Anda di halaman 1dari 22

Nama : Ari Renta Suari Br.

Tarigan
Ansparoh Cristmas Hutabarat
Risma Purba
Ting/Jur : III-C/Teologia
M. Kuliah : Sejarah Gereja Indonesia I
Dosen : Berthalyna Taarigan, M.Th Kelompok 8

Gereja di Indonesia Pada Masa Orde Lama

I. Pendahuluan
Setelah masa Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, gereja masuk ke
dalam masa Orde Lama yang dimana keadaan gereja tidak ikut sepenuhnya merdeka dari
penderitaan karena pada masa orde lama ini yaitu tahun 1945-1965 gereja banyak
mengalami perubahan dan menghadapi tantangan, salah satunya saat NKRI menentukan
dasar negara, yang dimana umat yang beragama Islam menginginkan NKRI menjadi
negara Islam namun masih ada pahlawan kita yang masih ingin mempertahankan dasar
NKRI tatap pancasila. Pada masa orde lama ini juga Irian Jaya kembali ke pangkuan
NKRI, munculnya PKI juga membawa pengaruh perkembangan gereja, untuk lebih
lanjutnya kita akan membahasnya pada sajian ini.
II. Pembahasan
II.1. Masa Orde Lama
Pengalaman dan kehidupan gereja di masa pendudukan Jepang sangat
menentukan dan mempengaruhi jalannya sejarah gereja di Indonesia. Dengan
menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 14 Maret 1945, berakhirlah
penindasan, penganiayaan dan penjajahan Jepang atas Indonesia. Bersamaan dengan
itu usaha dan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan
bangsa dan tanah air sudah mencapai tahap kematangan, yang berkemuncak dengan
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. 1Pada tanggal 19 Agustus,
Soekarno memaklumkan bahwa PNI(Partai Nasional Indonesia) adalah satu-satunya
partai politik. Pendirian kementrian agama ditolak oleh beliau. Tetapi tidak lama
kemudian atas desakan M.Hatta, Sultan Syahrir, dkk, Soekarno mengakui lebih
banyak partai yakni: PKI(Partai Komunis Indonesia) yang dipimpin oleh Tan

1
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi-DGI, 1979), 512-513

1
Malaka, Masyumi, PARKINDO yang didirikan dalam bulan November1945. 2 Sejak
proklamasi 1945 sampai pengakuan kedaulatan dimasa pemerintahan Belanda secara
De Facto secara resmi telah berakhir, maka Republik Indonesia melangkahkan
kakinya benar-benar sebagai negara yang berdaulat penuh, yang di perintah oleh
bangsa dan pemimpinnya sendiri.3 Pada saat itu Soekarno-Hatta kemudian
mengangkat 135 orang anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan
dilantik pada tanggal 29 Agustus. Sementara itu dikalangan Kristen usaha pendirian
partai juga diperintis, dan pada tangal 11 November berdirilah Partai Kristen
Nasional yang disingkat PKN yang ketuanya yaitu Ds.B. Probowinoto dan sebagai
sekretaris adalah M. Tambunan. Dalam pertemuan di Surabaya PKN berubah nama
menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Sebagai dasar partai adalah kitab suci
dan sebagai tujuan adalah mempertahankan Republik Indonesia ke luar dan ke
dalam. Membantu Republik Indonesia mencapai perdamaian dunia, dan
mengusahakan keadilan. Tokoh-tokoh Katolik sendiri akhirnya mendirikan partai
katholik RI pada tanggal 8 Desember 1945. Sebagai ketua terpilih I.J.
Kasimo.4Bahkan pada tanggal 3 Januari 1946 Soekarno menyerah kepada desakan
orangdan mengizinkan pendirian Kementrian Agama.5
II.2. Kekristenan Pada Masa Orde Lama
Kedatangan tentara sekutu yang menggantikan tentara Jepang, yang
kemudian disusul dengan kembalinya pemerintah Belanda yang ingin
menyambung kembali tali kolonialismenya di bumi Indonesia, telah
menimbulkan bentrokan-bentrokan physik, yang kemudian berkembang menjadi
perang kemerdekaan.6 Negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik
Indonesia ialah Mesir. Belanda sendiri masih berontak. Soekarno pernah berkata:
Kalau semua oranng Indonesia meludah sekali saja, semua orang Belanda mati
tenggelam. Sampai dua kali pemerintah Belanda masih mencoba merebut kembali
kekuasaannya dengan mengorbankan prajurit serta alat perangnya dan
menewaskan rakyat Indonesia. Namun demikian usaha itu sia-sia belaka.
Sementara itu pemerintah kolonial mulai memperkuat kedudukannya di Irian
Barat, yang sebelum perang dianaktirikan saja. Akan tetapi sedikit saja waktu
2
G.Vanschie,Rangkuman Sejarah GerejaKristiani dalam Kotes Sejarah Agama-agama Lain, (Jakarta:
OBOR, 1995), 337
3
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 362
4
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 277
5
G.Vanschie, Rangkuman Sejarah GerejaKristiani dalam Kotes Sejarah Agama-agama Lain, 337
6
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, 513

2
yang tersisa untuk mereka membangun kembali wilayah itu dimana sejak tahun
1946 Manokwari diganti dengan Hollandia sebagai ibukota.7
Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengadakan perundingan di
kabupaten Kuningan Jawa Barat yaitu Linggarjati. Yang dilaksanakan pada 10
November 1946. Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut terdiri atas
A.G. Pringgodigdo, Dr. Sudarsono, Mr. Susanto, Dr. J. Leimena, Dr. A.K.
Gani, Muhammad Roem, Mr. Amir Syarifudin, Mr. Ali Budiarjo, dan
perdanaMenteri Sultan Syahrir sebagai ketua delegasi. Pihak Belanda diwakili
oleh Mr. Van Pool, F. De Boer, danVan Mook. Pihak Inggris yang
berperansebagai penengah dipimpin oleh LordKillearn. Linggarjati Pada 15
November 1946 memuathal-hal berikut: (1) Belanda mengakui secara de facto
Indonesia terdiri atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. (2) Indonesia dan
Belanda sepakat akan bekerja sama membentuk Negara Serikat dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu bagiannya, yaitu Negara
Republik Indonesia. (3) RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. (4) pemerintah Belanda dan
RI akan mengusahakan agar pembentukan Negara Serikat dan Uni bisa
diselesaikan sebelum 1 Januari 1949.8Setelah perundingan Lingarjati
selesai,pihak Belanda tidak serius menaki kedaulatan RI secara de facto.
Belanda merasa bahwa merekalah secara de facto menguasai wilayah
Indonesia. Belanda semakin gencarnya membentuk negara-negara bagian di
berbagai daerah dan memprovokasi negara-negara bagian tersebut untuk
menentang pemerintahan RI yang berpust di Jakarta. Belanda melakukan
ancamanmiliter. Agresi Militer Belanda I berlagsung sejak 21 Juli 1947.
Agresi militer Belanda tersebut mendapat kecaman keras dari dunia
Internasional. Negara-negara bekas jajahan, seperti India da Australia
menunjukkan simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia melawan
Belanda. Kedua negara tersebut mengajukan resolusi atau tuntutan kepada
PBB untuk menciptakan perdamaian di Indonesia. Akhirnya pada 31 Juli
1947, dewan keamanan (DK) PBB meminta bangsa Indonesia dan Belanda
untuk menghentikan perang, melakukan genjatan senjata dan melakukan
perundingan untuk menyelesaikan pertikaian. DK PBB mengusulkan

7
G.Vanschie, Rangkuman Sejarah GerejaKristiani dalam Kontes Sejarah Agama-agama Lain, 339
8
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, 269

3
perundingan Renville pada 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin
oleh R.Abdul Kadir Widjojoatmodjo, orang Indonesia yang memihak Belanda.
Delegasi Indonesia terdiri atas Ali Sastroamidjojo, H.Agus Salim, Dr J
Leimena, Dr. Latuhahary, dan T.B. Simatupang. Isi perundingan Renville
yaitu persetujuan genjatan senjata antara Indonesia dan Belanda, Belanda tetap
memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya
Republik Indonesia Serikat, sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat
menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintah federal sementara.
Walaupun telah dilakukan kesepakatan dengan pihak RI, Belanda masih
melakukan pelanggaran. Belanda melakukan aksi militer yang kedua dan
dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Aksi
militer tersebut ditujukan untuk menyerang wilayah kekuasaan RI dengan ibu
kotanya Yogyakarta. Akibat agresi militer tersebut, Presiden RI Soekarno
harus diungsikan ke Prapat Sumatra. Adapun Mohammad Hatta diungsikan ke
Bangka. Akan tetapi sebelu mereka diungsikan mereka sempat memberi
mandat kepada menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang
sedang berada di Sumatra untuk membentuk pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di bukittinggi, Sumatra Barat. Pihak Belanda mengira
bahwa dengan jatuhnya ibu kota Indonesia maka Indonesia akan segera
menyerah. Namun, perkiraan itu keliru. RI masih terus melakukan
perlawanan. Divisi pasukan di berbagai daerah di Jawa masih terus melakukan
perlawanan secara gerilya. Panglima Jenderal Soedirman yang sedang sakit
langsung memimpin perang gerilya di luar kota dan melakukan serangan ke
pusat kekuasaan Belanda. Secara efektif komando serangan dilakukan oleh
A.H. Nasution sebagai wakil panglima untuk melakukan serangan dan pada 22
Desember 1948. Perjuangan bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda
mendapat simpati Internasional, terutama dari negara-negara Asia dan Afrika
yang pernah menjadi korban imperialisme. Tanggal 23 Januari 1949
konferensi New Delhi di hadiri oleh wakil-wakil negara-negara Afghanistan,
Australia, Burma, Sri Lanka, Mesir, Ethiopia, India, Iran, Irak, Libanon,
Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman sebagai peserta dan wakil
dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai sebagai
peninjau. Delegasi Indonesia dalam konferensi itu terdiri atas Mr. A.A

4
Maramis (menteri Luar Negeri PDRI). Dewan keamanan PBB menerima hasil
resolusi konferensi yang antara lain: segera melakukan genjatan senjata,
pemimpin-pemimpin Republik Indonesia segera dibebaskan dan dikembalikan
ke Yogyakarta.9
II.2.1. Partai Politik Kekristenan di Indonesia
Kongres PKN, pada tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di
Surakarta (Kemudian dikenal sebagai kongres ke I PARKINDO)
mendapat sambutan hangat dari umat Kristen, pemerintah dan
masyarakat umum yang mengahadapi kekuatan colonial Belanda dari
negeri yang warganya kebanyakan beragama Kristen. Pada kongres ini
nama partai diganti menjadi Partai Kristen Indonesia atau dengan
disingkat PARKINDO. Kongres ini dihadiri 60 wakil dari 31 daerah di
Jawa dan sejumlah peninjau (hari ke-2 peserta semuanya 154 orang).
Tujuan kongres seperti dikemukakan oleh ketua pengurus besar
sementara W.Z. Johannes adalah membicarakan jalan-jalan yang harus
ditempuh untuk mempertahankan mencapai cita-cita itu, agar dari
perbedaan-perbedaan dan macam-macam pikiran dapat ditangkap satu
aliran, yang dapat dipergunakan sebagai syarat untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dengan lahir dan batin. Pada hari ke-2
berlangsung digedung Gereja Margoyudan, dimulai dengan pemilihan
pengurus baru, dimana terpilih B. Probowinoto sebagai ketua.Setelah
serah terima dengan W.Z. Johannes. Dalam sidang berlangsung
PARKINDO merumuskan dua misi yaitu: Anggaran Dasar, dan
Anggaran Rumah Tangga. Kedua pokok misi ini masing-masing
mengenal dukungan terhadap Presiden serta kabinet lainnya.Dasar
partai ini ialah “Firman Tuhan”. Mengenai tujuan partai Anggaran
Dasar Baru memberi rumusan yang kontrit antara lain:
a. Mempertahankan NKRI keluar dan kedalam
b. Membantu pemerintahan Republik mencapai perdamaiaan
dunia
c. Mensyahkan keadilan.

9
Nana Supriatna, IlmuPengetahuan Sosial, (Jakarta: Grafindo, 2006), 49-52

5
A.M. Tambunan, yang terpilih sebagai penulis I pengurus
PARKINDO pada kongres I di Solo mengucapkan suatu pidato radio
menyambut tahun baru 1946.Pada kesempatan itu Tambunan
menyampaikan kepada lembaga Kristen dunia untuk mendukung
kemerdekaan Indonesia. Menurut Abineno anggota pengurus PKN
mengatakan, perlunya partai politik Kristen adalah menyatakan
kemauan rakya Kristen kepada pemerintahan. Partai Politik Kristen
harus mempunyai dasar yang kokoh dan luas, yaitu “didalam keinsafan
dan pengharapan kita terhadap kepedulian terhadap seperjuangan kita
dan tetap memperhatikan opini rakyat. Dalam hubungan itu orang
Kristen harus bersatu dalam berjuang disegala lapangan untuk
kemulian nama Tuhan.10

II.2.2. Pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia


Pengalaman dan masa perang kemerdekaan, ketika Gereja-
gereja terpaksa berada dalam wilayah yang terpisah-pisah oleh
kekuatan politik. Jadi perubahan politik ini dan selesainya Konferensi
Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 2 November 1949, membuka
kemungkinan bagi Gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkannya.
Sementara Konferensi Pembentukan DGI berjalan dari tanggal 21-28
Mei 1950 di Jakarta, maka tepat pada Hari Raya Pentakosta pada
tanggal 25 Mei 1960, dinyatakan berdirinya Dewa Gereja-gereja di
Indonesia. Pada waktu pembentukannya DGI beranggotakan 29 Gereja
anggota. Ketika bentuk federal dari Republik Indonesia Serikat
ditinggalkan dan Indonesia menjadi NKRI, pada tanggal 17 Agustus
1950, maka gereja-gereja di Indonesia semakin terdorong untuk
memperkembangkan kerja sama dalam menunaikan tugas gereja di
bidang persatuan, kesaksian dan pelayaan.11 Sudah pasti pula bahwa
ingatan mengenai pengalaman selama zaman pendudukan Jepang dan
perang kemerdekaan dan demikian juga samangatpembinaan bangsa
yang menguasai seluruh negeri mempengaruhi pemikiran para pendiri
dewan gereja-gereja di Indonesia. Badan-badan Zending dan
Organisasi-organisasi Kristen yang ikut mengatakan DGI seperti
10
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 178-185
11
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 516-518

6
YMCA tidak diperkenankan menjadi anggota dewan-dewan gereja,
karena ingin menguasai kedudukan dalam dewan gereja-gereja di
Indonesia. Karena sejak semula hanya gereja-gereja Indonesiayan
mendukung tujuan utamanya yaitu pembentukan satu gereja Kristen
yang Esa di Indonesia, dapat diterima sebagai anggota. Dengan
demikian maka Dewan itu selalu merupakan tempat peteuan antara
ketelibatan oikumenis dan keterlibatan gereja-gereja bersama dalam
kehidupan bangsa melalui perhatian mereka bersama tehadap keesaan,
pengutusan dan pelayanan. Trilogi gerakan oikumenis-keesaan,
pengutusan dan pelayanan- merupakan kenyataan di dalam kehidupan
dan pemikiran Dewan Gereja-gereja di Indonesia sejak awalnya.
Tujuannya yang dirumuskan secara tegas adalah terbentuknya satu
Gereja Kristen Yang Esa di Indnesia. Tetapi di bidang keesaan itulah,
Dewan Gereja-gereja memperlihatkan hasilyang paling sedikit dan
pemikiran yang paling kurang kreatif. Salah satu alasan ialah terlalu
terarahnya pemikiran tentang keesaan Gereja itu pada percakapan antar
konfensi yang terdapat di Barat, padahal masalah utamanya ialah
bagaimana caranya mempesatukan berbagai “Gereja Suku” yang ada
dengan segala latar belakang perbedaan kebudayan, bahasa dan sampai
batas tetentu juga konfensi mereka, pada kurun waktu dimana berbagai
suku di Indonesia bersama-sama teribat dalam proses pembinaan
bangsa (nation Building) dan modernisasi. Namun dibidang
pelayananlah Dewan-dewan gereja di Indonesia telah diperhadapkan
dengan tantangan-tantangan terbesar. Yaitu pelayanan yang dimengerti
sebagai keterlibatan dalam mengasihi dan melayani seluruh
masyarakat. Berhadapan dengan pemberontakan, perang saudara,
perebutan kekuasan yang melibatkan orang-orang komunis, muslimin
yang fanatik dan para patriot-lokal, krisis modernisasi, sekularisasi, dan
pembunuhan maka dewan gereja-gereja dan gereja-gereja anggotanya
telah ditantang untuk memberi jawab dalam kesetiaan kepada Tuhan di
dalam solidaritas kasih serta pelayanan terhadap rakyat. Bagian berikut
berusaha untuk menyarikan inti teologi dari sekian banyak pernyataan
dewan gereja-gereja sebagai jawabnya terhadap masalah-masalah

7
tadi.12 Namun, DGI bukanlah lembaga politik, kendati ia sedikit
banyak mengemban tugas yang bersifat politis juga, yaitu mewakili
gereja-gereja anggotanya di hadapan atau berbicara dengan pemerintah
mengenai berbagai masalah yang menyangkut urusan dan kepentingan
gereja atau umat Kristen pada khususnya, maupun menyangkut
berbagai hal di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Yang lebih langsung berperan menyalurkan aspirasi politik
umat Kristen adalah PARKINDO, dan sehubungan dengan ini
hubungan antara parkindo dan DGI pada periode ini terjalin sangat erat.
J.C.T. Simorangkir adalah sala seorang tokoh PARKINDO yang sangat
berperan pada saat itu: bahwasanya J.C.T. Simorangkir ini membantu
anggota DGI untuk menghadapi persoalan kemasyarakatan atau
kenegaraan yang perlu diselesaikan dalam pemikiran teologis, di
sinilah J.C.T.Simorangkir sangat mempengaruhi DGI. Dr. J.Leimena
memakai gambaran lain, sebagai berikut: “kalau gereja berdiri di
tengah-tengah lapangan, maka di sekitar lapangan itu sebagai pagar
penjaga, berdirilah Parkindo dengan ormas-ormas Kristen lainnya
untuk menjaga gereja yang jadi pusat hidup orang-orang Kristen di
Indonesia itu.” Seruan DGI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1955
kemudian disusul dengan munculnya seruan yang dikeluarkan oleh
sidang Gereja Am luar biasa gereja Protestan di Indonesia pada tanggal
31 Agustus 1955. Seruannya antara lain : bahwa “pemilihan umum
1955 bukan hanya persoalan partai saja, dalam hal ini partai Kristen
ikut turut gereja menanganinya. Sekalipun bukan (belum jadi) anggota
terdaftar Parkind, namun menjelang pemilihan umum 1955 pengamat
sejarah kepartaian di Indonesia dapat mencatat bahwa banyak pemuka
Gereja (Pendeta, Voorganger, Pengetua, Sintua, dan sebagainya) yang
dalam soal pemilihan umum sejajar pendapat dan sikapnya dengan
pimpinan partai Kristen. Dibeberapa tempat persoalan Parkindo
menjadi bahan pembicaraan dalam kamar-kamar
konsistori.Pengumuman Parkindo dapat menempelkan diri pada papan
pengumuman Gereja.Adakalanya di tempat-tempat tertentu, penjelasan
Parkindo kepada anggota Gereja dapat dilangsungkan dalam Gereja
12
T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK-GM, 1984), 36-38

8
itu sendiri (biasanya sehabis kebaktian, sekalipun pada prinsipnya
tidak dikehendaki oleh pimpinan partai).13

II.3. Pertumbuhan Gereja-gereja di Indonesia


Dalam periode 1950-1965 ada beberapa peristwa penting yang secara penting
ataupun tidak langsung ikut memperngaruhi pertumbuhan Gereja di Indonesia:
II.3.1. Penumpasan Gerombolan DI-TII (1950-1962)

Sebelum Gereja menumpas Gerombolan DI-TII, Kiprahnya


dalam bentuk gerakan bersenjatadan deklarasi pembentukan tentara
Islam Indonesia (TII yang membuat pemerintahan Soekarno sangat
khwatir, barulah terjadi 1948 -1950 –an menyebar kedaerah lain,
terutama ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan
Selatan. Darul Islam merupakan gerakan separatis yang dirancang oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1905-1962).Kartosuwirjo ikut
menyusun dan menandatangani sumpah pemuda 28 Oktober 1948,
bahkan deklarasi sumpah pemuda itu sendiri di prakarsai oleh tokoh-
tokoh Islam.Pada intinya gerakan Darul Islam bercita-cita mendirikan
suatu negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Di Sulawesi Selatan
Gerakan Darul Islam dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Sejak Desember
1951 Gubernur Sulawesi Selatan, Sudiro, telah melakukan kontak
dengan Kahar Muzakkar dan disepakati untuk melakukan suatu
pertemuan. Sayangnya pada tanggal 12 Maret 1952 Kahar Muzakkar
membatalkan pertemuan itu karena menduga bahwa pihak tentara akan
menangkapnya. Walau kecewa, namun Sudiro tetap melanjutkan
langkah diplomatisnya. Sebenarnya saat itu Kahar Muzakkar sendiri
tengah bimbang setelah menerima surat yang berisi tawaran untuk
bergabung dalam Darul Islam. Pada tanggal 7 Agustus 1953 Kahar
Muzakkar secara resmi menyatakan diri bergabung dengan DI/TII.
Pasukan Kahar Muzakkar banyak melakukan penyerangan terhadap pos-
pos tentara Republik secara mendadak Sabotase dalam bentuk perusakan
jembatan sering mereka lakukan. Ia juga memerintahkan pasukannya
untuk menculik sejumlah dokter dan pendeta-pendeta Kristen untuk

13
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, 286-288

9
bekerja di Klinik dan sekolah yang dimiliki oleh DI/TII. Sementara itu,
mengenai dampak gerakan atau pemberontakan DI/TII terhadap
kehidupan gereja atau umat Kristen serta terhadap hubungan umat
Kristen dengan Islam tidak banyak catatan yang dapat dikumpulkan.
Mengenai dampaknya di Jawa Barat, Koernia Atje Soejana antara lain
mencatat: Yang agak lama yang mengganggu kehidupan masyarakat
adalah kekacauan yang ditimbulkan oleh DI/TII. Pada waktu itu
beberapa jemaat GKP yang terletak di desa-desa cukup terganggu oleh
gerombolan pengacau itu.Yang cukup parahnya adalah kejadian yang
menimpa jemaat Tamiyangsekitar tahun 1951. Pada waktu itu Pdt.
Oesman Sarim ditembak mati oleh gerombolan pengacau yang tidak
diketahui identitasnya, dalam arti: tidak diketahui dengan pasti apakah
yang membunuh Pdt. Sarim itu adalah dari DI/TII ataukah dari
kelompok-kelompok gerombolan liar.ketika itu banyak rumah penduduk
yang dibakar, termasuk rumah ibadah yang berbentuk mesjid. Selama
beberapa waktu anggota jemaat mengungsi ke Haurgeulis yang terletak
tidak begitu jauh dari Tamiyang.14 Pada saat itulah Gereja-gereja
Indonesia menumpas gerombolan DI-TII yang bersifat fanatik untuk
menjadikan Republik ini suatu Negara Islam.Pada waktu proklamasi
kemerdekaan dengan UUD 1945, mereka terbukti tidak berhasil
mewujudkan maksud tersebut. Gerakan DI-TII melakukan
pemberontakan bersenjata untuk merubah dasar haluan Negara. Gereja-
gereja di daerah tersebut mengalami banyak penderitaan, terutama
didaerah Tanah Toraja dimana 70 ribu orang Kristen mengalami teror
gerombolan bersenjata termasuk paksaan bersenjata untuk bertukar
agama. Akhirnya berkat kerjasama dengan seluruh masyarakat,
berhasillah pemerintah menumpas gerombolan DI-TII ini. Dengan
pulihnya situasi keamanan, nampaklah secara nyata pertumbuhan Gereja
didaerah-daerah tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh nilai
kesaksian Gereja itu sendiri, yang dimasa tekanan dan penderitaan yang
di uji oleh Tuhan, dan melalui kesetiaan dan ketekunan dari Gereja yang

14
Jan S. Aritonang, Serajah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 292-302

10
menderita, bahwa iman Kristen mampu mengatasi ketakutan dan maut.
Hal ini telah merupakan kesaksian Gereja yang hidup.15

II.3.2. Kembalinya Irian Jaya ke Republik Indonesia


Irian Barat (nama waktu itu) tidak mengalami Revolusi
Kemerdekaan seperti wilayah Indonesia Bagian Barat dan Tengah.
Pemerintahan Hindia-Belanda kembali bersama dengan Tentara Sekutu
dan melanjutkan pemerintahannya atas daerah ini sampai tanggal 1
Mei 1963. Gereja di Irian Jaya diusahan pembangunannya kembali
oleh Zending Belanda yang telah lama bekerja di sini, sebagai
persiapan menuju Gereja yang berdiri sendiri. Policy Zending selama
itu ialah (1) mempersiapkan GKI (Gereja Kristen Injili) untuk berdiri
sendiri, bagaimanapun bentuk pemerintahan atas wilayah Irian Barat,
walaupun sebagian besar dari Zendelingen Belanda mendukung ide
Negara Papua Merdeka, yang juga diharapkan dan direncanakan
pemerintahan Belanda. (2) Konsolidasi (pembangunan kembali agar
kokoh) pekerjaan dan organisasi Gereja (resor-resor, klasis-klasis dan
lain-lain). Untuk ini didatangkan tenaga pendeta Belanda sebanyak-
banyaknya dan diangkat wakil-pendeta Irian dan Maluku. (3)
pengembangan pendidikan dan persekolahan seluas-luasnya dengan
bantuan penuh dari pemerintah, yang pada tahun 1955 memberi subsidi
penuh kepada sekolah-sekolah Zending, bahkan menyerahkan seluruh
bidang pendidikan kepada dua badan swasta, Zending NHK
(Nederlandse Hervormde Kerk) dan Missi Katolik. Dalam
melaksanakan policy-policy ini ZNHK mengambil berbagai langkah,
antara lain, sekolah Penginjil di Miei dibuka kembali, Kursus Guru
Jemaat diadakan di Serui dan suatu Sekolah Theologia dibuka di Serui
(1954). Nampak dalam perkembangan ini bahwa dalam membangun
kembali GKI diberi tekanan kepada “tanggung jawab yang harus
dipikul oleh sekalian anggota”.Dengan demikian kalau terjadi lagi hal
yang menyebabkan tenaga-tenaga Eropa disingkirkan, maka pimpinan
Zending atas resor-resor dapat diserahkan kepada tenaga-tenaga
Indonesia sendiri. Dan untuk pertama kali, pada tahun 1950, hadir

15
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 518

11
wakil-wakil penduduk asli dalam konperensi pendeta-pendeta Zending
di Serui, suatu konperensi yang memegang pimpinan umum Gereja di
Irian. Pada tahun 1954 diadakan synode persiapan Gereja Kristen Injili
di Serui untuk mempersiapkan tata gereja dan lain-lain yang perlu
untuk berdirinya GKI IB pada tahun 1956.16
Keputusan perundingan KMB 1949 menyatakan bahwa
Irian Jaya masih terlepas dari RI, dan untuk sementara berada
dalam asuhan pemerintah Belanda. Situasi Gereja ini disanapun
praktis berada dalam asuhan dan pimpinan pihak zending.
Akhirnya di tahun 1963 Irian Jaya dipersatukan Kembali dengan
RI. Dalam periode peralihan tersebut pihak DGI telah ikut
memainkan peranan yang penting. Dengan bantuan dan kerjasama
seluruh gereja-gereja di Indonesia, Gereja di Irian Jaya
berkembang dengan pesat. Pertumbuhan gereja di sana terutama
nampak dalam jumlah pertambahan anggota. Pada waktu Irian Jaya
kembali kepada Republik di tahun1963, jumlah anggota Gereja
Kristen Injili di sana tercatat sebanyak 130.000 jiwa.17
II.3.3. Peristiwa G30S PKI 1965
Sebuah peristiwa gagalnya usaha perebutan kekuasaan Neagara
dengan kekerasan oleh pihak komunis yang dikenal dengan peristiwa
G.30.S PKI tahun 1965 yang telah menimbulkan bencana hebat
diantara rakyat Indonesia, namun merupakan salah satu penyebab
banyaknya orang yang masuk agama Kristen dan menjadi anggota
gereja, dari segi manusia dapat dikaitkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan banyak orang tertarik kepada gereja dalam situasi yang
sangat kritis itu, ialah kesaksian gereja yang mantap, sikap gereja yang
tidak mengutuk, pelayanan dan usaha membela mereka yang tidak
bersalah serta bantuan kasih yang dilayani terhadap semua pihak yang
menderita tanpa mlihat golongan atau agama.18

II.4. Kiprah Kekristenan pada Masa Orde Lama

16
F. Ukur dan F.L. Cooley, Benih yang Tumbuh VIII, (Irian Jaya: studi dewan-dewan Gereja-gereja di
Indonesia, 1977), 29-32
17
Ibid, 518-519
18
Ibid, 519

12
Seperti halnya para penganut agama lain, orang-orang Kristen Indonesia pada
tahun 1945-1949 ada yang berpihak pada Republik, ada yang sedikit banyak
bekerja sama dengan Belanda. Pada golongan pertama termasuk beberapa tokoh
penting dalam lingkungan pemerintah serta tentara. Cukup menyebutkan di sini
Amir Sjarifuddin, J.Leimena, dan T.B.Simatupang. Beberapa daerah Kristen,
seperti Sumatra Utara, mengadakan perlawanan sangat gigih terhadap tentara
Belanda.19Pada waktu itu memang keadaan nasional pada ummnya disibukkan
dengan berbagai macam persoalan yang meminta tenaga. Sehingga pemerintah
daerah yang tidak stabil tidak mampu memberikan pertolongan yang sewajarnya.
Akan tetapi ketika pemberontakan tesebut dapat ditumpas, maka kerja sama
antara pemerintah daerah dan gereja berjalan dengan baik sampai saat ini. 20
Tetapi, di pulau Jawa pun orang Kristen, termasuk rakyat Kristen di pedusunan,
seperti di dorong oleh naluri alamiah, ikut serta dalam perjuangan bersenjata
melawan penjajah. Kini akhirnya jalannya terbuka pula bagi pembentukan partai
politik Kristen yang berjiwa nasional. Ikut sertanya orang Kristen dalam
perjuangan nasional memungkinkan mereka diterima oleh golongan lain seperti
warga negara penuh dalam negara Indonesia yang merdeka. Orang-orang Kristen
menjadi anggota kabinet yang berturut-turut, dan duduk dalam pimpinan ABRI.
Unsur-unsur pokok dalam partisipasi Kristen di bidang Politik pada masa
kemerdekaan ialah bahwa mereka bersikap loyal terhadap pemerintah, bahwa
mereka ikut mendukung dan mempertahankan Pancasila selaku dasar negara,
bahwa mereka menolak ideologi komunisme, dan khususnya pada tahun-tahun
1957-1966, bahwa mereka merupakan kelompok moderat di tengah pergolakan
zaman itu. Secara singkat, pemikiran itu menekankan kewajiban setiap orang
Kristen untuk memikul tanggung jawabnya terhadap nasib masyarakat dan negara
dengan berpartisipasi di bidang politik; gereja bertugas mempersiapkan anggota-
anggotanya agar dapat memenuhi kewajibannya di bidang itu; partisipasi tersebut
harus positif, kreatif, kritis, dan realistis. 21 Setelah Indonesia merdeka, jumlah
gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia tambah beraneka ragam.
Penyebab yang pertama ialah retaknya beberapa gereja akibat unsur
kesukuan/kedaerahan atau karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera Utara

19
Th. Van Den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 405
20
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 364-365
21
Th. Van Den End, Ragi Carita 2, 405-406

13
lahirlah GKPS (1963), GKPI (1964) dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA),
yang melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, AMIN (946), ONKP (1950), dan lain-
lain. Di Sulawesi, GKLB (1966) dan GPIL (1966).22
Partisipasi Keristen dalam perjuangan bersenjata dijalankan sebagai
angota-angota dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, di mana orang-
orang Keristen Indonesia sejak mulanya turut memberikan sumbangannya. Di
antara pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia sejak semula terdapat
perwira-perwira Keristen seperti, Kol. Kawilarang, Kol. Simbolon, Laksamana
Muda John Lie, Letnan Djendral Panggabean, Manjor Jendral Pandjaitan.
Pada bulan-bulan pertama sesudah Proklamasi ada juga pasukan khusus yang
sebagian besar terdiri dari orang-orang Keristen seperti, KRIS, pasukan
Pattimura, pasukan istimewa di Jawa Barat, Laskar Kristen di Sumatera Utara.
Kewajiban umat Keristen untuk menentukan tujuan pemerintahan berdasarkan
Firman Tuhan. Partai politik ini tidak didirikan karena mau ikut-ikutan saja
atau agar jangan dituduhkurang semangat, akan tetapi hal ini dirasakan
sebagai kewajiban umat Kristen untuk menentukan tujuan pemerintah
berdasarkan Firman Tuhan, sebab kitab suci menjelaskan kehendak Tuhan
dalam segala lapangan penghidupan termasuk juga lapangan politk. Tuhan
berkehendak bangsa-bangsa itu, juga bangsa Indonesia, harus merdeka dan
harus dapat mengatur dan memerintah negaranya sendiri. Kemerdekaan yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah sudah menurut
kehendak Tuhan, sebab itu kemerdekaan Indonesia kami pandang sebagai
Anugrah dari Tuhan memberi tugas kewajiban pada umat Kristen Indonesia
untuk memelihara dan mempertahankan Anugrah pemberianNya, yakin
kemerdekaan Tanah air dan bangsa Bangsa Indonesia. Insaf akan panggilan
dan kewajiban yang kami terima dari Tuhan itu, maka kami dirikan partai
Kristen itu yang pada permulaan memakai nama partai Kristen
Nasional.23Adanya pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan dari Gereja-
gereja di Indonesia dalam puluhan tahun terakhir ini. Ketiga tema itu adalah
(1) tema pendamaian, (2) keterlibatan dalam politik dan (3) harapan untuk
masa depan dan keterlibatan di masa kini.24

22
Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 357
23
W.B.Sidjabat, Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 1968), 23-24
24
T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, 42

14
II.5. Tokoh-tokoh Kristen Pada Masa Orde Lama
1. Rumambi
Dalam perdebatan tentang dasar Negara, Rumambi menjadi salah satu
tokoh Kristen yang berani denan tegas menyatakan keberatannya jika Islam
dijadikan sebagai ssesbagai dasar Negara.Bahkan, rumambi juga berpendapat
mengenai perlunya perbedaan prinsipil antara tugas negara dan tugas
agama.dikatakan olehnya bahwa tugas agama ialah memberitakan Firman
Tuhan dalam masyarakat dan dalam segala lapangan hidup, dengan kata dan
perbuatan. Sementara itu, tugas Negara adalah memelihara, mengusahakan
ketertiban, keadilan dan kemerdekaan diantara rakyat.Kendati terdapat
perbedaan mengenai fungsi antara Negara dan agama, menurut Rumambi hal
itu bukanlah berarti keduanya harus dipisahkan.Negara dan agaman harus
bekerjasama, saliang menghormati, saling mengharagai, dan mengakui tugas
panggilan masing-masing.25
2. Renda Saroengalo dan Sihombing
Menjawab tuntutan supaya Islam dijakdikan sebagai agama resmi
Negara Indonesia, Saroengalo mengatakan jika Islam diajadikan dasar Negara
dan hukum. Itu berarti hukum Islam akan mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi, dan dalam hal terjadinya pertentangan norma. Hukum Islam akan selalu
menjadi pegangan. Ini bebrtentangan dengan asas kedudukan sama di depan
hukum bagi pribadi maupun golongan yang mau menjadi unsur demokrasi.
Pandangan Saroengalo ini menadapat dukungan dari rekan sefraksinya,
Sihombing.Ia menekankan agar Negara memberikan penekanan yang sma
kepada semua agama. sihombing mengacu pada Mukadimah UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu
penjajah harus dihapuskan karena tidak dari perikemanusiaan dan peri
keadilan. Menurut Sihombing dari Mukadimah ini jelas bahwa soal inti bagi
Indonesia adalah kebebasan, kemerdekaan, dan penghapusan segala bentuk
penindasan dan ini tidak hanya dalam hubungan manusia dengan dunia
lahiriah, melainkan juga batiniah.Dengan demikian, pemerintah harus

25
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 315-
317.

15
bertanggung jawab atas kebebasan individu, kebebasan agama, dan kebebasan
berpindah agama.26
3. T.S.G Moelia
Todung Soetan Goeoeng Moelia (1896-1966) berasal dari Sumatera
Utara. Di berbagaibidang politik,ilmu dan gerejaia membuktikan bahwa ia
menguasai segala jenis permasalahan dan bahwa selain itu ia mampu benar
memberi pimpinan dengan cara yang tenang, mendamaikan, dan dengan
penuh cipta. Moelia masuk sekolah Guru dan setelah itu ia belajar ilmu
pendidikan di Nutsseminarie di Belanda (1919-1922). Kemudian ia masuk
fakultas Hukum dan Antropologi (1929-1934). Dari tahun 1921 sampai 1929
dandari tahun1935 sampai 1942 ia menjadi anggota Dewan Rakyat
berdasarkan pengangkatan dan di masa yang terakhir ia menjabat ia menjabat
wakil ketuanya. Di kalangan dewan rakyat ia hampir selalu bersikap bijaksana
dan setia. Bagi gereja-gereja di Indonesia ia punya arti yang sangat besar.
Tahun 1950 ia memang sudah pernah menjadi ketua yang pertama bagi DGI,
jadi antara tahun 1940-1942 ia mengambil bagian dalam pengurus zending
untuk keadaan darurat.27 Dia mendirikan Universitas RI Darurat (1946).
Sesudah itu, Dr. Mulia terutama mencurahkan tenaga di bidang kegerejaan:
pada tahun 1928 ia telah ikut mewakili gereja-gereja Indonesia pada
konferensi Dewan Pekabaran Injil Internasional (IMC) di Yerusalem.
Kesatuan gereja tetap menjadi perkara penting baginya, dan pada tahun 1950
ia menjadi ketuapertama DGI (1950-1960). Disamping itu, ia menjabat ketua
Lembaga Alkitan Indonesia (1954-1966), ketua pengurus Sekolah Tinggi
Teologia di Jakarta, dan ketua pengurus Universitas Kristen Indonesia, yang
didirikannya pada tahun 1953. Ia pun menjadi redaktur Ensiklopedia Indonesia
(terbitan pertama).28

4. J. Leimena
Johanes Leimena dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905 di Lateri
Ambon, dari keluarga guru Leimena-Sulilatu.Leimena mengikuti pamannya
ke Jawa, dan kemudian tinggal di Batavia. J. Leimena menikah pada tahun
26
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 318-
319
27
A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, 129-130
28
Th. Van Den End, Ragi Carita 2, 403-404

16
1933 dengan Wijarsi Prawiradilaga, seorang wanita Kristen asal Pasundan. 29
Dari tahun 1930 ia bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit di Bandung.
J.Leimena memusatkan perhatiannya pada tugas-tugas verifikasi kegiatan dari
pelbagai instansi yang menangani bidang kesehatan rakyat.Hal ini dilakukan
karena setelah perang kemerdekaan, kementrian kesehatan menghadapi
masalah kekurangan sumber daya manusia (doter, paramedis, pegawai
administrasi, dan lain-lain).Sarana dan prasarana juga mengalami
kehancuran.Akibatnya, hubungan kerja antar-instansi tidak lagi sinkron
dengan dinas-dinas kesehatan di daerah.Leimena pada tahun 1950 rupanya
dipengaruhi oleh pengalamannya di Rumah Sakit Immanuel Bandung.Selain
rumah sakit tersebut, pihak zending juga membangun beberapa poliklinik di
daerah Kabupaten Bandung dan sekitarnya yang langsung menangani berbagai
kebutuhan masyarakat pedesaan.Bandung dipilih untuk proyek percontohan
ini, karena tingkat ekonomi rakyatnya relatif lebih baik.Dengan demikian,
pembiayaan kegiatan di daerah pedesaan dapat dibantu oleh pihak daerah.Jadi,
diputuskan untuk membangun pusat-pusat kesehatan yang dilengkapi dengan
fasilitas 10-15 tempat tidur. Lantas disusunlah rencana lima tahun (1954-
1960). Dalam tahun pertama, setiap kabupaten yang terpilih mendapat satu
pusat kesehatan di satu kecamatan.Selanjutnya dalam waktu dua tahun sekali
ditambah lagi dengan pusat kesehatan di kecamatan lainnya pada kabupaten
bersangkutan. Rumah sakit pembantu di bangun di ibukota kabupaten pada
awal rencana lima tahun.30
Sesudah proklamasi kemerdekaan, mulia tahun 1946-1966 ia
memegang jabatan dalam hampir semua kabinet Indonesia sebagai mentri
kesehatan, mentri sosial, dan akhirnya sebagai wakil perdana mentri. Leimena
mendapat kepercayaan khusus dari pihak presiden Soekarno. Dalam tahun-
tahun pertama pasca perang, ia menghadiri antara lain KMB di Huge Veluwe
dan di Linggarjati selaku wakil republik. Leimena adalah salah seorang
pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia pada tahun 1950. 31Leimena
juga menyatakan bahwa kekristenan di tempatkan orang Indonesia sejajar
dengan Eropaisme dan Kapitalisme. Pada pihak lain, nasionalisme dianggap

29
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 133
30
Johannes Leimena, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 93-96
31
A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 139-140

17
sebagai komunisme dan pengungkapan dari suatu rasa rendah diri oleh banyak
orang Eropa, suatu kecongkakan yang harus ditolak. Para mahasiswa Kristen
tidak boleh memperlihatkan bahwa karena mereka Kristen juga termasuk pada
kaum kelompok Eropa, melainkan bahwa panggilan mereka dan kewajiban
sebagai Kristen adalah untuk bekerja sama sebagai kawan-kawan sekerja dalm
membangun bangsa Indonesia, yang ke dalamnya mereka juga terhisap, dan
bahwa mereka harus menyadari bahwa karena mereka telah memiliki
pendidikan yang maju maka mereka merupakan suatu golongan yang
istimewa. Nasionalisme yang menginginkan suatu kesatuan melawan
pemerintah-pemerintah asing, dan menginginkan suatu negara kesatuan,
memelihara dan saling menghargai kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-
masing, yang mengkehendaki satu bahasa kesatuan.Nasionalisme ini menuntut
dari orang Kristen suatu keyakinan nasional yang murni dan suatu kegiatan
nasional.32

5. Amir Syariffudin
Amir Syarafudin dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1907 di Medan
Tapanuli Selatan daerah yang memiliki percampuran antara Kristen dan juga
Islam dari pasangan Baginda Soripada Harahap dengan Basoeno
Siregar.33Amir yang aslinya bermarga harahap sengaja tidak menggunakan
marga di belakang namnya karena kesepakatan yang diambil pada kongres
pemuda 1927 untuk tidak mempergunakan marga dan gelar kebangsawanan
untuk menunjukkkan bahawa semua nya orang Indonesia dan sama derajatnya.
Amir menyelesaikan pelajarannya pada ELS di sibolga dan melanjutkan
pendidikan nya di Belanda menyusul sepupunya yaitu Toean Soetan
Goenoeng Mulia (T.S.G.Mulia). dan Amir muda tinggal di rumah seorang
bernama Nyonya A.A. van de Loosdrecht-Sizoo, yaitu seorang janda dari
Pekabar injil A.A. van de Loodsdrecht-Sizoo yang mati ketika mengabarkan
inijil di tanah toraja 34 Amir juga berperan dalam menumbuhkan Nasionalisme
di HKBP hal ini tampak ketika kemelut yang terjadi di HKBP antara HKBP

32
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 136-137
33
Frederick D. Wellem, Amir Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, (Bekasi: Jalan Permata Aksara, 2009), 30
34
F.D.Wellem, Amir Sjarifoeddin Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan kemerdekaan
Indonesia, (Jakarta : UtOmnes Unum SInt Institute, 2009), 30-36.

18
dan perseteruan dengan pemerintah belanda dan BNZ maka pada tanggal 2
Maret 1941dibentuklah komite penilai yang di ketuai oleh J.M.Panggabean
dengan Sekretaris Dr.L.Tobing dan penasihat dari Komite ini ialah Amir
sendiri35
Amir sebelum meninggal ditangkap pada tanggal 29 November 1948
di desa Klambu 20 KM dari Purwodadi amir ditangkap karena dia merupakan
salah satu pemimpin PKI yang diangap akan melakukan pemberontakan.
Setelah di tangkap seorang temannya berkata kepada nya untuk menghubungi
Soekarno Hatta agar lepas namun Amir menolak dia tidak ingin berhutang
budi kepada dua tokoh itu. Setelah di tahan di Yogyakarya Amir di
kembalikan di Solo dan di penjarakan disana, dalam Rapat Kabinett tertanggal
18 Desember 1948 dibicarakan apa tindakan yang dilakukan kepada pemimpin
PKI jikalau Belanda melakukan AGresi Militer,dari 12 orang menteri maka 4
orang menteri meminta Amir dan kawan-kawannya di tembak mati, 4 orang
menghendaki supaya Amir di bebaskan dan 4 orang tidak memberikan suara
lalu Presiden Soekarno dengan hak Veto nya memerintahkan bahwa Amir dan
kawan-kawannya tidak boleh di tembak. Pada tanggal 19 Desember 1948 di
pagi hari Belanda melakukan Agresi Militer nya dan Gatot Subroto sebagai
Gubernur Militer di Solo memerintahkan untuk menembak mati semua
pemimpin PKI di daerah Ngalian, sebelah timur kota Solo. Dan jenazahnya
dikuburkan massal di tempat tersebut36
6. A.L. Fransz
Augustine(Tine) Fransz lahir tahun 1907 di Bojonegoro.Dia pernah
memiliki studi di Skolah Tinggi Hukum di Jakarta.(1929-1933), Tahun 1950-
1988 bekerja di DGI.37dia adalah seorang yang sosok yang selalu bersikap
sederhana, namun ia mewalikili segi yang sangat unik di kalangan oikumene.
Franz menghadiri konfensi di Citeurep dan tambaram, dan di tahun 1939 ia
datang ke Amesterdam untuk menghadiri konfensi raya sedunia kaum muda
Kristen. Selaian ia juga bagian dari konstituante di tahun 1950-an dengan sia-
sia menyusun Undang-Undang Dasar bagi Indonesia. Pengaruh yang
dibenarkannya selama serangkaian tahun yang panjang jauh lebih besar

35
Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, 403
36
Turman Sirait & Gopas Sirait, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, (Laguboti: Yayasan TP Arjuna, 2005), 111.
37
Tahi Bonar Simatupang, Percakapan T. B. Simatupang, (Jakarta: BPK-GM 1989), 499.

19
daripada yang dapat diukur dari daftar tulisan buah tangannya. Ceramah yang
diadakannya dalam konferensi memimpin kaum muda Kristen pada bulan
November 1940 di Salatiga berjudul “Persatuan Kita dalam Kristus, yang
melebihi segala persatuan lain”. Persatuan dalam Kristus mendobrak segala
perbedaan anatara ras, bangsa atau gereja, dan membagi-bagikan berbagai
kelompok.Kesaksian mengenai persatuan dalam kristus telah menjadi bagian
dalam hidup Tine Franz.Ia mewujudkan sikap hidup itu sepanjang tahun 1942-
1945, ketika ia sudah memilih pihak nasionalisme. 38
7. A. M. Tambunan
Albert Mangara Tambunan (1911-1970), semasa hidupnya aktif di
kalangan Partindo dan juga dalam Parlemen, selain itu ia pernah menjabat
sebagai Menteri Sosia (1967-1970). Dalam ceramah 1952 disebutnya 4 alasan
mengapa mengenai hal itu orang Keristen dulu berdiri di garis pinggir:
 Politik adalah urusan pemerintah Kolonial, sedangkan Dewan Rakyat
adalah lembaga tanpa kekusaan.
 Sebelum perang, orang Kristen terlalu sibuk memperjuangkan
kemandirian Gereja smereka terlalu lelah untuk memikirkan
perjuangan Nasionalis umum.
 Politik tidak membawa perbaikan ke masyarakatan bagi orang keristen
yang sampai 1942 menduduki posisi yang Istimewa.
 Politik juga berarti bahwa tangan seseorang menjadi kotor.

Tambunan menunjuk pada dua masalah. Pertama-tama, ada kenyataan


bahwa para pendeta akan memegang jabatan pemerintahan, padahal mereka
justru diperlukan didalam gereja. Kedua, karena telah mengadakan berbagai
kompromi yang berkaitan erat dengan usaha politik, mereka harus bertindak
berlawanan dengan prinsip-prinsip mereka dan dengan kitab suci sehingga
mereka memperlemah kata hati mereka.39

8. T.B. Simatupang
Tahi Bonar Simatupang (1920-1990), ia lahirdisidikalag Sumatera
Utara. Dari tahun 1949-1959 Simatupang memegang jabatan kepala staf
angkatan bersenjata RI.Ia membaktikan dirinya bagi pembangunan Negara

38
A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis,(Jakarta:BPK-GM, 1996), 137-138.
39
A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis,(Jakarta:BPK-GM, 1997), 269-271

20
nya dan bagi partisipasi orang-orang Kristen di dalamnya. Simatupang sendiri
menyatakn bahwa kehidupan dan pikirannya dibentuk oleh keterlibatannya
dalam perang kemerdekaan nasional dalam revolusi (yang juga bisa dijelaskan
dengan perubahan sosial cepat), dan dalam perkembangan negara. Jadi gara-
gara konflik antara Simatupang sebagai kepala stap angkatan bersenjata dan
Presiden Soekarno, secara berangsur-angsur Simatupang menyadari bahwa
segala masalah perang revolusi dan pembangunan jauh lebih berarti, jauh lebih
menarik, dan jauh lebih realistis. Itulah yang menjadikan tokoh nasional yang
paling kuat dan tegas dikalangan Gereja-gereja Kristen di Indonesia sehingga
seluruh pemikirannya sungguh layak untuk dianalisis dalam suatu pemikiran
yang lengkap.40
9. V.B da Costa dari Partai Katolik
Costa menyatakan bahwa kebebasan beragama tidak boleh disamakan
dengan kebebasan berserikat, karena kebebasan beragama tidak dapat
dibatasi dengan alasan ketertiban umum. Ia takut bahwa hak yang suci
atas kebebasan agama bagi orang Khatolik dan Protestan dapat dibatasi
dengan tindakan proventif atas nama ketertiban umum seperti yang
terjadi pada masa kolonial Belanda. Dengan alasan tersebut costa
menegaskan bahwa partainya tidak ingin melihat terulangnya praktik
kolonial dan karena itu tidak dapat menerima pula peraturan yang
membatasi keberagaman agama. Tetapi ia menekankan bahwa
partainya tidak menolak seluruhnya kendali pemerintah yang bersifat
represif terhadap kegiatan keagamaan. Misalnya ia menganggap sudah
sewajarnya bahwa dalam hubungan dengan kebebasan beragama setiap
tindakan yang melanggar hukum harus ditindak sesuai hukum.41

III. Kesimpulan
Pada Masa Orde Lama disini dapat dilihat keadaan Gereja/Kekristenan
IV. Daftar Pustaka
B. Sidjabat W., Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 1968.
B.Simatupang T., Iman Kristen dan Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 1984.

40
A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, 271-272
41
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 315-319

21
D. Wellem F., Amir Sjarifoeddin Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan
kemerdekaan Indonesia, Jakarta : Utomnes Unum SInt Institute, 2009.
Den Van Th. End, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2014.
G.Vanschie,Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Kotes Sejarah Agama-
agama Lain, Jakarta: OBOR, 1995.
Hoekema G. A., Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM,
1997.
J. Ngelow Zakaria, Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta: BPK-GM, 1994
Leimena Johannes, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani, Jakarta: BPK-
GM, 2007.
S. Aritonang Jans, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, Jakarta:
BPK-GM, 2004.
Simatupang Bonar Tahi, Percakapan T. B. Simatupang, Jakarta: BPK-GM 1989.
Sirait Turman & Sirait Gopas, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, Laguboti: Yayasan
TP Arjuna, 2005.
Supriatna Nana, IlmuPengetahuan Sosial, Jakarta: Grafindo, 2006.
Ukur F. dan.L. Cooley F, Benih yang Tumbuh VIII, Irian Jaya: studi dewan-
dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1977.
Ukur F. dan L Cooley. F., Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Studi-DGI, 1979.
Wellem D.Frederick, Amir Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bekasi: Jalan Permata Aksara, 2009.

22

Anda mungkin juga menyukai