Anda di halaman 1dari 3

Kertas Gedog asal Ponorogo yang Mulai Dilirik Bangsa Asing

UNAIR NEWS – Melestarikan budaya dan menjaga agar tetap menjadi


identitas Nusantara adalah tugas bangsa Indonesia. Terlebih, bagi pemuda
yang masih memiliki semangat serta jiwa patriotisme yang tinggi. Tidak
mau kalah dengan pemuda lainnya, mahasisiwa Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, peminatan Filologi, Minggu
(21/5), mengadakan Praktik Kuliah Lapangan (PKL) di Desa Tegalsari,
Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Mereka mempelajari khasanah
budaya yang masih nampak di Jawa Timur yakni pembuatan kertas gedog.

Di Desa Tegalsari, tradisi pebuatan kertas gedog masih dengan sistem


swadaya. Dalam artian, tidak ada lembaga yang menaungi. Menurut
penuturan dari Cipto, selaku pihak yang masih melestarikan kebudayaan
dari eyangnya, pembuatan kertas gedog sudah dimulai sejak tahun 1900-
an. Eyangnya, Kyai Jaelani asal Tegalsari, ialah orang pertama yang
mencetuskan ide pembuatan kertas daluang (gedog) dengan bahan dasar
kulit pohon glugu.

“Pembuatan kertas gedog ini cukup mudah, yaitu hanya dengan


mengambil kulit pohon glugu dengan ukuran lebar sesuai keinginan, lalu
direndam semalaman. Setelah itu, kulit pohon ditumbuk pakai alat sampai
benar-benar pipih. Penjemuran diletakkan di atas gedebog pisang agar
hasilnya halus,” tutur Cipto menjelaskan proses pembuatan kertas gedog.

PKL ini telah menjadi agenda tahunan mahasiswa Sastra Indonesia yang
mengambil mata kuliah Preservasi Naskah. Menurut Dr. Trisna Kumala
Satya Dewi, M.S sebagai pengampu mata kuliah, kegiatan semacam ini
sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai generasi muda yang memiliki
peran aktif menjaga kelestarian budaya di Nusantara.

Pihak Asing

Kepada UNAIR NEWS Trisna menuturkan, telah ada pihak asing yang
mencoba merayu Cipto sebagai pewaris kertas gedog untuk menyerahkan
beberapa naskah kuno peninggalan Kyai Jaelani yang kini di rawat di
Tegalsari. Berbagai bujukan dengan imbalan besar sudah dilakukan.

Cipto membenarkan bahwa salah satu yayasan pencinta manuskrip asal


Jepang telah mengirimkan utusan untuk mendatangi Cipto di kediamannya.
Bahkan, beberapa manuskrip miliknya sempat ingin diganti dengan sebuah
mobil.
“Saya pernah dirayu sama utusan Jepang. Katanya saya mau dibelikan
mobil dengan menukar satu naskah ini,” tandas Cipto.

Melihat fenomena ini, maka sangat penting bagi mahasiswa untuk


mengetahui bahwa Jawa Timur memiliki tradisi pembuatan kertas daluang,
dan tradisi itu merupakan asli Indonesia.

Trisna juga sangat menyayangkan jika pembuatan kertas saat ini masih
dengan cara swadaya. Padahal jika pembuatan ini dinaungi oleh sebuah
instansi, tentu kekuatan untuk menjaga tradisi akan lebih besar jika
dibandingkan dengan sistem swadaya.

Terlebih, alat pemukul pembuatan kertas gedog yang dimiliki Cipto hanya
terdapat satu set saja. Ditambah, Cipto kurang memahami proses
administrasi untuk mengajukan bantuan kepada instansi kebudayaan
terkait sumbangan alat pemukul pembuatan kertas itu.

“Saya mengharapkan proses pembuatan kertas ini dapat dibantu serta


dilindungi oleh pemerintah, agar generasi kita lebih mudah dalam
mempelajari tradisi ini,” tutur Trisna.

Ada keterkaitan antara penuturan Cipto dengan pihak Museum Radya


Pustaka, Surakarta. Selain mendatangi Cipto secara personal, pihak asing
telah mendatangi museum bagian penyimpanan manuskrip. Keahliannya
dalam memperkirakan umur naskah tidak dapat diragukan lagi. Pimpinan
Yayasan Pecinta Manuskrip Jepang, Prof. Sakamoto, dapat membaca
umur naskah hanya dengan meraba dan melihat garis kertas naskah.

“Apabila dibiarkan seperti ini, kita sebagai pemilik asli kertas daluang akan
ketinggalan jauh dan bisa-bisa daluang dikuasai oleh Jepang,” tandas
Trisna.

Kegiatan PKL ini diharapan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dalam


jiwa mahasiswa Sastra Indonesia, bahwa kertas daluang harus dilestarikan
dan dapat dipatenkan sebagai warisan Nusantara. (*)

Penulis : Ainul Fitriyah

Editor : Binti Q. Masruroh


https://rimbakita.com/kertas/
3. Versi Indonesia
Bangsa Indonesia juga memiliki versinya sendiri dalam mengisahkan sejarah dan
perkembangan kertas. Sejarah menyebutkan bahwa di Indonesia kertas pertama kali
diproduksi pada abad ke-7 dengan menggunakan bahan baku pohon dan dilakukan di
wilayah Ponorogo.

Ponorogo menjadi wilayah pembuatan karena pohon yang dijadikan bahan baku hanya
tumbuh di kawasan tersebut. Adapun bagian pohon yang digunakan untuk membuat
kertas adalah kulitnya. Hanya saja pada masa itu bangsa Indonesia cenderung masih
lebih senang menulis di atas arca atau batu karena dinilai tahan lama.

Sedangkan kertas dari kulit yang dibuat di Ponorogo hanya digunakan oleh para biksu
dari Kerajaan Sriwijaya sebagai media untuk mempelajari ajaran agama Budha. Seiring
perkembangannya media ini kemudian dimanfaatkan untuk melukis wayang beber yang
merupakan cikal bakal lahirnya pertujukan wayang kulit saat ini.

Meski begitu perkembangan media tersebut belum meluas. Apalagi pada abad ke-9
bangsa Indonesia menemukan lempengan tembaga di Desa Taji yang dinilai masih lebih
baik. Baru ketika agama Islam perlahan-lahan masuk ke Indonesia penggunaan kertas
kulit mulai dimanfaatkan secara lebih luas.

Ketika Islam masuk lewat Kerajaan Samudera Pasai, fungsi dari kertas kulit yang dibuat
di Ponorogo itu mulai bertambah. Salah satunya adalah sebagai media penulisan kitab
suci Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat bahwa di Indonesia Al-Qur’an pada awal masuknya
Islam ditulis di atas kertas kulit di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, di bawah asuhan KH.
Khasan Besari.

Anda mungkin juga menyukai