Kritik Sastra (Jurnal Dasar)
Kritik Sastra (Jurnal Dasar)
Jurnal Logat pada Volume IV No. 2 ini menampilkan edisi sastra yang terdiri dari tujuh
artikel. Kajian sastra yang dibahas keenam artikel ini terdiri atas empat sastra etnik, satu
mengenai sistem dan kode semiotika, satu lagi mengenai sastra dan ilmu, dan satu lagi
membahas tentang cerita pendek Indonesia yang terbit pada zaman Jepang. Artikel sastra
etnik dimulai dengan kajian mengenai folklor Batu Belah yang terdapat di Sumatera
Utara yang dikaitkan dengan persoalan jender. Artikel ini ditulis oleh Ismed Nur. Ismed
Nur memanfaatkan paradigma Taine untuk memahami lebih dalam tentang persoalaan
jender dalam folklor Batu Belah tersebut.
Artikel berikutnya membahas Syair Putri Hijau yang ditulis oleh Iswansyah dengan kajian
filologi. Artikel ini menampilkan delapan naskah dan teks Syair Putri Hijau yang
ditemukan. Lebih jauh, artikel ini membahas perbedaan tiga teks cetakan Syair Putri
Hijau. Artikel Isma Tantawi membahas Didong Gayo Lues yang dikaitkan dengan
pemikiran tentang alam flora dan alam fauna, serta peralatan-peralatan yang digunakan
dalam kehidupan. Artikel terakhir dari sastra etnik mengenai makna simbolik umpasa,
sinomat, dan ulos dalam kaitannya dengan adat perkawinan Batak Toba. Artikel ini ditulis
oleh Jhonson Pardosi.
Artikel berikutnya membahas sistem dan kode semiotika dalam sastra. Artikel ini
menampilkan semiotika Roland Barthes dengan lima kode dan sistem tingkatan makna;
makna denotatif dan konotatif. Pembahasannya dikaitkan dengan proses komunikasi pada
novel Penakluk Ujung Dunia karya Bokor Hutasuhut. Artikel ini ditulis oleh Ikhwanuddin
Nasution. Artikel tentang sastra sebagai sebuah disiplin ilmu yang dibahas oleh
Pertampilan S. Brahmana. Artikel ini menampilkan filsafat sastra, yakni ontologi,
epistimologi, dan aksiologi sastra itu sendiri.
Edisi ini ditutup dengan artikel yang membahas tentang sebuah cerita pendek karya A.S.
Hadisiswojo yang berjudul “Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’ (Di Bawah
Bayangan Jembatan)”. Artikel ini ditulis oleh Yundi Fitrah dengan teori dan pendekatan
struktural-intrinsik yang menekankan pembahasan pada tema dan penokohan (Hamid)
yang anti Belanda.
Penyunting
1
DAFTAR ISI
logat
Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra
Volume IV, No. 2, Oktober 2008
ISSN: 1858 – 0831
Makna Simbolik Umpasa, Sinomat, dan Ulos pada Adat Perkawinan Batak Toba ------------------ 101-108
Jhonson Pardosi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi --------------------------------- 109-115
Ikhwanuddin Nasution
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Politik Anti Belanda dalam Cerpen “Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’ (Di
Bawah Bayangan Jembatan)” Karya A.S. Hadisiswojo ------------------------------------------------- 122-125
Yundi Fitrah
PBS FKIP Universitas Jambi
2
Halaman 73
❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender
Ismed Nur
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
The problem of equivalent gender was a popular issue in society recently. Not less than
world organization as the United Nations also responds about this matter. Indonesian
folklore actually also ever brought up this issue in folklore that has educational function in
the post. That folklore was Cerita Rakyat Batu Belah. This story used woman’s point of view
that was regarded telling the idea of equivalent gander.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 74
❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender
bapak pun memutuskan untuk pulang saja ke keluarlah nyanyian dengan kata-kata,”Batu belah,
rumahnya. batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang
Pada saat yang bersamaan, di kediaman lalu.” Kata-kata itu dinyanyikannya dengan suara
si bapak tersebut, isterinya sedang sibuk lirih berkali-kali. Tak lama antaranya, belahan
mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. batu tersebut merekah dan terbuka. Tanpa ragu-
Kerepotan itu bertambah karena kedua anaknya ragu wanita malang itu masuk ke dalamnya.
sebentar-sebentar merengek eminta keperluannya. Kedua anaknya menyaksikan dari kejauhan
Si ibu sangat memanjakan kedua anak itu dengan menjerit-jerit agar ibunya tidak
sehingga betapa pun repotnya, ia tetap memenuhi meninggalkan mereka. Namun, ibunya yang sudah
kebutuhan kedua anaknya itu.sampai suatu kali, terluka lahir batin itu tetap pada pendiriannya.
ketika si ibu sedang mencuci pakaian, anak yang Perlahan-lahan batu itu pun menutup, menelan
besar meminta makan. Karena si ibu merasa tidak sang ibu malang. Sesudah batu itu tertutup, tempat
bias meninggalkan pekerjaannya, ia menyuruh si itu pun kembali seperti sediakala tanpa sesuatu
anak untuk mengambil saja nasi yang sudah pun yang tersisa. Si anak hanya bisa menemukan
ditanak di belanga. Si anak pun menuruti kata si beberapa helai rambut ibunya dari sela-sela batu.
ibu, tetapi sewaktu si anak hendak mengambil lauk
teman makannya ia tidak menemukan apa-apa di 2. KLASIFIKASI DAN KERANGKA
atas meja makan. Ia pun merengek kembali kepada
ibunya. Si ibu yang masih sangat repot itu pun TEORI
menyuruh si anak untuk mengambil belalang yang 2.1 Klasifikasi
disimpan suaminya di lumbung padi mereka. Si Di luar kota Tanjung Pura ada sebuah tempat di
anak pun mengikuti suruhan ibunya, ia menuju tengah-tengah persawahan terdapat sebuah batu
lumbung padi yang semasa paceklik dalam besar yang disebut sebagai “Batu Belah”. Begitu
keadaan kosong dan di situlah bapaknya juga seperti yang dikemukakan oleh Danandjaja
menyimpan belalang sebagai persiapan (1986:66), kira-kira 35 kilometer di luar kota
menghadapi paceklik. Akan tetapi, ia masih sangat Takengon ada sebuah tempat yang diceritakan
kanak-kanak, ia tidak berhati-hati membuka pintu dalam cerita rakyat. Dalam kesusasteraan cerita
lumbung sehingga belalang yang sudang semacam itu digolongkan sebagai legenda
dikumpulkan bapaknya dengan susah payah (legende). Cerita Batu Belah tergolong sebagai
beterbangan tak tersisa seekor pun. legenda (legende).
Tidak berapa lama antaranya si bapak Hooykaas (1952:123) menyebutkan
pun tiba di rumah itu. Dalam keadaan kelaparan bahwa legende adalah dongeng tentang sesuatu
si bapak segera saja mencari nasi yang sudak kejadian berhubungan dengan agama, dengan
ditanak isterinya. Begitu juga ketika ia tidak seorang yang taat, atau dengan seorang yang
mendapatkan lauk di atas meja, ia pun segera mengembangkan agama. Di samping itu, Fang
menuju lumbung tempat ia menyimpan belalang (1991:4) menyebutkan cerita-cerita seperti itu
yang dikumpulkannya. Alangkah terkejutnya dia sebagai cerita asal-usul. Cerita asal-usul seperti
ketika di tempat itu tak seekor belalang pun cerita penciptaan bumi, matahari, bulan, dan
ditemukannya. Karena letih dan lapar ditambah manusia (pada masyarakat Batak), asal mulanya
rasa dongkol karena tidak memperoleh hasil tanaman dan binatang (pada masyarakat Melayu),
buruan, ia pun mudah sekali kalap. Dicarinya dan asal-usul tempat (pada masyarakat Melayu).
sang isteri, ditemukannya sang isteri sedang Sementara itu, Danandjaja (1986:66) menyebutkan
mencuci. Diseretnya sang isteri tersebut, kemudian bahwa legenda adalah cerita prosa rakyat yang
dipukulinya, tidak puas sampai di situ saja ia dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu
memotong kedua payudara isterinya untuk kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi.
kemudian dipanggang untuk menjadi teman makan
nasinya. 2.2. Kerangka Teori
Dalam keadaan berlumuran darah dan Dalam membicarakan fungsi dan kedudukan cerita
kesakitan yang luar biasa, sang isteri tertatih-tatih rakyat dalam masyarakat dari aspek literernya
pergi meninggalkan rumah. Kedua anaknya pendekatan yang paling sesuai adalah sosiologi
sambil menangis mengikuti ibunya dari belakang. sastra. Ada sebuah paradigma yang dibangun oleh
Si abang menggendong adiknya yang masih kecil pendekatan ini, yaitu bahwa sastra dikemas dari
itu. Si ibu masih terus melangkah menuju sebuah material sebuah masyarakat, yakni ras, waktu, dan
tempat yang dikenal masyarakat sebagai Batu lingkungan, seperti yang dikemukakan oleh
Belah. Tempat tersebut berada di tengah-tengah Hippolyte Taine (dalam Suwondo, 2003:23).
persawahan, berupa batu yang sangat besar. Batu Baginya sastra bukanlah sekadar permainan
tersebut menelan siapa saja yang mau menjadi imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan
korbannya. Dalam keadaan yang putus asa si ibu rekaman tata cara zamannya. “Paradigma” Taine
menghadapi batu tersebut. Dari mulutnya ini dikenal dengan kritik genetik dan ia adalah
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 75
❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender
pelopornya. Agak berbeda halnya dengan Selai itu, CRBB barangkali merupakan
penerusnya Lucien Goldmann (dalam Teeuw, suatu bentuk protes dari kaum perempuan terhadap
1984:152-153) yang berpegangan struktur teks ketidakadilan atau kesewenang-wenang. Barang
karya sastra tersebut karena baginya sosiologi kali saja pencipta, orang yang menyebarluaskan
sastra tidak bertentangan dengan aliran cerita ini, dan penggemar cerita ini adalah terdiri
strukturalis. Walaupun Goldmann dengan teori dari kaum perempuan sehinga ceriti ini begitu
strukturalisme genetik tersebut terlihat lebih populer di dalam masyarakat pada masa itu. Itu
ilmiah, tetapi dalm pembicaraan ini agaknya teori diperkuat dengan salah satu fungsi yang
yang dikembangkan Taine lebih tepat digunakan dikemukakan Bascom bahwa CRBB adalah
pada cerita rakyat yang bermula dari tradisi lisan. sebagai sarana pencerminan angan-angan suatau
Selanjutnya juga disebutkan bahwa sastra selalu kolektif dan kolektif tersebut adalah komunitas
menyesuaikan atau disesuaikan dengan cita rasa perempuan yang merasa terzalimin oleh kehidupan
masyarakat tempat karya sastra itu lahir. yang mereka pandang sebagai sebuah kepahitan.
Hubungan sastra dengan masyarakatnya tak dapat Tanggung jawab mengurus rumah, memasak, dan
dipisahkan dalam crita rakyat karena peranan memelihara anak dibebankan pada pundak mereka.
sastra dalm kehidupan masyrakat besar sekali pada Hal itu oleh masyarakat dipandang sebagai sebuah
masa tradisi lisan tersebut merupakan sesuatu yang kewajiban dari seorang wanita tanpa berhak
keberadaannya tidak perlu dipertanyakan lagi. mendapatkan ucapan terima kasih, malahan sedikit
Cerita rakyat menurut William R. Bascom (dalam saja kesalahan yang mereka lakukan tidak ada lagi
Danandjaja, 1986: 19)sekurang-kurangnya memiliki maaf buat mereka.
empat fungsi, yakni: Keadaan tersebut membuat kaum
a. Sebagai sistem proyeksi atau percermin perempuan merasa frustasi, putus asa atas
angan-angan suatu kolektif; lingkungan tempat mereka berada. Perasaan
b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata ketidak adilan tersebut belumlah sampai pada
dan lembaga-lembaga kebudayaan; tuntutan kesetaraan jender seperti yang sekarang
c. Sebagai alat pendidikan anak; dan ini. Apalagi tuntutan budaya yang mengharuskan
d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar kaum perempuan patuh pada suami tanpa reserve.
norma-norma akan selalu dipatuhi oleh Bila dibandingkan dengan kondisi kaum
anggota kolektifnya. perempuan sekarang ini tentu saja hal itu belum
seberapa. Misalnya, apa yang dikemukakan oleh
3. PEMBAHASAN Laporan Pembangnan Manusia (HDR) yang
3.1. Persoalan Jender dalam CRBB dideklarasikan tahun 2003 secara eksplisit
Tema sentral CRBB adalah pariwisata luar biasa menyatakan, kalau tidak ada kemajuan dalam
tentang seorang yang masuk ke dalam batu. pemberdayaan perempuan dan kesetaraan jender,
Masalah tersebut yang merupakan pusat perhatian Tujuan Pembangunan Milenium tidak akan bisa
dari crita rakyat ini dogolongkan sebagai legende tercapai. Yang paling penting dilakukan adalah
yang menitikberatkan persoalan pada peristiwa memperkuat kelembagaan dan suara perempuan
atau asal-usul terjadinya sebuah tempat. Kalau untuk memaksimalkan keberdayaan perempuan.
kemudian persoalan jender dapat kita simak dalam Jelasnya perempuan adalah bagian dari masyarakat
cerita ini, hal itu karena di dalm sebuah cerita dunia yang memiliki peran sendiri sebagaimana
dapat saja ditemukan lebih dari satu isu. Isu jender laki-laki. Pengakuan atas pentingnya peran
dibalik peristiwa sadis yang dilakukan sang suami perempuan merupakan suatu dasar bagi perjuangan
terhadap isterinya sebenarnya adalah sebuah kesetaraan yang akhir-akhir ini merebak di dalam
peristiwa yang merupakan sisi kemenarikan masyrakat.
sebuah cerita. Jadi, hal itu merupakan hal yang Dalam membesarkan anak, perempuan
biasa dalam cerita. juga memiliki kewajiban yang lebih daripada laki-
Pada masa cerita itu digemari masyarakat, laki pada masyarakat lama seperti yang terlihat
barangkali orang belum menganggap isu jender itu dalam CRBB. Kedua anak yang masih
adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan. Benar, membutuhkan perhatian yang besar adalah semata-
kalau perbuatan sang suami adalah sebuah mata tanggung jawab ibunya. Si bapak sama sekali
kezaliman. Namun kezaliman itu bisa dilakukan merasa tidak pantas untuk ikut serta dalam
oleh siapa saja dan kepada siapa saja tanpa membesarkan anak tersebut. Jika terjadi apa-apa
memperdulikan jenis kelaminnya. Bila diteliti dengan sang anak, si ibulah yang harus memikul
lebih dalam lagi, kita akan merasakan adanya tanggung jawabnya. Si anak sulung melepaskan
kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah belalang di dalam lumbung. Si ibu harus
bentuk kekerasan yang pada masa itu belumlah bertanggung jawab atas perbuatan si anak.
untuk menjadi pusat perhatian dan belum dianggap Hukuman yang diterima karena kesalahan si anak
serius. juga bukan sebuah hukuman yang ringan, ia harus
kehilangan payudaranya. Payudara bagi seorang
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 76
❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender
wanita adalah sebuah simbol kewanitaannya semakin lama semakin mengental di kalangan
sehingga si ibu memutuskan untuk meninggalkan perempuan. Dengan kata lain, CRBB merupakan
dunia ini daripada hidup tanpa memiliki mahkota suatu alat untuk menggalang rasa solidaritas di
kewanitaannya. kalangan perempuan dalam upaya menggalang
Ada anggapan bahwa studi sastra hanya dukungan bagi gerakan-gerakan yang mengusung
terbatas pada studi tentang teks-teks sastra. Asumsi ide-ide kesetaraan jender tersebut.
ini disebabkan oleh dominasi perspektif Gagasan kesetaraan jender dewasa ini
monodisipliner dalam kajian sastra. Secara implisit banyak diarahkan pada isu-isu kesempatan
di dalam CRBB terkandung kerelaan perempuan mendapat pendidikan, pekerjaan, dan gerakan-
akan perlakuan lingkungan yang menempatkan gerakan melawan kekerasan terhadap perempuan.
perempuan pada suatu tekanan social yang tidak Yang disebut terakhir adalah hal yang paling
berpihak kepada mereka. Kalaupun timbul berkaitan dengan CRBB. Sang suami, tanpa belas
perasaan untuk keluar dari tekanan tersebut, hal itu kasih sedikit pun, memotong payudara isterinya.
muncul dari alam bawah sadar mereka dan tidak Hal itu merupakan sebuah snapshot yang mampu
terungkap secara eksplisit. Danandjaja (1986:66) menyentuh perasaan kebersamaan di kalangan
menyebutkan sebagai proyeksi dari seorang wanita wanita. Hal itu telah dibuktikan dengan
yang mengalami kesukaran dan kekecewaan di populernyaCRBB di masa lalu.
dalam hidupnya dengan menghubungkan hal itu Mengaktualisasikan nilai-nilai yang
dengan aliran Freudian di dalm psikologi. terkandung di dalam CRBB adalah sesuatu yang
Sastra adalah cermin masyarakat. tidak mustahil dilakukan pada masa sekarang ini.
Agaknya ungkapan tersebut hanya menjadi Apalagi folklor memiliki fungsi sebagai alat
semboyan kosong belaka jika tidak dapat pendidikan anak di masa lalu. Kita bisa merasakan
dibuktikan kebenarannya. Dalam CRBB aka betapa kuatnya ajaran agar seorang anak tidak
diperoleh kenyataan bahwa sastra tersebut menyusahkan ibinya sehingga si ibu tidak akan
menunjukkan identitas masyarakat di tempat karya pergi ke Btu Belah. Hal itu merupakan sebuah cara
sastra itu berada. Keberadaan kaum perempuan menanamkan nilai-nilai yang sangat efektif pada
terwakilkan dalam CRBB. Hal ini ibarat dua mata diri anak-anak pada masa silam. Pada masa kini,
pisau yang sekaligus memberikan alternatif hal serupa bukanlah mustahil dilakukan walaupun
pemecahan terhadap persoalan-persoalan isunya sudah bergeser sampai kepada kesetaraan
masyarakat yang terungkap. Salah satu tendens jender yang merupakan sebuah persoalan yang
yang ditemukan dalam CRBB adalah tidak boleh sering menjadi buah bibir di masyarakat.
terlalu memanjakan anak sehingga anak tersebut
sangat tergantung sekali pada orang tuanya. Dari 4. SIMPULAN
hal tersebut dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa Dari uraian-uraian yang sudah dikemukakan di
kehadiran Bapak dalam pendidikan anak juga atas ada beberapa pemikiran yang merupakan
merupakan sebuah keharusan agar tercipta intisari dari pembahasan sebelumnya. Simpulan
generasi yang dapat diandalkan dalam mengarungi tersebut adalah
kehidupan ini. Eksistensi sastra menurut Iswanto 1. Persoalan jender meskipun sebuah persoalan
dengan mengutip Goldmann (Jabrohim ed. yang baru merebak, tetapi sudah terdapat di
2002:59) sarat dengan berbagai nilai social karena dalam folkfor Indonesia di masa silam.
karya sastra tersebut merefleksikan gejala-gejala 2. Kekecewaan terhadap lingkungan merupakan
social di sekitarnya sehingga pencipta sebagai salah satu aspek yang merupakan motif
subjek individual mencoba menghasilkan timbulnya isu jender di dalam CRBB.
pandangan dunianya (vision du monde). 3. Kekerasan terhadap perempuan merupakan
Persoalan jender yang diketengahkan salah satu subtema dari isu jender yang
sebenarnya bernuansakan kesetaraan jender. Hal terdapat di dalam CRBB.
itu merupakan kelanjutan dari persoalan jender itu 4. CRBB dapat dijadikan sebagai sarana untuk
sendiri. cRBB mempunyai perspektif jender dan mengedepankan isu kesetaraan jender yang
lebih berpihak pada permasalahan perempuan, juga ada dalam masyarakat.
menghadapi tantangan.
DAFTAR PUSTAKA
3.2. CRBB sebagai Sarana Mengedepankan Isu
Kesetaraan Jender Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia.
Ketika sang suami memotong payudara isterinya, Jakarta: Grafiti Pers.
sedikit pun tidak diutarakan rasa penyesalan yang
mendalam. Ini tentu menimbulkan perasaan _________________. 1997. Folklor Jepang:
kebenciaan terhadap perilaku sang suami yang Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta:
sewenang-wenang. Hal itu sekaligus menimbulkan Grafiti Pers.
semangat solidalitas di kalangan perempuan yang
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 77
❏ Ismed Nur Folklor Batu Belah dan Persoalan Jender
Danandjaja, James. 2003. Folklor Amerika: Jabrohim (editor). 2002. Metodologi Penelitian
Cermin Multikultural yang Manunggal. Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Jakarta: Grafiti Pers.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa
Ekadjati, Edi S. 1983. “Tokoh dan Historiografi Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha
Tradisional” dalam Analisis Kebudayaan Widya.
Tahun IV No. 1. Jakarta: Balai Pustaka.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra:
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusasteraan Pengnatar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga Jaya.
Hooykaas, 1952. Penjedar Sastra. Jakarta: J.B. Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan
Wolters. Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 78
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
Irwansyah
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
Syair Putri Hijau is very popular an important in North Sumatera and Aceh. This Syair
source from the legend of Putri Hijau. For reseption’s research above SPH filology’s
research need execute to determine of the text to become base of studytext.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 79
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
memuat “Sekapur Sirih”, isinya merupakan 6. Jahja, Hikajat Poetroe Hidjo, Peutawi, Bale
ringkasan cerita, dibuat oleh Dada Meuraxa. Poestaka, Seri No. 950, 1931, 132 halaman.
Halaman 9-92 berisi syair Putri Hijau yang Fotokopi buku berasal dari kiriman PN Balai
dibagi dalam empat belas episode. Tiap Pustaka Jakarta. Fotokopi buku berasal dari
halaman memuat 7-8 bait. Jumlah bait kiriman PN Balai Pustaka Jakarta. Berbentuk
seluruhnya 659 buah. puisi, berbahasa Aceh, meakai huruf Latin,
2. Rahman, Sja’ir Puteri Hidjau, Perpustakaan ejaan yang dipergunakan adalah Ejaan van
Perguruan Kementerian PP dan K, Djakarta, Ophuysen. Secara tegas dikatakan oleh Jahja
cetakan ke-7, 1955, Balai Pustaka, Seri No. hikayat itu dikarangnya berdasarkan SPH
680, 82 halaman. Buku difotokopi dari Pusat gubahan Rahman. Tiap halaman memuat 23
Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) baris, kecuali halaman-halaman yang
Banda Aceh. Buku berukuran 23 x 18,5 cm. mengawali bagian I berjumlah 22 baris,
Gambar kulit dilukis oleh Iljas M. Kajo. bagian II berjumlah 24 baris, dan bagian III
Terdapat “Kata Pengantar” dari Kolonel berjumlah 24 baris. Seluruhnya dibagi dalam
Sjamaun Gaharu. Syair ditulis dalam bahasa sepuluh episode.
Indonesia, berhuruf Latin, memakai Ejaan 7. Sany, Hikajat Putroe Hidjo ngen Meureuhom
Republik atau Soewandi. Halaman 5-82 berisi Atjeh, Bireun, Pustaka Mahmudiyah, 1960,
syair Putri Hijau yang dibagi dalam sepuluh 270 halaman Difotokopi dari buku milik
episode. Tiap halaman memuat enam bait, Museum Negeri Aceh, berhuruf Latin,
kecuali halaman-halaman yang mengawali memakai Ejaan Republik atau Soewandi.
episode yang hanya memuat lima bait. Jumlah Ukuran buku 12,5 x 18,5 cm. Buku berupa
bait seluruhnya 458 buah. ketikan yang dikerjakan oleh Dharmatype.
3. Rahman, Samboengan Poeteri Hidjau, Balai Kulit bergambar. Tiap halaman terdiri dari
Poestaka, Seri No. 1413, Batavia, 1941, 40 enam bait. Jumlah bait seluruhnya 1621 buah.
halaman. Buku difotokopi dari perpustakaan 8. Hikayat Putri Hijau. Difotokopi dari naskah
PN Balai Pustaka Jakarta. Ukuran buku 21 x milik Drs. Nurdin A.R., pegawai Museum
14,5 cm. Dalam “Permulaan Kata” penyair Negeri Aceh banda Aceh. Naskah yang juga
menjelaskan bahwa syair itu merupakan berupa fotokopi ini diperoleh Drs. Nurdin
sambungan SPH yang ditulisnya sebelum itu. A.R. dari seorang temannya. Berbentuk puisi,
Syair ditulis dalam bahasa Indonesia, berhutuf ditulis pada kertas bergaris, berbahasa Aceh,
Latin, memakai Ejaan van Ophuysen. memakai huruf Arab. Naskah berukuran 16 x
Halaman 5-40 berisi syair Putri Hijau yang 21,5 cm. Tebalnya 78 halaman. Tiap halaman
dibagi dalam empat episode. Tiap halaman terdiri dari 23 baris, kecuali halaman 2 hanya
memuat enam bait, kecuali halaman-halaman berjumlah empat baris dan halaman 78 sebelas
yang mengawali episode yang hanya memuat baris. Terdapat kolofon, tetapi tidak ada
lima bait. Jumlah bait sluruhnya 211 buah keterangan tentang pengarang maupun waktu
4. Tereng, Putri Hijau, Penerbit Aqua Press, dan tempat penulisan. Kolofon hanya berisi
Bandung 1976, 38 halaman. Buku difotokopi pernyataan maaf pengarang dan ungkapan
dari Perpustakaan Wilayah Medan. Ditulis kerendahan hatinya. Kolofon berbunyi:
dalam bahasa Indonesia dengan huruf Latin. Wa’te geukheun hikayat nyoe,
Ukuran buku 21 x 14,5 cm. Sisi halaman yang Gadoh jeunoe dukacita.
satu bergambar, sedangkan sisi halaman yang Meunan harap pinta kamoe,
lain berisi ceritanya. Gambar sampul dan Seb ka’ohnoe lon peumada.
ilustrasi halaman dalam dikerjakan oleh Bak karangan bek peu daleh,
Hardiono. Menilik cara penyajiannya sangat kureueng leubeh bek ceureuca.
ringkas dan bahasanya juga sederhana, Keulon beuthat sit tagaseh,
tampaknya buku ini ditujukan sebagai bacaan beukit tan gleh kon lon sahja.
anak-anak. Tamat.
5. Amat Rhang Manyang, Raja Deumet, Puteri (Waktu dituliskan hikayat ini.
Naga, Puteri Bensu dan Malim Dewa, Puteri Hilang kini dukacita.
Ijo (Cerita Rakyat dari Aceh), Jakarta, Proyek Begitu harap pinta kami,
Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Saya sudahi sekian saja.
Kebudayaan, Depdikbud RI, 1976. Difotokopi Soal karangan jangan berdalih,
dari buku milik Perpustakaan Wilayah Medan. Kurang lebih jangan dicerca.
Dalam buku yang ditulis dalam bahasa Kasihilah saya ini.
Indonesia dan memakai huruf Latin ini cerita Kalau tidak bersih bukanlah saya sengaja,
Putri Hijau terdapat di halaman 69-77. Ukuran Tamat.)
buku 15,5 x 21,5 cm. Ceritanya berbentuk Hasil pembacaan sementara, naskah ini disalin
prosa. dari HPH gubahan Jahja.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 80
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 81
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
XII. Sumpah Mambang Yazid (hlm. 80 dst.) adalah benda kongkret karena dapat dilihat atau
A. Sambil menghadap ke Aceh dan Deli dipegang, sedangkan teks adalah sesuatu yang
Mambang Yazid bersumpah supaya abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Teks
semua wanita Deli tidak ada yang terdiri dari “isi”, yaitu ide-ide atau amanat yang
melebihi kecantikan adiknya Putri Hijau hendak disampaikan pengarang; dan “bentuk”,
agar jangan bernasib seperti adiknya. yaitu “ceruta” dalam teks (Baried dkk., 1985:57;
B. Mambang Yazid kembali ke Tanjung Robson 1978:17; Teeuw, 1984:277-8). Sebagai
Jambu Air. pegangan dalam penelitian tekstologi
dipergunakan sepuluh dalil Lichacev (Baried dkk.,
XIII. Bertemu Putri Hijau (hlm. 82 dst.) 1985:57; Teeuw, 1984:277-8).
A. Sebuah pencalang yang berlayar dari Memperhatikan dalil Lichacev nomor 7
Padang menuju Calang dilanda topan di yang berbunyi, “Bahan-bahan yang menyertai
tengah lautan. sebuah teks (dalam naskah) harus diikutsertakan
B. Setelah badai reda, kapal tidak bisa dalam penelitian”, maka upaya merunut sejarah
berlayar karena sauhnya tidak dapat teks SPH ditempuh dengan meninjau teks SPH dan
ditarik. keterangan-keterangan yang menyertainya.
C. Pemuda Ahmad Bakri menyelam Dalam SPH (1955:5) dan (1962:9) ada
mencoba melepaskan sauh. larik yang berbunyi “Orang dahulu empunya
D. Ahmad Bakri bertemu Putri Hijau di warta” (I:1) yang “Konon cerita lama sekali” (I:5).
dasar lautan. Kemudian dalam “Kata Pengantar” SPH Rahman
E. Putri Hijau menghadiahi Ahmad Bakri menyatakan bahwa syair itu disusunnya
kersik sebelum dia kembali ke kapal. berdasarkan “cerita yang sangat ramai diceritakan
F. Ahmad Bakri menceritakan orang tua dari mulut ke mulut” yang didengarnya
pengalamannya kepada orang di kapal. semasa ia masih remaja (1923) dan bermukim di
G. Setelah sampai di tujuan, Ahmad Bakri Tanah Deli. Syair itu kemudian dikirimnya ke
bersama nakhoda mendirikan sebuah penerbit Balai Pustaka Jakarta dan diterima oleh
perusahaan. panitia naskah untuk diterbitkan. Sejak cetakan ke-
1 sampai ke cetakan ke-7 SPH diterbitkan oleh
XIV. Akhirulkalam (hlm. 92) Balai Pustaka Jakarta. Cetakan selanjutnya (ke-8)
A. Syair tamat. SPH tidak lagi diterbitkan oleh Balai Pustaka
Jakarta, tetapi diterbitkan oleh penerbit Pustaka
3. TELAAH FILOLOGI SPH Andalas Medan. Rahman menerangkan bahwa hal
3.1 Sejarah Teks SPH itu disebabkan cetakan ke-8 terlambat dicetak,
Penelitian filologi akan dapat mengungkapkan sedangkan banyak sekali desakan agar buku
sejarah terjadinya teks serta pertumbuhannya tersebut segera diterbitkan, maka dia terpaksa
(Sutrisno, 1983:43). Studi sastra pada hakekatnya menarik naskah SPH dari Balai Pustaka Jakarta,
adalah studi teks, baik yang sudah maupun belum lalu menyerahkannya ke penerbit Pustaka Andalas
dibukukan (Sutrisno, 1981:8). Dalam studi teks Medan (1962:3). Meskipun tidak diperoleh
ditelaah segala sesuatu yang bertalian dengan teks keterangan tahun berapa cetakan ke-1 SPH itu
tersebut. Ilmu yang memperlajari seluk-beluk teks diterbitkan, tetapi diperkirakan cetakan ke-1 adalah
disebut tekstologi. Yang diteliti antara lain tahun 1924. Perkiraan tahun ini didasarkan kepada
penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya bahwa proses penerbitan sebuah naskah menjadi
sastra, penafsiran, dan pemahamanya (Baried dkk., buku biasanya memakan waktu yang cukup lama,
1985:57). dan ditunjang pula oleh keterangan lain dari Sinar
Teks sastra diturunkan secara lisan dan (1971:14 dan 1977), Husny (1978), dan Siregar
tertulis. Berdasarkan cara penurunannya ada tiga (1980:118) yang menjadikan SPH gubahan
macam teks: teks lisan, teks naskah, dan teks Rahman terbitan Weltevreden tahun 1924 sebagai
cetakan; masing-masing teks ada filologinya bahan rujukan tulisan mereka. Dengan demikian
(Baried dkk., 1985:56). Sejalan dengan diperoleh kenyataan bahwa teks lisan CPH.
beragamnya teks, maka dapat pula dibedakan tiga Kenyataan lain, telah diutarakan di muka
macam tekstologi, yaitu: tekstologi yang meneliti bahwa CPH juga dijumpai berbentuk naskah.
sejarah teks lisan, tekstologi yang meneliti sejarah Dituturkan oleh penjaga Meriam Puntung bahwa
teks manuskrip atau naskah, dan tekstologi yang dahulu Kerajaan Deli pernah memiliki naskah
meneliti sejarah teks cetakan (Teeuw, 1984:254). CPH. Penuturan ini dibenarkan oleh Tengku
Teks berbeda dengan naskah. Semua bahan tulisan Kamil, salah seorang kerabat dekat sultan Deli.
tangan disebut naskah, sedangkan teks adalah Naskah tersebut hilang sehingga tidak diketahui
muatan atau kandungan naskah. Jadi, naskah dengan pasti apakah ceritanya berbentuk puisi atau
prosa. Dalam satu hal, agaknya dapat dipastikan,
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 82
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
bahwa naskah yang memakai tulisan Arab itu sesungguhnya tidak luput dari berbagai perubahan
berbahasa Melayu karena Kerajaan Deli adalah seperti teks Injil dan Veda (Teeuw, 1984:250-1).
kerajaan Melayu. Selain itu naskah CPH dijumpai Oleh karena itu, terjadinya perubahan teks
pula berupa hikayat berbahasa Aceh dan beraksara merupakan hal yang lumrah, baik pada teks lama
Arab. Hikayat dalam tradisi sastra Aceh memang yang profan maupun pada teks yang sakral. Hanya
termasuk jenis puisi. Kenyataan ini membuahkan saja bila dibandingkan dengan teks profan, pada
kenyataan lain: pertama, CPH dijumpai berupa teks sakral penyimpangannya relatif sedikit karena
teks lisan, teks naskah, dan teks cetakan; kedua, orang berusaha menyalinnya secermat mungkin.
CPH hidup dalam tiga tradisi: hidup dalam tradisi Teks modern pun sebenarnya bernasib
lisan, tradisi naskah, dan tradisi cetakan, yang sama. Semula orang mengira teks modern hampir
ketiganya sekaligus bercampur; ketiga, CPH hidup selalu dicetak bebas dari hal itu, tetapi kenyataan
dalam dua tradisi sastra yang berbeda, yaitu tradisi berbicara lain. Pengarang kerap mengubah atau
sastra Melayu dan tradisi sastra Aceh. Perlu memperbaiki karyanya sendiri dengan maksud
dibedakan pengertian tradisi (penurunan) dengan menyempurnakannya. Teks cetakan pun selalu
tradisi sastra. Yang dimaksud dengan tradisi berubah ketika dicetak ulang. Dengan demikian
(penurunan) ialah rangkaian penurunan yang
karya sastra sebagai struktur yang utuh bulat dan
dilewati oleh suatu teks (Robson, 1978:18),
mantap bertolak belakang degan kenyataan yang
sedangkan tradisi sastra maksudnya ialah karya
ada, teks mana pun cenderung berubah dan tidak
sastra menurut kehidupan masyarakat atau
stabil wujudnya sepanjang masa (Teeuw, 1984:
mengikut konvensi sastra tertentu.
252). Sejarah teks telah membuktikan hal itu. Oleh
Rangkaian penurunan SPH dapat
karena itu, berhadapan dengan karya sastra
digambarkan sebagai berikut.
sesungguhnya orang berhadapan dengan karya
sastra sebagai variabel, yaitu sesuatu yang
CPH berubah-ubah terus-menerus. Masalah sastra
sebagai variabel berhubungan dengan peranan
penulis, pembaca, dan faktor-faktor lain (Teeuw,
1984:252).Penulis atau penyalin cukup berperan
SPH dalam hal terjadinya berbagai perubahan atau
penyimpangan pada teks. Hal ini terjadi mungkin
karena penyalin kurang menguasai bahasa atau
pokok persoalan, mungkin pula karena tulisan
HPH kabur, atau boleh jadi karena keteledorannya
(Sutrisno, 1981:14). Jadi, penyalin melakukannya
tidak dengan sengaja. Di samping itu dapat pula
Keterangan: terjadi karena memang disengaja oleh penyalin.
____________ = menjadi Penyalin juga memiliki kebebasan terutama dalam
……………… = kemungkinan ikut menjadi bahan menyalin teks-teks lama, ia bebas mengubah
acuan naskah di sana-sini, mengurangi atau
SPH tampaknya juga dijadikan sumber
menambahinya sesuai dengan seleranya ataupun
CPH. Hal ini terlihat dari pembicaraan Sinar dan
menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi
Husny (1978). Sinar menjadikan SPH gubahan
zaman penyalinan. Hal ini ada kaitannya dengan
Rahman sebagai dasar CPH yang disebutnya
kenyataan bahwa dalam sastra lama tidak dikenal
dengan versi Melayu. Husny dan juga Siregar
istilah plagiat karena karya sastra merupakan milik
menjadikan SPH sebagai sumber CPH dalam
bersama. Seorang penulis akan merasa bangga jika
pembicaraannya tentang Kerajaan Aru Kota Tua.
hasil karyanya mendapat sambutan positif dari
Dari banyaknya jenis (puisi, hikayat,
masyarakat (Sutrisno, 1981:16).
komik, dsb.) dan tradisi itulah masyarakat
Ternyata dalam cetak ulangnya SPH telah
Sumatera Utara dan Aceh mengenal CPH.
mengalami berbagai perubahan. SPH cetakan ke-8
(1962) berbeda dengan cetakan ke-7 (1955) setelah
3.2. Beberapa Perubahan dalam SPH keduanya dibandingkan. Kenapa kedua cetakan itu
Teks yang sampai kepada kita seringkali telah
berbeda terjawab dengan diperolehnya buku syair
mengalami berbagai perubahan. Dalam proses
SbPH (1941) Bagan berikut memperlihatkan
penurunan teks tidak mustahil terjadi kesalahan
sejauh mana perbedaan itu.
atau perubahan. Ketika menyalin teks dapat dan
sering terjadi penyimpangan. Teks yang suci pun
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 83
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
Dari hasil perbandingan diperoleh Bait itu dalam SPH cetakan ke-7 terdapat di
gambaran perubahan itu meliputi: halaman 81 dengan bunyi yang agak berbeda:
Antara tak lama naga menyelam,
a. Teks Bersama keranda lalulah tenggelam,
SPH cetakan ke-7 terdiri atas sepuluh episode, Bagaimana akhirnya wallahuaklam,
sedangkan SPH cetakan ke-8 berjumlah empat Sampai sekarang tinggallah kelam.
belas episode. Ada penambahan cerita yang cukup (IX:30)
panjang, yaitu sebanyak empat episode. Keempat
episode tambahan pada SPH cetakan ke-8 itu Dalam cetakan ke-8 bait itu dijumpai di
ternyata berasal dari SbPH. halaman 66 juga dengan bunyi berbeda:
Dalam “Kata Pengantar” SbPH Rahman Kemudian naga lalu menyelam,
menjelaskan bahwa syair sambungan itu ditulisnya Bersama keranda lalulah tenggelam,
karena SPH yang disusunnya sebelumnya Betapa akhirnya wallahuaklam,
sesungguhnya belumlah tamat. Ia mengakhir SPH Sampai sekaraang tinggallah kelam.
dengan bait: (IX:29)
Seketika lagi naga pun menyelam,
Ke dasar lautan yang amat dalam, Lebih lanjut Rahman menerangkan bahwa
Bersama keranda lalulah tenggelam, setelah SPH diterbitkan dia banyak mendengar
Bagaimana akhirnya wallahuaklam. cerita sekitar Putri Hijau dan tokoh-tokoh lainnya
baik dari sumber Aceh, Karo, maupun Deli. Semua
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 84
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
cerita itu kemudian dijadikannya bahan untuk Episode II SPH cetakan ke-8 dimulai
menamatkan kisah Putri Hijau seperti yang dengan bait:
disajikannya dalam SbPH. Agaknya yang Beginilah konon mula cerita,
dimaksud Rahman dengan “cerita itu belum tamat” Seorang raja di atas tahta,
adalah mengenai nasib Putri Hijau setelah Kerajaan besar sudahnya nyata,
dilarikan naga ke dasar lautan dan tokoh Mambang Rakyatnya banyak beberapa juta.
Yazid yang menjadi naga karena inilah yang
dijadikannya sebagai episode tambahan. Sebagian Bait ini adalah bait 15 episode I dalam
masyarakat Karo dan Melayu memang cetakan ke-7. Selanjutnya bait 15 dan 17 episode I
beranggapan bahwa tokoh Putri Hijau dan naga cetakan ke-7 menjadi bait 2 dan 3 dalam cetakan
tidak mati. Dengan demikian maka dapat ke-8. Bergesernya tiga bait bagian akhir episode I
disimpulkan bahwa SPH cetakan ke-8 (1962) cetakan ke-7 ke bagian awal episode II cetakan ke-
merupakan gabungan SPH cetakan ke-7 (1956) 8 yang membuat episode II cetakan ke-8 baitnya
dengan SbPH (1941). berjumlah 28 buah, tidak berjumlah 23 buah.
Telah diutarakan bahwa SPH cetakan ke- Dengan demikian episode I dan II cetakan ke-8
1 diperkirakan terbit pada tahun 1924, sedangkan sama dengan episode I dan II cetakan ke-7.
SbPH terbit pada tahun1941, maka seharusnya Adanya kelebihan satu bait pada cetakan ke-8 bila
SPH yang diterbitkan setelah tahun 1941 memuat kedua episode itu dijumlahkan – jumlah bait
empat episode tambahan pada SbPH. Bila episode I dan II seharusnya berjumlah 40 buah,
diperhatikan SPH cetakan ke-7 yang diterbitkan bukan 41 buah – disebabkan pada episode I
tahun 1955 tidak memuat empat episode itu, cetakan ke-8 ada penambahan sebuah bait baru,
sedangkan SPH itu dapat dikatakan diterbitkan yaitu bait 4. Singkatnya, Rahman memulai episode
oleh penerbit yang sama. Dikatakan diterbitkan II cetakan ke-8 dari bait 15, 16, dan 17 pada
oleh penerbit yang sama karena SPH cetakan ke-7 episode I cetakan ke-7.
meskipun diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Bergersernya ketiga bait akhir episode I
Kementerian PP dan K, tetapi dicetak oleh Balai SPH cetakan ke-7 ke bagian awal episode II
Pustaka Jakarta dan diberi kode BP nomor 680. cetakan ke-8 sangat tepat karena ketiga bait itu
Hal ini terjadi karena kedua buku syair itu tidak menceritakan Sultan Sulaiman, dan memang
digabungkan dalam satu penerbitan, tetapi masing- episode II menceritakan tentang Sultan Sulaiman,
masing diterbitkan sendiri-sendiri. Ada dua sedangkan episode I hanyalah pengantar. Oleh
kemungkinan penyebabnya: pertama, penerbit karena itu, ketiga bait yang sudah mulai
memang sengaja menerbitkannya secara terpisah; menceritakan keadaan Sultan Sulaiman tidak tepat
kedua, karena kealpaan penerbit. Penulis lebih berada di episode I.
cenderung hal itu terjadi karena penyebab kedua, Episode III cetakan ke-8 dimulai dengan
sebab setelah berganti penerbit kedua buku syair bait:
itu digabungkan. Setelah menarik naskah SPH dari Tersebut pula kisah suatu,
Balai Pustaka Jakarta Rahman menyerahkannya ke Adalah konon seorang ratu,
penerbit Pustaka Andalas Medan. Kepada penerbit Di negeri Aceh kerajaannya itu,
Pustaka Andalas Medan tampaknya Rahman Gagah berani sudahlah tentu.
mengirimkan naskah gabungan (SPH + SbPH),
dan inilah yang kemudian diterbitkan. Bait ini dalam cetakan ke-7 merupakan
bait ke-2, sedangkan cetakan ke-7 dimulai dengan
b. Bait bait:
Dengan kesimpulan bahwa SPH cetakan ke-8 Begitulah konon orang cerita,
adalah gabungan SPH cetakan ke-7 dengan SbPH, Deli Tua masyhurlah warta,
maka konsekuensinya baitnya harus berjumlah Sultannya arif, alim pendeta,
sama. Jumlah bait SPH cetakan ke-8 seharusnya Bijak bestari adalah serta.
adalah jumlah bait SPH cetakan ke-7 (458 bait)
ditambah dengan jumlah bait SbPH (2111 bait), Bait ini dijumpai dalam cetakan ke-8.
yakni berjumlah 669 bait, tetapi ternyata baitnya Rahman membuang bait yang mengisahkan
hanya berjumlah 668 bait. Tidak samanya jumlah tentang sultan Dli yang baru, pengganti Sultan
bait ternyata tidak hanya dalam jumlah bait secara Sulaiman yang wafat. Adapun episode III adalah
keseluruhan, tetapi juga tampak pada sebagian episode yang mengisahkan raja Aceh. Sekiranya
besar episode yang sama. pun tidak dibuang bait itu lebih cocok dimasukkan
Episode I SPHcetakan ke-8 baitnya ke dalam episode II, bukan dalam episode III.
berjumlah lima belas buah, dan bait 4 merupakan Adanya sebuah bait yang dibuang yang membuat
bait baru karena dalam SPH cetakan ke-7 bait ini bait episode III dalam kedua cetakan itu tidak sama
tidak ada. jumlahnya.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 85
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
Episode VI kedua cetakan jumlah baitnya Memperhatikan isinya hanya bait 1 dan 2
tidak sama. Pada cetakan ke-8 baitnya berjumlah yang cocok dimasukkan ke episode VII, episode
109 buah, bukan 107 buah, karena bait 108 dan yang menceritakan tentang raja Aceh dengan Putri
109 adalah tambahan yang berasal dari bait 1 dan 2 HIjau, sedangkan bait 2,3, dan 4 lebih tepat tetap
episode VII cetakan ke-7. Kedua bait itu berbunyi: berada di episode VIII karena ketiga bait ini
Larasnya putus besi melayang, menggambarkan keadaan Putri Hijau yang akan
Remuk sebagai dimasak orang, meninggalkan negerinya berlayar ke Aceh.
Keliling istana rasa bergoyang, Episodde VIII lebih kena jika dimulai dengan bait
Terkejut segala hamba dan dayang. yang berbunyi “Setelah siang sudahlah ari” dan
seterusnya.
Bunyi yang dahsyat sudah tiada, Episode VIII cetakan ke-8 baitnya
Pada musuhnya akan menggoda, berjumlah 25 buah. Dengan bergesernya lima bait
Raja Aceh yang masih muda, episode VIII cetakan ke-7 menjadi bait-bait yang
Sangatlah suka di dalam dada. mengakhiri episode VII cetakan ke-8, maka
seharusnya episode ini baitnya berjumlah 24 buah
Kedua bait itu menggambarkan meriam bait pada cetakan ke-7 maupun pada cetakan ke-8.
yang putus dua dalam peperangan antara Aceh dan Namun, ternyata ada kelebihan satu bait pada
Deli, maka lebih tepat jika kedua bait itu menjadi cetakan ke-8 yang berasal dari bait 1 episode IX
penutup episode VI, yaitu episode yang cetakan ke-7 yang berbunyi:
mengisahkan peperangan itu. Episode VIII tidak Banyaklah orang heran di hati,
lagi menceritakan suasana perang, melainkan Melihat perbuatan demikian pekerti,
tentang pertemuan raja Aceh dengan Putri Hijau. Karena belum pernah dilihati,
Episode VII cetakan ke-8 dimulai dengan Pekerjaan aneh nyatalah pasti.
bait 3 dalam cetakan ke-7. Dengan pindahnya dua
bait ke episode VI seharusnya episode VII baitnya Dengan bergesernya bait ini ke episode
berjumlah 27 buah, tetapi ternyata jumlahnya 32 VIII, maka episode IX dalam kedua cetakan sama-
buah. Rupanya meskipun episode VII cetakan ke-8 sama berjumlah 34 bait. Melihat isinya bait ini
bagian awalnya telah dikurangi dua bait, di bagian dapat ditempatkan di episode VIII ataupun di
akhirnya episode ini mendapat tambahan lima bait. episode IX. Dengan demikian episode IX cetakan
Bait tambahan ini berasal dari bait 1, 2, 3, 4, dan 5 ke-8 dimulai dengan bait 2 cetakan ke-7 yang
episode VIII cetakan ke-7 yang kemudian menjadi berbunyi:
bait 28, 29, 30, 31, dan 32 pada episode VIII Setelah mengerjakan perintah rajanya,
cetakan ke-8. Kelima bait itu berbunyi: Masing-masing orang kembali ke
Putri menjawab perlahan suara, rumahnya,
“Benarlah titah mahkota Negara, Ada yang bertanya pada rekannya,
Jika tiada aral dan mara, Perbuatan demkian apakah maksudnya.
Esok hari berangkatlah segera”.
Episode X, XI, XII, dan XIII cetakan ke-8
Baginda mendengar kata begitu, seluruhnya berasal dari SbPH walaupun dengan
Hatinya riang bukan suatu, judul dan jumlah bait agak berbeda. Episode X
Kelengkapan disediakan ini dan itu, cetakan ke-8 berjudul “Mambang Yazid”,
Inang pengasuh untuk pembantu. sedangkan dalam SbPH episode I berjudul
“Mambang Yazid dengan PH”. Episode XI
Setelah siang sudahlah hari, cetakan ke-8 berjudul “Mambang Khayali”,
Berkemaslah konon tuan putri, sedangkan dalam SbPH episode II berjudul
Mandi di taman tubuh dilangiri, “Mambang Yazid dan Mambang Khayali”.
Dalam keranda membaringkan diri. Episode XII cetakan ke-8 berjudul sama dengan
episode III SbPH ‘Sumpah Mambang Yazid”.
Setelah mustaid sekalian rata, Begitu pula episode XIII cetakan ke-8 dengan
Keranda dimasukkan dalam kereta, episode IV SbPH sama-sama berjudul “Bertemu
Diirinkan laskar sekalian rata, dengan PH”. Episode XIV cetakan ke-8 berjudul
Berjalan menuju ke luar kota. “Syair Akhirulkalam” sama dengan episode X
cetakan ke-7 yang berjudul “Akhirulkalam”.
Angkatan berjalan dari istana, Pada episode X cetakan ke-8 bait 17, 18,
Alat kebesaran semua terkena, 30, dan 34 merupakan bait tambahan. Keempat
Rakyat mengiringkan semut laksana, bait ini tidak dijumpai dalam SbPH. Ini yang
Bunyi kedengaran di mana-mana. menyebabkan episode X cetakan ke-8 jumlah
baitnya 36 buah, bukan 32 buah seperti pada
episode I SbPH. Bait 17, 18, dan 30 berisi kata-
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 86
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
kata penghibur yang ditujukan Mambang Yazid dan 105 berisi keterangan bahwa pencalang
pada adiknya Putri Hijau, sedangkan bait 34 singgah di Sigli dalam perjalanannya dan juga
melukiskan bagaimana sedihnya Putri Hijau merupakan bait penutup.
setelah ditinggalkan saudaranya Mambang Yazid. Sebagian bait-bait tambahan itu hanya
Keempat bait tambahan itu sifatnya hanya untuk berupa gambaran suasana dan menambah
memperkuat pelukisan suasana saja. Tanpa bait- keterangan sehingga tidak menimbulkan perbedaan
bait itu pun sebenarnya suasana yang dilukiskan yang mendasar antara SbPH dengan SPH cetakan
telah memadai. ke-8, tetapi sebagian lagi menyajikan cerita yang
Pada episode XI cetakan ke-8 ada sedikit berlainan sehingga membuat teks kedua
tambahan bait baru sebanyak tujuh buah, yaitu: 7, terbitan itu sedikit berbeda. Sebagai contoh, dalam
14, 15, 53, 60, 69, dan 70 yang menyebabkan SbPH (IV:99) diceritakan bahwa pencalang
episode ini baitnya berjumlah 72 buah, bukan 65 singgah dahulu di Sigli sebelum menuju tujuan
buah. Bait 7, 14, dan 15 melukiskan keadaan terakhir, ini tidak ada dalam SPH cetakan ke-8.
sewaktu Mambang Yazid mencari adiknya Adapun bait-bait yang mempunyai
Mambang Khayali. Bait 53 menceritakan keadaan kemiripan bunyi karena sebagian kata-katanya
Mambang Khayali. Bait 60 isinya tentang pesan diganti, tetapi intinya sama, beberapa di antaranya:
Mambang Yazid kepada Mambang Khayali. Bait Ketika Ahmad lupakan diri,
69 dan 70 melukiskan suasana perpisahan antara Perempuan cantik segera menghampiri,
Mambang Yazid dengan Mambang Khayali. Sama Di hadapan Ahmad dia berdiri,
halnya dengan episode X, bait-bait tambahan ini Durjanya manis berseri-seri.
pun sifatnya hanya untuk memperkuat pelukisan (XIII:56, cet. Ke-8)
suasana saja. Tanpa itu pun sebenarnya suasana dengan:
yang digambarkan telah terlukiskan dengan baik. Dalam hal demikian peri,
Pada episode XII cetakan ke-8 tambahan Putri pun datang menghampiri,
baid bersumpah. Bait 9 berisi tekad Mambang Di hadapan Ahmad ia berdiri,
Yazid tidak akan berbuatonar di Tanah Deli, bait Sambil bermadah durja berseri.
10 berisi harapannya agar sumpahnya dikabulkan, (IV:56, SbPH)
bait 11 berisi jika sumpahnya tidak terkabul ia
akan membalas dendam dengan merusakkan Lalu berkata putri nurani,
rakyat semua suku. Melihat isinya, ketiga bait itu “Wahai insan siapa kauini?
(9, 10, dan 11) menunjukkan betapa dendamnya Datang ke tempatku sangat berani,
Mambang Yazid kepada Deli. Ketiga bait itu Tiada takut binasa dan fani?”
tampaknya dengan sengaja ditambahkan penyair (XIII:77, cet. Ke-8)
untuk mempertegas dendam kesumat tersebut. dengan:
Pada episode XIII banyak terjadi “Wahai tuan, siapa kauini,
perubahan, ada bait baru dan ada pula bait yang Menyelami lautan sangat berani,
hilang, ada pula bait yang mempunyai kemiripan Tidakkah takut binasa dan fani,
bunyi karena kata-katanya sebagian telah diganti. Bercerai ruh dengan jasmani?”
Bait 1 sampai 25 episode XIII cetakan ke- (IV:57, SbPH)
8 sama dengan bait 1 sampai 25 SbPH. Bait 26, 27,
dan 32 pada cetakan ke-8 adalah bait tambahan. c. Kata
Bait 26 isinya tentang keadaan sauh kapal, bait 27 Perubahan yang paling banyak dilakukan oleh
tentang kedalaman laut, dan bait 32 adalah ucapan Rahman adalah mengenai pemakaian kata. Kata-
Ahmad Bakri. Selanjutnya bait 31 sampai 55 kata itu adakalanya dihilangkan, ditambah, diganti,
cetakan ke-8 sama dengan bait 30 sampai bait 52 atau letaknya berpindah.
SbPH. Penghilangan kata jelas terlihat pada
Bait-bait episode IV SbPH yang tidak judul-judul episode. Episode X cetakan ke-8
terdapat pada episode XIII cetakan ke-8 ialah bait berjudul “Mambang Yazid”, sedangkan pada
53, 54, dan 55 yang menceritakan bagaimana SbPH berjudul “Mambang Yazid dengan Putri
keadaan Ahmad Bakri ketika bertemu dengan Putri Hijau”. Episode XI berjudul “Mambang Khayali”,
Hijau. Kemudian bait 58 dan 59 berisikan Putri sedangkan pada SbPH berjudul “Mambang Yazid
Hijau menanyakan asal-usul Ahmad Bakri. Bait dengan Mambang Khayali”. Penghilangan
61, 62, 63, 64, 65, dan 67 yang berisikan beberapa kata pada judul episode X dan XI
keterangan Ahmad Bakri. Bait 72 dan 73 tidaklah mengurangi arti, malahan sebaliknya
menceritakan Ahmad Bakri setelah menerima dengan judul yang demikian lebih menonjolkan
hadiah kersik dari Putri Hijau Bait 76 sampai bait tokoh yang difokuskan pada episode itu. Hal ini
90 menceritakan keadaan sekembalinya Ahmad akan lebih jelas bila dikaitkan dengan episode XIII
Bakri ke pencalang. Bait 92, 93, 94, 96, 97, dan 98 yang berjudul “Bertemu dengan Putri Hijau”.
berisi penjelasan nakhoda. Bait 100, 102, 103, 104, Episode XIII fokusnya adalah Putri Hijau. Begitu
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 87
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
pula halnya dengan episode X dengan fokus tokoh Dayang dan inang ada belaka,
Mambang Yazid dan episode XI dengan fokus Makanan, minuman aa disuka,
tokoh Mambang Kahayali. Buah-buahan berjenis maka,
Penambahan kata terlihat pada dua judul Laksana firdaus di sorgaloka.
episode. Episode VI SPH cetakan ke-7 berjudul (I:1, SbPH)
“Raja Aceh Menyerang”, sedangkan pada cetakan
ke-8 berjudul “Raja Aceh Pergi Menyerang”. dengan:
Episode X cetakan ke-7 berjudul “Akhirulkalam”, Dayang dan inang ada belaka,
sedangkan pada cetakan ke-8 berjudul “Syair Buah-buahan berjenis maka,
Akhirulkalam”. Penambahan kata-kata itu tidaklah Makan minum apa disuka,
perlu benar, sebab tanpa kata-kata itu pun Bagai istana di sorgaloka
maknanya telah dimengerti pembaca. (X:10, cet. Ke-8)
Ditambahkannya kata-kata itu oleh Rahman
malahan menimbulkan kesan mubazir. Larik-larik itu dapat saja berpindah
Penggantian kata-kata adalah yang paling tempat dalam bait yang sama tanpa menimbulkan
banyak ditemukan. Beberapa contoh di antaranya: perubahan arti disebabkan syair selain tidak terbagi
Bismillah itu permulaan kata, atas sampiran dan isi juga karena syair bersajak a,
Dengan nama Allah Tuhan semesta, a, a, a. Larik 1 dapat saja dipindahkan ke larik 2,
Saya mengarangkan satu cerita, atau 3, atau 4. Begitu pula sebaliknya. Contohnya:
Orang dahulu empunya warta. Bagai istana di sorgaloka, (4 menjadi 1)
(III, cet. Ke-7) Dayang dan inang ada belaka, (1 menjadi 2)
Buah-buahan berjenis maka, (2 menjadi 3)
Makan minum apa disuka. (3 menjadi 2)
dengan:
Bismillah itu permulaan kata, Sebagai kesimpulan uraian, ketiga
Dengan nama Allah Tuhan Semesta, terbitan SPH yang dibandingkan itu
Dikarangkan syair suatu cerita, memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan.
Orang dahulu empunya warta. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya berbagai
(I:1, cet. Ke-8) perubahan yang tampaknya sengaja dibuat oleh
Adapun maksud syair dikarangkan, penyalinnya. Perubahan itu selain tampak nyata
Bukannya pandai saya tunjukkan, pada teksnya juga terjadi pada kata, larik, dan bait.
