Anda di halaman 1dari 50

MASKULINISASI IKAN SINODONTIS Synodontis eupterus PADA

STADIA LARVA MENGGUNAKAN EKSTRAK CABE JAWA


Piper retrofractum DAN PENINGKATAN SUHU

EUIS RAKHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Maskulinisasi Ikan


Sinodontis Synodontis eupterus pada Stadia Larva Menggunakan Ekstrak Cabe
Jawa Piper retrofractum dan Peningkatan Suhu adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2019

Euis Rakhmawati
NIM C151160221
RINGKASAN

EUIS RAKHMAWATI. Maskulinisasi Ikan Sinodontis Synodontis eupterus pada


Stadia Larva Menggunakan Ekstrak Cabe Jawa Piper retrofractum dan
Peningkatan Suhu. Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan
DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Ikan Synodontis eupterus adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang
berasal dari sungai Niger di benua Afrika. Ikan dewasa memiliki corak totol hitam
di tubuhnya serta memiliki kebiasaan berenang unik secara terbalik, sehingga
memiliki nilai ekonomis untuk dijual bahkan diekspor pada pasar perdagangan
ikan hias. Akan tetapi produksi ikan ini masih terkendala dengan persentase benih
ikan jantan yang dihasilkan dari proses pemijahan buatan jauh lebih sedikit
dibandingkan benih betina, hal ini menyebabkan ketersediaan ikan jantan menjadi
sedikit sehingga akan berefek terhadap kurangnya ketersediaan calon induk jantan
di kalangan pembudidaya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi
kendala ini adalah dengan teknik pembentukan kelamin jantan (maskulinisasi).
Hormon yang umumnya digunakan untuk maskulinisasi adalah hormon 17α-
metiltestosteron (MT) (Zairin 2002). Namun, penggunaan hormon MT diduga
dapat menyebabkan adanya residu yang berpotensi larut dalam limbah air
budidaya dan mempengaruhi diferensiasi kelamin ikan-ikan non-target di
sekitarnya (Green dan Teichert-Coddington 2000).
Penggunaan hormon alami berbahan dasar tumbuhan dapat digunakan untuk
maskulinisasi telah banyak diteliti. Cabe Jawa Piper retrofractum merupakan
tanaman yang banyak digunakan oleh industri obat tradisional di Indonesia (Usia
2012). Buah cabe Jawa mengandung senyawa kimia turunan steroid, saponin,
alkaloid dan tanin yang dapat berperan sebagai afrodisiak yaitu memberi efek
androgenik dan anabolik (Moeloek et al. 2010). Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak cabe Jawa (ECJ) pada stadia larva
melalui perendaman terhadap maskulinisasi ikan sinodontis. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap dengan 8 perlakuan terdiri dari perlakuan
ekstrak cabe Jawa dosis 0.0625 mg L-1 dan 0.125 mg L-1, kontrol negatif (tanpa
ekstrak dan 17α-metiltestosteron) serta kontrol positif (2 mg L-1 17α-
metiltestosteron). Tiap perlakuan terdiri dari dua perlakuan suhu (normal dan
32ᴼC). Ikan yang digunakan adalah larva ikan S. eupterus berumur 10 hari setelah
menetas dengan berat rata-rata 0.023 gr ekor-1, masing-masing ulangan perlakuan
sebanyak 150 ekor. Kemudian untuk perlakuan suhu, air media pemeliharaan
larva diupayakan bersuhu 32ºC, hal ini dilakukan sampai hari ke-40 pemeliharaan
sesuai dengan pendekatan waktu diferensiasi kelamin pada ikan jenis catfish
(Raghuveer et al. 2011). Pemanas (heater) digunakan untuk menjaga suhu air agar
tetap konstan.
Perendaman dilakukan selama lima jam, kemudian larva dipindahkan ke
dalam akuarium pemeliharan berukuran 29 x 30 x 30 cm dan diberi pakan naupli
artemia sehari empat kali pada pukul 04.00, 11.00, 17.00, dan 22.00 WIB secara
at satiation selama satu minggu. Selanjutnya diberikan pakan cacing sutra secara
ad libitum sampai minggu ke lima, dan dilanjutkan dengan pemberian pakan
komersil berbentuk tepung sampai minggu ke-13. Ikan selanjutnya dipindahkan
ke akuarium yang berukuran 50 x 60 x 50 cm dan diberikan pakan komersil
berbentuk remah sampai berumur lima bulan. Pakan komersil diberikan sehari tiga
kali pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB secara at satiation. Selama
pemeliharaan dilakukan penyiponan dan pergantian air sebanyak 10% per hari dan
30% setiap seminggu sekali. Sampling bobot dan panjang tubuh dilakukan setiap
dua minggu selama 14 minggu, sementara data tingkat kelangsungan hidup
(TKH) diambil pada hari ke-7 pasca perendaman dan akhir pemeliharaan.
Pemeriksaan jenis kelamin ikan dilakukan setelah ikan berumur empat dan
lima bulan dengan mengambil sampel gonad ikan dari masing-masing ulangan
perlakuan sebanyak 30% populasi. Ikan dibedah dan diambil gonadnya untuk
diperiksa dengan metode pewarnaan asetokarmin (Guerrero & Shelton 1974), dan
untuk pembuatan preparat histologi. Hasil pemeriksaan gonad ikan umur empat
bulan menunjukkan bahwa pemeliharaan suhu ruang pemberian ekstrak cabe jawa
dosis C2 (0.125 mgL-1) terbukti mampu menghasilkan persentase ikan jantan
sebanyak 54.13±13.61% berbeda nyata terhadap kontrol (C0T0) (P<0.05). Pada
hasil pemeriksaan gonad ikan umur lima bulan tidak ditemukan keberadaan ikan
interseks, dan perlakuan perendaman dengan ekstrak cabe jawa terbaik tetap
dihasilkan oleh ekstrak dosis 0.125 mg L-1 dengan menghasilkan persentase ikan
jantan sebesar 37.78±18.49% dan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
(P<0.05).
Data TKH pada 7 hari setelah perendaman menunjukkan bahwa
perendaman larva menggunakan hormon 17α-metiltestosteron dalam suhu 32 ⁰C
(MTT1) menghasilkan nilai persentase tingkat kelangsungan hidup yang paling
rendah yakni sebesar 93.30 ± 1.54%, berbeda signifikan (P<0.05) dibanding
perlakuan lainnya. Demikian juga kelangsungan hidup ikan S. eupterus setelah
empat bulan pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman MT dalam
suhu 32⁰C adalah yang terendah yaitu sebesar 86.16 ± 0.77%, namun nilainya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan perlakuan kontrol C0T0. Nilai laju
pertumbuhan harian rata-rata antar perlakuan pada minggu ke-2 serta minggu ke-
14 dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) baik pada perlakuan dengan
perendaman ekstrak cabe jawa maupun kontrol positif dan negatif. Sebagai
kesimpulan, maskulinisasi ikan sinodontis pada stadia larva menggunakan ekstrak
cabe Jawa melalui perendaman selama 5 jam dengan dosis 0.125 mg L-1 pada suhu
normal dapat meningkatkan persentase ikan jantan secara konsisten pada umur 4
dan 5 bulan sebesar 4 kali lipat dibandingkan kontrol. Pemberian perlakuan suhu
sebesar 32 ⁰C dapat meningkatkan kematian pada perlakuan perendaman 17α-
metilestosteron.

Kata kunci: ekstrak cabe Jawa, maskulinisasi, perendaman, Synodontis sp.


SUMMARY

EUIS RAKHMAWATI. Masculinization of Featherfin Squeaker Synodontis


eupterus Larvae Using Javanese Long Pepper Extract Piper retrofractum and
Increased Rearing Temperature. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR
and DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Synodontis eupterus is one of the freshwater ornamental fish originating


from the Niger River in Africa. Adult fish have black spots on their bodies and
upside-down unique swimming habits, so it has been giving them economic value
for sale and even exported for ornamental fish market. However, this fish
production is still constrained by the percentage of male fish seeds produced from
the artificial spawning process is much smaller than female, it causes the lack
availability of male fish and finally have an effect on the availability of male
prospective broodstocks among farmers. A method used to overcome the
mentioned constraint is male sex formation technique (masculinization).Hormone
that is generally used for masculinization is 17α-metiltestosteron (MT) (Zairin
2002). Using MT hormone have potential to dissolve in aquaculture wastewater
as residue and affect the sex differentiation of nearby non-target fish (Green dan
Teichert-Coddington 2000).
The use of plant-based natural hormones for masculinization has been
widely studied. Javanese long pepper (Piper retrofractum) is referred to as a plant
that is being widely used in Indonesian traditional medicine (Usia 2012). Javanese
long pepper contains chemical compounds derived from steroids, saponins,
alkaloids and tannins which act as aphrodisiacs that are androgenic and anabolic
(Moeloek et al. 2010). This research aimed to evaluate the optimum dose of Java
long peper extract (JLP) combined with increased rearing temperature on
synodontis masculinization through larvae immersion. A completely randomized
design with 8 treatments consisting of JLP extract treatment of 0.0625 mg L -1 and
0.125 mg L-1, negative control (without extract and 17α-methyltestosterone) and
positive control (2 mg L-1 17α-methyltestosterone). Each of them consisted of two
different temperature treatments (normal temperature and 32 ᴼC). Synodontis
larvae, at the age of 10 days post hatching and at average body weight of 0.023 gr
fish-1 respectively, and each replicate consist of 150 fish. Then for the temperature
treatment, maintenance water for rearing is attempted to be 32 ºC until the 40th
day in accordance with the approach of sex differentiation in catfish species
(Raghuveer et al. 2011). Heater is used to keep the water temperature constant.
After immersion treatment for 5 hours, larvae were transferred into rearing
aquariums (29 x 30 x 30cm) and fed on naupli artemia (at satiation) four times a
day i.e. 04.00 a.m., 11.00 a.m., 5.00 p.m. and 10.00 p.m. After a week, larvae
were then fed on sewage worms (ad libitum) till the fifth week of the experiment,
after which the fish were fed on commercial powder-form feed . Commercial
feed was provided three times a day, at 6.00 a.m., 12.00 a.m., and 6.00 p.m. (at
satiation). After the 13th week, fish were transferred into larger aquarium (50 x 60
x 50 cm) and fed on crumble-form feed. During the research, water exchange was
performed 10% daily and 30% weekly. Sampling of body weight and length was
carried out every two weeks for 14 weeks, while survival data was taken on the 7 th
day after immersion and at the end of rearing period.
Examination of fish sex was carried out after fish were four and five months
old by taking samples of fish gonads from each replication by 30% of the
population. The fish was dissected and gonads were taken for examination using
the acetocarmin staining method (Guerrero & Shelton 1974) and histology
preparation. The examination results of gonad at fish four months of age showed
that giving Javanese chili extract dose C2 (0.125 mg L-1) in normal rearing
temperature could produce highest percentage of male fish of 54.13±13.61% and
significantly different from control (C0T0) (P <0.05). Examination of five months
old fish gonads showed that no intersex fish were found, and the best result was
still performed by dose of 0.125 mg L-1 JLP extract, producing 37.78±18.49%
male fish, higher than control (P <0.05).
Survival rate data until the 7th day after immersion showed that immersion
treatment using 17α-methyltestosterone at 32⁰C (MTT1) on larvae produced the
lowest survival rate of 93.30 ± 1.54%, significantly different (P <0.05) compared
to other treatments. Likewise, the survival of S. eupterus after four months of
rearing showed that the immersion treatment of MT at 32⁰C was the lowest,
(86.16 ± 0.77%), but the value was not significantly different from control
(C0T0). The value of the specific growth rate between treatments at week 2 and
week 14 not significantly different (P> 0.05) both in the treatment with immersion
of Javanese chilli extract and controls. In conclusion, masculinization of
synodontis in larval stage using Piper retrofractum extract through immersion in
5 hours at a dose of 0.125 mg L-1 with normal temperature could increase the
percentage of male fish consistenly at the age of 4 and 5 months 4 times more
than the control. Giving a temperature treatment of 32 ⁰C on larvae could increase
mortality in the 17α-methylestosterone immersion treatment.

Keywords: immersion, long pepper extract, masculinization, Synodontis sp.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MASKULINISASI IKAN SINODONTIS Synodontis eupterus PADA
STADIA LARVA MENGGUNAKAN EKSTRAK CABE JAWA
Piper retrofractum DAN PENINGKATAN SUHU

EUIS RAKHMAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Yani Hadiroseyani, MM
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2017 ini ialah alih
jenis kelamin jantan (maskulinisasi), dengan judul Maskulinisasi Ikan Sinodontis
Synodontis eupterus pada Stadia Larva Menggunakan Ekstrak Cabe Jawa Piper
retrofractum dan Peningkatan Suhu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Muhammad Zairin
Junior MSc dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA selaku pembimbing yang
telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Yani
Hadiroseyani, MM selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Widanarni,
MSi sebagai ketua program studi Ilmu Akuakultur SPS IPB yang telah
memberikan saran dan masukan dalam ujian sidang tesis. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2019

Euis Rakhmawati
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Ikan Sinodontis 4
Biosintesis Testesteron 4
Diferensiasi Jenis Kelamin 5
Sex Reversal 6
Cabe Jawa Piper retrofractum 7
Induksi Suhu terhadap Maskulinisasi 7
3 METODE 9
Waktu dan Tempat 9
Prosedur Penelitian 10
Parameter Uji 12
Prosedur Analisis Data 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Hasil 15
Pembahasan 20
5 SIMPULAN DAN SARAN 24
Simpulan 24
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 31
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL

1 Rancangan percobaan penelitian 9


2 Kisaran kualitas air pemeliharaan larva S. eupterus 12

DAFTAR GAMBAR

1 Ikan Synodontis eupterus. 4


2 Biosintesis hormon steroid. 5
3 Nisbah ikan jantan, betina, dan interseks S. eupterus umur empat bulan
yang diberi perlakuan ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu
melalui perendaman. 15
4 Nisbah ikan jantan, betina, dan interseks S. eupterus umur lima bulan
yang diberi perlakuan ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu
melalui perendaman. 16
5 Pengamatan gonad ikan sinodontis umur empat bulan. 17
6 Histologi gonad ikan sinodontis Synodontis eupterus. 17
7 Tingkat kelangsungan hidup ikan sinodontis perlakuan ekstrak cabe
Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman. 18
8 Pertambahan bobot ikan sinodontis setelah perlakuan maskulinisasi
dengan ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. 18
9 Pertambahan panjang ikan sinodontis setelah perlakuan maskulinisasi
dengan ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. 19
10 Laju pertumbuhan harian tubuh ikan sinodontis pada minggu ke-2 dan
minggu ke-14 setelah setelah perlakuan maskulinisasi dengan ekstrak
Cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman. 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur pembuatan preparat histologi gonad. 32


2 Hasil pengamatan preparat histologi. 34
3 Hasil pengukuran kandungan bahan aktif ekstrak cabe Jawa. 35
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan Synodontis eupterus adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang
berasal dari sungai Nil di benua Afrika. Setiap tahun permintaan ikan ini terus
meningkat baik permintaan untuk pasar lokal maupun pasar ekspor. Ikan ini
dijuluki featherfin squeaker karena memiliki sirip dorsal yang panjang dan tegak
serta dapat mengeluarkan suara (Shinkafi and Daneji 2011). Ikan dewasa
memiliki corak totol hitam di tubuhnya serta memiliki kebiasaan berenang unik
secara terbalik, sehingga memiliki nilai ekonomis untuk dijual bahkan diekspor
pada pasar perdagangan ikan hias. Akan tetapi produksi ikan ini masih terkendala
dengan persentase benih ikan betina yang dihasilkan dari proses pemijahan buatan
jauh lebih besar dibandingkan benih jantan, hal ini menyebabkan ketersediaan
ikan jantan menjadi sedikit sehingga akan berefek terhadap kurangnya
ketersediaan calon induk jantan di kalangan pembudidaya. Kurangnya
ketersediaan induk jantan mengakibatkan kendala dalam kegiatan produksi benih
masal.
Penyelesaian dalam permasalahan produksi ikan jantan pada sinodontis
dapat didekati dengan penggunaan teknik alih kelamin (sex reversal). Teknologi
sex reversal adalah suatu teknologi yang mengarahkan perkembangan kelamin
menjadi jantan atau betina seluruhnya. Sex reversal dilakukan pada saat gonad
ikan belum terdiferensiasi menjadi jantan atau betina dan umumnya digunakan
untuk produksi ikan monoseks. Teknik alih kelamin menjadi jantan disebut
dengan maskulinisasi dan umumnya dilakukan dengan pemberian hormon steroid
17α-metiltestosteron (MT). Namun, penggunaan hormon MT diduga dapat
menyebabkan adanya residu yang bersifat karsinogenik pada manusia (Phelps et
al. 2000). Penggunaan MT juga berpotensi larut dalam limbah air budidaya dan
mempengaruhi diferensiasi kelamin ikan-ikan non-target di sekitarnya (Green dan
Teichert-Coddington 2000).
Penggunaan hormon alami berbahan dasar tumbuhan dapat digunakan untuk
maskulinisasi telah banyak diteliti. Hormon steroid yang dihasilkan oleh suatu
tumbuhan serta memiliki efek spesifik pada reproduksi organisme jantan dikenal
dengan istilah fitoandrogen. Maskulinisasi menggunakan fitoandrogen pernah
dilakukan antara lain melalui perendaman larva ikan nila dalam ekstrak
purwoceng Pimpinella alpine dosis 20 mg L-1 terbukti mampu meningkatkan
persentase ikan jantan sebanyak 73.3% (Putra 2011). Alternatif bahan lain yang
dapat digunakan adalah cabe jawa. Cabe jawa atau Piper retrofractum merupakan
salah satu tanaman yang mempunyai potensi sebagai afrodisiak. Cabe jawa
memiliki efek stimulan terhadap sel syaraf dan efek hormonal sebagai afrodisiak
karena mempunyai efek androgenik dan anabolik (Moeloek et al. 2010). Bagian
cabe Jawa yang dimanfaatkan sebagai afrodisiak adalah bagian buahnya.
Senyawa yang diduga berkhasiat sebagai afrodisiak adalah senyawa piperin dan β-
sitosterol (Usia 2012). Penelitian terkait penggunaan cabe Jawa sebagai afrodisiak
pada ikan telah dilakukan terhadap ikan patin siam stadia juvenil dan stadia calon
induk masing-masing diberikan ekstrak cabe jawa melalui pakan selama delapan
minggu terbukti dapat meningkatkan indeks kematangan gonad dan kadar
2

testosteron darah (Elisdiana 2015). Sedangkan penelitian oleh Wijaya (2017)


membuktikan bahwa maskulinisasi ikan sinodontis pada stadia larva
menggunakan ekstrak cabe Jawa melalui perendaman dengan dosis 0.125 mgL -
1
dan 0.25 mg L-1 dapat meningkatkan persentase ikan jantan dua kali lipat
dibandingkan dengan kontrol. Adanya efek androgenik yang dihasilkan dalam
cabe jawa diduga dapat digunakan untuk maskulinisasi pada ikan sinodontis.
Berdasarkan penelitian Wijaya (2017) perlakuan ekstrak cabe jawa baik
dengan dosis 0.125 mg L-1 dan 0.25 mg L-1 belum dapat menurunkan persentase
interseks pada pengamatan ikan sinodontis berumur lima bulan. Tingkat
kelangsungan hidup ikan pada perendaman 10 jam dengan dosis 0.25 mg L -1 juga
rendah diduga karena dosisnya terlalu tinggi. Maka pada penelitian kali ini akan
dipilih dosis yang lebih rendah yakni 0.125 mg L-1 dan lama perendaman 5 jam
namun dengan penambahan perlakuan yakni peningkatan suhu sebesar 32 ⁰C.
Keberhasilan induksi sex reversal dipengaruhi waktu perlakuan, durasi perlakuan,
serta jenis dan dosis hormon steroid yang diberikan (Nakamura et al. 1998).
Selain dengan hormon steroid, maskulinisasi dapat dilakukan dengan manipulasi
suhu lingkungan berupa peningkatan suhu, semakin tinggi suhu maka rasio
kelamin jantan akan semakin tinggi (Tessema et al. 2006). Suhu lingkungan
berperan dalam seks diferensiasi karena ikan sinodontis termasuk kelompok ikan
ordo siluriformes yang bersifat termosensitif (Barroiller et al. 1995). Jadi
penambahan perlakuan suhu dirasa perlu untuk meningkatkan performa perlakuan
sex reversal pada ikan sinodontis. El – Fotoh et al. (2014) juga melaporkan bahwa
perendaman larva nila umur 10 hari setelah fertilisasi selama 30 hari pada suhu
36 °C menghasilkan jantan sebesar 81%. Dengan demikian suhu dapat
dikombinasikan dengan hormon untuk memaksimalkan produksi monoseks jantan
dan meminimalkan penggunaan MT.

Perumusan Masalah

Ikan synodontis banyak diminati pasar sebagai salah satu komoditas ikan
hias. Bentuk tubuh yang unik serta tingkah laku saat berenang membuat ikan ini
sangat diminati oleh para pecinta ikan hias. Dalam teknologi budidayanya, ikan
synodontis sudah dapat dipijahkan sendiri secara buatan, namun permasalahan
yang muncul yaitu belum efisien dalam produksi karena terkendala ketersediaan
induk jantan. Jumlah populasi ikan jantan dari total populasi induk terbilang
sedikit, sehingga tidak dapat dilakukan produksi secara masal. Jenis kelamin ikan
ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Perubahan sifat kelamin ikan dapat
terjadi secara alami maupun rekayasa. Perubahan seks pada ikan dapat
dimanipulasi dengan pemberian hormon steroid. Hormon yang umum digunakan
untuk maskulinisasi adalah hormon 17α-metiltestosteron (MT), namun
penggunaannya telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di
ikan maupun perairan. Bahan alami dapat digunakan sebagai alternatif untuk
maskulinisasi. Salah satu bahan alami yang berasal dari tanaman dan bersifat
androgenik adalah tanaman cabe Jawa.
Cabe Jawa merupakan bahan fitofarmaka bersifat afrodisiak yang memiliki
efek androgenik. Ekstrak tanaman cabe jawa dapat meningkatkan kadar hormon
testosterone darah. Senyawa kimia yang terdapat pada buah cabe jawa yang
diduga memiliki efek androgenik adalah piperin dan sitosterol. Senyawa piperin
3

diduga dapat menambah sekresi hormon testosteron yang bermanfaat dalam


proses spermatogenesis. Sedangkan sitosterol merupakan senyawa kolesterol yang
dapat dikonversikan menjadi hormon steroid yang bermanfaat dalam
perkembangan gonad ikan jantan. Selain dengan hormon steroid, maskulinisasi
dapat dilakukan melalui peningkatan suhu lingkungan, semakin tinggi suhu maka
rasio kelamin jantan diharapkan akan semakin tinggi Perendaman larva dalam
ekstrak cabe jawa disertai peningkatan suhu diharapakan mampu mengarahkan
kelamin pada ikan sinodontis menjadi jantan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak


cabe Jawa dan peningkatan suhu air terhadap keberhasilan alih kelamin jantan
ikan sinodontis S. eupterus.

Manfaat Penelitian

Memberikan informasi bagi para pelaku budidaya dan peneliti dalam


melakukan maskulinisasi ikan sinodontis dengan menggunakan ekstrak cabe jawa
dan peningkatan suhu, untuk meningkatkan produksi ikan jantan.
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Sinodontis

Ikan sinodontis Synodontis eupterus merupakan ikan hias air tawar yang
berasal dari sungai Niger di Afrika. Ikan ini dijuluki featherfin squeaker karena
memiliki sirip dorsal yang besar dengan jari-jari sirip yang panjang dan tegak
serta dapat mengeluarkan suara (Shinkafi and Daneji 2011). Corak warna dan
kebiasaan berenangnya secara terbalik, membuat ikan ini juga sering disebut
dengan nama upside-down catfish, hal ini membuatnya terlihat unik sehingga
digemari dikalangan penggemar ikan hias. Ikan sinodontis merupakan jenis
catfish yang termasuk pada famili Mochokidae. Dalam pemeliharaannya ikan ini
dapat menerima pakan buatan pelet serta mencapai ukuran panjang 15 cm. Ikan
sinodontis memiliki kulit tebal serta mukus yang banyak untuk perlindungan,
selain itu ikan ini tergolong ikan demersal (Alderton 2008). Suhu optimal untuk
pemeliharaan ikan ini berkisar antara 22-26°C dengan pH 6.5-7.5 (Alderton 2008).

Gambar 1 Ikan Synodontis eupterus (Alderton 2008)

Ikan jantan dewasa memiliki papilla genital seperti jenis catfish pada
umumnya, sedangkan ikan betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar (Laleye
et al. 2006). Menurut Shinkafi dan Daneji (2011), rasio seks ikan sinodontis di
habitat alaminya adalah 1:1 dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Di habitat
aslinya ikan ini puncak musim pemijahan pada bulan Juli dan Agustus, hingga
berakhir di bulan Oktober (Shinkafi dan Daneji 2011). Fekunditas ikan sinodontis
rata-rata mencapai 8000 butir telur, dengan derajat pembuahan rata-rata 100%
dan derajat penetasan berkisar 58.10% (Hikmawan 2008). Sedangkan menurut
Pangreksa (2016) suhu optimal untuk mempercepat sinodontis menetas adalah 31-
320C, sedangkan suhu optimum untuk meningkatkan daya tetas telur sinodontis
adalah 25-26°C.

Biosintesis Testosteron

Gonad jantan atau testis memproduksi testosteron yang yang berasal dari
konversi kolesterol. Proses perubahan kolesterol menjadi pregnenolon terjadi
baik di gonad betina (ovarium) maupun jantan (testis). Pregnenolon kemudian
akan diubah secara berurutan menjadi menjadi progesteron, 17α-
hidroksiprogesteron, androstenedion, dan selanjutnya baru diubah menjadi
testesteron (Murray 2006). Selanjutnya dengan enzim P450 aromatase testesteron
diubah menjadi estradiol. Sintesis hormon steroid pada ikan secara umum hampir
sama dengan vertebrata lainnya namun dengan beberapa pengecualian.
Testosteron pada testis ikan dihidroksilasi pada karbon 11 oleh P450-11β
5

kemudian setelah dioksidasi oleh 11β- hidroksisteroid dehidrogenase (11β-HSD)


akan dikonversi menjadi 11-Ketotestosteron (11-KT) yang merupakan androgen
utama dan yang paling efektif pada ikan teleostei.

Gambar 2 Biosintesis hormon steroid (Nagahama dan Yamashita 2008)

Pada beberapa jenis ikan tertentu, hidroksilasi testosteron terjadi di luar


jaringan testis, contohnya pada jaringan hati. Proses konversi 17-
hidroksiprogesteron oleh 20β-HSD akan memproduksi 17α-20β dihydroksi-4-
pregnen-3-one (DHP) yang berperan sebagai Maturation Inducing Steroid (MIS)
pada ikan. Sedangkan MIS untuk beberapa spesies ikan air laut kelompok
perciformes adalah 17α,20β,21-trihidroksi-4-pregnen-3-one (21β-S) yang juga
diturunkan dari 17-hidroksiprogesteron (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

Diferensiasi Jenis Kelamin

Jenis kelamin pada vertebrata ditentukan oleh dua faktor yakni faktor
kromosom (genotypic sex determination ) dan faktor lingkungan (environmental
sex determination). Pada ikan dan reptil, determinasi seks tidak hanya ditentukan
oleh kromosom seks saja melainkan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
lingkungan (Nakamura 2010). Secara genetik jenis kelamin ikan ditentukan oleh
pasangan kromosom yang diturunkan oleh induknya dan telah terbentuk saat
pembuahan (Matty 1985). Namun secara fungsional jenis kelamin ikan ditentukan
oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan berlangsung. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan gonad diantaranya adalah
temperatur, pH, dan eksogenus steroid (Devlin dan Nagahama 2002).
Perkembangan jaringan gonad akan dimulai setelah sel bakal gonad (primordial
germ cell) mengalami diferensiasi menjadi testis atau ovarium. Proses diferensiasi
kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang
definitif (Silverin et al. 2000). Sebelum diferensiasi terjadi, ikan mengalami fase
labil karena sel bakal gonad masih belum terdiferensiasi menjadi oogonia atau
spermatogonia (Van Winkoop dan Timmermans 1992).
6

Diferensiasi kelamin dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan


enzim aromatase. Aromatase adalah enzim sitokrom P-450 yang mengkatalis
perubahan dari androgen menjadi estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas
pada daerah dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin,
reproduksi dan tingkah laku (Callard et al. 2001). Penghambatan enzim aromatase
bisa dikarenakan oleh faktor fisik, seperti suhu (Kitano et al. 2000, D’cottae et al.
2001), Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yakni larva
dengan aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis,
sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya
ovari (Sever et al. 1999). Transkripsi gen aromatase (cyp19a1), yakni suatu enzim
yang bertanggung jawab dalam konversi testosteron menjadi estradiol-17β pada
ikan jenis catfish (Clarias gariepinus), terdeteksi dalam gonad ikan pada 50 hari
setelah menetas. Ekspresi gen 11β- hidroksilase (Cyp11b1), enzim yang
bertanggung jawab untuk produksi 11β- hidoksitestosteron dari testosteron mulai
ditemukan dalam gonad pada 50 hari setelah menetas (Raghuveer et al. 2011).
Berdasarkan pemeriksaan histologi pada gonad, perkembangan morfologi awal
dari gonad yang terdiferensiasi adalah pada hari ke-45 sampai hari ke-50 setelah
menetas, sehingga sebelum itu ikan tergolong masih berada pada fase labil dalam
perkembangan gonadnya. Fase labil pada ikan memungkinkan untuk dilakukan
rekayasa diferensiasi kelamin. Jika larva diintervensi dengan bahan-bahan seperti
hormon androgen atau estrogen selama fase labil tersebut, maka perkembangan
gonad dapat berlangsung secara berlawanan dengan yang seharusnya (Park et al.
2004). Ikan teleostei merupakan model yang bagus dalam mempelajari
determinasi dan diferensiasi seksual dari sudut pandang evolusi. Hal ini
disebabkan oleh adanya jangkauan yang luas pada sexual plasticity yang
mencakup kondisi hermaprodit dan gonokoris serta dari determinasi seks
berdasarkan genetik menjadi determinasi seks yang dipengaruhi oleh lingkungan
(Devlin and Nagahama 2002).

Sex Reversal

Sex reversal adalah suatu teknologi yang mengarahkan perkembangan


kelamin menjadi betina atau jantan. Cara ini dilakukan pada waktu gonad ikan
belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina, sehingga tidak
mengubah genotipenya. Peralihan kelamin secara alami disebabkan oleh faktor
lingkungan yang tidak mempengaruhi perubahan susunan genetis tetapi hanya
merubah ikan betina genotip menjadi ikan jantan secara fenotipe atau sebaliknya
(Zairin 2002). Pengarahan kelamin (sex reversal) dapat dilakukan melalui
beberapa cara diantaranya melalui perendaman, penyuntikan, serta melalui pakan
(oral). Sebagian besar ikan rasio jenis kelamin sangat dipengaruhi oleh suhu
(Baroiller and D’Cotta 2001). Pada ikan medaka O. latipes, suhu air yang lebih
tinggi mampu mengalihkan jenis kelamin betina XX menjadi jantan dengan telur
direndam dalam air bersuhu 32⁰C selama fase perkembangan embrionik (Sato et
al. 2005). Saat jantan XX tersebut dikawinkan dengan betina normal, semua telur
yang terbuahi dapat berkembang dan menetas, sehingga dapat disimpulkan bahwa
jantan XX yang dihasilkan tetap fertil saat tumbuh dewasa (Sato et al. 2005).
7

Hormon steroid merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi


diferensiasi gonad pada ikan (Nakamura 2010). Pembentukan jaringan gonad ikan
dapat diinterfensi sesuai dengan yang diinginkan dari jenis kelamin yang
seharusnya dengan bahan-bahan tertentu seperti hormon (Zairin 2003). Hormon
tersebut akan merangsang fenomena reproduksi ikan yaitu merangsang
diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan
tingkah laku seksual (Tremblay dan Van Der Kraak, 1998; Zairin 2003). Alih
kelamin betina ke jantan atau maskulinisasi dapat diinduksi dengan penggunaan
17α-metiltestosteron pada Japanese flounder P. olivaceus (Kitano et al. 2000).
Sedangkan 17α-metiltestesteron (MT) juga terbukti dapat digunakan untuk
menjantankan seluruh ikan nila (Zairin 2003). Penggunaan hormon MT untuk
produksi ikan saat ini telah dibatasi akibat kekhawatiran adanya efek negatif
residu hormon (Pandian dan Kirankumar 2003).
Hormon-hormon alami yang berasal dari hewan maupun tumbuhan juga
dapat digunakan untuk maskulinisasi seperti penggunakan testis sapi yang
mengandung hormon testesteron pada larva ikan nila dapat menghasilkan 87%
ikan jantan (Muslim 2010). Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa
perendaman larva ikan nila dalam ekstrak purwoceng Pimpinella alpine yang
mengandung fitoandrogen dosis 20 mg L-1 pada larva ikan nila terbukti mampu
meningkatkan persentase ikan jantan sebanyak 73.3% (Putra 2011). Penelitian
lainnya menunjukkan bahwa fitosterol yang ditemukan dalam kayu dan minyak
tanaman secara struktur mirip dengan androgen maupun esterogen sehingga
mampu berikatan dengan reseptor esterogen/ androgen dan mempengaruhi enzim-
enzim steroidogenik (Orrego et al. 2010).

Cabe Jawa Piper retrofractum

Cabe jawa merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak terdapat di Jawa,
Madura dan Sumatera Selatan. Tumbuh di tempat-tempat yang tanahnya tidak
lembap dan berpasir seperti di dekat pantai, daerah datar sampai 600 meter di atas
permukaan laut (dpl). Bagian utama tanaman yang digunakan adalah buahnya,
namun terkadang ada yang menggunakan daun atau akarnya (Nuraini 2003). Cabe
jawa merupakan salah satu tanaman yang diketahui memiliki efek stimulan
terhadap sel-sel syaraf dan efek hormonal sebagai afrodisiaka yaitu efek
androgenik, anabolik, dan antivirus (Moeloek et al. 2010). Senyawa kimia yang
terkandung dalam cabe jawa antara lain asam amino bebas, damar, minyak atsiri
(terpenoid), n-oktanol, linalool, terpinil asetat, sitronelil asetat, sitral, saponin,
polifenol, resin (kavisin), dan β-sitosterol (Nuraini 2003) dan beberapa jenis
alkaloid seperti piperin, piperidin, piperatin, piperlonguminin, sylvatin, guineensin,
piperlongumin, filfilin, sitosterol, methyl piperat serta retrofractamide-A,
retrofractamide-B (pipericide), retrofractamide-C (Banerji et al. 1985) dan
retrofractamide-D (Banerji et al. 2002).
Secara umum kandungan kimia atau senyawa kimia yang berperan sebagai
afrodisiaka adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa lain
yang dapat melancarkan peredaran darah. Bagian dari cabe jawa yang
dimanfaatkan sebagai afrodisiaka yaitu bagian buahnya dan diduga senyawa aktif
yang berkhasiat afrodisiaka di dalam buahnya adalah senyawa piperine (Moeloek
et al. 2010). Berbagai hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa ekstrak
8

cabe jawa (Piper retrofractum), mempunyai efek androgenik dan meningkatkan


kadar hormon testosterone pada tikus percobaan serta sudah diketahui
karakterisasinya baik sebagai simplisia maupun ekstrak etanol 95% serta cukup
aman (Mutiara et al. 2013). Selain piperin, di dalam cabe jawa terkandung
senyawa β-sitosterol (termasuk senyawa sterol). Senyawa β-sitosterol merupakan
kelompok sterol (bentuk steroid dalam tumbuhan) yang berstruktur mirip
kolesterol dan dapat diubah menjadi pregnenolon (Winarni 2007). Senyawa
sitosterol telah teruji mampu meningkatkan aktivitas pembuatan bubble nest pada
ikan cupang jantan dewasa (Jarosova et al. 2015).

Induksi Suhu terhadap Maskulinisasi

Suhu diduga berpengaruh dalam proses diferensiasi kelamin karena sifat


ikan yang termosensitif. Maskulinisasi dapat dilakukan dengan manipulasi suhu
lingkungan berupa peningkatan suhu. Beberapa studi menunjukkan bahwa
peningkatan suhu pemeliharaan mampu meningkatkan efektifitas metode sex reversal
terutama dalam rangka meningkatkan persentasi ikan jantan yang dihasilkan.
Peningkatan suhu akan berpengaruh langsung terhadap sitokrom aromatase P450
yang berperan dalam proses konversi androgen ke estrogen. Suhu air yang lebih
tinggi dapat menekan aktivitas P450 aromatase sehingga mengurangi sintesis
hormon estradiol-17β. Pada gonad yang sedang berkembang, mRNA P450
aromatase harus digunakan sebagai template dalam proses biosintesis P450
aromatase. Kemungkinan proses penghambatan aktivitas aromatase oleh bahan-
bahan inhibitor akan menyebabkan terhambatnya biosintesis estrogen di gonad.
Suhu juga mempengaruhi pembentukan aromatase dari ikan jantan genotip dengan
menurunkan ekspresi gen aromatase yang terbentuk selama perkembangan
selanjutnya (D’cottae et al. 2001). Tilapia merupakan contoh jenis ikan yang rasio
jenis kelaminnya sangat dipengaruhi oleh suhu. Ekspresi Dmrt1 pada ikan nila
menunjukkan percepatan dalam pola regulasi selama periode kritis diferensiasi
seksual dalam suhu tinggi pada populasi jantan genotip (XY) maupun jantan
fungsional ( XY) (Baroiller et al. 2009). Studi pada ikan Japanese flounder
(Paralichthys olivaceus) menunjukkan bahwa terjadi penurunan ekspresi
aromatase saat diferensiasi kelamin melalui perlakuan maskulinisasi dengan suhu
tinggi (Kitano et al. 1999).
9

3 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 - September 2018
di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ikan Departemen Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan
ekstrak cabe Jawa dilakukan di Laboratorium Penguji Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balittro), Bogor. Analisis gonad dengan metode asetokarmin
dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik.
Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan
sedangkan pengukuran kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Materi Uji

Ikan uji berupa ikan sinodontis stadia larva dipelihara sampai berumur 10
hari hingga mencapai berat ±0.023 gr. Total larva ikan yang dibutuhkan adalah
150 ekor/unit percobaan dengan kepadatan 9 ekor/liter. Untuk perlakuan
dibutuhkan ekstrak cabe Jawa (ECJ) 0.0625 mg L-1 (C1) dan 0.125 mg L-1 (C2)
dan 17α-metiltestosteron 2 mg L-1.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 8 perlakuan


kombinasi suhu dengan ekstrak cabe Jawa dengan metode eksperimental.
Perlakuan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rancangan percobaan penelitian


Suhu Perendaman
Perlakuan Maskulinisasi
Suhu ruang 32⁰C**
C0T0_1 C0T1_1
C0 (Ekstrak Cabe Jawa 0 mg L-1) C0T0_2 C0T1_2
C0T0_3 C0T1_3
C1T0_1 C1T1_1
-1
C1 (Ekstrak Cabe Jawa 0.0625 mg L )* C1T0_2 C1T1_2
C1T0_3 C1T1_3
C2T0_1 C2T1_1
-1
C2 (Ekstrak Cabe Jawa 0.125 mg L )* C2T0_2 C2T1_2
C2T0_3 C2T1_3
MTT0_1 MTT1_1
17α- metiltestosteron (MT) 2 mg L -1*** MTT0_2 MTT1_2
MTT0_3 MTT1_3
Keterangan: * Wijaya 2017; **Selim et al. 2009; ***Afpriyaningrum 2016
10

Perlakuan berupa perendaman larva S. eupterus dengan ekstrak cabe Jawa


yang telah dilarutkan dalam air selama 5 jam dalam air dengan suhu yang berbeda.
Perlakuan terdiri dari suhu perendaman (suhu normal dan 32⁰C) dengan dosis
ekstrak cabe Jawa (ECJ) 0.0625 mg L-1 (C1) dan 0.125 mg L-1 (C2), dibandingkan
dengan kontrol tanpa ECJ sebagai kontrol negatif (C0) dan kontrol positif
menggunakan 17α-metiltestosteron 2 mg L-1 (Afpriyaningrum 2016). Masing-
masing diulang sebanyak tiga kali ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 150 ekor
larva tiap unit percobaan.

Prosedur Penelitian

Pembuatan ekstrak cabe jawa


Bagian buah cabe Jawa yang sudah matang (warna merah) diperoleh dari
Kebun Instalasi Tanaman Obat Biofarmaka IPB, Bogor. Buah cabe Jawa
dikeringkan selama tiga hari dibawah sinar matahari lalu dikeringkan kembali
dalam oven suhu 45 ⁰C selama tiga hari. Buah cabe Jawa yang sudah kering lalu
digiling sampai halus dan membentuk serbuk kasar. Pembuatan ekstrak cabe Jawa
akan dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balitro) Bogor. Serbuk cabe Jawa digerus dengan mortar sampai halus
selanjutnya disaring. Simplisia cabe Jawa dimasukkan dalam maserator stainlees
steel, kemudian ditambah etanol 95% dengan perbandingan 1:5 (100 gr serbuk
cabe Jawa dan 500 mL etanol 95%) Proses maserasi berlangsung selama dua
sampai tiga jam kemudian dibiarkan selama 24 jam. Hasil maserasi kemudian
diperas dan disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh bagian ampas dan
filtrat. Ampas yang terbentuk kemudian ditambahkan pelarut dan diaduk ± 1 jam.
Ampas selanjutnya disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh bagian
ampas dan filtrat. Filtrat hasil saringan pertama dan kedua disatukan, kemudian
dievaporasi dengan rotary evaporator untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut
sehingga diperoleh ekstrak kental cabe jawa dengan rendemen 22,4% dan kadar
air 15%.

Pengukuran kandungan bahan aktif dalam ekstrak cabe Jawa


Pengukuran bahan aktif ekstrak cabe Jawa akan dilakukan di Laboratorium
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor. Kandungan bahan
aktif yang diukur meliputi kadar piperin dan sitosterol. Pengukuran kadar piperin
menggunakan Spektrofotometri sedangkan sitosterol dengan menggunakan TLC
(Thin-Layer Chromatography) scanner. Pengukuran piperin dilakukan dengan
200 mg serbuk simplisia dilarutkan dalam 25 mL methanol menggunakan labu
takar, diaduk selama 30 menit. Setelah disaring, 10 mL filtrat pertama dibuang,
kemudian diambil 2 ml filtrat berikutnya dan diencerkan hingga 10 ml dengan
methanol. Selanjutnya dimasukan ke dalam kuvet dan dianalisis menggunakan
spektrofotometer dengan absorbansi 345 nm. Pengukuran kandungan sitosterol
akan dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 0.25 g ke dalam labu ukur,
kemudian ditambahkan etanol sebanyak 1/3 bagian volume labu ukur, setelah
disaring sebanyak 5 µl filtrat serta sitosterol standar masing-masing dioleskan
pada lempeng TLC. Kadar sitosterol lalu diukur dengan TLC scanner (λ = 285
nm).
11

Pembuatan larutan asetokarmin


Sebanyak 0.6 g bubuk karmin dilarutkan kedalam 100 ml asam asetat 45%.
Selanjutnya larutan dididihkan selama 2-4 menit kemudian didinginkan dan
disaring dengan kertas saring. Larutan yang terbentuk dimasukkan dalam botol
tertutup dan disimpan pada suhu ruang.

Pelarutan 17α-metiltestosteron dan ekstrak cabe Jawa


Ekstrak cabe Jawa dan MT dilarutkan dengan alkohol 70%. Ekstrak cabe
Jawa (ECJ) dan MT ditimbang dengan timbangan digital lalu dimasukkan ke
dalam tabung mikro yang telah berisi pelarut alkohol. Tabung mikro yang berisi
ekstrak dan pelarut dimasukkan dalam alat vortex agar cairan tercampur rata,
pelarutan MT dilakukan dengan prosedur yang sama. Kemudian ECJ dimasukkan
ke dalam media perendaman dan diberi aerasi selama ±15 menit hingga busa yang
ditimbulkan sedikit atau alkohol yang ada di media perendaman menguap
seluruhnya. Selanjutnya ikan dapat dimasukkan dalam media untuk perlakuan.

Persiapan wadah
Wadah yang digunakan berupa akuarium berukuran 29 cm x 30 cm x 30 cm
dengan volume air 20 liter dan akuarium berukuran 50 cm x 60 cm x 50 cm
dengan volume 90 liter. Wadah terlebih dahulu dibersihkan dan diperiksa untuk
menghindari adanya kebocoran selama pemeliharaan. Selanjutnya dilakukan
instalasi aerasi untuk mensuplai oksigen. Air yang digunakan terlebih dahulu telah
diendapkan di bak tandon.

Perendaman larva
Ikan uji berupa larva sinodontis diperoleh dari petani di daerah Ciomas,
Bogor dan dipelihara sampai berumur 10 hari. Larva sinodontis berumur 10 hari
direndam sesuai dosis perlakuan ECJ (C0, C1, C2) dan MT. Larva direndam
dalam larutan ekstrak cabe dengan lama waktu perendaman 5 jam. Perendaman
dilakukan menggunakan akuarium berukuran 50 cm x 60 cm x 50 cm yang telah
diisi air dengan volume 30 liter. Akuarium pemeliharaan diisi air sebanyak 20 liter
dengan jumlah larva ikan nila 150 ekor/akuarium. Sebelum digunakan ekstrak
cabe Jawa dan MT dilarutkan dengan larutan ethanol 95% sebanyak 5 ml selama
5 jam serta perlakuan suhu ruang dan 32⁰C. Kemudian untuk perlakuan suhu, air
media pemeliharaan larva diupayakan bersuhu 32ºC, hal ini akan dilakukan
sampai hari ke-40 pemeliharaan sesuai dengan pendekatan waktu diferensiasi
kelamin pada ikan jenis catfish (Raghuveer et al. 2011). Pemanas (heater)
digunakan untuk menjaga suhu air agar tetap konstan. Total akuarium yang
digunakan sebanyak 24 buah dengan tiap akuarium diisi sebanyak 150 ekor larva.

Pemeliharaan larva
Setelah perendaman sesuai dosis dan lama waktu perlakuan, larva
dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 29 cm x 30 cm x 30 cm. Larva diberi
pakan berupa naupli artemia secara at satiation (sekenyangnya) selama satu
minggu. Naupli artemia diberikan sehari empat kali pada pukul 04.00, 11.00,
17.00, dan 22.00 WIB. Selanjutnya diberikan pakan berupa cacing sutra secara ad
libitum (pakan selalu tersedia) yang terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir
sampai bersih. Setelah minggu ke-5 pakan diganti dengan pakan komersil
berbentuk tepung. Setelah minggu ke-13 ukuran pakan diganti dari tepung ke
12

bentuk remah serta ikan dipindahkan ke akuarium berukuran 50 cm x 60 cm x 50


cm dengan volume 90 liter. Pakan komersil diberikan dengan frekuensi pemberian
tiga kali sehari pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB secara at satiation. Ikan
dipelihara sampai berumur empat bulan dan lima bulan untuk dapat membedakan
jenis kelaminnya dengan metode asetokarmin.

Manajemen kualitas air


Pengelolaan kualitas air pada akuarium pemeliharaan larva dilakukan
dengan penyiponan dan pergantian air sebanyak 10% per hari dan 30% setiap
seminggu sekali. Setelah larva berumur tiga bulan pasca perendaman pergantian
air dilakukan sebanyak 10% per hari dan 70% setiap minggu sekali. Kandungan
oksigen terlarut, suhu, pH, nitrit dan amonia diukur sebelum dan sesudah
pergantian air (Tabel 2).

Tabel 2 Kisaran kualitas air pemeliharaan larva S. eupterus

Suhu ruang Suhu 32⁰C


Parameter Standar
Min Max Min Max
Suhu (⁰C) 25 28 25 32 22-26 (Alderton 2008)
pH (unit) 6.5 6.85 6.02 6.55 6.5-7.5 (Alderton 2008)
DO (mg L-1) 3.9 4.0 3.0 3.4 >3 (Boyd 1990)
Amonia (mg L-1) 0.17 0.4 0.02 0.36 <0.1 (Boyd 2001)

Pemeriksaan gonad
Pemeriksaan gonad dilakukan setelah ikan berumur empat bulan dan lima
bulan dengan metode pewarnaan asetokarmin (Guerrero & Shelton 1974). Ikan
sampel masing-masing ulangan perlakuan diambil sebanyak 30% populasi. Ikan
dibedah dan diambil gonadnya menggunakan tusuk gigi. Gonad diletakkan di atas
gelas preparat kemudian ditetesi sebanyak satu tetes dengan larutan asetokarmin.
Gonad dicincang sampai halus dan ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya
gonad diamati dibawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 40 kali. Selain
metode pewarnaan dengan asetokarmin, gonad juga akan diambil untuk
pembuatan preparat histologi (Lampiran 1).

