Anda di halaman 1dari 5

Dunia pendidikan kita tahun ini sedang diuji oleh gelombang kehadiran pandemik.

Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terprediksi. Peristiwa ini membawa
konsekuensi-konsekuensi sosial di seluruh penjuru negeri. Pada masa di mana
lembaga pendidikan kita menghadapi tantangan mendesak untuk melindungi
keberlanjutan iklim belajar akibat pengaruh dari musibah yang bernama virus Corona.

Melihat gambaran dan situasi yang tengah dihadapi pendidikan kita saat ini, kita patut
bersyukur karena perkembangan teknologi komunikasi yang pesat telah membantu kita
melanjutkan proses pembelajaran yang terancam terhenti. Lewat media komunikasi
mutakhir, ia telah menawarkan alternatif kemudahan belajar ditengah mewabahnya
virus berbahaya ini.

Inilah era disrupsi. Inovasi teknologi mampu mengubah pola-pola lama kehidupan
sosial bahkan menciptakan anomali (Christensen, 2015). Kemajuan teknologi
kontemporer telah membentuk ulang cara kita berinteraksi dan berkomunikasi yang
menjadi penciri kemajuan masyarakat pasca modern. Yaitu lahirnya institusi maya,
menggeser aktivitas-aktivitas kita yang awalnya dilakukan di dunia nyata, beralih ke
dunia maya.

Kita telah beranjak menuju fase masyarakat digital. Perubahan dan konvergensi
teknologi yang begitu cepat dan merambah ke berbagai hal seperti sosial, ekonomi dan
politik membuat lingkungan aktivitas kita berubah amat cepat dan terjadi dalam skala
besar.

Hal ini berdampak juga terhadap dunia pendidikan. Kita saksikan aktivitas belajar
mengajar terutama di negara-negara maju mulai beralih ke wahana maya. Di luar
negeri, misalnya, lintasan dan batasan negara bukanlah menjadi penghalang untuk
tetap melakukan prosesi pengajaran jika mahasiswa dari luar negeri kebetulan
terhalang menghadiri kuliah atau ujian tatap langsung. Sebut saja ujian tesis atau
disertasi mahasiswa. Banyak kampus yang menaruh pilihan mengenakan
teleconference sebagai pengejawantahan dari dimensi institusional modernitas,
meminjam istilah sosiolog posmodern Anthony Giddens.

Di Indonesia sendiri terutama di kota-kota besar juga sudah mulai beralih ke aplikasi-
aplikasi alternatif belajar. Hal tersebut semakin memudahkan para siswa termasuk para
mahasiswa dalam belajar. Sebab, wahana maya yang didalamnya terdapat medium
transfer ilmu pengetahuan, telah digandrungi generasi saat ini. Ini terlihat pada
boomingnya aplikasi Ruang Guru, Podcast, Google Classroom, Zoom, Google Meet,
YouTube sebagai media belajar. Walaupun hanya segelintir yang mengakses.

Setelah seluruh aspek-aspek kehidupan kita dipukul mundur oleh pandemi Corona,
institusi pendidikan kita secara total mengubah pola-pola lama. Pemerintah telah
mengambil langkah lebih besar dengan mengubah model belajar pertemuan muka
selama ini. Menggeser suasana belajar dari ruang-ruang kelas menuju ruang-ruang
maya setelah diterapkannya kebijakan bekerja dan belajar dari rumah. Para siswa dan
pelajar mulai dari tingkatan Sekolah Dasar, Menengah hingga Pendidikan Tinggi,
melanjutkan proses belajar mengajar mengikuti alternatif ruang virtual tersebut agar
tidak tertinggal jauh semasa swakarantina.
Namun dalam masa ini pula, di sebagian tempat nyatanya lembaga-lembaga
pendidikan kita kewalahan bahkan kelabakan dalam menghadapi situasi ini. Meski
telah ditopang dengan kehadiran alternatif belajar, kondisi-kondisi di lapangan
nyatanya sangat kompleks. Belajar dengan suguhan wahaya ruang maya ternyata tidak
selamanya bisa menjadi alternatif pilihan saat ini.

Soal Disrupsinya Pendidikan Kita?

Dalam generasi kita, belum pernah ada krisis yang bisa mendisruspi sistem pengajaran
pendidikan secara masif. Nampaknya memang baru pertama kali kita mendapati situasi
semacam ini di mana mewabahnya pandemi Corona melahirkan situasi yang kompleks
dan multidimensional. Kita dihadapkan pada situasi krisis yang segi-seginya menyentuh
setiap aspek kehidupan. Mulai dari aspek kesehatan, mata pencaharian, hubungan
sosial dan ekonomi hingga politik, semua terdampak. Tidak terkecuali pendidikan kita.

