Anda di halaman 1dari 7

TA’ARUF CINTA

Di sebuah kamar berukuran 3 X 3 meter dua orang gadis duduk berhadapan di atas

ranjang tempat tidur. Mereka adalah dua sahabat dekat yang lama tak bersua karena

kesibukan belajar di kampus yang berbeda dan berjauhan.

“Aku sangat bersyukur dan senang sekali karena kamu berkenan meluangkan waktu

liburmu untuk mengunjungi rumah ini lagi” ucap Sarah, gadis yang memakai gamis polos

merah marun yang dipadukan dengan kerudung saleem produk Alwa Hijab. Dia terlihat

pucat, meski demikian aura ketenangan dan keteduhan tetap terpancar dari matanya. Dia tetap

terlihat ceria seperti biasanya.

“Iya Rah, sebegitu kejamnya ya kampusku sampai berhasil membuat kita jarang

berkomunikasi” ucap Laras bercanda. Sahabatnya itu juga terlihat anggun dengan gamis

polkadot ungu muda dan kerudung polos ungu tua nya.

Sarah tersenyum. “Ras, kamu masih ingat dengan hobiku?”

“Masih lah. Menulis kan? Aku kan pembaca setia blogmu”

Sarah tersenyum. “Alhamdulillah, aku juga suka nulis di buku itu” jawab Sarah

sambil menoleh ke arah meja yang berada di samping ranjang tidurnya.

Laras mengikuti Sarah menoleh ke arah meja itu. Dia mendapati sebuah buku diary -

bercover biru bergambar seorang muslimah - di atas meja yang dikelilingi beberapa tablet

dan beberapa butir obat. Dia tersenyum dan mengangguk.

“Tulisan di buku itu belum sempat aku share di blog Ras, kalah dengan keadaan.

Sebagai pembaca setia tulisanku, kamu boleh membawa buku itu. Dan aku minta tolong, usai

kamu menamatkan buku itu, kamu harus meminta sepupumu membacanya, dia wajib

membacanya” pinta Sarah diiringi senyum.

***
Sudah menjadi kebiasaan di tempat pariwisata, jika hari libur pasti dipadati oleh

pengunjung. Di pantai Gemah misalnya, pantai yang mudah dijamah – karena jalan menuju

ke sana tidak terlalu ekstrem – ini berhasil menarik minat banyak orang dari anak-anak

hingga dewasa untuk menikmati ciptaan Yang Maha Agung.

Banyak orang berarti juga terdapat banyak kegiatan yang dilakukan. Ada yang

bermain di pantai untuk membuat mainan dari pasir, ada yang berenang dan bermain dengan

air lautnya, ada yang fokus mengendarai mobil ATV nya, ada yang bahagia dengan lagu yang

dilantunkannya di hadapan para sahabat yang jarang bersua (reuni), ada juga yang hanya

duduk mengobrol sambil memandangi hamparan samudra, serta – tentu saja - tidak sedikit

yang narsis dengan kamera selfie nya.

“Aku tidak bisa membayangkan jika pada saat ini terjadi tsunami”. Kayla tersenyum

menatap samudra dan orang-orang di sekitarnya. “Pastinya tidak ada lagi wajah-wajah

bahagia itu”. Kayla diam sebentar. “Duh dunia, pesonamu benar-benar hanya sebagai

gurauan”.

“Tidak ada yang lebih menyedihkan jika hal itu terjadi daripada mereka melupakan

pencipta kebahagiaan itu” ucap Hamzah.

“Tidak selamanya bahagia itu baik. Kadang, kesedihan yang diiringi dengan

mengingat-Nya jauh lebih baik daripada kebahagiaan yang membuatnya lupa pada sang

Illahi” ucap Hani.

“Mungkin kita bisa merenungi apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin

Khattab, aku tidak peduli atas susah atau senangku, karena aku tak tahu manakah di antara

keduanya itu yang lebih baik bagiku” ucap Fara.

Kayla, Hamzah, Fara, dan Hani duduk di atas tikar yang digelar di pantai, 20 meter

dari tepi air laut. Mereka duduk sambil memandangi hamparan samudra. Ketiga gadis itu

memakai gamis dan kerudung polos yang sewarna. Biru elektrik untuk Kayla, mint untuk
Fara, dan orange muda untuk Hani. Itulah mereka yang berusaha istiqomah, pantai tidak akan

menghalangi mereka untuk berpakaian syari. Adapun Hamzah terlihat cool dengan celana

levis dan kaos abu-abu bermotif kotak berwarna hitam.

“Haduh, ke mana ini arah pembicaraannya?” Hani menepok jidatnya. Dia pun

langsung berdiri dan mengambil tas ransel yang tergeletak di belakang mereka. “Menikmati

lautnya sambil makan ini coba? Kan seru!”.

Dua kotak berisi makanan ringan yang berada di dalam tas itu pun dikeluarkan oleh

Hani. Sambil menikmati makanan itu, pembicaraan serius pun terjadi.

“Mas Hamzah beneran kan sama mbak Kayla?” tidak mau menunggu lama, Hani

sebagai adik Kayla langsung mengeluarkan kalimat intinya.

Hamzah tersenyum, “Bismillahirohmanirrohim, insya Allah aku serius”.

Ketiga gadis pun tersenyum bahagia mendengarkan jawaban Hamzah.

“Namun, dengan syarat”.

Senyum itu langsung memudar. Mereka bertiga tampak kecewa. Apalagi Fara, dia

tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kedua keluarga telah mempersiapkan acara pra

pernikahan sampai ke pernikahan itu, tapi kenapa kakaknya baru mengajukan syarat saat ini?

Dia menatap Hamzah tidak mengerti.

“Moment spesial ini harus benar-benar sesuai syariat Islam” lanjut Hamzah.

Fara dan Hani menghembuskan nafas lega. Ternyata bukan syarat yang sulit. “Yaelah,

Mas. Kaya gini kurang syari bagaimana? Kalau aku sama Fara gak ikut ke sini, itu baru bisa

disebut khalwat yang dilarang agama” kata Hani dengan perasaan lega campur kesal.

“Ajaran Islam mana yang kamu anut?” tanya Kayla.

Hamzah menatap Kayla, tersenyum. Pertanyaan itu tidak menyatakan apa yang

diungkapkan oleh mata Kayla. “Islam berarti selamat. Keberadaannya memberikan

kemaslahatan bagi umat manusia dan makhluk lainnya. Inilah mengapa dia pantas
menyandang gelar rahmatan lil’alamiin. Tidak ada masalah hidup yang tidak diatur oleh

Islam. Aturan dan ajarannya begitu mulia, siapa pun yang mengamalkan ajarannya tidak akan

rugi, insya Allah, bahkan mereka akan memberikan manfaat bagi sekitarnya” jelas Hamzah.

Kayla mengangguk.

“Menikah misalnya, ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk mengarungi

kehidupan bersama belahan jiwa, dan aku ingin kehidupan itu berkah dan selalu mendapat

ridho-Nya. Karena itu, aku sangat berharap kalau walimatul ‘ursy nanti jangan sampai

membuat kita meninggalkan kewajiban kita, seperti yang kadang kita lihat bahwa

pengantinnya didandani dari qobla Dhuhur sampai menjelang Ashar. Itu jangan sampai

terjadi, dan jangan sampai ada orang yang sampai meninggalkan shalat karena sibuk dengan

hajat kita. Aku takut itu akan mengurangi keberkahan rumah tangga kita”.

“Aku juga ingin segala macam yang tidak ada ajaran Islam ditiadakan, serta acara kita

jangan sampai membuat orang lain merasa rugi atau merasa terpaksa menghadiri walimah

kita. Mungkin dalam undangan perlu ditambahkan catatan bahwa kita tidak menerima

apapun. Kalaupun tetap ada orang yang ikhlas memberikan untuk kita, ya kita terima”

Hamzah mengiringi senyum pada kata terakhirnya. “Yang terpenting kita sudah berusaha

yang terbaik untuk semuanya. Jadi bagaimana?” lanjut Hamzah.

Ketiga gadis mengangguk setuju.

“Tidak hanya orang kaya yang bisa melakukannya. Dengan niat lillah kita yakin pasti

bisa. Sederhana saja, dan semoga yang sederhana ini diridhoi-Nya. Karena hakikat walimatul

‘ursy bukan untuk berpesta melainkan sebagai rasa syukur dan sekaligus untuk

mengumumkan pernikahan itu sendiri” jelas Hamzah.

“Ide yang cerdas” ucap Kayla sepemikiran dengan Hamzah. “Alhamdulillah, satu

permintaan aku telah dikabulkan oleh Allah”.

“Apa itu mbak?” tanya Fara.


“Aku hanyalah wanita biasa, tidak pandai perkara agama dan tidak cerdas dalam

urusan dunia. Aku adalah wanita yang selalu berusaha menjadi lebih baik dari kemarin dalam

hal dunia dan akhirat. Adalah sebuah kebahagiaan ketika Dia menghadirkan seorang ikhwan

yang akan membimbing aku dalam memperbaiki diri untuk menjalankan tugas sebagai

hamba dan khalifah Allah” ucap Kayla menatap Fara.

Hati Hamzah berdesir. Apakah halilintar cinta baru saja menyambarnya?

“Aku pun sama, tidak sepandai dan secerdas yang kamu bayangkan. Tapi aku

bersyukur karena dipertemukan dengan seorang akhwat yang bersedia belajar bersama dalam

ketaatan pada sang Illahi” balas Hamzah.

Kali ini hati Kayla yang luluh.

