Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM DI RUANG MELATI


RSUD TAMIANG LAYANG

Oleh :
SEPTIANA FRANSISKA, S.Kep
NIM : 113063J118059

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persyarafan

Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
Duramater : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang
bersifat liat, tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
Arachnoid : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna
putih karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang
memproduksi cairan serebrospinal (CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi
CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem (akibat trauma, aneurisma,
stroke).
Piameter : Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.
Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:
Lobus frontal : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat
keputusan, kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
Lobus parietal : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi,
mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
Lobus temporal : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka
pendek.
Lobus oksipital : menginterpretasikan penglihatan.
Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.
Talamus : Pusat penyambung sensasi bau dan nyeri.
Hipotalamus : Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan mempertahankan pengaturan
suhu tubuh. Sebagai pusat lapar dan mengontrol BB, pengatur tidur,
tekanan darah, perilaku agresif, seksual, respon emosional.
Kelenjar hipofisis : Dianggap sebagai master kelenjar, karena sejumlah
hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. Hipofisis lobus anterior
memproduksi hormon pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH, ACTH, LH.
Lobus posterior berisi hormon ADH.
Batang otak, terdiri dari otak tengah, pons, medula oblongata.
Otak tengah/mesencephalon, bagian yang menghubungkan diencephalon
dan pons. Fungsi utama menghantarkan impuls ke pusat otak yang
berhubungan dengan pergerakan otot, penglihatan dan pendengaran.
Pons: Menghantarkan impuls ke pusat otak.
Medula oblongata, merupakan pusat refleks guna mengontrol fungsi
involunter seperti pernafasan, bersin, menelan, batuk, pengeluaran saliva,
muntah.
Serebrum: merangsang dan menghambat dan tanggung jawab terhadap
koordinasi gerak, keseimbangan, posisi.
Sirkulasi Serebral
Menerima kira-kira 20% dari curah jantung/750 ml per menit. Sirkulasi ini
sangat dibutuhkan, karena otak tidak menyimpan makanan, sementara
mempunyai kebutuhan metabolisme yang tinggi.
Pembuluh darah yang mendarahi otak tardiri dari :
1) Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar
ini dapat kita raba dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah
mandibula, sepasang pembuluh darah ini setelah masuk ke rongga
tengkorak akan bercabang menjadi tiga :
a) Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)
b) Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
c) Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut
arteri komunikan posterior.
2) Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini
tidak dapat diraba oleh karena kedua pembuluh darah ini menyusup ke
bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini memperdarahi batang
otak dan kedua otak kecil, kedua pembuluh darah tersebut akan saling
berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut
anastomosis.
Suplai darah ke Medula Spinalis
Menerima nutrisi melalui cabang-cabang arteri vetebralis melalui cabang
aorta thorakalis dan aorta abdominalis. Arteri medula spinalis dan sistem
vena berjalan secara paralel satu dengan lainnya dan mempunyai
hubungan percabangan yang luas untuk mencukupi suplai darah ke
jaringan-jaringan. Dibentuk oleh pleksus koroideus, dan bersirkulasi
dalam ventrikel-ventrikel dan ruang subaraknoid. CSF terdiri dari air,
elektrolit, oksigen, karbondioksida, glukosa dan sedikit protein, serta
konsentrasi kalium dan klorida yg tinggi. Produksi dan reabsorbsi CSF
berlangsung konstan serta volume total CSF sekitar 125 cc dengan
kecepatan sekresi CSF perhari 500 – 750 cc. Tekanan dalam cairan CSF
sekitar 5 sampai 12 cm H2O.

B. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu mencapai >38ºC). kejang demam dapat terjadi karena proses
intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4%
populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi,
NANDA NIC-NOC, 2013).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi.
Suhu badan ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (Lumban tobing,
1995).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh suhu rektal di atas 38°C. (Riyadi dan Sujono, 2009)

2. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang terjadi pada kejang demam adalah:
Sebagian besar kejang demam terjadi dalam 24 jam pertama sakit, sering
sewaktu suhu tubuh meningkat cepat, namun pada sebagian anak,
tanda pertama penyakit mungkin kejang dan pada yang lain, kejang terjadi
saat demam menurun.
Derajat demam merupakan faktor kunci yang memicu kejang. Selama
suatu penyakit, setelah demam turun dan naik kembali sebagian anak yang
tidak lagi mengalami kejang pada penyakit demam berikutnya walaupun
tercapai tingkat suhun yang sama. (Abraham M. Rudolph, 2006)
Gejala berupa :
a. Suhu anak tinggi
b. Anak pucat / diam saja
c. Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan.
d. Umumnya kejang demam berlangsung singkat.
e. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya
sentakan atau kekakuan fokal.
f. Serangan tonik klonik ( dapat berhenti sendiri )
g. Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
h. Seringkali kejang berhenti sendiri.
(Arif Mansjoer. 2000)

3. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri
dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase
yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini
dapat diubah oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit /
keturunan

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan


kenaikan metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen
sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65%
dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang
hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat
mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan membran neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter
sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang
berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai ambang kejang,
seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi
pada suhu 38°C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi,
serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini
dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering
pada anak dengan ambang kejang yang rendah. Sehingga dalam
penanggulangan anak dengan ambang kejang demikian perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa anak tersebut akan mendapat serangan.

(Nanda NIC NOC, 2015)


4. Komplikasi
a. Kejang berulang
b. Retardasi mental
c. Palsi cerebralis
d. Epilepsi
e. Hemiparese

5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, gula darah, elektrolit,
analisa gas darah, punksi lumbal, kultur darah, bilirubin,
pemeriksaan urine.
b. Pemeriksaan radiologi: USG dan CT Scan kepala
c. Pemeriksaan EEG

6. Collaborative Care Management


1) Medis
Mengatasi kejang secepat mungkin.
Diazepam IV / per rektal.
2) Pengobatan penunjang.
a) Pakaian dilonggarkan.
b) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi
lambung.
c) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, bila perlu lakukan intubasi / tracheostomi.
d) Pengisapan lendir secara teratur dan berikan oksigen.
e) Cairan intravena dengan monitoring elektrolit dan metabolic
f) Kompres bila hiperpireksia
g) Kortikosteroid untuk mencegah demam otak

3) Farmakologi/medikasi
a) Memberikan pengobatan hemat
Antiepileptik : fenobarbital, fenilhidaatoin
Pengobatan ini dibagi jadi 2 bagian
(1) Pengobatan profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali, pasien yang
menderita kejang demam sederhana diberikan obat
campuran antikonvulsan dan antipiretika yang harus
diberikan kepada anak jika menderita demam lagi.
(2) Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang
stabil dan cukup didalam darah pasien untuk mencegah
terulangnya kejang dikemudian hari.
Obat yang dipakai adalah:
- Fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB/hr.
- Sodium valproat/asam valproat (epilin, depakene) dosis 20
–3 0 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis.
- Fenitoin (dilantin).
Pengobatan antikonvulsi pada profilaksis jangka panjang ini
dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti pengobatan
epilepsy. Menghentikan pengobatan antikonvulsi kelak
harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama
3 bulan atau 6 bulan.
b) Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana
maupun epilepsy yang diprovokasi oleh demam biasanya
ISPA dan OMA.

4) Aktivitas/latihan
Tidak ada aktivitas/latihan untuk mengatasi kejang demam.

5) Diet
Sejak pertama kali dirancang tahun 1920-an, diet ketogenik sengaja
diterapkan untuk orang-orang yang punya epilepsi. Diet yang
rendah karbohidrat dan tinggi lemak ini dapat mengatasi bahkan
menghentikan gejala kejang yang kambuh pada anak dengan
epilepsi. Pola diet keto dirancang sedemikian rupa agar seseorang
hanya mengandalkan asupan lemak sebagai sumber energi utama
tubuh, bukannya karbohidrat.
Apabila konsumsi lemak normal adalah sekitar 20-30%, diet
ketogenik menganjurkan asupan lemak mencapai 60-70% dengan
tujuan membuat tubuh masuk ke kondisi ketosis. Dalam keadaan
normal, ketosis terjadi saat seseorang tidak mengonsumsi karbo
atau mengonsumsi sedikit sekali karbohidrat. Kekurangan
karbohidrat membuat kadar glukosa turun sehingga tubuh mulai
memecah lemak untuk dijadikan sebagai energi. Proses ini
kemudian menghasilkan zat keton. Semakin banyak lemak yang
digunakan, maka makin banyak pula zat keton yang dihasilkan.
Belum jelas sampai saat ini mengapa diet ketogenik dapat dijadikan
‘obat’ epilepsi alami untuk menghentikan kejang. Namun, para ahli
menyatakan bahwa hasil zat keton yang dihasilkan dapat membantu
menormalkan aktivitas listrik otak. Oleh karena itu, orang yang
punya epilepsi dianjurkan untuk memperbanyak asupan lemak dan
membatasi karbohidrat – agar karbohidrat tak menjadi sumber
energi utama.

6) Pendidikan Kesehatan
Jangan panik saat melihat anak yang secara mendadak mengalami
kejang-kejang. Segera lakukan pertolongan pertama untuk
menghindari anak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Ini
beberapa hal yang bisa orang tua lakukan:
a) Letakkan anak di tempat yang datar, di mana anak tidak
akan terjatuh ke lantai.
b) Jauhkan dari benda-benda tajam.
c) Kendurkan pakaiannya.
d) Jangan menahan gerakannya.
e) Jangan memasukkan apa pun ke mulutnya, seperti
memberikan minum atau obat-obatan.
f) Catat berapa lama anak mengalami kejang.
g) Merekam kejadian tersebut agar dokter tahu seperti apa
kejang yang dialaminya.
Biasanya, kejang demam berlangsung selama satu hingga tiga
menit. Setelah itu, anak mungkin akan mengalami kelelahan dan
terlelap.
Kejang demam kebanyakan tidak berbahaya dan tidak menjadi
tanda-tanda anak mengalami kondisi serius seperti epilepsi,
kerusakan otak, gangguan kemampuan belajar, atau gangguan
mental. Namun, meski jarang terjadi, demam bisa jadi pertanda
bahwa anak mengalami kondisi serius, termasuk meningitis.
Jika anak sering mengalami kejang saat demam, dokter mungkin
akan menyarankan untuk memberikan obat untuk menurunkan
risiko itu terjadi kembali. Namun, mengingat kejang demam tidak
berbahaya, sebenarnya pemberian obat-obatan (yang bisa
menimbulkan efek samping) tidak begitu diperlukan.
Orang tua disarankan untuk membawanya ke dokter jika anak
mengalami kejang demam lebih dari 10 menit atau kejang yang
disertai muntah, sesak napas, lehernya terasa kaku, dan terlihat
sangat mengantuk usai mengalaminya.

C. Rencana Asuhan Keperawatan Anak dengan Kejang Demam


1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
Anamnesis: riwayat penyakit keluarga, penyakit ibu dan obat yang
dipakai selama kehamilan, problem persalinan (asfiksia, trauma,
infeksi persalinan).
b. Pemeriksaan fisik: data focus
Pemeriksaan fisik: bentuk kejang, iritabel, hipotoni, gangguan pola
nafas, perdarahan kulit, sianosis, ikterus, ubun-ubun besar
cembung.

c. Analisa data
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Hipertermia b.d reaksi inflamasi
a. Definisi
Peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal

b. Batasan karakteristik
1) Konvulsi
2) Kulit kemerahan
3) Peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal
4) Kejang
5) Takikardi
6) Takipnea
7) Kulit terasa hangat

c. Faktor yang berhubungan


1) Anastesia
2) Penurunan respirasi
3) Dehidrasi
4) Pemajanan lingkungan yang panas
5) Penyakit
6) Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu
lingkungan
7) Peningkatan laju metabolisme
8) Medikasi
9) Trauma
10) Aktivitas berlebihan
Diagnosa 2: Risiko cedera

a. Definisi
Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi
lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan
sumber defensif individu
b. Faktor risiko
Eksternal
1) Biologis (mis, tingkat imunisasi komunitas,
mikroorganisme)
2) Zat kimia (mis, racun, polutan, obat, agenens farmasi,
alkohol, nikotin, pengawet, kosmetik, pewarna)
3) Manusia (mis, agens nosokomial, pola ketegangan,
atau faktor kognitif, afektif, dan psikomotor)
4) Cara pemindahan/transpor
5) Nutrisi (mis, desain, struktur, dan pengaturan
komunitas, bangunan, dan/atau peralatan)
Internal
1) Profil darah yang abnormal (mis, leukositosis /

leukopenia, gangguan faktor Koagulasi,


trombositopenia, sel sabit, talasemia, penurunan
hemoglobin)
2) Disfungsi biokimia
3) Usia perkembangan (fisiologis, psikososial)
4) Disfungsi efektor
5) Disfungsi imun-autoimun
6) Disfungsi integratif
7) Malnutrisi
8) Fisik (mis, integritas kulit tidak utuh, gangguan
mobilitas)
9) Psikologis (orientasi afektif)
10) Disfungsi sensorik
11) Hipoksia jaringan
Diagnosa 3: Risiko keterlambatan perkembangan
a. Definisi
Berisiko mengalami keterlambatan 25% atau lebih pada satu atau
lebih area social atau perilaku regulasi diri, atau pada keterampilan
kognitif, bahasa, motorik kasar atau halus
b. Faktor risiko
Prenatal
1) Kemiskinan
2) Gangguan endokrin
3) Gangguan genetik
4) Buta huruf
5) Nutrisi tidak adekuat
6) Asuhan prenatal tidak adekuat
7) Infeksi
8) Kurang perawatan prenatal
9) Perawatan prenatal yang telat
10) Usia ibu < 15 tahun
11) Usia ibu > 35 tahun
12) Substance abuse
13) Kehamilan yang tidak direncanakan
14) Kehamilan yang tidak diinginkan
Individual
1) Anak yang diadopsi
2) Gangguan perilaku
3) Kerusakan otak (mis : perdarahan pada periode postnatal, bayi
yang diayun, penganiayaan, kecelakaan)
4) Penyakit kronis
5) Gangguan kongenital
6) Kegagalan untuk tumbuh
7) Anak asuh
8) Sering mengalami otitis media
9) Gangguan genetik
10) Gangguan pendengaran
11) Nutrisi yang tidak adekuat
12) Keracunan timbale
13) Bencana alam
14) Penampisan obat tergolong positif
15) Prematuritas
16) Kejang
17) Penyalahgunaan zat
18) Bergantung pada teknologi
19) Efek samping terkait pengobatan (mis; kemoterapi, terapi
radiasi, agens farmaseutikal)
20) Gangguan penglihatan
Lingkungan
1) Kemiskinan
2) Perilaku kekerasaan

3. Perencanaan
Diagnosa 1 : Hipertermia
a. Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
Thermoregulation
Kriteria Hasil:
1) Suhu tubuh dalam rentang normal
2) Nadi dan RR dalam rentang normal
3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

b. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC


NIC
Fever treatment
1) Monitor suhu sesering mungkin
2) Monitor IWL
3) Monitor warna dan suhu kulit
4) Monitor tekanan darah, nadi dan RR
5) Monitor penurunan tingkat kesadaran
6) Monitor WBC, Hb, dan Hct
7) Monitor intake dan output
8) Berikan anti piretik
9) Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
10) Selimuti pasien
11) Lakukan tapid sponge
12) Kolaborasi pemberian cairan intravena
13) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
14) Tingkatkan sirkulasi udara
15) Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
16) Temperature regulation
17) Monitor suhu minimal tiap 2 jam
18) Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
19) Monitor warna dan suhu kulit
20) Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
21) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
22) Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
23) Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
24) Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan
efek negatif dan kedinginan
25) Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan
emergency yang diperlukan
26) Ajarkan indikasi dan hipotermi dan penanganan yang diperlukan
27) Berikan anti piretik jika perlu

Vital sign Monitoring


1) Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2) Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3) Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
4) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5) Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
6) Monitor kualitas dari nadi
7) Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8) Monitor suara paru
9) Monitor pola pernapasan abnormal
10) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11) Monitor sianosis perifer
12) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
13) Identifikasi penyebab dari perubahan Vital sign

Diagnosa 2:
Risiko Cidera
a. Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
NOC
1) Risk Kontrol
Kriteria Hasil :
1) Klien terbebas dari cedera
2) Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera
3) Klien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/perilaku
personal
4) Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
5) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
6) Mampu mengenali perubahan status kesehatan

b. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC


NIC
Environment Management (Manajemen lingkungan)
1) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik
dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
3) Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
4) Memasang side rail tempat tidur
5) Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
6) Menempatkan saklar lampu di tempat yang mudah dijangkau pasien.
7) Membatasi pengunjung
8) Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
9) Mengontrol lingkungan dari kebisingan
10) Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
11) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.

Diagnosa 3:
Risiko keterlambatan perkembangan
a. Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
NOC
1) Growth and development delayed
2) Family Coping
3) Breastfeeding ineffective
4) Nutritional Status : nutrient intake
5) Parenting Performance

Kriteria Hasil :
1) Recovery adanya kekerasan
2) Recovery : kekerasan emosional
3) Recovery neglect
4) Performance orang tua : pola asuh prenatal
5) Pengetahuan orang tua terhadap perkembangan anak meningkat
6) Berat badan = index masa tubuh
7) Perkembangan anak 1 bulan : penanda perkembangan fisik, kognitif,
dan psikososial pada usia 1 bulan
8) Perkembangan anak 2 bufan : penanda perkembangan fisik, kognitif,
dan psikososial usia 2 bulan
9) Perkembangan anak 4 bulan : penanda perkembangan fisik, kognitif,
dan psikososial usia 4 bulan
10) Penuaan fisik: perubahan normal fisik yang biasanya sering terjadi
seiring penuaan usia
11) Kematangan fìsik wanita dan pria : perubahan fisik normal pada
wanita yang terjadi dengan transisi dan masa kanak-kanak ke dewasa
12) Fungsi gastrointestinal anak adekuat
13) Makanan dan asupan cairan bergizi
14) Kondisi gizi adekuat

b. Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC


NIC
Pendidikan orang tua : masa bayi
1) Ajarkan kepada orang tua tentang penanda perkembangan normal
2) Demonstrasikan aktivitas yang menunjang perkembangan
3) Tekankan pentingnya perawatan prenatal sejak dini
4) Ajarkan ibu mengenai pentingnya berhenti mengkonsumsi alcohol,
merokok, dan obat-obatan selama kehamilan
5) Ajarkan cara-cara memberikan rangsangan yang berarti untuk ibu dan bayi
6) Ajarkan tentang perilaku yang sesuai dengan usia anak
7) Ajarkan tentang mainan dan benda-benda yang sesuai dengan usia anak
8) Berikan model peran intervensi perawatan perkembangan untuk bayi
kurang bulan (prematur)
9) Diskusikan hal-hal terkait kerjasama antara orang tua dan anak
IV. Daftar Pustaka

Ain, Hurun - Widya Warastuti - Dian Rahmawati. 2015. Tindakan Ibu


Dalam Menangani Balita Yang Mengalami Kejang Demam Di
Rumah, Jurnal Keperawatan Terapan, Volume 1, No. 2, September
2015: 53-5. Malang: Poltekkes Kemenkes Malang.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-
NOC, Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta : Penerbit Mediaction.
T. Heatherman Headman & Shigemi Kamitsuru. 2017. NANDA-I Diagnosis
Keperawatan, Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai