Anda di halaman 1dari 33

PILAR/SARANA PENDUKUNG PELAKSANAAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL DILIHAT DARI ASPEK


UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa pilar atau sarana pendukung
pelaksaaan hubungan industrial adalah:
1. Serikat pekerja/serikat buruh;
2. Organisasi pengusaha;
3. Lembaga Kerja Sama Bipartit;
4. Lembaga Kerja Sama Tripartit;
5. Peraturan perusahaan;
6. Perjanjian Kerja Bersama;
7. Peraturan Perundangan-Undangan Ketenagakerjaan; dan
8. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Ad. 1. Serikat pekerja/serikat buruh

Pengertian serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang di- bentuk


dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, mem bela, melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh, serta me ningkatkan kesejahteraan pekerja/
buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pasal 1 angka 17 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Dengan demikian, serikat pekerja/serikat buruh terdiri atas unsur-unsur:

 Organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh di


perusahaan ataupun di luar perusahaan;
 Bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab,
dan Bertujuan memperjuangkan, membela, dan melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
Dasar hukum serikat pekerja/serikat buruh adalah:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


(khususnya Pasal 28, Pasal 28C, dan Pasal 28F);
b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat
Buruh;
d) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
e) Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi;
f) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-
16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/ Serikat
Buruh.
g) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-
201/Men/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial;
h) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-
187/Men/X/2004 tentang luran Anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
i) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-
06/Men/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Serikat Pekerja/ Serikat
Buruh.
Apabila telah memiliki bukti pencatatan dari instansi yang membidangi
ketenagakerjaan, serikat pekerja/serikat buruh mempunyai hak sebagai
berikut:

1. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;


2. Mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
3. Mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
4. Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; dan
5. Melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 legitimasi
serikat pekerja/serikat buruh semakin kuat. Undang. undang ini membuka
berbagai kesempatan (Boulton; 2002: 9), antara lain:

a. Bagi pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat;


b. Bagi serikat untuk melindungi, membela, dan memperjuangkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya; dan
c. Perlindungan kepada pekerja dari tindakan diskriminasi dan intervensi
anti serikat.
Ad.2. Organisasi pengusaha

Kebebasan hak berserikat dan berorganisasi secara normatif sangat dilindungi


undang-undang. Dalam hal ini tidak hanya dominasi pe kerja/buruh yang
memiliki hak hukum untuk berserikat dan berorganisasi, tetapi juga para
pengusaha.

Dasar hukum organisasi pengusaha adalah:


a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan
c) Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Per- lindungan Hak Untuk
Berorganisasi.
d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-2017
Men/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
Ketentuan Pasal 105 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menetapkan bahwa setiap pengusaha berhak membentuk dan
menjadi anggota organisasi pengusaha.

Pertanyaannya, organisasi pengusaha mana dan macam apa?. Yang dimaksud


organisasi pengusaha di sini adalah organisasi pengusaha yang membidangi
hubungan industrial dan ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor Kep-201/Men/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial bahwa:
"Organisasi pengusaha adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi peng
usaha Indonesia yang didirikan secara sah atas dasar kesamaan tujuan,
aspirasi, strata kepengurusan, atau ciri alamiah tertentu."
Organisasi pengusaha yang eksis membidangi hubungan industrial dan
ketenagakerjaan hingga saat ini adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
yang secara historis tidak dapat dipisahkan dengan keberadaannya Kamar
Dagang dan Industri (Kadin).

Secara struktural hubungan antara Kadin dan Apindo tidak ada, tetapi antara
keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat." Secara internasional Apindo
menjadi anggota International Employers Organization (IEO).
Di samping Apindo masih ada beberapa organisasi pengusaha sektoral yang juga
sangat diperlukan peranan dan dukungannya dalam pelaksanaan hubungan
industrial, seperti asosiasi pengusaha:

1. sektor pertambangan dan energi;


2. sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan;
3. sektor pertanian dan perkebunan;
4. sektor peternakan dan perikanan;
5. sektor pariwisata;
6. sektor jasa perhubungan dan transportasi;
7. sektor jasa konstruksi dan pengembang (real estate);
8. sektor industri logam dasar;
9. sektor industri sandang;
10. sektor industri makanan dan minuman;
11. sektor niaga, keuangan, dan perbankan; dan
12. sektor pendidikan.
Apindo sangat memiliki peran penting dalam pelaksanaan hubungan industrial
karena sebagai subjek yang mewakili dunia usaha dalam forum komunikasi dan
konsultasi untuk masalah hubungan industrial dan ketenagakerjaan.

Sebagaimana serikal pekerja/serikat buruh Apindo sebagai organisasi yang


membidangi ketenagakerjaan d telah terakreditasi oleh Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) juga ber hak mewakili dunia usaha dalam kelembagaan
hubungan industrial dan ketenagakerjaan (periksa Pasal 10-16 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-201/Men/2001 tentang Keter
wakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial), termasuk me wakili dan
bertindak sebagai kuasa hukum anggota untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial.
Ad. 3. Lembaga kerja sama bipartite

LKS Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal hal yang
berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh (Pasal 1 angka 18 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan).

Lembaga ini dibentuk oleh pengusaha (manajemen) dan pekerja buruh atau
SP/SB atau wakil pekerja/buruh. Pada prinsipnya dalam lembaga ini pengusaha
dan pekerja/buruh duduk bersama melalui sistem perwakilan, berpikir bersama,
mencari jalan pemecahan bersama terhadap hal-hal, seperti peningkatan usaha
perusahaan, kelangsungan berusaha, peningkatan produktivitas, dan lain-lain.
Tujuan LKS Bipartit adalah untuk menciptakan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan di perusahaan.

Adapun fungsi LKS Bipartit adalah sebagai forum komunikasi dan konsultasi
antara pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pe kerja/
buruh dalam rangka pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan
hidup, pertumbuhan, dan perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan
pekerja/buruh.

Jadi, tegasnya Lembaga Kerja Sama Bipartit (disingkat LKS Bipartit) tidak
berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sebagaimana
meka- nisme bipartit yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Untuk melaksanakan fungsi di atas LKS Bipartit mempunyai tugas:

 Melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila


diperlukan;
 Mengomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh dalam
rangka mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial di
perusahaan; dan
 Menyampaikan saran, pertimbangan, dan pendapat kepada pengusaha,
pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan perusahaan.
Ad.4. Lembaga kerja sama tripartite

Sebagai salah satu upaya untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik


(good governance), yakni memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada
masyarakat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, peran
pemerintah dapat dilaksanakan secara optimal dan efektif. Maka, dalam
mengambil berbagai kebijakan khususnya kebijakan ketenaga kerjaan haruslah
mendengar pen dapat, baik dari kelompok pekerja/buruh maupun pengusaha.
Untuk itu prinsip tripartisme dalam sistem ketenagakerjaan di laksanakan
melalui LKS Tripartit.
Pengertian Lembaga Kerja Sama Tripartit (disingkat LKS Tripartit) adalah forum
komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh, dan pemerintah (Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenaga kerjaan).
LKS Tripartit ini dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan kabu paten/kota
dengan komposisi 1:1:1, dengan jumlah anggota:

 LKS Tripartit Nasional maksimal 45 orang;


 LKS Tripartit Provinsi maksimal 27 orang; dan
 LKS Tripartit Kabupaten/Kota maksimal 21 orang.

Tugas LKS Tripartit adalah memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat


dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan kepada:
 Presiden dan pihak terkait, untuk LKS Tripartit Nasional
 Gubernur dan pihak terkait, untuk LKS Tripartit Provinsi.
 Bupati/wali kota dan pihak terkait, untuk LKS Tripartit Kabu- paten/Kota.
Guna mengetahui LKS Tripartit ini selengkapnya dapat dilihat Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi
Lembaga Kerja Sama Tripartit, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2008.
Ad.5. Peraturan Perusahaan

Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh


pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan (Pasal 1
angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Jadi, peraturan perusahaan itu dibuat sepihak oleh pengusaha, tetapi tetap
harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, antara lain:
 Kewajiban untuk mendapatkan saran dan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh;
 Kewajiban mengajukan permohonan pengesahan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatan dan
wilayahnya;
 Legalitas pemberlakuan peraturan perusahaan efektif sejak di- sahkan oleh
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan tingkatan dan wilayahnya.
Keberadaan peraturan perusahaan secara politis sebenarnya dimaksudkan untuk
mempermudah dan mendorong pembuatan ke- sepakatan kerja bersama
(sekarang disebut perjanjian kerja bersama) di setiap perusahaan.

Apa pun dan bagaimanapun bentuknya peraturan perusahaan itu sangat


diharapkan dapat mendukung pelaksanaan hubungan industrial sesuai filosofi
Pancasila dan UUD 1945.

Apabila dalam suatu perusahaan sudah ada peraturan perusahaan, tetapi sering
timbul konflik, hampir dapat dipastikan bahwa per- aturan perusahaan itu tidak
mempunyai nilai apa-apa di dalam lingkungan perusahaan itu sendiri. Jangan
sampai terjadi bahwa peraturan perusahaan yang ada hanya formalitas belaka,
tanpa proses partisipatif, serta jauh dari nilai-nilai luhur filosofi Pancasila dan
UUD 1945.
Ad.6. Perjanjian kerja bersama

Penyebutan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pada awalnya beragam, yaitu :

 Perjanjian Perburuhan Kolektif (PPK) atau Collective Arbeids Overeenkomst


(CAO);
 Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Collective Labour Agreement
(CLA), Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB); dan
 Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).

Pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan


hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
kedua belah pihak (Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan).
PKB diperlukan karena tidak semua hak dan kewajiban dapat diatur dan dimuat
dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sehingga keberadaan
PKB dapat mengisi kevakuman hukum.

Adapun fungsi PKB (Anonim, 2003: 9) sebagai berikut:


a) Sebagai pedoman induk pengaturan hak dan kewajiban bagi pekerja dan
pengusaha sehingga dapat dihindarkan adanya perbedaan-perbedaan
penafsiran teknis pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha;
b) Sebagai saran untuk menciptakan kebersamaan, ketenangan kerja, dan
kelangsungan usaha bagi pengusaha;
c) Merupakan media partisipasi pekerja/buruh dalam perumusan kebijakan
perusahaan. d. Mengisi kekosongan hukum mengenai pengaturan syarat-
syarat kerja dan kondisi kerja yang belum diatur peraturan perundang-
undangan.
Memang tidak mudah bagi pekerja/buruh untuk menyakinkan pengusaha agar
mau membuat Perjanjian Kerja Bersama. Hal ini tampaknya tidak lepas dari
pengalaman masa lalu masing-masing pengusaha dan perilaku keliru para
pendiri serikat pekerja/ serikat buruh dalam lingkungannya.

Bagaimana persepsi pengusaha terhadap eksistensi serikat pekerja/ serikat


buruh tentu sangat berbeda-beda. Ada pengusaha yang berpersepsi positif
(positive thinking) sehingga terbuka untuk berdirinya suatu serikat pekerja/
serikat buruh di perusahaannya.

Sebaliknya, tidak sedikit pula peng- usaha yang berpersepsi negatif sehingga
alergi dan skeptis dengan kehadiran serikat pekerja/serikat buruh di dalam
perusahaannya, Apa pun alasannya kondisi demikian tidak dapat dibenarkan,
apalagi secara hukum sudah ada pengaturan sanksi pidana dalam Pasal 43
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
Untuk dapat melakukan perundingan PKB, pihak-pihak perlu memiliki rasa saling
percaya dan menghindari sikap kecurigaan, apriori, apa lagi permusuhan
(Suwarto; 2005: 13). PKB pada dasarnya merupakan penentuan nasib semua
pihak untuk masa ke depan.

Pengaturan lebih lanjut tentang pembuatan dan pendaftaran per janjian kerja
bersama dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Ke tenagakerjaan Nomor 28
Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pen daftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Ad. 7. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan

Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan merupakan salah satu pilar utama


yang tidak dapat diabaikan dalam penegakan hukum ketenagakerjaan secara
menyeluruh karena secara teori yuridis ke- beradaan peraturan perundang-
undangan menurut Friedman (1975, 1998) merupakan substansi hukum (legal
substance) yang menjadi bagian unsur sistem hukum.
Sebagaimana pengalaman selama pemerintahan Orde Baru (Boulton 2001: 5)
bahwa hubungan industrial secara ketat dikendalikan oleh pemerintah. Praktik
tersebut merupakan bagian dari agenda pertumbuhan ekonomi yang lebih
menekankan pada upaya menarik investasi asing dan pertumbuhan industri baru
daripada penegakan hak-hak pekerja. Termasuk dalam praktik pengendalian ini
adalah intervensi militer dalam perselisihan industrial dan pembatasan hak
berserikat. Sejak Reformasi tahun 1998 telah banyak perubahan yang terjadi,
khususnya dalam pembaruan peraturan perundang-undangan 17 ketenagakerjaan
sehingga kungkungan yang membelenggu hak-hak pekerja/buruh mulai longgar
dan bahkan harapannya ke depan harus tidak terjadi lagi,
Guna terlaksananya hubungan industrial yang harmonis mutlak di- perlukan
adanya peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang aspiratif dan
implementatif sehingga pembuatan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan haruslah sesuai dengan kaidah- kaidah, baik secara yuridis,
sosiologis, maupun filosofis.

Aspiratif artinya bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan ketenaga-


kerjaan harus melibatkan para pihak yang terkait, yakni pekerja/ buruh,
pengusaha, dan pemerintah. Hal ini tentu sejalan dengan spirit perlunya
konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Per- undang-Undangan dan Pasal 139 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008). Implementatif artinya bahwa pembuatan
peraturan per- undang-undangan ketenagakerjaan haruslah mudah diterapkan
dalam praktik di lapangan dan tidak multitafsir sehingga tidak me- micu
perbedaan pendapat atau perselisihan.
Ad. 8. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana diatur


dalam UU PPHI terbagi melalui dua jalur, yakni:

1. Jalur di luar pengadilan (yang ditempuh melalui upaya perundingan


bipartit, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi);
2. Jalur pengadilan (yang melalui Pengadilan Hubungan Industrial)
Lembaga bipartit, konsiliasi, arbitrase, mediasi, dan Pengadilan Hubungan
Industrial merupakan pilar pelaksanaan hubungan industrial yang amat
penting, khususnya dalam penegakan hukum ketenagakerjaan sehingga
keberadaannya dituntut harus professional.

Untuk mencapai keadilan tersebut hanya dimungkinkan kalau para penegak


hukum telah siap mental dan dapat bersikap profesional untuk
melaksanakannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, para penegak hukum
kita belum semua dapat bersikap profesional se hingga mengakibatkan
tersendat-sendatnya penegakan hukum di negeri kita (Rambe; 2001: 8).
Kehadiran UU PPHI diharapkan mampu menjawab kekurangan profesionalisme
penegak hukum dalam penanganan perselisihan hubungan industrial dan
lambannya proses penanganan.

Untuk itu kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial dalam sistem penyelesaian


perselisihan hubungan industrial akan semakin memperbaiki "citra buram"
P4D/P4P. Gugatan ke PTUN pun dihapuskan sehingga tidak lagi membuat
penyelesaian perselisihan berlarut dan merugikan pekerja/buruh sebagai pencari
keadilan.

Anda mungkin juga menyukai