Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

THYPUS ABDOMINALIS

Oleh:
Ahmad Hanafi
Ahmad Tri Qairul Hakim
Carla Paskalina Leftungun
Kornelia Awarop Nanakop
Melanie Aiszahra Rosita Putri
Rizal Wahyu Pamungkas
Sollu Amanda Febtianingsih

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAYAPURA


PRODI D-III KEPERAWATAN
MERAUKE
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
makalah dengan judul Thypus Abdominalis dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok dalam
mata kuliah KMB I.
Atas bimbingan Bapak Alfian Bayu Indrawan, S.Kep.Ns.M.Kep dan saran
dari teman-teman maka disusunlah makalah ini. Semoga dengan tersusunnya
makalah ini dapat berguna bagi kami dalam memenuhi salah satu syarat tugas
kami di perkuliahan. Makalah ini diharapkan bisa bermanfaat dengan efisien
dalam proses perkuliahan.
Dalam menyusun makalah ini, kami banyak memperoleh bantuan dari
berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
terkait. Dalam menyusun makalah ini penulis telah berusaha dengan segenap
kemampuan untuk membuat makalah yang sebaik-baiknya.
Sebagai pemula tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
makalah ini, oleh karenanya kami mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini
bisa menjadi lebih baik. Demikianlah kata pengantar karya tulis ini dan penulis
berharap semoga karya ilmiah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya Amin.

Merauke, 17 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang..........................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................5
C. Tujuan........................................................................................................5
D. Manfaat......................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI.................................................................................................6
A. Definisi......................................................................................................6
B. Etiologi......................................................................................................6
C. Patofisiologi...............................................................................................7
D. Pathway.....................................................................................................8
E. Manifestasi Klinis.........................................................................................9
F. Pemeriksaan Diagnostik................................................................................9
G. Komplikasi..............................................................................................11
H. Konsep Asuhan Keperawatan Thypus Abdominalis...............................12
1. Pengkajian...............................................................................................12
2. Diagnosa Keperawatan............................................................................17
3. Intervensi Keperawatan...........................................................................20
BAB III..................................................................................................................23
TINJAUAN KASUS..............................................................................................23
A. Pengkajian...............................................................................................23
B. Analisa Data............................................................................................29
C. Intervensi.................................................................................................30
D. Implementasi...........................................................................................34
BAB IV..................................................................................................................37
PENUTUP..............................................................................................................37
A. Kesimpulan..............................................................................................37
B. Saran........................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut sistem pencernaan yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi global, terutama di negara-negara
berkembang. Demam tifoid ditularkan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi, selain itu penyakit ini dapat
ditularkan melalui kontak langsung dengan feses, urin atau sekret penderita
demam tifoid. Dengan kata lain hygiene sanitasi adalah faktor utama
penularannya. (Levani & Prastya, 2020)
Menurut penelitian Gultom, Mai Debora (2017), di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan dinilai berdasarkan umur, penderita demam tifoid tertinggi
pada umur 5-14 tahun sebanyak 81 orang (31,3%). Berdasarkan jenis kelamin,
pasien demam tifoid lebih banyak pada perempuan sebanyak 149 orang
(57,5%) dan lebih sedikit pada laki-laki sebanyak 110 orang (42,5%).
Berdasarkan Jenis kelamin penderita demam tifoid anak yang paling banyak
adalah laki-laki dan paling sedikit adalah perempuan, dengan hasil rentan
perempuan sejumlah 15 pasien (42,9%) dan hasil rentan laki-laki sejumlah 20
pasien (57,1%). Berdasakan tingkat demam pada pasien anak demam tifoid.
ditemukan pasien dengan subfebris yaitu sejumlah 7 pasien (20%). Pasien
dengan febris yaitu sejumlah 26 (74,3%). Pasien dengan hiperpireksia yaitu
sejumlah 2 pasien (5,7 %). (Mustofa et al., 2020)
Gejala klinis yang klasik dari demam tifoid diantaranya adalah demam,
malaise, nyeri perut dan konstipasi. Pemeriksaan kultur merupakan
pemeriksaan gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Namun
harganya yang mahal dan waktu pemeriksaan yang lama membuat pemeriksaan
kultur ini jarang dilakukan. (Levani & Prastya, 2020)
Usaha penanggulangan demam tifoid meliputi pengobatan dan
pencegahan. Pencegahan demam tifoid terdiri dari pencegahan primer,
sekunder dan tersier. Untuk mendukung keberhasilan penanggulangan
demam tifoid diperlukan data lapangan yang lengkap dan akurat melalui
kegiatan surveilans. (Rahmawati,2010). Dengan Demikian kami Menyusun
makalah ini sebagai sarana dalam meningkatkan sumber informasi mengenai
penyakit thypus abdominalis.

B. Rumusan Masalah
Apa itu penyakit Thypus Abdominalis, etiologi, patofisiologi, pathway,
manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang dan diagnostik, penatalaksanaan
medis dan keperawatan, serta doagnosa keperawatan Thypus Abdominalis?

C. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi, patofisiologi, pathway,
manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang dan diagnostik, penatalaksanaan
medis dan keperawatan, serta doagnosa keperawatan Thypus Abdominalis

D. Manfaat
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar demam tifoid
2. Mahasiswa mampu memahami konsep asuhan keperawatan pada klien
demam tifoid
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Demam tifoid atau Typhus Abdominalis adalah penyakit yang disebabkan
kuman Salmonella typhii. S. typhii adalah kuman gram negatif berbentuk
batang yang hidup fakultatif anaerob. Demam tifoid ditularkan melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi S. typhii. Saat proses pencernaan
sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke dalam
usus halus. Dari usus halus kuman bereaksi dan menyebabkan pecah usus, lalu
kuman menyebar masuk ke kelenjer getah bening, ke pembuluh darah dan ke
seluruh tubuh (Tapan, 2004).
Typus abdominalis / Tifoid fever merupakan penyakit infeksi yang terjadi
pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella typhii. Penyakit ini dapat
ditularkan melalui makanan, mulut, atau minuman yang terkontaminasioleh
kuman salmonella thypii (Hidayat, 2014). Typus abdominalis / Tifoid fever
merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh salmonella
thypii dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan kesadaran dan saluran
pencernaan (Wijaya,A.S dan Putri, 2013). (Rinni et al., 2014)

B. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah infeksi organisme Salmonella enterica serovar
typhi (yang umum dikenal sebagai Salmonella typhi) melalui jalur fekal-oral
dari konsumsi makanan atau minuman yang telah terkontaminasi
bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini hanya menyebar dari manusia ke manusia
karena hanya manusia yang mampu menjadi inangnya.
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram negatif
ananerob fakultatif. Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh melalui
oral bersama dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian
bakteri akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian
bakteri Salmonella yang lolos akan segera menuju ke usus halus tepatnya di
ileum dan jejunum untuk berkembang biak. (Levani & Prastya, 2020)

C. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan
ditelan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag
yang ada di lamina propia. Sebagian dari salmonella thypi ada yang dapat
masuk ke usus halus mengadakan ivaginasi ke jaringan limfoid usus halus
(plak peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Kemudian salmonella thypi
masuk melalui folikel limpa kesaluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik
sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang sistem
retikulo endotelial (RES) yaitu hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya
mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain sistem saraf pusat, ginjal,
dan jaringan limpa.
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain
usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya, plakat peyer
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat atau
hiperplasia di mukosa usus.
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini
lebih besar di ileum dari pada dikolon sesuai dengan ukuran plak peyer yang
ada di sana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai
menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa.
Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan
jaringan parut dan fibrosis.
Masukknya kuman ke dalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan
tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam
hari dan akan turun menjelang pagi hari. Demam yang terjai pada masa ini
disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik turun, dan turunnya dapat
mencapai normal). Disamping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi
obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun hal ini tidak selalu
terjadi dan dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan
suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES seperti nyeri
perut kanan atas, splenomegali, dan hepatomegaly.
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi fokal intestinal terjadi dengan
tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase
bakterimia dan berlangsung terus menerus (demam kontinu), lidah kotor, tepi
lidah hiperemis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorbsi sehingga
akan terjadi distenti, diare dan pasien merasatidak nyaman. Pada masa ini dapat
terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis, dengan tanda distensi
abdomen berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syok, dan
penurunan kesadaran. (Reizani, 2020)

D. Pathway

Kuman salmonella thypi yang masuk ke saluran


gastrointestinal

Invaginasi ke jaringan limfoid usus halus (plak


penyeri) dan jaringan limfoid mesentrika

Invasi sistem retikulo endotelal

Demam Tifoid

Respon inflamasi Respon inflamasi


lokal intestinal
HIPERTERMI

Mual, muntah, anoreksia, Terbentuknya nekrosis


Penurunan mortalitas Dan tukak di ileum

Nutrisi tidak adekuat Perforasi terjadi pada tukak


Yang menembus serosa

Peritonitis
Risiko Defisit Nutrisi
E. Manifestasi Klinis
1. Demam
Demam khas ( membentuk pelana kuda) berlangsung 3 minggu, sifat febris
remitten dan suhu tidak seberapa tinggi. Minggu pertama suhu meningkat
setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore hari
maupun malam hari. Minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan
demam. Minggu ke tiga suhu tubuh berangsur turun dan normal pada akhir
minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah, lidah tertutup
selaput putih kotor, ujung tepi kemerahan, jarang disertai tremor,
anoreksia, mual, dan perasaan tidak enak diperut. Abdomen kembung,
hepatomegaly, splenomegaly, kadang terjadi diare, kadang tidak terjadi
diare.
3. Gangguan Kesadaran
Kesadaran menurun yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi spoor,
komo,atau gelisah ( ardiansyah, 2012). Masa tunas tifoid adalah sekitar 10-
14 hari dengan rincian sebagai berikut :
a. Minggu I Pada umumnya demam berangsur nail, pada sore hari dan
malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, eptistaksis, obstipasi
atau diare, perasaan tidak enak diperut.
b. Minggu II Pada minggu ke 2 gejala sudah jelas dapat berupa
bradikardi, lidah yang khas ( pyih, kotor) hepatomegaly, metworismus,
penurunan kesadaran. (Reizani, 2020)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada klien dengan tifoid menurut padila (2013) adalah
pemeriksaan labpotarorium yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literature dinyatakan bahwa demam tifoid terdapat
leucopenia dan limpostosis relative tetapi kenyatannya leukopenia tidak
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam tifoid, jumlah leukosit
pada jumlah sediaan darah tepi berdada pada batas-batas normal bahkan
kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau
infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam tifoid sering kali meningkat, tetapi akan
kembali normal setelah sembuh nya tifoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah itu positif hal itu menandakan demam tifoid, tetapi bila
biakan darah itu negative tidak menutup kemungkinan terjadi demam
tifoid. Hal ini terjadi karena hasil biakan dareh tergantung dari beberapa
factor, yaitu:
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan hasil laboratorum berbeda dengan laboratorium yang
lain. Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tingi, yaitu saat bacteremia berlangsung.
b. Pemeriksaan selama perjalan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella typhi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi dimasa lampau
Vaksinasi terhadap demam tifoid dimasa lampau dapat menimbulkan
antibody dalam darah klien, anti bodi ini dapat menekan bacteremia
sehingga biakan darah negative.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba
Bila klien sebelum biakan darah sudah mendapatkan anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negative.
4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody
(agglutinin). Agglutinin yang spesifik tehadap salmonella typhi terdapat
dalam serum klien dengan tifoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium.
Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutini dalam
serum kliien yang disangka menderita tifoid. Terdapat 2 macam
pemeriksaan tes widal, yaitu:
a. Widal care tabung (konvesional)
b. Salmonella slide test (cara slides)
Nilai sensitivitas, spesifisitas serta ramal reaksi widal tes sangat bervariasi
dari satu laboratorium dengan laboratorium lainnya. Disebut tidak
sensitive karena adanya penderita dengan hasil biakan positif tetapi teidak
dideteksi adanya titer antibody sering titer naik sebelum timbul gejala
klinis, sehingga sulit untuk memperlihatkan terjadinya kenaikan titer yang
berarti. Disebut tidak spesifikasi oleh karena semua grup D salmonella
mempunyai antigen O, demikian juga grup A dan B salmonella. Semua
grup D salmonella mempunyai fase H anyigen yang sama dengan
salmonella tyfosa, titer H tetap meningkat dalam waktu sesudah
infeksi.untuk dapat memberikaan hasil yang akurat, widal tes sebaiknya
tidak hanya dilakukan satu kali saja melainkan perlu satu seri pemeriksaan,
kecuali bila hasil pemeriksaan tersebut sesuai atau melewati nilai standar
setempat. Nila titer pada penderita tifoid adalah:
a. Jika titer widal tes terjadi pada antigen O posotif (+) lebih dari 1/200
maka sedang aktif.
b. Jika hasil titer widal tes terjadi pada antigen H dan V1 posotif (+)
lebih dari 1/200 maka dikatakan infeksi lama (wijaya 7 putri, 2013).

G. Komplikasi
Dapat terjadi :
1. Pada usus halus
a. Perdarahan usus: diketahui dengan pemeriksaan tinja dan benzidin.
Dapat terjadi melena, disertai nyeri perut dengan tanda renjatan.
b. Perforasi usus: bisa terjadi pada minggu ke II bagian distal ileum.
Perforasi yang tidak disertai peritonisis terjadi bila ada udara di rogga
peritonium dengan tanda pekak hati menghilang, terdapat udara di hati
dan diagfragma pada foto RO abdomen posisi tegak
c. Peritonisis: gejala akut abdomen yang ditemui nyeri perut hebat,
dinding abdomen tegang (defence muscular), dan nyeri tekan.
2. Luar usus halus
Terdapat lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) seperti
meningitis, kolesistisis, ensefalopati dll. Infeksi sekunder :
bronkopneumonia. Masukan nutrisi kurang : dehidrasi dan asidosis, dan
perspirasi : suhu tubuh tinggi (Dermawan dan Rahayuningsih, 2010).

H. Konsep Asuhan Keperawatan Thypus Abdominalis


1. Pengkajian
a. Identitas
Tifoid umumnya menyerang segala umur dan segala jenis kelamin
(laki-laki maupun perempuan) tetapi lebih sering menyerang pada anak
(Mansjoer, 2009: 67).
b. Keluhan utama
Pada pasien tifoid mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu
makan menurun, panas dan demam. (Haryono, 2012 : 71).
c. Alasan masuk rumah sakit
Pasien dengan tifoid biasanya terjadi demam naik turun, disertai mual
muntah, dan penurunan nafsu makan (Suratun, 2010).
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu divalidasi tentang adanya riwayat penyakit tifoid, dan penyakit
lainya(Muttaqin, 2010 : 491).
e. Riwayat penyakit sekarang
Pada umunya pasien tifoid mengalami demam, anorexia, mual,
muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala
atau pusing, nyeri otot, lidah kotor, gangguan kesadaran berupa somnolen
sampai koma(Haryono, 2012 : 72).
f. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu validasi tentang adanya keluarga ada yang pernah menderita tifoid
atau sakit yang lainya(Muttaqin, 2010: 491).
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Biasanya pada pasien tifoid mengalami badan lemah, panas, pucat,
mual, perut tidak enak, anorexia(Haryono, 2012 : 73).
2) Tanda-tanda vital
Pada fase infeksi 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat 39-41ºC
pada malam hari dan biasanya turun pada pagi hari. Pada pemeriksaan nadi
didapatkan penurunan frekuensi nadi bradikardi relatif(Muttaqin, 2010 :
491).
h. Pemeriksaan body sistem
1) Sistem persyarafan
Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan penurunan pefusi
serebral dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu, gangguan
mental seperti halusinasi dan delirium. Pada beberapa pasien bisa
didapatkan kejang umum yang merupakan respons terlibatnya system
saraf pusat oleh infeksi tifus abdominalis. Didapatkan ikterus pada
sklera terjadi pada kondisi berat(Muttaqin, 2013 : 492).
2) Sistem pernafasan
Sistem pernafasan biasanya tidak didapatkan adanya kelainan, tetapi
akan mengalami perubahan apabila terjadi respons akut dengan gejala
batuk kering. Pada kasus berat biasanya didapatkan adanya komplikasi
tanda dan gejala pneumonia(Haryono, 2012: 76).
3) Sistem penginderaan
Pada pasien tifoid biasanya mengalami gangguan penglihatan saat
terjadi gangguan kesadaran(Haryono, 2013: ).
4) Sistem kardiovaskuler dan hematologi
Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan diaphoresis sering
didapatkan pada minggu pertama. Kulit pucat dan akral dingin
berhubungan dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada minggu
ketiga, respons toksin sistemik bisa mencapai otot jantung dan terjadi
miokarditis dengan manifestasi dengan penurunan curah jantung
dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri dada, dan kelemahan
fisik(Brush, 2009 : 492).
5) Sistem pencernaan
Pada pasien typoid biasanya terjadi distensi abdomen, hal ini terjai karena
adanya pembesaran pada limpa dan hati, peristaltik meningkat karena
terjadi peningkata asam lambung.Dan peristaltik menurun pada keadaan
terjadi peritonitis atau ileus (Nursalam, 2005: 154).
6) Sistem perkemihan
Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urin output respons dari
penurunan curah jantung(Muttaqin, 2010 : 491).
7) Sistem reproduksi
Pada pasien typoid yang sudah menikah akan terjadi penurunan
frekuensi atau menghindari aktifitas seksual karena dianjurkan bed rest
atau tirah baring(Suratun, 2010: 128).
8) Sistem muskuluskeletal
Respons sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik umum,
dan didapatkan kram otot ekstremitas(Hidayat, 2011 : 86-87).
9) Sistem integumen
Pemeriksaan integument didapatkan kulit kering, turgor kulit
menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam, dan yang
terpenting sering didapatkan tanda roseola (bintik merah pada leher,
punggung dan paha). Reseola merupakan suatu nodul kecil sedikit
menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah, pucat serta
hilang pada penekanan, lebih sering terjadi pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua. Reseola ini merupakan emboli
kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella dan
terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan terkadang di bokong
maupun bagian fleksor dari lengan atas(Crumm, 2008 : 492).
10) Sistem endokrin
Pada pasien typoid tidak ada gangguan pada endokrin kecuali ada
kelainan hormone(Haryono, 2012: 73).
i. Pemeriksaan penunjang tifoid
Menurut Suratun, 2010: 124-125
1) Pemeriksaan darah tepi
a) Eritrosit: Kemungkinan terdapat anemia karena terjadi gengguan
absorpsi ke usus halus karena adanya inflamasi, hambatan karena
pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang atau adanya perforasi
usus.
b) Leokopenia polimorfonuklear (PMN) dengan jumlah leukosit
antara 3000-4000/mm³, dan jarang terjadi kadar leukosit ≤
3000/mm³.
c) Trombositopenia, biasanya terjadi pada minggu pertama (depresi
fungsi sumsum tulang dan limpa).
2) Pemeriksaan urin, didapatkan proteinuria ringan (≤ 2 gr/liter) dan
leukosit dalam urine.
3) Pemeriksaan tinja, kemungkinan terdapat lendir dan darah karena
terjadi perdarahan usus dan perforasi. Biakan tinja untuk menemukan
salmonella dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin
pada minggu ketiga dan ke empat.
4) Pemeriksaan bakteriologis, diagnosis pasti bila dijumpai kuman
salmonella pada biakan darah tinja, urine, cairan empedu dan sumsum
tulang.
5) Pemeriksaan serologis yakni pemeriksaan widal. Test widal
merupakan reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody (aglutinin).
Selain itu tes widal (O dan H agglutinin) mulai positif pada hari
ke sepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya
penyakit.
6) Pemeriksaan radiologi, pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada
kelainan atau komplikasi akibat demam typhoid.
j. Penatalaksanaan
Di kutip dari Darmawan, 2010 : 112
1) Medik
a) Isolasi pasien, desinfeksi pakaiyan dan eksreta.
b) Perawatan yang baikuntuk menghindari komplikasi, mengingat
sakit yang lama, lemah anorexia.
c) Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu mencegah
perdarahan usus, setelah suhu tubuh kembali normal.
d) Diet : TKTP (tinggi kalori tinggi protein), tidak mengandung serat,
tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas, susu 2× satu gelas.
Diittifusakut : Bubur saring, setelah demam turun diberi bubur
kasar 2 hari, kemudian nasi tim dan nasi biasa setelah bebas
demam 7 hari.
2) Terapi obat pilihan
a) Golongan Kloramfenikol (tiampenikol) dosis tinggi yaitu 100
mg/kg/BB/hari oral.
b) Golongan Sefalosporin (ceftriaxone, cefotaxime)
c) Golongan Penisilin (amoxilin dan ampixilin)
d) TMP-SMX (kotrimosasol)
e) Golongan Sefalosporin (Cefixime)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan
sebagai suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh.
Diagnosis ini diberi kode D.0130, masuk dalam kategori lingkungan,
subkategori keamanan dan proteksi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).
Tanda dan Gejala Hipertermia
Untuk dapat mengangkat diagnosis hipertermia, Perawat harus
memastikan bahwa tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien,
yaitu:
DS:
 Tidak tersedia
DO:
 Suhu tubuh diatas nilai normal
Bila data diatas tidak tampak pada pasien, maka Perawat harus melihat
kemungkinan masalah lain pada daftar diagnosis keperawatan, atau
diagnosis keperawatan lain yang masuk dalam sub kategori keamanan
dan proteksi pada SDKI.
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.
Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi
bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan.
Penyebab (etiologi) untuk masalah hipertermia adalah:
1. Dehidrasi
2. Terpapar lingkungan panas
3. Proses penyakit (mis: infeksi, kanker)
4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
5. Peningkatan laju metabolisme
6. Respon trauma
7. Aktivitas berlebihan
8. Penggunaan inkubator
b. Hipovolemia merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan
sebagai penurunan volume cairan intravaskular, interstitial, dan/atau
intraselular.
Diagnosis ini diberi kode D.0023, masuk dalam kategori fisiologis,
subkategori nutrisi dan cairan dalam Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI).
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.
Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi
bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan.
Penyebab (etiologi) untuk masalah hipovolemia adalah:
1. Kehilangan cairan aktif
2. Kegagalan mekanisme regulasi
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Kekurangan intake cairan
5. Evaporasi
Tanda dan Gejala
Untuk dapat mengangkat diagnosis hipovolemia, Perawat harus
memastikan bahwa tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien,
yaitu:
DS:
Tidak ada
DO:
1. Frekuensi nadi meningkat
2. Nadi teraba lemah
3. Tekanan darah menurun
4. Tekanan nadi menyempit
5. Turgor kulit menurun
6. Membran mukosa kering
7. Volume urin menurun
8. Hematokrit meningkat
c. Intoleransi aktivitas merupakan diagnosis keperawatan yang
didefinisikan sebagai ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas
sehari-hari.
Diagnosis ini diberi kode D.0056, masuk dalam kategori fisiologis,
subkategori aktivitas dan istirahat dalam Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI).
Tanda dan Gejala
Untuk dapat mengangkat diagnosis intoleransi aktivitas, Perawat harus
memastikan bahwa tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien,
yaitu:
DS:
 Mengeluh lelah
DO:
 Frekuensi jantung meningkat > 20% dari kondisi istirahat
Bila data diatas tidak tampak pada pasien, maka Perawat harus melihat
kemungkinan masalah lain pada daftar diagnosis keperawatan, atau
diagnosis keperawatan lain yang masuk dalam sub kategori aktivitas dan
istirahat pada SDKI.
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.
Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi
bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis keperawatan.
Penyebab (etiologi) untuk masalah intoleransi aktivitas adalah:
1. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
2. Tirah baring
3. Kelemahan
4. Imobilitas
5. Gaya hidup monoton
3. Intervensi Keperawatan
a. Intervensi manajemen hipertermia dalam Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) diberi kode (I.15506).
Manajemen hipertermia adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat
untuk mengidentifikasi dan mengelola peningkatan suhu tubuh akibat
disfungsi termoregulasi.
Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen hipertermia
berdasarkan SIKI, antara lain:
Observasi
 Identifikasi penyebab hipertermia (mis: dehidrasi, terpapar lingkungan
panas, penggunaan inkubator)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor haluaran urin
 Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang dingin
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hyperhidrosis
(keringat berlebih)
 Lakukan pendinginan eksternal (mis: selimut hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
 Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
b. Intervensi manajemen hipovolemia dalam Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) diberi kode (I.03116).
Manajemen hipovolemia adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat
untuk mengidentifikasi dan mengelola penurunan volume cairan
intravaskuler.
Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen hipovolemia
berdasarkan SIKI, antara lain:
Observasi
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun,
hematokrit meningkat, haus, lemah)
 Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified Trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis: NaCL, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis: glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah
c. Intervensi manajemen energi dalam Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) diberi kode (I.05178).
Manajemen energi adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk
mengidentifikasi dan mengelola penggunaan energi untuk mengatasi atau
mencegah kelelahan dan mengoptimalkan proses pemulihan.
Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen energi berdasarkan
SIKI, antara lain:
Observasi
 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
 Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara,
kunjungan)
 Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
BAB III
TINJAUAN KASUS

Kasus:
An R (8 tahun) BB: 32 Kg, dibawa ke IGD RSUD Merauke karena demam tidak
turun selama 1 minggu, pagi turun sore malam naik lagi, mengeluh lelah, mual
muntah. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh perawat didapatkan data mukosa
bibir kering, turgor kulit jelek, pasien tampak lemah. Suhu badan 40 oC, Nadi
120x/menit teraba lemah, tekanan nadi menyempit RR 23x/menit. Pasien tampak
berkeringat, keluaran urine sedikit hanya 500cc/24 jam, lidah kotor. Nilai
Hematokrit 45%. Pasien mendapat diagnosa Demam Thypoid.

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas
Nama : An. R
Tempat tanggal lahir : Merauke, 01 November 2015
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 8 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Siswa
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Mandala Muli, Kab. Merauke
Tanggal MRS : 17 September 2023
No. RM : 0350032023
Diagnosa Medis : Demam Thypoid
b. Keluhan utama : Demam
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Ibu pasien mengatakan sudah sejak 1 minggu pasien sudah merasa
tidak enak badan dan kurang nafsu makan, disertai dengan sakit
kepala, badan panas, mual muntah. Panas berkurang setelah minum
Paracetamol tapi hanya sebentar kemudian panas lagi.
2) Riwayat penyakit dahulu
Ibu pasien mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah mengalami
penyakit seperti sekarang ini.
3) Riwayat penyakit keluarga
Ibu pasien mengatakan anggota keluarga tidak pernah ada yang
mengalami penyakit seperti yang dialami pasien saat ini.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda-tanda vital :
S : 40oC
N : 120x/menit
RR : 23x/menit
1) Sistem Pengindaran
a) Penglihatan
Konjungtiva kedua mata ananemis, sklera kedua mata
anikterik, reflex cahaya (+), reflex kornea (+), ptosis (-), distribusi
kedua alis merata, tajam penglihatan normal (klien dapat
membaca huruf pada koran pada jarak baca sekitar 30 cm),
strabismus (-), lapang pandang pada kedua mata masih dalam
batas normal, tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan pada kedua
mata.
b) Penciuman
Fungsi penciuman baik ditandai dengan klien dapat
membedakan bau kopi dan kayu putih.
c) Pendengaran
Tidak ada lesi pada kedua telinga, tidak ada serumen, fungsi
pendengaran pada kedua telinga baik ditandai dengan klien dapat
menjawab seluruh pertanyaan tanpa harus diulang, tidak ada nyri
tragus, tidak ada nyeri tekan pada kedua tulang mastoid, tidak ada
massa pada kedua telinga.
d) Pengecapan/Perasa
Fungsi pengecapan baik, klien dapat membedakan rasa
manis, asam, asin dan pahit.
e) Peraba
Klien dapat merasakan sentuhan ketika tangannya dipegang,
klien dapat merasakan sensasi nyeri ketika dicubit.
2) Sistem Pernafasan
Mukosa hidung merah muda, lubang hidung simetris, tidak ada
lesi pada hidung, polip (-), keadaan hidung bersih, sianosis (-), tidak
ada nyeri tekan pada area sinus, tidak ada lesi pada daerah leher dan
dada, tidak ada massa pada daerah leher, bentuk dada simetris, tidak
ada nyeri tekan pada daerah leher dan dada, pergerakan dada
simetris, tidak tampak pernapasan cuping hidung dan retraksi
interkosta, tidak ada kesulitan saat bernafas atau berbicara. Pola
nafas reguler dengan bunyi nafas vesikuler.
3) Sistem Pencernaan
Keadaan bibir simetris, mukosa bibir lembab, stomatitis (-),
tidak ada gigi yang tanggal maupun berlubang, lidah berwarna
merah muda, tidak ada pembesaran hepar, tidak ada parut, tidak ada
nyeri, bising usus 6x / menit.
4) Sistem Kardiovaskuler
Tidak ada peningkatan vena jugularis, Capillary Refill Time
(CRT) kembali kurang dari 2 detik, bunyi perkusi dullness pada
daerah ICS 2 lineasternal dekstra dan sinistra, terdengar jelas bunyi
jantung S1 pada ICS 4 lineasternal sinistra dan bunyi jantung S2
pada ICS 6 midklavikula sinistra tanpa ada bunyi tambahan, irama
jantung reguler.
5) Sistem Urinaria
Tidak ada keluhan nyeri atau sulit BAK, tidak terdapat distensi
pada kandung kemih, tidak ada nyeri tekan pada daerah supra pubis,
terpasang cateter.
6) Sistem Endokrin
Pada saat dilakukan palpasi tidak ada pembesaran kelenjar
thyroid, tremor (-), tidak ada kretinisme, tidak ada gigantisme.
7) Sistem Muskuloskeletal
a) Ekstremitas Atas
Kedua tangan dapat digerakkan, reflek bisep dan trisep positif
pada kedua tangan. ROM (range of motion) pada kedua tangan
maksimal, tidak ada atrofi otot kedua tangan, terpasang infuse
pada tangan kiri.
b) Ekstremitas Bawah
Kedua kaki dapat digerakkan, tidak ada lesi, reflek patella
positif, reflek babinski negative, tidak ada varises, tidak ada
edema.
Kekuatan otot :
5 5
5 5
Keterangan :
Skala 0 : Paralisis berat
Skala 1 : Tidak ada gerakkan, teraba / terlihat adanya
kontraksi otot sedikit
Skala 2 : Gerakan otot penuh menentang gravitasi
Skala 3 : Rentang gerak lengkap / normal menentang
gravitasi
Skala 4 : (jari pergelangan tangan dan kaki, siku dan lutut,
bahu dan panggul) gerakan otot penuh sedikit tekanan
Skala 5 : (jari, pergelangan tangan dan kaki, siku dan lutut,
bahu dan panggul) gerakan otot penuh menentang gravitasi
dengan penahanan penuh
8) Sistem Reproduksi
Tidak ada lesi pada kemaluan pasien, belum pernah mengalami
mimpi basah.
9) Sistem Integumen
Warna kulit sawo matang, keadaan kulit kepala bersih, rambut
ikal tumbuh merata, turgor kulit baik, tidak ada lesi, kuku pendek
dan bersih.
10) Sistem Persyarafan
Orientasi klien terhadap orang, tempat dan waktu baik.
a) Nervus I (Olfaktorius)
Fungsi penciuman hidung baik, terbukti klien dapat
membedakan bau kopi dan kayu putih.
b) Nerfus II (Optikus)
Fungsi penglihatan baik, klien dapat membaca koran pada
jarak sekitar 30 cm.
c) Nerfus III (Oculomotorius)
Reflek pupil mengecil sama besar pada saat terkena cahaya,
klien dapat menggerakkan bola matanya ke atas.
d) Nerfus IV (Tochlearis)
Klien dapat menggerakkan bola matanya kesegala arah.
e) Nerfus V (Trigeminus)
Klien dapat merasakan sensasi nyeri dan sentuhan, gerakan
mengunyah baik.
f) Nerfus VI (Abdusen)
Klien dapat menggerakkan matanya ke kanan dan ke kiri.
g) Nerfus VII (Facialis)
Klien dapat menutup kedua mata, menggerakkan alis dan
dahi, klien dapat tersenyum, ada rangsangan nyeri saat dicubit.
h) Nerfus VIII (Aksutikus)
Fungsi pendengaran baik, klien dapat menjawab pertanyaan
perawat tanpa diulang.
i) Nerfus IX (Glosofaringeal)
Fungsi pengecapan baik, klien dapat membedakan rasa
manis, asin dan pahit.
j) Nerfus X (Vagus)
Reflek menelan baik.
k) Nerfus XI (Asesorius)
Leher dapat digerakkan kesegala arah, klien dapat
menggerakkan bahunya.
l) Nerfus XII (Hipoglosus)
Klien dapat menggerakkan dan menjulurkan lidahnya.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 DO: Proses penyakit Hipertermi
 Suhu badan : 40oC
2 DO: Kekurangan intake Hipovolemia
 Frekuensi nadi meningkat: cairan
120x/menit
 Nadi teraba lemah
 Tekanan nadi menyempit
 Turgor kulit menurun : 3 detik
 Membran mukosa kering
 Volume urine menurun :
500cc/24jam
 Hematokrit meningkat : 45%
3 DS: Kelemahan Intoleransi aktivitas
 Pasien mengeluh lelah

DO
 Frekuensi nadi meningkat :
120x/menit
C. Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Hipertermi b.d. proses Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermia
penyakit d.d. suhu keperawatan selama 3x24 (I.15506)
tubuh diatas nilai jam diharapkan Observasi
normal termoregulasi membaik  Identifikasi penyebab
dengan KH hipertermia (mis: dehidrasi,
1. Suhu tubuh membaik terpapar lingkungan panas,
penggunaan inkubator)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor keluaran urin
 Monitor komplikasi akibat
hipertermia
Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang
dingin
 Longgarkan atau lepaskan
pakaian
 Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari atau
lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat
berlebih)
 Lakukan pendinginan
eksternal (mis: selimut
hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
2 Hipovolemia b.d. Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia
kekurangan intake keperawatan selama 3x24 (I.03116)
cairan d.d. frekuensi jam diharapkan status Observasi
nadi meningkat, nadi cairan membaik dengan  Periksa tanda dan gejala
teraba lemah, tekanan KH hipovolemia (mis: frekuensi
nadi menyempit, 1. Frekuensi nadi nadi meningkat, nadi teraba
turgor kulit menurun, membaik lemah, tekanan darah
membran mukosa 2. Kekuatan nadi menurun, tekanan nadi
kering, volume urine meningkat menyempit, turgor kulit
menurun, hematokrit 3. Tekanan nadi membaik menurun, membran mukosa
meningkat 4. Turgor kulit membaik kering, volume urin
5. Membran mukosa menurun, hematokrit
lembap membaik meningkat, haus, lemah)
6. Output urine meningkat  Monitor intake dan output
7. Hematokrit membaik cairan
Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified
Trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
Edukasi
 Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan IV isotonis (mis:
NaCL, RL)
 Kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis (mis:
glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian
cairan koloid (albumin,
plasmanate)
 Kolaborasi pemberian
produk darah
3 Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi
b.d. kelemahan d.d. keperawatan selama 3x24 (I.05178)
Pasien mengeluh lelah, jam diharapkan toleransi Observasi
frekuensi jantung aktivitas meningkat  Identifikasi gangguan
meningkat >20% dari dengan KH fungsi tubuh yang
kondisi istirahat 1. Keluhan lelah menurun mengakibatkan kelelahan
2. Frekuensi nadi  Monitor kelelahan fisik dan
membaik emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik
 Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
 Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan
D. Implementasi
No Diagnosa Implementasi Evaluasi
1 Hipertermi b.d. Minggu, 17 September 2023 Minggu, 17 September
proses penyakit d.d. Jam 08.00 2023
suhu tubuh diatas  Mengidentifikasi penyebab Jam 15.00
nilai normal hipertermia S: Ibu pasien mengatakan
Hasil: hipertermia bahwa pasien sudah tidak
disebabkan infeksi demam
salmonella thypi O: Suhu tubuh 37,5 oC
 Memonitor suhu tubuh A: Tujuan tercapai
Hasil: suhu tubuh 40oC P: Pertahankan kondisi
Jam 08.15 pasien
 Menyediakan lingkungan
yang dingin
Hasil: membuka jendela dan Ahmad Hanafi
menghidupkan kipas angin
 Melonggarkan atau
melepaskan pakaian
Hasil: pasien bersedia
pakaian dilonggarkan
Jam 08.30
 Menganjurkan tirah baring
Hasil: pasien mengikuti
anjuran
 Memberikan cairan dan
elektrolit intravena
Hasil: pasien diberikan
paracetamol drip 1000mg
Ahmad Hanafi
2 Hipovolemia b.d. Minggu, 17 September 2023 Minggu, 17 September
kekurangan intake Jam 08.00 2023
cairan d.d. frekuensi  Memeriksa tanda dan gejala Jam 15.00
nadi meningkat, nadi hipovolemia S: Ibu pasien mengatakan
teraba lemah, tekanan Hasil: Frekuensi nadi bahwa kondisi pasien
nadi menyempit, meningkat: 120x/menit, Nadi sudah lebih baik
turgor kulit menurun, teraba lemah, Tekanan nadi O: Frekuensi nadi
membran mukosa menyempit, Turgor kulit 100x/menit, nadi teraba
kering, volume urine menurun : 3 detik, Membran kuat, turgor kulit <2 detik,
menurun, hematokrit mukosa kering, Volume urine mukosa lembap
meningkat menurun : 500cc/24jam, A: Tujuan tercapai
Hematokrit meningkat : 45% sebagian
Jam 08.20 P: Lanjutkan intervensi
 Memberikan posisi modified  Periksa tanda dan
Trendelenburg gejala hipovolemia
Hasil: pasien mengikuti  Anjurkan
intruksi memperbanyak
Jam 08.25 asupan cairan oral
 Menganjurkan  Berikan cairan IV
memperbanyak asupan cairan
oral
Hasil: pasien mengerti dan Ahmad Hanafi
bersedia melakukan arahan
Jam 08.30
 Memberikan cairan IV
Hasil: pasien diberikan terapi
NaCl 20 Tpm dan PCT drip
Ahmad Hanafi
3 Intoleransi aktifitas Minggu, 17 September 2023 Minggu, 17 September
b.d. kelemahan d.d. Jam 08.00 2023
Pasien mengeluh  Memonitor pola dan jam Jam 15.00
lelah, frekuensi tidur S: Ibu pasien mengatakan
jantung meningkat Hasil: pasien tidur malam bahwa pasien sudah tidak
>20% dari kondisi selama 6 jam dan sesekali mengeluh lelah
istirahat terbangun karena demam, O: Frekuensi nadi
siang hari pasien tidur 2 jam 100x/menit
Jam 08.10 A: Tujuan tercapai
 Menyediakan lingkungan P: Pertahankan kondisi
nyaman dan rendah stimulus pasien
Hasil: pasien ditempatkan di
kamar ujung supaya tidak
terganggu suara lalu lalang Ahmad Hanafi
pengunjung pasien
Jam 08.20
 Menganjurkan tirah baring
Hasil: pasien mengikuti
anjurang yang diberikan
Jam 08.20
 Melakukan kolaborasi
dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
Hasil: pasien diberikan diet
makanan sesuai prosedur ahli
gizi
Ahmad Hanafi
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam
tifoid cukup banyak diperkirakan 800/100.000 penduduk per tahun,
tersebar dimana-mana, dan ditemukan hamper sepanjang tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang
paling sering pada anak besar, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini,
adalah penting melakukan pengenalan dini demam tifoid, yaitu adanya 3
komponen utama : Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari),
Gangguan susunan saraf pusat / kesadaran.

B. Saran
Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat
memberikan saran untuk selalu menjaga kebersih lingkungan, makanan
yang dikonsumsi harus higiene dan perlunya penyuluhan kepada
masyarakat tentang demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

Levani, Y., & Prastya, A. D. (2020). Demam Tifoid: Manifestasi Klinis, Pilihan
Terapi Dan Pandangan Dalam Islam. Al-Iqra Medical Journal : Jurnal
Berkala Ilmiah Kedokteran, 3(1), 10–16.
https://doi.org/10.26618/aimj.v3i1.4038
Mustofa, F. L., Rafie, R., & Salsabilla, G. (2020). Karakteristik Pasien Demam
Tifoid pada Anak dan Remaja. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada,
12(2), 625–633. https://doi.org/10.35816/jiskh.v12i2.372
Reizani, K. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Anak Demam Tifoid Dengan
Ketidakefektifan Termoregulasi Di Ruang Kalimaya Atas Rsud Dr. Slamet ….
http://repository.bku.ac.id/xmlui/handle/123456789/1386
Rinni, B. A., Wuryandari, T., & Rusgiyono, A. (2014). Pemodelan Laju
Kesembuhan Pasien Rawat Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid)
Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional dari Cox (Studi Kasus
di RSUD Kota Semarang) Bellina. Jurnal Gaussian, 3(1), 31–40.

Anda mungkin juga menyukai