Anda di halaman 1dari 81

IMPLEMENTASI PRINSIP CHECK AND BALANCE ANTARA

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DAN PEMERINTAH


DESA BUKIT KEMUNING DALAM PEMBUATAN
PERATURAN DESA BERDASARKAN UU NOMOR
6 TAHUN 2014 DALAM PERSPEKTIF
SIYASAH DUSTURIYAH

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Hukum Pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

OLEH:
PUTRI BUNGA DWITA
NIM. 11820420967

PROGRAM STUDI S1 HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1443 H/2022 M
ABSTRAK

Putri Bunga Dwita (2022): Implementasi Prinsip Check and Balance Antara
Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah
Desa Bukit Kemuning Dalam Pembuatan
Peraturan Desa Berdasarkan UU Nomor 6
Tahun 2014 Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui 1) Implementasi


prinsip checks and balances, hubungan kerja BPD dan Pemerintah Desa Bukit
Kemuning 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan kerja BPD dan
pemerintah desa Bukit Kemuning, serta 3) Pandangan siyasah dusturiyah terhadap
hubungan kerja BPD dan Pemerintah Desa Bukit Kemuning dalam pembuatan
peraturan desa.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode lapangan (field research)
penelitian ini dilakukan dengan mengambil data dari desa Bukit Kemuning
kecamatan Tapung Hulu, kabupaten Kampar. Subjek dari penelitian ini adalah
Pemerintah Desa dan BPD desa Bukit Kemuning. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam skripsi ini adalah wawancara, observasi, dokumentasi dan studi
kepustakaan. Sedangkan dalam Teknik analisi data penulis menggunakan metode
deskriptif kualitatif yakni semua data yang telah didapatkan kemudian dijelaskan
secara rinci dan sistematis dalam bentuk kata-kata tertulis.
Badan Permusyawaratan Desa memiliki kedudukan yang sejajar dengan
Pemerintah Desa dan merupakan mitra kerja dari Pemerintah Desa, di mana kedua
institusi ini memiliki fungsi yang berbeda, BPD sebagai legislatif desa, sedangkan
pemerintah desa sebagai eksekutif desa. Kedua lembaga ini ialah pemeran utama
dalam pembangunan yang bertujuan memajukan desa. Namun apa jadinya jika
hubungan antara BPD dengan Pemerintah Desa justru tidak harmonis.
Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa prinsip checks and
balances antara BPD dengan Pemerintah Desa Bukit Kemuning belum terlaksana
karena adanya hubungan yang kurang harmonis antara dua lembaga ini yang
disebabkan oleh komunikasi yang kurang terjalin dan sikap kurang profesional
dari pemimpin kedua lembaga tersebut. Menanggapi masalah tersebut masyarakat
bukit kemuning bahkan pernah melakukan upaya untuk memperbaiki hubungan
kerja antara keduanya walaupun belum berhasil. Ketidak harmonisan antara BPD
dengan pemerintah desa bukit kemuning tentunya tidak sesuai dengan aturan
ketatanegaraan dalam Undang-Undang Desa dan siyasah dusturiyah.

Kata kunci: BPD, Pemerintah Desa, Checks and Balances

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta

anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skrispi ini. Sholawat serta salam

penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih teramat jauh dari

kata sempurna. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya

maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang

ditemui. Banyak hal yang belum dapat penulis hadirkan dalam skripsi ini kerena

keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri kerena banyak

pengalaman didapat dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima

kasih yang teramat dalam dan tak terhingga kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga, ayahanda Sumyar dan ibunda Syafni serta adik

dan kakak, yang selalu menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, yang selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis,

semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat iman, Islam, dan sehat

kepada mereka.

2. Terima kasih kepada Prof. Dr Khairunnas, M.Ag. selaku Rektor Universitas

Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.

3. Terima kasih kepada Dr. H. Zulkifli, M.Ag. selaku Dekan fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.

ii
4. Terima kasih kepada Rahman Alwi, M.A. selaku Ketua Jurusan Hukum Tata

Negara serta Irfan Zulfikar, M.Ag. selaku sekretaris Jurusan Hukum Tata

Negara atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

5. Terima kasih kepada Irfan Zulfikar, M.Ag. Yang telah bersedia menjadi

pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian

memberikan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Terima kasih kepada Marzuki, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik,

yang telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun

dalam hal akademik lainnya.

7. Terima kasih kepada Dr. H. Muhammad Tawwaf, S.IP., M.Si. selaku Kepala

Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau yang

telah memberikan fasilitas untuk melakukan studi kepustakaan.

8. Terima kasih kepada segenap dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.

9. Terima kasih kepada Pemerintah Desa, BPD, tokoh masyarakat serta segenap

masyarakat desa Bukit Kemuning yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan penelitian skripsi ini.

10. Terima kasih kepada sahabat Ningrat dan Artis Squad yang sudah sekarela

menemani suka maupun duka penulis selama berkuliah dan mengukir cerita

bersama, jangan lupa nyusul yaa.

11. Terima kasih kepada sahabat Hukum Tata Negara dan Fakultas Syari‟ah dan

Hukum 2018 menemani penulis selama menjalankan perkuliahan dan kawan-

iii
kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan

moral yang telah kalian berikan.

Semua yang telah dan akan terjadi kedepan tidaklah lepas dari kehendak

Allah SWT, harapan atau pun cita-cita tidak akan diraih tanpa kerja keras dan doa.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua terutama Desa Bukit Kemuning

dan seluruh Desa-desa di seluruh penjuru Indonesia dalam menjalankan amanat

rakyat. Semoga setiap dukungan, doa, nasehat dan semangat yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini diberikan ganjaran oleh Allah SWT,

amin.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Pekanbaru, 16 April 2022

Putri Bunga Dwita

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Batasan Masalah ................................................................................... 10
C. Rumusan Masalah ................................................................................ 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13


A. Kerangka Teoritis ................................................................................. 13
1. Prinsip Checks and Balance Dalam Pemerintahan Desa ............... 13
2. Kepala Desa ................................................................................... 16
3. Badan Permusyawaratan Desa ....................................................... 19
4. Peraturan Desa ............................................................................... 23
5. Hubungan Kerja Antara BPD dan Kepala Desa ............................ 28
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.......................................... 31
7. Ahl Al-Halli Wa Al-Aqd ................................................................ 34
B. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 39

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 43


A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 43
B. Lokasi Penelitian .................................................................................. 43
C. Subjek dan Objek Penelitian ................................................................ 44
D. Populasi dan Sampel ............................................................................ 44
E. Sumber Data ......................................................................................... 45

v
F. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 46
G. Teknik Analisis Data ............................................................................ 47
H. Teknik Penulisan .................................................................................. 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 49


A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 49
B. Hasil Penelitian .................................................................................... 58
1. Implementasi Prinsip Check And Balance Antara Badan
Permusyawaratan Desa Dengan Pemerintah Desa Dalam
Membuat Peraturan Desa Bukit Kemuning Kecamatan Tapung
Hulu Kabupaten Kampar................................................................ 58
2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Prinsip Check And
Balance Antara Badan Permusyawaratan Desa dengan
Pemerintah Desa dalam Pembuatan Peraturan Desa Bukit
Kemuning Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar ............. 67
3. Perspektif Siyasah Dusturiyah Terhadap Implementasi Prinsip
Checks And Balances Antara Badan Permusyawaratan Desa
Dengan Pemerintah Desa Dalam Pembuatan Peraturan Desa
Bukit Kemuning Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar.... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 77


A. Kesimpulan ......................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Table 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Usia ...................................................... 51


Table 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan .............................. 52
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Agama .................................................. 53
Tabel 4.4 Keanggotaan Lembaga BPD ............................................................ 57

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Bukit Kemuning ........... 55

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desa merupakan susunan pemerintahan terkecil dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Sejalan dengan UU RI Nomor 5 Tahun 1979 yang

mendefinisikan desa sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung

di bawah Camat dan berhak meyelenggarakan pemerintahannya sendiri.

Kedudukan desa ialah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan guna melayani

masyarakat. Desa berperan sebagai pelaku utama dalam melaksanakan

pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat. Desa berpeluang untuk

menata ulang sistem pemerintahan, mengembangkan kelembagaan, dan

memaksimalkan pengelolaan sumber daya secara mandiri.1

Pemerintahan desa merupakan organisasi pemerintahan yang paling

kecil, paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan masyarakat. Paling

“kecil” berarti bahwa wilayah maupun tugas-tugas pemerintahan yang diemban

desa mampunyai cakupan atau ukuran terkecil dibanding dengan organisasi

pemerintahan kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. “Bawah” berarti bahwa

desa merupakan organisasi pemerintahan yang berhubungan secara langsung dan

menyatu dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehari-hari.

Istilah “bawah” itu juga mempunyai kesamaan dengan istilah “depan” dan

1
Joko Purnama, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, (Yogyakarta: Infest, 2016), h.2-3.

1
2

“dekat”. Istilah “depan” berarti bahwa desa berhubungan langsung dengan warga

masyarakat baik dalam bidang pemerintahan, pelayanan, pembangunan,

pemberdayaan maupun kemasyarakatan. “Dekat” berarti bahwa desa menyatu

dengan denyut kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat setempat.2

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa Pemerintah Desa adalah

ujung tombak dalam sistem pemerintah daerah yang akan berhubungan dan

bersentuhan langsung dengan masyarakat, karenanya pembangunan desa juga

menjadi faktor yang diperhitungkan dalam mewujudkan kemajuan suatu daerah.

Pembangunan desa yang terselenggara dengan baik memberikan pengaruh baik

bukan hanya kepada desa tapi juga bagi pemerintah daerah dan pusat. Sebab

keberhasilan dalam pembangunan tingkat bawah tentunya menyokong pada

keberhasilan di tingkat berikutnya.

