Anda di halaman 1dari 40

Bank Indonesia

A. Profil
Struktur Organisasi

Governance
Dalam penerapan dan penegakan tata kelola di Bank Indonesia, diperlukan kerangka konseptual
yang mengintegrasikan seluruh elemen tata kelola (governance) yang mencakup pondasi awal,
hingga tujuan akhir yang akan dicapai. Untuk itu telah disusun kerangka kerja Tata Kelola
(governance framework) Bank Indonesia yang memuat lima elemen pokok sebagai berikut:

1. Prinsip Tata Kelola (Governance Principle) Bank Indonesia yakni prinsip-prinsip yang
melandasi penerapan dan penegakan tata kelola Bank Indonesia.
2. Komitmen Tata Kelola (Governance Committment) Bank Indonesia yakni komitmen
Dewan Gubernur dan pegawai Bank Indonesia untuk menerapkan dan menegakkan Tata
Kelola Bank Indonesia.
3. Struktur Tata Kelola (Governance Structure) Bank Indonesia yakni desain mengenai
fungsi pelaksanaan tugas dan wewenang, serta fungsi pengawasan terhadap Bank
Indonesia.
4. Proses Tata Kelola (Governance Process) Bank Indonesia yakni serangkaian standar dan
prosedur yang digunakan oleh Anggota Dewan Gubernur dan pegawai Bank Indonesia
untuk memastikan penerapan dan penegakan Tata Kelola Bank Indonesia telah
dilaksanakan secara terencana, konsekuen, dan berkelanjutan.
5. Hasil Tata Kelola (Governance Outcome) Bank Indonesia yakni perwujudan dari
penerapan dan penegakan Tata Kelola Bank Indonesia dalam bentuk pencapaian
kredibilitas Bank Indonesia.
Dengan adanya kerangka kerja secara utuh dan menyeluruh tersebut, diharapkan akan
mempermudah komunikasi dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal dalam
menjelaskan Tata Kelola Bank Indonesia.

Governance Commitment
Nilai Strategis
Nilai-nilai strategis Bank Indonesia adalah:
1. Kejujuran dan integritas (trust and integrity);
2. Profesionalisme (professionalism);
3. Keunggulan (excellence);
4. Mengutamakan kepentingan umum (public interest);
5. Koordinasi dan kerja sama tim (coordination and teamwork) yang berlandaskan
keluhuran nilai-nilai agama (religi).

Rencana Strategis
Kode Etik dan Pedoman perilaku
Pencapaian visi Bank Indonesia sebagai lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional
mensyaratkan dukungan kinerja yang tinggi dari perilaku Sumber Daya Manusia (SDM) Bank
Indonesia yang berintegritas, jujur, dan profesional. Ketiadaan aspek perilaku tersebut berpotensi
menghambat pencapaian kinerja dan menimbulkan risiko hukum dan reputasi, sehingga
mengakibatkan ketidakpercayaan pemangku kepentingan atau publik terhadap pelaksanaan tugas
dan wewenang Bank Indonesia. Hal ini mengingat kredibilitas lembaga erat kaitannya dengan
masalah kepercayaan publik terhadap perilaku SDM di lembaga tersebut.

Menciptakan perilaku yang berintegritas, jujur, dan profesional di lingkungan kerja, memerlukan
waktu dan proses. Untuk itu, diperlukan suatu aturan yang mengatur secara jelas etik dan norma
perilaku yang diberlakukan secara menyeluruh bagi seluruh SDM disertai proses penegakan secara
konsisten.

Perilaku dan tindakan pegawai Bank Indonesia diatur secara rinci dalam ketentuan kode etik dan
pedoman perilaku Bank Indonesia. Ketentuan ini diberlakukan menyeluruh bagi seluruh insan BI
yaitu Anggota Dewan Gubernur, pegawai BI, pegawai yang dipekerjakan oleh BI, serta mantan
pegawai pangkat tertentu, dan Anggota Dewan Gubernur untuk aturan cooling-off period.

Ketentuan ini mencakup norma moral dan standar perilaku yang sesuai dengan kebutuhan Bank
Indonesia. Penerapan ketentuan kode etik dan pedoman perilaku Bank Indonesia diaktualisasikan
di lingkungan kerja dan masyarakat yaitu:
1. Menegakkan integritas dan profesionalisme.
2. Menghindari konflik kepentingan.
3. Menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan.
4. Bersikap adil.
5. Menjaga kesusilaan, kesopanan, dan perilaku bermasyarakat.

Untuk mendukung efektivitas penerapan kode etik dan pedoman perilaku, terdapat kewajiban
penyampaian surat pernyataan antara lain, surat pernyataan kepatuhan dan surat pernyataan
tahunan.

Surat pernyataan kepatuhan memuat komitmen untuk memahami, mematuhi, dan melaksanakan
sumpah jabatan pegawai, sistem dan prosedur, serta seluruh peraturan perundangan yang berlaku,
dan kesediaan dikenakan sanksi terhadap pelanggaran. Surat pernyataan kepatuhan disampaikan
sekali pada saat mulai bekerja di Bank Indonesia.
Surat pernyataan tahunan disampaikan setiap tahun pada awal tahun berjalan untuk pernyataan
tahun sebelumnya. Surat pernyataan tahunan memuat pernyataan terhadap seluruh keadaan atau
situasi yang memungkinkan timbulnya pelanggaran/ketidakpatuhan terhadap ketentuan kode etik
dan pedoman perilaku Bank Indonesia.

Setiap pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku, serta sistem dan prosedur yang
berlaku akan dikenakan sanksi disiplin. Penegakan disiplin dilakukan dengan pengenaan sanksi
ringan, sedang, dan berat, tergantung dari pelanggaran yang dilakukan pegawai.

Gratifikasi
Bank Indonesia senantiasa berkomitmen untuk memperkuat governance khususnya terkait konflik
kepentingan dalam pelaksanaan tugas. Salah satu konflik kepentingan yang menjadi perhatian
Bank Indonesia adalah terkait dengan penerimaan/pemberian hadiah (gratifikasi). Penerimaan
hadiah yang terkait dengan tugas dan jabatan merupakan jembatan terjadinya konflik kepentingan
yang merugikan kepentingan lembaga dan merupakan sumber korupsi yang meruntuhkan
kredibilitas lembaga dan merugikan negara.

Untuk itu, penting dilakukan pengaturan terhadap gratifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan
internal Bank Indonesia mengenai kode etik dan pedoman perilaku Bank Indonesia, serta
ketentuan mengenai pengendalian gratifikasi.

Ketentuan internal mengenai pengendalian gratifikasi mengatur secara rinci mekanisme


penanganan penerimaan hadiah yang patut diduga ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri
dan/atau orang lain melalui penggunaan wewenang yang dapat mempengaruhi netralitas dan
kualitas keputusan dan/atau tindakan sebagai Pegawai Bank Indonesia.

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, pegawai wajib menolak hadiah yang diduga diberikan
karena jabatan. Dalam hal penerimaan hadiah tidak dapat ditolak karena keadaan memaksa atau
diterima oleh keluarga, pegawai wajib berupaya untuk segera mengembalikan hadiah kepada pihak
pemberi dan menginformasikan mengenai aturan larangan penerimaan hadiah di Bank Indonesia.
Untuk memastikan terjaganya komitmen insan Bank Indonesia dalam penerimaan gratifikasi,
Bank Indonesia memiliki ketentuan yang mengatur mengenai prosedur pengendalian gratifikasi.
Dalam penegakannya, telah dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi yang akan menangani
pelaporan penerimaan gratifikasi dari pegawai dan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) atas adanya pelaporan gratifikasi tersebut.

Whistleblowing System
Bank Indonesia telah menerapkan sistem pelaporan pelanggaran melalui Whistleblowing
System (WBS) Bank Indonesia yang melengkapi infrastruktur etik dan mendeteksi adanya
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. WBS adalah sarana pelaporan bagi kalangan internal
Bank Indonesia khususnya dan masyarakat untuk melaporkan adanya perilaku atau tindakan yang
melanggar Kode Etik dan Perilaku Bank Indonesia yang dilakukan oleh insan Bank Indonesia.

WBS menyediakan sistem yang terkoordinasi dan terintegrasi mulai dari penerimaan laporan
hingga tindak lanjut penegakan dugaan pelanggaran. Melalui sistem tersebut, masyarakat dapat
melaporkan dugaan pelanggaran etik, perilaku, dan prosedur kerja yang dilakukan oleh insan Bank
Indonesia sebagai bentuk kontrol sosial.

Setiap laporan akan dijaga kerahasiannya dan jika terdapat bukti yang cukup, maka akan
ditindaklanjuti pada proses investigasi selanjutnya. Keberadaan WBS menciptakan sistem saling
mengawasi terhadap kesesuaian perilaku dan ketaatan prosedur kerja yang dilaksanakan oleh insan
Bank Indonesia. WBS juga sebagai bentuk komitmen BI untuk senantiasa menjaga integritas dan
profesionalitas, termasuk akuntabilitas dalam penegakan dugaan pelanggaran.

Laporan Harta kekayaan Penyelenggara Negara


Sebagai bagian dari upaya mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme, Bank Indonesia mewajibkan pimpinan dan pegawai Bank Indonesia untuk
menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kewajiban pelaporan harta kekayaan ini merupakan infrastruktur yang digunakan untuk mencegah
potensi terjadinya penyalahgunaan jabatan dan kewenangan, menanamkan kejujuran dan
integritas, serta keterbukaan di kalangan penyelenggara negara dan komitmen untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih di seluruh jenjang organisasi.

Yang diwajibkan melaporkan tidak hanya terbatas pada Dewan Gubernur, namun mencakup
pegawai dengan pangkat asisten manajer ke atas, serta pegawai dengan pangkat staf yang memiliki
tugas yang berhubungan langsung dengan pihak eksternal misal pada bidang perizinan, pengadaan,
penerimaan pegawai, perkasan, dan pengelolaan fisik uang.

Sejalan dengan kewajiban yang diamanatkan dalam undang-undang, penyampaian LHKPN


dilakukan setelah pengangkatan pertama kali sebagai pegawai, dan diperbarui setiap 1 tahun dari
penyampaian LHKPN sebelumnya. Sebelum memasuki batas usia pensiun, pegawai kembali
diwajibkan untuk menyampaikan LHKPN.

Untuk menjaga komitmen dan memastikan penerapan kewajiban tersebut, penyampaian LHKPN
oleh pegawai menjadi salah satu syarat dalam proses promosi. Pelanggaran terhadap kewajiban
tersebut juga menjadi objek penegakan disiplin Bank Indonesia.

Governance Structure
Proses Perumusan Kebijakan
Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan peraturan/kebijakan perlu memastikan proses
perumusan kebijakan dilakukan melalui prosedur dan mekanisme yang terstruktur dan sistematis
guna menghasilkan output kebijakan yang kredibel dan memenuhi prinsip akuntablitas publik.
Untuk meningkatkan kualitas kebijakan, perumusan kebijakan harus memenuhi prinsip-prinsip
yakni: (i) berdasarkan riset, (ii) berorientasi ke depan, (iii) tata kelola yang baik, (iv)
mempertimbangkan dampak antar kebijakan, dan (v) memperhatikan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Untuk memastikan proses perumusan kebijakan di Bank Indonesia telah dilaksanakan secara
sistematis, Bank Indonesia menetapkan kerangka kerja kebijakan yang terintegrasi antara
kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, serta
dukungan kebijakan ekonomi daerah dan kebijakan internasional. Terkait proses perumusan
kebijakan, peningkatan fokus pada aspek governance diharapkan dapat menghasilkan kebijakan
Bank Indonesia yang lebih efektif, kredibel, dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik.
Di samping itu, proses perumusan kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk meningkatkan
kredibilitas pengaturan/kebijakan yang dihasilkan. Guna meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan, dibuka kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan terhadap rumusan pengaturan. Hal tersebut diharapkan dapat menjembatani
komunikasi kebijakan di awal dan meningkatkan efektivitas dalam implementasi kebijakan ke
depan.
Proses Pengambilan Keputusan
Proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di Bank Indonesia dilaksanakan melalui
prosedur dan mekanisme yang terstruktur dan sistematis untuk meningkatkan kredibilitas
kebijakan, menciptakan mekanisme checks and balances, dan memastikan termitigasinya risiko
(rule making rules).

Pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan:


1. Kepentingan umum.
2. Tujuan yang hendak dicapai.
3. Azas manfaat.
4. Hasil asesmen/kajian yang matang.
5. Risiko dan mitigasinya.
6. Kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana amanat Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Rapat Dewan Gubernur (RDG)
merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di Bank Indonesia. Melalui forum ini, Dewan
Gubernur menetapkan atau melakukan evaluasi kebijakan yang bersifat prinsipil dan strategis.
RDG dilaksanakan berdasarkan prinsip musyawarah demi mufakat. Apabila mufakat tidak
tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir. Untuk menjaga tata kelola pengambilan
keputusan, RDG diselenggarakan apabila telah kuorum yakni dihadiri oleh separuh atau lebih
jumlah Anggota Dewan Gubernur.

Guna meningkatkan efektivitas proses pengambilan keputusan dalam RDG, materi yang diajukan
harus dikaji dan dibahas secara matang dalam forum pembahasan/koordinasi antar satuan kerja,
rapat bidang, dan/atau rapat komite. Di Bank Indonesia, terdapat 5 komite yakni:
1. Komite kebijakan moneter.
2. Komite kebijakan stabilitas sistem keuangan.
3. Komite kebijakan sistem pembayaran.
4. Komite pengelolaan cadangan devisa.
5. Komite sumber daya manusia.

Tujuan dari komite ini adalah memastikan rekomendasi atas usulan kebijakan prinsipil dan
strategis yang diajukan kepada Dewan Gubernur telah dilakukan berdasarkan analisis dan
pembahasan yang mendalam dengan mempertimbangkan aspek risiko dan mitigasinya, serta aspek
tata kelola yang baik.

Penyelenggaraan RDG terdiri atas RDG Bulanan dan RDG Mingguan. RDG Bulanan merupakan
RDG yang diselenggarakan paling kurang 1 kali dalam sebulan. Untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan, sejak 2016, pelaksanaan RDG Bulanan dilakukan dalam waktu 2 hari
berturut-turut.

RDG Bulanan hari pertama memiliki agenda pemaparan hasil asesmen terhadap kondisi
perekonomian dan outlook kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem
pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, dan membahas serta mengintegrasikan opsi bauran
kebijakan. Selanjutnya, RDG Bulanan hari kedua membahas rekomendasi dan menetapkan
kebijakan umum di bidang moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan
uang Rupiah.

Sedangkan RDG Mingguan diselenggarakan paling kurang 1 kali dalam seminggu untuk
melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter, perkembangan stabilitas sistem
keuangan, perkembangan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah dan/atau menetapkan
kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank
Indonesia.

Sebagai bentuk transparansi kebijakan kepada stakeholders, keputusan yang ditetapkan dalam
RDG Bulanan disampaikan kepada masyarakat pada hari yang sama dengan penyelenggaraan
RDG guna membangun ekspektasi positif stakeholders. Di samping itu, Bank Indonesia juga
mempublikasikan jadwal RDG Bulanan selama satu tahun ke depan, sebelum berakhirnya tahun
berjalan.

Pengawasan Terhadap Bank Indonesia


Fungsi pengawasan terhadap Bank Indonesia tidak terlepas dari kedudukan Bank Indonesia
sebagai lembaga publik yang independen dalam tatanan kenegaraan Indonesia. Hal tersebut
diperlukan untuk mewujudkan akuntabilitas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia
kepada publik.

Undang-Undang tentang Bank Indonesia menuntut adanya akuntabilitas dan transparansi dalam
setiap pelaksanaan tugas, wewenang, dan anggaran Bank Indonesia. Akuntabilitas dan
transparansi yang dituntut dari Bank Indonesia tersebut dimaksudkan agar semua pihak yang
berkepentingan dapat ikut melakukan pengawasan terhadap setiap langkah kebijakan yang
ditempuh oleh Bank Indonesia (checks and balances).

Sesuai amanat Undang-Undang, DPR merupakan pihak yang diberikan kewenangan secara
konstitusi untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga negara lain, termasuk Bank
Indonesia. Sesuai hakikatnya, kontrol legislatif ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pembuatan keputusan melalui peningkatan respons terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat,
mengawasi penyalahgunaan kekuasaan Pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja
lembaga negara.

Untuk membantu DPR melakukan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia,
maka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia, dibentuk Badan
Supervisi Bank Indonesia (BSBI). BSBI dibentuk berdasarkan Undang-Undang tentang Bank
Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada DPR-RI, serta tidak berada dalam struktur
organisasi Bank Indonesia. BSBI menyampaikan hasil telaahannya terkait dengan kegiatan
operasional dan keuangan Bank Indonesia kepada DPR-RI setiap triwulan, dan tidak mengevaluasi
kinerja Dewan Gubernur Bank Indonesia. Keberadaan BSBI diharapkan memperkuat fungsi
pengawasan DPR-RI terhadap Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan akuntabilitas,
independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia.

Bank Indonesia wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia
kepada DPR-RI dan Pemerintah secara triwulanan dan tahunan sesuai dengan amanat Undang-
Undang tentang Bank Indonesia. Diseminasi laporan tersebut juga dilakukan kepada masyarakat
melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam berita negara. Laporan
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia dapat diakses di laporan kepada DPR.

Di bidang keuangan Bank Indonesia, mekanisme checks and balances menjadi hal yang penting.
Hal ini mengingat Bank Indonesia memiliki keistimewaan sebagai lembaga independen yang
melakukan pengelolaan anggaran yang terpisah dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara.
Terkait dengan transparansi anggaran, Bank Indonesia berkewajiban menyampaikan anggaran
tahunannya kepada DPR yang meliputi anggaran untuk kegiatan operasional dan anggaran untuk
kebijakan. Dalam penyampaian anggaran tersebut, Bank Indonesia juga menyampaikan evaluasi
terkait penggunaan anggaran tahun berjalan dalam bentuk Laporan Evaluasi Pelaksanaan
Anggaran Operasional dan Rencana Investasi Bank Indonesia.

Pengawasan terhadap Bank Indonesia dari sisi keuangan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan
terhadap Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia (LKTBI) oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK-RI). Hasil audit BPK-RI tersebut disampaikan kepada DPR-RI dan diumumkan kepada
masyarakat melalui media massa. Adapun dalam penyusunan dan pemeriksaan LKTBI, Bank
Indonesia dan BPK-RI mengacu pada standar akuntansi bank sentral sebagaimana
direkomendasikan oleh Komite Akuntansi dan Keuangan Bank Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan LKTBI, Bank Indonesia telah memperoleh opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dari BPK-RI sejak tahun 2003. Pencapaian terebut tidak lepas dari upaya
Bank Indonesia yang senantiasa menindaklanjuti temuan audit yang disampaikan BPK-RI. Hal ini
menunjukkan kesungguhan dan komitmen pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang transparan dan
akuntabel. Selanjutnya, Bank Indonesia mempublikasikan laporan keuangan tahunannya kepada
publik setelah hasil pelaksanaan audit BPK-RI disampaikan kepada Bank Indonesia

Di samping melakukan audit terhadap LKTBI, BPK-RI dapat melakukan pemeriksaan khusus
terhadap Bank Indonesia atas permintaan DPR-RI apabila diperlukan. Pemeriksaan khusus atas
permintaan DPR-RI terhadap Bank Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam
mengenai suatu permasalahan atau suatu kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dan pelaksanaan anggaran oleh Bank Indonesia.

Dengan proses audit ini diharapkan dapat mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dengan
pengelolaan keuangan dan pelaksanaan anggaran yang tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.

Governance Process
Proses Perumusan Kebijakan
Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan peraturan/kebijakan perlu memastikan proses
perumusan kebijakan dilakukan melalui prosedur dan mekanisme yang terstruktur dan sistematis
guna menghasilkan output kebijakan yang kredibel dan memenuhi prinsip akuntablitas publik.
Untuk meningkatkan kualitas kebijakan, perumusan kebijakan harus memenuhi prinsip-prinsip
yakni: (i) berdasarkan riset, (ii) berorientasi ke depan, (iii) tata kelola yang baik, (iv)
mempertimbangkan dampak antar kebijakan, dan (v) memperhatikan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Untuk memastikan proses perumusan kebijakan di Bank Indonesia telah dilaksanakan secara
sistematis, Bank Indonesia menetapkan kerangka kerja kebijakan yang terintegrasi antara
kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, serta
dukungan kebijakan ekonomi daerah dan kebijakan internasional. Terkait proses perumusan
kebijakan, peningkatan fokus pada aspek governance diharapkan dapat menghasilkan kebijakan
Bank Indonesia yang lebih efektif, kredibel, dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik.
Di samping itu, proses perumusan kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk meningkatkan
kredibilitas pengaturan/kebijakan yang dihasilkan. Guna meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan, dibuka kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan terhadap rumusan pengaturan. Hal tersebut diharapkan dapat menjembatani
komunikasi kebijakan di awal dan meningkatkan efektivitas dalam implementasi kebijakan ke
depan.

Status dan Kedudukan


Lembaga negara yang independent
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga
negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-
undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas
dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak
dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga
berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak
manapun juga.

Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.

Sebagai Badan Hukum


Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan
dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan
peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat
seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata,
Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
Tujuan dan Tugas
Tujuan Tunggal
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai
stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas
Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini
dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas
tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak
akan dapat diukur dengan mudah.

Tiga Pilar Utama

Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga
bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Berikut tugas dan
fungsi Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar.

B. Fungsi Utama
Bank Indonesia berkomitmen untuk senantiasa mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah melalui pengelolaan bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem
Keuangan. Pengelolaan ketiga bidang tersebut diimplementasikan melalui kebijakan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan dioperasikan melalui berbagai instrumen yang sesuai
dengan bidang tugas terkait. Ketahui lebih lanjut mengenai kebijakan serta indikator
perekonomian Indonesia pada masing-masing bidang tugas Bank Indonesia melalui menu
berikut.

1. Moneter
Tujuan Kebijakan Moneter

Tujuan utama kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah untuk mencapai
stabilitas nilai Rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, serta turut menjaga stabilitas
sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagaimana
tercantum dalam pada pasal 7 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan. Dimana yang dimaksud dengan "stabilitas nilai Rupiah" adalah kestabilan harga
barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah.

Konsep stabilitas nilai Rupiah mencakup kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah.
Kestabilan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Sementara itu, kestabilan nilai tukar Rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang
negara lain. Kestabilan nilai Rupiah dalam artian inflasi yang rendah, dan stabil, serta kestabilan
nilai tukar Rupiah sangat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter
yang disebut Inflation Targeting Framework (ITF) sejak 1 Juli 2005. Dalam kerangka tersebut,
inflasi menjadi sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia terus melakukan
penyempurnaan kebijakan moneter guna memperkuat efektivitasnya. Hal ini dilakukan agar Bank
Indonesia dapat menangani dinamika dan tantangan perekonomian yang terus berubah. Sebagai
lembaga yang mengatur kebijakan moneter di Indonesia, Bank Indonesia memiliki peran penting
dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kerangka Kebijakan Moneter

Kerangka kebijakan moneter meliputi strategi kebijakan moneter dan implementasi kebijakan
moneter. Kerangka kerja kebijakan moneter yang diimplementasikan oleh Bank Indonesia
adalah Inflation Targeting Framework (ITF). ITF adalah suatu kerangka kerja (framework)
kebijakan moneter mengenai kisaran target sasaran inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode kedepan serta diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan
akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan
sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga pasar uang antarbank untuk jangka
waktu overnight di Indonesia - IndONIA (Indonesia Overnight Index Average) sebagai sasaran
operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara resmi sejak 1 Juli 2005.

Dengan menetapkan sasaran inflasi yang eksplisit dan diumumkan secara transparan, Bank
Indonesia memberikan sinyal kepada masyarakat dan pelaku pasar mengenai komitmen bank
sentral dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat kepercayaan publik. Selain itu, dengan
menerapkan kerangka kerja yang konsisten dan transparan, Bank Indonesia juga meningkatkan
akuntabilitasnya dalam menjalankan kebijakan moneter. Pengalaman krisis keuangan global
2008/2009 mengajarkan pentingnya fleksibilitas bagi bank sentral dalam merespons
perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat
dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan pengalaman tersebut, Bank Indonesia
Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.

Flexible ITF

Flexible ITF adalah pengembangan dari kerangka kerja kebijakan moneter ITF yang dibangun
dengan tetap mempertahankan elemen-elemen penting ITF. Flexible ITF merupakan kebijakan
bank sentral yang memperkuat peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara
terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. Kerangka Flexible ITF dibangun
berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:

1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan
dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
3. Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian
inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.

Mengapa Flexible ITF

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya
mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF
secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan
targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan sistem
keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan dan
dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini menyadarkan
pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Penerapan ITF
untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi kecukupan
(necessary but not sufficient). Pasca krisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut
untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada
dalam kondisi stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan.

Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus didukung dengan kerangka pengaturan di sektor
keuangan secara makro (macroprudential regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia
memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam
menjaga stabilitas harga dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan.

Mengapa Flexible ITF diterapkan.


Flexible ITF adalah kebijakan bank sentral yang memperkuat peran bank sentral dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. Dimana
Penerapan Flexible ITF dilakukan melalui ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan kerangka
stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan instrumen bauran kebijakan moneter,
makroprudensial, nilai tukar, aliran modal, dan penguatan kelembagaan untuk mengoptimalkan
peran koordinasi dan komunikasi kebijakan.
Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia mengumumkan
sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah
berkoordinasi dengan bank sentral untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan
(PMK), dan setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih
sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan berbagai informasi yang tersedia untuk
menggambarkan kondisi inflasi ke depan sebagai basis kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini
merupakan implikasi dari adanya efek tunda/time lag kebijakan moneter sehingga target dalam
pelaksanaan kebijakaan moneter didasarkan pada perkiraan inflasi ke depan. Upaya pencapaian
target tersebut dilakukan melalui respons bauran kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek
transparansi dan akuntabilitas.
Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank
Indonesia menetapkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai suku bunga kebijakan
yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai
dengan sasaran. Penggunaan BI7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari
reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sebelumnya, Bank Indonesia
menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara dengan dengan instrumen moneter
12 bulan.
Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek
yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi
kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya. Reformulasi kebijakan
moneter memiliki tiga tujuan utama yaitu:

1. Memperkuat sinyal arah kebijakan moneter.


2. Memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada
pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan.
3. Mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur
suku bunga di pasar uang antarbank untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.

Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip.

1. Reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap
menerapkan Flexible ITF.
2. Reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter yang sedang ditempuh.
3. Reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di instrumen moneter dan dapat
ditransaksikan dengan Bank Indonesia.
4. Penentuan suku bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi
oleh suku bunga kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak
mengubah stance kebijakan moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI
7DRR berada dalam satu struktur suku bunga (term structure) yang sama dalam
mengarahkan inflasi agar sesuai dengan sasarannya.

Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, terutama
dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah fokus untuk menjaga keterjangkauan harga,
ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, serta komunikasi efektif untuk menjaga stabilitas
harga pangan dan mengendalikan inflasi. Koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam
pengendalian inflasi diwujudkan melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) yang aktif di
tingkat pusat dan daerah. Sedangkan, dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan, Bank
Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Langkah
koordinasi dan rekomendasi diberikan untuk memantau serta memelihara stabilitas sistem
keuangan secara terus-menerus.

Transmisi Kebijakan Moneter

Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah,
yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan
tersebut, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR) sebagai instrumen utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian
dengan tujuan akhir mencapai sasaran inflasi. Namun, dalam proses transmisi kebijakan moneter
tersebut, terdapat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran inflasi melalui
berbagai channel dan memerlukan waktu (time lag). Setiap channel transmisi kebijakan moneter
memiliki time lag yang berbeda-beda.

Pada kondisi normal, perbankan akan merespons kenaikan atau penurunan BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR) dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga perbankan. Namun, jika
perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, maka respons perbankan terhadap
penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan lebih lambat. Sebaliknya,
jika perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku
bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan
penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu
direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat jika prospek perekonomian
sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor
keuangan dan perbankan, serta sektor riil.
Transmisi kebijakan moneter pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR 7DRR akan
memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Bank Indonesia dapat
menerapkan kebijakan moneter yang ketat dengan menaikkan suku bunga yang berdampak pada
permintaan agregat sehingga akan menurunkan tekanan inflasi. Sebaliknya, penurunan BI 7DRR
akan menurunkan suku bunga kredit sehingga meningkatkan permintaan kredit dari perusahaan
dan rumah tangga. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan
untuk investasi. Hal tersebut meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi, dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.

Transmisi kebijakan pada jalur nilai tukar melalui perubahan suku bunga BI 7DRR akan
mempengaruhi nilai tukar. Jika BI 7DRR naik, maka akan meningkatkan selisih antara suku bunga
di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri. Hal tersebut akan mendorong investor asing untuk
menanamkan modalnya ke instrumen keuangan di Indonesia, karena mereka bisa mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal asing tersebut kemudian akan mendorong
apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi nilai tukar Rupiah membuat harga barang impor menjadi
lebih murah, sementara harga barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang
kompetitif, sehingga dapat mendorong impor dan mengurangi ekspor. Adanya apresiasi rupiah
kemudian akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.

Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan
harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi, sehingga
mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan
mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Hal ini akan
mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi.

Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi publik
terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas ekonomi dan
pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan
meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada
konsumen melalui kenaikan harga.

Transparansi dan Akuntabilitas

Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah beberapa kali
terakhir dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
pada pasal 4 ayat 2 tertera bahwa Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/ atau
pihak lain, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang
tersebut.

Namun, Independensi Bank Indonesia harus disertai dengan transparansi dan akuntabilitas.
Pengaturan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia makin dipertegas sebagaimana tertuang
dalam UU tersebut pasal 58 bahwa Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan kinerja
kelembagaan dalam menjalankan Undang-undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
Laporan yang disampaikan terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan. Bagian laporan
tersebut juga disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa mencantumkan
ringkasannya dalam Berita Negara. Setiap awal tahun anggaran, Bank Indonesia wajib
menyampaikan informasi kepada masyrakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Bank Indoensia pada tahun sebelumnya serta rencana
kebijakan dan penetapan sasaran Bank Indonesia untuk tahun yang akan datang.

Terkait anggaran, Bank Indonesia menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan
kepada Presiden dan DPR. Bank Indonesia menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan
paling lambat 30 hari setelah tahun anggaran berakhir dan menyampaikan laporan keuangan
tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk diperiksa paling lambat 7 hari setelah laporan
tersebut selesai disusun. Bank Indonesia wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Bank
Indonesia kepada publik melalui media massa.

Komunikasi Kebijakan Moneter

Komunikasi kebijakan moneter Bank Indonesia merupakan cara Bank Indonesia berkomunikasi
kepada masyarakat mengenai kondisi perekonomian saat ini, kebijakan yang diterapkan, serta
proyeksi dan arah kebijakan kedepan. Tujuannya adalah memengaruhi ekspektasi dan perilaku
masyarakat dalam kegiatan konsumsi, produksi, dan investasi, serta mengurangi ketidakpastian ke
depan.
Bank Indonesia melakukan komunikasi kebijakan moneter melalui berbagai media antara lain:

• Siaran Pers dan Konferensi Pers


• Publikasi Publikasi antara lain berupa Laporan Perekonomian Indonesia, Laporan
Kebijakan Moneter, Tinjauan Kebijakan Moneter.
• Website Bank Indonesia
• Talkshow di radio dan televisi
• Seminar/Diskusi dengan stakeholders
• Diseminasi di daerah

Komunikasi kebijakan moneter yang efektif sangat penting karena dapat memengaruhi ekspektasi
masyarakat, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kegiatan perekonomian riil, termasuk harga
barang dan harga aset yang merupakan target bank sentral. Oleh karena itu, komunikasi kebijakan
moneter merupakan alat atau toolkit yang penting dalam pengelolaan ekspektasi masyarakat.
Koordinasi Pengendalian Inflasi

Pengendalian inflasi sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Inflasi yang stabil dan
rendah sangat diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan
kebijakan makro. Namun, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang
dapat dikelola oleh Bank Indonesia, tetapi juga berasal dari sisi penawaran, yaitu berkaitan dengan
produksi dan distribusi barang.

Selain itu, tekanan terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait dengan
barang-barang yang termasuk ke dalam kelompok administered price (kelompok barang yang
harganya diatur oleh Pemerintah) seperti harga BBM dan komoditas energi lainnya. Sehingga,
untuk dapat mencapai tujuan kebijakan makro, maka diperlukan bauran kebijakan yang
komprehensif dan terintegrasi.

Oleh karena itu, dalam pengendalian inflasi, Bank Indonesia dan Pemerintah bekerja sama dengan
membentuk Tim Pengendalian Inflasi (TPI). TPI di level pusat terbentuk sejak tahun 2005,
kemudian diperkuat dengan pembentukan TPI di level daerah sejak tahun 2008. Kerja sama
tersebut sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi baik dalam lingkup nasional maupun daerah.
Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola ekspektasi inflasi, serta pengelolaan penawaran
diantaranya pengelolaan terhadap pasokan, distribusi barang, konektivitas, rantai perdagangan,
dan subsidi.

Koordinasi pengendalian inflasi diperkuat dengan landasan hukum berupa Perpres No.23/2017
tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN). Ada tiga tim yang terbentuk dari TPIN, yaitu
Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, dan
TPID Kabupaten/Kota. Tim Pengendalian Inflasi Daerah atau TPID merupakan tim yang bertugas
memantau dan menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan inflasi khususnya di
didaerah.

Produk turunan dari dasar hukum ini selanjutnya ditindaklanjuti melalui penerbitan Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.10 Tahun 2017 tentang Mekanisme dan Tata Kerja
TPIP, TPID Provinsi, dan TPID Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian No.148 tahun 2017 tentang Tugas dan Keanggotaan Kelompok Kerja dan
Sekretariat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.500.05-8135 Tahun 2017.

Program pengendalian inflasi difokuskan pada 4K, yaitu Keterjangkauan harga, Ketersediaan
pasokan, Kelancaran distribusi, dan Komunikasi efektif. Bank Indonesia bersama dengan TPIP &
TPID terus berkomitmen dalam menjaga terkendalinya inflasi nasional, termasuk dalam Gerakan
Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
a. Inflasi

Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu
tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia. BPS melakukan
survei untuk mengumpulkan data harga dari berbagai macam barang dan jasa yang dianggap
mewakili belanja konsumsi masyarakat. Data tersebut kemudian digunakan untuk menghitung
tingkat inflasi dengan membandingkan harga-harga saat ini dengan periode sebelumnya.
Pengukuran IHK
IHK adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi. Berdasarkan the
Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP) 2018, IHK dikelompokkan ke
dalam 11 (sebelas) kelompok pengeluaran, yaitu

1. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau;


2. Kelompok pakaian dan alas kaki;
3. Kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga;
4. Kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga;
5. Kelompok kesehatan;
6. Kelompok transportasi;
7. Kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan;
8. Kelompok rekreasi, olahraga dan budaya;
9. Kelompok pendidikan;
10. Kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran dan
11. Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya.

Disagregasi Inflasi
Selain pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi
berdasarkan pengelompokan lain yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi
dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang
bersifat fundamental.

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung stabil atau persisten (persistent
component) dalam pergerakannya dan dipengaruhi faktor fundamental. Faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi inti meliputi:
o Interaksi permintaan-penawaran
o Lingkungan eksternal, seperti: nilai tukar, harga komoditi internasional, dan
perkembangan ekonomi global
o Ekspektasi inflasi di masa depan.
2. Inflasi non-inti yaitu komponen inflasi yang cenderung memiliki volatilitas yang tinggi
karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:
o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi
oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan
alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
komoditas pangan internasional.
o Inflasi Komponen Harga yang Diatur oleh Pemerintah (Administered Prices):
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan
sejenisnya.

Penyebab Inflasi
Penyebab inflasi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut.
1. 1. Tekanan dari sisi penawaran (Cost Push Inflation) : Terjadi ketika inflasi disebabkan
oleh tekanan dari sisi penawaran atau peningkatan biaya produksi.
Beberapa faktor penyebabnya meliputi:

o Depresiasi nilai tukar: Jika mata uang suatu negara mengalami depresiasi terhadap
mata uang asing, harga impor akan naik, sehingga meningkatkan biaya produksi
dan akhirnya mendorong inflasi.
o Dampak inflasi luar negeri: Inflasi di negara mitra dagang atau di pasar global dapat
berdampak pada harga-harga impor, yang dapat meningkatkan biaya produksi di
dalam negeri.
o Peningkatan harga komoditas yang diatur Pemerintah: Jika Pemerintah mengatur
harga komoditas yang penting, kenaikan harga tersebut dapat menyebabkan
peningkatan biaya produksi secara umum.
o Negative supply shocks : Bencana alam atau gangguan dalam distribusi barang dan
jasa dapat mengurangi penawaran, yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga
2. 2. Tekanan dari sisi permintaan (Demand Pull Inflation): Terjadi ketika inflasi disebabkan
oleh tekanan dari sisi permintaan atau meningkatnya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand)
lebih besar dari pada kapasitas perekonomian hal tersebut dapat mendorong kenaikan
harga.
3. 3. Ekspektasi Inflasi: Ekspektasi inflasi adalah faktor yang dipengaruhi oleh persepsi dan
harapan masyarakat serta pelaku ekonomi terhadap tingkat inflasi di masa depan. Faktor
ini dapat mempengaruhi keputusan konsumen, investor, dan pelaku ekonomi lainnya.

Ada dua jenis ekspektasi inflasi:

o Ekspektasi inflasi adaptif: Ekspektasi inflasi yang didasarkan pada pengalaman


masa lalu atau data historis.
o Ekspektasi inflasi forward-looking: Ekspektasi inflasi yang didasarkan pada
analisis dan perkiraan terhadap faktor-faktor ekonomi dan kebijakan yang
mempengaruhi inflasi di masa depan.

Pentingnya Kestabilan Harga


Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun
sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama
orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian
(uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris
menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam
melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat
memberikan tekanan pada nilai Rupiah. Keempat, kestabilan harga memiliki peran penting dalam
mendukung upaya menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sasaran Inflasi
Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia
yaitu mencapai stabilitas nilai Rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut
menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Stabilitas nilai Rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang
terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada
perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan ini
dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh Bank Indonesia serta batas-batas
tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak
akan dapat diukur dengan mudah. Dalam upaya pencapaian tujuannya, Bank Indonesia menyadari
bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk
mencapai hasil yang optimal dan berkesinambungan dalam jangka panjang.
Pengendalian Inflasi
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari
sisi permintaan agregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan
moneter tidak ditujukan untuk merespons kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang
bersifat kejutan dan bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring
dengan berjalannya waktu.
Sementara itu, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun
yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen
atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor
penawaran dan kejutan diwakili oleh kelompok Volatile Food dan Administered Prices yang
mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.
Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas
apabila terdapat kejutan yang sangat besar, seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun
2005 dan 2008, sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.
Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan
tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerja sama dan koordinasi antara
Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari
kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup
rentan terhadap kejutan-kejutan dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus
untuk permasalahan tersebut.
Dalam tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia telah diwujudkan dengan
membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di
tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan kementerian teknis
terkait di Pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Badan
Usaha Milik Negara, Sekretaris kabinet, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008, pembentukan TPI diperluas hingga
ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif
dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang
rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
berkelanjutan.
Penetapan Target Inflasi
Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang akan dicapai oleh Bank Indonesia
dengan berkoordinasi dengan Pemerintah. Dalam Perjanjian Kerja Sama antara Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan, usulan sasaran inflasi dibahas bersama dalam rapat koordinasi
tingkat kementerian dan lembaga dalam TPIP dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah untuk
kurun waktu tertentu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK
No.101/PMK.010/2021 tanggal 28 Juli 2021 tentang Sasaran Inflasi tahun 2022, tahun 2023, dan
tahun 2024, sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk tiga tahun ke depan, yaitu
periode 2022 – 2024, masing-masing sebesar 3,0%, 3,0%, dan 2,5%, dengan deviasi masing-
masing ±1%.
Angka target inflasi dapat dilihat pada situs Bank Indonesia atau situs instansi Pemerintah lainnya
seperti Kementerian Keuangan, Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, atau
Kementerian PPN/Bappenas.
b. Indikator Moneter
Indikator moneter menyediakan data/statistik moneter bulanan yang digunakan untuk mengetahui
perkembangan besaran moneter secara ringkas dan cepat. Indikator moneter terdiri dari uang
primer, posisi luar negeri bersih bank sentral, aktiva dalam negeri bersih bank sentral, serta
cadangan devisa. Kebutuhan atas data/statistik serta uraian/penjelasan moneter lain tersedia pada
Publikasi dan Statistik yang disajikan pada menu Publikasi dan menu Statistik.
c. Apa itu BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan mengimplementasikan
suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016, menggantikan BI Rate. Penguatan kerangka operasi
moneter ini merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan best
practice internasional dalam pelaksanaan operasi moneter. Kerangka operasi moneter senantiasa
disempurnakan untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan. Instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan
baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI
7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku
bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong
pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo.
Dengan penggunaan instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai suku bunga kebijakan baru,
terdapat tiga dampak utama yang diharapkan, yakni:
1. Menguatnya sinyal kebijakan moneter dengan BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR) sebagai acuan utama di pasar keuangan.
2. Meningkatnya efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada
pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan.
3. Terbentuknya pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya transaksi dan pembentukan
struktur suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk tenor 3-12 bulan.

d. Operasi Moneter

Operasi Moneter (OM) bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter yang
dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi. OM dapat dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Upaya mencapai stabilitas moneter melalui OM
dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Overnight agar
bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7-
DRR) dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar
fundamental. Untuk mengendalikan suku bunga PUAB Overnight sebagai sasaran operasional
kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah
dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. Untuk menjaga nilai tukar agar sejalan
dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan intervensi dan/atau transaksi
valas lainnya di pasar valuta asing. OM terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing
Facilities (SF).
Operasi Harian Terbuka
Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk OM secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Pelaksanaan OPT Rupiah dibagi menjadi dua yaitu
OPT absorbsi dan OPT injeksi dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas di sistem perbankan
baik konvensional maupun syariah. OPT absorbsi dilakukan untuk menyerap kelebihan likuiditas
sementara OPT injeksi dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas guna menjaga
keseimbangan kondisi likuiditas untuk mendukung pencapaian sasaran OM. OPT dapat
dilaksanakan secara reguler dan non reguler. OPT reguler adalah OPT yang dilakukan secara
terjadwal melalui lelang. Sementara itu, OPT non-reguler adalah OPT yang dapat dilaksanakan
sewaktu-waktu (fine-tune operation) untuk memperkuat pencapaian sasaran OM yang dilakukan
melalui pelaksanaan OPT reguler. BI mengumumkan rencana dan hasil lelang OPT reguler
maupun OPT non-reguler melalui website BI dan/atau sarana lain yang ditetapkan.

Standing Facilities
Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana Rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan
secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Standing Facility tersedia di setiap akhir hari
untuk bank konvensional dan bank syariah yang terdiri dari:

• Deposit Facility (DF) yang merupakan penempatan dana Rupiah oleh peserta Standing
Facilities di Bank Indonesia untuk operasi moneter yang dilakukan secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah. DF yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah
dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
• Lending Facility (LF) atau FinancingFacility (FF), dimana LF adalah penyediaan dana
Rupiah dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facility konvensional untuk operasi
moneter yang dilakukan secara konvensional, dan FF adalah penyediaan dana Rupiah dari
Bank Indonesia kepada peserta Standing Facility syariah untuk operasi moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.

Suku Bunga RRT Hasil Transaksi OM


Suku bunga RRT hasil transaksi OM merupakan rata-rata suku bunga hasil transaksi operasi
moneter yang memperhitungkan faktor suku bunga penawaran yang dimenangkan dan
pembobotan volume transaksi.

TD Valas DHE
Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan penguatan pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE)
melalui perluasan mekanisme transaksi antara Bank Indonesia dengan bank dalam bentuk pass
on transaksi bank dengan nasabah (eksportir) kepada Bank Indonesia. Kebijakan ini
diimplementasikan melalui instrumen Term Deposit Valas Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE)
untuk memfasilitasi penempatan DHE oleh eksportir di Bank Indonesia melalui appointed
bank sesuai mekanisme pasar. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Bank Indonesia
memberikan: (i) suku bunga valas yang memperhatikan tiering nominal dan tenor, (ii)
pengecualian dana dari komponen Dana Pihak Ketiga (DPK) untuk perhitungan Giro Wajib
Minimum (GWM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM); (iii) agent fee/spread kepada
bank memperhatikan tenor TD Valas DHE.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam PBI No. 7 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dan
Devisa Pembayaran Impor, eksportir SDA dapat menempatkan dana dari rekening khusus
(Reksus) DHE SDA pada instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa Term Deposit
Valas Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) melalui produk penempatan dana appointed bank.
Instrumen penempatan dimaksud dapat dimanfaatkan dalam bentuk pengalihan dari TD Valas
DHE menjadi transaksi swap Bank ke Bank Indonesia untuk kepentingan eksportir.

e. IndONIA, Compounded IndONIA, IndONIA Index dan JIBOR

IndONIA (Indonesia Overnight Index Average)


IndONIA dimaksudkan berperan sebagai benchmark rate pasar uang, yakni cerminan suku bunga
yang terjadi di pasar uang, yang dihitung secara periodik, tersedia dan dapat digunakan oleh para
pelaku pasar sebagai referensi seperti penetapan suku bunga pinjaman, penetapan harga instrumen
keuangan, dan pengukuran kinerja instrumen keuangan. IndONIA adalah indeks suku bunga atas
transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka
waktu overnight di Indonesia.

IndONIA ditetapkan berdasarkan rata-rata suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah


tanpa agunan dengan jangka waktu overnight yang dilaporkan oleh seluruh bank kepada Bank
Indonesia. Dengan demikian, IndONIA merupakan suku bunga transaksi yang terbentuk dari
transaksi pasar. Penetapan IndONIA dilakukan dengan menghitung rata-rata tertimbang
berdasarkan nilai nominal transaksi (volume-weighted average) atas seluruh data transaksi yang
dilakukan pada hari transaksi, yang dilaporkan oleh bank kepada Bank Indonesia melalui sistem
laporan harian bank umum sejak pukul 07.00 WIB s/d 18.00 WIB (dan koreksi online hingga
pukul 19.00 WIB).
IndONIA mulai dipublikasikan oleh Bank Indonesia sejak tanggal 1 Agustus 2018 pada setiap hari
kerja pukul 19.30 WIB di website Bank Indonesia. Dengan mulai dipublikasikannya IndONIA per
tanggal 1 Agustus 2018 yang terbentuk dari transaksi pasar, IndONIA diharapkan dapat
menggantikan peran JIBOR tenor overnight sebagai benchmark rate pasar uang. Per tanggal 2
Januari 2019, Bank Indonesia tidak lagi memublikasikan JIBOR tenor overnight dan diharapkan
pada saat itu kontrak-kontrak keuangan yang sebelumnya menggunakan JIBOR overnight sebagai
referensi dapat beralih ke IndONIA sebagai referensi terkini untuk tenor overnight.
Compounded IndONIA
Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan IndONIA sebagai suku bunga referensi alternatif untuk
menghitung suku bunga jangka panjang yang diantaranya dapat dilakukan dengan cara merata-
ratakan IndONIA secara majemuk, Bank Indonesia mempublikasikan Compounded
IndONIA. Compounded IndONIA adalah suku bunga yang dihitung berdasarkan rata-rata bunga
majemuk (compounded average interest) dari IndONIA selama periode tertentu.
Bank Indonesia menghitung Compounded IndONIA berdasarkan IndONIA yang dipublikasikan
di website Bank Indonesia dengan basis penghitungan jumlah hari tetap (fixed day structure), yaitu
dari IndONIA sejak awal periode bunga, sampai 1 (satu) hari sebelum tanggal
publikasi Compounded IndONIA.
Compounded IndONIA dipublikasikan untuk tenor standar 30 hari, 90 hari, 180 hari dan 360 hari
kalender di website Bank Indonesia, setiap hari kerja pukul 08.00 WIB mulai tanggal 1 Februari
2023. Penggunaan Compounded IndONIA yang dipublikasikan di website Bank Indonesia
sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.
IndONIA Index
IndONIA Index adalah indeks yang merepresentasikan nilai akumulasi dari IndONIA yang
dibungakan secara majemuk dan dihitung secara harian oleh Bank Indonesia. IndONIA Index
dihitung berdasarkan nilai IndONIA dan IndONIA Index yang dipublikasikan di website Bank
Indonesia pada hari kerja sebelumnya, dengan nilai awal indeks sebesar 1.000000000 pada tanggal
2 Januari 2019. IndONIA Index dipublikasikan di website Bank Indonesia setiap hari kerja pukul
08.00 WIB mulai tanggal 1 Februari 2023.
Pelaku pasar dapat menggunakan IndONIA Index untuk menghitung nilai Compounded
IndONIA periode/tenor tertentu. Namun harus diperhatikan bahwa nilai Compounded
IndONIA tenor standar yang dihitung menggunakan IndONIA Index dapat berbeda dengan
nilai Compounded IndONIA tenor standar yang dipublikasikan pada website Bank Indonesia
karena perbedaan metode perhitungan. Penggunaan IndONIA Index yang dipublikasikan
di website Bank Indonesia sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.
Anda dapat melihat contoh perhitungan Compounded IndONIA dan IndONIA Index di tautan
PADG No. 24/18/PADG/2022 tentang Perubahan atas PADG No. 20/19/PADG/2018 tentang
Indonesia Overnight Index Average (IndONIA) dan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR).
Panduan penggunaan IndONIA dalam penerbitan instrumen dan/atau transaksi keuangan dapat
dilihat pada tautan Panduan Penggunaan IndONIA.

JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate)


JIBOR berperan sebagai benchmark ratepasar uang. Dihitung secara periodik, JIBOR tersedia dan
dapat digunakan oleh para pelaku pasar sebagai referensi seperti penetapan suku bunga pinjaman,
penetapan harga instrumen keuangan, dan pengukuran kinerja instrumen keuangan. JIBOR adalah
rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan oleh bank kontributor
kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah di Indonesia, untuk tenor di
atas overnight.
JIBOR ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan kuotasi suku bunga indikasi pinjaman yang
ditawarkan oleh Bank Kontributor (offer rate). Disampaikan oleh Bank Kontributor kepada Bank
Indonesia dengan window timepenyampaian sejak pukul 07.00 WIB s/d 09.30 WIB (dan
koreksi online hingga pukul 09.45 WIB). Penetapan JIBOR dilakukan dengan menghitung rata-
rata sederhana (simple average) dari kuotasi yang disampaikan oleh Bank Kontributor, setelah
mengeluarkan 15% data offer rate tertinggi dan 15% data offer rateterendah.
JIBOR dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada setiap hari kerja pukul 10.00 WIB
di website Bank Indonesia. JIBOR terdiri dari tenor overnight, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan,
dan 12 bulan.
Untuk meningkatkan kredibilitas JIBOR sebagai referensi suku bunga, Bank Indonesia melakukan
sejumlah penyempurnaan. Per tanggal 2 Januari 2019, pembentukan JIBOR diatur dengan
mengacu pada data transaksi dan diterapkan dengan tata kelola yang baik, dengan harapan dapat
mencerminkan suku bunga yang terjadi di pasar. Hal ini sejalan denganglobal best practices,
terkait referensi suku bunga keuangan yang dituangkan dalam prinsip International Organization
of Securities Commissions (IOSCO) untuk referensi suku bunga keuangan (IOSCO principles for
financial benchmarks).
Peningkatan kredibilitas benchmark rate pasar uang diharapkan mampu mengurangi kompleksitas
kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi dalam penggunaan suku bunga acuan pada
surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif suku bunga rupiah, dan
untuk valuasi instrumen keuangan.
Per tanggal 2 Januari 2019, JIBOR overnight tidak lagi dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
Dengan demikian, JIBOR akan terdiri dari 5 tenor yaitu 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan
12 bulan yang dipublikasikan di website Bank Indonesia pada pukul 11.00 WIB.

f. JISDOR, Kurs Acuan Non-USD/IDR, dan Kurs Transaksi


JISDOR
JISDOR merupakan harga spot USD/IDR, yang disusun berdasarkan kurs transaksi USD/IDR
terhadap rupiah antar bank di pasar valuta asing Indonesia, melalui Sistem Monitoring Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR) di Bank Indonesia secara real time. JISDOR
dimaksudkan untuk memberikan referensi harga pasar yang representatif untuk transaksi spot
USD/IDR pasar valuta asing Indonesia. JISDOR mulai diterbitkan sejak 20 Mei 2013.

• Data JISDOR tersedia untuk setiap hari kerja, dalam hal ini tidak termasuk Sabtu, Minggu,
hari libur nasional, atau hari lain yang ditetapkan sebagai hari libur yang berakibat bank
tidak melakukan kegiatan operasi.
• Dalam hal tidak terdapat data transaksi spot antar bank selama rentang waktu yang
ditetapkan yang disebabkan oleh ketidaktersediaan data maupun kerusakan sistem, maka
JISDOR akan menampilkan kurs hari kerja sebelumnya.
• Penguatan JISDOR dilakukan sejak Senin, 5 April 2021 sebagaimana disampaikan dalam
“Keputusan dan Siaran Pers RDG Bulanan 21 Januari 2021".
• Pertanyaan dan Jawaban (FAQ) seputar implementasi penguatan JISDOR dapat dilihat
dalam halaman Tanya Jawab JISDOR.

KURS ACUAN Non-USD/IDR

• Kurs acuan non-USD/IDR adalah nilai tukar mata uang asing tertentu terhadap rupiah.
Kurs acuan non-USD/IDR dapat digunakan oleh pelaku pasar untuk penyelesaian transaksi
derivatif non-USD.
• Kurs acuan non-USD/IDR diterbitkan setiap hari pada pukul 16:30 WIB. Selama masa
pandemi Covid-19, dilakukan penyesuaian waktu operasional pasar valas domestik
sehingga kurs acuan diterbitkan pada pukul 15:30 WIB.

Kurs Transaksi BI

• Kurs Transaksi BI disajikan dalam bentuk kurs jual dan kurs beli valas terhadap rupiah,
digunakan sebagai referensi transaksi BI dengan pihak ketiga, seperti pemerintah.
• Titik tengah Kurs Transaksi BI USD/IDR mengacu pada kurs acuan (JISDOR) hari kerja
sebelumnya (H-1).
• Kurs Transaksi BI diumumkan sekali setiap hari kerja pada pukul 08.00 WIB.
• Penyesuaian publikasi Kurs Transaksi BI terkait dengan implementasi penguatan JISDOR
dipublikasikan secara efektif mulai Senin, 5 April 2021.

g. Pasar keuangan

Apa Itu Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing


Sejalan dengan upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan reformasi sektor
keuangan, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Undang-undang tersebut menguatkan
kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing. Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6 tahun 2023 tentang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Secara definisi, Pasar Uang adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan:

a. kegiatan penerbitan dan perdagangan instrumen keuangan atau efek bersifat utang yang
berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun;
b. transaksi pinjam-meminjam uang;
c. transaksi derivatif suku bunga; dan
d. transaksi lainnya yang memenuhi karakteristik di pasar uang,dalam mata uang rupiah
atau valuta asing.

Sedangkan Pasar Valuta Asing adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan
kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2 (dua) negara yang berbeda beserta
derivatifnya, tetapi tidak termasuk penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan
usaha penukaran valuta asing.

Sejalan dengan Blueprint pengembangan Pasar Uang 2025 (BPPU 2025), pengaturan,
pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing bertujuan untuk membangun
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang modern dan maju untuk mendukung efektivitas kebijakan
moneter, stabilitas Sistem Keuangan, dan sinergi pembiayaan ekonomi.
Pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dengan
didukung oleh 3 (tiga) strategi yaitu perumusan kebijakan pengembangan Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing termasuk Infrastruktur Pasar Keuangan, pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing yang inklusif dan modern serta terintegrasi dengan pengelolaan moneter, dan sinergi
kebijakan untuk mengembangkan sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan risiko.
Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing dengan cakupan produk, harga (pricing), pelaku (participants), dan
Infrastruktur Pasar Keuangan serta dengan memperhatikan kaidah internasional, dan didasarkan
atas prinsip dasar 3I (interkoneksi, interoperabilitas, dan integrasi), memperhatikan praktik
internasional, digitalisasi data dan informasi, mengintegrasikan perspektif inklusif dan keuangan
berkelanjutan, efektif, efisien, dan memenuhi tata kelola yang baik, serta melakukan sinergi dan
inovasi.
Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK)
Salah satu mandat yang diberikan kepada FK-PPPK adalah menyusun Strategi Nasional
Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK). SN-PPPK merupakan single policy
framework yang komprehensif dan terukur yang diarahkan untuk merealisasikan visi menciptakan
pasar keuangan yang dalam, likuid, efisien, inklusif, dan aman. FK-PPPK mengembangkan
kerangka (framework) dengan menggunakan pendekatan top down yang mencakup tiga pilar
utama. Ketiga pilar tersebut adalah:

1. Sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan risiko.


2. Pengembangan infrastruktur pasar.
3. Koordinasi kebijakan, harmonisasi ketentuan, dan edukasi.

Ketiga pilar tersebut dielaborasi ke dalam tujuh elemen pengembangan yang akan
diimplementasikan pada tujuh pasar keuangan, yakni pasar obligasi pemerintah, pasar obligasi
korporasi, pasar uang, pasar valas, pasar saham, pasar structured product, dan pasar keuangan
syariah.
Tahapan implementasi SN-PPPK dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase penguatan fondasi yang
berlangsung pada 2018-2019, fase percepatan yang berlangsung pada 2020-2022, dan fase
pendalaman yang berlangsung pada 2023-2024. Pada pertemuan Tim Pengarah FK-PPPK Maret
2021, fase tahapan implementasi SN-PPPK disesuaikan menjadi fase percepatan pada 2020 – 2023
dan fase pendalaman pada 2024 – 2025, mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan
strategis pasar keuangan termasuk dampak pandemi COVID 19.
Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025
Sejalan dengan visi Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-
PPPK) 2018 – 2024, yaitu mendorong pencapaian karakteristik pasar keuangan yang dalam dan
mampu bersaing di tingkat global, Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 hadir untuk
melengkapi keseluruhan inisiatif dan implementasi SN-PPPK yaitu akselerasi fase percepatan
(2020 – 2022) dan fase pendalaman (2023 – 2024) hingga akhirnya mencapai kondisi ideal
(desired state) yaitu pasar uang modern dan maju pada tahun 2025.
Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 berfokus pada tiga inisiatif, yaitu: 1) mendorong
digitalisasi dan penguatan infrastruktur pasar keuangan, 2) memperkuat efektivitas transmisi
kebijakan moneter, dan 3) mengembangkan sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan risiko.
Ketiga inisiatif ini dilakukan melalui empat belas key deliverable dengan berbagai program
pengembangan dan penguatan baik dari produk, pricing, pelaku pasar, dan infrastruktur pasar
keuangan. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan pasar yang pada akhirnya
dapat mewujudkan pasar uang modern dan maju yang ditandai dengan iklim pasar uang yang
dalam, inklusif, dan kontributif.
Dengan iklim pasar uang yang dalam, inklusif dan kontirbutif, pasar uang juga dapat berperan
untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter sehingga mendukung stabilitas
moneter dan sistem keuangan. Kondisi ini diharapkan mampu menjadikan pasar uang sebagai
katalis penyedia sumber pembiayaan guna memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Melalui
peran ini pasar uang dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi besar nasional yaitu menuju
Indonesia Maju.
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar
Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan pasar keuangan yang
kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar. Peningkatan
kompetensi dan integritas tersebut dapat diwujudkan dengan mewajibkan Pelaku Pasar untuk
memastikan Direksi dan Pegawainya memiliki Sertifikat Tresuri yang sesuai dengan bentuk
Pelaku Pasar dan jenjang jabatan, serta memastikan penerapan Kode Etik Pasar dan menjadi
anggota asosiasi profesi tresuri.
Upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar tersebut juga perlu didukung dengan
adanya Penyelenggara Sertifikasi Tresuri yang terpercaya. Penyelenggara Sertifikasi Tresuri yang
terpercaya harus dikelola dengan baik dan sesuai standar profesi yang berlaku di Indonesia,
dikelola oleh sumber daya manusia berkualitas, berpengalaman dan kredibel, serta memiliki
perangkat organisasi yang memadai.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/10/PBI/2021 tentang Pasar Uang perlu diganti untuk
menyesuaikan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Merespon penerbitan UU PPSK tersebut, Bank
Indonesia melakukan penguatan regulasi terkait pasar uang dan pasar valuta asing (regulatory
reform) yang dimulai dengan penerbitan PBI No. 6 Tahun 2023 tentang Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing (PBI PUVA) sebagai PBI payung yang menggantikan PBI No. 23/10/2021 tentang
Pasar Uang (PBI Pasar Uang). Pengaturan melalui PBI No. 6 Tahun 2023 tentang Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing (PBI PUVA) dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.
24/9/PADG/2022 tentang Penerapan Kode Etik Pasar dan Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri,
dimaksudkan untuk memberikan kejelasan atas mekanisme penerapan kode etik pasar,
keanggotaan pada asosiasi profesi tresuri, pelaksanaan sertifikasi tresuri sesuai bentuk Pelaku
Pasar dan jenjang jabatannya, kriteria penyelenggara sertifikasi tresuri yang diakui oleh Bank
Indonesia, serta kewajiban pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Penyelenggara Sertifikasi Tresuri.
Adapun ringkasan pengaturan sebagai berikut:

1. Kode etik pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar mengacu pada
kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi/komite di industri jasa keuangan, baik
konvensional maupun syariah. Kode etik tersebut harus dipahami dan diterapkan Direksi
dan Pegawai Pelaku Pasar dengan kewajiban Pelaku Pasar memiliki prosedur internal
yang memuat kode etik pasar.
2. Keharusan Pelaku Pasar memastikan Direksi dan Pegawainya menjadi anggota asosiasi
profesi sesuai prinsip usahanya, konvensional, atau syariah.
3. Pengaturan mengenai masa berlaku, perpanjangan, kesesuaian tingkatan dengan jenjang
jabatan, dan pemeliharaan dari Sertifikat Tresuri.
4. Pengaturan dan persyaratan perangkat organisasi, Skema Sertifikasi yang harus dimiliki,
dan penatausahan Sertifikat Tresuri oleh Penyelenggara Sertifikasi Tresuri yang diakui
Bank Indonesia.
5. Penyampaian pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Penyelenggara Sertifikasi Tresuri ke Bank
Indonesia.
6. Tata cara pengenaan sanksi bagi Pelaku Pasar dan Penyelenggara Sertifikasi Tresuri.

Kode Etik Pasar


Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan yang
harus dihindari dan menjadi pedoman berperilaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya.
Dalam rangka memperkuat kredibilitas pasar keuangan melalui peningkatan kompetensi dan
integritas pelaku pasar, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI Payung PBI No. 6 Tahun
2023 tentang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (PBI PUVA) dan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur No. 24/9/PADG/2022 tentang Penerapan Kode Etik Pasar dan Pelaksanaan Sertifikasi
Tresuri. Salah satu maksud diterbitkannya pengaturan ini adalah untuk menerapkan kode etik
kepada pelaku pasar di Indonesia.
Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan yang
harus dihindari yang menjadi pedoman berperilaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya. Sebagai acuan pelaku pasar dalam menerapkan etika tersebut telah
diterbitkan Market Code of Conduct: Guideline to Market Practices in the Financial Market.
Market Code of Conduct yang menjadi rujukan pelaku pasar berdasarkan prinsip konvensional
adalah “Market Code of Conduct" Edisi Keempat yang diterbitkan oleh Indonesia Foreign
Exchange Market Committee (IFEMC). Market Code of Conduct yang menjadi rujukan pelaku
pasar berdasarkan prinsip syariah adalah “Islamic Financial Market Code of Conduct" yang
diterbitkan oleh Indonesia Islamic Global Market Association (IIGMA).
Surat Pernyataan Komitmen
SURAT PERNYATAAN KOMITMEN TERHADAP KODE ETIK PASAR
Sebagaimana ketentuan tersebut di atas, “Surat Pernyataan Komitmen Terhadap Kode Etik Pasar"
merupakan bentuk komitmen dari Pelaku Pasar dalam menerapkan Kode Etik Pasar. Pelaku Pasar
dapat menyampaikan surat pernyataan komitmen berdasarkan hasil self-assesment di internal
Pelaku Pasar kepada Bank Indonesia untuk dipublikasikan kepada publik. Surat pernyataan
tersebut merupakan wujud komitmen lembaga dalam mengimplementasikan Market Code of
Conduct dalam aktivitas tresuri secara konsisten.
Dengan mengadopsi Market Code of Conduct, pelaku pasar memperoleh manfaat antara lain:

1. Meningkatkan implementasi kode etik dalam aktivitas tresuri sesuai dengan international
best market practice.
2. Menginformasikan kepada stakeholder dan investor dalam maupun luar negeri, bahwa
lembaga telah memiliki komitmen dalam melaksanakan kode etik pasar, sehingga
stakeholder akan memperoleh manfaat positif dari komitmen tersebut.
3. Memberikan keunggulan kompetitif untuk Pelaku Pasar terkait dengan efektivitas dan
perilaku dalam bertransaksi.
4. Mendukung implementasi kebijakan pengembangan pasar keuangan Indonesia melalui
upaya menciptakan pasar keuangan yang transparan, efektif, dan resilien.

h. Ekonomi dan Keuangan Syariah

a. Cetak biru pengembanag,


Sebagai bentuk konistensi Bank Indonesia dalam mendorong dan terus mengembangkan
ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia yang akan berdampak positif bagi penguatan
stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kesejahteraan masyarakat secara
b. Event Ekonomi Syariah
Bank Indonesia bekerja sama dengan stakeholder terkait senantiasa melaksanakan edukasi
dan sosialisasi sebagai bagian dari strategi utama dalam upaya pengembangan ekonomi
dan keuangan syariah. Salah satu kegiatan yang dilakukan melalui kampanye masal,
seminar, workshop, dan talkshow. Sejak tahun 2014, Bank Indonesia rutin
menyelenggarakan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF). ISEF merupakan event
tahunan yang terdiri dari dua kegiatan utama yaitu Sharia Economic Forum dan Sharia
Fair. Kegiatan forum terdiri dari seminar/workshop, sedangkan Sharia Fair merupakan
outlet bagi pelaku usaha industri halal, pesantren, lembaga keuangan, dan lembaga terkait.

2. Stabilitas Sistem keunagan


Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi sistem keuangan yang berfungsi secara efektif
dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar
negeri. Dengan terjaganya stabilitas sistem keuangan, fungsi intermediasi dan layanan jasa
keuangan lainnya di sistem keuangan dapat berjalan secara optimal untuk berkontribusi
pada pertumbuhan perekonomian nasional. Oleh karena itu, stabilitas sistem keuangan
memegang peran yang sangat penting untuk menjaga stabilitas perekonomian.

Krisis ekonomi global 2008/2009 mengajarkan kepada kita bahwa dengan semakin
menguatnya keterkaitan makrofinansial (macrofinancial-linkages), maka sistem keuangan
yang tidak berfungsi dengan baik akan menurunkan efektivitas kebijakan moneter,
mengganggu kelancaran kegiatan perekonomian, dan dapat berakibat pada perlambatan
pertumbuhan hingga kontraksi ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya stabilitas sistem
keuangan merupakan tanggung jawab bersama di antara berbagai otoritas sektor keuangan,
termasuk Bank Indonesia.

Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kepentingan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan terkait dengan fungsi sebagai Lender of Last Resort (LoLR),
yaitu otoritas yang berwenang menyediakan likuiditas pada saat krisis.

Dalam pelaksanaan mandat dan wewenang untuk menjaga SSK, Bank Indonesia memiliki
beberapa payung hukum sebagai berikut:

1. Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan


2. Undang-Undang No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan
3. Peraturan Bank Indonesia No.16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan
Makroprudensial
4. Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang.
5. Undang-Undang No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan (UU PPSK).

Berdasarkan UU Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU
P2SK), tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai Rupiah, memelihara
stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan
makroprudensial.

Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial melalui upaya


mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan
mengelola risiko sistemik; serta meningkatkan inklusi ekonomi, inklusi keuangan, dan
keuangan berkelanjutan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, UU memberikan kewenangan
kepada Bank Indonesia untuk melakukan:

1. pengaturan makroprudensial;
2. pengawasan makroprudensial, termasuk pemeriksaan dan pengenaan sanksi;
3. pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan keuangan berkelanjutan;
4. penyediaan dana untuk Bank dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last
resort;
5. reverse repo (repurchase agreement) dan/atau pembelian surat berharga negara yang
dimiliki oleh LPS pada saat LPS memerlukan likuiditas; dan
6. koordinasi dengan otoritas terkait.

Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk
turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang
seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta
mendorong inklusi ekonomi dan keuangan serta keuangan berkelanjutan.

Intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan antara lain mencerminkan


tingkat intermediasi yang sesuai dengan kapasitas perekonomian, memiliki kinerja yang
baik, dan inklusif. Sementara itu, risiko sistemik merupakan potensi instabilitas akibat
terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem
keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size); kompleksitas usaha (complexity);
keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness); serta
kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk
mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Risiko sistemik tersebut senantiasa
dikelola dan dimitigasi sebagai bagian dari upaya pencegahan krisis sistem keuangan. Di
sisi lain, inklusi ekonomi dan keuangan serta keuangan berkelanjutan juga menjadi
perhatian terkait dengan tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.

Implementasi kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical terhadap siklus


keuangan. Kebijakan makroprudensial ditetapkan dan diterapkan terhadap perbankan, baik
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan prinsip Syariah,
dengan mempertimbangkan asesmen terhadap sistem keuangan secara keseluruhan dan
keterkaitannya dengan kondisi perekonomian. Oleh karena itu, dalam rangka proses
pengambilan keputusan kebijakan makroprudensial yang kredibel, diperlukan surveilans
terhadap elemen-elemen sistem keuangan, yang mencakup sistem perbankan, industri
keuangan non-bank, korporasi non-keuangan, rumah tangga, pasar keuangan, dan
infrastruktur pasar keuangan.

Dengan semakin berkembangnya sistem keuangan, Bank Indonesia terus mengembangkan


instrumen-instrumen kebijakan makroprudensial sebagai bagian bauran kebijakan Bank
Indonesia, bersama dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Selain itu, seiring
dengan perkembangan tren perilaku finansial serta perhatian para pelaku di sektor
keuangan, maka Bank Indonesia juga terus memperkuat inovasi dan sinergi kebijakan
makroprudensial di aspek digital, inklusi keuangan, dan kebijakan berwawasan lingkungan
(green central banking / green financing).
Pengawasan Makroprudensial
Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans terhadap
sistem keuangan dan/atau pemeriksaan terhadap perbankan dan/atau pihak lainnya untuk
memastikan pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Surveilans dilakukan mulai dari
pemantauan perkembangan kondisi sistem keuangan hingga identifikasi, analisis, dan
penilaian risiko. Dalam rangka pelaksanaan surveilans ini, Bank wajib menyediakan dan
menyampaikan data dan informasi yang diperlukan, serta bertanggung jawab atas
kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

Sejak 2020, Bank Indonesia menempuh pendekatan pengawasan dengan


menggunakan Dynamic Systemic Risk Surveillance (DSRS). DSRS merupakan kerangka
surveilans risiko sistemik dari dimensi keterkaitan mikrofinansial (microfinancial
linkages) yang bersifat forward looking dan terintegrasi dengan mempertimbangkan
seluruh informasi pengawasan yang dimiliki dan dapat diakses Bank Indonesia. DSRS
dilakukan melalui asesmen terhadap risiko idiosyncratic individual bank beserta dampak
rambatan (contagion effect) yang ditimbulkan, untuk kemudian menilai eskalasi risiko
sistemik yang terjadi pada sistem keuangan.

A. Instrumen Kebijakan Makroprudensial


Insentif Makroprudensial
Insentif makroprudensial merupakan insentif yang diberikan oleh Bank Indonesia berupa
pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro Rupiah bank di Bank Indonesia yang
diberikan kepada bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas,
UMKM dan/atau memenuhi target RPIM, serta sektor hijau. Pemberian insentif tersebut
diharapkan dapat mendorong intermediasi perbankan, khususnya kepada sektor-sektor
prioritas yang belum pulih, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan kredit/pembiayaan hijau,
dalam rangka mendukung pemulihan perekonomian.

Ketentuan terkini mengenai kebijakan Insentif Makroprudensial dapat mengacu pada:

1. PBI No.24/5/PBI/2022 tentang Insentif bagi Bank yang Memberikan Penyediaan


Dana untuk Kegiatan Ekonomi Tertentu dan Inklusif.
2. PADG No.1 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur No. 24/4/PADG/2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Insentif bagi Bank
yang Memberikan Penyediaan Dana untuk Kegiatan Ekonomi Tertentu dan Inklusif
(PADG Perubahan Kedua Insentif).

RPIM
Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM)
Kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) merupakan inovasi
kebijakan untuk mendorong pertumbuhan kredit, khususnya kepada UMKM, Korporasi
UMKM, dan Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR), sehingga dapat mengakselerasi
pemulihan ekonomi serta memperkuat inklusi keuangan. RPIM adalah rasio yang
menggambarkan porsi pembiayaan inklusif bank. Pemenuhan RPIM oleh bank disesuaikan
dengan keahlian dan model bisnis masing-masing, dengan tetap menerapkan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko, serta kontribusi bank dalam meningkatkan inklusi
keuangan.

Terdapat tiga modalitas pembiayaan RPIM, yaitu:

1. pembiayaan langsung dan rantai pasok;


2. pembiayaan melalui lembaga keuangan/badan layanan; dan
3. pembiayaan melalui pembelian Surat Berharga Pembiayaan Inklusif.

Ketentuan terkini mengenai RPIM diatur pada:

1. PBI No.24/3/PBI/2022 tentang Perubahan atas PBI No.23/13/PBI/2021 tentang


ketentuan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2. PADG No.24/6/PADG/2022 tanggal 31 Mei 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan
Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (PADG RPIM).

LTV/FTV
Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV) adalah rasio antara nilai
kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Konvensional maupun Syariah
terhadap nilai agunan, berupa properti pada saat pemberian kredit/pembiayaan berdasarkan
hasil penilaian terkini. Sedangkan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor
adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai harga kendaraan
bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah.

Instrumen kebijakan Makroprudensial ini bersifat countercyclical dengan tujuan untuk


menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik.
Dalam stance kebijakan makroprudensial akomodatif, juga bertujuan untuk mendorong
fungsi intermediasi perbankan yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan, dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap menjaga stabilitas sistem
keuangan.

Ketentuan terkini mengenai Rasio LTV/FTV diatur pada:


1. PBI No.23/2/PBI/2021 tentang Perubahan Ketiga atas PBI No.20/8/PBI/2018
Tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor.
2. PADG No.24/16/PADG/2022 tentang Perubahan Keempat atas PADG
No.21/25/PADG/2019 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio
Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

CCyB
Countercyclical Capital Buffer (CCyB) adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau
pembiayaan perbankan yang berlebihan (excessive credit growth) sehingga berpotensi
mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Risiko ini terkait dengan perilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan, yakni cenderung
meningkat saat periode ekonomi ekspansi (boom) dan melambat pada periode ekonomi kontraksi
(bust). CCyB perlu diimplementasikan di Indonesia karena adanya perilaku prosiklikalitas, yang
ditunjukkan oleh antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi yang berbanding lurus.

Tambahan modal yang wajib dibentuk bank pada periode ekspansi dapat digunakan ketika bank
menghadapi tekanan saat ekonomi sedang kontraksi, sehingga keberlanjutan fungsi intermediasi
bank diharapkan tetap dapat terjaga. Besaran CCyB bersifat dinamis yaitu berkisar antara 0%
sampai 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank. Bank Indonesia melakukan
evaluasi besaran CCyB tersebut secara berkala paling kurang satu kali dalam enam bulan.

Secara umum, Bank Indonesia akan meningkatkan besaran CCyB pada saat ekonomi sedang
ekspansi, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan besaran CCyB pada saat ekonomi sedang
kontraksi. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diharapkan akan memperkuat daya tahan perbankan.

RIM dan RIM Syariah


Sebagai bagian dari Keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia April 2023 , untuk
mendorong bank-bank dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dalam rangka
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan tetap menjaga SSK, kebijakan Rasio Intermediasi
Makroprudensial/Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah (RIM/RIMS) tetap pada kisaran
84-94% dengan disinsentif berupa kewajiban giro RIM/RIMS bagi bank-bank dengan RIM/RIMS
yang tidak memenuhi batas bawah yang ditetapkan.

Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah


(RIM Syariah) merupakan instrumen makroprudensial yang ditujukan pada pengelolaan fungsi
intermediasi perbankan agar sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian serta
tetap menjaga prinsip kehati-hatian.
Kebijakan RIM dan RIM Syariah mengakomodasi adanya keberagaman bentuk intermediasi
perbankan dengan memasukkan investasi bank pada surat berharga. RIM/RIM Syariah juga
mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, sehingga dapat
mencegah dan mengurangi risiko dan perilaku perbankan yang cenderung prosiklikal. Instrumen
kebijakan Makroprudensial ini bersifat countercyclical dan dapat disesuaikan dengan perubahan
kondisi ekonomi dan keuangan.

Giro RIM/RIM Syariah adalah saldo giro dalam rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang
wajib dipelihara oleh Bank Umum Konvensional dan Unit Usaha Syariah, serta Bank Umum
Syariah untuk pemenuhan RIM/RIM Syariah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia.

PLM
Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial
Syariah (PLM Syariah) merupakan cadangan likuiditas minimum dalam Rupiah yang wajib
dipelihara oleh Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah dalam bentuk surat berharga
dalam Rupiah yang dapat digunakan dalam operasi moneter, yang besarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga bank dalam Rupiah.

PLM dan PLM Syariah juga memiliki fitur fleksibilitas, yang berarti pada kondisi tertentu surat
berharga tersebut dapat digunakan untuk transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam Operasi
Pasar Terbuka sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam Rupiah.

Kebijakan PLM/PLM Syariah diharapkan mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas serta


menjadi instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang berlaku untuk seluruh bank.
Ketentuan terkini mengenai PLM/PLM Syariah dapat dilihat pada:

1. PBI No.24/16/PBI/2022 tentang Perubahan Keempat atas PBI No.20/4/PBI/2018 tentang


Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi
Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2. PADG No.24/14/PADG/2022 tanggal 31 Oktober 2022 tentang Perubahan Kelima atas
PADG No.21/22/PADG/2019 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga
Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan
Unit Usaha Syariah.

PLJP dan PLJP Syariah


Sebagai bank sentral, Bank Indonesia secara konsisten menjalankan fungsinya sebagai Lender of
Last Resort (LoLR). Dalam kerangka LoLR, Bank Indonesia dapat memberikan Pinjaman
Likuiditas Jangka Pendek dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJP) dan Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJPS). PLJP/PLJPS ini ditujukan untuk mengatasi kesulitan
likuiditas jangka pendek yang dialami bank agar stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan
masyarakat tetap terjaga. Kesulitan likuiditas jangka pendek adalah keadaan yang dialami bank
yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar dalam rupiah yang dapat membuat bank umum tidak dapat memenuhi kewajiban GWM.
Ketentuan mengenai PLJP dapat dilihat di :

1. PBI No. 22/15/PBI/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum
Konvensional.
2. PADG No. 22/31/PADG/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank
Umum Konvensional

B. Protokol Manajemen Krisis


Peran BI dalam Manajemen Krisis

Anda mungkin juga menyukai