Kertas Gedog Asal Ponorogo Yang Mulai Dilirik Bangsa Asing
Kertas Gedog Asal Ponorogo Yang Mulai Dilirik Bangsa Asing
PKL ini telah menjadi agenda tahunan mahasiswa Sastra Indonesia yang
mengambil mata kuliah Preservasi Naskah. Menurut Dr. Trisna Kumala
Satya Dewi, M.S sebagai pengampu mata kuliah, kegiatan semacam ini
sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai generasi muda yang memiliki
peran aktif menjaga kelestarian budaya di Nusantara.
Pihak Asing
Kepada UNAIR NEWS Trisna menuturkan, telah ada pihak asing yang
mencoba merayu Cipto sebagai pewaris kertas gedog untuk menyerahkan
beberapa naskah kuno peninggalan Kyai Jaelani yang kini di rawat di
Tegalsari. Berbagai bujukan dengan imbalan besar sudah dilakukan.
Trisna juga sangat menyayangkan jika pembuatan kertas saat ini masih
dengan cara swadaya. Padahal jika pembuatan ini dinaungi oleh sebuah
instansi, tentu kekuatan untuk menjaga tradisi akan lebih besar jika
dibandingkan dengan sistem swadaya.
Terlebih, alat pemukul pembuatan kertas gedog yang dimiliki Cipto hanya
terdapat satu set saja. Ditambah, Cipto kurang memahami proses
administrasi untuk mengajukan bantuan kepada instansi kebudayaan
terkait sumbangan alat pemukul pembuatan kertas itu.
“Apabila dibiarkan seperti ini, kita sebagai pemilik asli kertas daluang akan
ketinggalan jauh dan bisa-bisa daluang dikuasai oleh Jepang,” tandas
Trisna.
Ponorogo menjadi wilayah pembuatan karena pohon yang dijadikan bahan baku hanya
tumbuh di kawasan tersebut. Adapun bagian pohon yang digunakan untuk membuat
kertas adalah kulitnya. Hanya saja pada masa itu bangsa Indonesia cenderung masih
lebih senang menulis di atas arca atau batu karena dinilai tahan lama.
Sedangkan kertas dari kulit yang dibuat di Ponorogo hanya digunakan oleh para biksu
dari Kerajaan Sriwijaya sebagai media untuk mempelajari ajaran agama Budha. Seiring
perkembangannya media ini kemudian dimanfaatkan untuk melukis wayang beber yang
merupakan cikal bakal lahirnya pertujukan wayang kulit saat ini.
Meski begitu perkembangan media tersebut belum meluas. Apalagi pada abad ke-9
bangsa Indonesia menemukan lempengan tembaga di Desa Taji yang dinilai masih lebih
baik. Baru ketika agama Islam perlahan-lahan masuk ke Indonesia penggunaan kertas
kulit mulai dimanfaatkan secara lebih luas.
Ketika Islam masuk lewat Kerajaan Samudera Pasai, fungsi dari kertas kulit yang dibuat
di Ponorogo itu mulai bertambah. Salah satunya adalah sebagai media penulisan kitab
suci Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat bahwa di Indonesia Al-Qur’an pada awal masuknya
Islam ditulis di atas kertas kulit di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, di bawah asuhan KH.
Khasan Besari.