jari sirip yang panjang dan tegak
serta dapat mengeluarkan suara (Shinkafi and Daneji 2011). Corak warna dan
kebiasaan berenangnya secara terbalik, membuat ikan ini juga sering disebut
dengan nama upside-down catfish, hal ini membuatnya terlihat unik sehingga
digemari dikalangan penggemar ikan hias. Ikan sinodontis merupakan jenis
catfish yang termasuk pada famili Mochokidae. Dalam pemeliharaannya ikan ini
dapat menerima pakan buatan pelet serta mencapai ukuran panjang 15 cm. Ikan
sinodontis memiliki kulit tebal serta mukus yang banyak untuk perlindungan,
selain itu ikan ini tergolong ikan demersal (Alderton 2008). Suhu optimal untuk
pemeliharaan ikan ini berkisar antara 22-26°C dengan pH 6.5-7.5 (Alderton 2008).
Ikan jantan dewasa memiliki papilla genital seperti jenis catfish pada
umumnya, sedangkan ikan betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar (Laleye
et al. 2006). Menurut Shinkafi dan Daneji (2011), rasio seks ikan sinodontis di
habitat alaminya adalah 1:1 dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Di habitat
aslinya ikan ini puncak musim pemijahan pada bulan Juli dan Agustus, hingga
berakhir di bulan Oktober (Shinkafi dan Daneji 2011). Fekunditas ikan sinodontis
rata-rata mencapai 8000 butir telur, dengan derajat pembuahan rata-rata 100%
dan derajat penetasan berkisar 58.10% (Hikmawan 2008). Sedangkan menurut
Pangreksa (2016) suhu optimal untuk mempercepat sinodontis menetas adalah 31-
320C, sedangkan suhu optimum untuk meningkatkan daya tetas telur sinodontis
adalah 25-26°C.
Biosintesis Testosteron
Gonad jantan atau testis memproduksi testosteron yang yang berasal dari
konversi kolesterol. Proses perubahan kolesterol menjadi pregnenolon terjadi
baik di gonad betina (ovarium) maupun jantan (testis). Pregnenolon kemudian
akan diubah secara berurutan menjadi menjadi progesteron, 17α-
hidroksiprogesteron, androstenedion, dan selanjutnya baru diubah menjadi
testesteron (Murray 2006). Selanjutnya dengan enzim P450 aromatase testesteron
diubah menjadi estradiol. Sintesis hormon steroid pada ikan secara umum hampir
sama dengan vertebrata lainnya namun dengan beberapa pengecualian.
Testosteron pada testis ikan dihidroksilasi pada karbon 11 oleh P450-11β
5
Jenis kelamin pada vertebrata ditentukan oleh dua faktor yakni faktor
kromosom (genotypic sex determination ) dan faktor lingkungan (environmental
sex determination). Pada ikan dan reptil, determinasi seks tidak hanya ditentukan
oleh kromosom seks saja melainkan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
lingkungan (Nakamura 2010). Secara genetik jenis kelamin ikan ditentukan oleh
pasangan kromosom yang diturunkan oleh induknya dan telah terbentuk saat
pembuahan (Matty 1985). Namun secara fungsional jenis kelamin ikan ditentukan
oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan berlangsung. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan gonad diantaranya adalah
temperatur, pH, dan eksogenus steroid (Devlin dan Nagahama 2002).
Perkembangan jaringan gonad akan dimulai setelah sel bakal gonad (primordial
germ cell) mengalami diferensiasi menjadi testis atau ovarium. Proses diferensiasi
kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang
definitif (Silverin et al. 2000). Sebelum diferensiasi terjadi, ikan mengalami fase
labil karena sel bakal gonad masih belum terdiferensiasi menjadi oogonia atau
spermatogonia (Van Winkoop dan Timmermans 1992).
6
Sex Reversal
Cabe jawa merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak terdapat di Jawa,
Madura dan Sumatera Selatan. Tumbuh di tempat-tempat yang tanahnya tidak
lembap dan berpasir seperti di dekat pantai, daerah datar sampai 600 meter di atas
permukaan laut (dpl). Bagian utama tanaman yang digunakan adalah buahnya,
namun terkadang ada yang menggunakan daun atau akarnya (Nuraini 2003). Cabe
jawa merupakan salah satu tanaman yang diketahui memiliki efek stimulan
terhadap sel-sel syaraf dan efek hormonal sebagai afrodisiaka yaitu efek
androgenik, anabolik, dan antivirus (Moeloek et al. 2010). Senyawa kimia yang
terkandung dalam cabe jawa antara lain asam amino bebas, damar, minyak atsiri
(terpenoid), n-oktanol, linalool, terpinil asetat, sitronelil asetat, sitral, saponin,
polifenol, resin (kavisin), dan β-sitosterol (Nuraini 2003) dan beberapa jenis
alkaloid seperti piperin, piperidin, piperatin, piperlonguminin, sylvatin, guineensin,
piperlongumin, filfilin, sitosterol, methyl piperat serta retrofractamide-A,
retrofractamide-B (pipericide), retrofractamide-C (Banerji et al. 1985) dan
retrofractamide-D (Banerji et al. 2002).
Secara umum kandungan kimia atau senyawa kimia yang berperan sebagai
afrodisiaka adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa lain
yang dapat melancarkan peredaran darah. Bagian dari cabe jawa yang
dimanfaatkan sebagai afrodisiaka yaitu bagian buahnya dan diduga senyawa aktif
yang berkhasiat afrodisiaka di dalam buahnya adalah senyawa piperine (Moeloek
et al. 2010). Berbagai hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa ekstrak
8
3 METODE
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 - September 2018
di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ikan Departemen Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan
ekstrak cabe Jawa dilakukan di Laboratorium Penguji Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balittro), Bogor. Analisis gonad dengan metode asetokarmin
dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik.
Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan
sedangkan pengukuran kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Materi Uji
Ikan uji berupa ikan sinodontis stadia larva dipelihara sampai berumur 10
hari hingga mencapai berat ±0.023 gr. Total larva ikan yang dibutuhkan adalah
150 ekor/unit percobaan dengan kepadatan 9 ekor/liter. Untuk perlakuan
dibutuhkan ekstrak cabe Jawa (ECJ) 0.0625 mg L-1 (C1) dan 0.125 mg L-1 (C2)
dan 17α-metiltestosteron 2 mg L-1.
Rancangan Percobaan
Prosedur Penelitian
Persiapan wadah
Wadah yang digunakan berupa akuarium berukuran 29 cm x 30 cm x 30 cm
dengan volume air 20 liter dan akuarium berukuran 50 cm x 60 cm x 50 cm
dengan volume 90 liter. Wadah terlebih dahulu dibersihkan dan diperiksa untuk
menghindari adanya kebocoran selama pemeliharaan. Selanjutnya dilakukan
instalasi aerasi untuk mensuplai oksigen. Air yang digunakan terlebih dahulu telah
diendapkan di bak tandon.
Perendaman larva
Ikan uji berupa larva sinodontis diperoleh dari petani di daerah Ciomas,
Bogor dan dipelihara sampai berumur 10 hari. Larva sinodontis berumur 10 hari
direndam sesuai dosis perlakuan ECJ (C0, C1, C2) dan MT. Larva direndam
dalam larutan ekstrak cabe dengan lama waktu perendaman 5 jam. Perendaman
dilakukan menggunakan akuarium berukuran 50 cm x 60 cm x 50 cm yang telah
diisi air dengan volume 30 liter. Akuarium pemeliharaan diisi air sebanyak 20 liter
dengan jumlah larva ikan nila 150 ekor/akuarium. Sebelum digunakan ekstrak
cabe Jawa dan MT dilarutkan dengan larutan ethanol 95% sebanyak 5 ml selama
5 jam serta perlakuan suhu ruang dan 32⁰C. Kemudian untuk perlakuan suhu, air
media pemeliharaan larva diupayakan bersuhu 32ºC, hal ini akan dilakukan
sampai hari ke-40 pemeliharaan sesuai dengan pendekatan waktu diferensiasi
kelamin pada ikan jenis catfish (Raghuveer et al. 2011). Pemanas (heater)
digunakan untuk menjaga suhu air agar tetap konstan. Total akuarium yang
digunakan sebanyak 24 buah dengan tiap akuarium diisi sebanyak 150 ekor larva.
Pemeliharaan larva
Setelah perendaman sesuai dosis dan lama waktu perlakuan, larva
dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 29 cm x 30 cm x 30 cm. Larva diberi
pakan berupa naupli artemia secara at satiation (sekenyangnya) selama satu
minggu. Naupli artemia diberikan sehari empat kali pada pukul 04.00, 11.00,
17.00, dan 22.00 WIB. Selanjutnya diberikan pakan berupa cacing sutra secara ad
libitum (pakan selalu tersedia) yang terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir
sampai bersih. Setelah minggu ke-5 pakan diganti dengan pakan komersil
berbentuk tepung. Setelah minggu ke-13 ukuran pakan diganti dari tepung ke
12
Pemeriksaan gonad
Pemeriksaan gonad dilakukan setelah ikan berumur empat bulan dan lima
bulan dengan metode pewarnaan asetokarmin (Guerrero & Shelton 1974). Ikan
sampel masing-masing ulangan perlakuan diambil sebanyak 30% populasi. Ikan
dibedah dan diambil gonadnya menggunakan tusuk gigi. Gonad diletakkan di atas
gelas preparat kemudian ditetesi sebanyak satu tetes dengan larutan asetokarmin.
Gonad dicincang sampai halus dan ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya
gonad diamati dibawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 40 kali. Selain
metode pewarnaan dengan asetokarmin, gonad juga akan diambil untuk
pembuatan preparat histologi (Lampiran 1).
Parameter Uji
Keterangan :
LPH = Laju pertumbuhan harian (%)
Wo = Bobot rata-rata ikan pada awal pemeliharaan
Wt = Bobot rata-rata ikan pada akhir pemeliharaan
t = Lama pemeliharaan
Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup (KH) merupakan persentase ikan yang hidup pada
akhir penelitian dari jumlah ikan awal pemeliharaan. Kelangsungan hidup diamati
seminggu setelah perlakuan perendaman dan pada minggu ke-16 masa
pemeliharaan. KH dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Nt
KH (%) = No 100
Keterangan:
KH = Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah individu pada akhir perlakuan (ekor)
No = Jumlah individu pada awal pemeliharaan (ekor)
Bobot tubuh
Pengukuran bobot tubuh dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan ikan uji
selama penelitian. Sampling pertumbuhan bobot ikan dilakukan setiap dua
minggu sekali. Bobot tubuh diukur dengan timbangan digital.
Panjang tubuh
Pengukuran panjang tubuh dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan ikan
uji selama penelitian. Panjang total diukur dari ujung kepala sampai ujung ekor.
Sampling pertumbuhan panjang total ikan dilakukan setiap dua minggu sekali.
Panjang tubuh diukur dengan mistar.
14
Kualitas air
Pengukuran kualitas air berupa oksigen terlarut (DO), pH, suhu, dan amonia
dilakukan pada media perendaman dan pemeliharaan ikan. Pengukuran kualitas
air dilakukan setelah dan sebelum pergantian air. Pengukuran suhu dilakukan pada
pagi dan sore hari.
Hasil
Nisbah Kelamin Ikan
Gambar 3 menunjukkan nisbah kelamin jantan ikan sinodontis yang diberi
perlakuan perendaman cabe jawa dosis 0.0625 mgL-1, 0.125 mgL-1, serta hormon
17α-metiltestosteron dengan suhu pemeliharaan yang berbeda (normal dan 32⁰C)
dalam periode pemeliharaan 4 bulan.
Jantan Betina Interseks
100.00
a
Nisbah Jenis Kelamin (%)
80.00 ab b
ab
ab
b b
60.00 b
b b
b
ab ab b
40.00 ab
20.00 a a
a a a a a a a
0.00
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Gambar 3 Nisbah ikan jantan, betina, dan interseks S. eupterus umur empat bulan yang
diberi perlakuan ekstrak Cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. Ket: Huruf yg berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan
pada jenis kelamin yg sama. Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32
⁰C (C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-
1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak
(C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).
ab ab b ab
80.00 ab ab
b
60.00 b b
40.00 ab
ab ab ab
ab
20.00 a
0.00
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Gambar 4 Nisbah ikan jantan, betina, dan interseks S. eupterus umur lima bulan yang
diberi perlakuan ekstrak Cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. Ket: Huruf yg berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan
pada jenis kelamin yg sama. Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32
⁰C (C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-
1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak
(C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).
Pengamatan gonad ikan S. eupterus umur empat dan lima bulan dilakukan
dengan metode pewarnaan asetokarmin. Gonad ikan diamati dengan mikroskop.
Pengamatan dilakukan pada 30 ekor ikan setiap ulangan (Gambar 5).
100 µm A 100 µm B
A B
100 µm C
C
Gambar 5 Pengamatan gonad ikan sinodontis umur empat bulan. Pada A. individu jantan
terlihat sel sperma, B. individu betina terlihat sel telur, C. individu interseks
terlihat sel sperma dan sel telur. Pewarnaan dengan metode Asetokarmin.
100 µm 100 µm
100 µm
tingkat kelangsungan hidup yang paling rendah yakni sebesar 93.30 ± 1.54%,
berbeda signifikan (P<0.05) dibanding perlakuan lainnya.
TKH H+7 Perendaman TKH H+130 Perendaman
a a a a a a a
a a
100.00 a
Tingkat Kelangsungan Hidup
ab ab
95.00 ab b
ab
90.00 b
(%)
85.00
80.00
75.00
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Gambar 7 Tingkat kelangsungan hidup ikan sinodontis perlakuan ekstrak cabe Jawa
(Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman. Ket: Huruf yang
berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan pada waktu pengambilan
sampel yang sama. Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32 ⁰C
(C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak
(C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).
Sementara itu pada perlakuan MT, nilai TKH perendaman suhu 32⁰C
(MTT1) lebih kecil dibanding MTT0 dan nilainya berbeda nyata (P<0.05).
Demikian juga kelangsungan hidup ikan S. eupterus setelah empat bulan
pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman MT dalam suhu 32⁰C
adalah yang terendah yaitu sebesar 86.16 ± 0.77%, namun nilainya tidak berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol C0T0.
Pertumbuhan Ikan
Grafik pertambahan bobot dan panjang tubuh ikan sinodontis selama
pemeliharaan ditunjukkan dalam grafik garis pada Gambar 8 dan Gambar 9.
3.00
2.50 C0T0
Bobot tubuh (g)
2.00 C0T1
C1T0
1.50
C1T1
1.00
C2T0
0.50 C2T1
0.00 MTT0
0 2 4 6 8 10 12 14 MTT1
Minggu Ke-
Bobot dan panjang tubuh ikan S. eupterus diamati setiap dua minggu sekali
selama 14 minggu. Berdasarkan Gambar 8, pada minggu ke-0 (umur 3–4 hari)
bobot awal larva rata-rata adalah 0.023 g dengan panjang rata-rata 0.8 cm. Pada
akhir pemeliharaan (5 bulan) tercatat bobot akhir rata-rata masing-masing
perlakuan adalah 4.84–5.86 g. Berdasarkan grafik pertambahan bobot maupun
panjang tubuh ikan sinodontis yang tertinggi terlihat pada perlakuan perendaman
MT dosis 2 mg L-1 dalam suhu normal (MTT0) dan yang terendah terlihat pada
perlakuan perendaman ekstrak cabe Jawa dosis 0.125 mg L-1 dalam suhu normal
(C2T0) namun hasil keduanya tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (P<0.05).
7.00
6.00 C0T0
Panjang tubuh (cm)
5.00 C0T1
4.00 C1T0
3.00 C1T1
2.00 C2T0
1.00 C2T1
0.00 MTT0
0 2 4 6 8 10 12 14 MTT1
Minggu ke-
Laju pertumbuhan harian (LPH) diukur saat ikan berumur dua minggu atau
empat hari setelah perendaman dan saat ikan berumur 14 minggu atau pada akhir
pemeliharaan. Grafik laju pertumbuhan harian disajikan dalam grafik pada
Gambar 10.
LPH minggu ke-2 LPH minggu ke-14
1.2 a a a a a a a a a a
a a a a a a
Laju Pertumbuhan
1
harian (%)
0.8
0.6
0.4
0.2
0
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Perlakuan
Gambar 10 Laju pertumbuhan harian tubuh ikan sinodontis pada minggu ke-2 dan
minggu ke-14 setelah setelah perlakuan maskulinisasi dengan ekstrak Cabe
Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman.
20
Pembahasan
Persentase ikan jantan umur 4 bulan dan 5 bulan pada perlakuan ekstrak
cabe jawa (dosis 0.125 dan 0.0625 mgL-1) lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol sehingga dapat dinyatakan bahwa pemberian ekstrak cabe jawa yang
diberikan memengaruhi sistem hormonal dalam tubuh ikan sinodontis. Pada
pemeliharaan suhu ruang, pemberian ekstrak cabe jawa dosis C2 mampu
menghasilkan persentase ikan jantan lebih besar dibanding dosis C1 serta MT.
Meningkatnya jumlah ikan jantan dalam penelitian ini diduga akibat adanya
senyawa β-sitosterol dalam ekstrak cabe jawa. Senyawa β-sitosterol merupakan
kelompok fitosterol (bentuk steroid dalam tumbuhan) yang berstruktur mirip
kolesterol yang dapat digunakan sebagai prekursor hormon steroid. Fitosterol
dapat diikat baik oleh reseptor androgen maupun estrogen pada hewan (Tremblay
and Kraak 1998). Selain fitosterol, buah cabe jawa juga memiliki kandungan
alkaloid utama berupa piperin. Dada & Ogunduyile (2011) menyatakan bahwa
alkaloid dapat menstimulasi sekresi hormon testosteron serta memastikan
ketersediaannya tetap tercukupi di gonad. Sebuah studi pada tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan yang diberi cabe jawa dosis 42 mg/200g menunjukkan
peningkatan kadar hormon testosteron sebesar 49.59% (Rahmawati dan Ikayanti
2011). Hasil uji kandungan bahan aktif menunjukkan bahwa ekstrak etanol 95%
cabe Jawa yang digunakan dalam penelitian ini mengandung bahan aktif piperin
sebesar 21.53% dan sitosterol sebesar 0.27%. Kandungan alkaloid, ditambah
beberapa turunan saponin dan senyawa lain dalam cabe jawa juga diduga
berkhasiat sebagai afrodisiaka untuk penguat tubuh serta memperlancar peredaran
darah sehingga meningkatkan efek androgenik terhadap tubuh. Berdasarkan
pemeriksaan gonad ikan umur empat bulan, hasil terbaik perlakuan cabe Jawa
ditunjukkan oleh perlakuan dosis C1 dan C2 suhu ruang dengan nisbah jantan
sebesar 43.75% dan 54.13% atau masing-masing tiga dan enam kali lipat lebih
besar dibanding kontrol serta hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan
metiltestosteron. Sedangkan pada umur 5 bulan terjadi penurunan nisbah kelamin
jantan dan hanya perlakuan C2 suhu ruang yang masih menunjukkan kestabilan
dengan menghasilkan nisbah jantan terbanyak. Afinitas sel-sel gonad terhadap
bahan alami yang berasal dari tanaman tidak sekuat terhadap bahan yang berasal
dari bahan kimia sehingga bahan alami yang berasal dari ekstrak tanaman
membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan efek yang signifikan
sehingga hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa maskulinisasi dengan
metiltestosteron masih menunjukkan hasil terbaik dibanding ekstrak cabe jawa.
Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan suhu
pemeliharaan mampu meningkatkan efektifitas metode sex reversal terutama
dalam rangka meningkatkan persentasi ikan jantan yang dihasilkan. Peningkatan
21
bahwa gonad interseksual yang ditemukan pada penelitian ini diakibatkan adanya
pengaruh perlakuan maskulinisasi pada gonad ikan betina genotip.
Beberapa ikan golongan gonochoristic mengalami periode dimana semua
gonadnya bermula dari interseksual kemudian terdiferensiasi menjadi testis atau
ovari (Lee et al. 2009). Pada Japanese pufferfish (Takifugu rubripes) ditemukan
sel-sel germinal ovari maupun testis dalam gonadnya yang mengindikasikan
interseksual. Pada kondisi gonad yang interseks ini ikan masih dalam kondisi labil,
dimana jenis kelamin ikan masih dapat berubah menjadi jantan atau betina.
Berdasarkan penelitian Uchida et al. (2002) pada ikan zebra Danio rerio semua
gonad ikan bermula berkembang menjadi jaringan mirip ovari. Selanjutnya pada
fase diploten awal oosit mulai mengalami apoptosis yang kemudian disertai
proses diferensiasi dan perkembangan spermatogonia, spermatosit, dan spermatid.
Hilangnya oosit karena apoptosis pada fase diploten awal oosit kemungkinan
menstimulasi pembentukan jaringan testis pada ikan zebra. Pada mamalia,
hilangnya oosit dapat disebabkan oleh kematian sel-sel germinal atau secara tidak
langsung melalui atresia folikel dan berhubungan dengan kondisi penuaan sistem
reproduksi secara normal maupun prematur (Tilly 1996).
Pengambilan data nilai tingkat kelangsungan hidup larva dalam penelitian
ini dilakukan sebanyak dua kali yakni di awal (selama 7 hari setelah perendaman)
dan akhir pemeliharaan. Nilai TKH awal termasuk tinggi dan hampir mendekati
100% pada semua perlakuan ekstrak cabe jawa baik dengan perlakuan suhu
maupun tidak, sehingga dapat dikatakan bahwa dosis yang digunakan yakni
0.0625 mg L-1 dan 0.125 mg L-1 masih aman. Hasil ini didukung oleh penelitian
sebelumnya oleh Wijaya (2017) yang menyebutkan bahwa ekstrak cabe Jawa
0.125 mg L-1 merupakan dosis terbaik dan menghasilkan kelangsungan hidup
97.67%, sedangkan peningkatan dosis justru dapat menurunkan kelangsungan
hidup ikan sinodontis. Perlakuan suhu tinggi 32⁰C yang digunakan dalam
penelitian ini terbukti masih aman karena tidak menurunkan secara signifikan
tingkat kelangsungan hidup ikan semua perlakuan kecuali pada perlakuan MTT1.
Penurunan signifikan TKH pada MTT1 kemungkinan lebih disebabkan oleh
interaksi antara MT dengan suhu air. Perendaman MT dalam suhu air 32⁰C
ternyata memberikan efek negatif terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan. 17α-
metiltestosteron (MT) adalah hormon sintetis yang secara luas digunakan untuk
menginduksi seks reversal dalam rangka memproduksi populasi jantan monoseks
dan dikenal sangat efektif. Meskipun demikian MT sebenarnya merupakan salah
satu zat kimia pengganggu sistem endokrin yang dapat mempengaruhi fungsi
normal hormon sehingga terjadi abnormalitas. Contoh abnormalitas akibat
paparan MT adalah peningkatan konsentrasi vitelogenin dan pembentukan gonad
interseks pada ikan jantan (Zerulla et al. 2002). Berdasarkan Gambar 2,
perendaman MT menyebabkan nilai TKH yang paling rendah dibanding
perlakuan lainnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosis MT yang diberikan
terlalu besar untuk jenis ikan sinodontis sehingga berpotensi bersifat toksik.
Sebuah studi tentang efek MT pada organisme akuatik oleh Rivero-Wendt et al.
(2013) menyatakan bahwa paparan MT dengan konsentrasi 0.01 mg L-1
mempunyai potensi menyebabkan efek genotoksisitas atau kerusakan DNA pada
ikan nila Oreochromis niloticus.
Ikan bersifat poikilotermal sehingga jika suhu pemeliharaan dinaikkan, suhu
tubuh ikan juga akan meningkat mengikuti lingkungan tempat hidupnya.
23
Perendaman dengan MT dalam suhu air yang lebih tinggi dibanding suhu normal
diharapkan mampu meningkatkan kinerja proses farmakokinetik MT dalam tubuh
ikan. Secara farmakokinetik, tubuh ikan akan merespon MT melalui 4 proses yaitu
absorbsi/penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Salah satu contohnya
pada kepiting lumpur Scylla serrata yang juga bersifat ektoterm proses
penyerapan serta distribusi obat antibiotik enrofloxacin yang diberikan secara oral
sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya, enrofloxacin diserap dan dieliminasi
lebih cepat pada suhu 26 ⁰C dibanding suhu 19 ⁰C (Fang et al. 2008). Berdasarkan
data nisbah kelamin jantan yang didapatkan, perlakuan perendaman MT yang
disertai suhu lebih tinggi (32⁰C) juga menghasilkan nisbah kelamin jantan yang
lebih besar jika dibandingkan dengan perendaman MT dalam suhu normal (25-
26⁰C). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu perendaman memang
meningkatkan penyerapan MT oleh tubuh ikan sehingga berefek positif terhadap
hasil nisbah kelamin jantan namun di sisi lain memiliki efek negatif pada tingkat
kelangsungan hidup ikan akibat dosis perendaman yang digunakan terlalu tinggi.
Hasil penelitian ini juga membuktikan kelebihan bahan alami dari ekstrak
tanaman yang cenderung lebih aman sehingga maskulinisasi menggunakan
ekstrak cabe jawa dapat dilakukan untuk menghasilkan individu jantan dengan
resiko kematian lebih rendah dibandingkan menggunakan bahan sintetik seperti
metiltestosteron.
Pertumbuhan benih selama proses perubahan kelamin pada penelitian kali
ini dapat diketahui dari nilai laju pertumbuhan harian (LPH). Nilai LPH secara
keseluruhan tidak berbeda signifikan secara statistik untuk delapan perlakuan baik
nilai LPH pasca perendaman (minggu ke-2) maupun di akhir pemeliharaan
(minggu ke-14). Pertumbuhan juga dapat dinyatakan dengan pertambahan ukuran
panjang maupun bobot. Ekstrak cabe Jawa dan MT memiliki sifat anabolik yang
dapat merangsang pertumbuhan melalui biosintesis protein. Meskipun demikian
berdasarkan uji statistik pertambahan bobot dan panjang tubuh pada masing-
masing perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Namun jika dilihat
berdasarkan grafik (Gambar 8 dan 9) perlakuan MT 2 mg L-1 dengan perendaman
pada suhu ruang menunjukkan pertambahan bobot maupun panjang tubuh ikan
sinodontis yang paling besar. Beberapa studi memang melaporkan adanya efek
anabolik dari 17-MT pada ikan jenis tilapia (Macintosh et al. 1985; Pandian &
Varadaraj 1987; McAndrew & Majumdar 1989). Tetapi besarnya respon anabolik
tersebut dapat berbeda pada spesies yang berbeda maupun antar spesies yang
sama. Beberapa hasil penelitian justru melaporkan bahwa dosis 17-MT yang
tinggi dapat menekan pertumbuhan. Sebagai contoh hasil studi oleh Pandian &
Varadaraj (1987) pada O. mossambicus, menunjukkan bahwa ikan muda yang
diberi dosis tinggi 40 ppm MT tumbuh lebih lambat dibanding perlakuan dosis
yang lebih rendah.
Meskipun kandungan piperin pada ekstrak cabe jawa diketahui memiliki
efek anabolik namun penelitinn ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak cabe
jawa tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ikan
sinodontis. Penelitian Elisdiana (2015) pada ikan patin Pangasius sp. juga
menyatakan bahwa pemberian ekstrak cabe Jawa melalui pakan dengan dosis 37.5
mg kg ikan-1 hari-1 dan 187.5 mg kg ikan-1 hari-1 selama delapan minggu
pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap metabolisme ikan dilihat dari bobot
tubuh ikan patin yang tidak berbeda pada semua perlakuan. Pertumbuhan benih
24
selama proses perubahan kelamin dapat ditentukan juga oleh padat penebaran,
pemberian pakan, suhu pemeliharaan dan kondisi lingkungan lainnya.
Kualitas air memegang peranan penting dalam kegiatan budidaya organisme
akuatik, sehingga pengawasan terhadap parameter kualitas air perlu dilakukan
oleh pembudidaya agar produktifitas yang baik dapat tercapai dalam usaha
budidaya. Nilai kualitas air untuk parameter suhu, pH, dan kelarutan oksigen
(DO) secara umum masih dalam kisaran normal. Nilai DO minimal tercatat
sebesar 3.0 mg L-1 dan lebih rendah dari kisaran normal. Nilai DO pada penelitian
ini cenderung lebih rendah dibandingkan kisaran normal diduga karena adanya
dekomposisi secara aerob bahan organik yakni berupa limbah hasil metabolisme
ikan. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa dekomposisi
bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut. Penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara nilai DO dengan suhu air
pemeliharaan, dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa nilai DO minimal air
pemeliharaan dalam suhu 32⁰C lebih rendah dibanding suhu ruang. Pemeliharaan
ikan pada suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan laju metabolisme, sehingga
kebutuhan ikan akan oksigen juga akan meningkat.
Pada tabel kualitas air terlihat bahwa kandungan amonia total di media
penelitian mempunyai kisaran 0.17 – 0.4 mg L-1 untuk pemeliharaan pada suhu
ruang dan 0.02 – 0.36 mg L-1 untuk suhu 32⁰C. Amonia yang ada di perairan
berasal dari sisa metabolisme ikan yang terlarut dalam air, feses, serta sisa pakan
ikan yang tidak termakan. Pada penelitian ini kandungan amonia pada masing-
masing perlakuan nilainya lebih besar dari kisaran umum pemeliharaan ikan
(Boyd 2001). Selain laju metabolisme ikan konsentrasi amonia yang meningkat
saat pemeliharaan diduga juga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi kadar oksigen
terlarut (Tabel 2). Jika dilihat dari nilai TKH ikan secara keseluruhan, kandungan
amonia yang lebih tinggi diduga tidak banyak berpengaruh terhadap mortalitas
ikan sinodontis. Hasil penelitian oleh Gustino (2011) juga menunjukkan bahwa
kandungan ammonia total di media penelitian kisaran 0.28 – 1.89 mg L-1 NH3-N
masih aman untuk pemeliharaan ikan sinodontis. Amonia dalam bentuk NH 4+
bersifat non toksik, sedangkan yang dalam bentuk tak terionisasi (NH 3) bersifat
toksik, jika pH air tinggi maka akan lebih banyak ditemukan amonia yang tidak
terionisasi dan sangat beracun bagi ikan (Widyastuti 2008). Nilai pH air yang
cenderung rendah selama pemeliharaan diduga juga berperan dalam mengurangi
toksisitas dari amonia terhadap ikan sinodontis.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
El-Fotoh EMA, Ayyat MS, El-Rahman GAA, Farag ME. 2014. Mono sex male
production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different water
temperature. Zagazig Journal of Agricultural Research. 41(1):1-8.
Elisdiana Y. 2015. Induksi perkembangan gonad ikan patin siam (Pangasianodon
hypopthalmus) jantan dengan pemberian ekstrak cabe jawa (Piper
retrofractum) melalui pakan. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fang WH, Hu LL, Yang XL, Hu K, Liang SC, Zhou S. 2008. Effect of
temperature on pharmacokinetics of enrofloxacin in mud crab, Scylla
serrata (Forsskal), following oral administration. Fish Diseases. 31:171–
176
Green BW, Teichert-Coddington DR. 2000. Human food safety and
environmental assessment of the use of 17a-methyltestosterone to produce
male tilapia in the United States. World Aquaculture Society. 31(3): 337-357.
Guerrero III RD, Shelton WL. 1974. An aceto-carmine squash method for sexing
juvenile fishes. The Progressive Fish-Culturist. 36(1): 56-56.
Gustino TR. 2011. Kinerja pertumbuhan ikan sinodontis Synodontis eupterus pada
media pemeliharaan bersalinitas [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hikmawan F. 2008. Embriogenesis ikan synodontis Synodontis eupterus [skripsi].
Bogor (ID):Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Jarosova B, Jakub J, Ondrej A, Klara H. 2015. Phytoestrogens and mycoestrogens
in surface waters – Their sources, occurrence, and potential contribution to
estrogenic activity. Environment International. 81: 26-44.
Khater EG, Ali SA, Mohamed WE. 2017. Effect of water temperature on
masculinization and growth of nile tilapia fish. Aquaculture Research
Development. 8: 1-5.
Kitano T, Takamune K, Kobayashi T, Nagahama Y, Abe S. 1999. Suppression of
P450 aromatase gene expression in sex-reversed males produced by rearing
genetically female larvae at a high water temperature during a period of sex
differentiation in the Japanese flounder (Paralichthys olivaceus). Molecular
Endocrinology. 23:167–176.
Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 2000. Aromatase inhibitor and 17α-
methyltestosterone cause sex-reversal from genetical females to phenotypic
males and suppression of P450 aromatase gene expression in japanese
flounder (Paralichthys olivaceus). Molecular Reproduction and
Development. 56: 1-5
Lee KH, Yamaguchi A, Rashid H, Kadomura K, Yasumoto S, Matsuyama M.
2009. Estradiol-17β treatment induces intersexual gonadal development in
the pufferfish Takifugu rubripes. Zoological Science. 26: 639-645.
Macintosh DJ, Varghese TJ. and Rao GPS. 1985. Hormonal sex reversal of
wildspawned tilapia in India. Fish Biology. 26: 44-52.
Matty AJ. 1985. Fish Endocrinology. Oregon (USA): Croom Helm.
Moeloek N, Lestari SW, Yurnadi, Wahjoedi B. 2010. Uji klinik ekstrak cabe jawa
Piper Retrofractum sebagai fitofarmaka androgenik pada laki-laki
hipogonad. Majalah Kedokteran Indonesia. 60:255-262.
Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2006. Biokimia Harper. Jakarta(ID):
EGC.
27
LAMPIRAN
32
Pemotongan Jaringan
Blok parafin
Pewarnaan Jaringan
Preparat jaringan
Keterangan : (Sg) spermatogonium; (Sc) spermatosit; (L) sel Leydig; (N) nukleus; (PN)
perinucleolar oocytes; (PVO) previtelogenic oocytes; (APO) atretic primary
oocytes.
35
Lampiran 3 Hasil pengukuran kandungan bahan aktif ekstrak cabe jawa Piper
retrofractum.
36
RIWAYAT HIDUP