Anda di halaman 1dari 4

Bahan Kuliah Hukum Gereja

Pengertian, Fungsi dan Sifat-sifat Hukum Gereja

I. Pengertian

Apakah itu hukum gereja? Sekilas, mungkin banyak orang langsung menyamakan
hukum gereja dengan tata gereja. Di satu sisi, ada yang menggartikan kata “hukum”
pada kata Hukum Gereja dengan arti yuridis (hukum pemerintah/negara), namun
ada juga yang mengaitkan hukum dengan tata/aturan. Itulah sebabnya, mengapa
banyak orang kemudian langsung saja menyamakan arti dari hukum gereja dengan
tata gereja, misalnya seperti Abineno (dalam buku Garis-garis Besar Hukum Gereja).
Memang, hukum gereja erat kaitannya dengan tata gereja, bahkan untuk memahami
apa itu hukum gereja kita harus bertolak dari pengertian tata gereja. Namun, bukan
berarti serta merta keduanya adalah sama.

Menurut Lazarus Purwanto, salah satu ahli hukum gereja di Indonesia, tata gereja
adalah "satu kumpulan peraturan tertulis yang ditetapkan secara resmi oleh
gereja untuk menata diri agar gereja dapat menampakkan kehidupan yang
utuh dan dinamis, serta dapat melaksanakan tugas-tugas panggilannya di
dunia secara berdayaguna (efisien) dan berhasilguna (efektif)". Pergumulan
yang sering juga terjadi berkaitan dengan tata gereja adalah bahwa seringkali tata
gereja itu dipahami sebagai peraturan-peraturan mengenai "pemerintahan gereja",
artinya, peraturan-peraturan yang berpusat di sekitar pejabat gerejawi (tu-
gas/fungsi, jenis, cara kerja, dll.). Pemahaman tersebut memang tidak salah
sepenuhnya namun kurang tepat, sebab pembahasan tentang “pemerintahan gereja”
bukanlah melulu mjd hal yang paling utama sehingga mendominasi seluruh isi dari
tata gereja tersebut. Pembahasan ttg “pemerintahan gereja” akan menjadi salah satu
bagian pembahasan dari hukum dan tata gereja itu sendiri. Dengan kata lain
pergumulan di atas akan menjadi perhatian kita dalam proses pembelajaran
perkuliahan hukum gereja yaitu tentang "pengertian (tata gereja) yang selama ini
ada" dan "pengertian (tata gereja) yang seharusnya".

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tata gereja merupakan
"produk" dari gereja yang berasal dari praxis (praktek) kehidupan gereja yang
berkaitan langsung dengan identitasnya. Lalu kalau demikian, apa itu hukum gereja?
Menurut Purwanto, hukum gereja adalah bagian dari ilmu teologi yang
memikirkan secara teoritis dan sistematis mengenai prinsip-prinsip dan
norma-norma untuk menyusun tata gereja. Dengan perkataan lain, suatu tata
gereja dari suatu gereja tertentu selalu disusun berdasarkan suatu hukum gereja
tertentu.

Melihat kedua pengertian di atas, terasa bahwa batasan antara keduanya masih
kabur. Untuk dapat mempertegas batas-batas dari keduanya, yang dapat dikatakan
adalah bahwa hukum gereja menyediakan kerangka teologis yang berupa kajian
teoritis dan sistematis bagi penyusunan tata gereja yang adalah produk praktis dari
gereja. Jadi, pada akhirnya dapat dikatakan bahwa tugas hukum gereja sebagai
bagian dari ilmu teologi, adalah mengkaji dan merumuskan keseluruhan sistem
dari prinsip-prinsip teologis yang berdasarkan eklesiologi tertentu yang
dapat dipakai oleh gereja untuk menyusun dan mengembangkan tata
gerejanya”.

Untuk dapat memahami hukum gereja yang seharusnya maka kita akan sangat
bergumul dengan eklesiologi. Seperti yang kita tahu bahwa eklesia adalah sebuah
persekutuan orang percaya yang telah diselamatkan oleh penebusan Kristus. Oleh
sebab itulah, eklesia/gereja tidaklah sama dengan organisasi/perkumpulan yang
ada di dunia ini. Gereja adalah bentukan dari Allah, terjadi atas kehendak Allah, dan
diperuntukkan bagi misi Allah. Keunikan gereja yang seperti inilah yang membuat
hukum gereja tidak dapat disamakan dengan hukum negara. Hukum gereja datang
dari pergumulan gereja tentang identitasnya di tengah realita dunia ini.

II. Fungsi

Berdasarkan uraian di atas, yaitu bahwa hukum gereja berada dalam batasan
teologis-teoretis, dan tata gereja dalam batasan operasional-praktis, keduanya
berfungsi sebagai sarana atau alat bagi gereja untuk menata kehidupannya dan
menjalankan misinya di dunia. Oleh karena itu, jelas hukum gereja merupakan
sarana yang mutlak diperlukan oleh gereja, jika gereja tersebut ingin
keberadaan/kehidupannya memiliki arti/makna di tengah konteks di dunia. Secara
hakiki, gereja memang tidak muncul dari dirinya sendiri dan juga tidak bersumber
dari dunia, namun kita juga tidak dapat menutup mata dari kenyataan bahwa gereja
telah menjadi satu lembaga/organisasi (yang berbeda dari organisasi-organisasi
lainnya) dalam konteks dunia.

Gereja sebagai lembaga/organisasi sudah ada sejak gereja "lahir" di dunia ini. Hal ini
dimulai dengan pengaturan gereja melalui adanya kemunculan "pejabat resmi"
gereja. Sejalan dengan hal tersebut, maka muncul juga masalah tradisi dan suksesi.
Latourette dalam memberi ikhtisar mengenai perkembangan gereja-gereja pada
lima abad pertama mengatakan, bahwa ada dua hal yang paling mencolok pada
kurun waktu itu, yaitu perkembangan organisasi yang kelihatan dari gereja (visible
organization) dan perumusan formula-formula pengakuan iman gereja. Gereja
memang telah melembaga di dunia ini. Tetapi, lembaga macam apakah gereja itu?
Ada dua hal yang dapat kita katakan di sini. Pertama, karena hakikat gereja itu
berasal dari Allah, gereja bukanlah lembaga atau organisasi biasa, yang harus
berbeda dari lembaga/organisasi "duniawi" lainnya. Dasar keberadaan gereja ada
pada iman kepada dan penerimaan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Kepala Gereja.
Yang terakhir ini merupaan faktor faktor tetap (constant element) di dalam
semuanya. Kedua, karena hakikat gereja bersumber pada Allah sendiri, keberadaan
institusional atau kelembagaan gereja harus terjadi demi berlakunya maksud Allah
sendiri – yaitu memberitakan keselamatan dunia dan umat manusia. Demi maksud
itulah gereja memerlukan perangkat peraturan dan penataan, di mana hukum
gereja secara teoritis dan sistematis berperan didalamnya.

III. Sifat

Berkaitan dengan hal di atas, maka sifat hukum gereja seperti yang dimaksud oleh
Purwanto antara lain adalah:

1. Melayani. Seperti dikatakan di atas, hukum gereja adalah sarana yang "mutlak"
diperlukan oleh gereja, meskipun secara hakiki gereja tidak boleh bergantung
kepada hukum gereja. Dengan demikian, sebagai sarana yang diperlukan oleh
gereja, hukum gereja harus melayani gereja. Dalam kerangka ini, hukum gereja
pada dasarnya akan berangkat dari pemahaman tentang hakikat dan panggilan
gereja serta hubungan gereja dengan dunia. Sebab jika hukum gereja dimaksudkan
untuk melayani gereja dengan cara memikirkan dan merumuskan prinsip-prinsip
dan norma-norma bagi penyusunan tata gereja, semuanya ditujukan agar gereja
dapat mewujudnyatakan pemahaman dirinya dan melaksanakan misinya di dunia.
Dengan sifat pelayanan itu, hukum gereja diharapkan akan menolong gereja untuk
membangun dirinya dan untuk berfungsi secara operasional di dunia, sesuai dengan
maksud Allah sendiri.

2. Terikat pada ruang dan waktu. Tidak ada hukum gereja yang bersifat universal
dan kekal, yang dapat berlaku di segala tempat dan setiap waktu. Dengan perkataan
lain, setiap hukum gereja pada dasarnya selalu terikat pada ruang dan waktu. Hal
ini bukan hanya berlaku bagi gereja-gereja sepanjang sejarahnya yang kemudian.
Bahkan jika kita melihat kepada gereja-gereja sebagaimana yang terekam dalam
Perjanjian Baru, kita juga tidak akan mendapati satu hukum atau tata gereja
tertentu yang berlaku umum bagi semua gereja pada waktu itu. Artinya, dalam
Perjanjian Baru pun kita sudah melihat kepelbagaian bentuk penataan gereja, dan
dengan demikian kepelbagaian "hukum gereja" (meskipun belum dikembangkan
secara sistematis). Pertanyaan konkret kita adalah, apakah di Indonesia kita dapat
mengembangkan satu hukum gereja saja yang berlaku bagi semua gereja? Kita
harus menunda untuk menjawab pertanyaan ini sampai pada saat yang tepat untuk
menjawabnya. Cukuplah bila sekarang kita tahu bahwa tidak ada hukum gereja yang
bersifat universal dan kekal: setiap hukum gereja terikat pada ruang dan waktu.

3. Dapat diubah. Karena hukum gereja pada dasarnya terikat pada ruang dan
waktu, berarti hukum gereja selalu tidak sempurna, dan oleh karena itu harus
dapat diubah. Di sini harus tetap diingat bahwa hukum gereja adalah alat
pelayanan bagi gereja. Padahal gereja selalu berada dalam situasi yang berubah
terus, dari waktu ke waktu. Karena itu hukum gereja harus selalu bersifat terbuka
terhadap perubahan dan pembaharuan, justru demi berfungsinya gereja ─yang
dilayaninya─ di tempat dan situasi di mana gereja hidup. Salah satu
sikap/pandangan yang anti perubahan adalah tradisionalisme: sikap/pandangan
yang mendewakan suatu hukum gereja tertentu ─sebagai salah satu warisan tradisi
gerejawi─ seolah-olah hukum gereja tersebut "suci" dan "sempurna" sehingga
pantang untuk diubah dan, apalagi, dibarui atau diganti dengan yang baru. Sikap
tradisionalis memang selalu pro status quo terhadap tradisi tertentu. Dalam
lapangan hukum gereja, sikap seperti itu harus dihindari. Kita harus terus menerus
berpandangan terbuka untuk menggumuli dan mencari hukum gereja yang relevan,
kontekstual dan fungsional bagi gereja kita.

Anda mungkin juga menyukai