A. Profil
Struktur Organisasi
Governance
Dalam penerapan dan penegakan tata kelola di Bank Indonesia, diperlukan kerangka konseptual
yang mengintegrasikan seluruh elemen tata kelola (governance) yang mencakup pondasi awal,
hingga tujuan akhir yang akan dicapai. Untuk itu telah disusun kerangka kerja Tata Kelola
(governance framework) Bank Indonesia yang memuat lima elemen pokok sebagai berikut:
1. Prinsip Tata Kelola (Governance Principle) Bank Indonesia yakni prinsip-prinsip yang
melandasi penerapan dan penegakan tata kelola Bank Indonesia.
2. Komitmen Tata Kelola (Governance Committment) Bank Indonesia yakni komitmen
Dewan Gubernur dan pegawai Bank Indonesia untuk menerapkan dan menegakkan Tata
Kelola Bank Indonesia.
3. Struktur Tata Kelola (Governance Structure) Bank Indonesia yakni desain mengenai
fungsi pelaksanaan tugas dan wewenang, serta fungsi pengawasan terhadap Bank
Indonesia.
4. Proses Tata Kelola (Governance Process) Bank Indonesia yakni serangkaian standar dan
prosedur yang digunakan oleh Anggota Dewan Gubernur dan pegawai Bank Indonesia
untuk memastikan penerapan dan penegakan Tata Kelola Bank Indonesia telah
dilaksanakan secara terencana, konsekuen, dan berkelanjutan.
5. Hasil Tata Kelola (Governance Outcome) Bank Indonesia yakni perwujudan dari
penerapan dan penegakan Tata Kelola Bank Indonesia dalam bentuk pencapaian
kredibilitas Bank Indonesia.
Dengan adanya kerangka kerja secara utuh dan menyeluruh tersebut, diharapkan akan
mempermudah komunikasi dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal dalam
menjelaskan Tata Kelola Bank Indonesia.
Governance Commitment
Nilai Strategis
Nilai-nilai strategis Bank Indonesia adalah:
1. Kejujuran dan integritas (trust and integrity);
2. Profesionalisme (professionalism);
3. Keunggulan (excellence);
4. Mengutamakan kepentingan umum (public interest);
5. Koordinasi dan kerja sama tim (coordination and teamwork) yang berlandaskan
keluhuran nilai-nilai agama (religi).
Rencana Strategis
Kode Etik dan Pedoman perilaku
Pencapaian visi Bank Indonesia sebagai lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional
mensyaratkan dukungan kinerja yang tinggi dari perilaku Sumber Daya Manusia (SDM) Bank
Indonesia yang berintegritas, jujur, dan profesional. Ketiadaan aspek perilaku tersebut berpotensi
menghambat pencapaian kinerja dan menimbulkan risiko hukum dan reputasi, sehingga
mengakibatkan ketidakpercayaan pemangku kepentingan atau publik terhadap pelaksanaan tugas
dan wewenang Bank Indonesia. Hal ini mengingat kredibilitas lembaga erat kaitannya dengan
masalah kepercayaan publik terhadap perilaku SDM di lembaga tersebut.
Menciptakan perilaku yang berintegritas, jujur, dan profesional di lingkungan kerja, memerlukan
waktu dan proses. Untuk itu, diperlukan suatu aturan yang mengatur secara jelas etik dan norma
perilaku yang diberlakukan secara menyeluruh bagi seluruh SDM disertai proses penegakan secara
konsisten.
Perilaku dan tindakan pegawai Bank Indonesia diatur secara rinci dalam ketentuan kode etik dan
pedoman perilaku Bank Indonesia. Ketentuan ini diberlakukan menyeluruh bagi seluruh insan BI
yaitu Anggota Dewan Gubernur, pegawai BI, pegawai yang dipekerjakan oleh BI, serta mantan
pegawai pangkat tertentu, dan Anggota Dewan Gubernur untuk aturan cooling-off period.
Ketentuan ini mencakup norma moral dan standar perilaku yang sesuai dengan kebutuhan Bank
Indonesia. Penerapan ketentuan kode etik dan pedoman perilaku Bank Indonesia diaktualisasikan
di lingkungan kerja dan masyarakat yaitu:
1. Menegakkan integritas dan profesionalisme.
2. Menghindari konflik kepentingan.
3. Menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan.
4. Bersikap adil.
5. Menjaga kesusilaan, kesopanan, dan perilaku bermasyarakat.
Untuk mendukung efektivitas penerapan kode etik dan pedoman perilaku, terdapat kewajiban
penyampaian surat pernyataan antara lain, surat pernyataan kepatuhan dan surat pernyataan
tahunan.
Surat pernyataan kepatuhan memuat komitmen untuk memahami, mematuhi, dan melaksanakan
sumpah jabatan pegawai, sistem dan prosedur, serta seluruh peraturan perundangan yang berlaku,
dan kesediaan dikenakan sanksi terhadap pelanggaran. Surat pernyataan kepatuhan disampaikan
sekali pada saat mulai bekerja di Bank Indonesia.
Surat pernyataan tahunan disampaikan setiap tahun pada awal tahun berjalan untuk pernyataan
tahun sebelumnya. Surat pernyataan tahunan memuat pernyataan terhadap seluruh keadaan atau
situasi yang memungkinkan timbulnya pelanggaran/ketidakpatuhan terhadap ketentuan kode etik
dan pedoman perilaku Bank Indonesia.
Setiap pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku, serta sistem dan prosedur yang
berlaku akan dikenakan sanksi disiplin. Penegakan disiplin dilakukan dengan pengenaan sanksi
ringan, sedang, dan berat, tergantung dari pelanggaran yang dilakukan pegawai.
Gratifikasi
Bank Indonesia senantiasa berkomitmen untuk memperkuat governance khususnya terkait konflik
kepentingan dalam pelaksanaan tugas. Salah satu konflik kepentingan yang menjadi perhatian
Bank Indonesia adalah terkait dengan penerimaan/pemberian hadiah (gratifikasi). Penerimaan
hadiah yang terkait dengan tugas dan jabatan merupakan jembatan terjadinya konflik kepentingan
yang merugikan kepentingan lembaga dan merupakan sumber korupsi yang meruntuhkan
kredibilitas lembaga dan merugikan negara.
Untuk itu, penting dilakukan pengaturan terhadap gratifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan
internal Bank Indonesia mengenai kode etik dan pedoman perilaku Bank Indonesia, serta
ketentuan mengenai pengendalian gratifikasi.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, pegawai wajib menolak hadiah yang diduga diberikan
karena jabatan. Dalam hal penerimaan hadiah tidak dapat ditolak karena keadaan memaksa atau
diterima oleh keluarga, pegawai wajib berupaya untuk segera mengembalikan hadiah kepada pihak
pemberi dan menginformasikan mengenai aturan larangan penerimaan hadiah di Bank Indonesia.
Untuk memastikan terjaganya komitmen insan Bank Indonesia dalam penerimaan gratifikasi,
Bank Indonesia memiliki ketentuan yang mengatur mengenai prosedur pengendalian gratifikasi.
Dalam penegakannya, telah dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi yang akan menangani
pelaporan penerimaan gratifikasi dari pegawai dan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) atas adanya pelaporan gratifikasi tersebut.
Whistleblowing System
Bank Indonesia telah menerapkan sistem pelaporan pelanggaran melalui Whistleblowing
System (WBS) Bank Indonesia yang melengkapi infrastruktur etik dan mendeteksi adanya
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. WBS adalah sarana pelaporan bagi kalangan internal
Bank Indonesia khususnya dan masyarakat untuk melaporkan adanya perilaku atau tindakan yang
melanggar Kode Etik dan Perilaku Bank Indonesia yang dilakukan oleh insan Bank Indonesia.
WBS menyediakan sistem yang terkoordinasi dan terintegrasi mulai dari penerimaan laporan
hingga tindak lanjut penegakan dugaan pelanggaran. Melalui sistem tersebut, masyarakat dapat
melaporkan dugaan pelanggaran etik, perilaku, dan prosedur kerja yang dilakukan oleh insan Bank
Indonesia sebagai bentuk kontrol sosial.
Setiap laporan akan dijaga kerahasiannya dan jika terdapat bukti yang cukup, maka akan
ditindaklanjuti pada proses investigasi selanjutnya. Keberadaan WBS menciptakan sistem saling
mengawasi terhadap kesesuaian perilaku dan ketaatan prosedur kerja yang dilaksanakan oleh insan
Bank Indonesia. WBS juga sebagai bentuk komitmen BI untuk senantiasa menjaga integritas dan
profesionalitas, termasuk akuntabilitas dalam penegakan dugaan pelanggaran.
Kewajiban pelaporan harta kekayaan ini merupakan infrastruktur yang digunakan untuk mencegah
potensi terjadinya penyalahgunaan jabatan dan kewenangan, menanamkan kejujuran dan
integritas, serta keterbukaan di kalangan penyelenggara negara dan komitmen untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih di seluruh jenjang organisasi.
Yang diwajibkan melaporkan tidak hanya terbatas pada Dewan Gubernur, namun mencakup
pegawai dengan pangkat asisten manajer ke atas, serta pegawai dengan pangkat staf yang memiliki
tugas yang berhubungan langsung dengan pihak eksternal misal pada bidang perizinan, pengadaan,
penerimaan pegawai, perkasan, dan pengelolaan fisik uang.
Untuk menjaga komitmen dan memastikan penerapan kewajiban tersebut, penyampaian LHKPN
oleh pegawai menjadi salah satu syarat dalam proses promosi. Pelanggaran terhadap kewajiban
tersebut juga menjadi objek penegakan disiplin Bank Indonesia.
Governance Structure
Proses Perumusan Kebijakan
Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan peraturan/kebijakan perlu memastikan proses
perumusan kebijakan dilakukan melalui prosedur dan mekanisme yang terstruktur dan sistematis
guna menghasilkan output kebijakan yang kredibel dan memenuhi prinsip akuntablitas publik.
Untuk meningkatkan kualitas kebijakan, perumusan kebijakan harus memenuhi prinsip-prinsip
yakni: (i) berdasarkan riset, (ii) berorientasi ke depan, (iii) tata kelola yang baik, (iv)
mempertimbangkan dampak antar kebijakan, dan (v) memperhatikan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Untuk memastikan proses perumusan kebijakan di Bank Indonesia telah dilaksanakan secara
sistematis, Bank Indonesia menetapkan kerangka kerja kebijakan yang terintegrasi antara
kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, serta
dukungan kebijakan ekonomi daerah dan kebijakan internasional. Terkait proses perumusan
kebijakan, peningkatan fokus pada aspek governance diharapkan dapat menghasilkan kebijakan
Bank Indonesia yang lebih efektif, kredibel, dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik.
Di samping itu, proses perumusan kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk meningkatkan
kredibilitas pengaturan/kebijakan yang dihasilkan. Guna meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan, dibuka kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan terhadap rumusan pengaturan. Hal tersebut diharapkan dapat menjembatani
komunikasi kebijakan di awal dan meningkatkan efektivitas dalam implementasi kebijakan ke
depan.
Proses Pengambilan Keputusan
Proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di Bank Indonesia dilaksanakan melalui
prosedur dan mekanisme yang terstruktur dan sistematis untuk meningkatkan kredibilitas
kebijakan, menciptakan mekanisme checks and balances, dan memastikan termitigasinya risiko
(rule making rules).
Sebagaimana amanat Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Rapat Dewan Gubernur (RDG)
merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di Bank Indonesia. Melalui forum ini, Dewan
Gubernur menetapkan atau melakukan evaluasi kebijakan yang bersifat prinsipil dan strategis.
RDG dilaksanakan berdasarkan prinsip musyawarah demi mufakat. Apabila mufakat tidak
tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir. Untuk menjaga tata kelola pengambilan
keputusan, RDG diselenggarakan apabila telah kuorum yakni dihadiri oleh separuh atau lebih
jumlah Anggota Dewan Gubernur.
Guna meningkatkan efektivitas proses pengambilan keputusan dalam RDG, materi yang diajukan
harus dikaji dan dibahas secara matang dalam forum pembahasan/koordinasi antar satuan kerja,
rapat bidang, dan/atau rapat komite. Di Bank Indonesia, terdapat 5 komite yakni:
1. Komite kebijakan moneter.
2. Komite kebijakan stabilitas sistem keuangan.
3. Komite kebijakan sistem pembayaran.
4. Komite pengelolaan cadangan devisa.
5. Komite sumber daya manusia.
Tujuan dari komite ini adalah memastikan rekomendasi atas usulan kebijakan prinsipil dan
strategis yang diajukan kepada Dewan Gubernur telah dilakukan berdasarkan analisis dan
pembahasan yang mendalam dengan mempertimbangkan aspek risiko dan mitigasinya, serta aspek
tata kelola yang baik.
Penyelenggaraan RDG terdiri atas RDG Bulanan dan RDG Mingguan. RDG Bulanan merupakan
RDG yang diselenggarakan paling kurang 1 kali dalam sebulan. Untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan, sejak 2016, pelaksanaan RDG Bulanan dilakukan dalam waktu 2 hari
berturut-turut.
RDG Bulanan hari pertama memiliki agenda pemaparan hasil asesmen terhadap kondisi
perekonomian dan outlook kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem
pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, dan membahas serta mengintegrasikan opsi bauran
kebijakan. Selanjutnya, RDG Bulanan hari kedua membahas rekomendasi dan menetapkan
kebijakan umum di bidang moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan
uang Rupiah.
Sedangkan RDG Mingguan diselenggarakan paling kurang 1 kali dalam seminggu untuk
melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter, perkembangan stabilitas sistem
keuangan, perkembangan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah dan/atau menetapkan
kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank
Indonesia.
Sebagai bentuk transparansi kebijakan kepada stakeholders, keputusan yang ditetapkan dalam
RDG Bulanan disampaikan kepada masyarakat pada hari yang sama dengan penyelenggaraan
RDG guna membangun ekspektasi positif stakeholders. Di samping itu, Bank Indonesia juga
mempublikasikan jadwal RDG Bulanan selama satu tahun ke depan, sebelum berakhirnya tahun
berjalan.
Undang-Undang tentang Bank Indonesia menuntut adanya akuntabilitas dan transparansi dalam
setiap pelaksanaan tugas, wewenang, dan anggaran Bank Indonesia. Akuntabilitas dan
transparansi yang dituntut dari Bank Indonesia tersebut dimaksudkan agar semua pihak yang
berkepentingan dapat ikut melakukan pengawasan terhadap setiap langkah kebijakan yang
ditempuh oleh Bank Indonesia (checks and balances).
Sesuai amanat Undang-Undang, DPR merupakan pihak yang diberikan kewenangan secara
konstitusi untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga negara lain, termasuk Bank
Indonesia. Sesuai hakikatnya, kontrol legislatif ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pembuatan keputusan melalui peningkatan respons terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat,
mengawasi penyalahgunaan kekuasaan Pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja
lembaga negara.
Untuk membantu DPR melakukan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia,
maka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia, dibentuk Badan
Supervisi Bank Indonesia (BSBI). BSBI dibentuk berdasarkan Undang-Undang tentang Bank
Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada DPR-RI, serta tidak berada dalam struktur
organisasi Bank Indonesia. BSBI menyampaikan hasil telaahannya terkait dengan kegiatan
operasional dan keuangan Bank Indonesia kepada DPR-RI setiap triwulan, dan tidak mengevaluasi
kinerja Dewan Gubernur Bank Indonesia. Keberadaan BSBI diharapkan memperkuat fungsi
pengawasan DPR-RI terhadap Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan akuntabilitas,
independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia.
Bank Indonesia wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia
kepada DPR-RI dan Pemerintah secara triwulanan dan tahunan sesuai dengan amanat Undang-
Undang tentang Bank Indonesia. Diseminasi laporan tersebut juga dilakukan kepada masyarakat
melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam berita negara. Laporan
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia dapat diakses di laporan kepada DPR.
Di bidang keuangan Bank Indonesia, mekanisme checks and balances menjadi hal yang penting.
Hal ini mengingat Bank Indonesia memiliki keistimewaan sebagai lembaga independen yang
melakukan pengelolaan anggaran yang terpisah dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara.
Terkait dengan transparansi anggaran, Bank Indonesia berkewajiban menyampaikan anggaran
tahunannya kepada DPR yang meliputi anggaran untuk kegiatan operasional dan anggaran untuk
kebijakan. Dalam penyampaian anggaran tersebut, Bank Indonesia juga menyampaikan evaluasi
terkait penggunaan anggaran tahun berjalan dalam bentuk Laporan Evaluasi Pelaksanaan
Anggaran Operasional dan Rencana Investasi Bank Indonesia.
Pengawasan terhadap Bank Indonesia dari sisi keuangan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan
terhadap Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia (LKTBI) oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK-RI). Hasil audit BPK-RI tersebut disampaikan kepada DPR-RI dan diumumkan kepada
masyarakat melalui media massa. Adapun dalam penyusunan dan pemeriksaan LKTBI, Bank
Indonesia dan BPK-RI mengacu pada standar akuntansi bank sentral sebagaimana
direkomendasikan oleh Komite Akuntansi dan Keuangan Bank Indonesia.
Berdasarkan pemeriksaan LKTBI, Bank Indonesia telah memperoleh opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dari BPK-RI sejak tahun 2003. Pencapaian terebut tidak lepas dari upaya
Bank Indonesia yang senantiasa menindaklanjuti temuan audit yang disampaikan BPK-RI. Hal ini
menunjukkan kesungguhan dan komitmen pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang transparan dan
akuntabel. Selanjutnya, Bank Indonesia mempublikasikan laporan keuangan tahunannya kepada
publik setelah hasil pelaksanaan audit BPK-RI disampaikan kepada Bank Indonesia
Di samping melakukan audit terhadap LKTBI, BPK-RI dapat melakukan pemeriksaan khusus
terhadap Bank Indonesia atas permintaan DPR-RI apabila diperlukan. Pemeriksaan khusus atas
permintaan DPR-RI terhadap Bank Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam
mengenai suatu permasalahan atau suatu kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dan pelaksanaan anggaran oleh Bank Indonesia.
Dengan proses audit ini diharapkan dapat mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dengan
pengelolaan keuangan dan pelaksanaan anggaran yang tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
Governance Process
Proses Perumusan Kebijakan
Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan peraturan/kebijakan perlu memastikan proses
perumusan kebijakan dilakukan melalui prosedur dan mekanisme yang terstruktur dan sistematis
guna menghasilkan output kebijakan yang kredibel dan memenuhi prinsip akuntablitas publik.
Untuk meningkatkan kualitas kebijakan, perumusan kebijakan harus memenuhi prinsip-prinsip
yakni: (i) berdasarkan riset, (ii) berorientasi ke depan, (iii) tata kelola yang baik, (iv)
mempertimbangkan dampak antar kebijakan, dan (v) memperhatikan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Untuk memastikan proses perumusan kebijakan di Bank Indonesia telah dilaksanakan secara
sistematis, Bank Indonesia menetapkan kerangka kerja kebijakan yang terintegrasi antara
kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, serta
dukungan kebijakan ekonomi daerah dan kebijakan internasional. Terkait proses perumusan
kebijakan, peningkatan fokus pada aspek governance diharapkan dapat menghasilkan kebijakan
Bank Indonesia yang lebih efektif, kredibel, dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik.
Di samping itu, proses perumusan kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk meningkatkan
kredibilitas pengaturan/kebijakan yang dihasilkan. Guna meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan, dibuka kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan terhadap rumusan pengaturan. Hal tersebut diharapkan dapat menjembatani
komunikasi kebijakan di awal dan meningkatkan efektivitas dalam implementasi kebijakan ke
depan.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan
peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga
bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Berikut tugas dan
fungsi Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar.
B. Fungsi Utama
Bank Indonesia berkomitmen untuk senantiasa mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah melalui pengelolaan bidang Moneter, Sistem Pembayaran, dan Stabilitas Sistem
Keuangan. Pengelolaan ketiga bidang tersebut diimplementasikan melalui kebijakan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan dioperasikan melalui berbagai instrumen yang sesuai
dengan bidang tugas terkait. Ketahui lebih lanjut mengenai kebijakan serta indikator
perekonomian Indonesia pada masing-masing bidang tugas Bank Indonesia melalui menu
berikut.
1. Moneter
Tujuan Kebijakan Moneter
Tujuan utama kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah untuk mencapai
stabilitas nilai Rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, serta turut menjaga stabilitas
sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagaimana
tercantum dalam pada pasal 7 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan. Dimana yang dimaksud dengan "stabilitas nilai Rupiah" adalah kestabilan harga
barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah.
Konsep stabilitas nilai Rupiah mencakup kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah.
Kestabilan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Sementara itu, kestabilan nilai tukar Rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang
negara lain. Kestabilan nilai Rupiah dalam artian inflasi yang rendah, dan stabil, serta kestabilan
nilai tukar Rupiah sangat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter
yang disebut Inflation Targeting Framework (ITF) sejak 1 Juli 2005. Dalam kerangka tersebut,
inflasi menjadi sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia terus melakukan
penyempurnaan kebijakan moneter guna memperkuat efektivitasnya. Hal ini dilakukan agar Bank
Indonesia dapat menangani dinamika dan tantangan perekonomian yang terus berubah. Sebagai
lembaga yang mengatur kebijakan moneter di Indonesia, Bank Indonesia memiliki peran penting
dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kerangka Kebijakan Moneter
Kerangka kebijakan moneter meliputi strategi kebijakan moneter dan implementasi kebijakan
moneter. Kerangka kerja kebijakan moneter yang diimplementasikan oleh Bank Indonesia
adalah Inflation Targeting Framework (ITF). ITF adalah suatu kerangka kerja (framework)
kebijakan moneter mengenai kisaran target sasaran inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode kedepan serta diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan
akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan
sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga pasar uang antarbank untuk jangka
waktu overnight di Indonesia - IndONIA (Indonesia Overnight Index Average) sebagai sasaran
operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara resmi sejak 1 Juli 2005.
Dengan menetapkan sasaran inflasi yang eksplisit dan diumumkan secara transparan, Bank
Indonesia memberikan sinyal kepada masyarakat dan pelaku pasar mengenai komitmen bank
sentral dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat kepercayaan publik. Selain itu, dengan
menerapkan kerangka kerja yang konsisten dan transparan, Bank Indonesia juga meningkatkan
akuntabilitasnya dalam menjalankan kebijakan moneter. Pengalaman krisis keuangan global
2008/2009 mengajarkan pentingnya fleksibilitas bagi bank sentral dalam merespons
perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat
dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan pengalaman tersebut, Bank Indonesia
Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
Flexible ITF
Flexible ITF adalah pengembangan dari kerangka kerja kebijakan moneter ITF yang dibangun
dengan tetap mempertahankan elemen-elemen penting ITF. Flexible ITF merupakan kebijakan
bank sentral yang memperkuat peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara
terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. Kerangka Flexible ITF dibangun
berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:
1. Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
2. Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan
dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
3. Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian
inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
5. Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya
mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF
secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan
targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan sistem
keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan dan
dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini menyadarkan
pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Penerapan ITF
untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi kecukupan
(necessary but not sufficient). Pasca krisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut
untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada
dalam kondisi stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan.
Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus didukung dengan kerangka pengaturan di sektor
keuangan secara makro (macroprudential regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia
memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam
menjaga stabilitas harga dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan.
1. Reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap
menerapkan Flexible ITF.
2. Reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter yang sedang ditempuh.
3. Reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di instrumen moneter dan dapat
ditransaksikan dengan Bank Indonesia.
4. Penentuan suku bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi
oleh suku bunga kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak
mengubah stance kebijakan moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI
7DRR berada dalam satu struktur suku bunga (term structure) yang sama dalam
mengarahkan inflasi agar sesuai dengan sasarannya.
Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, terutama
dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah fokus untuk menjaga keterjangkauan harga,
ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, serta komunikasi efektif untuk menjaga stabilitas
harga pangan dan mengendalikan inflasi. Koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam
pengendalian inflasi diwujudkan melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) yang aktif di
tingkat pusat dan daerah. Sedangkan, dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan, Bank
Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Langkah
koordinasi dan rekomendasi diberikan untuk memantau serta memelihara stabilitas sistem
keuangan secara terus-menerus.
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah,
yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan
tersebut, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR) sebagai instrumen utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian
dengan tujuan akhir mencapai sasaran inflasi. Namun, dalam proses transmisi kebijakan moneter
tersebut, terdapat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran inflasi melalui
berbagai channel dan memerlukan waktu (time lag). Setiap channel transmisi kebijakan moneter
memiliki time lag yang berbeda-beda.
Pada kondisi normal, perbankan akan merespons kenaikan atau penurunan BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR) dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga perbankan. Namun, jika
perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, maka respons perbankan terhadap
penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan lebih lambat. Sebaliknya,
jika perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku
bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan
penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu
direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat jika prospek perekonomian
sedang lesu. Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor
keuangan dan perbankan, serta sektor riil.
Transmisi kebijakan moneter pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR 7DRR akan
memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Bank Indonesia dapat
menerapkan kebijakan moneter yang ketat dengan menaikkan suku bunga yang berdampak pada
permintaan agregat sehingga akan menurunkan tekanan inflasi. Sebaliknya, penurunan BI 7DRR
akan menurunkan suku bunga kredit sehingga meningkatkan permintaan kredit dari perusahaan
dan rumah tangga. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan
untuk investasi. Hal tersebut meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi, dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Transmisi kebijakan pada jalur nilai tukar melalui perubahan suku bunga BI 7DRR akan
mempengaruhi nilai tukar. Jika BI 7DRR naik, maka akan meningkatkan selisih antara suku bunga
di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri. Hal tersebut akan mendorong investor asing untuk
menanamkan modalnya ke instrumen keuangan di Indonesia, karena mereka bisa mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal asing tersebut kemudian akan mendorong
apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi nilai tukar Rupiah membuat harga barang impor menjadi
lebih murah, sementara harga barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang
kompetitif, sehingga dapat mendorong impor dan mengurangi ekspor. Adanya apresiasi rupiah
kemudian akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan
harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi, sehingga
mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan
mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Hal ini akan
mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi.
Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi publik
terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas ekonomi dan
pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan
meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada
konsumen melalui kenaikan harga.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah beberapa kali
terakhir dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
pada pasal 4 ayat 2 tertera bahwa Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/ atau
pihak lain, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang
tersebut.
Namun, Independensi Bank Indonesia harus disertai dengan transparansi dan akuntabilitas.
Pengaturan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia makin dipertegas sebagaimana tertuang
dalam UU tersebut pasal 58 bahwa Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan kinerja
kelembagaan dalam menjalankan Undang-undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
Laporan yang disampaikan terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan. Bagian laporan
tersebut juga disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa mencantumkan
ringkasannya dalam Berita Negara. Setiap awal tahun anggaran, Bank Indonesia wajib
menyampaikan informasi kepada masyrakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Bank Indoensia pada tahun sebelumnya serta rencana
kebijakan dan penetapan sasaran Bank Indonesia untuk tahun yang akan datang.
Terkait anggaran, Bank Indonesia menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan
kepada Presiden dan DPR. Bank Indonesia menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan
paling lambat 30 hari setelah tahun anggaran berakhir dan menyampaikan laporan keuangan
tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk diperiksa paling lambat 7 hari setelah laporan
tersebut selesai disusun. Bank Indonesia wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Bank
Indonesia kepada publik melalui media massa.
Komunikasi kebijakan moneter Bank Indonesia merupakan cara Bank Indonesia berkomunikasi
kepada masyarakat mengenai kondisi perekonomian saat ini, kebijakan yang diterapkan, serta
proyeksi dan arah kebijakan kedepan. Tujuannya adalah memengaruhi ekspektasi dan perilaku
masyarakat dalam kegiatan konsumsi, produksi, dan investasi, serta mengurangi ketidakpastian ke
depan.
Bank Indonesia melakukan komunikasi kebijakan moneter melalui berbagai media antara lain:
Komunikasi kebijakan moneter yang efektif sangat penting karena dapat memengaruhi ekspektasi
masyarakat, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kegiatan perekonomian riil, termasuk harga
barang dan harga aset yang merupakan target bank sentral. Oleh karena itu, komunikasi kebijakan
moneter merupakan alat atau toolkit yang penting dalam pengelolaan ekspektasi masyarakat.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Pengendalian inflasi sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Inflasi yang stabil dan
rendah sangat diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan
kebijakan makro. Namun, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang
dapat dikelola oleh Bank Indonesia, tetapi juga berasal dari sisi penawaran, yaitu berkaitan dengan
produksi dan distribusi barang.
Selain itu, tekanan terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait dengan
barang-barang yang termasuk ke dalam kelompok administered price (kelompok barang yang
harganya diatur oleh Pemerintah) seperti harga BBM dan komoditas energi lainnya. Sehingga,
untuk dapat mencapai tujuan kebijakan makro, maka diperlukan bauran kebijakan yang
komprehensif dan terintegrasi.
Oleh karena itu, dalam pengendalian inflasi, Bank Indonesia dan Pemerintah bekerja sama dengan
membentuk Tim Pengendalian Inflasi (TPI). TPI di level pusat terbentuk sejak tahun 2005,
kemudian diperkuat dengan pembentukan TPI di level daerah sejak tahun 2008. Kerja sama
tersebut sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi baik dalam lingkup nasional maupun daerah.
Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola ekspektasi inflasi, serta pengelolaan penawaran
diantaranya pengelolaan terhadap pasokan, distribusi barang, konektivitas, rantai perdagangan,
dan subsidi.
Koordinasi pengendalian inflasi diperkuat dengan landasan hukum berupa Perpres No.23/2017
tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN). Ada tiga tim yang terbentuk dari TPIN, yaitu
Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, dan
TPID Kabupaten/Kota. Tim Pengendalian Inflasi Daerah atau TPID merupakan tim yang bertugas
memantau dan menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan inflasi khususnya di
didaerah.
Produk turunan dari dasar hukum ini selanjutnya ditindaklanjuti melalui penerbitan Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.10 Tahun 2017 tentang Mekanisme dan Tata Kerja
TPIP, TPID Provinsi, dan TPID Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian No.148 tahun 2017 tentang Tugas dan Keanggotaan Kelompok Kerja dan
Sekretariat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.500.05-8135 Tahun 2017.
Program pengendalian inflasi difokuskan pada 4K, yaitu Keterjangkauan harga, Ketersediaan
pasokan, Kelancaran distribusi, dan Komunikasi efektif. Bank Indonesia bersama dengan TPIP &
TPID terus berkomitmen dalam menjaga terkendalinya inflasi nasional, termasuk dalam Gerakan
Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
a. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu
tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia. BPS melakukan
survei untuk mengumpulkan data harga dari berbagai macam barang dan jasa yang dianggap
mewakili belanja konsumsi masyarakat. Data tersebut kemudian digunakan untuk menghitung
tingkat inflasi dengan membandingkan harga-harga saat ini dengan periode sebelumnya.
Pengukuran IHK
IHK adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi. Berdasarkan the
Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP) 2018, IHK dikelompokkan ke
dalam 11 (sebelas) kelompok pengeluaran, yaitu
Disagregasi Inflasi
Selain pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi
berdasarkan pengelompokan lain yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi
dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang
bersifat fundamental.
1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung stabil atau persisten (persistent
component) dalam pergerakannya dan dipengaruhi faktor fundamental. Faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi inti meliputi:
o Interaksi permintaan-penawaran
o Lingkungan eksternal, seperti: nilai tukar, harga komoditi internasional, dan
perkembangan ekonomi global
o Ekspektasi inflasi di masa depan.
2. Inflasi non-inti yaitu komponen inflasi yang cenderung memiliki volatilitas yang tinggi
karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:
o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi
oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan
alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
komoditas pangan internasional.
o Inflasi Komponen Harga yang Diatur oleh Pemerintah (Administered Prices):
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan
sejenisnya.
Penyebab Inflasi
Penyebab inflasi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut.
1. 1. Tekanan dari sisi penawaran (Cost Push Inflation) : Terjadi ketika inflasi disebabkan
oleh tekanan dari sisi penawaran atau peningkatan biaya produksi.
Beberapa faktor penyebabnya meliputi:
o Depresiasi nilai tukar: Jika mata uang suatu negara mengalami depresiasi terhadap
mata uang asing, harga impor akan naik, sehingga meningkatkan biaya produksi
dan akhirnya mendorong inflasi.
o Dampak inflasi luar negeri: Inflasi di negara mitra dagang atau di pasar global dapat
berdampak pada harga-harga impor, yang dapat meningkatkan biaya produksi di
dalam negeri.
o Peningkatan harga komoditas yang diatur Pemerintah: Jika Pemerintah mengatur
harga komoditas yang penting, kenaikan harga tersebut dapat menyebabkan
peningkatan biaya produksi secara umum.
o Negative supply shocks : Bencana alam atau gangguan dalam distribusi barang dan
jasa dapat mengurangi penawaran, yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga
2. 2. Tekanan dari sisi permintaan (Demand Pull Inflation): Terjadi ketika inflasi disebabkan
oleh tekanan dari sisi permintaan atau meningkatnya permintaan barang dan jasa relatif
terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand)
lebih besar dari pada kapasitas perekonomian hal tersebut dapat mendorong kenaikan
harga.
3. 3. Ekspektasi Inflasi: Ekspektasi inflasi adalah faktor yang dipengaruhi oleh persepsi dan
harapan masyarakat serta pelaku ekonomi terhadap tingkat inflasi di masa depan. Faktor
ini dapat mempengaruhi keputusan konsumen, investor, dan pelaku ekonomi lainnya.
d. Operasi Moneter
Operasi Moneter (OM) bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter yang
dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi. OM dapat dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Upaya mencapai stabilitas moneter melalui OM
dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Overnight agar
bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7-
DRR) dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar
fundamental. Untuk mengendalikan suku bunga PUAB Overnight sebagai sasaran operasional
kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang Rupiah
dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. Untuk menjaga nilai tukar agar sejalan
dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan intervensi dan/atau transaksi
valas lainnya di pasar valuta asing. OM terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing
Facilities (SF).
Operasi Harian Terbuka
Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk OM secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Pelaksanaan OPT Rupiah dibagi menjadi dua yaitu
OPT absorbsi dan OPT injeksi dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas di sistem perbankan
baik konvensional maupun syariah. OPT absorbsi dilakukan untuk menyerap kelebihan likuiditas
sementara OPT injeksi dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas guna menjaga
keseimbangan kondisi likuiditas untuk mendukung pencapaian sasaran OM. OPT dapat
dilaksanakan secara reguler dan non reguler. OPT reguler adalah OPT yang dilakukan secara
terjadwal melalui lelang. Sementara itu, OPT non-reguler adalah OPT yang dapat dilaksanakan
sewaktu-waktu (fine-tune operation) untuk memperkuat pencapaian sasaran OM yang dilakukan
melalui pelaksanaan OPT reguler. BI mengumumkan rencana dan hasil lelang OPT reguler
maupun OPT non-reguler melalui website BI dan/atau sarana lain yang ditetapkan.
Standing Facilities
Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana Rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan
secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Standing Facility tersedia di setiap akhir hari
untuk bank konvensional dan bank syariah yang terdiri dari:
• Deposit Facility (DF) yang merupakan penempatan dana Rupiah oleh peserta Standing
Facilities di Bank Indonesia untuk operasi moneter yang dilakukan secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah. DF yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah
dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
• Lending Facility (LF) atau FinancingFacility (FF), dimana LF adalah penyediaan dana
Rupiah dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facility konvensional untuk operasi
moneter yang dilakukan secara konvensional, dan FF adalah penyediaan dana Rupiah dari
Bank Indonesia kepada peserta Standing Facility syariah untuk operasi moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
TD Valas DHE
Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan penguatan pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE)
melalui perluasan mekanisme transaksi antara Bank Indonesia dengan bank dalam bentuk pass
on transaksi bank dengan nasabah (eksportir) kepada Bank Indonesia. Kebijakan ini
diimplementasikan melalui instrumen Term Deposit Valas Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE)
untuk memfasilitasi penempatan DHE oleh eksportir di Bank Indonesia melalui appointed
bank sesuai mekanisme pasar. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Bank Indonesia
memberikan: (i) suku bunga valas yang memperhatikan tiering nominal dan tenor, (ii)
pengecualian dana dari komponen Dana Pihak Ketiga (DPK) untuk perhitungan Giro Wajib
Minimum (GWM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM); (iii) agent fee/spread kepada
bank memperhatikan tenor TD Valas DHE.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam PBI No. 7 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dan
Devisa Pembayaran Impor, eksportir SDA dapat menempatkan dana dari rekening khusus
(Reksus) DHE SDA pada instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa Term Deposit
Valas Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) melalui produk penempatan dana appointed bank.
Instrumen penempatan dimaksud dapat dimanfaatkan dalam bentuk pengalihan dari TD Valas
DHE menjadi transaksi swap Bank ke Bank Indonesia untuk kepentingan eksportir.
• Data JISDOR tersedia untuk setiap hari kerja, dalam hal ini tidak termasuk Sabtu, Minggu,
hari libur nasional, atau hari lain yang ditetapkan sebagai hari libur yang berakibat bank
tidak melakukan kegiatan operasi.
• Dalam hal tidak terdapat data transaksi spot antar bank selama rentang waktu yang
ditetapkan yang disebabkan oleh ketidaktersediaan data maupun kerusakan sistem, maka
JISDOR akan menampilkan kurs hari kerja sebelumnya.
• Penguatan JISDOR dilakukan sejak Senin, 5 April 2021 sebagaimana disampaikan dalam
“Keputusan dan Siaran Pers RDG Bulanan 21 Januari 2021".
• Pertanyaan dan Jawaban (FAQ) seputar implementasi penguatan JISDOR dapat dilihat
dalam halaman Tanya Jawab JISDOR.
• Kurs acuan non-USD/IDR adalah nilai tukar mata uang asing tertentu terhadap rupiah.
Kurs acuan non-USD/IDR dapat digunakan oleh pelaku pasar untuk penyelesaian transaksi
derivatif non-USD.
• Kurs acuan non-USD/IDR diterbitkan setiap hari pada pukul 16:30 WIB. Selama masa
pandemi Covid-19, dilakukan penyesuaian waktu operasional pasar valas domestik
sehingga kurs acuan diterbitkan pada pukul 15:30 WIB.
Kurs Transaksi BI
• Kurs Transaksi BI disajikan dalam bentuk kurs jual dan kurs beli valas terhadap rupiah,
digunakan sebagai referensi transaksi BI dengan pihak ketiga, seperti pemerintah.
• Titik tengah Kurs Transaksi BI USD/IDR mengacu pada kurs acuan (JISDOR) hari kerja
sebelumnya (H-1).
• Kurs Transaksi BI diumumkan sekali setiap hari kerja pada pukul 08.00 WIB.
• Penyesuaian publikasi Kurs Transaksi BI terkait dengan implementasi penguatan JISDOR
dipublikasikan secara efektif mulai Senin, 5 April 2021.
g. Pasar keuangan
a. kegiatan penerbitan dan perdagangan instrumen keuangan atau efek bersifat utang yang
berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun;
b. transaksi pinjam-meminjam uang;
c. transaksi derivatif suku bunga; dan
d. transaksi lainnya yang memenuhi karakteristik di pasar uang,dalam mata uang rupiah
atau valuta asing.
Sedangkan Pasar Valuta Asing adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan
kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2 (dua) negara yang berbeda beserta
derivatifnya, tetapi tidak termasuk penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan
usaha penukaran valuta asing.
Sejalan dengan Blueprint pengembangan Pasar Uang 2025 (BPPU 2025), pengaturan,
pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing bertujuan untuk membangun
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang modern dan maju untuk mendukung efektivitas kebijakan
moneter, stabilitas Sistem Keuangan, dan sinergi pembiayaan ekonomi.
Pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dengan
didukung oleh 3 (tiga) strategi yaitu perumusan kebijakan pengembangan Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing termasuk Infrastruktur Pasar Keuangan, pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing yang inklusif dan modern serta terintegrasi dengan pengelolaan moneter, dan sinergi
kebijakan untuk mengembangkan sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan risiko.
Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing dengan cakupan produk, harga (pricing), pelaku (participants), dan
Infrastruktur Pasar Keuangan serta dengan memperhatikan kaidah internasional, dan didasarkan
atas prinsip dasar 3I (interkoneksi, interoperabilitas, dan integrasi), memperhatikan praktik
internasional, digitalisasi data dan informasi, mengintegrasikan perspektif inklusif dan keuangan
berkelanjutan, efektif, efisien, dan memenuhi tata kelola yang baik, serta melakukan sinergi dan
inovasi.
Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK)
Salah satu mandat yang diberikan kepada FK-PPPK adalah menyusun Strategi Nasional
Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK). SN-PPPK merupakan single policy
framework yang komprehensif dan terukur yang diarahkan untuk merealisasikan visi menciptakan
pasar keuangan yang dalam, likuid, efisien, inklusif, dan aman. FK-PPPK mengembangkan
kerangka (framework) dengan menggunakan pendekatan top down yang mencakup tiga pilar
utama. Ketiga pilar tersebut adalah:
Ketiga pilar tersebut dielaborasi ke dalam tujuh elemen pengembangan yang akan
diimplementasikan pada tujuh pasar keuangan, yakni pasar obligasi pemerintah, pasar obligasi
korporasi, pasar uang, pasar valas, pasar saham, pasar structured product, dan pasar keuangan
syariah.
Tahapan implementasi SN-PPPK dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase penguatan fondasi yang
berlangsung pada 2018-2019, fase percepatan yang berlangsung pada 2020-2022, dan fase
pendalaman yang berlangsung pada 2023-2024. Pada pertemuan Tim Pengarah FK-PPPK Maret
2021, fase tahapan implementasi SN-PPPK disesuaikan menjadi fase percepatan pada 2020 – 2023
dan fase pendalaman pada 2024 – 2025, mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan
strategis pasar keuangan termasuk dampak pandemi COVID 19.
Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025
Sejalan dengan visi Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-
PPPK) 2018 – 2024, yaitu mendorong pencapaian karakteristik pasar keuangan yang dalam dan
mampu bersaing di tingkat global, Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 hadir untuk
melengkapi keseluruhan inisiatif dan implementasi SN-PPPK yaitu akselerasi fase percepatan
(2020 – 2022) dan fase pendalaman (2023 – 2024) hingga akhirnya mencapai kondisi ideal
(desired state) yaitu pasar uang modern dan maju pada tahun 2025.
Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 berfokus pada tiga inisiatif, yaitu: 1) mendorong
digitalisasi dan penguatan infrastruktur pasar keuangan, 2) memperkuat efektivitas transmisi
kebijakan moneter, dan 3) mengembangkan sumber pembiayaan ekonomi dan pengelolaan risiko.
Ketiga inisiatif ini dilakukan melalui empat belas key deliverable dengan berbagai program
pengembangan dan penguatan baik dari produk, pricing, pelaku pasar, dan infrastruktur pasar
keuangan. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan pasar yang pada akhirnya
dapat mewujudkan pasar uang modern dan maju yang ditandai dengan iklim pasar uang yang
dalam, inklusif, dan kontributif.
Dengan iklim pasar uang yang dalam, inklusif dan kontirbutif, pasar uang juga dapat berperan
untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter sehingga mendukung stabilitas
moneter dan sistem keuangan. Kondisi ini diharapkan mampu menjadikan pasar uang sebagai
katalis penyedia sumber pembiayaan guna memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Melalui
peran ini pasar uang dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi besar nasional yaitu menuju
Indonesia Maju.
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar
Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan pasar keuangan yang
kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar. Peningkatan
kompetensi dan integritas tersebut dapat diwujudkan dengan mewajibkan Pelaku Pasar untuk
memastikan Direksi dan Pegawainya memiliki Sertifikat Tresuri yang sesuai dengan bentuk
Pelaku Pasar dan jenjang jabatan, serta memastikan penerapan Kode Etik Pasar dan menjadi
anggota asosiasi profesi tresuri.
Upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar tersebut juga perlu didukung dengan
adanya Penyelenggara Sertifikasi Tresuri yang terpercaya. Penyelenggara Sertifikasi Tresuri yang
terpercaya harus dikelola dengan baik dan sesuai standar profesi yang berlaku di Indonesia,
dikelola oleh sumber daya manusia berkualitas, berpengalaman dan kredibel, serta memiliki
perangkat organisasi yang memadai.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/10/PBI/2021 tentang Pasar Uang perlu diganti untuk
menyesuaikan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Merespon penerbitan UU PPSK tersebut, Bank
Indonesia melakukan penguatan regulasi terkait pasar uang dan pasar valuta asing (regulatory
reform) yang dimulai dengan penerbitan PBI No. 6 Tahun 2023 tentang Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing (PBI PUVA) sebagai PBI payung yang menggantikan PBI No. 23/10/2021 tentang
Pasar Uang (PBI Pasar Uang). Pengaturan melalui PBI No. 6 Tahun 2023 tentang Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing (PBI PUVA) dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.
24/9/PADG/2022 tentang Penerapan Kode Etik Pasar dan Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri,
dimaksudkan untuk memberikan kejelasan atas mekanisme penerapan kode etik pasar,
keanggotaan pada asosiasi profesi tresuri, pelaksanaan sertifikasi tresuri sesuai bentuk Pelaku
Pasar dan jenjang jabatannya, kriteria penyelenggara sertifikasi tresuri yang diakui oleh Bank
Indonesia, serta kewajiban pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Penyelenggara Sertifikasi Tresuri.
Adapun ringkasan pengaturan sebagai berikut:
1. Kode etik pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar mengacu pada
kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi/komite di industri jasa keuangan, baik
konvensional maupun syariah. Kode etik tersebut harus dipahami dan diterapkan Direksi
dan Pegawai Pelaku Pasar dengan kewajiban Pelaku Pasar memiliki prosedur internal
yang memuat kode etik pasar.
2. Keharusan Pelaku Pasar memastikan Direksi dan Pegawainya menjadi anggota asosiasi
profesi sesuai prinsip usahanya, konvensional, atau syariah.
3. Pengaturan mengenai masa berlaku, perpanjangan, kesesuaian tingkatan dengan jenjang
jabatan, dan pemeliharaan dari Sertifikat Tresuri.
4. Pengaturan dan persyaratan perangkat organisasi, Skema Sertifikasi yang harus dimiliki,
dan penatausahan Sertifikat Tresuri oleh Penyelenggara Sertifikasi Tresuri yang diakui
Bank Indonesia.
5. Penyampaian pelaporan oleh Pelaku Pasar dan Penyelenggara Sertifikasi Tresuri ke Bank
Indonesia.
6. Tata cara pengenaan sanksi bagi Pelaku Pasar dan Penyelenggara Sertifikasi Tresuri.
1. Meningkatkan implementasi kode etik dalam aktivitas tresuri sesuai dengan international
best market practice.
2. Menginformasikan kepada stakeholder dan investor dalam maupun luar negeri, bahwa
lembaga telah memiliki komitmen dalam melaksanakan kode etik pasar, sehingga
stakeholder akan memperoleh manfaat positif dari komitmen tersebut.
3. Memberikan keunggulan kompetitif untuk Pelaku Pasar terkait dengan efektivitas dan
perilaku dalam bertransaksi.
4. Mendukung implementasi kebijakan pengembangan pasar keuangan Indonesia melalui
upaya menciptakan pasar keuangan yang transparan, efektif, dan resilien.
Krisis ekonomi global 2008/2009 mengajarkan kepada kita bahwa dengan semakin
menguatnya keterkaitan makrofinansial (macrofinancial-linkages), maka sistem keuangan
yang tidak berfungsi dengan baik akan menurunkan efektivitas kebijakan moneter,
mengganggu kelancaran kegiatan perekonomian, dan dapat berakibat pada perlambatan
pertumbuhan hingga kontraksi ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya stabilitas sistem
keuangan merupakan tanggung jawab bersama di antara berbagai otoritas sektor keuangan,
termasuk Bank Indonesia.
Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kepentingan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan terkait dengan fungsi sebagai Lender of Last Resort (LoLR),
yaitu otoritas yang berwenang menyediakan likuiditas pada saat krisis.
Dalam pelaksanaan mandat dan wewenang untuk menjaga SSK, Bank Indonesia memiliki
beberapa payung hukum sebagai berikut:
Berdasarkan UU Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU
P2SK), tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai Rupiah, memelihara
stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan
makroprudensial.
1. pengaturan makroprudensial;
2. pengawasan makroprudensial, termasuk pemeriksaan dan pengenaan sanksi;
3. pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan keuangan berkelanjutan;
4. penyediaan dana untuk Bank dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last
resort;
5. reverse repo (repurchase agreement) dan/atau pembelian surat berharga negara yang
dimiliki oleh LPS pada saat LPS memerlukan likuiditas; dan
6. koordinasi dengan otoritas terkait.
Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk
turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang
seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta
mendorong inklusi ekonomi dan keuangan serta keuangan berkelanjutan.
RPIM
Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM)
Kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) merupakan inovasi
kebijakan untuk mendorong pertumbuhan kredit, khususnya kepada UMKM, Korporasi
UMKM, dan Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR), sehingga dapat mengakselerasi
pemulihan ekonomi serta memperkuat inklusi keuangan. RPIM adalah rasio yang
menggambarkan porsi pembiayaan inklusif bank. Pemenuhan RPIM oleh bank disesuaikan
dengan keahlian dan model bisnis masing-masing, dengan tetap menerapkan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko, serta kontribusi bank dalam meningkatkan inklusi
keuangan.
LTV/FTV
Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV) adalah rasio antara nilai
kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Konvensional maupun Syariah
terhadap nilai agunan, berupa properti pada saat pemberian kredit/pembiayaan berdasarkan
hasil penilaian terkini. Sedangkan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor
adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai harga kendaraan
bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah.
CCyB
Countercyclical Capital Buffer (CCyB) adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau
pembiayaan perbankan yang berlebihan (excessive credit growth) sehingga berpotensi
mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Risiko ini terkait dengan perilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan, yakni cenderung
meningkat saat periode ekonomi ekspansi (boom) dan melambat pada periode ekonomi kontraksi
(bust). CCyB perlu diimplementasikan di Indonesia karena adanya perilaku prosiklikalitas, yang
ditunjukkan oleh antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi yang berbanding lurus.
Tambahan modal yang wajib dibentuk bank pada periode ekspansi dapat digunakan ketika bank
menghadapi tekanan saat ekonomi sedang kontraksi, sehingga keberlanjutan fungsi intermediasi
bank diharapkan tetap dapat terjaga. Besaran CCyB bersifat dinamis yaitu berkisar antara 0%
sampai 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank. Bank Indonesia melakukan
evaluasi besaran CCyB tersebut secara berkala paling kurang satu kali dalam enam bulan.
Secara umum, Bank Indonesia akan meningkatkan besaran CCyB pada saat ekonomi sedang
ekspansi, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan besaran CCyB pada saat ekonomi sedang
kontraksi. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diharapkan akan memperkuat daya tahan perbankan.
Giro RIM/RIM Syariah adalah saldo giro dalam rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang
wajib dipelihara oleh Bank Umum Konvensional dan Unit Usaha Syariah, serta Bank Umum
Syariah untuk pemenuhan RIM/RIM Syariah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia.
PLM
Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial
Syariah (PLM Syariah) merupakan cadangan likuiditas minimum dalam Rupiah yang wajib
dipelihara oleh Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah dalam bentuk surat berharga
dalam Rupiah yang dapat digunakan dalam operasi moneter, yang besarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga bank dalam Rupiah.
PLM dan PLM Syariah juga memiliki fitur fleksibilitas, yang berarti pada kondisi tertentu surat
berharga tersebut dapat digunakan untuk transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam Operasi
Pasar Terbuka sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam Rupiah.
1. PBI No. 22/15/PBI/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum
Konvensional.
2. PADG No. 22/31/PADG/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank
Umum Konvensional