Pembangunan Desa sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 6

Tahun 2014 bukan hanya semata pada pembangunan infrastruktur desa,

melainkan juga mencakup pada pembangunan demokrasi desa. Demokrasi desa

merupakan persyaratan penting yang menjadi pertimbangan dikeluarkanya

Undang-Undang No.6 Tahun 2014, dimana dalam huruf (b) dikatakan bahwa;

“Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan

diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat

menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan

pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera”. Jadi untuk

2
Sutoro Eko, Desa Membangun Indonesia, (Yogyakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD), 2014), Cet. Ke-1, h.34.
3

menciptakan kemajuan dan kesejahteraan desa, salah satu aspek yang paling

penting adalah bagaimana mengelola desa secara demokratis.3

Untuk mewujudkan kehidupan desa yang demokratis maka

diperlukannya peran aktif dari para elit desa. Adapun lembaga desa yang

bertanggungjawab atas terlaksananya demokrasi desa ialah kepala desa dibantu

aparat desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Keduanya merupakan unsur

pelaksana Pemerintahan desa yang juga sebagai lembaga demokrasi desa. Dengan

kata lain kedua lembaga tersebut merupakan kunci dari terlaksananya demokrasi

desa. 4

UU Desa tengah mensinergikan demokrasi sebagai kewajiban bagi elit

desa (kepala desa dan BPD) dengan pengembangan tata sosial dan budaya

demokrasi masyarakat desa secara keseluruhan. Kolaborasi yang baik dan upaya

saling mendukung serta tolong menolong dalam menjalankan tugas masing

masing dapat menjadi pendorong kelancaran terwujudnya demokrasi desa, sebab

kepala desa dan BPD laksana dua unsur yang saling melengkapi. Apabila sinergi

keduanya dapat terlaksana dengan baik maka demokrasi desa dapat terwujud

sekaligus mengkokohkan demokrasi nasional.5

Dari penjabaran di atas dapat kita pahami bahwa Pemerintah desa dan

BPD merupakan titik sentral dari upaya perwujudan demokrasi desa. Keduanya

kerupakan unsur yang saling mendukung untuk terciptanya suasana demokratis di

wilayah desa. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan lembaga inti yang

3
Gregorius Sahdan, Desa Kuat Negara Berdaulat, (Yogyakarta: The Indonesian Power
for Democracy (IPD), 2019), Cet. Ke-1, h.3.
4
Naeni Amanulloh, Buku 3 Demokratisasi Desa,(Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal,dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015), Cet ke-1, h.23.
5
Ibid., h.9.
4

bertugas menjalan pemerintahan desa juga sebagai pengawas dalam

pelaksanaannya. Oleh karnanya antara Badan Permusyawaratan Desa dan

pemerintah desa harus senantiasa saling medukung dan bekerjasama dalam

mewujudkan desa yang demokratis.

Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa sejatinya berkedudukan

sebagai pihak-pihak yang bermitra kerja dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan desa. BPD secara institusional mewakili penduduk desa bertindak

sebagai pengawas terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Oleh karenanya

Kepala Desa dan BPD harus memiliki pemahaman dan pemikiran yang sejalan

dalam melaksanakan pemerintahan desa agar dapat terlaksana pemerintahan desa

yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat.6

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah di sebutkan secara

jelas terkait hubungan kerja yang mengikat antara Kepala Desa dan BPD.

Hubungan kerja antara Kepala Desa dengan BPD adalah hubungan kemitraan,

konsultasi dan koordinasi. Adapun hubungan kerja yang di maksud adalah sebagai

berikut:7

1. Kepala Desa dan BPD membahas dan menyepakati bersama Peraturan Desa,

diatur pada Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014;

2. Kepala Desa dan BPD memprakarsai perubahan status Desa menjadi

Kelurahan melalui musyawarah Desa, yang diatur pada Pasal 11 ayat 1

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014;

6
Khaeril Anwar, “Hubungan Kerja Antara Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa”, Dalam Kajian
Hukum dan Keadilan, Volume 3., No.8., (2015), h.209.
7
Ibid., h.215.
5

3. Kepala Desa memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan secara

tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa, hal ini diatur dalam Pasal 27

huruf C Undang-undang Nomor 6 tahun 2014;

4. Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa

mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis enam

bulan sebelum masa jabatannya berakhir, hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat 1

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014;

5. Kepala Desa mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

dan memusyawarahkannya bersama Badan Permusyawaratan Desa, dijelaskan

pada Pasal 73 ayat 2 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014;

6. Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa membahas bersama

pengelolaan kekayaan milik Desa, dijelaskan dalam Pasal 77 ayat 3 Undang-

undang Nomor 6 tahun 2014.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan yang ideal

antara Kepala Desa sebagai penyelenggara pemerintahan desa dengan BPD

sebagai pelaksana tugas pengawasan ialah sebagai kemitraan, di mana antara

kepala desa dan BPD harus saling bekerja sama dan mendukung dalam melaksana

setiap tugas yang telah diamanatkan pada masing-masing lembaga. Konsultasi,

maksudnya ialah dalam setiap pengambilan kebijakan yang akan dilakukan oleh

Kepala Desa hendaknya senantiasa didiskusikan dengan BPD. Dan koordinasi

mempunyai maksud antara Kepala Desa dan BPD dapat saling mengintegrasikan

kepentingan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan bersama secara efesien

dan efektif.
6

Dalam ilmu ketatanegaraan Islam dikenal istilah siyasah dusturiyah.

Kata dusturiyah sendiri berasal dari bahasa Persia yang artinya seseorang yang

memiliki otoritas dibidang politik maupun agama. Kata dusturi juga berarti

konstitusi. Kemudian diserap kedalam bahasa Arab dan mengalami

perkembangan maknanya menjadi asas, dasar atau pembinaan. Menurut istilah

dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama

antara masyarakat dan negara baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun tertulis

(konstitusi).8

Permasalahan di dalam siyasah dusturiyah adalah hubungan antara

pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-

kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam siyasah

dusturiyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan perundang-

undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan

prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta

memenuhi kebutuhannya. 9

Adapun salah satu asas penting dari siyasah dusturiyah adalah

musyawarah. Prinsip musyawarah bagi para pemimpin Negara dan penguasa serta

masyarakat adalah tolak ukur dari pelaksanaan dari sikap saling menghargai

pendapat dan melepaskan diri dari sikap mengkalim kebenaran sendiri. Dengan

musyawarah, kepentingan kepentingan berbeda diarahkan pada salah satu tujuan

yang universal. Musyawarah bukan ingin melenyapkan perbedaan pendapat dan

8
Ali Akhbar Abaib Mas Rabbani Lubis, Ilmu Hukum Dalam Simpul Siyasah Dusturiyah
Refleksi Atas Teori Dan Praktek Hukum Tata Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Semesta
Aksara,2019), h.12.
9
H. A.Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syari‟ah (Jakarta: Kencana, 2003), h. 47
7

kepentingan, sebaliknya menjadikan perbedaan tersebut sebagai dinamika dan

energi besar untuk mencapai persepsi dan tujuan yang telah disamakan.10

Dalam siyasah dusturiyah, konstitusi perundang-undangan menggunakan

musyawarah sebagai metode pembuatannya. Dalam Islam membuat undang-

undang adalah semata-mata hak prerogatif Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha

Esa. Karenanya metode musyawarah ini hanya digunakan untuk menggali

ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan didalam Al-Qur‟an maupun Sunnah.

Apabila ditemukan permasalahan baru yang tidak ditetapkan secara jelas dan

tegas dalam Al-Qur‟an barulah kemudian diperbolehkan melakukan ijtihad yang

tetap harus berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Sunnah. Hal ini sesuai dengan

tuntunan Al-Quran sebagaimana Allah Swt Berfirman:

   
       
 
    
      
 
     
   
    
       
 
       

             

  

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Maka jika kamu tarik menarik
tentang sesuatu , maka kembalikanlah ia kepada Allah(Al-Qur‟an) dan
rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik dan lebih baik
akibatnya.”11 (QS. An-Nissa : 59).

M Quraish Shihab dalam karyanya berjudul Tafsir Al-Misbah

memberikan penafsiran pada ayat ini. Pada penggalan ayat yang berarti Maka jika

kamu tarik menarik yaitu berbeda pendapat tentang sesuatu karena kamu tidak

10
Jubair Situmorang , Politik Ketatanegaraan dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2012), h.48.
11
An-Nissa, 4: ayat 59
8

menemukan secara tegas petunjuk dari Allah dalam Al-Qur‟an dan tidak juga

petunjuk rasul dalam sunnah yang shahih maka kembalikanlah ia kepada nilai-

nilai dan jiwa firman Allah yang tercantum di dalam Al-Qur‟an, serta nilai-nilai

dan jiwa tuntunan rasul saw. yang kamu temukan dalam sunnahnya, jika kamu

benar-benar beriman secara mantap dan berkesinambungan kepada Allah dan

hari kemudian. Yang demikian itu,yakni sumber hukum ini adalah baik lagi

sempurna, serta selainnya buruk atau memiliki kekurangan dan, disamping itu, ia

juga lebih baik akibatnya,baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan di

akhirat kelak.12

Ulama berpendapat bahwa ayat ini mengandung informasi tentang dalil

dalil hukum syari‟at yaitu al-Qur‟an dan sunnah yang disampaikan melalui

perintah taat kepada Allah dan taat kepada rasul; kemudian ijma‟ yang

diisyaratkan dengan kata )‫ (أو ِلى ااْلَ ام ِر ِم ان ُك ام‬uli al-amri minkum; lalu analogi atau qiyas

yang dipahami dari perintah mengembalikan kepada nilai-nilai yang terdapat

dalam Al-Qur‟an dan sunnah, dan ini tentunya dilakukan dengan cara berijtihad.13

Dari uraian tersebut dapat dilihat sejatinya Islam juga sangat

memperhatikan cara-cara serta hal-hal yang dijadikan pedoman dalam

menentukan hukum. Karena membuat hukum bukanlah hak manusia melainkan

kewenangan Allah semata. Oleh karenanya Allah menurunkan Al-Qur‟an serta

mengutus rasul agar manusia senantiasa menjadikan keduanya pedoman dalam

kehidupan. Karena tidak mungkin Allah menciptakan manusia dan membebankan

kepadanya tanggung jawab tanpa memberikan petunjuk apapun.


12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah :Pesan Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 2,
(Tanggerang Selatan:Lentera Hati, 2016), Cet ke-1, h.584.
13
Ibid. h.587.
9

Desa Bukit Kemuning merupakan salah satu desa yang berada di

kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Desa ini berdiri

sejak tahun 1984 dan telah melewati 5 kali pergantian kepala desa hingga

sekarang. Desa Bukit Kemuning saat ini dipimpin oleh bapak Samirin sebagai

kepala desa dengan periode jabatan mulai dari tahun 2022 sampai dengan tahun

2027. Berdasarkan data yang diperoleh penduduk di desa Bukit kemuning yang

tercatat pada Tahun 2018 berjumlah 4322 jiwa dengan latar belakang yang

beragam.

Berdasarkan observasi (pengamatan) yang penulis lakukan di Desa Bukit

Kemuning kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar, bahwasanya penulis

masih menemukan gejala-gejala yang terjadi di lapangan sebagai berikut :

1. Kurangnya Pemahaman dari kedua unsur penyelenggara pemerintahan desa

ini terhadap tugas dan fungsi masing-masing. Dimana seharusnya Kepala

Desa memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan secara tertulis

kepada Badan Permusyawaratan Desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 27

huruf C Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 namun BPD mengaku belum

pernah menerima Laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan

pemerintahan Desa dari Pemerintah Desa.

2. Kurang terjalinnya hubungan kemitraan antara Kepala Desa dengan BPD. Hal

ini dapat dilihat dari dibuatnya surat pernyataan dimana Kepala Desa

membuat Surat Pernyataan tidak akan melibatkan BPD atas

pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan desa untuk Tahun anggaran 2019

dan Surat Pernyataan tersebut diketahui atas nama Camat Tapung Hulu. Hal
10

ini tentu kurang sesuai dengan Pasal 73 ayat 2 Undang-undang Nomor 6

tahun 2014 yang mengamanatkan kepada Kepala Desa agar

memusyawarahkannya Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

dan bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Berangkat dari gejala-gejala yang telah penulis paparkan di atas, maka

penulis merasa tertarik untuk mengkaji (meneliti) lebih dalam lagi terhadap

permasalahan tersebut dalam sebuah kajian penelitian berupa skripsi dengan judul

“Implementasi Prinsip Check And Balance Antara Badan Permusyawaratan

Desa dan Pemerintah Desa Bukit Kemuning Dalam Pembuatan Peraturan

Desa Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Dalam Perspektif Siyasah

Dusturiyah”.

B. Batasan Masalah

Agar penelitian yang dilakukan lebih terarah dan tidak menyimpang dari

topik yang dibicarakan, maka penulis memberi batasan permasalahan pada

implementasi prinsip check and balance antara Badan Permusyawaratan Desa

dengan Pemerintah Desa dalam membuat peraturan desa Bukit Kemuning

kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar, faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi prinsip check and balance antara Badan Permusyawaratan Desa dan

Kepala Desa dalam pembuatan Peraturan Desa Bukit Kemuning kecamatan

Tapung Hulu kabupaten Kampar, serta perspektif siyasah dusturiyah terhadap

implementasi prinsip check and balance antara Badan Permusyawaratan Desa dan

Kepala Desa dalam pembuatan Peraturan Desa Bukit Kemuning kecamatan

Tapung Hulu kabupaten Kampar pada tahun 2019.


11

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahan

yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimana implementasi prinsip check and balance antara Badan

Permusyawaratan Desa dengan Pemerintah Desa dalam membuat peraturan

desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi prinsip check and

balance antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Pemerintah Desa dalam

pembuatan peraturan desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu

kabupaten Kampar?

3. Bagaimana perspektif siyasah dusturiyah terhadap implementasi prinsip

check and balance antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Pemerintah

Desa dalam pembuatan peraturan desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung

Hulu kabupaten Kampar?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui implementasi prinsip check and balance antara Badan

Permusyawaratan Desa dengan Pemerintah Desa dalam membuat

peraturan desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu kabupaten

Kampar.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi prinsip

check and balance antara Badan Permusyawaratan Desa dengan


12

Pemerintah Desa dalam pembuatan peraturan desa Bukit Kemuning

kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar.

c. Untuk mengetahui perspektif siyasah dusturiyah terhadap implementasi

prinsip check and balance antara Badan Permusyawaratan Desa dengan

Pemerintah Desa dalam pembuatan peraturan desa Bukit Kemuning

kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar.

2. Manfaat Penelitian

a. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan

program S1 Fakultas Syariah dan Hukum, jurusan Hukum Tata Negara

Siyasah Pada Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis terhadap

permasalahan yang diteliti.

c. Sebagai salah satu sumber informasi bagi kita untuk mengetahui lebih

dalam tentang relasi Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan

Desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Prinsip Checks and Balance Dalam Pemerintahan Desa

Distribusi kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam

membangun sistem ketatanegaraan. Pemerintahan dengan kekuasaan yang

terkonsentrasi memiliki kecenderungan yang lebih untuk melakukan

penyimpangan.14 Jadi pemencaran kekuasaan menjadi suatu tindakan preventif

dalam mengatasi masalah penyimpangan tersebut. Kekuasaan harus dibagi-

bagi agar kecenderungan untuk terjadinya penyimpangan berkurang. Guna

membagi kekuasaan Negara dalam hal ini, maka dibangunlah metode checks

and balances.

Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang

menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dapat

memiliki kedudukan yang sama.15 Mekanisme checks and balances

merupakan hal yang sangat diperlukan dalam demokrasi. Hal ini untuk

menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan, mencegah terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan baik oleh seseorang maupun sebuah instansi. 16

Prinsip ini sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan keseimbangan

kekuasaan antara bagian-bagian dari pemerintahan sehingga mereka dapat

14
Ibnu Sina Chandranegara, “Penuangan Checks and Balances kedalam Konstitusi”
dalam Konstitusi, Volume 13., No. 3., (2016), h.554.
15
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 61.
16
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006),h. 89.

13
14

memeriksa dan mengawasi bahkan saling mengisi satu sama lain. 17 Di dalam

Al-Qur‟an juga telah disampaikan terkait perintah untuk melaksanakan

keseimbangan didalam surat Ar-Rahman, 55: 9

 
  
     
  
 
  
 
 
    
      
   
Artinya: Dan tegakan lah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.18(Q.S. Ar-Rahman, (55): 9)

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwasanya prinsip

checks and balances merupakan prinsip yang sangat penting dalam suatu

sistem ketatanegaraan. Keberadaannya menjadi tameng negara dalam

menghadapi penyelewengan-penyelewangan yang terjadi baik dari

perseorangan maupun instansi. Prinsip checks and balances juga memberi

ruang kepada tiap lembaga negara untuk saling bekerja sama saling bahu-

membahu menjalankan tugas kenegaraannya.

Prinsip checks and balances ini dapat diwujudkan melalui cara-cara,

sebagai berikut:19

a. Pemberian kewenangan untuk melakukan tindakan kepada lebih dari satu

lembaga. Misalnya kewenangan membuat undang-undang diberikan

kepada pemerintah dan parlemen;

b. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari

satu lembaga, misalnya eksekutif dan legislatif;

c. Upaya hukum impeachment lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya;

17
Jimly Asshiddiqie, loc.cit.
18
Q.S. Ar-Rahman, 55: ayat 9
19
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 124.
15

d. Pengawasan langsung dari satu lembaga terhadap lembaga negara lainnya,

seperti eksekutif diawasi oleh legislatif;

e. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai lembaga pemutus

perkara sengketa kewenangan antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar NRI 1945, Indonesia mulai

mengadopsi sistem ketatanegaraan checks and balances. MPR menyatakan

secara tegas bahwa salah satu tujuan perubahan UUD 1945, yaitu

menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan

modern, melalui pembagian kekuasaan, sistem saling mengawasi dan saling

mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, dan

pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi

perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.20

Pada pemerintahan tingkat desa juga dikenal adanya prinsip checks

and balances dimana lembaga lembaga legislatif desa juga diberikan

wewenang untuk mengawasi dan menerima pertanggungjawaban atas

keterselenggaraan pembangunan desa oleh eksekutif desa. Dalam Pasal 55

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa fungsi dari Badan

Permusyawaratan Desa ialah membahas dan menyepakati Rancangan

Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat Desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.21 Badan

Permusyawaratan Desa selaku lembaga legislative desa bertugas mengawasi

20
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta, Konstitusi Press, 2012), h. 264.
21
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495 Tentang Desa, Pasal 55.
16

kinerja pemerintahan Desa. BPD juga dibekali hak meminta keterangan

tentang penyelenggaraan Pembangunan Desa dan menyatakan pendapat atas

penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Keharusan menyampaikan laporan

penyelenggaraan Pemerintahan Desa bagi Kepala Desa, ialah sebagai upaya

memaksimalkan kinerja Pemerintah Desa, sehingga Pemerintahan Desa

berjalan baik dan lancar. Adapun bagi Badan Permusyawaratan Desa laporan

tersebut digunakan untuk melaksanakan fungsi pengawasan kinerja kepala

Desa.22

Dari penjabaran diatas dapat kita pahami bahwa pembagian

kewenangan yang dilakukan sebagaimana dalam prinsip cheaks and balances

dilakukan guna meminimalisir terjadinya potensi penyimpangan pada badan

pemerintahan. Dimana setiap lembaga menjalankan fungsi pengawasan satu

samalain. Apabila antara lembaga eksekutif dan legislatif desa saling

bersinergi dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik

serta di dasarkan pada prinsip checks and balances maka pembangunan desa

diharapkan dapat terselenggara secara maksimal. Selain itu juga dapat

berdampak pada terwujudnya pemerintahan desa yang bersih dan transparan.

2. Kepala Desa

Kepala Desa adalah pejabat Pemerintah Desa yang mempunyai

wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga

desanya dan melaksanakan tugas dari pemerintah pusat maupun pemerintah

22
Riza Multazam Luthfy, “Pengawasan Pemerintah Desa Dalam Mekanisme Checks
And Balances Pemerintahan Desa (Telaah Kritis Berdasarkan UU No 22/1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, UU No 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No 6/2014 Tentang
Desa)” dalam Attanwir, Volume 05, No. 02, (2015), h.43-44.
17

daerah.23 Seorang kepala desa juga bertugas melaksanakan pembangunan desa

pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Kepala desa

mempunyai peran dan juga kedudukan yang sangat penting dalam

pemerintahan desa. Ia merupakan pemimpin terhadap jalannya tata urusan

pemerintahan yang ada di desa. Seorang Kepala Desa merupakan

penyelenggara dan sekaligus sebagai penanggung jawab atas jalannya roda

pemerintahan. 24

Kepala desa yaitu sebagai pemimpin tertinggi di desa dan sebagai

pemimpin formal maupun informal, pemimpin yang setiap waktu berada di

tengah-tengah rakyat yang dipimpinnya. Kepala desa mempunyai kewajiban

memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada

bupati/walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada

Bamusdes, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan

desa kepada masyarakat.25

Sebagai seorang kepala desa, sekaligus pemimpin dalam

pemerintahan desa maka seorang Kepala Desa harus mempunyai jiwa

pemimpin, mampu dan mau bekerja sama dengan para perangkat desa yang

lainnya maupun dengan aparat pemerintah lain di atasnya dalam menjalankan

23
Kampar, Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 2017; Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Kampar Tahun 2017 Nomor 12 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Perangkat Desa, Pasal 1 ayat (8).
24
Sarpin, “Peran Kepala Desa Dalam Pembangunan Desa (Suatu Studi Di Desa Genjor
Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro)” dalam Jurnal Ilmiah Administrasi Negara,
Volume 01, Nomor 01 (2010), h.4
25
HAW Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli Bulat Dan Utuh,
(Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada 2003), h.27.
18

tugas dan kewajibannya, mengingat fungsinya dalam pembangunan yaitu

sebagai stabilisator, innovator, dan sebagai pelopor.26

Adapun tugas yang harus dijalankan oleh seorang Kepala Desa yang

diatur didalam Pasal 26 Undang-Undang Desa ialah menyelenggarakan

pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, melakukan pembinaan

terhadap masyarakat desa, dan memberdayakan masyarakat desa. Dalam

menjalankan tugasnya seorang kepala Desa diberi wewenang sebagai

berikut:27

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa;

b. Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa;

c. Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan asset desa;

d. Menetapkan peraturan desa;

e. Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa;

f. Membina kehidupan masyarakat desa;

g. Menetapkan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa;

h. Membina dan meningkatkan perekonomian desa;

i. Mengembangkan sumber pendapatan desa;

j. Memanfaatkan teknologi tepat guna;

k. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;

l. Mewakili desa di dalam dan diluar pengadilan atau menunjuk kuasa

hukum untuk mewakilinya.

26
Ibid. h.5
27
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, op.cit., Pasal 26.
19

Seorang dapat diangkat menjadi kepala desa apabila telah terpilih

melalui pemilihan langsung yang dilakukan oleh penduduk desa. Kepala desa

terpilih kemudian dilantik oleh bupati atau wali kota dan kemudian dapat

menjalankan jabatannya selama 6 (enam) tahun, dapat menjabat paling banyak

tiga kali masa jabatan baik berturut-turut atau tidak.28

Maka dapat dipahami bahwa seorang kepala desa memiliki tugas

yang amat banyak sehingga tidak mungkin dapat di embannya seorang diri.

Oleh karenanya kepala desa memerlukan bantuan baik dari para perangkat

desa maupun lembaga-lembaga desa. Karena sejatinya kerjasama dan

hubungan kemitraan dapat memaksimalkan kinerja suatu instansi dan

memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan hubungan yang

mengedepankan sikap non-kooperatif.

3. Badan Permusyawaratan Desa

Undang-Undang Desa mendefinisikan Badan Permusyawaratan Desa

sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang beranggotakan

perwakilan dari tiap-tiap wilayah desa sebagai perwakilan masyarakat desa

yang ditetapkan secara demokratis.29 Badan Permusyawaratan Desa sebagai

lembaga permusyawaratan tingkat Desa yang turut serta membahas dan

menyepakati setiap kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa

sebagai upaya peninggkatan kinerja kelembagaan di tingkat Desa.30

28
Ibid, Pasal 34,38,39.
29
Ahmad Subandi dan Abdur Rahim, “Eksistensi Badan Permusyawaratan Desa Dalam
Pembentukan Peraturan Desa Di Desa Mekarjaya Perspektif Musyawarah Dalam Islam” dalam
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar‟i, Volume 6 No. 5, Jakarta: (2019), h. 505.
30
Ferry Hernold Makawimbang, Kompilasi Peraturan Perundang Undangan Tentang
Desa Sistem Pengelolaan Dan Tanggung Jawab dana desa, (Jakarta: BPK Gunung mulia, 2016),
Cet ke-1, h.2-3.
20

Rahyuni Rauf dan Sri Maulidiah mendefinisikan Badan

Permusyawaratan Rakyat sebagai institusi desa yang beranggotakan

masyarakat Desa untuk melaksanakan proses demokrasi di tingkat Desa, yang

diakui keberadaannyya di dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah.

Badan Permusyawaratan Desa sebagai badan perwakilan diisi oleh pemuka-

pemuka masyarakat desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat

peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta

melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.31

Serupa dengan Rahyuni Rauf dan Sri Maulidiah, Joko Purnomo pun

memandang Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut nama lain

sebagai institusi tingkat desa yang melakukan fungsi pemerintahan yang

anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan

wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Badan ini merupakan sarana dalam

mewujudkan demokrasi berdasarkan Pancasila dan berkedudukan sejajar serta

menjadi mitra dari pemerintah desa yang turut membahas dan menyepakati

berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.32

Dapat kita pahami bahwa Badan Permusyawaratan Desa merupakan

lembaga desa yang berkedudukan sejajar dengan pemerintah desa dimana

anggotanya terdiri dari perwakilan tiap-tiap wilayah sebagai representasi

masyarakat desa secara keseluruhan yang juga diharapkan dapat menjadi suatu

sarana dalam mewujudkan demokrasi. Badan Permusyawaratan Desa

31
Rahyuni Rauf dan Sri Maulidiah, Badan Permusyawaratan Desa, (Pekanbaru: Zanafa
2016) , h.13.
32
Joko Purnomo, Loc.Cit., h. 26.
21

selayaknya menjadi penghubung antara kebijakan desa dengan kepentingan

masyarakat sehingga setiap kebijakan yang dibuat dapat tepat sasaran.

Merujuk pada Undang-Undang Negara Nomer 6 Tahun 2014 Tentang

Desa menyebutkan didalamnya tentang hak dan kewajiban dari BPD dan

Anggotanya. Dalam Pasal 61 di sebutkan bahwa BPD memiliki hak untuk

mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan

Desa kepada Pemerintah Desa menyatakan pendapat atas penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa serta mendapatkan

biaya operasional atas pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai BPD dari

anggaran pendapatan dan belanja desa. Sementara hak dari anggota BPD

diatur dalam Pasal 62 yakni berhak mengajukan usul rancangan Peraturan

Desa, mengajukan pertanyaan, mengajukan usul atau pendapat, memilih dan

dipilih, mendapat tunjangan dari anggaran pendapatan dan belanja Desa.

Adapun kewajiban dari anggota BPD ialah menyerap dan menampung serta

menindaklanjuti asspirasi masyarakat Desa, mendahulukan kepentingan

umum diatas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, menghormati

nilai social budaya dan adaat istiadat masyarakat, dan yang terakhir ialah

menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga

kemasyarakatan.33

33
Ferry Hernold Makawimbang, Loc.Cit., h.59.
22

Sebagai lembaga legislatif tingkat desa Badan Permusyawaratan Desa

memiliki fungsi sebagaimana yang telah dimuat dalam Undang-Undang Desa

yaitu:34

a. Mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan

berkembang di Desa yang bersangkutan sepanjang menunjang

kelangsungan pembangunan.

b. Legislasi yaitu menyusun, merumuskan dan menetapkan peraturan Desa

bersamasama Pemerintah Desa.

c. Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan

Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala

Desa.

d. Menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan

aspirasi yang di terima dari masyarakat pejabat atau instansi yang

berwenang.

e. Melakukan penyaringan dan penjaringan bakal Calon kepala Desa.

f. Menetapkan Calon Kepala Desa terpilih

Dalam hal pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa yang

telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 6 tahun 2018

tentang Badan permusyawaratan Desa masyarakat desa diberikan dua opsi

mekanisme penetapan anggota BPD yang pertama melalui mekanisme

pemilihan langsung oleh masyarakat desa, dan yang kedua melalui mekanisme

musyawarah oleh para wakil masyarakat desa. Anggota BPD terpilih nantinya

34
Ramlan dan Eka NAM Sihombing, Hukum Pemerintahan Desa, (Medan:Enam Media,
2021), h.50.
23

akan di resmikan oleh bupati terhitung tiga puluh hari hari kerja sejak

diterimanya laporan hasil pemilihan dari Kepala Desa. setiap anggota BPD

dapat menjalankan status keanggotaanya selama 6 (enam) tahun dan dapat

dipilih kembali sebanyak tiga kali masa keanggotaan. 35

4. Peraturan Desa

Kedudukan desa sebagai komunitas yang dapat mengurus dirinya

sendiri atau self governing communities diberikan wewenang untuk

membentuk peraturan sendiri sesuai dengan kondisi masyarakatnya yakni

Peraturan Desa. Dalam Undang-Undang Desa peraturan desa didefinisikan

sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Kepala Desa

setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Adapun hal yang dapat di atur dalam Peraturan Desa adalah ketentuan-

ketentuan yang bersifat mengatur, segala sesuatu yang menyangkut

kepentingan masyarakat desa, dan segala sesuatu yang membebani keuangan

desa dan masyarakat desa. Materi peraturan desa dapat memuat masalah-

masalah yang berkembang di desa yang perlu pengaturannya.36

Peraturan desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial

budaya masyarakat desa setempat. Isi peraturan desa tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

35
Kampar, Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 6 Tahun 2018, Lembaran
Daerah Kabupaten Kampar Tahun 2018 Nomor 6; Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Kampar Nomor 6, Tentang Badan Permusyawaratan Rakyat, Pasal 9, 12,13.
36
HAW Widjaja, Loc.CIt., h.96.
24

lebih tinggi, serta norma kesusilaan masyarakat. Peraturan desa dibentuk

berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.37

Putera Astomo (2018: 86) berpendapat bahwa peraturan desa

termasuk kedalam peraturan perundang-undangan hal ini didasari oleh adanya

kesamaan ciri yang melekat antara peraturan perundang-undangan dan

Peraturan Desa, yakni:38

a. Bersifat tertulis;

b. Dibentuk oleh pihak yang berwenang yaitu Kepala Desa dan dibahas

bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai

lembaga yang berwenang di Desa;

c. Bersifat umum dan abstrak;

d. Dapat diuji (review) jika bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Selain itu, terdapat pula dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni selain dari pada

yang disebutkan didalam pasal 7 ayat (1) peraturan yang dibuat oleh Kepala

Desa juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Yang dimaksud dengan

37
Isharyanto, dan Dila Eka Juli Prasetya, Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif,
Konseptualisasi dan Konteks Yuridis), (Yogyakarta:Absolute Media, 2016), Cet. Ke-1, h.276
38
Putera Astomo, “Kedudukan dan Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Desa dalam
Peraturan Perundang-undangan” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 2, (2018), h.286-
287.
25

“berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu

pemerintahan sesuai dengan yang diatur oleh Undang-Undang.39

Dalam hal ini berarti seorang Kepala Desa diberikan wewenang oleh

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk membuat

Peraturan Desa sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan desa. oleh

karenanya Peraturaan Desa diakui keberadaanya dan termasuk kedalam

Peraturan Penundang-Undangan.

Secara teknis ada 6 (enam) tahap pembentukan peraturan desa, yaitu

meliputi:40

a. Perencanaan. Perencanaan penyusunan rancangan peraturan desa

ditetapkan oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam

rencana kerja pemerintah desa. Lembaga kemasyarakatan, lembaga adat

dan lembaga desa lainnya di desa dapat memberikan masukan kepada

pemerintah desa dan/ atau Badan Permusyawaratan Desa untuk rencana

penyusunan rancangan peraturan desa.

b. Penyusunan. Penyusunan Rancangan peraturan desa diprakarsai oleh

pemerintah desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa dan dapat

dikonsultasikan kepada Camat untuk mendapatkan masukan. Rancangan

peraturan desa yang dikonsultasikan diutamakan kepada masyarakat atau

kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan substansi materi

pengaturan. Rancangan peraturan desa yang telah dikonsultasikan

disampaikan Kepala Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa untuk

39
Ibid, h.287.
40
Isharyanto, dan Dila Eka Juli Prasetya, Loc.Cit. h. 277-280.
26

dibahas dan disepakati bersama. Badan Permusyawaratan Desa dapat pula

mengajukan Rancangan peraturan desa rancangan peraturan desa tentang

rencana pembangunan jangka menengah desa, rancangan peraturan desa

tentang rencana kerja pemerintah desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa dan Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa.

c. Pembahasan. Badan Permusyawaratan Desa mengundang Kepala Desa

untuk membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa. Rancangan

peraturan desa yang telah disepakati bersama disampaikan oleh pimpinan

Badan Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa untuk ditetapkan

menjadi peraturan desa paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal

kesepakatan. Rancangan peraturan desa wajib ditetapkan Kepala Desa

dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 15 (lima belas) hari

terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan desa dari pimpinan Badan

Permusyawaratan Desa.

d. Penetapan. Rancangan peraturan desa yang telah dibubuhi tanda tangan

disampaikan kepada Sekretaris Desa untuk diundangkan.

e. Pengundangan. Sekretaris Desa mengundangkan peraturan desa dalam

lembaran desa. Peraturan desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat sejak diundangkan.

f. Penyebarluasan. Penyebarluasan dilakukan oleh Pemerintah Desa dan

Badan Permusyawaratan Desa sejak penetapan rencana penyusunan

rancangan peraturan desa, penyusunan rancangan peraturan desa,


27

pembahasan rancangan peraturan desa, hingga pengundangan peraturan

desa. Penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau

memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.

Setelah enam tahap pembentukan peraturan desa tersebut terdapat

dua tahap lagi sebagai bentuk pengkajian dan penilaian rancangan peraturan

desa atau peraturan desa untuk mencegah permasalahan yang timbul ketika

peraturan desa tersebut efektif dilaksanakan. Pertama, Evaluasi. Rancangan

peraturan desa yang telah dibahas dan disepakati, disampaikan oleh Kepala

Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat paling lambat 3 (tiga) hari sejak

disepakati untuk dievaluasi. Jika Bupati/Walikota tidak memberikan hasil

evaluasi dalam batas waktu, peraturan desa tersebut berlaku dengan

sendirinya. Hasil evaluasi rancangan peraturan desa diserahkan oleh

Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak

diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota. Apabila telah

dievaluasi, Kepala Desa wajib memperbaikinya bersama BPD dalam jangka

waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

Bupati/ Walikota membatalkan peraturan desa dengan Keputusan Bupati/

Walikota. Bupati/Walikota dapat membentuk tim evaluasi rancangan

peraturan desa. Tim evaluasi ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota. 41

Kedua, Klarifikasi. Peraturan desa yang telah diundangkan

disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota paling lambat 7

(tujuh) hari sejak diundangkan untuk diklarifikasi. Bupati/ Walikota

41
Ibid. h.280.
28

melakukan klarifikasi peraturan desa dengan membentum tim klarifikasi

paling lamabat 30 (tiga puluh) hari sejak diterima. Hasil klarifikasi dapat

berupa: hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum

dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka

Bupati/Walikota menerbitkan surat hasil klarifikasi yang berisi hasil

klarifikasi yang telah sesuai. Namun apabila hasil klarifikasi yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi Bupati/Walikota membatalkan

peraturan desa tersebut dengan Keputusan Bupati/Walikota. 42

5. Hubungan Kerja Antara BPD dan Kepala Desa

Badan Perwakilan Desa memiliki kedudukan yang sejajar dengan

pemerintah desa dan merupakan mitra kerja dari pemerintah desa, dimana

kedua institusi ini memiliki fungsi yang berbeda, BPD berfungsi sebagai

legislatif desa, sedangkan pemerintah desa berfungsi sebagai eksekutif desa. 43

Walaupun kedua institusi desa ini memiliki fungsi, tugas dan

wewenang yang berbeda, namun karena keduanya merupakan bagian dari

penyelenggara pemerintahan desa, tentunya akan memiliki hubungan kerja

tersendiri yang lebih jelas dalam mengembangkan pemerintahan dan

masyarakat desa. Kedua institusi ini memiliki hubungan kerja dalam

penyusunan Peraturan desa, proses penetapan kebijakan penyelenggaraan

pemerintah Desa, pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa, pembahsan

Laporan pertanggungjawaban tahunan maupun akhir dari Kepala Desa,

42
Ibid.h. 281-282.
43
Rahyunir Rauf dan Sri Maulidiah, Loc.Cit., h.55
29

penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, proses

penjaringan, penyaringan, pemilihana dan pemetapan kepala desa, dan

pengusulan pemberhentian Kepala Desa.44

Uraian diatas menunjukan bahwa antara kepala desa dan Badan

Permusyawaratan Desa memiliki hubungan kerja yang jelas. Dimana

menempatkan Kepala Desa sebagai bagian dari eksekutif desa sementara

Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga legislatif desa yang

melaksanakan fungsi pengawasan sekaligus penyaluran aspirasi masyarakat.

Hal itu tentunya tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak dibarengi

dengan hubungan yang baik antara kedua lembaga publik tingkat desa

tersebut. Namun layaknya idealisme dan realitas yang hampir tidak pernah

sejalan jika berkaca pada kenyataan yang terjadi bahwa tidak semua wilayah

desa diindonesia yang kedua lembaga penyelenggara pemerintahan desanya

memiliki hubungan baik sebagaimana yang seharusnya diterapkan. Berbagai

macam ikhwal yang melatar belakangi terjadinya ketidak harmonisan tersebut

sehingga berimplikasi pada terhambatnya pembangunan desa yang diharapkan

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sebagaiana yang

diamanatkan oleh Undang-undang.

Sutoro Eko (2014: 169) mengklasifikasikan hubungan antara BPD

dengan Kepala Desa dalam empat pola: 45

a. Dominatif: dimana Kepala Desa sangat mendominasi dalam menentukan

kebijakan desa dan BPD lemah, Kepala Desa menepikan keberadaan

44
Ibid.
45
Sutoro Eko, Loc.Cit., h.169
30

BPD, dapat pula disebabkan oleh BPD yang pasif atau tidak paham

terhadap fungsi dan perannya. Fungsi pengawasan BPD terhadap kinerja

kepala desa tidak dilakukan oleh BPD. Lemahnya kuasa rakyat dan

demokrasi desa sehingga mengakibatkan kebijakan desa menguntungkan

kelompok Kepala Desa.

b. Kolutif: hubungan Kepala Desa dan BPD terlihat harmonis namun bukan

dalam arti positif. Dimana Kepala Desa dan BPD bersama-sama berkolusi,

sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya tindakan korupsi. BPD

sebagai alat legitimasi keputusan kebijakan desa. Implikasinya kebijakan

keputusan desa tidak berpihak warga atau merugikan warga, karena ada

pos-pos anggaran/keputusan yang tidak disetujui warga masyarakat.

Musyawarah desa tidak berjalan secara demokratis dan dianggap seperti

sosialisasi dengan hanya menginformasikan program pembangunan fisik.

Warga masyarakat kurang dilibatkan dan apabila terjadi komplain dari

masyarakat tidak akan mendapatkan tanggapan dari BPD maupun

pemerintah desa. Sehingga warga masyarakat bersikap pasif dan

membiarkan kebijakan desa tidak berpihak pada warga desa.

c. Konfliktual: hal ini terjadi apabila BPD dianggap musuh kepala desa,

antara BPD dengan kepala desa sering terjadi pertentangan, terutama

bilamana keberadaan BPD bukan berasal dari kelompok pendukung

Kepala Desa. Musyawarah desa diselenggarakan oleh pemerintah desa dan

BPD tidak dilibatkan dalam musyawarah internal pemerintahan desa.


31

Dalam musyawarah desa tidak membuka ruang dialog untuk menghasilkan

keputusan yang demokratis, sehingga menimbulkan konflik.

d. Kemitraan: antara BPD dengan Kepala Desa membangun hubungan

kemitraan. “Kalau benar didukung, kalau salah diingatkan”, ini prinsip

kemitraan dan sekaligus check and balances. Ada saling pengertian dan

menghormati aspirasi masyarakat untuk melakukan check and balances.

Kondisi seperti ini akan menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan

berpihak pada masyarakat desa.

6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

tentunya memberikan nuansa yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan

desa, baik bagi pemerintah desa maupun bagi BPD yang sama-sama

merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa. Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 tentang Desa dinilai sebagai kebijakan paling progresif

sepanjang sejarah perjuangan desa. 46

Undang-Undang Desa ini terdiri atas enam belas bab bahasan.

Adapun hal hal yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa adalah sebagai berikut sebagai berikut:

a. Kedudukan dan jenis desa;


b. Penataan desa;
c. Kewenangan desa;
d. Penyelenggaraan pemerintahan desa;
e. Hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa;
f. Peraturan desa;
g. Pembangunan desa dan pembangunan Kawasan perdesaan;
46
Ahmad Rofiq , dkk, Praktik Baik Desa Dalam Implementasi Undang-Undang Desa,
(Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), 2016), h.1
32

h. Badan usaha milik desa;


i. Kerjasama desa;
j. Lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa;
k. Ketentuan khusus desa adat;
l. Pembinaan dan pengawasan.
Dalam Undang-Undang desa penyelenggaraan pemerintahan desa di

Indonesia dilaksanakan oleh unsur lembaga Pemerintah Desa dan unsur

lembaga Badan Permusyawaratan Desa, lembaga Pemerintah desa berfungsi

dalam proses menyelenggarakan berbagai bentuk kebijakan dari pemerintah

tingkat atasnya dan berbagai bentuk kebijakan desa yang dibuat oleh desa itu

sendiri, melalui proses musyawarah dan mufakat di tingkat desa. Badan

Permusyawaratan Desa berfungsi untuk menetapkan berbagai bentuk dari

peraturan desa yang ditetapkan bersama-sama dengan kepala desa, serta juga

berfungsi untuk menampung dan menyalurkan berbagai bentuk aspirasi dan

kebutuhan dari masyarakat desa setempat, yang telah diinventarisir,


47
dirumuskan dan disampaikan oleh lembaga pemerintah desa kepada BPD.

Jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya maka terdapat

perbedaan dimana adanya tambahan fungsi bagi BPD yakni sebagai

pengawasan terhadap kinerja kepala desa. Di mana pada peraturan

sebelumnya BPD hanya berfungsi sebagai yang menetapkan peraturan desa

Bersama kepala desa dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam hal ini

berarti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini

turut memperkuat kedudukan BPD sebagai bagian dari penyelenggara

pemerintahan desa.48 Perbedaan yang lebih fundamental ialah di mana

47
Rahyunir Rauf dan Maulidiah, Op.Cit., h.161
48
Rahyunir Rauf dan Maulidiah, Op.Cit., h.156.
33

Undang-Undang ini disusun dengan semangat amanah konstitusi yakni

pengaturan masyarakat hukum adat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat

(2) UUD 1945, yaitu desa atau atas nama lain berhak mengatur dan mengurus

urusannya masing-masing, bahkan lebih dari itu, terdapat ruang untuk

tumbuhnya desa adat diluar desa administratif. 49

Untuk penyelenggaraan pemerintahan desa sendiri dalam Undang-

Undang Desa Pasal 3 telah diatur terkait asas-asasnya

pelaksanaannya.masyarakat desa yang selama ini hanya menjadi penonton

dalam pelaksanaan pembangunan didaerahnya, namun melalui Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 masyarakat diberikan pengakuan terhadap hak

asal usul (rekognisi), penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan

keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa (subsidiaritas),

keberagaman kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan musyawarah

demokrasi kemandirian , partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan

keberlanjutan..50

Adapun segala upaya dalam pengaturan desa yang termuat dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentaang desa tersebut adalah bertujuan

untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan desa yang meliputi

kemandirian pemerintahan desa (Local Self Government) dan kemandirian

masyarakat desa (Self Governing Community).51

49
Abdul Fatah Fanani, dkk, “Analisi Undang-Undang Desa”, Dalam Jurnal Dialektika,
Vol.IV, Nomor 1, (2019), h.3
50
Ibid
51
Ibid
34

7. Ahl Al-Halli Wa Al-Aqd

Dalam fiqh siyasah, kekuasaan legislatif disebut al-sulthah al-

tasyri‟iyyah yang tugasnya membuat suatu peraturan yang nantinya akan

diberlakukan di lingkungan masyarakat sebagai upaya untuk mencapai

kemaslahatan dan menghindarkan dari kemudharatan. Apabila di sistem

demokrasi orang yang berada di lembaga legislatif adalah orang-orang yang

dipilih oleh rakyat, hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam dimana

orang yang berhak menduduki kursi perwakilan di dalam lembaga yang

menjalankan kewenangan al-sulthah al-tasyri‟iyyah adalah para mujtahid dan

ahli fatwa (mufti) serta para ahli dari berbagai bidang. Hal ini dikarenakan

pandangan bahwa Allah adalah satu-satunya yang memiliki hak dan

kewenangan menetapkan syari‟ah, lembaga legislatif hanya diperbolehkan

untuk memahami syari‟at dan menggali hukum-hukum yang ada di

dalamnya.52

Lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Islam memiliki dua

fungsi. Pertama, ialah mengeluarkan Undang-undang yang bersifat ilahiah.

Maksudnya ialah mengatur undang-Undang dimana hukumnya telah

disyari‟atkan secara jelas dan tegas di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah.namun

hal seperti ini sangat minim dijumpai sebab dalam kedua sumber ajaran Islam

ini pada prinsipnya lebih banyak menjelaskan permasalahan-permasalahan

secara global. Sementara perubahan yang terjadi dalam masyarakat bergulir

sangat cepat dan membutuhkan jawaban yang tepat sebagai solusi. Kedua,

52
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah,(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.137.
35

melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara

tegas didalam Al-Qur‟an maupun Sunnah. Pada fungsi inilah yang menjadi

alasan mengapa di dalam lembaga al-sulthah al-tasyri‟iyyah perlu diisi oleh

orang-orang dari kalangan mujtahid dan ahli fatwa.53

Tidak jauh berbeda Sayyid Abdul A‟la Maududi juga memberikan

pendapatnya tentang fungsi yang dimiliki oleh lembaga legislatif pada sistem

pemerintahan negara Islam, yaitu:54

a. Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasulullah

SAW, maka legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, legislatif

hanya berkompeten untuk menegakkannya dalam susunan dan bentuk

pasal demi pasal, menggunakan definisidefinisi yang relevan dan rincian-

rinciannya, serta menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang

untuk mengundangkannya;

b. Jika pedoman-pedoman al-Qur‟an dan Sunnah mempunyai kemungkinan

interpretasi lebih dari satu, maka legislatif berhak memutuskan penafsiran

mana yang harus ditempatkan dalam kitab UUD. Pada dasarnya, harus

diakui bahwa untuk tujuan perundang-undangan, suatu lembaga legislatif

harus memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa mengenai

penafsiran mana yang harus lebih dipilih dan untuk menegakkan

penafsiran yang lebih dipilihnya ini sebagai hukum, kecuali bahwa

penafsiran itu hanya satu dan bukan merupakan pelanggaran atau

penyimpangan semu dari hukum;


53
Ibid., h.138.
54
Abul A‟la Al-Maududi, Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, alih bahasa oleh
Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet ke-3, h.245-246.
36

c. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur‟an dan Sunnah, maka tugas

lembaga legislatif adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang

barkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga

jiwa hukum Islam. Jika sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama

yang telah tercantum dalam kitab-kitab fikih, maka dia bertugas untuk

menganut salah satu diantaranya;

d. Jika al-Qur‟an dan Sunnah tidak memberikan pedoman pada sifatnya dasar

sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi Khulafa al-

Rasyidin, maka dapat diartikan bahwa Tuhan telah memberi kebebasan

melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik. Oleh

karenanya, dalam kasus semacam ini, lembaga legislatif dapat

merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan

jiwa dan semangat syariah.

Dalam konteks pemerintahan Islam kekuasaan legislasi berarti

kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang

akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan

ketentuan yang telah diturunkan Allah swt dalam syariat Islam. Oleh karena

itu dalam hal ijtihad para anggota lembaga legislatif harus mempertimbangkan

situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar peraturan yang diundangkan itu

sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. Dalam

lembaga legislatif para anggota akan berdebat dan bertukar pikiran untuk
37

menemukan undang-undang yang baru. Setelah terjadi kesepakatan,

dikeluarkanlah undang-undang yang baru untuk diberlakukan di masyarakat.55

Lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Islam adalah Ahl al-

hall wa al-„aqd. Ahl al-hall wa al-„aqd adalah orang-orang yang diikuti atau

di patuhi dan dipercaya umat, umat rela dengan pendapat mereka, karena

mereka dikenal ikhlas, konsisten, taqwa, adil, beride baik, memahami masalah

dan lebih mementingkan kepentingan umum. Pada masa Rasul, ahl al-hall wa

al-„aqd adalah para sahabat, yaitu mereka yang diserahi tugas-tugas keamanan

dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum,

para pemuka sahabat yang sering beliau ajak musyawarah, mereka yang

pertama-tama masuk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun), para sahabat yang

memiliki kecerdasan dan pandangan luas serta menunjukkan pengorbanan dan

kesetiaan yang tinggi terhadap Islam, dan mereka yang sukses melaksanakan

tugasnya baik dari kaum Ansar maupun dari kaum Muhajirin.56

Adapun dalam menjawab setiap persoalan yang timbul Ahl al-hall wa

al-„aqd menggunakan metode syura‟ (musyawarah). Syuro‟ merupakan cara

memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara sebagai upaya bersama dalam mencapai kesepakatan. Menurut

pengertian syariat yang didasarkan pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah,

syuro‟ bermakna mengambil pendapat (akhdh ar-ra‟yi). Jika menelisik

kembali pada sejarah pemerintahan Islam pada masa setelah wafatnya

Rasulullah, yakni pada proses pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah. Menurut
55
Muhammad Iqbal, op.cit., h.153.
56
Budiarti, “Studi Siyasah Syar‟iyah Terhadap Konsep Legislatif Dalam Ketatanegaraan
Islam” dalam Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam, Volume 3, No.2, (2017), h.44.
38

Al-Mawardi, penetapan Abu bakar sebagai Khalifah ialah melalui

musyawarah terbuka. Musyawarah itu dilakukan di Balai Pertemuan Bani

Sa‟idah itu dilakukan oleh sekelompok kecil kaum muslimin yang terdiri atas

lima orang selain Abu Bakar. Pendapat lima orang itu yaitu Umar Ibn al-

Khattab, Abu „Ubaidah Ibn Jarrah, Asid Ibn Khudair, Bisyr Ibn Sa‟d dan

Salim budak Abu Khusaifah, kemudian diikuti oleh kaum muslimin yang lain.
57

Tidak berhenti sampai disana, disampaikan bahwa sistem

musyawarah atau syura‟ telah menjadi bagian dari kehidupan Rasulullah dan

para sahabat, sehingga hampir tidak ada yang tidak dimusyawarahkan

terutama pada masalah-masalah besar seperti peperangan dan pembagian

tanah serta penyusunan kaidah kaidah (aturan- aturan) yang belum

ditetapkan.58 Syuro‟ merupakan landasan ideal bagi pemerintahan Islam dalam

menjalan roda pemerintahan dan menyelasaikan segala bentuk persoalan serta

dalam setiap keputusan, hal ini dikarenakan syuro‟ memiliki landasan yang

kuat yang disebutkan dalam Al-Qur‟an yakni Q.S. Asy-Syura‟(42):38

         

 
Artinya: dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan
dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka.59(Q.S. Asy-Syura‟(42): 38)

57
Ibid., h.48
58
Muhammad Imran, “Sistem Syuro‟ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Islam”
dalam IUS, Volume 3, No. 7 (2015), h.135.
59
Q.S. Asy-Syura‟42: ayat 38
39

Dalam musyawarah sudah seharusnya melibatkan tidak hanya dari

kalangan elit penguasa maupun para ahli dibidangnya namun juga

mengikutsertakan masyarakat sebagai perwakilan golongan yang akan

menjalankan hasil dari keputusan suatu musyawarah. Dengan demikian dapat

terwujud hubungan yang harmonis antara ulil amri dan umat serta dapat
60
menjadi jalan terpenuhinya kepentingan orang banyak.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan penelitian-penelitian yang telah

dilakukan mengenai topik yang hampir sama dengan penelitian ini, penelitian

terdahulu yang telah dilakukan antara lain:

1. Skripsi berjudul “OPTIMALISASI PERAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN

PERATURAN DESA (Studi Kasus di Desa Tridayasakti Kecamatan

Tambun Selatan Kabupaten Bekasi)” oleh Prazoya Saputra (2014)

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dengan hasil penelitian kedudukan

BPD sebagai mitra kerja pemerintah desa sudah terwujud dalam

pelaksanaan tugas BPD dalam rangka menjalankan fungsi legislasi, yaitu

merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama dengan

pemerintah desa namun belum mencapai tahap memuaskan sebagai

lembaga penyalur aspirasi masyarakat dan pengayom masyarakat. Tidak

60
Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan dalam Islam: Siyasah Dusturiyah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.96.
40

adanya peraturan desa yang terbentuk kecuali APBDes dan RPJMDes

merupakan wujud peran badan Permusyawaratan Desa yang kurang

bersinergi dengan kepentingan masyarakat desa, kemampuan Badan

Permusyawaratan Desa dalam menciptakan Peraturan Desa belum

maksimal untuk memperjuangkan masalah yang ada di Desa. Adapun

kendala yang dialami oleh BPD desa Tridayasakti antara lain: komunikasi

antara BPD dengan Pemerintah Desa maupun masyarakat belum

terbangun dengan baik, persepsi anggota BPD bahwa setiap tugas yang

dijalankan harus memberikan sumbangan finansial terhadap setiap

anggotanya, dan kurangnya komitmen dan tanggungjawab yang membuat

anggota BPD inkonsisten dalam melaksanakan tugasnya, serta kurangnya

pemahaman para anggota BPD terkait pembentukan peraturan desa baik

dalam merumuskan dan merancang maupun teknik legal drafting.

2. Skripsi berjudul “IMPLEMENTASI PRINSIP CHECKS AND

BALANCES ANTARA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DENGAN PEMERINTAH DESA DALAM PENYUSUNAN

PERATURAN DESA (Studi Kasus Desa Tegalombo, Kecamatan

Tegalombo, Kabupaten Pacitan)” oleh Ismail (2017) Program Studi

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Ponorogo dengan hasil penelitian

Hubungan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan pemerintah desa

di Desa Tegalombo Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan dalam

penyusunan rancangan peraturan desa belum terjadi checks and balances


41

karena rumusan peraturan desa didominasi oleh pemerintah desa dimana

Badan Permusyawaratan Desa tidak berdaya mengusulkan rancangan

peraturan desa ada tiga faktor yang menyebapkan ketidak berdayaan

Badan Permusyawaratan Desa diantaranya: Kesibukan angotanya,

Lemahnya pendidikan politik sehingga terjadi kesalahan persepsi terkait

dengan posisi dan tugasnya, dan Badan Permusyawaratan Desa tidak

punya perangakat administrasi dan pedoman kaitanya dengan tugas dan

kewenangannya.

3. Skripsi berjudul “KOORDINASI BADAN PERMUSYAWARATAN

DESA (BPD) DENGAN KEPALA DESA DALAM PERENCANAAN

PEMBANGUNAN DI DESA LAIKANG KABUPATEN TAKALAR”

oleh Muh. Rinto (2021) Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar dengan

hasil penelitian bentuk koordinasi kerjasama dalam perencanaan

pembangunan di Desa Laikang bersifat horizontal dalam arti kebersamaan,

kesejajaran, dan kemitraan. Masyarakat Desa menyalurkan aspirasi kepada

BPD, kemudian disampaikan kepada kepala desa untuk pembuatan

rancangan APBD diajukan oleh Kepala Desa yang kemudian

dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa dengan

pertimbangan atau evaluasi APBD tahun sebelumnya. Bentuk kesatuan

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah desa dengan pihak BPD dalam

proses pembahasan dan pembuatan rancangan peraturan desa. Secara

konseptual, keterkaitan antara kepala desa dan BPD lebih pada check and
42

balance. Adapun faktor penghambat koordinasi BPD dan pemerintah desa

yaitu mengenai sarana, pola komunikasi, tidak memahami fungsi, dan

masyarakat kurang memahami fungsi BPD bahwasanya fungsi dalam hal

mendengar dan menyalurkan aspirasi masyarakat tidak berjalan

sebagaimana terdapat dalam undang-undang.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yakni

menjadikan bahan lapangan sebagai tumpuan utama. Sedangkan dilihat dari

sifatnya penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu suatu prosedur

penelitian yang menghasilkan data-data yang bersifat deskriptif dalam bentuk

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.61

B. Lokasi Penelitian

Tempat yang akan penulis jadikan sebagai lokasi penelitian adalah di

Desa Bukit Kemuning Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar. Penulis

tertarik melakukan penelitian di Desa Bukit Kemuning dikarenakan lokasi

penelitian dekat dengan kediaman penulis, sehingga memudahkan penulis

untuk melakukan obeservasi serta menghemat biaya transportasi dan biaya

lain-lain yang diperlukan. Di samping itu, lokasi penelitian ini juga terdapat

gejala di mana relasi antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa

kurang berjalan dengan harmonis dan kurang sesuai dengan yang terdapat

dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014.

61
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cet. Ke-3, h. 30

43
44

C. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, sekretaris Desa,

Kepala Urusan pemerintahan, BPD, dan tokoh masyarakat Desa Bukit

Kemuning.

2. Objek Penelitian

Adapun objek dari penelitian ini adalah Implementasi Prinsip

Check And Balance Antara Badan Permusyawaratan Desa Dan Pemerintah

Desa Bukit Kemuning Dalam Pembuatan Peraturan Desa Berdasarkan UU

Nomor 6 Tahun 2014 Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sekumpulan unsur atau elemen yang memiliki

karakeristik yang telah yang sama dan dijadikan subjek atau objek

penelitian guna dipelajari dan ditarik kesimpulan.62 Dalam penelitian ini

yang menjadi populasi adalah terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa,

Kepala Urusan Pemerintahan, BPD, dan tokoh masyarakat Desa Bukit

Kemuning.

2. Sampel

Sampel adalah unsur-unsur yang diambil dari populasi sehingga,

sampel adalah representasi dari populasi.63 Adapun sampel dalam

62
Ibid. h.163
63
Ibid. h.166
45

penelitian ini adalah 1 orang Kepala Desa, 1 orang Sekretaris Desa, 1

orang Kepala Urusan Pemerintahan , 1 orang Ketua BPD, 8 orang

Anggota BPD, dan 5 orang Tokoh Masyarakat desa Bukit Kemuning.

Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan populasi yaitu

sample dalam penelitian ini 16 orang atau sebanyak populasi tersebut.

Sample jenis ini disebut juga dengan sebutan “total sampling”.

E. Sumber Data

Berkaitan dengan permasalahan dan pendekatan masalah yang

digunakan, maka pada prinsipnya penelitian ini menggunakan dua sumber

data yaitu lapangan dan kepustakaan. Sedangkan jenis datanya yaitu:

1. Data primer

Data primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau sumber

pertama yang secara umum disebut sebagai narasumber.64 Data primer

dalam penelitian adalah data yang diperoleh malalui wawancara langsung

dengan Kepala Desa, Aparatur Pemerintahan Desa, BPD, dan beberapa

tokoh masyarakat Desa Bukit Kemuning, serta Camat Tapung Hulu.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari atau berasal dari

bahan kepustakaan. Data ini biasanya digunakan untuk melengkapi data

primer, mengingat bahwa data primer dapat dikatakan sebagai data

praktek yang ada secara langsung dalam praktek lapangan. Untuk melihat

64
Jonathan Sarwono, Metode Riset Skripsi, (Jakarta: Elex Media, 2012), h. 37.
46

konsepsi penerapannya perlu merefleksikan kembali ke dalam teori yang

terkait sehingga perlu adanya data sekunder sebagai pemandu.

3. Data Tersier

Data tersier adalah bahan-bahan materi penjelasan terhadap data

primer dan sekunder. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah internet.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi:

1. Observasi, adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan

pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala-gejala atau

fenomena yang ada pada objek penelitian.65

2. Wawancara, adalah merupakan salah satu metode dengan pengumpulan

data melalui komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi


66
antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (informan).

dalam teknik ini peneliti akan mewawancarai sebagnyak 18 orang yakni

Kepala Desa, 5 orang Perangkat Desa, Ketua BPD, 5 orang Anggota BPD,

dan 5 orang Tokoh Masyarakat desa Bukit Kemuning, serta Camat Tapung

Hulu.

65
Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan , ( Jakarta: Bumi
Aksara,2007), Cet ke-2, h.73.
66
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010), h. 72.
47

3. Studi kepustakaan, yaitu penulis mengambil data-data yang bersumber dari

buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 67

4. Dokumentasi adalah penelitian yang menggunakan barang-barang tertulis

sebagai sumber data, misalnya buku-buku, dokumen, jurnal, peraturan, dan

lainnya.68

G. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan

analisis deskriptif kualitatif. Analisis yang penulis gunakan untuk

memberikan deskripsi mengenai objek penelitian berdasarkan data yang

diperoleh dari subjek yang diteliti.

Proses analisis dimulai dengan menelaah kajian yang tersedia dari

berbagai sumber observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian

mengadakan reduksi data yaitu data-data yang pokok serta disusun lebih

sistematis sehingga menjadi data yang benar-benar terkait dengan

permasalahan yang diteliti.

H. Teknik Penulisan

Setelah data-data terkumpul, selanjutnya data tersebut disusun dengan

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Deduktif, yaitu menggambarkan dan menguraikan data-data yang

ada hubungannya dengan masalah yang diteliti secara umum dan

kemudian dianalisa untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.


67
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik ,(Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), h. 172.
68
Hartono, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Nusa Media , 2011), h. 62.
48

2. Metode Induktif, yaitu menggambarkan data-data yang bersifat khusus

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sehingga memperoleh

kesimpulan secara umum.

3. Metode deskriptif, yaitu menggambarkan secara tepat dan benar masalah

yang dibahas sesuai dengan data yang diperoleh kemudian dianalisa

sehingga dapat ditarik kesimpulannya.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang disampaikan berdasarkan penelitian yang

telah penulis lakukan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Dalam pembuatan peraturan desa antara BPD dengan pemerintah desa

Bukit Kemuning belum melaksanakan prinsip checks and balances yang

diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Setiap

proses dalam pembuatan peraturan desa dilaksanakan sendiri oleh pihak

Pemerintahan Desa Bukit Kemuning tanpa berkonsultasi dengan BPD

yang disebabkan oleh kurang harmonisnya hubungan antara Pemerintah

desa dengan BPD di desa Bukit Kemuning.

2. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terlaksananya prinsip checks

and balance dalam hubungan antara BPD dengan pemerintah desa Bukit

Kemuning dalam pembuatan peraturan desa. Adapun faktor yang

mendukung ialah adanya keterlibatan masyarakat. Sedangkan faktor yang

menghambat ialah pertama komunikasi yang kurang terjalin baik, kedua

adanya sikap kerja yang kurang profesional.

3. Hubugan kerja yang terjalin antara BPD dengan Pemerintah Desa Bukit

Kemuning belum sesuai dengan perspektif siyasah dusturiyah. Di mana

dalam proses pembuatan peraturan desa bukita kemuning BPD sebagai

lembaga desa yang menjalankan fungsi legislasi tidak banyak dilibatkan

selama proses pembuatan peraturan desa Bukit Kemuning. Pemerintah

77
78

juga tidak pernah melakukan konsultasi terkait penyelenggaraan

pemerintahan desa Bukit Kemuning. Hal ini tentunya tidak sesuai jika

dibandingkan dengan lembaga yang melaksanakan fungsi legislasi dalam

sistem pemerintahan Islam yakni ahl al-hall wa al-aqd. Dalam setiap

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemerintahan maka seorang khalifah wajib berkonsultasi kepada ahl al-

hall wa al-aqd.

B. Saran

Dari uraian dan kesimpulan yang telah penulis paparkan sebelumnya

penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Penulis menyarankan agar adanya upaya lebih lanjut untuk memperbaiki

hubungan kerja antara BPD dengan pemerintah desa Bukit Kemuning.

Antara Kepala Desa dengan Ketua BPD agar menyudahi semua konflik

berkepanjangan agar penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berjalan

dengan lancar. Terlebih dahulu antara semua pihak yang terlibat dalam

konflik ini harus menyadari bahwa setelah pemilihan selesai maka tidak

ada lagi persaingan, yang ada satu pemimpin yang harus didukung dan

didampingi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa.

2. Penulis menyarakan bahwa di dalam pembuatan Peraturan Desa Bukit

Kemuning mulai dari perencanaan, pembahasan, penyusunan sampai

dengan penetapan agar BPD benar-benar dilibatkan sehingga peran BPD

sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislasi dapat terlaksana

dengan baik. Dalam hal ini antara penyelenggara musyawarah maupun


79

seluruh pihak yang hadur dalam musyawarah hendaknya harus sudah

memahami sikap yang harus dimiliki dalam bermusyawarah yakni

bersikap lemah lembut, tidak berlaku keras dan kasar, saling memaafkan

dalam bermusyawarah serta senantiasa memohon ampunan kepada Allah

SWT.

3. Penulis menyarakna perlu adanya perhatian khusus dari pemerinta daerah

agar melaksanakan Pendidikan dan pelatihan guna memberikan

pemahaman kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa terhadap tugas pokok dan fungsi dari setiap

kelembagaan di desa. Pemahaman yang baik terhadap tugas pokok dan

fungsi dari masing-masing lembaga akan memberikan dampak yang baik

pula terhadap penyelenggaraan Pemerintahan desa.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2010.

Al-Maududi, Abul A‟la. Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, alih bahasa
oleh Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1994.

Amanulloh,Naeni. Buku 3 Demokratisasi Desa, Jakarta: Kementerian Desa,


Pembangunan Daerah Tertinggal,dan Transmigrasi Republik Indonesia,
2015.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik ,(Jakarta:


Rineka Cipta, 2010.

Djazuli, H. A. Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-


Rambu Syari‟ah, Jakarta: Kencana, 2003.

Eko, Sutoro. Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: Forum Pengembangan


Pembaharuan Desa, 2014.

Fatmawati, Fikih Siyasah, Makassar: Pustaka Almaida, 2015.

Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern, Bandung: Refika Aditama, 2009).

Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2006.

