1122-Research Results-3567-1-10-20210422
1122-Research Results-3567-1-10-20210422
p-ISSN 2598-7828
Leo Waldiansyah
La Ode Ali Basri [Gerakan DI/TII di Distrik Abuki Sulawesi Tenggara: 1956-1962]
Oleh:
Leo Waldiansyah
La Ode Ali Basri
(Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo)
Abstract
This research objectives of this study are: to find out the early entry of Darul
Islam/Indonesian Islamic Army (DI/ TII) in Abuki in 1956, to investigate the DI/ TII activities in
Abuki District in 1956-1962, and to determine the impact of DI/ TII activities in Abuki in 1956-
1962. The method used in this research was historical method which consists of several steps as
follow: (1) Topic selection, (2) source collection, (3) source criticism (external and internal); (4)
interpretation of sources (analysis and synthesis); and (5) historiography. The result of this research
showed that the early entry of DI/TII in Abuki, Konawe, Southeast Sulawesi in 1956 through the
Ulu Iwoi mountain route and the Konaweeha River which arrived in Abuki on April 3, 1956. The
activities conducted by DI/TII in Abuki such as controlled the area, conducted propaganda, created
a military government and mobilized forces, recruitment, and controlled the entire Abuki district
and carried out territorial expansion. DI/TII activities in Abuki in 1956-1962 had negative and
positive impacts to the Abuki community at that time.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui awal masuknya Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) di Abuki pada tahun 1956, untuk mengetahui aktivitas DI/TII di Distrik Abuki
pada tahun 1956-1962, serta untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan aktivita gerakan separatis
DI/TII di Abuki pada tahun 1956-1962. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sejarah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) pemilihan topik; (2) pengumpulan sumber; (3)
kritik sumber (eksternal dan internal); (4) interpretasi sumber (analisis dan sintesis); serta (5)
historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal masuknya anggota DI/TII di Abuki,
Konawe, Sulawesi Tenggara, pada tahun 1956 melalui jalur pegunungan Ulu Iwoi dan Sungai
Konaweeha yang sampai di Abuki pada tanggal 3 April 1956. Aktivitas anggota DI/TII di Abuki
adalah menguasai daerah, melakukan propaganda, membuat pemerintahan militer dan
penggalangan kekuatan, melakukan perekrutan, serta menguasai seluruh Distrik Abuki dan
melakukan ekspansi wilayah. Aktivitas DI/TII di Abuki pada tahun 1956-1962 membawa dampak
negatif dan positif bagi masyarakat abuki pada masa itu.
Kata Kunci : Abuki, Gerakan DI/TII, Konawe, Sulawesi Tenggara
1. PENDAHULUAN
Peristiwa sejarah yang memilukan bagi bangsa Indonesia menjadi sejarah kelam bagi
kegigihan bangsa Indonesia untuk mempertahankan ideologi Pancasila dan keutuhan negara
Republik Indonesia dengan timbulnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap pemerintah
Republik Indonesia. Istilah gerakan berasal dari kata gerak yang berarti tindakan atau agitasi yang
dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang bertujuan untuk melakukan perubahan. Gerakan
yang dilakukan masyarakat merupakan aspek dinamis dalam kehidupan politik. Oleh karena itu,
gerakan sering terjadi pada masyarakat yang mengalami perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan
politik (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999: 769).
Widyanta (2002: 12) mengemukakan bahwa gerakan adalah tindakan dari sekelompok
orang yang berbentuk organisasi, yang berjumlah besar atau individu yang berfokus pada suatu isu-
isu sosial, budaya, atau politik dengan melaksanakan ataupun menolak sebuah perubahan sosial.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Abdul Wahib Situmorang dalam Wibisono (2016: 72)
mengatakan bahwa usia gerakan sosial sebagai sebuah aksi kolektif sama tuanya dengan
perkembangan peradaban manusia. Sejarah membuktikan perubahan peradaban ke peradaban lain
seringkali kali terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif atau dikenal dengan gerakan sosial pada
saat ini.
Salah satu gerakan perlawanan di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa rakyat Indonesia
yang berkeinginan untuk mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan hukum Islam. Perlawanan
tersebut disebut dengan Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang bertujuan
untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan DI/TII dipimpin oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosuwiryo. Darul Islam, berasal dari bahasa Arab dar al-Islam yang berarti rumah atau
keluarga Islam, yaitu dunia atau wilayah Islam yang peraturan-peraturan pemerintahannya
mewajibkan pelaksanaan syariat Islam (Dijk, 1995: 1). Hasman (2013: 38) mengatakan bahwa
gerakan Darul Islam merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan suatu negara
yang berlandaskan hukum Islam. Gerakan Darul Islam menggunakan cara perlawanan bersenjata
untuk mencapai tujuannya.
Tentara Islam Indonesia (TII) merupakan tentara Darul Islam yang berasal dari
penggabungan Pasukan Sabilillah, Hisbullah, dan organisasi Islam lainnya yang pada awalnya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengusir penjajahan Belanda dari Indonesia. TII terbentuk
pada saat dilaksanakannya Konferensi Pangwedusan pada tanggal 10 Februari 1948. TII merupakan
tentara dari Negara Islam Indonesia (Dengel, 1995: 70). Cahyari (2019: 11) mengemukakan bahwa
TII dalam NII memiliki dua kedudukan. Kedudukan pertama TII yaitu sebagai Tentara Allah yang
menerima serta bertanggungjawab langsung atas tugas Ilahi, tugas membuat kerajaan Allah di
dunia, tugas menggalang negara karunia allah yaitu Negara Islam Indonesia. Kedudukan kedua TII
adalah sebagai Tentara Ideologi Islam yang wajib membela Negara Islam Indonesia.
DI/TII memerlukan kekuatan yang besar agar mampu melakukan perlawanan terhadap
negara Republik Indonesia untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Oleh karena itu, DI/TII
memulai pergerakannya dengan cara mencari dukungan rakyat Indonesia di beberapa wilayah di
Indonesia, bahkan sampai memasuki daerah-daerah terpencil untuk menghasut masyarakat agar
bergabung melakukan perlawanan terhadap negara Republik Indonesia. Hasman (2013: 5)
mengemukakan bahwa daerah pengunungan di Jawa Barat, daerah pegunungan di Jawa Barat, yang
ke Timur dari Bandung sampai ke perbatasan Jawa Tengah, merupakan daerah awal mula gerakan
DI/TII sebelum akhirnya menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Pengaruh gerakan DI/TII sampai ke daerah Sulawesi, tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan,
pada tahun 1950 dengan terjadinya penggabungan antara gerakan pimpinan Qahhar Mudzakkar
dengan gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Strategi penggabungan dua kelompok
tersebut diharapkan akan mampu memperoleh dukungan yang lebih banyak dari masyarakat
Sulawesi Selatan yang mayoritas muslim. Pada tahun 1953, kondisi gerilyawan DI/TII di Sulawesi
Selatan semakin terdesak oleh perlawanan yang dilakukan oleh TNI dengan melakukan serangkaian
operasi untuk memberantas gerakan DI/TII. TNI juga mengajak para pemberontak yang merasa
tidak puas dengan Qahhar agar menyerah. Akibatnya, terjadi pembelotan dari gerilyawan DI/TII
sehingga memperlemah DI/TII di Sulawesi Selatan. Hal ini mendorong Qahhar Muddzakar berserta
anggotanya untuk memasuki wilayah Sulawesi Tenggara dengan pertimbangan bahwa wilayah
Sulawesi Tenggara memiliki hutan yang sangat luas, penduduk yang relatif sedikit, dan daratan
yang berbukit-bukit yang sangat menguntungkan untuk melaksanakan perang gerilya.
Hadara (2014: 189) mengatakan bahwa selama periode 1950-1965 daerah Sulawesi
Tenggara menjadi arena kekacauan yang cukup serius. Masuknya Gerakan DI/TII di Sulawesi
Tenggara menimbulkan banyak kekacauan di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara. Kolaka Utara
(Lasusua) adalah daerah di Sulawesi Tenggara yang pertama kali dimasuki oleh DI/TII pada tahun
1953, setelah itu masuk ke daerah Kolaka, Kolaka Timur berlanjut ke daerah Konawe (Latoma,
Abuki, Tongauna, Unaaha, dan Wawotobi).
Pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) memasuki wilayah Abuki pada hari
Selasa, 3 April 1956. Pasukan DI/TII masuk di Abuki terlebih dahulu melalui wilayah bagian Barat
sampai ke wilayah Timur Abuki, yaitu Asolu, Punggaluku, Sambeani, Pandangguni, Kasuwura,
Epee’a, Unaasi Jaya, Walay, Kumapo, Arubia, dan Ambopi. Daerah Abuki kemudian menjadi salah
satu daerah yang menjadi basis perjuangan gerakan DI/TII pada tahun 1956 sampai 1962. Pada
masa itu, masyarakat Abuki mengalami berbagai kesulitan sebagai akibat adanya kerawanan yang
ditimbulkan oleh gerakan DI/TII yang berada di Abuki. Hal tersebut mengakibatkan banyak warga
Abuki mengungsi ke daerah Wawotobi, yang merupakan tempat yang dianggap warga lebih aman
daripada Abuki pada saat itu, meskipun juga ada beberapa masyarakat Abuki yang ikut serta
bergabung di dalam gerakan DI/TII baik melalui paksaan maupun sukarela.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gerakan
DI/TII di Distrik Abuki: 1956-1962” dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana awal masuknya
DI/TII di Abuki, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, untuk mengetahui aktivitas DI/TII di
Abuki pada tahun 1956-1962, serta untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan aktivitas DI/TII di
Abuki bagi masyarakat Abuki pada masa itu.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2019 di Kecamatan Abuki, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Selain itu, penelusuran sumber juga dilakukan di Kantor
Badan Perpustakaan dan Arsip daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Halu Oleo, Perpustakaan Universitas Halu Oleo, dan di Laboratorium Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.
Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan strukturis. Dalam
pendekatan strukturis, terdapat dua domain dalam penelitian sejarah yaitu domain peristiwa dan
domain struktur. Gerakan DI/TII di distrik Abuki pada tahun 1956-1962 ditelaah dengan
menggunakan pendekatan strukturis guna mempelajari peristiwa dan struktur sebagai satu kesatuan
yang saling melengkapi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah
menurut Kuntowijoyo. Metode penelitian sejarah memiliki lima tahapan kegiatan yaitu: (1)
pemilihan topik; (2) pengumpulan sumber (heuristik) ; (3) verifikasi (kritik sejarah terhadap
keabsahan sumber); (4) interpretasi (analisis dan sintesis); serta (5) historiografi (penulisan).
Adapun sumber data penelitian ini yaitu:
a. Sumber tertulis, yaitu sumber dokumen yang diperoleh dari Kantor Perpustakaan dan Arsip
Daerah Kabupaten Konawe, Kantor Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara, dan Kantor Kecamatan Abuki, sumber kepustakaan yang diperoleh dari dari Kantor
Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Konawe, Kantor Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu
Oleo, Perpustakaan Universitas Halu Oleo, dan Laboratorium Jurusan Ilmu Sejarah FIB UHO.
b. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh dari informan yang merupakan pelaku peristiwa atau
saksi mata peristiwa gerakan DI/TII di Abuki.
c. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di beberapa titik pusat
operasi gerakan DI/TII di Abuki.
d. Sumber audio visual, yaitu data yang diperoleh dari gambar dan suara yang terekam tentang
gerakan DI/TII di Abuki
2. Pembahasan
Kecamatan Abuki adalah salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Konawe,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecamatan Abuki memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Asera dan Kecamatan Lasolo (Konawe Utara), sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Uepai, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tongauna, dan
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Asinua. Luas wilayah Abuki adalah 18.749 hektar atau
sekitar 5,84 persen dari luas Kabupaten Konawe. Kecamatan Abuki memiliki topografi bergunung
dan berbukit dengan sedikit dataran rendah yang berpotensi sebagai lahan pertanian.
2.1 Awal Masuknya DI/TII di Abuki
DI/TII masuk di Abuki pada tanggal 3 April 1956 melalui jalur pegunungan Ulu Iwoi dan
Sungai Konaweeha. Masuknya Gerakan DI/TII di Sulawesi Tenggara berawal dari masuknya Darul
Islam di Lasusua (Wawo) pada tahun 1953. La Mendo (wawancara, 20 Mei 2019) mengatakan
bahwa daerah Lasusua kemudian dijadikan basis utama DI/TII di wilayah Sulawesi Tenggara
karena letaknya yang strategis dan banyak terdapat sumber daya serta letak Lasusua yang dekat
dengan bekas markas besar DI/TII di Sulawesi Selatan yaitu daerah Palopo. Operasi-operasi yang
dilakukan oleh TNI terhadap kelompok DI/TII di daerah Lasusua mengakibatkan para gerilyawan
DII/TII memilih mundur dan melarikan diri ke hutan sehingga DI/TII terbagi menjadi dua
kelompok yang berjalan berbeda arah. Kelompok pertama ke arah Tenggara yang dipimpin oleh
Hasan Hasrat melewati Gunung yang dikatakan keramat oleh masyarakat Kolaka pada masa itu
(Gunung Mekongga) lanjut ke wilayah Gunung Mowewe dan Gunung Ulu Iwoi sampai ke wilayah
Hulu Sungai Konaweeha yaitu Wilayah Latoma. Kelompok kedua berjalan ke arah Barat Daya
sampai ke wilayah Boepinang.
Daerah Lasusua (Wawo) menjadi wilayah yang memegang peranan penting dalam
menentukan dan melanjutkan pengaruh kekuasaan DI/TII di daratan Sulawesi Tenggara. TNI
sukses memperlemah posisi DI/TII di daerah Lasusua melalui beberapa operasi yaitu Operasi
Merdeka, Operasi Kilat serta Operasi Halilintar sehingga membuat kelompok DI/TII melarikan diri
melalui pegunungan Mekongga ke Distrik Latoma.
La Mendo (wawancara, 20 Mei 2019) mengatakan bahwa pada tahun 1956 DI/TII sampai ke
Distrik Latoma dan membuat basis inti DI/TII yang merangkap menjadi pusat kader militer untuk
wilayah Kendari Utara (Nama kabupaten Konawe sebelum devinitif). Pada Bulan Maret 1956,
kelompok DI/TII tiba di Distrik Latoma tepatnya di wilayah kampung tua Waworaha (Wilayah
kecamatan Latoma sekarang) dan menjadikannya tempat pelatihan. Hal tersebut mengakibatkan
sebagian masyarakat Distrik Latoma ikut bergabung dan sebagian yang tidak ingin bergabung
kemudian mengungsikan diri turun ke Distrik Abuki, yang dianggap merupakan wilayah yang aman
pada saat itu. Kelompok DI/TII yang mendengar berita pengungsian yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat Distrik Latoma ke Abuki kemudian menyusul ke Abuki dengan bantuan penunjuk jalan
oleh salah satu masyarakat Latoma yang telah ikut bergabung dengan DI/TII.
Sainal Pamusu (wawancara, 10 Juni 2019) mengemukakan bahwa penunjuk jalan tersebut
bernama Nde’esi yang telah dipromosikan menjadi Kepala Komando Daerah Teritorial (KDT)
untuk wilayah Latoma. Kelompok DI/TII tersebut diketuai oleh salah satu mantan gerilyawan
DI/TII di Sulawesi Selatan bernama Dulahi, berjalan kaki sehari semalam menyusuri Sungai
Konaweeha, melewati daerah Ulu Iwoi, Ambekaeri, serta Asinua, sebelum sampai ke Distrik
Abuki. Mereka tiba di Abuki pada pagi hari, hari Selasa, 3 April 1956. mereka sempat singgah di
salah satu perkebunan milik warga Abuki di wilayah dekat perbatasan Asinua dan Abuki, mereka
melihat banyak terdapat tanaman-tanaman seperti, padi, kakao, kopi, kelapa, langsat, jagung dan
ubi-ubian, hal ini membuat gerombolan membuat strategi untuk mengambil alih perkebunan milik
warga tersebut yang nantinya akan menjadi kebutuhan pangan gerombolan, hingga para
gerombolanpun bermalam ditempat itu karena hari mulai petang sembari istirahat serta menunggu
waktu subuh untuk melanjutkan perjalanan ke Abuki. Tiba masa pada pagi Hari, Selasa Tanggal 3
April 1956, para gerombolan tiba di Abuki. Hal ini diperkuat dalam tulisan Soropati (2015: 12)
yang menuliskan bahwa gerakan DI/TII yang dibawah pimpinan Qahhar Muddzakar di Sulawesi
Selatan merembet ke Sulawesi Tenggara. Pada awal tahun 1956, keadaan di Abuki mencekam
dengan hadirnya sekelompok pasukan DI/TII. Pasukan DI/TII membumihanguskan pemukiman
masyarakat Abuki, lahan pertanian dan peternakan dihancurkan, membuat beberapa penduduk
menjadi simpatisan DI/TII, dan mengasingkan penduduk Distrik Abuki ke daerah terpencil di hutan
belantara yaitu di wilayah Asinua, Ambekaeri, Asolu, dan wilayah Latoma Tua.
Informasi tentang kelompok DI/TII yang masuk ke wilayah Abuki pun menyebar luas
sampai ke seluruh wilayah Abuki, Unaaha, hingga ke Wawotobi dalam jangka waktu sehari. Hal ini
menandakan awal berkuasanya DI/TII di wilayah Abuki. Kedatangan kelompok DI/TII
menimbulkan beberapa reaksi warga Abuki yaitu beberapa warga meemilih mengungsi ke wilayah
Lasolo, Asera, Routa, Unaaha, Wawotobi, dan Kendari, beberapa warga melawan kelompok DI/TII
dan menolak dibentuknya Negara Islam Indonesia, dan juga ada warga yang bergabung dengan
kelompok DI/TII agar tidak diserang dan diambil harta bendanya oleh kelompok gerakan tersebut
(Muddin, wawancara, 21 Mei 2019).
mereka adalah fisabilillah, Islam pasti menang, dan Negara Islam Indonesia yang diperjuangkan
DI/TII pasti menang dan tercapai sesuai yang dicita-citakan pergerakan ini. Propaganda tersebut
membuat sebagian masyarakat percaya dan mengikuti gerakan DI/TII.
