Anda di halaman 1dari 6

1

Sejarah Isi Perjanjian Hudaibiyah


serta Latar Belakang & Hikmahnya

Perjanjian Hudaibiyah merupakan perjanjian antara kaum muslimin dan kaum


Quraisy yang terjadi pada tahun keenam hijriyah. Setidaknya ada empat isi Perjanjian
Hudaibiyah yang menjadi kesepakatan kedua kaum tersebut.
Merujuk pada buku Sejarah Kebudayaan Islam karya Fida Abdillah, pada saat itu, umat Islam
bersama dengan Nabi Muhammad SAW akan berangkat menuju Makkah untuk menunaikan
ibadah haji, akan tetapi para pemuka kaum kafir Quraisy bersikeras tidak mengizinkan
rombongan umat Islam memasuki Kota Makkah.
Perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy
Makkah pada bulan Dzulqa'dah, tahun ke-6 Hijriyah, atau sekitar bulan Maret 628 M. Salah
satu poin isi perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan gencatan senjata antara umat Islam
dan kaum Quraisy selama 10 tahun. Poin itulah yang kemudian dilanggar oleh kaum Quraisy,
saat sekutu mereka Kabilah Bani Bakr menyerang Kabilah Khuza’ah yang beraliansi dengan
umat Islam. Pelanggaran tersebut memicu peristiwa akbar dalam sejarah Islam di masa
kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni Fathul Makkah. Menyitir catatan Mahdi
Rizqullah Ahmad, dalam terjemahan karyanya, Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis
Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017:631), Hudaibiyah sebenarnya nama sebuah
sumber air. Lokasi Hudaibiyah berjarak sekitar 22 km arah barat laut dari Kota Makkah. Di
sekitar sumber air itu, tumbuh banyak taman dan berdiri masjid bernama Ar-Ridhwan.
Persitiwa terbentuknya Perjanjian Hudaibiyah terjadi setelah meletup rentetan bentrok militer

2
antara umat Islam dengan kaum Quraisy, termasuk perang Badar, Uhud, hingga Khandaq.
Sebelum perjanjian itu diteken, hubungan Madinah-Makkah dalam situasi menegangkan
sehigga kedua kubu saling bersiaga.
Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah Rangkaian peristiwa yang berujung pada perjanjian
Hudaibiyah berawal dari mimpi Rasulullah SAW pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah ke
Madinah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW bersama para sahabat memasuki Makkah
dengan aman, menginjakkan kaki di Masjidil Haram, mengambil kunci Ka'bah, dan
melaksanakan ibadah umrah. Rasulullah SAW lantas menceritakan mimpi itu kepada para
sahabatnya. Nabi Muhammad SAW pun bilang ke para sahabat soal rencananya menunaikan
ibadah umrah ke Makkah. Para sahabat setuju dan segera bersiap melakoni perjalanan yang
penuh risiko itu. Maka itu, pada awal bulan Dzulqa'dah tahun ke 6 Hijriyah, Rasulullah SAW
bersama 1500-an sahabat berangkat ke Makkah. Adapun kepemimpinan di Madinah
dipasrahkan untuk sementara kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Menyitir catatan Amin
Iskandar dalam "Hikmah di Balik Perjanjian Hudaibiyah" yang termuat di Jurnal Studi Hadis
Nusantara (Vol. 1, No. 1, 2019), Nabi Muhammad dan semua sahabatnya yang berangkat ke
Makkah sama sekali tidak membawa senjata, kecuali pedang dan sarungnya sebagaimana
para musafir di masa itu.
Dalam rombongan Rasulullah SAW, juga ada puluhan unta dengan tanda di lambung
kanannya sebagai petunjuk bahwa hewan-hewan itu untuk kurban, bukan kendaraan perang.
Pesan terang benderang ditunjukkan Rasulullah SAW bahwa kedatangannya ke Makkah
bukan untuk bertempur dengan kaum Qurays. Bahkan saat sampai di tempat bernama Dzul
Hulaifah, Rasulullah SAW meminta para sahabatnya segera memakai pakain ihram, berniat
melaksanakan umrah, dan membaca talbiah sepanjang perjalanan. Meskipun begitu, kaum
Qurays di Makkah tetap curiga dan bahkan berusaha menghalangi rombongan Rasulullah
SAW agar tidak bisa masuk ke Kota Makkah. Mereka pun sempat mengirim pasukan di
bawah pimpinan Khalid bin Walid untuk melakukan pengadangan, tapi Rasulullah SAW
memutuskan untuk melewati jalur berbeda agar tidak terjadi konfrontasi. Peristiwa itu, seperti
dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2019), terjadi beberapa bulan setelah berlangsung perang
Khandaq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah. Artinya, situasi tegang antara kedua kubu
belum mereda. Banyak kaum Qurays menganggap kedatangan Rasulullah SAW sebagai
serbuan mendadak, meski ada sinyal jelas bahwa rombongan dari Madinah berniat
menjalankan ibadah.
Sementara itu, di tengah perjalanan menuju Makkah, Rasulullah SAW meminta
rombongannya untuk berhenti dan berkemah di sebuah lembah yang lantas jadi lokasi

3
perundingan Hudaibiyah. Di tempat itu pula, Nabi Muhammad SAW menerima beberapa
utusan dari kaum Qurays. Utusan-utusan itu dikirim oleh kaum Qurays untuk mengonfimasi
maksud rombongan Rasulullah SAW datang ke Kota Makkah. Ada 4 utusan yang dikirim
secara bergilir oleh kaum Qurays, yaitu Badil bin Warqa (Bani Khuzaah), Makraz bin Haf,
Hulais (Kabilah Ahabsy), Urwah bin Mas’ud as-Saqaf. Namun, kaum Qurays masih tidak
percaya bahwa rombongan Nabi Muhammad SAW datang ke Makkah untuk umrah. Karena
itu, Rasulullah SAW kemudian mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk
menegaskan keterangan ke kaum Qurays bahwa tidak ada niat perang. Akan tetapi, unta yang
dikendarai Khurasy dibunuh dan ia sendiri nyaris kehilangan nyawa. Setelah insiden tersebut,
dikutip dari situs Kemenag, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan
pesan kepada kaum Qurays terkait niat rombongan dari Madinah yang hendak melaksanakan
umrah. Utsman jadi pilihan, terutama karena dia dikenal memiliki sikap yang lunak dan
banyak kerabat berpengaruh di kalangan kaum Qurays Makkah.
Ketika tiba di Makkah, Utsman segera menemui perundingan yang alot. Sekalipun
banyak pembesar kaum Qurays, seperti Abu Sufyan, adalah kerabat Utsman, izin bagi
rombongan Rasulullah SAW untuk masuk Makkah tetap tidak diberikan. Akibat perundingan
yang alot itu, Utsman terpaksa tinggal lebih lama di Makkah dari rencana semula. Di tengah
situasi yang demikian meresahkan para sahabat, tersiar isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum
Quraisy. Mendengar kabar itu, Rasulullah SAW segera memerintahkan para sahabat untuk
berkumpul dan menyampaikan sumpah setia, bahwa mereka tidak akan pulang sebelum
memerangi kaum Qurays. Maka, seluruh sahabat kemudian berikrar akan memerangi kaum
Qurays. Usai baiat itu berlangsung, Utsman baru datang kembali dari Makkah, dan segera
ikut berbaiat. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bai’at ar-Ridwan itu diabadikan dalam
firman Allah SWT QS Al-Fath ayat 48.
Menyadari situasi semakin genting, Kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk
membahas perjanjian damai dengan Rasulullah SAW. Perundingan Suhail dengan Nabi
Muhammad yang disaksikan oleh para sahabat tersebut berlangsung lama. Apalagi, Suhail
ngotot menyodorkan poin yang tidak bisa ditawar, seperti rombongan Rasulullah SAW harus
kembali ke Madinah, dan baru boleh datang ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, muncul kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian
Hudaibiyah. Isi Perjanjian Hudaibiyah Sebenarnya, banyak sahabat yang keberatan dengan
sejumlah poin dalam Perjanjian Hudaibiyah. Meski demikian, Rasulullah SAW berbesar hati
untuk menyetujuinya, demi tercipta perdamaian. Bahkan, mengutip buku SKI (Kemenag,
2014), Rasulullah SAW tidak menolak saat Suhail meminta teks perjanjian Hudaibiyah tidak

4
diawali kata Bismillaahirrahmanirrahiim, melainkan Bismika Allahumma (atas nama ya
Allah). Suhail juga menolak pencantuman nama "Muhammad Rasulullah" dan memintanya
dengan diganti Muhammad bin Abdullah. Usul yang terakhir ini juga diterima oleh
Rasulullah SAW, sekalipun banyak sahabat keberatan.
Dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2014), isi perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai
berikut: 1. Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun 2.
Setiap orang diberi kebebasan bergabung dan mengadakan perjanjian dengan Nabi
Muhammad, atau dengan Kaum Quraisy. 3. Setiap orang Quraisy yang menyeberang ke kubu
Nabi Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan, sedangkan jika pengikut Nabi
Muhammad bergabung dengan Quraisy tidak dikembalikan. 4. Nabi Muhammad dan
sahabatnya harus kembali ke Madinah dan tidak boleh masuk Makkah, dengan ketentuan bisa
kembali pada tahun berikutnya. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama 3 hari di
Makkah dan tidak dibenarkan membawa senjata kecuali pedang tersarung. Hikmah Perjanjian
Hudaibiyah Awalnya sempat timbul kekhawatiran di kalangan para sahabat mengenai
perjanjian Hudaibiyah. Mereka mengira perjanjian ini hanya menguntungkan kaum Quraisy
dan merugikan umat Islam.
Namun, Rasulullah SAW menyikapi perjanjian ini dengan arif. Nabi Muhammad
memanfaatkan situasi aman dan damai setelah perjanjian Hudaibiyah untuk semakin
memperluas dakwah Islam. Duta-duta Islam dikirim ke negara tetangga untuk mengajak
mereka mengikuti seruan Nabi Muhammad. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa
negeri tetangga, meski ditolak oleh sebagian lainnya. Jumlah umat Islam pun segera
bertambah banyak setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati. Setidaknya ada 2 hikmah di
balik perjanjian Hudaibiyah. Pertama, pemerintahan Islam di Madinah mendapatkan
legitimasi. Perjanjian Hudabiyah secara tidak langsung mengakui status Nabi Muhammad
SAW sebagai pemimpin umat Islam dan Kota Madinah. Artinya, perjanjian itu mencerminkan
pengakuan kaum Qurays terhadap pemerintahan Islam di Madinah. Kedua, salah satu
kesepakatan di perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Kesepakatan
ini memberi peluang kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk makin
memperluas dakwah Islam tanpa harus disibukkan dengan urusan perang. ( Sumber :
o.id/sejarah-isi-perjanjian-hudaibiyah-serta-latar-belakang-hikmahnya-gnKV diakses hari
jumat, 1 September 2023 pukul 15.57)

5
6

Anda mungkin juga menyukai