Anda di halaman 1dari 3

SLIDE 1 Di dalam perspektif ilmu administrasi publik, Reformasi birokrasi dimaknai

sebagai bentuk perubahan yang dilakukan terhadap birokrasi Inisiatif perubahan


tersebut bukan berasal dari dalam tubuh birokrasi, namun karena adanya tekanan
yang berasal dari luar birokrasi. Di sisi lain perubahan birokrasi dimana inisiatif
perubahan berasal dari dalam tubuh birokrasi itu sendiri, dan jika bentuk perubahan
yang dilakukan lebih bersifat inkremental, maka reformasi tersebut dikategorikan
sebagai bentuk perubahan organisasi (organizational) bureaucratic change). Adapun
reformasi birokrasi (organizational/ bureaucratic reform) lebih dimaknai sebagai
bentuk perubahan yang disengaja, bersitat fundamental dan terencana serta
perubahannya lebih disebabkan oleh adanya tekanan eksternal dari birokrasi.

Pada dasarnya reformasi administrasi dipandang sebagai alat dan bukan tujuan. Oleh
karena ia sebuah alat, maka reformasi birokrasi merupakan proses yang tidak pernah
berhenti seiring dengan kondisi dan perubahan sosio kultural masyarakat dimana item
administrasi tersebut berlangsung.

SLIDE 2 Reformasi birokrasi juga merupakan sebuah proses yang bersifat artifisial
dari perubahan birokrasi yang disengaja untuk merespon berbagai macam resistensi
yang dihadapi, dan diarahkan pada pentransformasian aspek-aspek fundamental dari
sistem administrasi.

Selain itu reformasi birokrasi juga dipandang sebagai suatu proses yang
dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efsiensi mesin birokrasi pemerintah
terhadap selurah tujuan nasional, daerah atau pada level institusi tertentu. Salah satu
faktor penting yang juga harus menjadi perhatian dalam menerapkan reformasi
bitokrasi yakni perlunya sikap kehati-hatian, karena kesuksesan reformasi
memerlukan dukungan penuh baik secara politis maupun strategi yang tepat, selain
pula memperhatikan aspek kultur dan tekanan yang berasal dari pihak eketernal.

Umumnya reformasi birokrasi yang terjadi diberbagai tempat selalu dibarengi dengan
reformasi di bidang sosial, ekonomi dan politik. Setiap reformasi birokrasi yang
dilaksanakan harus diprogramkan dan dijalankan dengan sungguh-sungguh. Oleh
karena itu, reformasi birokrasi memerlukan modal dasar dan penentuan tujuan yang
jelas terhadap apa yang akan menjadi kerangka referensi, institusi pelaksana serta
mekanisme pendukung yang akan menjamin kebutuhan pengetahuan, teknis
administrasi dan kapabilitas politik untuk mereview, mengevaluasi dan mengajukan
sistem, struktur, dan prosedur yang diperlukan untuk mencapai tujuan reformasi
birokrasi tersebut.

SLIDE 3 Efektivitas birokrasi kita masih menduduki urutan ke 80 dari 141 negara yang
disurvei (World Bank, World Governance Indicators, 2010), Birokrasi kita yang masih
saja menyandang sebagai birokrasi terkorup di dunia, dan terakhir menurut urutan ke
114 dari 177 negara yang disurvei (International Transparency International, 2013).
Bahkan daya saing negara diantara negara-negara ASEAN mash kalah dari
Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunai (World Economic Forum, 2013 2014)
dimana sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika birokrasi kita mampu memerankan
fungsinya sebagai institusi yang mendorong terciptanya daya saing bangsa. Kondisi
ini merupakan bukti nyata bahwa reformasi birokrasi yang telah dilakukan dan bahkan
masih tengah gat dilakukan memberikan kesan belum terjadi perubahan prilaku
korupsi di tubuh birokrasi.

Tindakan pemerintahan Jokowi-JK beberapa waktu lalu yang mengganti menteri


koordinatornya sebagai bukti mash terjadinya kelambanan birokrasi dalam
memahami keinginan presiden yang ingin segera bertindak cepat, kemudian
diterjemahkan dengan pentingnya dilakukan pergantian Menteri. Langkah ini tentu
masih perlu dipertanyakan efektivitasnya, walaupun dapat dipahami pergantian
pejabat birokrasi yang professional dibidangnya sebagai bagian reformasi birokrasi.
Namun juga penting untuk diketahui bahwa seorang menteri tidak hanya seorang
yang visioner tetapi pada saat yang sama juga harus visioning.

Fenomena-fenomena tersebut dalam konteks reformasi semakin menunjukkan bahwa


arah reformasi birokrasi di Indonesia belum memilikilandasan filosofis, kerangka kerja
dan strategi yang dipersiapkan dengan matang. Walaupun secara terstruktur dan
sistematis sudah dirancang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan
tertuang di dalam Peraturan Presiden No 18 tahun 2010, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Peraturan Meteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi No 20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-
2014. Apa yang dicapai dari grand desain yang sudah ada acuan regulasinya terkesan
kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini tentu tidak lepas dari komitmen
disetiap kementerian/instansi yang ada di tingkat daerah yang mash rendah. Kondisi
ini terjadi bukan hanya disebabkan karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman dari
pihak penyelenggaran negara tentang arti dan arah serta bagaimana cara
mengimplementasikan grand desain dan road map reformasi birokrasi tersebut.
Akibatnya yang muncul kemudian adalah adanya kesan bahwa reformasi yang tidak
konsisten pada grand desain yang sudah ditentukan, ditambah regulasi yang
diterbikan kemudian tidak mengacu dan konsisten dengan grand desain reformasi
yang sudah ada.

Pengalaman diberbagai negara yang telah sukses melakukan reformasi birokrasi


mestinya dapat menjadi cermin bagi kita terkait bagaimana melakukan reformasi
birokrasi yang efektif. Namun kenyataan yang kita lihat dalam konteks reformasi di
Indonesia, sejak tahun 1998 hingga kini, belum nampak perubahan perubahan yang
sangat berarti yang telah menelan, biaya yang sangat besar. Jika dianalisis lebih jauh,
maka hal ini tentu tidak terlepas dari pengaruh kultur dan nilai-nilai masyarakat yang
ada, konteks politik yang tidak kondusif serta tekanan eksternal yang juga meminta
prasyarat-prasyarat yang harus pula dituruti keinginannya, terutama seperti negara-
negara donor, lembaga-lembaga internasional maupun berbagai bentuk hasil
kerjasama ekonomi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai