Anda di halaman 1dari 5

Putra Tri Kurnianto

1206618058

Bahasa Indonesia

Ulasan Film Fight Club

Fight Club hadir sebagai kritik terhadap kemonotonan dunia kerja yang
mengalienasi setiap orang di dalamnya, menjembatani negasi itu hanya dengan satu
kata, konsumsi. Walau terbit tahun 1999 film kerja sama antara Sutradara David Fincher
dan Penulis Chuck Palahniuk ini kiranya masih relevan hingga sekarang. Terlepas dari
plot twistnya yang dielu-elukan, Fight Club punya banyak sisi menarik yang kiranya
pantas untuk didiskusikan.
Sang narator (Edward Norton) yang juga pemeran utama dalam film ini,
merupakan seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa.
Semuanya dimulai saat insomnia menjangkit sang narator. Keadaan yang membuatnya
merasa menderita. Dalam kebuntuannya itu, oleh dokter ia direkomendasikan untuk
ikut dalam sebuah support group yang berisi orang-orang dengan kanker testikular di
sebuah gereja agar bisa melihat bagaimana penderitaan yang sebenarnya.

Ada ungkapan dari sang narator ketika ia pada akhirnya bisa meluapkan
emosinya dengan berpelukan dan menangis bersama Bob (Meat Loaf), “Aku
menemukan kebebasan. Melepaskan semua harapan adalah kebebasan.” Ungkapan
nihilistik ini membuat saya terpaksa menghentikan film dan berpikir. Benar kiranya,
harapan pada akhirnya adalah sesuatu yang membelenggu, sesuatu yang membuatmu
susah tidur. Ya, harapan-harapan yang muncul akbiat ilusi dunia modern, seperti
keadaan si narator.

Si Narator menjadi kecanduan, tak hanya support group kanker testikular, ia juga
masuk di kelompok orang-orang dengan penyakit seperti hepatitis, TBC, dan lain-lain. Ia
sama sekali tidak mempunyai penyakit atau sedang dalam keadaan menunggu ajal, ia
bergabung hanya untuk bisa tidur nyenyak. Namun kesenangannya berakhir kala Marla
Singer (Helena Bonham Carter) hadir. Marla hadir di setiap pertemuan yang Narator
datangi. Membuatnya tak nyaman dan kembali tak bisa tidur.

Alasan Marla bergabung hanya karena ia bisa dapat kopi gratis juga anggapan
bahwa ia dapat mati kapanpun. Suatu hal yang menjadi kesamaan antara dirinya dan
para anggota support group, bahwa mereka sama-sama merasa menderita akibat
keadaannya yang mortal itu. Satu lagi,sebuah metafora yang disampaikan Narator dan
Marla yang tepat menggambarkan bagaimana support group itu, adalah ketika orang
berpikir kau sekarat, mereka akan lebih memperhatikanmu. Jelas, bagaimana kondisi si
Narator yang terisolasi dalam dunianya, dalam kesendirian dan hanya dengan mengikuti
support group ia dapat setidaknya lahir kembali setiap malam.
Lalu pada sebuah perjalanan bisnis, ia bertemu Tyler Durden (Brad Pitt) seorang
laki-laki nyentrik penjual sabun. Selain sebagai penjual sabun, Tyler adalah seorang yang
ahli dalam merakit bom. Dalam adegan ini banyak hal yang dapat kita maknai secara
dalam. Misal ketika Tyler berkata bahwa prosedur keselamatan dalam pesawat
hanyalah sebuah ilusi keselamatan. Setiap gambar instruksi dalam brosurnya misal,
selalu menunjukan wajah dengan senyum yang tenang. Sebuah penggambaran yang
tepat atas masyarakat kita yang dihadapkan pada situasi krisis namun dipaksa untuk
tenang tanpa harus menyelamatkan diri mereka. Juga penggambaran tepat tentang
manusia yang takut atas kematian yang mengenaskan, juga tentang kenyataan bahwa
keadaan mortal mereka adalah sesusatu yang pasti.

Sosok Tyler Durden hadir sebagai bentuk kemuakan atas kehidupan komersial,
sebuah sisi lain dari si Narator yang muak dan depresi akibat rutinitasnya. Ia adalah sisi
yang mewakili ketidakpuasan atas iklan di televisi. Kemuakan atas hidup dan diri yang
bahkan tak bisa dikuasai Kala segalanya telah dikendalikan oleh kapitalisme.

Sepulangnya si Narator dari perjalanan bisnisnya itu, ia mendapati


apartemennya telah habis terbakar beserta perabotan di dalamnya. Kemudian ia
menghubungi Tyler. Mereka menghabiskan malam dengan mengobrol sembari minum
bir di sebuah bar. Narator menceritakan tentang keadaannya dan di sini terdapat poin
penting, ungkapan Tyler tentang masyarkat sebagai konsumen, dan sifat konsumerisme.
Kita terbuai untuk membeli barang yang tak kita butuhkan, kita menjadi butuh karena
kita dibuat untuk butuh. Begitulah iklan bekerja. Kita hanyalah konsumen, kita terobsesi
dengan perlengkapan gaya hidup, apakah itu penting untuk keselamatan kita, apakah
itu benar-benar menunjang hidup kita secara kegunaan yang sebenarnya? Tidak, kita
membeli hanya karena kita ingin membeli. Dan pada akhirnya, segala hal yang kita miliki,
berkahir memiliki diri kita. Kita tak pernah merasa lengkap, layaknya si Narator yang
terisolasi dalam pekerjaannya.

Mencoba melengkapi hidup dan menyempurnakannya dengan konsumsi.


Konsumsi menjadi hasrat penyalur kepuasan di tengah kebuntuannya, seperti
perkataannya di bagian awal film sebelum adegan di pesawat, “Orang-orang yang
kukenal yang harusnya duduk di kamar mandi dan membaca pornografi, kini mereka
duduk di kamar mandi dengan membaca katalog furnitur IKEA mereka.”

Setelah perbincangan yang lama, Narator dan Tyler tiba di bagian belakang bar.
Tyler menyuruh si Narator untuk memukul wajahnya, dan ini lah yang menjadi
permulaan Fight Club. Sebuah kelompok pertarungan ilegal. Awalnya, beberapa orang
merasa bingung melihat bagaimana Tyler dan Narator menikmati kegiatan adu pukul itu.
Adalah karena mereka menempatkan diri mereka pada jalur destruksi diri. Dengan
menjadi penguasa atas diri mereka sendiri yang tak pernah mereka rasakan, mereka
menjadi bebas dengan menempuh jalur destruksi diri demi sesuatu yang lebih besar.
Lambat laun, si Narator mulai menikmati kegiatannya yang eskapis (melarikan diri dari
kenyataan-Red) itu dan segera menggantikan kebutuhannya atas support group.

Penghancuran diri adalah proses rasa sakit yang ditempuh oleh si Narator
melalui Fight Club, rasa sakit yang membuatnya lahir kembali. Bukan sebagai pekerja
kantoran kesepian yang hobi belanja furnitur untuk mengobati dirinya. Tapi sebagai
seorang yang bebas, tuan bagi dirinya sendiri dan bukan lagi sebagai budak dari apa yang
ia miliki. Namun tentu saja, Fight Club sendiri hanya sebagai fase untuk proyek yang
lebih besar. Setelahnya, Tyler membuat Project Mayhem, di sinilah awal dari manifestasi
ketidakpuasan para anggota Fight Club terhadap dunia dan pekerjaan mereka.

Space Monkey, itulah sebutan bagi para anggota Project Mayhem. Nama space
monkey merujuk pada monyet-monyet percobaan yang diluncurkan oleh NASA ke
bagian luar angkasa yang belum terjamah , dan dikorbankan untuk kepentingan
manusia. Mereka beraksi tiap malam dengan menghancurkan fasilitas umum,
meledakan toko elektronik, juga menyabotase papan iklan dengan menjungkirbalikkan
makna pesan pada iklan yang menurut saya mirip dengan metode detourment oleh
Situasionis Internasional, sebuah kelompok revolusioner yang terkemuka di Eropa.

Kritik yang juga terdapat di film ini adalah tentang bagaimana kapitalisme dapat
menentukan identitas tiap orang. Alih-alih membentuk sendiri identitas itu, masyarakat
lebih senang untuk membelinya. Mendapatkannya dari apa yang kapitalisme sediakan.
“Kau bukan pekerjaanmu. Kau bukan berapa banyak uang yang kau punya di bank. Kau
bukan mobil yang kau kendarai. Kau bukan isi dompetmu. Kau bukan celana khakis-mu.
Kalian adalah kotoran,” Ucap Tyler.

Terlepas dari kritik sosialnya, secara pribadi Fight Club adalah semacam obat bagi
saya dan beberapa teman kala kami dihadapkan pada situasi-situasi sulit. Layaknya
paracetamol yang dikonsumsi saat tak enak badan. Terhitung hampir delapan kali saya
menonton film ini tanpa ada rasa bosan. Hal lain yang menarik bagi saya adalah
bagaimana film ini memberi pesan bahwa apakah kita harus khawatir dengan kehidupan
ketika tak ada yang menginginkan kita, pun ayah ataupun Tuhan itu sendiri, layaknya
ucapan Tyler.
Sama halnya dengan kematian yang akan selalu melekat pada diri manusia
namun satu sisi juga menjadi ketakutan terbesar baginya. Bahkan ketika manusia
diingatkan atas keadaannya yang mortal, mereka menjadi merasa kasihan dengan diri
mereka sendiri sehingga lupa bahwa mereka masih hidup dan menjalani hidup tak lebih
hanya untuk menunggu kematian itu datang. Sialnya adalah kita tak pernah tahu kapan
ia datang.

Walau beberapa teman mengatakan bahwa pesan di film ini juga mengandung
unsur misoginis dan budaya maskulin, tak menjadikan keseluruhan film ini menjadi
buruk, toh misoginis atau tidak itu juga masih bisa diperdebatkan, pun budaya maskulin
di dalamnya. Karena banyak pesan dalam film ini yang tak dapat kita maknai hanya
secara literal.

Akhir kata, baik David Fincher atau Chuck Palahniuk kiranya berhasil menyajikan
gambaran jelas atas kemuakan, kepahitan, dan kegilaan yang dihasilkan oleh peradaban
kita melalui film ini. Sebuah gambaran jelas keadaan masyarakat kita yang terisolasi,
penuh krisis dan terjebak dalam ilusi pemuas hasrat bernama konsumerisme, yang juga
membuat orang didalamnya menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun. Hancur
dan runtuh bersama peradaban.

Anda mungkin juga menyukai