Hartono, Metode Penelitian, Yogyakarta: Nusa Media , 2011.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:


Prenamedia Group, 2014.

Isharyanto dan Dila Eka Juli Prasetya. Hukum Pemerintahan Desa (Perspektif,
Konseptualisasi dan Konteks Yuridis), Yogyakarta: Absolute Media, 2016.

Kementrian Agama RI, Al-Quran Keluarga Edisi Hasanah, Jakarta:Fitrah


Rabbani, 2009. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Lubis, Ali Akhbar Abaib Mas Rabbani. Ilmu Hukum Dalam Simpul Siyasah
Dusturiyah Refleksi Atas Teori Dan Praktek Hukum Tata Negara Di
Indonesia, Yogyakarta: Semesta Aksara,2019.
Makawimbang, Ferry Hernold. Kompilasi Peraturan Perundang Undangan
Tentang Desa Sistem Pengelolaan Dan Tanggung Jawab dana desa,
Jakarta: BPK Gunung mulia, 2016.

Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2002.

Purnama, Joko. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Yogyakarta: Infest, 2016.

Ramlan dan Eka NAM Sihombing. Hukum Pemerintahan Desa, Medan:Enam


Media, 2021.

Rauf, Rahyuni dan Sri Maulidiah. Badan Permusyawaratan Desa, Pekanbaru:


Zanafa 2016.

Sahdan, Gregorius. Desa Kuat Negara Berdaulat, Yogyakarta: The Indonesian


Power for Democracy (IPD), 2019.

Sarwono, Jonathan. Metode Riset Skripsi, Jakarta: Elex Media, 2012.

Syahputra, Sandy. Pengisian Data Profil Desa Bukit Kemuning Kecamatan


Tapung Hulu Kabupaten Kampar. Pekanbaru: DPMD Provinsi Riau, 2022.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah :Pesan Kesan dan Keserasian Al-Quran
Jilid 2. Tanggerang Selatan:Lentera Hati, 2016.
Siahaan, Pataniari. Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2012.

Situmorang, Jubair. Politik Ketatanegaraan Dalam Islam Siyasah Dusturiyah,


Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2012.

Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Sunindhia, Y.W. Praktek Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah. Jakarta:


Rineka Cipta, 1996.

Widjaja, HAW. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli Bulat Dan Utuh,
Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada 2003.

Zuriah, Nurul. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan , Jakarta: Bumi


Aksara,2007.
B. Jurnal
Anwar, Khaeril. “Hubungan Kerja Antara Kepala Desa Dengan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa” Dalam Kajian Hukum dan Keadilan Volume III.
No.8. (Agustus 2015), h. 207-222.

Astomo, Putera. “Kedudukan dan Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Desa


dalam Peraturan Perundang-undangan” Dalam Jurnal Konstitusi, Volume
XV, Nomor 2, (Juni 2018), h.282-305.

Budiarti. “Studi Siyasah Syar‟iyah Terhadap Konsep Legislatif Dalam


Ketatanegaraan Islam” Dalam Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam, Volume
III, No.2, (Desember 2017), h.39-58.

Chandranegara, Ibnu Sina. “Penuangan Checks and Balances kedalam Konstitusi”


Dalam Jurnal Konstitusi, Volume XIII. No. 3. (September 2016), h.532-
574.

Endah, Kiki. “Pengaruh Partisipasi Mayarakat Terhadap evektifitas Pembangunan


di Desa Karangjaladri Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran”, Dalam
Ilmu Pemerintahan dan Sosial, tt. h.596-604.

Abdul Fatah Fanani, dkk, “Analisi Undang-Undang Desa”, Dalam Jurnal


Dialektika, Vol.IV, Nomor 1, (Februari 2019), h.1-14

Imran, Muhammad. “Sistem Syuro‟ Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Islam”


Dalam IUS, Volume III, No. 7 (April 2015), h.129-138.

Luthfy, Riza Multazam. “Pengawasan Pemerintah Desa Dalam Mekanisme


Checks And Balances Pemerintahan Desa (Telaah Kritis Berdasarkan
UU No 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No 32/2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No 6/2014 Tentang Desa)” Dalam
Attanwir Volume V No. 02 (September 2015), h.36-55.

Mingkid, Elfie dan Stefi H. Harilama. “Komunikasi Organinsasi Pemerintahan


Desa Dalam Peningkatan Pelayanan Publik Pada Masyarakat di Desa
Pinapalangkow Kecamatan Suluun Tareran Kabupaten Minahasa Selatan”
Dalam Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, Vol. IV No. 1 (September
2018). h. 68-79.

Saputra, Prayoza. “Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa dalam


Pembentukan Peraturan Desa”, Skripsi:Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2014.
Sarpin. “Peran Kepala Desa Dalam Pembangunan Desa (Suatu Studi Di Desa
Genjor Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro)” Jurnal Ilmiah
Administrasi Negara, Volume I No. 01 (2010), h.1-9.

Subandi, Ahmad. dan Abdur Rahim, “Eksistensi Badan Permusyawaratan Desa


Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Desa Mekarjaya Perspektif
Musyawarah Dalam Islam” Dalam SALAM; Jurnal Sosial & Budaya
Syar‟i, Volume VI No. 5, Jakarta: (Juli 2019), h. 501-514.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5495 Tentang Desa.

Kampar, Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 6 Tahun 2018, Lembaran


Daerah Kabupaten Kampar Tahun 2018 Nomor 6; Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Kampar Nomor 6, Tentang Badan Permusyawaratan
Desa.

Kampar, Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 2017; Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Kampar Tahun 2017 Nomor 12 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

D. Wawancara

Sandi Syahputra, (Sekretaris Desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu


kabupaten Kampar) Wawancara, Bukit Kemuning, Tanggal 9 Maret 2022.

Sargiyanto, (Mantan Ketua BPD Desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu
kabupaten Kampar Periode 2018-2021), Wawancara, Tanggal 9 Maret
2022.

Suparna, (Mantan Kepala Desa Bukit Kemuning kecamatan Tapung Hulu


kabupaten Kampar Periode 2015-2021), Wawancara, Tanggal 11 Maret
2022.

Ustadz Masdar Fauzi, (Tokoh Agama Desa Bukit kemuning kecamatan Tapung
Hulu kabupaten Kampar), Wawancara, Tanggal 10 Maret 2022.
LAMPIRAN

Wawancara dengan Pemerintah Desa Bukit Kemuning

Wawancara dengan Ketua BPD Bukit Kemuning Periode 2018-2021

Wawancara dengan Kepela Desa Bukit Kemuning Periode 2015-2021


Wawancara dengan Ketua BPD Bukit Kemuning Periode 2022-2024

Wawancara dengan anggota BPD Bulit Kemuning Periode 2018-2024


Wawancara dengan tokoh masyarakat desa Bukit Kemuning
PEDOMAN WAWANCARA

IMPLEMENTASI PRINSIP CHECK AND BALANCE ANTARA BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DAN PEMERINTAH DESA BUKIT

KEMUNING DALAM PEMBUATAN PERATURAN DESA

BERDASARKAN UU NOMOR 6 TAHUN 2014 DALAM

PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH

A. IDENTITAS DIRI

Nama :

Jabatan :

Alamat :

Pendidikan Terakhir :

B. PERTANYAAN

1. Pemerintah Desa

a. Bagaimana hubungan kerja antara Pemerintah Desa dan BPD di Desa

Bukit Kemuning?

b. Bagaimana peran Pemerintah Desa dalam pembuatan Rancangan

Peraturan Desa?

c. Apakah ada forum yang dibuat untuk membahas Rancangan Peraturan

Desa?

d. Pihak mana saja yang dilibatkan dalam pembuatan Peraturan Desa

e. Apakah pemerintah desa pernah mendiskusikan Rancangan Peraturan

Desa bersama BPD?


f. Sejauh mana BPD dilibatkan dalam pembuatan Peraturan Desa?

g. Bagaimana proses pembahasan rancangan peraturan desa Bersama

BPD?

h. Apakah semua pihak yang terlibat mendapat hak yang sama dalam

berargumen atau mengkritisi rancangan peraturan desa?

i. Apa kesulitan yang dihadapi dalam menyusun Rancang Peraturan

Desa?

2. BPD (Badan Permusyawaratan Desa)

a. Bagaimana peran BPD dalam Pembuatan Rancangan Peraturan Desa?

b. Bagaimana BPD dalam menggali aspirasi masyarakat untuk dituangkan

dalam peraturan Desa?

c. Bagaimana hubungan kerja antara Pemerintah Desa dan BPD di Desa

Bukit Kemuning?

d. Sejauh mana BPD dilibatkan dalam pembuatan Peraturan Desa?

e. Apakah BPD Pernah ikut serta dalam forum pembahasan Rancangan

Peraturan Desa yang diadakan oleh Pemerintah Desa?

f. Apakah BPD pernah menerima salinan Rancangan Peraturan Desa dari

Pemerintah Desa?

g. Apakah BPD pernah mengajukan rancangan peraturan desa?

h. Berapa rancangan peraturan desa yang diajukan selama satu tahun?

i. Apakah kesulitan yang dihadapi dalam menyusun Rancang Peraturan

Desa?
3. Tokoh Masyarakat

a. Bagaimana hubungan kerja antara Pemerintah Desa dan BPD di Desa

Bukit Kemuning?

b. Bagaimana peranan Pemerintahan Desa dan BPD dalam merancangan

Peraturan Desa?

c. Apakah masyarakat pernah dilibatkan dalam pembuatan rancangan

peraturan Desa?

d. Apakah peraturan yang sudah ditetapkan sudah mewakili kepentingan

masyarakat desa?
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Putri Bumga Dwita lahir di Bukit Kemuning , pada


tanggal 12 Juli 2000, Penulis merupakan anak kedua dari 3
bersaudara, buah kasih pasangan dari Bapak Sumyar dan
Ibu Syafni. Memiliki 1 kakak Perempuan yang bernama
Mita Cahaya, satu adik laki-laki bernama Presta Aga
Saputra. Kedua orang tua penulis berdomisili di Desa Bukit
Kemuning Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Penulis
pertama kali menempuh Pendidikan Pada Tahun 2006 di SDN 017 Bukit
Kemuning dan selesai pada tahun 2012, dan pada tahun yang sama penulis
melanjutkan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama di MTsN Nurul Islam Byukit
Kemuning dan selesai Pada Tahun 2015, dan Pada Tahun yang sama Penulis
melanjutkan Pendidikan di Sekolah Lanjut Tingkat Atas di SMA N 1 Painan
mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan selesai Pada Tahun 2018.
Pada Tahun 2018 Penulis melanjutkan Pendidikan di Perguruan Tinggi
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Penulis tercatat sebagai
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum.
Pada Tahun 2022 pada bulan Maret penulis melakukan penelitian di
Desa Bukit Kemuning dengan judul penelitian “Implementasi Prinsip Check
and Balance Antara Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa
Bukit Kemuning Dalam Pembuatan Peraturan Desa Berdasarkan UU Nomor
6 Tahun 2014 Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyah ”, dibawah bimbingan
Irfan Zulfikar, M.Ag.
Alhamdulillah pada bulan Mei 2022 berhasil memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada sidang Sarjana Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Hukum
Tata Negara, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Anda mungkin juga menyukai