“Mungkin inilah jawabanya kenapa aku dipertemukan dengan wanita istimewa di Bait

Tahfidz Qur’an” lanjut Hamzah diiringi senyum. Kayla cukup kaget dan kecewa mendengar

ucapan tersebut, karena ternyata bukan dirinya wanita yang istimewa di hati Hamzah. Wanita

di Bait Tahfidz Qur’an? Pasti hebat hafalan Qur’annya. Tidak salah kalau memang wanita itu

lebih istimewa dari dirinya. Siapalah dia, dia hanyalah wanita yang belajar menghafal Al-

Quran di rumahnya sendiri.

“Allah mempertemukan kami, menjadikan kami saling mengenal dan mengerti, untuk

kemudian memisahkan kami. Mungkin Hamzah dan Kayla lah pemeran utama dalam drama

ini” ucap Hamzah diselingi canda untuk menghapus sedihnya, “Wanita istimewa itu hanya

pemain figuran yang dikirimkan sebentar untuk membimbingku supaya aku bisa

membimbing seorang muslimah di hadapanku saat ini sampai ke surga. Indah sekali bukan

skenario-Nya?”

Pipi Kayla pun memerah oleh kalimat Hamzah yang tampak tulus dari hatinya.

Hamzah mengambil sesuatu dari dalam tas yang tergeletak di antara dirinya dan Fara.

“Ini adalah buku dari sepupuku. Wanita itu membimbingku melalui buku ini” Hamzah
memperlihatkan buku diary bercover biru kepada Kayla. “Seperti buku diary biasanya, ada

sedikit kisahnya, namun yang paling banyak ditulis adalah materi keislaman, dan apa yang

aku katakan tadi sebagiannya terinspirasi dari tulisan itu”. Hamzah memberikan buku itu

pada Kayla sambil berujar, “Sangat cocok dibaca oleh kita yang mengaku ingin memperbaiki

diri dalam mentaati Sang Pencipta”.

Kayla menerimanya tampak ragu. Ia pandangi cover buku itu. Kosong, tidak ada

nama pemiliknya. Lalu siapa wanita yang dimaksud? Ada banyak pertanyaan yang melintas

di kepala Kayla. Kenapa Hamzah batal menikah dengan dia? Apakah dirinya yang

menyebabkan batalnya pernikahan itu? Tidak mungkin! Saat mengenal Hamzah, semuanya

memberikan kesaksian bahwa Hamzah masih single. Lalu sebenarnya apa yang terjadi?

“Kamu benar Kayla, dunia mempertontonkan pesonanya hanya sebentar. Sungguh

rugi orang yang mencintai ke-sebentar-an itu. Mengapa memilih mencintai dunia yang penuh

fatamorgana daripada mencintai Allah yang kekal? Mengapa memilih memiliki cinta palsu

daripada cinta yang hakiki? Pelajaran ini aku temui di tulisan terakhirnya. Bacalah Kayla,

kamu akan menemukan jawaban atas pertanyaanmu pada tulisan itu” ucap Hamzah paham

dengan apa yang dipikirkan oleh Kayla.

Kayla membuka buku itu dengan jempolnya di tepi, lembaran demi lembaran

bergerak cepat hingga sampai di tulisan terakhir pada lembar ke 5 dari belakang.

Mas Hamzah, cinta adalah anugrah terindah dari Yang Maha Indah. Kita harus berusaha
untuk tidak menggunakannya secara berlebih pada pernak-pernik dunia yang hanya
sementara ini. Percayalah, anugrah itu akan lebih indah jika diberikan kepada Sang Maha
Pemberi cinta itu sendiri. Lewat tulisan ini, aku minta maaf jika nanti aku tidak bisa
bersamamu. Bukan karena aku tidak mencintaimu. Aku mencintaimu, tapi aku berusaha
untuk lebih mencintai Tuhanku. Salahkah kalau aku lebih mencintai Dia yang menumbuhkan
perasaan cinta ini padamu? Maaf jika aku banyak salah, dan maaf jika kenyataannya diri ini
ingin bertemu dengan Yang Maha Indah terlebih dahulu daripada dipertemukan denganmu di
pelaminan yang indah. Salam, Sarah.

Kayla tampak sedih usai membacanya. “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Terima

kasih mbak Sarah, semoga tulisan ini bisa menjadi amal jariah mbak Sarah di sana”.
Semua mengamini lirih.

BIODATA PENULIS

Penulis memiliki nama Zainun Nasikah, ia dilahirkan dan dibesarkan di Tulungagung,


Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh pendidikan di IAIN Tulungagung. Penulis pemula ini
sedang berusaha istiqomah berdakwah dalam tulisan. Beberapa karyanya telah dimuat ke
dalam beberapa buku antologi serta majalah lokal. Tulisannya juga bisa dibaca di
siriuspedhia.blogspot.com . Penulis dapat disapa di akun Twitternya @Nuunzai_Zn , akun
Facebooknya Zainun Nasikah ( https://web.facebook.com/nuunzai.zn ) atau emailnya
zainun.zn@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai