Anda di halaman 1dari 3

Perang Media di Tengah Konflik Internasional1

Oleh : Firdan Fadlan Sidik

“Israel was brilliantly successful in offering a narrative to the western hemisphere that was embraced
with little or no objective judgement”

Demikianlah ungkapan Ilan Baruch, seorang akademisi senior Israel yang menjabat duta
besar. Ia mengatakan bahwa Israel telah sukses membangun framing narasi media ke dunia Barat
tanpa penilaian objektif. Artinya kepercayaan Barat terhadap apa yang diwartakan Israel adalah
membabi-buta tanpa disertai objektivitas.

Mengapa hal ini terjadi? Mariam Barghouti, seorang Jurnalis Amerika-Palestina menjelaskan:

“The mainstream media focus is always on Palestian reaction and not Israeli action and it insinuates
that Palestians are on the offence when in fact they are on the defence.”

Jurnalis lulusan Edinburgh University tersebut mengungkapkan bahwa media Israel mem-
framing narasi yang berkebalikan dengan fakta. Perang fisik yang dilancarkan oleh Israel juga disertai
dengan Perang Media untuk memberi “lampu hijau” atau tindakannya.

Peristiwa terbunuhnya jurnalis Shireen Abu Akleh pada 11 Mei 2022 lalu menjadikan arah
geopolitik Israel yang semakin jelas. Jurnalis yang juga berdarah kebangsaan sama dengan Mariam
Barghouti ini adalah seorang jurnalis senior yang sudah lama meliput berita konflik internasional,
khususnya Israel. Lantas mencuri perhatian dunia dan membangunkan solidaritas para jurnalis di
seluruh dunia serta mempertanyakan supremasi payung hukum jurnalis.

Berbagai forum para jurnalis diselenggarakan dan dijadikan sebuah kesempatan untuk
membaca peran media dalam konflik internasional. Demikian halnya juga merunut rekaman sejarah
perjuangan para jurnalis di tanah konflik. Pasalnya, Shireen Abu Akleh bukan korban pertama yang
menimpa jurnalis.

Independensi Media yang Dipertanyakan

Tragedi terbunuhnya Jurnalis Shireen Abu Akleh, jika dirangkai dengan peristiwa
sebelumnya, merupakan sebuah peristiwa rapi yang terstruktur dan sistematis. Sejarah telah
merekam peristiwa penyerangan Israel terhadap jurnalis. Pada Mei 2021 lalu gedung kantor media
internasional di jalur Gaza dijatuhi bom oleh Israel. Publik yang kritis tentu dapat membaca
fenomena yang arah sasarannya sangat jelas ini.

Publik harus harus kritis dalam membaca berita bahwa sebenarnya sebuah berita tidak lahir
secara independen, melainkan berkesinambungan dengan peristiwa sebelumnya. Maka jika ada
media yang beropini bahwa terbunuhnya jurnalis Shireen Abu Akleh disebabkan tembakan warga
Palestina yang salah sasaran, perlu dikaji ulang. Apakah masuk akal jika dikaitkan dengan peristiwa di
bulan Mei 2021 lalu?

Tidak hanya itu, berita yang bernada kurang kuat atau malah menyudutkan tuduhan Media
lain juga patut untuk dikritisi. Indikasi berita hoaks dan tidak kredibel biasanya selalu tampak dari
judul yang kurang faktual dan tajam. Seperti judul berita di Voa News: “Jurnalis Terbunuh, AlJazeera
Menuduh Israel”. Berita yang menyudutkan media lain adalah hal yang tabu di dunia jurnalistik yang

1
Terbit di Majalah tabligh PP Muhammadiyah pada bulan Juni 2022
seolah publik diarahkan untuk tidak percaya pada media yang disudutkan itu. Ada sebuah ketakutan
di media Voa News dalam judul berita itu.

Kemudian dari judul berita itu, kita kembalikan kepada nalar kita. Apakah logis jika menuduh
tembakan orang Palestina yang salah sasaran sementara Israel sejak dahulu menodong Jurnalis dan
menewaskan puluhan jurnalis bahkan gedung kantornya?

Berita-berita yang meutarbalikkan fakta sangat menyalahi kode etik Jurnalistik, yaitu
independensi. Berbagai media yang menjadikan Israel sebagai “bahan bakar” media tersebut
mewartakan tindakan Israel dengan nada yang halus, heroik-defensif, dan positif untuk
menyembunyikan tindakan kekejaman apharteid nya. Semua fakta pembunuhan, kekejaman,
kegaduhan, dan operasi militernya dibungkus dengan narasi “pertahanan dari Hamas Palestina yang
dianggap teroris”.

Lagi-lagi, menganggap Hamas sebagai kelompok teroris adalah sebuah berita bohong dan
tameng belaka. Faktanya, pengadilan Uni Eropa tidak menyetujui pengelompokan Hamas sebagai
gerakan teroris. Hanya Israel dan Amerika yang mengklaim secara sepihak.

Pemelintiran fakta dalam berita sangat kentara ketika membaca perbedaan yang signifikan
dalam berita tentang Ukraina dan Palestina yang ditulis oleh Media Barat. Misalnya media The
Guardian. Ketika mendapati korban serangan Rusia, mereka menarasikan “US Film-maker Brent
Renaud reportedly killed by Russian forces in Ukraine.” Beda halnya ketika mewartakan terbunuhnya
jurnalis Shireen Abu Akleh : “AlJazeera Accuse Israeli Forces of Killing Journalist in West Bank”.
Korban Ukraina mereka sebut dengan jelas siapa pembunuhnya. Sementara pembunuhan jurnalis
malah menyudutkan tuduhan media lain.

Media Massa dan Arah Geopolitik Israel

Terbunuhnya jurnalis Shireen Abu Akleh membuka tirai arah geopolitik Israel kepada publik.
Serangan berkali-kali terhadap Jurnalis adalah indikasi bahwa jurnalis menjadi target sasaran Israel.
Shireen Abu Akleh adalah korban jurnalis ke-45 yang meninggal oleh ulah Israel yang terdata dalam
Kementerian Informasi Palestina. Dengan demikian, menyerang jurnalis sudah menjadi strategi
khusus untuk melancarkan aksi penjajahan Israel.

Para jurnalis mengetahui dan menyadari resiko mematikan ini. Namun para jurnalis tetap
setia menyuarakan kebenaran di lokasi kejadian. Demi menjaga legalitas dan keamanan selama
bertugas di lapangan, para jurnalis mengenakan seperangkat seragam agar keberadaan mereka
dilindungi sebagaimana payung hukum yang ada. Kasus Shireen Abu Akleh sangat melanggar
Undang-Undang Pers Nomor 40 tentang jaminan keamanan para jurnalis dan pidana bagi oknum
yang mengganggunya. Shireen ditembak ketika bertugas meliput di lapangan dengan mengenakan
jaket dan helm bertuliskan PRESS.

Upaya Menangkal Media Barat

Dukungan warga negara Indonesia atas kemerdekaan Palestina adalah amanat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Solidaritas rakyat Indonesia kepada
bangsa Palestina bukan sebatas soal agama, melainkan kemanusiaan dan kesadaran senasib bahwa
bangsa kita dahulu juga pernah dijajah. Kesadaran ini semestinya menghadirkan rasa prihatin dan
peduli atas Palestina.
Solidaritas ini dapat diimplementasikan ke dalam bentuk apapun. Misalnya, dengan
menegasikan penyebutan negara Israel dan tidak menganggapnya sebagai sebuah negara. Di negara
Jiran Malaysia dibiasakan untuk menyebut Israel dengan sebutan “Zionis” dan “occupied East
Jerussalem”. Hal ini mereka tunjukkan untuk menolak penjajahan atas bangsa manapun dan atas
nama apapun.

Seorang jurnalis senior Al-Jazeera, Hardjito, mengungkapkan bahwa setiap individu dapat
berkontribusi menyuarakan kemerdekaan Palestina dengan tindakan paling sederhana yang bisa
dijangkaunya. Contohnya dengan membangun pola pikir yang lurus dan tegas tentang Palestina dan
penjajahnya. Jika dia seorang pemikir atau pelajar, maka banyaklah menulis tentang “kebenaran” di
tengah Palestina dan kebengisan Zionis. Jika seorang pelukis, mulailah melukis keindan masjid Al-
Aqsa dan tanah baitul Maqdis yang mulia. Dan masih banyak lagi. Mulailah dari diri sendiri,
kemudian beranjak untuk memberikan pemahaman kepada lingkungan sekitar dan memberikan
edukasi sejarah persahabatan Palestina-Indonesia. Upaya ini akan berdampak pada kemampuan
berpikir kritis masyarakat untuk menangkal arah geopolitik Israel yang ingin membungkam fakta
kebengisan mereka yang direkam oleh Jurnalis.

Anda mungkin juga menyukai