Anda di halaman 1dari 3

DALANG DI BALIK PEMBUNUHAN BENAZIR (?

)
Oleh : Shiddiq Amien

Kamis sore (27/12-07) dunia dikejutkan dengan berita tewasnya pemimpin oposisi Pakistan,
Benazir Butho, yang ditembak oleh seorang penyerang yang kemudian si penyerang itu
meledakkan diri dan menewaskan lebih dari 20 orang pendukung Benazir. Para pemimpin
duniapun bereaksi mengecam pembunuhna tersebut, tak terkecuali George Bush yang
dengan emosional mengungkapkan duka cita rakyat AS atas kematiannya.

Benazir dibesarkan dalam keluarga muslim. Ayahnya Zulfikar Ali Butho adalah Perdana
Menteri Pakistan yang tewas di tiang gantungan oleh Presiden Zia Ul-Haq. Benazir oleh
keluarganya disekolahkan di sebuah yayasan Katolik ala Inggris di Pakistan. Saat berusia 16
tahun ia melanjutkan sekolah ke Radcliffe College di Massachusset, AS. Saat kuliah di
Amerika ia benar-benar mereguk kebebasan yang tidak bisa ia jalani di Pakistan. Dari
Amerika ia melanjutkan pendidikan di Oxford, Inggris dan mengambil jurusan Ilmu Hukum
dan Politik. Ia termasuk mahasiswa pandai dengan gaya hidup yang liberal.

Benazir terjun ke gelanggang politik melanjutkan perjuangan ayahnya dengan Pakistan


People’s Party (PPP) sebagai kendaraan politiknya. Sebuah partai yang secara konsisten
memperjuangkan sebuah ideologi yang relatif unik, yakni perpaduan antara sosialisme
dengan Islam.yang kemudian dikenal dengan sebutan Buthoisme. Di sebuah negara yang
dibentuk dengan idelisme menegakkan segenap ajaran Islam secara menyeluruh, maka
keberadaan sebuah partai berlandaskan sosialisme menjadi sesuatu yang tidak biasa. Tidak
mengherankan jika keberadaan keluarga Butho kerap membuat gerah, bukan hanya pihak
militer yang cenderung melihatnya sebagai biang dari segala bentuk instabilitas, tapi juga
bagi kelompok muslim konservatif yang cenderung melihat keluarga Butho sebagai dissident
group ( kelompok yang menyimpang) yang dapat menjauhkan rakyat Pakistan dari nilai-nilai
Islam.

Pada awal pemerintahannya kebijakan Ali Butho kental dengan nuansa sosialisme. Hal ini
terlihat dari kebijakan di bidang ekonomi dan sosial . Ia melakukan reformasi terhadap
kebijakan rezim Ayub Khan sebelumnya, yang dipandang Butho sebagai bentuk mutlak dari
kapitalisme. Hampir semua bank, perusahaan asuransi, industri besar dan industri
transportasi dinasionalisasikan. Di sisi lain kaum buruh diberikan banyak kemudahan dan
fasilitas. Dengan motto “ Sandang, Pangan, dan Papan “ ia berupaya meningkatkan
kehidupan rakyat kecil. Sehingga ia mendapatkan simpati dari masyarakat bawah terutama
buruh dan petani. Namun demikian seindah apapun ide dan gagasan Butho, dalam
implementasi dan realitanya tidaklah seindah ide dan gagasan. Seolah mengikuti trend
pemerintahan sosialis lain di negara-negara dunia ketiga, pertumbuhan ekonomi Pakistan
anjlok dari rata-rata 6,7 persen pertahun pada era tahun enam puluhan menjadi 3,6 persen,
bahkan pada tahun 1977 tidak sampai 2 persen. Nasionalisasi bank dan industri juga telah
menimbulkan keguncangan hebat di bidang ekonomi. Berbagai kegagalan Ali Butho itu
ternyata tidak banyak mempengaruhi anggapan dan keyakinan para pendukungnya, terbukti
meskipun perekonomian Pakistan mundur pada masa pemerinthan Ali Butho, kebanyakan
rakyat kecil tetap setia dan percaya dengan Buthoisme.

Menyangkut dalang di balik pembunuhan Benazir muncul berbagai spekulasi. Bush dan
Musharraf seperti biasanya dengan lantang menuduh kaum teroris, Al-Qaeda, atau Islam
fundamentalis. Hal ini memang bisa saja terjadi, karena mereka menilai Benazir merupakan
sekutu dekat AS dan sangat anti Islam. Hal ini bisa dilihat dari pidato yang disampaikan
Benazir sesaat sebelum menemui ajal. Dalam rapat akbar bersama pendukungnya ia
menegaskan bahwa jika dirinya berhasil menjadi pemimpin Pakistan kembali, maka dia akan
langsung memimpin pemberangusan gerakan Islam di seluruh Pakistan. Ia menyebut
gerakan Islam dengan istilah “ Terorisme Fundamentalis “. Dari atas podium ia berseru :
“ Apakah kita harus meminta orang asing untuk memberangus gerakan fundamentalis ini ?
Tentu tidak ! Kita akan bersama-sama, aku dan kalian semua, untuk menghabisi kelompok-
kelompok fundamentalis yang mendirikan pemerintahan bayangan di Pakistan ini !”
Spekulasi lain menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin, kematian Benazir memang sudah
dirancang jauh-jauh hari oleh kekuatan global anti Islam untuk semakin mengacaukan
Pakistan sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia sehingga terpecah belah dan
hancur. Bukankah pernah dilansir oleh banyak media internasional sebuah dokumen AS
yang ingin melenyapkan Pakistan dan Indonesia di tahun 2025 ? Sebuah dokumen yang
merupakan hasil kajian strategis dari sebuah lembaga di bawah pimpinan mantan Menteri
Pertahanan AS berdarah Yahudi, William Cohen, yang berjudul “ Asia Tahun 2025 dan
Pengaruhnya Terhadap Kemanan Nasional Amerika di Abad 21 “. Dokumen tersebut dengan
tegas memprediksi atau menskenariokan Indonesia dan Pakistan akan hilang dari peta bumi
pada tahun 2025. Penyebabnya adalah karena konflik internal atau konflik antar suku,
golongan, sparatisme, atau agama. Sebagai syarat mutlak untuk itu adalah ketidak stabilan
politik dan ekonomi.

Kabar yang cukup mengejutkan datang dari seorang Jurnalis wanita dengan nama samaran
Marsha yang menjadi pacar gelap seorang double agent rahasia CIA dengan nekad telah
membuka tabir rahasia tentang keterlibatan dan konspirasi CIA, Bush dan Musharraf dalam
aksi pembunuhan Benazir, dengan sandi Operation “ Red-Scane “ CIA, melalui sebuah
email yang ia kirim ke kantor berita dan stasiun Al-Jazirah pada tanggal 13 Desember 2007
pk. 11:35 AM. Operasi tersebut terdiri dari dua skenario ( Plan A dan B ). Operasi ini dibuat
setelah Musharraf, kacungnya Bush, popularitasnya anjlok di mata rakyat Pakistan akibat
kebijakan otoriternya selama ia berkuasa. Plan A : ( Musharraf menjadi orang nomer satu,
dan Benazir menjadi orang kedua ). Benazir dibujuk kembali ke Pakistan dan diberi
kebebasan untuk ikut Pemilu dengan syarat harus bersedia berkoalisi dengan Musharraf
sebagai wakil atau menjadi orang kedua. Benazir ternyata setuju, dengan catatan sepanjang
dia tidak menang mutlak. Musharraf lalu mengadakan konprensi pers di televisi yang
disiarkan secara nasional akan rencananya mengizinkan para oposisi sipil yang
mengasingkan diri ke luar negri untuk kembali ke Pakistan dan ikut berpartisipasi dalam
Pemilu. Di awal-awal kampanyenya Benazir menyatakan akan bersedia berkoalisi dengan
siapapun termasuk Musharraf demi mencapai kemenangan. Namun beberapa minggu
menjelang hari “H” pemungutan suara, masyarakat pendukung Benazir yang hadir dalam
setiap kampanyenya semakin membludak luar biasa. Kenyataan ini sangat mengkawatirkan
kubu Musharraf. Akhirnya seminggu menjelang hari “H” Musharraf mendesak Bush dan
CIA untuk segera merubah rencana dengan Plan B. (Menyingkirkan Benazir, dan Musharraf
tetap menjadi penguasa tunggal, dengan memberlakukan Undang-Undang Darurat ).
Melihat gelagat “ Solo-running “ yang dilakukan Benazir dengan kepercayaan diri yang kuat
melihat luasnya dukungan rakyat, dinilai membahayakan kekuasaan Musharraf, maka
Direktur CIA Mike Hayden pada tanggal 13 Desember 2007 ditemani Asisten Keamanan
dan Kontra Terorisme AS, Frances Fragos, menghadap Bush di Gedung Putih, mendesaknya
untuk menyetujui Plan B. Bush akhirnya menyetujui dengan menandatangani “ Dokumen
Rahasia Operasi Red-Scane Plan B di Pakistan “ .

Momen kematian Benazir yang juga sehabat dekat Bush dan symbol Figur Pro Demokrasi ,
menjadi counter issue yang sangat manjur untuk mendongkrak popularitas Bush yang sudah
sangat kedodoran akibat kegagalan misi gilanya di Afganistan dan Irak serta perang
melawan “ Terosrisme international “. Pengkambing hitaman Al-Qaeda sebagai pelaku
pembunuhan Benazir, dan sikap tega dan keji Bush dengan mengorbankan salah seorang
sehabat terbaiknya, seorang Benazir yang idealis, yang dinilai sebagai Pejuang demokrasi,
lambang kedigdayaan seorang wanita pertama yang menjadi pemimpin di negara muslim,
menjadi sebuah startegi jitu, sehingga masyarakat dunia dan rakyat Amerika seolah
terhenyak dan terbangun dari tidurnya, timbul kembali banyangan kebrutalan kaum teroris
atas peristiwa WTC. Esensi kematian Benazir adalah kampanye bahwa Al-Qaeda masih
exist dan masih sangat berbahaya, bahkan masih merupakan ancaman besar bagi keamanan
dunia sehingga isue “ Axis of Evil “ ( Poros Setan ) yang selama ini dikampanyekan Bush
masih sangat relevan, dan apa yang selama ini dilakukan Bush sudah benar adanya. Benazir
telah menjadi tumbal dari sistem demokrasi yang dengan gigih diperjuangkannya, serta
korban sia-sia dari ambisi seorang “ Pendekar “ HAM dan Demokrasi yang bernama Bush.

Anda mungkin juga menyukai