Itu berkaitan dengan banyaknya sekolah-sekolah (terutama sekolah dasar dan


menengah pertama) yang tidak mampu melanjutkan pengajaran karena ketiadaan
akses belajar untuk menerapkan anjuran Work From Home (WFH). Di daerah-daerah
pelosok atau pedalaman, misalnya, tidak ada pilihan lain kecuali meliburkan sekolah
secara total (tidak ada interaksi guru dan siswa selama libur) dan guru hanya
memberikan tugas kepada siswa seadanya. Selebihnya guru yang mendatangi para
siswa. Ini karena penerapan WFH sangat tidak mendukung dilaksanakan.

Alih-alih ditunjang infrastruktur komunikasi dan informasi, bahkan penggunaan telepon


seluler pun tidak semua dimiliki para orang tua siswa. Peliknya lagi orang tua siswa
banyak yang terbebani dengan kemampuan membeli paket internet.

Adalah kisah Pak Guru Avan yang menjadi saksi akan hal ini. Itu viral di lini masa. Ia
adalah guru Sekolah Dasar di Pelosok Sumenep Jawa Timur yang harus mengajar dari
rumah ke rumah sebab tak semua siswa punya fasilitas belajar online (Kompas,
18/04/20). Pun jika mereka punya, menurut kesaksian Pak Guru Avan, mereka
mengeluhkan pembelian kuota. Sehingga hal yang ditempuh ialah mendatangi rumah
para siswa.

Pak Guru Avan hanya satu dari sekian banyak guru yang diberitakan di media. Saya
kira ada banyak lagi guru-guru kita di daerah-daerah tertinggal dan pulau terluar
lainnya yang mendapati peristiwa serupa tetapi tidak terekspos di ranah publik.

Berbeda dengan proses belajar mengajar di wilayah-wilayah perkotaan. Ini tidak


menjadi masalah utama sebab fasilitas-fasilitas belajar sangat mendukung untuk tetap
melanjutkan proses belajar dari rumah. Di topang dengan kapabilitas infrastruktur
komunikasi dan informasi, para peserta didik dan guru sangat memungkinkan
terjadinya pertukaran informasi secara secara cepat untuk tetap melanjutkan
pengajaran.
Fenomena ini tidak terkecuali merembes ke lembaga pendidikan tinggi. Proses
perkuliahan di kampus-kampus polanya juga hampir sama. Berbanding terbalik dengan
mahasiswa yang tinggal di daerah perkotaan atau minimal bermukim di daerah yang
terjangkau signal, mahasiswa yang berasal dari daerah pedalaman yang harus kembali
ke kampung halaman karena terdampak oleh pembatasan sosial, mengalami kendala
serupa. Meski tidak semua mengalami karena di sebagian tempat juga masih bisa
berusaha mencari sumber-sumber sinyal. Tetapi, tidak sedikit di antara mereka yang
tidak bisa sama sekali mengikuti perkuliahan. Hal ini karena daerah mereka masih
sangat tertinggal dalam hal akses terhadap internet.

Inilah tantangan-tantangan pendidikan kita saat ini. Upaya-upaya lembaga pendidikan


untuk mencapai pengajaran yang maksimal semasa swakarantina tidak benar-benar
efektif. Alternatif belajar berbasis institusi maya tersebut, secara konsisten tidak lepas
dari pengaruh kapasitas masyarakat dan ketersediaan perangkat teknologi.

Ini sudah menjadi prasyarat utama ketika memilih menggunakan media virtual dan
booming media sosial yang begitu dahsyat hari ini. Tidak hanya itu, harus diakui bahwa
perkembangan masyarakat informasi dalam kehidupan sosial saat ini, sedikit banyak
ditopang oleh benda-benda artifisial. Sehingga ini harus disokong juga dengan
infrastruktur teknologi. Ketika daerah-daerah pelosok belum semua didukung oleh
perangkat teknologi. Maka yang terjadi adalah gangguan atau kekacauan. Itu sudah
menjadi sunnatullah sekaligus penanda era disrupsi.

Dalam pada itu, barang kali karena faktor ini juga sampai-sampai pemerintah
meniadakan Ujian Nasional tahun ini. Ya, pikiran liar saya menduga itu. Bahwa ini
bukan hanya soal menghindari pagebluk Corona, tetapi juga karena memang sistem
ujian berbasis komputer dan Internet tidak memadai diterapkan di seluruh penjuru
negeri untuk konteks saat ini. Itu cukup beralasan. Sebab tahun lalu saja, berdasarkan
hasil survei Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet (APJI), yang dirilis pada bulan Mei
2019, hanya ada 64,8 persen penduduk kita yang menggunakan Internet atau terdapat
171, 17 juta pengguna dari 265, 16 juta jiwa (15/05/2019).