Parameter Uji

Persentase ikan jantan


Perhitungan persentase ikan jantan untuk mengetahui jumlah ikan jantan
dari total populasi yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Σ ikan jantan (sampel)


Persentase ikan jantan = ×100
Σ total ikan sampel

Persentase Ikan betina


Perhitungan persentase ikan betina untuk mengetahui jumlah ikan betina
dari total populasi yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
13

Σ ikan betina (sampel)


Persentase ikan betina = ×100
Σ total ikan sampel

Persentase ikan interseks


Pengamatan dilakukan pada gonad ikan yang mengalami cacat kelamin
(interseks). Pengukuran ikan interseks dengan rumus berikut:

Σ ikan interseks (sampel)


Persentase ikan interseks = ×100
Σ total ikan sampel

Laju Pertumbuhan Harian (LPH)


Laju pertumbuhan harian menunjukkan persentase pertumbuhan bobot
harian ikan selama masa pemeliharaan. Laju pertumbuhan harian dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
t Wt
LPH (%) = (√ - 1 ) x 100
Wo

Keterangan :
LPH = Laju pertumbuhan harian (%)
Wo = Bobot rata-rata ikan pada awal pemeliharaan
Wt = Bobot rata-rata ikan pada akhir pemeliharaan
t = Lama pemeliharaan

Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup (KH) merupakan persentase ikan yang hidup pada
akhir penelitian dari jumlah ikan awal pemeliharaan. Kelangsungan hidup diamati
seminggu setelah perlakuan perendaman dan pada minggu ke-16 masa
pemeliharaan. KH dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Nt
KH (%) = No 100

Keterangan:
KH = Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah individu pada akhir perlakuan (ekor)
No = Jumlah individu pada awal pemeliharaan (ekor)

Bobot tubuh
Pengukuran bobot tubuh dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan ikan uji
selama penelitian. Sampling pertumbuhan bobot ikan dilakukan setiap dua
minggu sekali. Bobot tubuh diukur dengan timbangan digital.

Panjang tubuh
Pengukuran panjang tubuh dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan ikan
uji selama penelitian. Panjang total diukur dari ujung kepala sampai ujung ekor.
Sampling pertumbuhan panjang total ikan dilakukan setiap dua minggu sekali.
Panjang tubuh diukur dengan mistar.
14

Kualitas air
Pengukuran kualitas air berupa oksigen terlarut (DO), pH, suhu, dan amonia
dilakukan pada media perendaman dan pemeliharaan ikan. Pengukuran kualitas
air dilakukan setelah dan sebelum pergantian air. Pengukuran suhu dilakukan pada
pagi dan sore hari.

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan Microsoft Excel 2013. Data


kelangsungan hidup dan persentase jenis kelamin dianalisis dengan program SPSS
versi 22, serta diuji lanjut menggunakan uji Duncan dengan selang kepercayaan
95%. Data kualitas air, pertumbuhan, histologi gonad, pengamatan gonad
asetokarmin dianalisis secara deskriptif.
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Nisbah Kelamin Ikan
Gambar 3 menunjukkan nisbah kelamin jantan ikan sinodontis yang diberi
perlakuan perendaman cabe jawa dosis 0.0625 mgL-1, 0.125 mgL-1, serta hormon
17α-metiltestosteron dengan suhu pemeliharaan yang berbeda (normal dan 32⁰C)
dalam periode pemeliharaan 4 bulan.
Jantan Betina Interseks
100.00
a
Nisbah Jenis Kelamin (%)

80.00 ab b
ab
ab
b b
60.00 b
b b
b
ab ab b
40.00 ab

20.00 a a
a a a a a a a
0.00
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1

Gambar 3 Nisbah ikan jantan, betina, dan interseks S. eupterus umur empat bulan yang
diberi perlakuan ekstrak Cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. Ket: Huruf yg berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan
pada jenis kelamin yg sama. Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32
⁰C (C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-
1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak
(C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).

Nisbah jantan tertinggi berdasarkan pemeriksaan gonad umur 4 bulan ada


pada perlakuan perendaman hormon MT dan suhu 32⁰C (MTT1) yaitu 65.13±
13.24%, dan tidak berbeda nyata dengan pemberian hormon MT dalam suhu air
normal (MTT0) yang menghasilkan persentasi jantan lebih rendah sebesar 50.48±
14.14%. Hasil yang didapatkan tersebut menunjukkan bahwa perendaman MT
yang dikombinasikan dengan peningkatan suhu pemeliharaan 32⁰C tidak
memengaruhi peningkatkan persentase ikan jantan. Selain itu perlakuan suhu
32⁰C juga menghasilkan nisbah ikan jantan sebesar 31.20±8.31%, lebih besar
dibanding perlakuan kontrol suhu ruang yang hanya menghasilkan 9.37±1.74%
ikan jantan namun perbedaan keduanya tidak signifikan (P>0.05). Pada
pemeliharaan suhu ruang pemberian ekstrak cabe jawa dosis C2 (0.125 mgL -1)
terbukti mampu menghasilkan persentase ikan jantan sebanyak 54.13±13.61%,
lebih banyak dibanding dosis C1 (0.0625 mgL-1 ) dan keduanya berbeda nyata
dengan kontrol tanpa ekstrak dan suhu (P<0.05). Pemberian ekstrak cabe jawa
jika disertai peningkatan suhu 32⁰C menunjukkan hasil adanya penurunan nisbah
ikan jantan sebesar 12.05% pada dosis C1 dan 26.23% pada dosis C2.
16

Nilai nisbah kelamin jantan perlakuan C0T0 menunjukkan hasil yang


berbeda nyata dengan perlakuan C1T0, C2T0, MTT0, dan MTT1. Sedangkan
perlakuan C0T1, C1T1, maupun C2T1 tidak berbeda nyata terhadap C0T0
maupun keempat perlakuan lainnya. Pengaruh perendaman dengan suhu 32⁰C
dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan pada perlakuan C0 dan MT tetapi
berefek sebaliknya pada perlakuan C1 dan C2. Perbedaan nisbah akibat pengaruh
suhu antara perlakuan C0T0 dan C0T1, C1T0 dan C1T1, C2T0 dan C2T1, serta
MTT0 dan MTT1 secara statistik tidak berbeda (P>0.05). Keberadaan ikan
interseks terlihat ada pada setiap perlakuan dengan persentasi tertinggi terdapat
pada C1T1 sebesar 9.51±4.02%, namun perbedaan hasil antar perlakuan tidak
berbeda nyata. Gambar 4 menunjukkan nisbah kelamin jantan ikan sinodontis
pada periode pemeliharaan 5 bulan.
Jantan Betina
100.00 a
Nisbah Jenis Kelamin (%)

ab ab b ab
80.00 ab ab
b

60.00 b b

40.00 ab
ab ab ab
ab
20.00 a

0.00
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Gambar 4 Nisbah ikan jantan, betina, dan interseks S. eupterus umur lima bulan yang
diberi perlakuan ekstrak Cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. Ket: Huruf yg berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan
pada jenis kelamin yg sama. Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32
⁰C (C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-
1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak
(C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).

Pada hasil pemeriksaan gonad ikan umur 5 bulan tidak ditemukan


keberadaan ikan interseks, nisbah ikan betina masing-masing perlakuan
meningkat sebesar 4% pada C2T1 sampai 31% pada MTT0, sedangkan nisbah
jantan berkisar antara 5.56±2.94% pada C0T0 hingga 39.21±15.17% pada
perlakuan MTT1 sedangkan pada MTT0 23.55±5.78%. Perlakuan perendaman
dengan ekstrak cabe jawa terbaik dihasilkan oleh ekstrak dengan dosis 0.125 mg
L-1 dengan menghasilkan persentase ikan jantan sebesar 37.78±18.49% dan lebih
tinggi signifikan dibandingkan dengan kontrol C0T0 (P<0.05) (Gambar 3).
Perbedaan hasil nisbah karena peningkatan suhu 32⁰C menunjukkan adanya
penurunan nisbah kelamin jantan sebesar 0.66% pada dosis C1 dan 11.11% pada
dosis C2 namun penurunannya tidak signifikan. Sama seperti hasil pemeriksaan
gonad pada ikan umur 4 bulan, pada ikan umur 5 bulan pengaruh perendaman
dengan suhu 32⁰C tidak dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan secara
signifikan pada perlakuan C1 dan C2. Perbedaan nisbah akibat pengaruh suhu
antara perlakuan C0T0 dan C0T1, C1T0 dan C1T1, C2T0 dan C2T1, serta MTT0
dan MTT1 secara statistik tidak berbeda (P<0.05).
17

Pengamatan gonad ikan S. eupterus umur empat dan lima bulan dilakukan
dengan metode pewarnaan asetokarmin. Gonad ikan diamati dengan mikroskop.
Pengamatan dilakukan pada 30 ekor ikan setiap ulangan (Gambar 5).

100 µm A 100 µm B
A B

100 µm C
C
Gambar 5 Pengamatan gonad ikan sinodontis umur empat bulan. Pada A. individu jantan
terlihat sel sperma, B. individu betina terlihat sel telur, C. individu interseks
terlihat sel sperma dan sel telur. Pewarnaan dengan metode Asetokarmin.

Pengamatan histologi gonad ikan S. eupterus dilakukan dengan metode


pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Preparat jaringan gonad ikan diamati dengan
mikroskop perbesaran 40X (Gambar 6).

100 µm 100 µm

100 µm

Gambar 6 Histologi gonad ikan sinodontis Synodontis eupterus (A–C ); (A)


Perkembangan jaringan testis gonad ikan jantan normal; (B)
Perkembangan jaringan ovari gonad ikan betina normal; (C) Degenerasi
perkembangan jaringan ovari pada ikan interseks. Pewarnaan
Hematoksilin dan eosin. (Sg) spermatogonium; (Sc) spermatosit; (L) sel
Leydig; (N) nukleus; (PN) perinucleolar oocytes; (PVO) previtelogenic
oocytes; (APO) atretic primary oocytes.

Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)


Tingkat kelangsungan hidup diambil 7 hari setelah perendaman (awal) dan
pada hari ke-130 pemeliharaan (akhir) ditunjukkan dalam grafik pada Gambar 7.
Data TKH awal menunjukkan bahwa perendaman larva menggunakan hormon
17α-metiltestosteron dalam suhu 32⁰C (MTT1) menghasilkan nilai persentase
18

tingkat kelangsungan hidup yang paling rendah yakni sebesar 93.30 ± 1.54%,
berbeda signifikan (P<0.05) dibanding perlakuan lainnya.
TKH H+7 Perendaman TKH H+130 Perendaman
a a a a a a a
a a
100.00 a
Tingkat Kelangsungan Hidup

ab ab
95.00 ab b
ab
90.00 b
(%)

85.00

80.00

75.00
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Gambar 7 Tingkat kelangsungan hidup ikan sinodontis perlakuan ekstrak cabe Jawa
(Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman. Ket: Huruf yang
berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan pada waktu pengambilan
sampel yang sama. Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32 ⁰C
(C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak
(C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).

Sementara itu pada perlakuan MT, nilai TKH perendaman suhu 32⁰C
(MTT1) lebih kecil dibanding MTT0 dan nilainya berbeda nyata (P<0.05).
Demikian juga kelangsungan hidup ikan S. eupterus setelah empat bulan
pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman MT dalam suhu 32⁰C
adalah yang terendah yaitu sebesar 86.16 ± 0.77%, namun nilainya tidak berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol C0T0.

Pertumbuhan Ikan
Grafik pertambahan bobot dan panjang tubuh ikan sinodontis selama
pemeliharaan ditunjukkan dalam grafik garis pada Gambar 8 dan Gambar 9.
3.00

2.50 C0T0
Bobot tubuh (g)

2.00 C0T1
C1T0
1.50
C1T1
1.00
C2T0
0.50 C2T1
0.00 MTT0
0 2 4 6 8 10 12 14 MTT1
Minggu Ke-

Gambar 8 Pertambahan bobot ikan sinodontis setelah perlakuan maskulinisasi dengan


ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman.
19

Bobot dan panjang tubuh ikan S. eupterus diamati setiap dua minggu sekali
selama 14 minggu. Berdasarkan Gambar 8, pada minggu ke-0 (umur 3–4 hari)
bobot awal larva rata-rata adalah 0.023 g dengan panjang rata-rata 0.8 cm. Pada
akhir pemeliharaan (5 bulan) tercatat bobot akhir rata-rata masing-masing
perlakuan adalah 4.84–5.86 g. Berdasarkan grafik pertambahan bobot maupun
panjang tubuh ikan sinodontis yang tertinggi terlihat pada perlakuan perendaman
MT dosis 2 mg L-1 dalam suhu normal (MTT0) dan yang terendah terlihat pada
perlakuan perendaman ekstrak cabe Jawa dosis 0.125 mg L-1 dalam suhu normal
(C2T0) namun hasil keduanya tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (P<0.05).
7.00
6.00 C0T0
Panjang tubuh (cm)

5.00 C0T1
4.00 C1T0
3.00 C1T1
2.00 C2T0
1.00 C2T1
0.00 MTT0
0 2 4 6 8 10 12 14 MTT1
Minggu ke-

Gambar 9 Pertambahan panjang tubuh ikan sinodontis setelah perlakuan maskulinisasi


dengan ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui
perendaman. Ket: Dosis 0.0625 mg L-1 (C1T0); 0.0625 mg L-1 + 32 ⁰C
(C1T1); dosis 0.125 mg L-1 (C2T0); 0.125 mg L-1 + 32 ⁰C (C2T1); 2 mg L-1
metiltestosteron (MTT0); 2 mg L-1 MT + 32 ⁰C (MTT1); tanpa ekstrak dan
suhu (C0T0); tanpa ekstrak + 32 ⁰C (C0T1).

Laju pertumbuhan harian (LPH) diukur saat ikan berumur dua minggu atau
empat hari setelah perendaman dan saat ikan berumur 14 minggu atau pada akhir
pemeliharaan. Grafik laju pertumbuhan harian disajikan dalam grafik pada
Gambar 10.
LPH minggu ke-2 LPH minggu ke-14
1.2 a a a a a a a a a a
a a a a a a
Laju Pertumbuhan

1
harian (%)

0.8
0.6
0.4
0.2
0
C0T0 C0T1 C1T0 C1T1 C2T0 C2T1 MTT0 MTT1
Perlakuan

Gambar 10 Laju pertumbuhan harian tubuh ikan sinodontis pada minggu ke-2 dan
minggu ke-14 setelah setelah perlakuan maskulinisasi dengan ekstrak Cabe
Jawa (Piper retrofractum) dan suhu melalui perendaman.
20

Selama pemeliharaan, nilai laju pertumbuhan harian atau specific growth


rate (SGR) rata-rata semua perlakuan hampir sama yakni berkisar antara 1.011 ±
0.002%-1.017 ± 0.003% di minggu ke-2 serta 1.045 ± 0.005% – 1.050 ± 0.005%
pada minggu ke-14. Nilai LPH secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) baik
pada perlakuan dengan perendaman ekstrak cabe Jawa maupun kontrol positif dan
negatif.

Pembahasan

Persentase ikan jantan umur 4 bulan dan 5 bulan pada perlakuan ekstrak
cabe jawa (dosis 0.125 dan 0.0625 mgL-1) lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol sehingga dapat dinyatakan bahwa pemberian ekstrak cabe jawa yang
diberikan memengaruhi sistem hormonal dalam tubuh ikan sinodontis. Pada
pemeliharaan suhu ruang, pemberian ekstrak cabe jawa dosis C2 mampu
menghasilkan persentase ikan jantan lebih besar dibanding dosis C1 serta MT.
Meningkatnya jumlah ikan jantan dalam penelitian ini diduga akibat adanya
senyawa β-sitosterol dalam ekstrak cabe jawa. Senyawa β-sitosterol merupakan
kelompok fitosterol (bentuk steroid dalam tumbuhan) yang berstruktur mirip
kolesterol yang dapat digunakan sebagai prekursor hormon steroid. Fitosterol
dapat diikat baik oleh reseptor androgen maupun estrogen pada hewan (Tremblay
and Kraak 1998). Selain fitosterol, buah cabe jawa juga memiliki kandungan
alkaloid utama berupa piperin. Dada & Ogunduyile (2011) menyatakan bahwa
alkaloid dapat menstimulasi sekresi hormon testosteron serta memastikan
ketersediaannya tetap tercukupi di gonad. Sebuah studi pada tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan yang diberi cabe jawa dosis 42 mg/200g menunjukkan
peningkatan kadar hormon testosteron sebesar 49.59% (Rahmawati dan Ikayanti
2011). Hasil uji kandungan bahan aktif menunjukkan bahwa ekstrak etanol 95%
cabe Jawa yang digunakan dalam penelitian ini mengandung bahan aktif piperin
sebesar 21.53% dan sitosterol sebesar 0.27%. Kandungan alkaloid, ditambah
beberapa turunan saponin dan senyawa lain dalam cabe jawa juga diduga
berkhasiat sebagai afrodisiaka untuk penguat tubuh serta memperlancar peredaran
darah sehingga meningkatkan efek androgenik terhadap tubuh. Berdasarkan
pemeriksaan gonad ikan umur empat bulan, hasil terbaik perlakuan cabe Jawa
ditunjukkan oleh perlakuan dosis C1 dan C2 suhu ruang dengan nisbah jantan
sebesar 43.75% dan 54.13% atau masing-masing tiga dan enam kali lipat lebih
besar dibanding kontrol serta hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan
metiltestosteron. Sedangkan pada umur 5 bulan terjadi penurunan nisbah kelamin
jantan dan hanya perlakuan C2 suhu ruang yang masih menunjukkan kestabilan
dengan menghasilkan nisbah jantan terbanyak. Afinitas sel-sel gonad terhadap
bahan alami yang berasal dari tanaman tidak sekuat terhadap bahan yang berasal
dari bahan kimia sehingga bahan alami yang berasal dari ekstrak tanaman
membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan efek yang signifikan
sehingga hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa maskulinisasi dengan
metiltestosteron masih menunjukkan hasil terbaik dibanding ekstrak cabe jawa.
Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan suhu
pemeliharaan mampu meningkatkan efektifitas metode sex reversal terutama
dalam rangka meningkatkan persentasi ikan jantan yang dihasilkan. Peningkatan
21

suhu akan berpengaruh langsung terhadap sitokrom aromatase P450 yang


berperan dalam proses konversi androgen ke estrogen. Suhu air yang tinggi dapat
menurunkan aktivitas P450 aromatase sehingga mengurangi sintesis hormon
estrogen. Penurunan aktivitas P450 aromatase juga berperan signifikan terhadap
terjadinya apoptosis oosit saat transisi dari ovary-like tissue menjadi testis (Uchida
et al. 2004). Penelitian sex reversal dengan suhu sebelumnya telah banyak
dilakukan pada ikan nila Oreochromis niloticus, suhu pemeliharaan yang lebih
tinggi sebesar 35 ⁰C (Khater et al. 2017) dan 36 ⁰C (Tessema et al. 2006) terbukti
dapat menaikkan persentase ikan nila jantan yang dihasilkan dibandingkan
pemeliharaan pada suhu yang lebih rendah. Hasil penelitian kali ini didapatkan
hasil yang sama yaitu perlakuan kontrol tanpa penambahan ekstrak cabe jawa,
suhu 32⁰C menghasilkan nisbah ikan jantan lebih besar dibanding perlakuan
kontrol suhu ruang. Namun pada penelitian ini pemberian ekstrak cabe jawa
disertai peningkatan suhu 32⁰C justru memberikan hasil negatif yakni adanya
penurunan nisbah ikan jantan pada perlakuan C1 dan C2. Penurunan nisbah jantan
terdeteksi pada populasi ikan baik pada umur 4 bulan maupun 5 bulan. Hasil ini
menunjukkan bahwa kemungkinan terjadi kerusakan komponen bioaktif pada
ekstrak akibat suhu air perendaman. Suresh et al. (2007) menyatakan bahwa kadar
bahan aktif piperin dari Piper nigrum dapat berkurang sebesar 27–34% akibat
proses pemanasan. Selain piperin, senyawa β-sitosterol diduga juga mengalami
degradasi sebab faktor perlakuan seperti suhu, paparan oksigen atau cahaya
mengakibatkan pembentukan oksisterol (produk hasil oksidasi dari sterol). Studi
oleh Barriuso et al. (2012) melaporkan bahwa terjadi degradasi kolesterol pada
tiga jenis fitosterol (β-sitosterol, stigmasterol and campesterol) setelah dilakukan
perlakuan berupa pemanasan selama 360 menit.
Hasil perlakuan kontrol positif menunjukkan bahwa perendaman
metiltestosteron (MT) yang dikombinasikan dengan peningkatan suhu
pemeliharaan 32⁰C dapat meningkatkan persentase ikan jantan. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan suhu dapat meningkatkan efektifitas MT dan
sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Afpriyaningrum (2016) pada ikan nila
melalui perendaman larva umur 10 hari dalam 2 mg L-1 MT pada suhu
pemeliharaan 36 ºC ternyata dapat menghasilkan nisbah jantan tertinggi (92.50%).
Keberadaan ikan interseks terlihat ada di semua perlakuan pada ikan umur 4 bulan
dengan persentasi tertinggi terdapat pada C1T1 sebesar 9.51%. Interseks
merupakan kondisi dimana terdapat jaringan ovari dan testis dalam satu gonad.
Kondisi gonad interseks merupakan kondisi labil sehingga jenis kelamin ikan
masih dapat berubah menjadi jantan atau betina, hal ini dibuktikan dengan tidak
ditemukannya ikan interseks seiring bertambahnya umur ikan pada penelitian ini.
Ikan interseks merupakan penyimpangan pembentukan kelamin yang disebabkan
oleh dosis hormon atau lama perlakuan yang kurang tepat (Zairin 2002).
Kemungkinan pengaruh steroid yang diberikan kurang sehingga proses
pembentukan gonad jantan tidak maksimal dan menyebabkan terbentuknya
interseks. Hasil pewarnaan hematoksilin-eosin terhadap preparat jaringan
menunjukkan keberadaan spermatosit dan spermatogonia pada gonad ikan jantan
(Gambar 5A) serta oosit pada betina (Gambar 5B). Pada gonad ikan interseks
(Gambar 5C) ditemukan sel-sel spermatogonia yang menyebar di sekitar sel oosit
yang sebagian telah mengalami atresia, berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan
22

bahwa gonad interseksual yang ditemukan pada penelitian ini diakibatkan adanya
pengaruh perlakuan maskulinisasi pada gonad ikan betina genotip.
Beberapa ikan golongan gonochoristic mengalami periode dimana semua
gonadnya bermula dari interseksual kemudian terdiferensiasi menjadi testis atau
ovari (Lee et al. 2009). Pada Japanese pufferfish (Takifugu rubripes) ditemukan
sel-sel germinal ovari maupun testis dalam gonadnya yang mengindikasikan
interseksual. Pada kondisi gonad yang interseks ini ikan masih dalam kondisi labil,
dimana jenis kelamin ikan masih dapat berubah menjadi jantan atau betina.
Berdasarkan penelitian Uchida et al. (2002) pada ikan zebra Danio rerio semua
gonad ikan bermula berkembang menjadi jaringan mirip ovari. Selanjutnya pada
fase diploten awal oosit mulai mengalami apoptosis yang kemudian disertai
proses diferensiasi dan perkembangan spermatogonia, spermatosit, dan spermatid.
Hilangnya oosit karena apoptosis pada fase diploten awal oosit kemungkinan
menstimulasi pembentukan jaringan testis pada ikan zebra. Pada mamalia,
hilangnya oosit dapat disebabkan oleh kematian sel-sel germinal atau secara tidak
langsung melalui atresia folikel dan berhubungan dengan kondisi penuaan sistem
reproduksi secara normal maupun prematur (Tilly 1996).
Pengambilan data nilai tingkat kelangsungan hidup larva dalam penelitian
ini dilakukan sebanyak dua kali yakni di awal (selama 7 hari setelah perendaman)
dan akhir pemeliharaan. Nilai TKH awal termasuk tinggi dan hampir mendekati
100% pada semua perlakuan ekstrak cabe jawa baik dengan perlakuan suhu
maupun tidak, sehingga dapat dikatakan bahwa dosis yang digunakan yakni
0.0625 mg L-1 dan 0.125 mg L-1 masih aman. Hasil ini didukung oleh penelitian
sebelumnya oleh Wijaya (2017) yang menyebutkan bahwa ekstrak cabe Jawa
0.125 mg L-1 merupakan dosis terbaik dan menghasilkan kelangsungan hidup
97.67%, sedangkan peningkatan dosis justru dapat menurunkan kelangsungan
hidup ikan sinodontis. Perlakuan suhu tinggi 32⁰C yang digunakan dalam
penelitian ini terbukti masih aman karena tidak menurunkan secara signifikan
tingkat kelangsungan hidup ikan semua perlakuan kecuali pada perlakuan MTT1.
Penurunan signifikan TKH pada MTT1 kemungkinan lebih disebabkan oleh
interaksi antara MT dengan suhu air. Perendaman MT dalam suhu air 32⁰C
ternyata memberikan efek negatif terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan. 17α-
metiltestosteron (MT) adalah hormon sintetis yang secara luas digunakan untuk
menginduksi seks reversal dalam rangka memproduksi populasi jantan monoseks
dan dikenal sangat efektif. Meskipun demikian MT sebenarnya merupakan salah
satu zat kimia pengganggu sistem endokrin yang dapat mempengaruhi fungsi
normal hormon sehingga terjadi abnormalitas. Contoh abnormalitas akibat
paparan MT adalah peningkatan konsentrasi vitelogenin dan pembentukan gonad
interseks pada ikan jantan (Zerulla et al. 2002). Berdasarkan Gambar 2,
perendaman MT menyebabkan nilai TKH yang paling rendah dibanding
perlakuan lainnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosis MT yang diberikan
terlalu besar untuk jenis ikan sinodontis sehingga berpotensi bersifat toksik.
Sebuah studi tentang efek MT pada organisme akuatik oleh Rivero-Wendt et al.
(2013) menyatakan bahwa paparan MT dengan konsentrasi 0.01 mg L-1
mempunyai potensi menyebabkan efek genotoksisitas atau kerusakan DNA pada
ikan nila Oreochromis niloticus.
Ikan bersifat poikilotermal sehingga jika suhu pemeliharaan dinaikkan, suhu
tubuh ikan juga akan meningkat mengikuti lingkungan tempat hidupnya.
23

Perendaman dengan MT dalam suhu air yang lebih tinggi dibanding suhu normal
diharapkan mampu meningkatkan kinerja proses farmakokinetik MT dalam tubuh
ikan. Secara farmakokinetik, tubuh ikan akan merespon MT melalui 4 proses yaitu
absorbsi/penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Salah satu contohnya
pada kepiting lumpur Scylla serrata yang juga bersifat ektoterm proses
penyerapan serta distribusi obat antibiotik enrofloxacin yang diberikan secara oral
sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya, enrofloxacin diserap dan dieliminasi
lebih cepat pada suhu 26 ⁰C dibanding suhu 19 ⁰C (Fang et al. 2008). Berdasarkan
data nisbah kelamin jantan yang didapatkan, perlakuan perendaman MT yang
disertai suhu lebih tinggi (32⁰C) juga menghasilkan nisbah kelamin jantan yang
lebih besar jika dibandingkan dengan perendaman MT dalam suhu normal (25-
26⁰C). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu perendaman memang
meningkatkan penyerapan MT oleh tubuh ikan sehingga berefek positif terhadap
hasil nisbah kelamin jantan namun di sisi lain memiliki efek negatif pada tingkat
kelangsungan hidup ikan akibat dosis perendaman yang digunakan terlalu tinggi.
Hasil penelitian ini juga membuktikan kelebihan bahan alami dari ekstrak
tanaman yang cenderung lebih aman sehingga maskulinisasi menggunakan
ekstrak cabe jawa dapat dilakukan untuk menghasilkan individu jantan dengan
resiko kematian lebih rendah dibandingkan menggunakan bahan sintetik seperti
metiltestosteron.
Pertumbuhan benih selama proses perubahan kelamin pada penelitian kali
ini dapat diketahui dari nilai laju pertumbuhan harian (LPH). Nilai LPH secara
keseluruhan tidak berbeda signifikan secara statistik untuk delapan perlakuan baik
nilai LPH pasca perendaman (minggu ke-2) maupun di akhir pemeliharaan
(minggu ke-14). Pertumbuhan juga dapat dinyatakan dengan pertambahan ukuran
panjang maupun bobot. Ekstrak cabe Jawa dan MT memiliki sifat anabolik yang
dapat merangsang pertumbuhan melalui biosintesis protein. Meskipun demikian
berdasarkan uji statistik pertambahan bobot dan panjang tubuh pada masing-
masing perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Namun jika dilihat
berdasarkan grafik (Gambar 8 dan 9) perlakuan MT 2 mg L-1 dengan perendaman
pada suhu ruang menunjukkan pertambahan bobot maupun panjang tubuh ikan
sinodontis yang paling besar. Beberapa studi memang melaporkan adanya efek
anabolik dari 17-MT pada ikan jenis tilapia (Macintosh et al. 1985; Pandian &
Varadaraj 1987; McAndrew & Majumdar 1989). Tetapi besarnya respon anabolik
tersebut dapat berbeda pada spesies yang berbeda maupun antar spesies yang
sama. Beberapa hasil penelitian justru melaporkan bahwa dosis 17-MT yang
tinggi dapat menekan pertumbuhan. Sebagai contoh hasil studi oleh Pandian &
Varadaraj (1987) pada O. mossambicus, menunjukkan bahwa ikan muda yang
diberi dosis tinggi 40 ppm MT tumbuh lebih lambat dibanding perlakuan dosis
yang lebih rendah.
Meskipun kandungan piperin pada ekstrak cabe jawa diketahui memiliki
efek anabolik namun penelitinn ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak cabe
jawa tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ikan
sinodontis. Penelitian Elisdiana (2015) pada ikan patin Pangasius sp. juga
menyatakan bahwa pemberian ekstrak cabe Jawa melalui pakan dengan dosis 37.5
mg kg ikan-1 hari-1 dan 187.5 mg kg ikan-1 hari-1 selama delapan minggu
pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap metabolisme ikan dilihat dari bobot
tubuh ikan patin yang tidak berbeda pada semua perlakuan. Pertumbuhan benih
24

selama proses perubahan kelamin dapat ditentukan juga oleh padat penebaran,
pemberian pakan, suhu pemeliharaan dan kondisi lingkungan lainnya.
Kualitas air memegang peranan penting dalam kegiatan budidaya organisme
akuatik, sehingga pengawasan terhadap parameter kualitas air perlu dilakukan
oleh pembudidaya agar produktifitas yang baik dapat tercapai dalam usaha
budidaya. Nilai kualitas air untuk parameter suhu, pH, dan kelarutan oksigen
(DO) secara umum masih dalam kisaran normal. Nilai DO minimal tercatat
sebesar 3.0 mg L-1 dan lebih rendah dari kisaran normal. Nilai DO pada penelitian
ini cenderung lebih rendah dibandingkan kisaran normal diduga karena adanya
dekomposisi secara aerob bahan organik yakni berupa limbah hasil metabolisme
ikan. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa dekomposisi
bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut. Penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara nilai DO dengan suhu air
pemeliharaan, dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa nilai DO minimal air
pemeliharaan dalam suhu 32⁰C lebih rendah dibanding suhu ruang. Pemeliharaan
ikan pada suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan laju metabolisme, sehingga
kebutuhan ikan akan oksigen juga akan meningkat.
Pada tabel kualitas air terlihat bahwa kandungan amonia total di media
penelitian mempunyai kisaran 0.17 – 0.4 mg L-1 untuk pemeliharaan pada suhu
ruang dan 0.02 – 0.36 mg L-1 untuk suhu 32⁰C. Amonia yang ada di perairan
berasal dari sisa metabolisme ikan yang terlarut dalam air, feses, serta sisa pakan
ikan yang tidak termakan. Pada penelitian ini kandungan amonia pada masing-
masing perlakuan nilainya lebih besar dari kisaran umum pemeliharaan ikan
(Boyd 2001). Selain laju metabolisme ikan konsentrasi amonia yang meningkat
saat pemeliharaan diduga juga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi kadar oksigen
terlarut (Tabel 2). Jika dilihat dari nilai TKH ikan secara keseluruhan, kandungan
amonia yang lebih tinggi diduga tidak banyak berpengaruh terhadap mortalitas
ikan sinodontis. Hasil penelitian oleh Gustino (2011) juga menunjukkan bahwa
kandungan ammonia total di media penelitian kisaran 0.28 – 1.89 mg L-1 NH3-N
masih aman untuk pemeliharaan ikan sinodontis. Amonia dalam bentuk NH 4+
bersifat non toksik, sedangkan yang dalam bentuk tak terionisasi (NH 3) bersifat
toksik, jika pH air tinggi maka akan lebih banyak ditemukan amonia yang tidak
terionisasi dan sangat beracun bagi ikan (Widyastuti 2008). Nilai pH air yang
cenderung rendah selama pemeliharaan diduga juga berperan dalam mengurangi
toksisitas dari amonia terhadap ikan sinodontis.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Maskulinisasi ikan sinodontis pada stadia larva menggunakan ekstrak cabe


Jawa melalui perendaman selama 5 jam dengan dosis 0.125 mg L-1 pada suhu
normal dapat meningkatkan persentase ikan jantan secara konsisten pada umur 4
dan 5 bulan sebesar 4 kali lipat dibandingkan kontrol. Pemberian perlakuan suhu
sebesar 32 ⁰C dapat meningkatkan kematian pada perlakuan perendaman 17α-
metilestosteron.
25

Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui waktu dan


frekuensi yang paling tepat dalam memberikan perlakuan maskulinisasi ikan
sinodontis sesuai dengan pola diferensiasi kelaminnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afpriyaningrum MD. 2016. Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman larva


pada suhu 36⁰C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron. [tesis]. Bogor
(ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Alderton D. 2008. Encyclopedia of Aquarium and Pond Fish. New York (US):
DK Publisher. p 126-128.
Alfian MZ. 2003. Pengaruh pemberian ekstrak kayu sandrego Lunasia amara
terhadap produksi ikan cupang jantan Betta splendens [Skripsi]. Makassar
(ID): Universitas Hasanuddin.
Banerji A, Bandyopadhyay D, Sarkar M, Siddhanta AK, Pal SC, Ghosh S,
Abraham K, Shoolery JN. 1985. Structural and synthetic studies on the
retrofractamides new amide constituents of Piper retrofractum.
Phytochemistry 24:279-284.
Banerji A, Sarkar M, Datta R, Sengupta P, Abraham K. 2002. Amides from Piper
brachystachyum and Piper retrofractum. Phytochemistry. 59:897–901.
Barriuso B, Arrazola AO, Carreno MM, Astiasaran I, Ansorena D. 2012. Sterols
heating: Degradation and formation of their ring-structure polar oxidation
products. Food Chemistry. 135: 706-712.
Baroiller JF, Chourrout D, Fostier A, Jalabert B. 1995. Temperature and sex
chromosomes govern sex ratios of the mouthbrooding cichlid fish Oreochromis
niloticus. Journal of Experimental Zoologi. 273:216-223.
Baroiller JF, D’Cotta HD, Saillant E. 2009. Environmental effects on fish sex
determination and differentiation. Sexual Development. 3: 118-135.
Baroiller JF, D’Cotta H. 2001. Environment and sex determination in farmed fish.
Comparative Biochemistry Physioogyl Part:C Toxicology Pharmacology.
130: 399–409.
Boyd CE. 2001. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama (US): Auburn
University.
Dada AA, FD Ogunduyile. 2011. Effects of velvet bean (Mucuna pruriens) on
sperm quality of African catfish, Clarias gariepinus (Burchell, 1822)
broodstock. Fisheries and Aquatic Science. 6(6): 655-661.
D'cotta H, Fostier A, Guiguen Y, Govoroun M, Baroiller JF. 2001. Aromatase
plays a key role during normal and temperature-induced sex differentiation
of tilapia Oreochromis niloticus. Molecular Reproduction and Development.
59: 265-276.
Devlin R.H dan Nagahama Y. 2002. Sex determination and sex differentiation in fish:
an overview of genetic, physiological, and environmental influences.
Aquaculture. 208: 191–364.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan.Yogyakarta (ID): Kanisius
26

El-Fotoh EMA, Ayyat MS, El-Rahman GAA, Farag ME. 2014. Mono sex male
production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different water
temperature. Zagazig Journal of Agricultural Research. 41(1):1-8.
Elisdiana Y. 2015. Induksi perkembangan gonad ikan patin siam (Pangasianodon
hypopthalmus) jantan dengan pemberian ekstrak cabe jawa (Piper
retrofractum) melalui pakan. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fang WH, Hu LL, Yang XL, Hu K, Liang SC, Zhou S. 2008. Effect of
temperature on pharmacokinetics of enrofloxacin in mud crab, Scylla
serrata (Forsskal), following oral administration. Fish Diseases. 31:171–
176
Green BW, Teichert-Coddington DR. 2000. Human food safety and
environmental assessment of the use of 17a-methyltestosterone to produce
male tilapia in the United States. World Aquaculture Society. 31(3): 337-357.
Guerrero III RD, Shelton WL. 1974. An aceto-carmine squash method for sexing
juvenile fishes. The Progressive Fish-Culturist. 36(1): 56-56.
Gustino TR. 2011. Kinerja pertumbuhan ikan sinodontis Synodontis eupterus pada
media pemeliharaan bersalinitas [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hikmawan F. 2008. Embriogenesis ikan synodontis Synodontis eupterus [skripsi].
Bogor (ID):Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Jarosova B, Jakub J, Ondrej A, Klara H. 2015. Phytoestrogens and mycoestrogens
in surface waters – Their sources, occurrence, and potential contribution to
estrogenic activity. Environment International. 81: 26-44.
Khater EG, Ali SA, Mohamed WE. 2017. Effect of water temperature on
masculinization and growth of nile tilapia fish. Aquaculture Research
Development. 8: 1-5.
Kitano T, Takamune K, Kobayashi T, Nagahama Y, Abe S. 1999. Suppression of
P450 aromatase gene expression in sex-reversed males produced by rearing
genetically female larvae at a high water temperature during a period of sex
differentiation in the Japanese flounder (Paralichthys olivaceus). Molecular
Endocrinology. 23:167–176.
Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 2000. Aromatase inhibitor and 17α-
methyltestosterone cause sex-reversal from genetical females to phenotypic
males and suppression of P450 aromatase gene expression in japanese
flounder (Paralichthys olivaceus). Molecular Reproduction and
Development. 56: 1-5
Lee KH, Yamaguchi A, Rashid H, Kadomura K, Yasumoto S, Matsuyama M.
2009. Estradiol-17β treatment induces intersexual gonadal development in
the pufferfish Takifugu rubripes. Zoological Science. 26: 639-645.
Macintosh DJ, Varghese TJ. and Rao GPS. 1985. Hormonal sex reversal of
wildspawned tilapia in India. Fish Biology. 26: 44-52.
Matty AJ. 1985. Fish Endocrinology. Oregon (USA): Croom Helm.
Moeloek N, Lestari SW, Yurnadi, Wahjoedi B. 2010. Uji klinik ekstrak cabe jawa
Piper Retrofractum sebagai fitofarmaka androgenik pada laki-laki
hipogonad. Majalah Kedokteran Indonesia. 60:255-262.
Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2006. Biokimia Harper. Jakarta(ID):
EGC.
27

Muslim. 2010. Maskulinisasi ikan nila Oreochromis niloticus dengan pemberian


tepung testis sapi [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Mutiara UG, Sutyarso, Mustofa S. 2013. Pengaruh pemberian ekstrak cabe jawa
(Piper retrofractum Vahl) dan zinc terhadap jumlah sel germinalis testis
tikus putih jantan (Rattus norvegicus). Jurnal Kedokteran Universitas
Lampung. 2: 147-155.
Nagahama Y, Yamashita M. 2008. Regulation of oocyte maturation in fish.
Development Growth & Differentiation. 50:195-219.
Nakamura, Masahisa. 2010. The mechanism of sex determination in vertebrates-
are sex steroids the key-factor?. Journal Experimental Zoology. 313A: 381-
398.
Nuraini A. 2003. Mengenal Etnobotani Beberapa Tanaman yang Berkhasiat
sebagai Aprodisiaka. Info POM, BPOM RI 4:1-4.
Orrego R, McMaster M, Van Der Kraak G, Holdway D. 2010. Effects of pulp and
paper mill effluent extractives on aromatase CYP19a gene expression and
sex steroid levels in juvenile triploid rainbow trout. Aquatic Toxicology.
97:353-360.
Pandian TJ. and Varadaraj K. 1987. Techniques to regulate sex ratio and breeding
in tilapia. Current Science. 56: 337-343.
Pandian TJ, Kirankumar. 2003. Recent advances in hormonal induction of sex-
reversal in fish. Di dalam: Jana BB dan Webster CD, editor. Sustainable
Aquaculture: Global Pespectives. New York (US): Food Product Press. p
205-230.
Pangreksa A, Mustahal, Indaryanto FR, Nur B. 2016. Pengaruh perbedaan suhu
inkubasi terhadap waktu penetasan dan daya tetas telur ikan sinodontis
(Synodontis eupterus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 6(2): 147-160.
Park IS, Kim JH, Cho SH, Kim DS. 2004. Sex diferentiation and hormonal sex
reversal in the bagrid catfish Pseudobagrus fulvidraco. Aquaculture
Research. 232:183-193.
Phelps R.P. dan Popma T.J. 2000. Sex reversal of tilapia. Di dalam: Costa-Pierce
BA dan Rakocy JE, editor. Tilapia Aquaculture in the Americas. Volume 2.
Baton Rouge, Louisiana (US): World Aquaculture Society. p 39 – 59.
Putra S. 2011. Maskulinisasi ikan nila Oreochromis niloticus melalui perendaman
dalam ekstrak purwoceng Pimpinella alpina [tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Raghuveer K, Senthilkumaran, Sudhakumari CC, Sridevi P, Rajakumar A, Singh
R, Murugananthkumar R, Majumdar KC. 2011. Dimorphic expression of
various transcription factor and steroidogenic enzyme genes during gonadal
ontogeny in the air-breathing catfish, Clarias gariepinus. Sexual
Development. 5:213-223.
Rahmawati N, M S Ikayanti. 2011. Efek afrodisiaka ramuan cabe jawa (Piper
retrofractum L), pegagan (Centella asiatica) dan temulawak (curcuma
domestica) terhadap libido tikus jantan. Seminar Nasional: Reformasi
Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan. B2P2TOOT
Tawangmangu: 1-3
Rivero-Wendt CLG, Miranda-Vilela AL, Ferreira MFN, Amorim FS, da Silva
VAG, Louvandini H, Grisolia CK. 2013. Lack of genotoxicity in Astyanax
28

bimaculatus and Oreochromis niloticus of 17α-methyltestosterone used in


fish hatcheries to produce male monosex populations. Genetics and
Molecular Research. 12(4): 5013-5022
Sato T, Endo T, Yamahira K, Hamaguchi S, Sakaizumi M, 2005. Induction of
female-to-male sex reversal by high temperature treatment in medaka,
Oryzias latipes. Zoology Science. 22: 985–988.
Selim MK, Ai Shinomiya, Hiroyuki O, Satoshi H, Mitsuru S. 2009. Effect of high
temperature on sex differentiation and germ cell population in medaka,
Oryzias latipes. Aquaculture Journal. 289: 340-349.
Shinkafi BA, Daneji AI. 2011. Morphology of the gonads of Synodontis eupterus
(Boulenger) from River Rima, North-western Nigeria. Int. Journal of
Zoological Research. 7(6): 382-392.
Silverin B, Baillien M, Foidart A, Balthazart J. 2000. Distribution of aromatase
activity in the brain and peripheral tissues of passerine and nonpasserine
avian species. General and Comparative Endocrinology. 117:34–53.
Suresh D, Manjunatha H, Srinivasan K. 2007. Effect of heat processing of spices
on the concentrations of their bioactive principles: turmeric (Curcuma
longa), red pepper(Capsicum annuum) and black pepper (Piper nigrum).
Food Composition and Analysis. 20: 346–351.
Tessema M, Muller-Belecke A, Horstgen-Schwark G. 2006. Effect of rearing
temperatures on the sex ratios of Oreochromis niloticus populations.
Aquaculture. 258: 270-277.
Tremblay L, Kraak GVD. 1998. Use of a series of homologous in vitro and in
vivo assays to evaluate the endocrine modulating actions of β-sitosterol in
rainbow trout. Aquatic Toxicology. 43: 149-162.
Tilly JL. 1996. The molecular basis of ovarian cell death during germ cell
attrition, follicular atresia, and luteolysis. Frontiers in Bioscience. 1: 1-11.
Uchida D, Michaiki Y, Takeshi K, Taisen I. 2002. Oocyte apoptosis during the
transition from ovary-like tissue to testes during sex differentiation of
juvenile zebrafish. The Journal of Experimental Biology. 205:711-718.
Uchida D, Yamashita M, Kitano T, Iguchi T. 2004. An aromatase inhibitor or
high water temperature induce oocyte apoptosis and depletion of P450
aromatase activity in the gonads of genetic female zebrafish during sex-
reversal. Comparative Biochemistry and Physiology. 137(1): 11-20.
Usia T. 2012. Mengenal Cabe Jawa Tanaman Obat Untuk Stamina Pria. Info
POM, BPOM RI 13:4-7.
Van Winkoop A, Timmermans LPM. 1992. Phenotypic changes in germ cells
during gonadal development of the common carp (Cyprinus carpio).
Histochemistry. 98: 289-298.
Widyastuti Y R. 2008. Peningkatan produksi air tawar melalui budidaya ikan
sistem akuaponik. Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV LIPI. Bogor:
62-73.
Wijaya PDD. 2017. Maskulinisasi ikan sinodontis Synodontis eupterus pada
stadia larva menggunakan ekstrak cabe jawa Piper retrofractum [tesis].
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Winarni D. 2007. Efek ekstrak akar ginseng jawa dan korea terhadap libido
mencit jantan pada prakondisi testosteron rendah. Berkala Penelitian
Hayati. 12:153–159.
29

Yaron Z, Levavi-Sivan B. 2011. Endocrine regulation of fish reproduction.


Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome to Environment. (2):1500-
1508.
Zairin Jr. M. 2002. Sex Reversal: Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya. p 2-35.
Zairin Jr. M. 2003. Endokrinologi dan Peranannya Bagi Masa Depan Perikanan
Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi
Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor.
Zerulla M, Lange R, Steger-Hartmann T, Panter G, Hutchin-son T, Dietrich D.R.
(2002). Morphological sex reversal upon short-term exposure to endocrine
modulators in juvenile fathead minnow (Pimephales promelas). Toxicology
Letters. 131: 51-63.
30
31

LAMPIRAN
32

Lampiran 1 Prosedur pembuatan preparat histologi gonad

Pembuatan Blok Parafin


Gonad ikan uji

Fiksasi jaringan Fiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam

Rendam dalam alkohol 70% selama 24 jam

Rendam dalam alkohol 80% selama 2 jam

Rendam dalam alkohol 90% selama 2 jam

Dehidrasi Rendam dalam alkohol 95% selama 2 jam

Rendam dalam alkohol absolut I selama 12 jam

Rendam dalam alkohol absolut II selama 1 jam

Rendam dalam alkohol xylol (1:1) selama 30 menit

Rendam dalam xylol I selama 30 menit

Rendam dalam xylol II selama 30 menit

Clearing Rendam dalam xylol III selama 30 menit

Rendam dalam parafin I selama 45 menit

Rendam dalam parafin II selama 45 menit

Embedding Cetak sampel dalam blok parafin

Pemotongan Jaringan

Blok parafin

Potong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-6 µm

Hasil irisan diletakkan pada waterbath dengan suhu 45-50°C

Tempel pada gelas objek


33

Pewarnaan Jaringan
Preparat jaringan

Rendam dalam xylol I selama 5 menit

Rendam dalam xylol II selama 5 menit

Rendam dalam alkohol absolut I selama 3 menit

Rendam dalam alkohol absolute I selama 3 menit

Deparafinasi Rendam dalam alkohol 95% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 90% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 80% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 70% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 50% selama 3 menit

Rendam dalam akuades selama 3 menit

Rendam dalam hematoksilin 7 menit

Bilas dengan akuades selama 5 menit


Pewarnaan HE
Rendam dalam eosin selama 3 menit

Bilas dengan akuades

Rendam dalam alkohol 50% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 70% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 80% selama 3 menit

Dehidrasi Rendam dalam alkohol 90% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol 95% selama 3 menit

Rendam dalam alkohol absolut I selama 3 menit

Rendam dalam alkohol absolut II selama 3 menit


34

Rendam dalam xylol I selama 3 menit


Dehidrasi
Rendam dalam xylol II selama 3 menit

Beri perekat entellan neu dan tutup dengan


cover glass
Mounting
Keringkan pada suhu ruangan selama 24 jam

Lampiran 2 Hasil pengamatan preparat histologi

Jaringan Gonad Ikan Sinodontis Synodontis eupterus


Jantan Betina Interseks

100 µm 100 µm 100 µm

100 µm 100 µm 100 µm

100 µm 100 µm 100 µm

Keterangan : (Sg) spermatogonium; (Sc) spermatosit; (L) sel Leydig; (N) nukleus; (PN)
perinucleolar oocytes; (PVO) previtelogenic oocytes; (APO) atretic primary
oocytes.
35

Lampiran 3 Hasil pengukuran kandungan bahan aktif ekstrak cabe jawa Piper
retrofractum.
36

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, puteri pasangan


Bapak Dikdik Iskandar dan Ibu Sholikhah. Penulis dilahirkan pada tanggal 17
November 1992 di Rembang Provinsi Jawa Tengah. Penulis menempuh
pendidikan dasar pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2004 di SD Negeri Leteh
3 Rembang (Jawa Tengah). Penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah
pertama pada tahun 2004 sampai 2007 di SMP Negeri 2 Rembang (Jawa Tengah).
Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan menengah atas pada tahun 2007
sampai dengan 2010 di SMAN 1 Rembang.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor pada tahun
2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
Pada tahun 2016, penulis melanjutkan studinya dengan menempuh program
Magister pada program studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana IPB serta
terdaftar sebagai penerima Beasiswa Unggulan Dalam Negeri Dikti selama tahun
2017-2018. Penulis melakukan penelitian dengan judul tesis “Maskulinisasi Ikan
Sinodontis Synodontis eupterus pada Stadia Larva Menggunakan Ekstrak Cabe
Jawa Piper retrofractum dan Peningkatan Suhu” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir.
Muhammad Zairin Junior, M.Sc dan Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA. Hasil
penelitian ini diterbitkan pada Jurnal Iktiologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai