Anda di halaman 1dari 15

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN KORBAN

TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG MELAKUKAN ABORSI

Oleh: Dwinda Sukma Wardani (220710101038)

ABSTRAK

Tindak aborsi merupakan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang yang mana pelaku
dari tindak aborsi ini dapat dikenakan sanksi pidana. Namun, ada pengecualian terkait tindak
aborsi ini, yakni apabila aborsi dilakukan karena suatu indikasi medis dan merupakan korban
tindak pidana perkosaan. Korban perkosaan yang melakukan aborsi seharusnya mendapatkan
perlindungan hukum sebab penderitaan fisik bahkan psikis yang dialami korban perkosaan.
Dalam kepenulisan ini, dirumuskan masalah terkait perlindungan hukum dan akibat hukum
bagi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi dari ancaman tindak pidana aborsi.
Perlindungan hukum bagi perempuan korban perkosaan yang melakukan tindak aborsi
sendiri, diatur pada, Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 2 Permenkes No. 3
Tahun 2016, Pasal 48 KUHP, Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 46 sampai dengan
Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2004, serta Pasal 98 KUHAP. Perempuan korban perkosaan yang
melakukan aborsi tidak memiliki akibat hukum, karena dasarnya mereka melakukan tindak
aborsi karena adanya unsur paksaan yang mana mereka belum siap untuk menghadapi
penderitaan yang dialaminya akibat perkosaan. Tindak aborsi sendiri diperbolehkan berdasar
pada Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009. Namun, tindak aborsi yang dilakukan oleh
perempuan yang bukan merupakan korban perkosaan serta tanpa indikasi medis, maka bagi
pelakunya dikenai sanksi pidana yang tercantum pada pasal 194 UU No. 36 Tahun 2009,
Pasal 299 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348 KUHP, serta Pasal 349
KUHP. Sedangkan pelaku tindak pidana perkosaan sendiri dapat dijatuhi sanksi hukuman
pidana yang mana berdasarkan pada Pasal 285 KUHP, pasal 286 KUHP, serta Pasal 289
KUHP.

Kata Kunci: Aborsi; Korban Dan Perkosaan; Perlindungan Hukum.

PENDAHULUAN

Kejahatan atau tindak pidana merupakan suatu persoalan yang yang tak luput terjadi di
kehidupan manusia. Persoalan mengenai mengapa tindak pidana dapat terjadi dan bagaimana
mengatasinya merupakan suatu hal yang tak henti diperdebatkan. Kejahatan kesusilaan ialah
tindak pidana yang mana erat kaitannya dengan masalah kesusilaan, dalam konteks ini
kesusilaan dikaitkan dengan nafsu seksual maupun perbuatan yang mengandung unsur
seksual dan tidak senonoh yang mana dapat mengakibatkan tersinggungnya rasa malu seksual
pada diri seseorang maupun kelompok.

Kejahatan asusila dewasa ini sering terjadi salah satunya dalam hal ini pada kasus
kejahatan seksual. Pelaku pada kasus tindak pidana kejahatan seksual tidak lagi mengenal
batasan usia, tempat, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan seseorang. 1 Dengan demikian,
jelas bahwa setiap dari kita ini pun memiliki potensi yang sama untuk menjadi pelaku dalam
tindakan pelecehan seksual. Tetapi, yang membuat pelaku pelecehan dan kita berbeda adalah
proses untuk membuat keputusan atau dalam memilih untuk melakukan pelecehan atau tidak.

Pemerkosaan di indonesia sendiri menempati urutan kedua dalam kasus kekerasan


seksual. Bahkan di indonesia menurut Komnas Perempuan, mencatat setiap 2 jam terdapa 3
perempuan Indonesia yang mejadi korban pelecehan seksual. 2 Hal ini menjelaskan betapa tak
sedikitnya perempuan yang menjadi korban dalam pemerkosaan. Bentuk pelecehan seksual
sebenarnya ada banyak, namun yang akan di bahas kali ini yaitu bentuk pelecehan seksual
pekosaan. Perkosaan yang terjadi pada diri seorang korban tak jarang menimbulkan dampak
psikologis yang besar pada korban. Terlebih apabila korban dari perkosaan ini mengalami
kehamilan akibat perbuatan perkosaan tersebut. Kehamilan ini menjadi suatu penderitaan
kedua bagi korban peekosaan, sebab selain menghadapi suatu hal yang tidak diinginkan, ia
juga menghadapi suatu hal yang terjadi tanpa persiapan sama sekali. Sehingga pada akhirnya
perempuan korban perkosaan ini melakukan tindak aborsi.

Perempuan korban tindak pidana perkosaan yang melakukan aborsi harus mendapat
perlindungan hukum, karena mengingat kehamilan yang terjadi tersebut merupakan sesuatu
di luar kehendak perempuan yang hamil karena tindak pidana perkosaan. Perempuan yang
hamil karena tindak pidana perkosaan tentu mengalami trauma yang sangat besar pada
dirinya yang mana perempuan tersebut akan dianggap sebagai aib oleh keluarga maupun
masyarakat. Di Indonesia sendiri, tindak aborsi ini dengan tegas dilarang oleh Undang-
Undang, yang mana hal ini dapat dilihat pada KUHP dalam Pasal 55 ayat (1) yang
menyatakan: “Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1e. orang yang

1
Yoanda Eka, S., & Suhadi, G. P. R. TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP WANITA YANG MELAKUKAN
PERKOSAAN TERHADAP LAKI-LAKI THE CRIMINOLOGICAL REVIEW OF WOMEN ON MALE RAPE. Hal. 3.
2
Kompas.com, “Komnas Perempuan Sebut Setiap 2 Jam Ada 3 Perempuan Indonesia Jadi Korban Kekerasan
Seksual”, (nasional kompas, 13 Januari 2022),
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/13/09173181/komnas-perempuan-sebut-setiap-2-jam-ada-3-
perempuan-indonesia-jadi-korban, diakses pada 11 Desember 2022.
melakukan dan menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu”. Selain itu dapat
dilihat dalam Pasal 348 KUHP ayat (1) yang menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja
menyebakan guugur atau mati kandungan dari seorang perempuan dengan izin perempuan itu
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan”.

Selain itu tindak pidana aborsi yang mana praktiknya dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lainnya juga dilarang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang mana disebutkan secara jelas pada Pasal 75 Ayat (1), namun terdapat
pengecualian yang mana dijelaskan dalam Pasal 75 Ayat (2) huruf b, yaitu:

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi;

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan

kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.3

Pada hakikatnya korban tindak pidana perkosaan yang hamil dan melakukan aborsi
mendatangkan dampak yang besar bagikorban itu sendiri, dengan demikian maka tidak sesuai
bahkan tidak tepat apabila perempuan yang melakukan aborsi karena hamil akibat tindak
pidana perkosaan dijatuhi hukuman pidana. Bukannya mengkriminalisasi perempuan korban
perkosaan yang hamil dan melakukan aborsi melainkan adanya suatu perlindungan hukum
diperlukan bagi perempuan tersebut. Sehingga pada kepenulisan ini merumuskan beberapa
permasalahan diantaranya, bagaimana bentuk perlindungan hukum yang didapat oleh
perempuan yang melakukan aborsi karena hamil akibat tindak pidana perkosaan dari
ancaman tindak pidana aborsi serta bagaimana akibat hukum bagi perempuan yang
melakukan tindak aborsi akibat perkosaan.

A. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan pada teks ini yakni:
1. Untuk mengetahui sejauh bagaimana manfaat yang didatangkan dari pengimplementasian
terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara khusus
terkait tindak aborsi bagi korban pemerkosaan.
2. Untuk mengetahui akibat hukum bagi perempuan yang melakukan tindak aborsi karena
perkosaan
B. Manfaat Penulisan
3
Onibala, C. A. (2015). Tindakan Aborsi yang Dilakukan oleh Dokter dengan Alasan Medis Menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009. LEX ET SOCIETATIS, hal.4.
1. Manfaat Akademis
Kepenulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau masukan bagi kalangan
akademik dalam hal menambah wawasan serta bahan kepenulisan lebih lanjut terkait
dengan perlindungan hukum bagi perempuan yang melakukan tindak aborsi karena hamil
akibat perkosaan.
2. Manfaat Praktis
Adapun secara praktis kepenulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Penulis
Sebagai kajian untuk mengetahui tentang sejauh mana pengimplementasian dari peraturan
yang melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan di Indonesia
b. Masyarakat
Hasil kepenulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat
hal tanggapan pro maupun kontra mengenai legalisasi aborsi bagi korban pemerkosaan di
Indonesia.

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Perempuan yang Melakukan Aborsi Karena Hamil


Akibat Tindak Pidana Perkosaan
Perkosaan erat kaitannya dengan kekerasan yang terjadi pada perempuan. Perkosaan
merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan yang mana terdiri dari kekerasan fisik,
psikis, dan seksual.4 Terjadinya perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki pada perempuan
tidak hanya sekedar untuk pelampiasan hasrat seksual laki-laki yang melecehkan perempuan,
melainkan juga keinginan laki laki tersebut untuk merendahkan bahkan menistakan
perempuan korban perkosaan dengan menggunakan seks sebagai senjata untuk melakukan
kekeraan, kekuatan, dan agresinya.

Sebagaimana dijelaskan bahwa batasan hukum perkosaan saat ini bersumber pada Pasal
285 KUHP, yang berisi: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,
dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Akibat dari adanya perkosaan, korban ini mengalami suatu kerugian yang mana kerugian
itu berupa penderitaan secara fisik, psikis, bahkan sosial. Penderitaan fisik yang dialami oleh
perempuan korban perkosaan yang hamil, antara lain terjadi peradangan dan infeksi pada
4
Rahmi, A. (2018). Urgensi Perlindungan Bagi Korbankekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu Berkeadilan Gender. Jurnal Mercatoria, hlm. 42.
vagina atau rektrum, Apabila terjadi penetrasi di oral akan mengakibatkan sakit pada
tenggorokan atau luka pada area mulut, gangguan hasrat seksual hipoaktif (HSDD), yaitu
keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau bahkan menghindari semua kontak
seksual. Tidak hanya itu saja, korban juga dimungkinkan mengalami luka pada area tubuh
lainnya karena pukulan maupun luka tusuk yang dilakukan karena paksaan dari pelaku
perkosaan, dapat mengalami kehamilan bagi korban, bahkan daat juga tertular penyakit
kelamin yang mana dapat ditularkan melalui vagina, rektrum, mulut, dan tenggorokan.5

Dampak secara psikis yang dapat dirasakan oleh korban perkosaan diantaranya adalah
korban pemerkosaan merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas musibah yang
dialaminya, Korban pemerkosaan berisiko tinggi mengalami beberapa gangguan mental,
seperti depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), dan gangguan cemas. 6 Ini dapat terjadi
karena korban selalu teringat akan kejadian traumatis tersebut, sehingga mereka merasa
selalu dalam bahaya, bahkan yang lebih bahayanya lagi yaitu keinginan korban untuk bunuh
diri yang mana dipicu karena perasaan malu dan bersalah dari perkosaan yang dialaminya.

Secara sosial dampak perkosaan dapat korban yaitu tak jarang dikucilkan dalam
kehidupan sosial, yang mana seharusnya korban mendapatkan motivasi ataupun dukungan
moral bukan pengasingan dari lingkungan sosial. Hal ini tentunya dapat menambah rasa
trauma bagi korban perkosaan.

Perkosaan diartikan sebagai pemaksaan hubungan untuk bersetubuh seorang pria kepada
seorang perempuan. Konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya hubungan persetubuhan ini
adalah terjadinya kehamilan.7 Kehamilan pada korban perkosaan jelas merupakan suatu hal
tidak diinginkan. Bagi korban perkosaan yang berakibat hamil, dan pada akhirnya harus
melakukan aborsi akan berdampak kepada tindakan perbuatan melawan hukum. Keadaan
yang demikian merupakan akibat dari tindakan aborsi terhadap janin yang dikandungnya
untuk melindungi dirinya dari perbuatan yang memalukan itu dan juga tindakan aborsi ini
dapat dilakukan untuk mengurangi rasa trauma yang mana korban dari perkosaan itu belum
siap untuk memiliki anak dari pelaku tindak pidana perkosaan tersebut. Sebagai pelaku tindak
aborsi, perempuan tersebut dapat dipidana sebagaimana hukum positif yang berlaku pada saat
ini.

5
Achiryani Hamid, 1999, Kebutuhan Keperawatan Bagi Korban Perkosaan : Suatu Kajian Teoritik Krisis dan
Empirik, Elsapa, Bandung, hlm. 69.
6
Ibid.
7
Lestari, R. D. (2020). Perlindungan Hukum Perempuan Pelaku Aborsi Dari Korban Perkosaan Terhadap
Ancaman Tindak Pidana Aborsi. MAGISTRA Law Review, hlm. 8.
Padahal sebagai korban tindak pidana perkosaan ini seharusnya memperoleh
perlindungan hukum dalam hal melakukan aborsi karena mengingat korban mengalami
trauma yang cukup besar berdampak pada kehidupannya selain itu juga korban mengalami
stigma buruk di lingkungan masyarakat bahkan keluarganya sendiri. Memerlukan waktu yang
cukup lama untuk mengatasi trauma akibat kejadian perkosaan dan sulit untuk menjadikan
korban perkosaan kembali hidup normal seperti biasanya. Yang mana penderitaan korban
perkosaan selama ini adalah suatu kesengsaraan diri baik tubuh maupun jiwa korban. Hal ini
juga memicu hancurnya kecerdasan jiwa yang berdampak langsung apalagi perkosaan yang
terjadi itu menyebabkan suatu kehamilan bagi korban. Sehingga dalam kasus ini, tak jarang
dari korban perkosaan menarik diri dari lingkungan sosial dengan mengurung diri, membisu,
bahkan menyebabkan keterlambatan korban untuk melaporkan kasus yang terjadi pada
dirinya.

Aborsi merupakan salah satu bentuk reaksi perempuan yang mengalami khamilan yang
tidak diinginkan, termasuk akibat dari tindak pidana perkosaan. Namun, tidak semua
kehamilan yang tidak dikehendaki atau diinginkan ini akan berakhir dengan tindak aborsi.
Beberapa perempuan bisa saja memilih untuk meneruskan kehamilannya meskipun suatu
kehamilan yang terjadi pada dirinya merupakan suatu hal yang tidak dikehendaki, akan tetapi
perempuan yang memilih jalan seperti ini pun juga harus diberikan konseling karena
perempuan dalam hal ini bisa saja mengalami kondisi yang lebih buruk akibat resiko
meneruskan kehamilannya dengan terpaksa. Sehingga dalam kondisi seperti ini, aborsi
menjadi suatu kebutuhan yang tidak terelakkan bagi perempuan.

Tindak aborsi oleh korban tindak pidana perkosaan dilakukan karena mereka tidak
menghendaki kehamilannya yang mana terjadi di luar ikatan perkawinan sebab hal ini
tentunya apabila tidak dilakukan aborsi, maka akan menjadi pembicaraan oleh masyarakat,
sehingga aborsi dalam hal ini merupakan suatu jalan pintas bagi mereka. Dengan demikian,
dapat dikatakan tindak aborsi yang dilakukan korban perkosaan karena kehamilannya
merupakan suatu hal yang sudah tepat sebab kehadiran janin dalam kandungannya adalah
calon manusia baru yang dalam pikiran korban tersebut merupakan wakil dari pemerkosa,
sehingga akan terjadi ontradiktif dalam dirinya selama kandungannya berjalan.8

Korban perkosaan merupakan salah satu dari korban tindak pidana kejahatan yang juga
memerlukan perlindungan hukum. Dihukumnya pelaku perkosaan tidak langsung
menghilangkan rasa traumatis yang diderita oleh korban yang mana dapat dikatakan bahwa
8
Ibid., hlm. 11.
hal tersebut tidak menggantikan peristiwa yang telah terjadi para diri korban perkosaan.
Untuk dapat membawa kasus tersebut ke ranah hukum, maka korban harus mengingat dan
menceritakan kembali terkait peristiwa perkosaan yan menimpanya. Hal yang menjadi suatu
hambatan atau kendala bagi seorang hakim untuk menangani kasus aborsi yang dilakukan
oleh korban perkosaan biasanya sejak proses penyidikan di tingkat kepolisian korban yang
melaporkan tindakan ini tidak didampingi oleh psikolog maupun tim dari LPSK (Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban), sehingga dalam hal ini korban sulit untuk menjelaskan atau
memberikan keterangan atas tindakan yang terjadi para dirinya karena mental dan pisikis
korban yang sedang kacau pada saat itu. Mengenai bentuk perlindungan hukum bagi korban
perkosaan yang hamil dan melakukan tindak aborsi terhadap ancaman tindak pidana aborsi,
yaitu:

 Pengaturan aborsi secara khusus:


1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
Pada UU ini, larangan mengenai aborsi diatur pula dalam Pasal 75 Ayat (1). Namun
pada Ayat (2) menjelaskan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, mau-pun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.

Adapun tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 Ayat (2) tersebut hanya
dapat dilakukan apabila orang yang melakukan aborsi telah melalui konseling
dan/atau penasehatan pra tindakan dan dapat diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenan, sebagaimana
dijelaskan lanjut dalam Pasal 75 Ayat (3).

2. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2016


Yang mana menagtur suatu aborsi diperblehkan apabila terdapat indikasi medis
dan akibat perkosaan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 Permenkes No. 3
tahun 2016 yang menjelaskan bahwa: “Pelatihan dan penyelenggaraan pelayanan
aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan bertujuan
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam rangka pemberian
pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab”.
Aborsi dalam pasal ini dijelaskan hanya dapat dilakukan oleh dokter yang
mendapat pelatihan dan bersertifikat.Aborsi dilakukan oleh Tim Kelayakan Aborsi,
sebagaimana ketentuan Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17. Pelayanan aborsi atas indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat per-kosaan diatur di dalam Pasal 19, Pasal 20
dan Pasal 21 Permenkes Nomor 3 Tahun 2016.
 Pengaturan aborsi secara umum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Perlindungan hukum perempuan pelaku aborsi dari korban perkosaan terhadap


ancaman tindak pidana aborsi, didasarkan pada Pasal 48 KUHP, yakni : “Barangsiapa
melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat
dihindarkan tidak boleh dihukum”.

Daya paksa merupakan alasan eksternal yang mana tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana atau bisa disebut sebagai setiap daya, dorongan maupun
paksaan yang mana membuat seseorang tidak berdaya menghadapinya.

Pada sisi lain, berdasar pada Pasal Pasal 48 KUHP dinyatakan perbuatan aborsi
tetap suatu perbuatan melawan hukum, akan tetapi kesalahan atas perbuatannya
tersebut dapat dimaafkan karena pengaruh daya paksa (dalam hal ini hamil karena
perkosaan). Daya paksa ialan suatu hal dari alasan pemaaf, yaitu alasan yang
menghapuskan kesalahan si terpaksa. Dengan demikian, dapat dikatakan perbuatan
yang dilakukan perempuan dalam menggurkan (aborsi) kandungannya akibat
perkosaan tetap bersifat melawan hukum, sehingga tetap merupakan perbuatan
pidana, Namun dia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Yang mana hal ini
sesuai dengan asas hukum Green Straf Zonder Schuld (tidak ada pidana apabila tidak
ada kesalahan).

2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU ini khususnya yang tercantum pada Pasal 33, lebih jauh memberikan tumpuan
hukum yang kuat dalam memberikan perlindungan hukum kepada perempuan untuk
bebas dari segala bentuk kekerasan. Yang mana dalam Pasal 33 ini menyebutkan:
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya;

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan
nyawa.

Selain itu bentuk perlindungan hukum terkait hal ini juga terdapat pada Pasal 34
yang menambahkan bahwa: “Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa,
dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara se wenang-wenang”.

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara


Pidana (KUHAP)

Dalam KUHAP, perlindungan hukum korban ini dpat berupa tuntutan ganti
rugi karena perbuatan tersangka atau terdakwa (Pasal 98). Meski demikian
permintaan tuntutan ganti kerugian yang dimaksud baru dapat dilakukan dalam hal
adanya penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana.9

B. Akibat Hukum Bagi Perempuan yang Melakukan Aborsi Karena Hamil Akibat Tindak
Pidana Perkosaan

Aborsi yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan juga harus dipertimbangkan
untuk diatur secara khusus sebagai suatu jenis aborsi di luar dari macam-macam aborsi yang
berisfat kriminal atau medikalis, hal ini dikarenakan persoalan mengenai aborsi akibat
kehamilan dari perkosaan terdapat persoalan sosial serta budaya, yakni ketika pelaku aborsi
mendapat berbagai tekanan dari masyarakat sekitar, perempuan yang melakukan aborsi
karena kehamilan hasil dari perkosaan tidak mendapat perlakuan yang baik, dan dikucilkan
dari lingkungan sosial, yang mana hal ini tentu juga menimbulkan suatu kerugian bagi korban
berupa menambah beban mental bagi korban perkosaan.

Perbuatan yang merugikan dan berdampak buruk kepada orang lain, memilki akibat yang
harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, dalam hal ini pelaku tindak pidana perkosaan
maupun pelaku aborsi yang melakukan aborsi yang dilakukan tanpa adanya indikasi medis
ataupun perkosaan. Akibat hukum ialah akibat yang dilahirkan atau ditimbulkan karena
peristiwa hukum, oleh karena suatu peristiwa hukum disebabkan oleh perbuatan hukum,
sedangkan suatu perbuatan hukum juga dapat melahirkan suatu hubungan hukum, maka

9
Ibid., hlm
akibat hukum juga dapat dimaknai sebagai suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu
perbuatan hukum dan/atau hubungan hukum.10

Sejatinya tidak ada akibat hukum bagi perempuan yang melakukan aborsi karena
kehamilan yang disebabkan oleh perkosaan, sebab tindakannya tersebut terjadi karena ia
mengalami peristiwa yang tidak dikehendakinya (dalam hal ini perkosaan) yang mana terjadi
karena adanya daya paksa yang mana hal ini tentu tidak bertentangan dengan hukum jika
ditinjau pada Pasal 48 KUHP.

Mengenai aturan dilegalkannya tau diperbolehkannya aborsi ini dijelaskan pada Pasal 75
ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Perempuan yang melakukan tindak
aborsi karena kehamilahn yang disebabkan oleh perkosaan, seharusnya sejak awal tidak dapat
diajukan melalui proses hukum, selama hal tersebut dapat dibuktikan bahwa kehamilan yang
ditimbulkan menyebabkan trauma bagi korban perkosaan terutama korban perkosaan yang
masih tergolong di bawah umur. Akan tetapi, akibat hukum dari pelaku tindak aborsi yang
bukan merupakan korban perkosaan ataupun sesorang yang melakukan aborsi tanpa indikasi
medis dapat dikenai hukuman pidana.

Adapun sanksi pidana sebagai akibat hukum terhadap tindak pidana aborsi yang
dilakukan oleh seseorang yang bukan korban perkosaan ataupun seseorang yang melakukan
aborsi tanpa indikasi medis, dapat dikenai sanksi sebagai berikut:

1. Pasal 194 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, yang mana menyebutkan: Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
2. KUHP
a) Pasal 299
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau mengerjakan
sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan dengan memberitahukan atau
menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena itu dapat gugur kandungannya,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 45.000,-.

10
Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 86.
(2) Kalau sitersalah mengerjakan itu karena mengharapkan keuntungan, dari
pekerjaannya atau kebiasaannya dalam melakukan kejahatan itu, atau kalau ada
seorang tabib, dukun beranak (bidan) atau tukang membuat obat, hukuman itu,
dapat ditambah dengan sepertinya.
(3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dapat ia dipercat dari
pekerjaannya itu.
b) Pasal 346 KUHP
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk; itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
c) Pasal 347 KUHP
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang
perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara, selama-
lamanya lima belas tahun.
d) Pasal 348 KUHP
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang
perempuan dengan izin perempuan dengan izin perempuan dengan izin
perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan jadi mati, dia di di hukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
e) Pasal 349 KUHP
Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam kejahatan yang
tersebut dalam pasal 346, atau bersalah atau membantu dalam salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengan sepertiganya dan dapat ia dipecat dari jabatannya
yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu.

Adapun sanksi pidana sebagai akibat hukum dari tindak pidana perkosaan sebagai
berikut:

1. Pasal 285 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang
bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan
hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
2. Pasal 286 KUHP
Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang
diketahuinya, bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
3. Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup
15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya
untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya
perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada
pasal 291 dan 294.

Pasal ini ditujukan untuk melindungi perempuan yang masih di bawah umur
dari perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kesopanan supaya jiwanya tidak
terganggu dalam pertumbuhannya.

4. Pasal 289 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena
merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Hukuman pidana maksimum bagi pelaku tindak pidana perkosaan dalam Pasal
285 KUHP ialah dua belas tahun penjara, sedangkan pada pasal 289 KUHP adalah
pidana penjara maksimal 9 tahun. Perbedaan yang seperti ini sudah ditentukan
mengingat dampak yang dialami oleh korban pada rumusan pasal 285 KUHP
merupkan dampak yang lebih berat apabila dibandingkan dengan Pasal 289 KUHP.
Sanksi yang tegas dan jelas seharusnya diperlukan bagi pelaku tindak pidana
perkosaan yang mana alam hal ini bertujuan untuk dapat memberikan efek jera bagi
pelaku tindak pidana perkosaan khususnya pelaku yang sudah tergolong dewasa,
maka hukuman yang sesuai ialah hukuman kebiri secara kimiawi. Namun, bagi
pelaku perkosaan yang masih tergolong anak di bawah umur, maka hukumannya bisa
disesuaikan dengan fakta di persidangan, hal ini dikarenakan penjatuha hukuman
terhadap pelaku perkosaan yang mana merupakan anak di bawah umur sudah terdapat
aturan tersendiri, sebagaimana yang tercantujm dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam permasalaham ini, perempuan yang melakukan aborsi karena kehamilan yang
diakibatkan oleh tindak pidana perkosaan tidak patut untuk dilakukan proses hukum,
melainkan justru korban dalam hal ini harus mendapatkn suatu perlindungan hukum.
Perlindungan hukum yang dimaksud tersebut dapat berupa memberikan perawatan
melalui rehabilitasi medis maupun sosial, berhak atas restitusi (ganti kerugian) yang
sebagaimana sepatutnya dari pelaku tindak pidana perkosaan tersebut.

KESIMPULAN
1. Perempuan sebaagi korban perkosaan yang hamil dan melakukan tindak aborsi
sebenarnya harus mendapatkan suatu perlindungan hukum, mengingat penderitaan
yang besar yang dihadapi korban baik fisik, psikis, maupun sosial. Perlindungan
hukum terkait hal ini tercantum dalam Pasal 75 Ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009,
Pasal 2 Permenkes No. 3 Tahun 2016, Pasal 48 KUHP, Pasal 33 UU No. 39 tahun
1999, Pasal 46 hingga 48 UU No. 23 Tahun 2004, serta Pasal 98 KUHAP. Namun
perlindungan ini hanya didapat oleh perempuan yang melakukan aborsi karena
kehamilan akibat tindak pidana perkosaan.
2. Pelaku tindak aborsi yang melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medis atau bukan
merupakan perempuan yang hamil akibat perkosaan, maka akan dikenai sanksi
hukuman yang mana hal itu diatur dalam Pasal 194 UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 299
KUHP, Pasal 346 KUHP, serta Pasal 347 sampai 349 KUHP. Sedangkan mengenai
bagi pelaku tindak pidana perkosaan sendiri akan dikenai sanksi yang mana berdasar
pada Pasal 285, 286, 287, 289 KUHP. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada
suatu akibat hukum bagi perempuan yang melakukan aborsi karena kehamilannya
akibat tindak pidana perkosaan. Karena tindakannya dalam menjalankan aborsi ini
terdapat daya paksa. Yang mana dalam hal ini berdasar pada Pasal 75 Ayat (2) UU
No. 36 Tahun 2009.

SARAN

1. Aturan mengenai restitusi atau ganti rugi bagi korban perkosaan yang mana
ditanggung oleh pelaku tindak pidana perkosaan ini diperlukan guna meenuhi suatu
keadilan bagi korban perkosaan. Selain itu perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat
mengenai aborsi bagi perempuan sebagai korban perkosaan serta diperlukannya upaya
partisipasi masyarakat untuk membantu pemilihan korban perkosaan sehingga hal ini
ditujukan agar tidak menimbulkan tekanan yang bertambah bagi korban perkosaan.
2. Sanksi yang berat dibutuhkan bagi pelaku tindak pidana perkosaan sehingga
menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana perkosaan tersebut. Sanksi yang
berat ini tidak hanya berupa ganti rugi ataupun pidana penjara, melainkan harus
adanya sanksi yang kuat dan tegas berupa kebiri secara kimia. Selain itu juga
diperlukan adanya upaya rehabilitasi yang gratis atau terjangkau bagi korban
perkosaan yang mana dalam hal ini korban perkosaan pasti mengalami trauma
sehingga hal tersebut dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Refereces
Buku:

Hamid, A. Y. (1999). Kebutuhan Keperawatan Bagi Korban Perkosaan: Suatu Kajian Teoritik, Kritis,
dan Empirik. Bandung: Eslapa.

Ishaq. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Soesilo,R. & Karjadi, M. (1997). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan PENJELASAN
RESMI dan KOMENTAR. Bogor: Politea.

Soesilo, R. (1995). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia.

Undang-Undang:

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga.
(Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95).

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan
Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 190)

Jurnal:

Lestari, R. D. . (2020). Perlindungan Hukum Perempuan Pelaku Aborsi dari Korban Perkosaan
Terhadap Ancaman Tindak Pidana Aborsi. Magistra Law Review, 8.
Onibala, C.A. (2015). Tindakan Aborsi yang Dilakukan oleh Dokter dengan Alasan MedisMenurut
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Lex Et Societatis, 4.

Rahmi A. . (2018). Urgensi Perlindungan Bagi Korban Kekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu Berkeadilan Gender. Jurnal Mercatoria, 42.

Yoanda Eka, S, & Suhadi, G.P.R. (2020). Tinjauan Kriminologis Terhadap Wanita yang Melakukan
Perkosaan terhadap Laki-laki The Criminological Review of Women on Male Rape. Lex
Suprema Jurnal Ilmu Hukum, 3.

Website:

Tim Kompas. (2022, Januari 13). Komnas Perempuan Sebut Setiap 2 Jam Ada 3 Perempuan Indonesia
Jadi Korban Kekerasan Seksual. Retrieved from nasional.kompas:
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/13/09173181/komnas-perempuan-sebut-
setiap-2-jam-ada-3-perempuan-indonesia-jadi-korban

Anda mungkin juga menyukai