Anda di halaman 1dari 2

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Pada zaman feodal atau zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan buruh adalah
orang-orang pekerja kasar seperti kuli, tukang, dan lain-lain. Orang-orang ini oleh pemerintah
Belanda dahulu disebut dengan blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang
mengerjakan pekerjaan halus seperti pegawai administrasi yang bisa duduk dimeja di sebut dengan
white collar (berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah para
bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya. Setelah
merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang
yang bekerja di sektor swasta baik pada orang lain maupun badan hukum disebut buruh.

Menurut Abdul Rachmad Budiono, terdapat tiga Undang-Undang yang berkaitan dengan buruh
dan tenaga kerja, yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan
UndangUndang No. 2 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut menggunakan istilah yang sama untuk
menunjuk konsep “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain”, yaitu pekerja atau buruh. Dipadankannya istilah pekerja dengan buruh merupakan kompromi
setelah dalam kurun waktu yang amat panjang dua istilah tersebut bertarung untuk dapat diterima
oleh masyarakat.

Menurut undang-undang no 13 tahun 2013 pasal 76 tentang perempuan pekerja buruh


menyebutkan bahwa:

1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) dilarang dipekerjakan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan


dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselaman kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00 wajib :

a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

4. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang
berangkat dan pulanag bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Pekerja/buruh outsourcing memiliki kepentingan-kepentingan yang telah ditransformasikan ke


dalam hak pekerja/buruh yang oleh hukum perlu untuk dilindungi oleh pengusaha. Pekerja/buruh
untuk mencukupi kebutuhan sandang dan pangan mereka tergantung pada upah yang mereka
terima, untuk meningkatkan taraf hidupnya mereka selalu mengharapakan upah yang lebih.

1. Hak-Hak Pokok Buruh

Abdul Khakim pernah mengatakan bahwa hakikat “hak pekerja/buruh merupakan kewajiban
pengusaha”, dan sebaliknya “hak pengusaha merupakan kewajiban pekerja/buruh”. Artinya kedua
belah pihak berwenang/berhak meminta prestasi yang disebut dengan “prestatie subject” dan
berkewajiban melakukan prestasi yang disebut “plicht subject”
Adapun hak-hak yang didapat oleh buruh adalah sebagai berikut (Irmayani, 2011):

1. Pekerja berhak menerima upah yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang layak.

2. Mereka tidak boleh diberi pekerjaan yang melibihi kemampuan fisiknya, dan jika suatu waktu, dia
dipercayakan menangani pekerjaan yang sangat berat maka dia harus diberi bantuan dalam bentuk
beras atau modal yang lebih banyak, atau kedua duanya.

3. Mereka harus diberi bantuan pengobatan yang tepat jika sakit dan membayar biaya pengobatan
yang sesuai pada saat itu. Sepatutnya jika bantuan terhadap biaya pengobatan buruh dan majikan
ditambah dengan bantuan pemerintah.

4. Penentuan yang layak harus dibuat untuk pembayaran pensiunan bagi pekerja.

5. Mereka harus dibayar dengan ganti rugi yang sesuai atas kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan.

6. Mereka harus diperlakukan dengan baik dan sopan dan dimaafkan jika mereka melakukan
kesalahan selama bekerja.

7. Mereka harus disediakan akomodasi yang layak agar kesehatan dan efisiensi kerja mereka tidak
terganggu.

Anda mungkin juga menyukai