Sejak tahun 1955 telah terjadi konflik antara golongan masyarakat atau Pasukan Djihad
Konawe (PDK) dengan TNI. Konflik tersebut terjadi karena kekecewaan masyarakat Abuki
terhadap anggota Batalyon 718 yang berbuat sewenang-wenang saat bertugas di Distrik Abuki.
Abdul Haris (wawancara, 22 Mei 2019) mengatakan bahwa perbuatan Batalyon 718 yang
sewenang-wenang kepada warga melahirkan laskar pejuang Konawe yang disebut Pedjuang Djihad
Konawe (PDK) yang diprakarsai oleh Lambauta dan Tambi Zulkarnain. Konflik antara Pasukan
Djihad Konawe (PDK) dan anggota Batalyon 718 ini memuncak pada tahun 1958, dimana pada
saat itu terjadi kontak fisik antara anggota Batalyon 718 dan PDK di wilayah Asao (wilayah
Kecamatan Tongauna sekarang).
DI/TII yang melihat adanya perselisihan antara masyarakat dan Batalyon 718 menjadikan
hal tersebut menjadi keuntungan bagi kelompok mereka. La Mendo (wawancara, 20 Mei 2019)
mengemukakan bahwa pada tahun 1958 di wilayah Tongauna, tepatnya di wilayah pegunungan
antara perbatasan desa Andeposandu dan Asao, terjadi kontak fisik antara PDK dan Batalyon 718.
Konflik tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di antara kedua belah pihak. Kelompok
DI/TII yang mendengar kontak fisik tersebut kemudian mengarahkan anggotanya dengan
persenjataan seadanya ke daerah Asao. Kelompok DI/TII yang dikomandoi oleh Dulahi dengan
cerdik membuat strategi penyerangan setelah kelompok PDK dan Batalyon 718 kewalahan. Strategi
Dulahi berhasil dan menawan tentara Batalyon 718 dan beberapa kelompok PDK. Kelompok
DI/TII pun mencoba untuk mempengaruhi PDK yang tertangkap agar untuk bekerja sama melawan
Batalyon 718, namun PDK menolak bekerja sama dengan DI/TII maupun Batalyon 718.
c. Membuat Pemerintahan Militer dan Penggalangan Kekuatan
Kelompok DI/TII membentuk pemerintahan militer mulai dari desa sampai ke distrik untuk
dapat menguasai Distrik Abuki secara utuh. Kelompok DI/TII membentuk Pemerintahan Militer
Desa (PMD) di desa dan pada tingkat distrik membentuk Komando Daerah Teritorial (KDT). Pada
daerah-daerah kekuasaannya, pimpinan PMD harus memberlakukan hukum Islam walaupun dengan
memanfaatkan tradisi dan simbol keagaaman. Pada mulanya kelompok DI/TII memperoleh
dukungan dari masyarakat, akan tetapi para pengikutnya kemudian kecewa terhadap sejumlah
pemimpin yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam sehingga gagal
memberikan teladan bagi masyarakat yang menjadi pengikutnya (Sainal Pamusu, wawancara 20
Mei 2019).
La Mendo (wawancara, 10 Juni 2019) menuturkan bahwa PMD dan KDT di distrik Abuki
bertugas melakukan koordinasi dengan masyarakat dan memberikan pelayanan pada kelompok
DI/TII yang mengadakan operasi pelebaran penguasaan wilayah ke seluruh wilayah Abuki, Unaaha,
dan Wawotobi.
Dalam rangka penggalangan kekuatan, kelompok DI/TII mengadakan perintah kepada setiap kepala
kampung melalui perwira DI/TII di PMD agar memberikan sumbangan (Uang Suci) sebagai biaya
perjuangan berupa bantuan makanan, pakaian, dan uang.
d. Melakukan Perekrutan
Kelompok DI/TII melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat. Para pemuka
masyarakat inilah yang kemudian menjadi pimpinan pemerintah militer desa (PMD) di daerah-
daerah yang telah ditentukan DI/TII. La Mendo (wawancara, 10 Juni 2019) mengatakan bahwa
kelompok DI/TII juga meminta pemuda-pemuda yang berusia 16 sampai 40 tahun ke atas dan
belum menikah untuk dilatih dasar-dasar kemiliteran pada pusat kader militer (basis pelatihan) di
Waworaha dan bahkan ada yang dikirim ke Boepinang dan Palopo. Para pemuda tersebut kemudian
dimasukan dalam kesatuan-kesatuan MOMOC untuk melancarkan operasi militer kelompok DI/TII.