Ini memberi warning kepada kita bahwa kompleksitas teknologi tinggi, manajemen
tinggi, dan kehidupan sosial-politik tinggi tidak lantas memampukan semua lembaga
pendidikan kita untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Di saat kita mulai
percaya pada kemampuan aplikasi-aplikasi artifisial, seketika aktivitas pembelajaran
terputus di ruang wilayah yang lain. Keterbatasan akses teknologi menyeruak
bersemaan dengan meningkatnya “pemujaan kemajuan teknologi” yang semuanya
telah diamati secara nyata dalam masyarakat kita di abad ini.

Kita Harus Berbenah?

Gejala-gejala di atas tercakup dalam realitas pendidikan kita saat ini dan menjadi
tantangan kita bersama. Memasuki era disrupsi teknologi, kita perlu mengambil
pandangan lebih luas dengan menarik situasi pendidikan kita ke dalam konteks evolusi
kebudayaan masyarakat pasca modern. Mengutip pandangan sejarawan Toynbee,
bahwa melangkah ke suatu fase peradaban, kita memang harus bersiap melewati suatu
transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis.

Menurut Toynbee, pola dasar dalam terjadinya peradaban itu adalah hasil pola interaksi
yang disebutnya dengan “tanggapan dan tantangan”. Tantangan dari lingkungan alam
dan sosial-lah akan memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat, atau
kelompok sosial, yang mendorong masyarakat kita memasuki proses peradaban baru
sebagai langkah lanjut dari perubahan sosial.

Ketidakseimbangan lembaga pendidikan kita menghadapi situasi pandemi di era


disrupsi, harus dibarengi dengan tanggapan-tanggapan terhadap tantangan ini guna
membangkitkan momentum pendidikan kita. Hal ini akan membawa kita keluar dari
kondisi krisis memasuki suatu “keseimbangan baru yang tampil sebagai tantangan
baru”, meminjam istilah Fritjopf Capra, penulis buku titik balik peradaban. Bahwa kita
harus siap menghadapi suatu “disequilibrium” yang memang menuntut kita melakukan
penyesuaian-penyesuaian kreatif baru.

Kita tidak cukup hanya berdamai dengan keadaan saat ini tetapi perlu melakukan
terobosan-terobosan menghadapi perubahan yang dramatis dan penuh resiko tersebut.
Itu saya kira juga telah termaktub dengan amat nyata dalam tema peringatan hari
pendidikan nasional yang diusung tahun ini, yakni “Belajar dari Covid-19”. Pijakan kita
adalah menggerakan roda sejarah dunia pendidikan yang di dalamnya ada visi baru
tentang realitas, seperti yang pernah diungkapkan Capra, bahwa kita butuh sebuah visi
yang memungkinkan munculnya daya yang mampu menstransmisikan dunia kita ke
dalam sebuah aliran yang padu, menjadi gerakan positif bagi perubahan sosial.

Dengan demikian, di era “supersmart society” saat sekarang ini, atau sedang menuju
ke revolusi industri 5.0, kita memang harus berani memulai berbenah. Adalah hal
mustahil untuk menghindar dari perubahan-perubahan sosial teknologi yang serba
cepat. Dengan perkataan lain, era ini adalah bagian dari yang disebut Anthony Giddens
sebagai “konsekuensi-konsekuensi modernitas”. Yaitu kita telah memasuki satu periode
modernitas tingkat tinggi yang akan selalu berorientasi ke masa depan dan ditandai
dengan bertransformasinya ruang dan waktu.

Kemampuan menyesuaikan, menguasai dan mengembangkan teknologi menjadi salah


satu komponen penting di masa-masa ini. Pengalaman dari negara maju menunjukkan
bahwa iklim pendidikan mereka baik karena memang didukung dengan peningkatan
dalam kemampuan teknologi. Mereka berinovasi lalu menyesuaikan diri.

Kalau kita mau bisa bertahan di dunia jaman sekarang, kita tidak akan bisa
menghindari kemajuan-kemajuan itu. Seperti ungkapan dari Albert Einstein, “ The
measure of inttelligence is the ability to change”. Maka tugas pendidikan kita mau tidak
mau harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Minimal mengubah kultur-
kultur lama yang kadang kala mengungkung kita selama ini. Mungkinkah ke depan
lembaga pendidikan kita dapat mengalihwahanakan ke perantaraan institusi maya? Kita
lihat saja nanti setelah pandemi ini berlalu!

Anda mungkin juga menyukai