Abdul Haris (wawancara, 9 Juni 2019) mengatakan bahwa kelompok DI/TII mengungsikan
hampir seluruh masyarakat di Distrik Abuki ke daerah-daerah lain dibawah pengaruh kelompok
DI/TII dengan dalih agar masyarakat mendapatkan pekerjaan. Pengungsian masyarakat dengan
dalih untuk memperoleh pekerjaan ke wilayah basis pertahanan DI/TII menjadi sebuah tameng bagi
DI/TII agar TNI tidak langsung menggempur basis pertahanan dan wilayah Distrik Latoma secara
keseluruhan dengan operasi-operasi yang dilakukan TNI.
e. Menguasai Distrik Abuki dan Melakukan Ekspansi Wilayah
Suropati (wawancara, 8 Juni 2019) mengatakan bahwa setelah dikuasainya seluruh wilayah
Distrik Abuki pada tahun 1958, kelompok DI/TII menetapkan garis pemisah antara daerah de facto
Darul Islam dengan daerah yang diduduki TNI. Kelompok DI/TII membatasi daerah kekuasannya
untuk wilayah Barat yakni daerah Kampung Napooha (Wilayah Kecamatan Latoma sekarang)
sampai ke daerah dekat perbatasan Unaaha yaitu di Kampung Puosu (wilayah Kecamatan Tongauna
sekarang). Kelompok DI/TII juga mendirikan Pos Pengamanan daerah pemisah yang memisahkan
kekuasaan DI/TII dengan wilayah Batalyon di sekitar Pasar Puosu.
Kelompok DI/TII membuat Pemerintahan Distrik Abuki dan 4 wilayah ketua gabungan
setelah berhasil menguasai seluruh wilayah Abuki. Kelompok DI/TII membuat peraturan untuk
membatasi warga yang di izinkan masuk ke wilayah Abuki. Kelompok DI/TII juga melarang hasil
pertanian dan perikanan dibawah ke luar dari Abuki dan melarang masyarakat lain, kecuali
masyarakat Abuki sendiri, untuk mencari ikan di sungai-sungai dan rawa-rawa yang berada di
wilayah Abuki. Meskipun kelompok DI/TII telah menetapkan aturan demikian, masih terdapat
masyarakat yang melanggar sehingga menjadi korban pembunuhan kelompok DI/TII. Salah satunya
yaitu tragedi pembunuhan warga Tongauna yang mengambil ikan di rawa yang dibunuh kelompok
DI/TII di wilayah Kasuwura (Suropati, wawancara, 8 Juni 2019).
disebabkan karena banyaknya wilayah pertanian yang tidak digarap dan gangguan keamanan yang
mengakibatkan pengungsian pemilik tanah persawahan dan adanya peraturan dari kelompok DI/TII
yang melarang bahan pangan dibawa ke luar daerah.
Penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh gerakan DI/TII tidak hanya menyebabkan
merosotnya kehidupan ekonomi masyarakat Abuki tetapi juga berpengaruh terhadap daerah di
sekitar Abuki, seperti Mowewe, Latoma, Unaaha, Wawotobi, dan bahkan Kendari. Dengan
masuknya gerakan DI/TII di wilayah Abuki menyebabkan hubungan perdagangan antara daerah di
Abuki dan sekitarnya menjadi putus. Sebagian pedagang yang tetap masuk di Abuki untuk
berdagang karena belum tahu tentang dikuasainya Abuki oleh kelompok DI/TII pada akhirnya
ditangkap dan barang dagangan, makanan, serta uang mereka disita untuk kepentingan kelompok
DI/TII.
3. Merosotnya Pendidikan
Kelompok DI/TII membuat pendidikan di Abuki yang pada awalnya telah memprihatinkan
semakin merosot dengan merekrut anak sekolah dan guru menjadi simpatisan kelompoknya. La
Mendo (wawancara, 3 Juni 2019) mengemukakan bahwa guru dan pelajar dianggap mempunyai
kemampuan intelektual dan pengaruh di daerahnya sehingga mereka direkrut untuk menjadi kader-
kader DI/TII. Perekrutan tersebut membuat mereka harus meninggalkan dunia pendidikan formal.
Setelah direkrut, mereka kemudian dibawa ke hutan untuk diajarkan pemahaman tentang
perjuangan Darul Islam. Jika dianggap sudah mampu menjadi kader DI, maka ia akan diajarkan
teknik berperang dan bergerilya sehingga nanti dapat dimasukan ke dalam kelompok Tentara Islam
Indonesia (TII).
4. Pemindahan Pemerintahan Distrik Abuki ke Wawotobi
Suropati (wawancara, 8 Juni 2019) menjelaskan bahwa dengan dikuasainya wilayah Distrik
Abuki secara keseluruhan membuat Pemerintahan Distrik Abuki dan 4 wilayah ketua gabungan
serta 18 wilayah Ananggapala untuk dibubarkan sementara. Para pengungsi dari distrik Abuki
membuat pemerintahan Swapraja Distrik Abuki sementara di wilayah pengungsian, Wawotobi,
yang terdiri atas 8 wilayah Ananggapala yang dipimpin oleh Kepala Distrik Abuki yaitu; (1)
Tumoro Tumia, tahun 1956-1958, (2) Haseng Rumbatako, tahun 1958-1959, (3) Lamarundu, tahun
1959-1960 (sebagai kepala Distrik Kewedahan Kendari).
Berikut ini merupakan wilayah Ananggapala yang dibentuk di Daerah Wawotobi tahun
1956-1960 yang disebut dengan masa pengasingan:
1) Ananggapala Sambeani, dikepalai oleh Meonangi.
2) Ananggapala Abuki, dikepalai oleh Baralaa.
3) Ananggapala Amggote, dikepalai oleh Robowuna
4) Ananggapala Punggaluku, dikepalai oleh Lahati.
5) Ananggapala Lasada, dikepalai oleh Lautara.
6) Ananggapala Walay, dikepalai oleh Rahima
7) Ananggapala Epeea, dikepalai oleh Asuma Samada.
8) Ananggapala Asolu, dikepalai oleh Lamangiri dan digantikan Tandalanggai
b. Dampak Positif
1. Hilangnya Kekuasaan Bangsawan
Simpatisan DI/TII dari Abuki yang bergabung tanpa paksaan diberikan kepercayaan untuk
menjadi kepala Pemerintah Militer Desa (PMD) dan kepala Komando Daerah Teritorial (KDT) di
masa pemerintahan militer DI/TII di Distrik Abuki. Kepala Komando Daerah Teritorial yang telah
diangkat oleh DI/TII menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam kepada penguasa
(bangsawan) seperti kepala distrik di masa pemerintahan swapraja Laiwoi yang sewenang-wenang
3. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal masuknya anggota DI/TII di Abuki, Konawe,
Sulawesi Tenggara, pada tahun 1956 melalui jalur pegunungan Ulu Iwoi dan Sungai Konaweeha
yang sampai di Abuki pada tanggal 3 April 1956. Kelompok DI/TII terlebih dahulu tiba di wilayah
bagian Utara Abuki yaitu Asolu. Kedatangan kelompok DI/TII di pagi hari membuat masyarakat
Asolu terkejut dan memilih untuk mengungsi ke wilayah Unaaha dan Wawotobi. Informasi tentang
kelompok DI/TII yang telah masuk ke wilayah Abuki pun menyebar luas sampai ke seluruh
wilayah Abuki, Unaaha, hingga Wawotobi dalam jangka waktu sehari
Aktivitas gerakan yang dilakukan DI/TII di Abuki yaitu menguasai daerah Abuki, melakukan
propaganda, membuat pemerintahan militer dan penggalangan kekuatan, melakukan perekrutan,
serta melakukan ekspansi wilayah. Masuknya DI/TII ke distrik Abuki membawa dampak negatif
dan positif bagi masyarakat setempat. Dampak negatif aktivitas DI/TII di Abuki yaitu masyarakat
Abuki terpaksa mengungsi ke daerah yang dianggap lebih aman, merosotnya ekonomi masyarakat,
merosotnya pendidikan, dan pemindahan pemerintahan distrik Abuki ke Wawotobi. Selain
membawa dampak negatif, keberadaan kelompok DI/TII di Abuki juga berdampak positif bagi
masyarakat setempat yaitu hilangnya kekuasaan bangsawan dan terjalinnya hubungan antarsuku
Indonesia di Abuki.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyari, Dinda Pramesti. 2019. Peristiwa DI/TII Jawa Barat Tahun 1949-1962. Bandar Lampung:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung tidak diterbitkan.
Dengel, Holk H. 1995. Darul Islam dan Kartosuwiryo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua, cet
10. Jakarta : Balai Pustaka.
Dijk, C. Van. 1995. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.
Hasman. 2013. Darul Islam (Studi Ide Pembentukan dan Gerakan Negara Islam di Sulawesi
Selatan). Makassar: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar tidak
diterbitkan.
Hadara, Ali. 2014. Abdul Qahhar dalam Pusaran Segitiga Konflik Bersenjata di Sulawesi Tenggara
Tahun 1950-1965. Tangerang: C3 Huriya Press, Qamus Institue.
Soropati. 2015. Sejarah Inea Sinumo Abuki Hingga Terbentuknya Kecamatan. Yogyakarta:
Deepublish.
Wibisono, Gunawan dan Drajat Tri Kartono. Gerakan Sosial Baru pada Musik: Studi Etnografi
pada Band Navicula. Jurnal Analisa Sosiologi, Vol. 5, No. 2, Oktober 2016, pp. 69-84.
Widyanta, AB. 2002. Problem Modernitas dalam Kerangka. Yogyakarta: Cinelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : La Mendo
Umur : ± 99 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Umur : 77 Tahun
Agama : Islam
3. Nama : Muddin
Umur : 67 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Umur : 66 Tahun
Agama : Islam
Umur : 49 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
6. Nama : Nggawia
Umur : ± 97 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1a:
Lampiran 1b :
ROUTA
9
2
1 LATOMA
LASUSUA
3
ABUKI 7
LASOLO 8
1
WAWOLESEA
MOWEWE
ANGGOTOA
6
UNAAHA
WAWOTOBI
2 4 KENDARI
5
KOLAKA
10
7
MOTAHA
WAWONII
6
KOLONO
ANDOOLO
5
TINANGGEA
8
2 EREKE
1 KASIPUTE 4
BOEPINANG MUNA
Ket.
Merah
1 : Jalur Awal
Pergerakan DI/TII Sulawesi
Tenggara.
9
Biru
1 : Jalur Pergerakan BUTON
DI/TII wilayah Kendari Utara. 3
BOEPINANG
Hijau
1 : Jalur Pergerakan
DI/TII wilayah Kendari
Selatan.
Gambar.
Peta Jalur Pergerakan DI/TII Di Sulawesi Tenggara (1953-1965)
Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Lampiran 2.
Dokumentasi
Gambar : Informan Suropati, SE bersama peneliti, wawancara 8 Juni 2019. Sumber : Dokumen
pribadi penulis.
Lampiran 3.
Gambar :
Kantor kecamatan Abuki yang berada di Kelurahan Sambeani, Kecamatan Abuki. Dok. 25 Mei
2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Gambar :
Mantan Kepala Distrik Abuki pada masa DI/TII di Distrik Abuki (1956-1960)
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Gambar :
Pasar Asolu, tempat ini merupakan pasar pedagang yang ramai baik di tempati oleh pedagang lokal
maupun pedagang luar Abuki, sebagian tempat ini juga merupakan bekas perumahan dan
peternakan penduduk yang dibakar oleh Kelompok DI/TII.
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis
Gambar :
Salah satu jalan di Kelurahan Asolu, yang dahulu dilalui oleh Kelompok DI/TII, sebelum akhirnya
masuk di Asolu pada pagi hari. Dimana lokasi ini juga pernah menjadi tempat dibakarnya rumah
warga, berdasarkan informasi dari informan dan cerita rakyat.
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Gambar :
Salah satu persawahan milik masyarakat di Kelurahan Asolu, yang dahulu dikuasai oleh DI/TII,
berdasarkan informasi dari informan dan cerita rakyat.
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Gambar :
Salah satu perkebunan kakao milik masyarakat di Kelurahan Asolu, yang dahulu dikuasai oleh
DI/TII, berdasarkan informasi dari informan dan cerita rakyat.
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Gambar :
Salah satu lapangan di Kelurahan Asolu yang dahulu pernah menjadi tempat dikumpulnya para
warga yang direkrut untuk menjadi simpatisan DI/TII, sebelum dibawa ke Latoma.
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.
Gambar :
Pasar Puosu, dahulu di tempat ini pernah menjadi pos pengamanan batas riil wilayah kekuasaaan
DI/TII dengan TNI. Pasar ini juga pernah menjadi tempat khalayak ramai melakukan perdagangan
sebelum dibumihanguskan dan kembali beroperasi setelah DI/TII kembali ke masyarakat dan
pengungsi kembali ke daerah masing-masing 1963, berdasarkan informasi dari informan dan cerita
rakyat.
Dok. 6 Juni 2019. Sumber : Dokumen Pribadi Penulis.