Cerita yang benar saya khabarkan, Kata, larik, ataupun bait sering diganti atau di-
Lebih dan kurang harap maafkan. substitutio (Darusuprapta, 1984:7), ditambah atau
(I:2, cet. Ke-7) dihilangkan, ataupun letaknya dipindahkan atau di-
transpositio (Darusuprapta, 1984:7). Memper-
dengan: hatikan dalil Lichacev nomor 3 yang berbunyi,
Adapun maksud syair dikarangkan, “Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya”,
Bukannya ahli saya tunjukkan, maka idealnya untuk meneliti sejauh mana
Riwayat yang benar saya paparkan, perubahan yang dibuat penyairnya, semua SPH
Lebih dan kurang harap maafkan. sejak cetakan ke-1 sampai dengan cetakan terakhir
(I:2, cet. Ke-8) diteliti. Walaupun yang berhasil diperoleh hanya
SPH cetakan ke-7 dan ke-8 ditambah dengan
SbPH, tetapi dari ketiganya dapat diperkirakan
d. Larik
seberapa jauh perubahan-perubahan yang terdapat
Perubahan lain tampak pula pada larik. Larik-larik dalam SPH. Mengingat dalil Lichacev nomor 5
itu sering berpindah tempat. Beberapa contoh di yang berbunyi, “Perubahan yang diadakan secara
antaranya: sadar dalam sebuah teks harus didahulukan
Tinggallah negeri tiada beraja, daripada perubahan mekanis”, maka yang diteliti
Setiap orang bermenung saja, hanyalah perubahan yang sengaja dilakukan oleh
Laksana putri bermuram durja, penyair SPH. Perubahan yang paling pokok pada
Tiadalah tentu urusan kerja. SPH terjadi pada teksnya. Teks SPH terbitan awal
(VIII:7, cet.ke-7) mengalami perubahan dengan terbitnya SbPH pada
tahun 1941. SbPH dikatakan oleh penyairnya
dengan: sebagai sambungan dan penyelesaian cerita SPH
Tinggalah negeri tiada beraja, yang disusunnya sebelum itu. Selanjutnya teks itu
Muram bagai hari kan senja, secara lengkap dapat dibaca dalam SPH cetakan
Setiap orang bermenng saja, ke-8 yang diterbitkan pada tahun 1962. Sejauh
Tiada tentu sebarang kerja. yang diketahui cetakan ke-8 merupakan cetakan
(VIII:2, cet. Ke-8) yang terakhir. Secara filologi SPH cetakan ke-8 itu
dipandang sebagai penyempurnaan penerbitan
sebelumnya.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 88
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 89
❏ Irwansyah Syair Putri Hijau: Sebuah Telaah Filologi
Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Sutrisno, Sulastin. 1981. Relevansi Studi Filologi.
Tradisional Indonesia”. Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Liberty.
No. 6 Tahun IV. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. ______________ 1983. Hikayat Hang Tuah:
Analisa Struktur dan Fungsi. Yogyakarta:
Sany, M. Thaib. 1960. Hikajat Putroe Hidjo ngen Gadjah Mada University Press.
Meureuhom Atjeh. Bireun: Pustaka
Mahmudiyah. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Siregar, Timbul. 1980. Sejarah Kota Medan. Jaya.
Medan: Yayasan Pembinaan Jiwa Pancasila
Sumatera Utara. Tereng, Kimedal. 1976. Puteri Hijau. Bandung:
PT Aqua Press.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 90
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
Isma Tantawi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
The objective of this study is to determine and analyze the thinking of Gayo Lues
community on the cosmos in the Didong Jalu. The data in this research is analyzed based
on both observation and documentation methods. The theoretical base used in this research
is relied on literature sociological theoery suggested by Thomas Warton (1974) that
literature work is considered to be expression of art and social document. The result of this
study shows that Didong Jalu contains the thought of the Gayo Lues community regarding
encompasses matters such as the universe, flora, fauna and tools used by the community
Key words: Thinking, Gayo Lues community, cosmos, and Didong jalu
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 91
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
dalam Didong Gayo Lues berhubungan antara satu 2. PEMIKIRAN ALAM DALAM
bagian dengan bagian lainnya. DIDONG JALU
Kedua, Didong Lut (Laut). Didong Lut Menurut Abdullah (1999: 1) istilah kosmos berasal
berkembang di Kabupaten Aceh Tengah. Didong dari bahasa Greek yang berarti alam semesta dan
Lut berbentuk puisi (terikat). Isi Didong Lut tidak dunia yang teratur. Oleh karena itu, kosmos atau
berhubungan secara langsung antara satu bagian alam, dapat diartikan sebagai alam dan
dengan bagian lainnya. Oleh sebab itu, dapat keteraturannya, bukan kacau-balau (chaos).
disimpulkan bahwa Didong Lut seperti puisi yang Kosmos atau alam merupakan salah satu
dinyanyikan dan setiap puisi memiliki makna objek pengarang untuk menciptakan karya sastra.
masing-masing. Pengarang selalu mengarang dengan metode
Didong Gayo Lues dapat dibagi tiga campuran; yaitu, mencampurkan imajinasi dengan
macam; yaitu, Didong Alo (Didong penyambutan realitas, menggabungkan khayalan dengan
tamu), yaitu: Didong dipersembahkan untuk kenyataan. Semua karya merupakan hasil
menyambut tamu. Pemain Didong Alo berjumlah kreativitas dan aktivitas. Menurut Satyagraha
lebih kurang 10 orang dari pihak tuan rumah dan (1984: 100), pengarang menciptakan hal yang
10 orang dari pihak tamu. Didong Alo baru, dari tidak ada menjadi ada. Karya sastra
dipersembahkan sambil berlari arah ke kiri atau ke merupakan gambaran kenyataan yang ada dalam
kanan. Didong Alo berisi tentang ucapan selamat kehidupan yang nyata. Pengarang memberikan
datang dan ucapan terima kasih atas kehadiran reaksi kepada kehidupan dan fakta baru yang
tamu. Begitu juga dari pihak tamu mengucapkan tergambar dalam karya sastra. Jadi, karya sastra
terima kasih atas undangan dan sudah selamat di merupakan campuran antara khayalan dengan
perjalanan sehingga dapat selamat sampai ke fakta, yang sudah diolah oleh pengarang (Yunus,
tempat tuan rumah. 1981: 108).
Didong Jalu (Didong Laga), yaitu Didong Menurut Atmazaki (1990: 41), karya
dipersembahkan pada malam hari oleh dua orang sastra adalah dunia fiksi yang berasal dari
Guru Didong yang diundang dari dua kampung kenyataan. Tidak ada karya sastra yang
yang berbeda. Setiap Guru Didong didampingi sepenuhnya meniru kenyataan, di samping itu juga
oleh pengiring yang berjumlah 10 sampai 20 tidak ada yang sepenuhnya fiksi. Apabila karya
orang. Pengiring berfungsi untuk mendukung sastra sepenuhnya kenyataan maka ia akan berubah
persembahan. Pada bagian tertentu (adini Didong) menjadi karya sejarah dan apabila sepenuhnya
cerita Didong disambut oleh pengiring sambil fiksi, tidak akan ada seorang pun yang dapat
bertepuk tangan serta menggerakkan badan ke memahaminya.
muka dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan. Di dalam tradisi lisan Didong Jalu, alam
Didong Niet (Didong Niat) selalu digunakan Guru Didong untuk menyampaikan
dipersembahkan berdasarkan niat seseorang. amanat kepada pembacanya. Pengungkapan alam
Misalnya niat seseorang yang ingin mempunyai di dalam Didong Jalu yang berhubungan dengan
keturunan atau berkeinginan punya anak lelaki alam semesta, alam flora, alam fauna, dan
atau perempuan. Jika keinginan ini dikabulkan peralatan yang digunakan masyarakat Gayo Lues.
oleh Yang Maha Kuasa, maka Didong Niet ini pun Guru Didong menggunakan hal-hal yang
dipersembahkan. Didong Niet ini mengisahkan berhubungan dengan kosmos. Penggunaan kosmos
tentang anak yang diniatkan. Cerita dimulai dari di dalam Didong Jalu sangat berpengaruh dalam
awal pertemuan kedua orang tuanya. Kemudian penceritaan dan sangat bermakna dalam
pertemuan itu direstui serta dilanjutkan kepada menyampaikan amanat kepada penonton
jenjang peminangan dan pernikahan. Seterusnya persembahan Didong Jalu.
cerita mengenai perkembangan bayi di dalam
kandungan dan sampai bayi lahir ke dunia. Setelah 2.1 Alam Semesta
itu cerita diteruskan ke pesta ayunan (turun mani) Alam adalah ciptaan Allah. Allah sebagai Maha
pemberian nama dihubungkan dengan hari Pencipta yang tidak berawal dan tidak berakhir.
kelahiran, agama (agama Islam), dan nama-nama Adanya alam karena adanya Allah. Jadi, alam ada
keluarga seperti nama orang tua, kakek, nenek, dan permulaan dan ada akhir. Allah Pencipta yang
lain-lain. abadi sedangkan alam adalah hanya ciptaan dari
Cerita Didong yang menjadi objek yang abadi; yaitu, Allah Swt.
penelitian ini adalah cerita Didong Jalu yang Dalam Islam diyakini, Allah yang Maha
dipersembahkan oleh Guru Didong Ramli dan Kuasa telah mencipta alam ini. Dia tidak
Idris di Medan pada tanggal 11 dan 12 Desember memerlukan bantuan dan dukungan pihak lain
2004. Persembahan dimulai pukul 21.45 dan dalam penciptaan itu. Dengan sifat kesempurnaan
berakhir pada pukul 04.30 WIB. Allah Swt. menciptakan alam dan seluruh isinya
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 92
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
dengan begitu teratur dan rapi (Dawawy, 1999: Pertama, bumi dan langit sebagai ciptaan
34). Allah Swt. dan bukti kebesaran Allah, sehingga
Menurut Hossein (1993: 37), alam Guru Didong menyampaikan mohon maaf kepada
semesta adalah semua wujud material dan langit dan bumi. Seperti yang diceritakan Guru
rohaniah. Jadi, alam semesta adalah alam yang Didong berikut ini,
terbatas pada benda yang dikenal dan dapat diraba Maaf langit yang kujunjung sampai ke
oleh pancaindra manusia. Alam semesta ini benda- lapisan yang ke tujuh. Maaf bumi yang
benda yang nyata, seperti gunung-gunang yang sekeliling yang kami duduki sampai ke batu
dapat didaki, bentangan tanah yang dapat lapisan yang paling bawah, demi Tuhan
dikerjakan, hutan-hutan yang dapat dijelajahi, Yang Maha Pencipta (Ramli, paragraf: 18).
sungai-sungai yang dapat dikenali, laut-laut yang
dapat dilayari, dan tempat-tempat yang dapat Kedua, langit dan bumi digunakan Guru
dikunjungi (Sastraprateja, 1983: 38). Didong sebagai lambang kehormatan, bagi
Alam semesta yang dimaksudkan seseorang untuk memohon maaf kepada kedua ibu
merangkumi dunia, bumi, langit, matahari, tanah, bapak. Seperti diceritakan oleh Guru Didong
air, batu, laut, sungai, angin, barat, utara, selatan, berikut ini,
pulau, dan nama-nama tempat. Sesuai dengan Mohon maaf kepada langit yang saya
pendapat Daud (2001: 10) alam adalah bumi dan junjung, saya berharap sampai ke lapisan
langit termasuk seluruh isinya. Alam sebagai yang paling atas. Mohon maaf kepada bumi
ciptaan Allah Yang Maha Kuasa, merupakan yang dipijak, saya mohonkan sampai
tempat bagi manusia untuk mengabdi kepada Allah kepada lapisan yang paling bawah, yang
Swt. layak untuk ayah dan ibu (Idris, paragraf:
11).
2.1.1 Dunia sebagai Pentas Kehidupan
Bagi masyarakat Gayo Lues, dunia merupakan Ketiga, bumi dan langit bagi masyarakat
tempat mengabdi kepada Allah. Semua perkerjaan Gayo Lues digunakan sebagai lambang
yang baik di dunia merupakan amalan untuk kebahagiaan di dalam kehidupan. Guru Didong
menuju alam akhirat. Manusia harus menjaga Idris (paragraf: 41) mengatakan, karena keinginan
hubungan dengan Allah (hablumminallah) yang untuk mempunyai anak sudah dikabulkan oleh
diwujudkan dengan amalan-amalan, baik wajib Yang Maha Kuasa. Maka seperti makin tinggi
maupun sunat. Kemudian hubungan manusia langit yang dijunjung dan makin luas bumi yang
dengan manusia (hablumminannas) yang dipijak. Ini bermakna kebahagiaan di dalam
diwujudkan dengan menjaga hubungan baik kehidupan keluarga sudah diberi keturunan oleh
sesama manusia. Seperti yang diceritakan oleh Allah Swt.
Guru Didong Ramli (paragraf: 111) kita harus Keempat, bumi dan langit berada pada
memohon maaf dan saling memaafkan sesama tempat yang berbeda. Bumi terdapat di bagian
manusia supaya selamat hidup di dunia dan bawah dan langit di bagian atas. Bagi masyarakat
akhirat. Gayo Lues hal ini mengandung makna bahwa,
Pada bagian lain Guru Didong Ramli langit sebagai hubungan dengan Allah Swt. dan
(paragraf: 156), menceritakan manusia hidup di bumi sebagai hubungan dengan manusia. Seperti
alam dunia akan menuju alam akhirat. Pada masa diceritakan Guru Didong Ramli (paragraf: 46)
hidup di dunia harus berpegang teguh kepada setelah diadakan persembahan Didong Jalu untuk
agama Islam dan dalam melaksanakan ajaran memenuhi niat yang pernah diucapkan oleh kedua
agama Islam harus berpanduan kepada Al-Quran, ibu bapak. Supaya ke langit tidak berpucuk dan ke
hadis, ijmak, dan qias serta membaca buku dan bumi tidak berakar. Artinya persembahan Didong
bertanya kepada orang yang memahami tentang Jalu ini bertujuan untuk menyelesaikan kewajiban
agama Islam supaya selamat hidup di dunia dan kepada Allah dan tanggung jawab kepada
akhirat. masyarakat.
Kelima, bagi orang tua (ibu dan bapak)
2.1.2 Bumi dan Langit masyarakat Gayo Lues, perpisahan seorang anak
Menurut Arabi (1999: 30), bumi dan langit dengan kedua ibu bapak dianggap sebagai
merupakan tempat ciptaan dan rahasia Allah. Bumi kehancuran bumi dan langit, walaupun perpisahan
ialah planet tempat mahkluk hidup seperti itu hanya bersifat sementara. Jika anak akan pergi,
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Langit mencari ilmu atau mencari keperluan lainnya,
ialah ruangan yang luas dan terbentang di atas kedua ibu bapak sangat merasa sedih dan selalu
bumi, tempat beradanya bulan, bintang, dan memberikan nasihat yang berulang-ulang. Kedua
matahari. Pemikiran tentang bumi dan langit ibu bapak sangat khawatir terhadap kepergian
ternyata ada dalam Didong Jalu yang diperlihatkan anaknya (Idris, paragraf: 51).
oleh Guru Didong dari beberapa aspek.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 93
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 94
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 95
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
karena itu, Guru Didong untuk mengungkapkan hiasan di dalam dan di halaman rumah. Bagi
pemikiran-pemikirannya menggunakan pohon masyarakat Gayo Lues, bunga juga digunakan
nangka sebagai yang utama dan pohon cempedak untuk menghiasi kepala pada masa persembahan
sebagai pelengkap saja. Hal ini mengambarkan saman, bines, dan didong. Pemakain hiasan bunga
bahwa kedudukan atau keperluan seseorang dalam ini bertujuan untuk keindahan dan wangi-wangian
masyarakat selalu berbeda. Perbedaan ini timbul bagi pemakainya. Bunga juga dapat digunakan
karena kelebihan dan kemampuan yang dimiliki untuk mengungkapkan rasa suka dan duka.
oleh masing-masing individu. Seperti diceritakan Ternyata juga bahwa masyarakat Gayo Lues
Guru Didong berikut ini: menyenangi keindahan. Dalam Didong Jalu Guru
… Sedang diajak dari kanan, sedang Didong menggunakan bunga untuk hiasan kepala
dipengaruhi dari kiri, sedang dirayu-rayu. pada masa persembahan Didong Jalu. Bunga yang
Seandainya adapun nanti jangan terlalu digunakan Guru Didong adalah bunga renggali
berpuas hati dan begitu juga kalau tidak dan bunga nilam (Idris, paragraf: 10).
adapun jangan terlalu kecewa. Kalau tak ada
nangka, boleh cempedak, dari tidak ada 2.2.7 Tembakau
lebih baik ada (Idris, paragraf: 06). Bagi masyarakat Gayo Lues, khususnya kaum
laki-laki selalu menggunakan tembakau untuk
2.2.4 Cabe Merah dan Rimbang Hutan rokok. Tembakau yang digulung dengan daun
Menurut pemahaman masyarakat Gayo Lues, cabe rokok, kemudian dihisap. Untuk kaum perempuan
merah berasa pedas dan rimbang hutan dengan yang sudah lanjut usia tembakau digunakan untuk
berasa pahit. Cabe merah yang berasa pedas membersihkan gigi setelah makan atau minum.
menggambarkan budi bahasa yang tidak baik, Bagi masyarakat Gayo Lues, jika laki-laki
tidak pandai menjaga perasaan orang lain dan akan berkenalan akan memberikan tembakau dan rokok
menimbulkan rasa sakit hati bagi setiap orang yang daun, jika perempuan akan memberikan tembakau
mendengar perkataannya. Rimbang hutan yang dan sirih pinang.
berasa pahit digunakan menggambarkan tingkah Kebiasaan perkenalan dengan
laku yang tidak baik, seperti suka bergaduh, memberikan tembakau, daun rokok, dan sirih
mencuri, menipu, dan memfitnah. Kemudian di pinang, sering berlanjut ke perkenalan lebih dekat
dalam Didong Jalu Idiris Cike (paragraf: 07) dan berulang-ulang dan akhirnya menjadi sahabat.
menggunakan cabe merah dan rimbang hutan Persahabatan ini tidak hanya terjadi di antara
sebagai gambaran cerita yang disampaikan tidak kedua orang tersebut, tetapi persahabatan dapat
baik untuk didengar dan tidak bermakna bagi para menyatukan kedua keluarga. Kedua keluarga akan
penonton persembahan. saling mengunjungi, dalam peristiwa suka maupun
peristiwa duka. Seperti dijelaskajn Guru Didong
2.2.5 Rumput berikut ini:
Rumput merupakan tumbuhan yang tumbuh di Sebet orang yang baru kenal di dalam
mana saja tanpa ditanam oleh siapa pun. Rumput pergaulan sehari-hari, karena air satu tetes,
dapat merusak tanaman yang ditanam oleh karena rokok satu batang, karena tembakau
manusia. Rumput selalu menimbulkan kurang baik satu suntil. Akhirnya menjadi sahabat
kepada tanam-tanaman dan memerlukan tenaga seperti satu ayah satu ibu (Ramli, paragraf:
dan uang, jika kita ingin membersihkannya. 26).
Namun bagi masyarakat Gayo Lues rumput
merupakan bagian dari alam yang dipercayai 2.2.8 Kelapa dan Tebu
mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Di daerah Kabupaten Gayo Lues ada dua kampung
Menurut Guru Didong Idris (paragraf: 09) rumput yang berada di Kecamatan Pining; yaitu, kampung
yang berasal dari biji-bijian (bibit), bermakna apa Pining dan Uring. Kampung Pining hampir seratus
yang terjadi atas alam ini adalah secara sebab persen penduduknya hidup dari bertanam kelapa.
akibat dan proses ini akan berlangsung sampai hari Buah kelapa yang dihasilkan berkualitas sangat
kiamat. Apa yang kita hadapi dan kita laksanakan baik. Begitu juga kampung Uring hampir seratus
pada hari ini merupakan akibat langsung dari persen penduduknya bertanam tebu. Manisan tebu
aktivitas dan kreativitas yang berlaku pada masa yang dihasilkan berkualitas sangat baik. Kualitas
yang lalu. kelapa Pining maupun tebu Uring yang baik selalu
menjadi contoh dan perumpamaan di dalam
2.2.6 Bunga Renggali dan Nilam kehidupan masyarakat Gayo Lues. Begitu juga
Bagi masyarakat Gayo Lues bunga selalu Guru Didong mengunakan kelapa Pining dan tebu
digunakan untuk mengungkapkan rasa keindahan Uring memuji cerita rekannya. Guru Didong
seseorang, terutama bunga yang indah bentuknya Ramli menggunakan kelapa untuk memuji
serta yang menimbulkan wangi seperti bunga temannya karena rasa lemaknya dan menggunakan
kenanga, ros, dan kantil. Bunga juga dijadikan tebu karena rasa manisnya. Guru Didong
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 96
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
menggunakan kelapa Pining, karena di daerah Didong Jalu. Pemikiran-pemikiran tentang hewan
Pining banyak ditanami pohon kelapa dan yang terdapat dalam Didong Jalu adalah sebagai
menggunakan tebu Uring karena daerah Uring berikut:
banyak ditanam pohon tebu. Seperti diceritakan
Guru Didong berikut ini: 2.3.1 Burung
Kalau seperti dirimu bercerita, pandai Bagi masyarakat Gayo Lues, burung merupakan
menjaga hati melindungi perasaan. Rasa sejenis binatang yang hidup dan berkembang di
lemaknya seperti kelapa Pining, rasa alam lepas. Bagi masyarakat Gayo Lues, burung
manisnya seperti tebu Uring… (Ramli: 48). dapat digunakan sebagai simbol atau lambang di
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya burung
2.2.9 Kopi murai sebagai lambang kebijaksanaan. Suara
Bagi masyarakat Gayo Lues kopi, adalah minuman burung balam sebagai kemerduan. Dalam Didong
yang hampir disenangi oleh semua orang dewasa, Jalu ini Guru Didong menggunakan burung elang
baik laki-laki maupun perempuan. Bagi untuk menyampaikan pesan.
masyarakat Gayo Lues, kopi bukan sekadar Guru Didong menggunakan suara burung
minuman, tetapi kopi juga sebagai lambang elang untuk mengundang tamu. Guru Didong
keakraban dan kemurahan hati seseorang. Kopi memilih burung elang karena suara burung elang
selalu diberikan kepada tamu yang datang ke sangat merdu dan memiliki kekuatan suara yang
rumah atau yang berjumpa di tempat-tempat lain, luar biasa dibanding dengan burung lainnya. Ini
sehingga pemberian kopi dapat untuk dapat menyampaikan semua amanat kepada tamu
meningkatkan hubungan kekeluargaan. Kopi yang akan diundang. Suara burung elang
sebagai lambang kemurahan hati, artinya dengan digunakan Guru Didong sebagai tanda dan makna
pemberian kopi dapat dianggap seseorang itu mengundang tamu untuk melaksanakan
pemurah. persembahan Didong Jalu. Seperti diceritakan
Kemudian kopi di dalam Didong Jalu, Guru Didong berikut ini:
digunakan Guru Didong sebagai lambang Sudah terdengar kicauan burung dan suara
pembagian tugas di dalam persembahan Didong. helang. Suara helang dan kicauan burung
Pada bagian batang kedua Guru Didong memberikan isyarat. Maknanya adalah
musyawarah tentang siapa yang akan menanyakan untuk mengundang semua ahli famili pada
pertanyaan teka-teki serta siapa pula yang malam Ahad. Jika tidak ada halangan; yaitu,
mengikuti dan menyelididiki teka-teki. Seperti barah sama bisul, patah atau terkilir, kalau
diceritakan Guru Didong berikut ini: ada izin dari Allah, kalau ada syafaat dari
Siapa yang pertama dan yang kedua, kita Rasul akan diadakan pesta perkawinan
musyawarah. Siapa yang berjalan terduhulu (Ramli, paragraf: 01).
membentangkan tali dan siapa yang
mengikuti dari belakang mencari Kemudian Guru Didong menggunakan
kesimpulan. Siapa yang duduk di hadapan suara burung balam yang bersuara merdu hidup di
untuk baca doa kenduri, siapa yang duduk alam lepas. Kemerduan suara dan keindahan warna
di belakang untuk membuat kopi. Semuanya digunakan untuk mengungkapkan pemikiran
terserah kepada kita berdua (Idris, paragraf: dalam bentuk pantun, sehingga persembahan
72). Didong Jalu dapat menjadi lebih diminati oleh
penonton persembahan, seperti didendangkan oleh
2.3. Alam Fauna Guru Didong berikut ini:
Alam fauna adalah alam hewan. Berdasarkan Burung balam gunung bersuara merdu,
peninggalan tulang-tulang (fosil) alam hewan Akan kupetik dengan ujung jari.
sudah dikenal sejak zaman triasik sekitar Bulu keliling warna yang menarik,
130.000.000 tahun lalu. Hewan adalah salah satu Supaya jinak, saya petik lagi (Idris,
kumpulan makhluk yang diciptakan oleh Allah paragraf: 65)
Swt. yang berbeda dengan makhluk lainnya.
Hewan memiliki naluri yang tinggi, sehingga Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues,
hewan dapat menjalankan kehidupan tanpa belajar ayam dikelompokkan kepda jenis burung dan
(Shariff, 1993: 29). ayam dapat dibedakan menjadi ayam kampung,
Semua alam dan isi alam diciptakan oleh ayam ras (kurik lengek), dan ayam hutan. Ayam
Allah Swt. untuk keperluan manusia. Manusia kampung dan ayam ras adalah ayam yang
dapat menggunakannya dan menyesuaikan dengan dipelihara oleh masyarkat dan ayam hutan adalah
keperluan yang sesuai dengan perkembangan dan yang hidup di hutan. Dalam kehidupan masyarakat
kemajuan zaman. Makhluk hewan yang digunakan Gayo Lues dipercayai bahwa ayam kampung yang
Guru Didong adalah untuk mengungkapkan sedang mengeram pasti memiliki kutu (tungir).
pemikiran-pemikiran yang disampaikan melalui Kepastian ini akan menunjukkan semua yang
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 97
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 98
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
jengkal. Guna are untuk takaran. Guna hasta untuk keperluan di perjalanan dan untuk
untuk mengukur panjang. Guna genggaman menghadang musuh. Tongkat dipergunakan
untuk memenuhkan takaran. Guna pelingkut sebagai panduan, artinya di dalam kehidupan
untuk meratakan takaran. Guna neraca sehari-hari harus ada tuntunan. Supaya dapat
untuk menimbang, supaya tidak lebih berat selamat dan berhasil serta dapat didukung oleh
ke sebelah kanan atau tidak lebih ringan ke semua pihak. Seperti diceritakan Guru Didong
sebelah kiri. (Idris, paragraf: 16). berikut ini:
Jika anakku pergi, jangan lupa membawa
Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues pedang sebagai senjata. Jika ada kayu yang
sangat hati-hati dengan alat takaran. Mereka melintang dapat diluruskan, jika ada bahaya
merasa takut jika takaran tidak sesuai. Oleh karena
yang menghadang dapat dilawan. Nasihat
itu, untuk meratakan alat ukur digunakan kayu
dari ayah dan ibu, kalau berjalan harus
(pelingkut) untuk meratakan. Dengan pelingkut ini
bertongkat, kalau bercerita harus
akan menghasilkan takaran isi yang tepat, tidak
mempunyai pedoman (Idris, paragraf: 50).
lebih dan tidak kurang. Pelingkut digunakan untuk
meratakan bagian atas alat ukur are dan kal. Kal
dan are selalu digunakan untuk menyukat beras 2.4.5 Tangga
atau padi (Idris, paragraf: 22). Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues, tangga
tidak hanya digunakan untuk alat menaiki tempat
2.4.2 Alat Memasak yang tinggi, tetapi juga digunakan untuk
Bagi masyarakat Gayo Lues ada peristiwa suka perumpamaan bahwa naik harus melalui tangga.
dan ada peristiwa duka. Peristiwa suka atau Artinya, apa saja yang kita lakukan harus
kegembiraan ini selalu dimeriahkan, seperti pesta berdasarkan kepada peraturan-peraturan yang
ayunan (pemberian nama), pesta penyerahan anak sedang dilaksanakan, supaya apa yang kita lakukan
kepada guru (belajar ilmu adat dan agama), pesta dapat berhasil dan tidak menjadi masalah serta
sunat rasul (menjalanlan sunah rasul) dan pesta didukung oleh semua pihak. Seperti diceritakan
perkawinan (jika sudah ada jodoh atau pertemuan). Guru Didong berikut ini:
Dalam pelaksanaan pesta tersebut selalu Jika pergi ke daerah lain, untuk bermain
menggunakan alat-alat pesta seperti periuk, kuali, Didong Gayo, berjalan harus melalui jalan,
piring, dan sendok. Alat ini digunakan untuk naik harus melalui tangga, duduk harus
keperluan makan tamu yang hadir dalam pesta pada tempat yang sudah disediakan…(Idris,
yang sedang dilaksanakan (Ramli, paragraf: 23). perenggan: 52).
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 99
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
2.4.7 Tinta dan Kertas atau sunat rasul. Burung balam digunakan karena
Menurut pemikiran masyarakat Gayo Lues bahwa kemerduan suaranya. Laba-laba disejajarkan
dunia sebagai pentas kehidupan semua makhluk. dengan buaya dianggap sebagai perusak dan
Di atas dunia ini sangat banyak masalah, misalnya penghambat di dalam kehidupan masyarakat Gayo
masalah di langit, di udara, di bumi dan di laut dan Lues. Siamang dikenal karena kekuatan dan
di antara kempatnya. Jika masalah itu dituliskan kemerduan suaranya. Kerbau digunakan sebagai
tidak akan cukup air laut untuk tintanya dan tidak lambang ketidakmampuan atau ketidakfahaman.
akan cukup daun kayu untuk kertasnya. Seperti Keempat, peralatan yang digunakan masyarakat
diceritakan Guru Didong berikut ini: Gayo Lues meliputi untuk tempat mencari
… jika kita ceritakan pun pulau yang keadilan. Alat ukur neraca, are dan kal untuk
banyak laut yang luas, tidak akan pernah takaran, supaya tidak lebih atau tidak kurang.
selesai. Kita kaji pun banyaknya pulau tidak Pelingkut untuk meratakan alat ukur sukatan
akan cukup air laut untuk tintanya. Jika kita supaya sesuai. Alat memasak periuk, kuali, piring,
kaji pun luasnya lautan, tidak akan cukup dan sendok digunakan dalam pelaksanaan pesta
daun kayu untuk kertasnya (Idris, paragraf: ayunan, pesta penyerahan anak kepada guru, pesta
68). bersunat rasul dan pesta perkawinan. Tepak untuk
tempat sirih dan pinang yang digunakan untuk
2.4.8 Buku menyampaikan undangan dan risikan. Pedang
Masyarakat Gayo Lues sudah menyadari perlunya sebagai alat di dalam perjalanan dan tongkat
pendidikan bagi setiap orang. Pendidikan ada yang sebagai pedoman di dalam kehidupan. Tangga
bersifat formal dan informal. Pendidikan formal sebagai perumpamaan, supaya di dalam kehidupan
atau pendidikan resmi dapat didapatkan melalui harus memiliki panduan. Tampi dan sapu sebagai
lembaga-lembaga pendidikan seperti Sekolah perumpamaan ketidaksesuaian atau ketergesa-
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah gesaan. Tinta dan kertas digunakan sebagai
Menengah Atas, dan Universitas. Pendidikan non gambaran banyaknya persoalan di atas dunia ini.
formal atau pendidikan yang tidak resmi melalui Jika dituliskan semua persoalan di atas dunia ini
apa yang didengar, dirasakan, dialami dan dibaca tidak akan cukup air laut untuk tintanya dan daun
pada setiap hari. Menurut paham masyarakat Gayo kayu untuk kertasnya. Buku merupakan bahan
Lues untuk mendapatkan ilmu dapat dilakukan bacaan dan sumber ilmu.
melalui dua cara. Pertama, melalui membaca buku
yang sudah banyak ditulis pengarang dan DAFTAR PUSTAKA
diterbitkan oleh percetakan. Kedua, dapat bertanya
kepada bapak dan ibu serta kepada guru, sehingga Abdullah, Abdul Rahman. 1999. Falsafah Alam
semuanya dapat menjadi jelas dan dapat difahami Semesta. Shah Alam: Lohprint Sdn. Bhd.
(Ramli, paragraf: 156).
Ara, L.K. dkk. 1995. Seulaewah, “Antologi Sastra
3. SIMPULAN Aceh Sekilas Pintas”. Jakarta:Yayasan
Setelah mengkaji pemikiran tentang kosmos di Nusantara.
dalam Didong Jalu, didapati bahwa, pertama, alam
semesta yang digunakan oleh Guru Didong untuk Arabi, Ibnu. 1999. Pohon Semesta (Terjemahan).
mengungkap pemikiran meliputi dunia, bumi, Surabaya: Pustaka Progresif.
langit, matahari, tanah, air, batu, laut, sungai angin,
dan nama-nama tempat. Kedua, alam flora yang Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan.
meliputi sirih pinang, randu hutan, nangka, Bandung: Angkasa Raya.
cempedak, cabe merah, rimbang hutan, rumput,
bunga renggali, nilam, tembakau, kelapa, tebu, dan Daud, Haron. 2001. Mantera Malayu Analisis
kopi. Sirih pinang digunakan untuk jemputan pesta Pemikiran. Pulau Pinang:Universiti Sains
perkahwinan atau bersunat rasul. Randu hutan Malaysia.
sebagai lambang ketidakmampuan dan kelemahan.
Nangka dan cempedak digunakan untuk Dawawy, Aminuddin Ruskam Al. 1999. Konsep
perbandingan yang penting dengan yang kurang Kosmologi (Terjemahan). Malaysia:
penting. Cabe merah sebagai lambang Universiti Teknologi Malaysia.
ketidaksopanan dan rimbang hutan sebagai
lambang kejahatan. Rumput yang berasal dari biji- Djapri, Abdul G. 1985. Mengintai Alam
bijian (bibit) sebagai bukti bahwa semua di atas Metafisika. Surabaya: Bina Ilmu.
alam ini terjadi secara sebab akibat. Ketiga, alam
fauna yang meliputi burung, serangga, siamang, Hanafiah, Sulaiman dkk. 1984. Sastra Lisan Gayo.
dan kerbau. Burung elang digunakan untuk Jakarta: Departemen Pendidikan dan
menyampaikan amanat, jika ada pesta perkawinan Kebudayaan.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 100
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
Hossein Nasr, Seyyed. 1993. Doktrin Kosmologi Selamat, Muhammad Isa.2000. Pedoman
Islam (Terjemahan). Kuala Lumpur: Dewan Menghapus Dosa. Kuala Lumpur: Darul
Bahasa dan Pustaka. Nu’man.
Junus, Mahmud. 1984. Terjemahan Al Quran. Shariff, Azizah. 1993. Kenapa Mengapa Burung.
Bandung: PT. Al - Ma’Arip. Kuala Lumpur: Fargoes Sdn. Bhd.
Melalatoa, M. 1985. Kamus Bahasa Gayo - Soh, Zakaria Auang. 1994. Kejadian dan Keadaan
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Alam Semesta. Kuala Lumpur: Berita
dan Kebudayaan. Publishing Sdn. Bhd.
Sujitno, Sutejo, dkk. 1995. Aceh Masa Lalu, Kini
Sastraprateja, M. 1983. Manusia Multi dan Masa Hadapan. Banda Aceh:
Dimensional, Sebuah Renungan Falsafah. Sekretariat Gubernur Daerah Istimewa
Jakarta: Gramedia. Aceh.
Satyagraha, Hoerip. 1984. Cerita Pendek Yunus, Umar. 1981 Mitos dan Komunikasi.
Indonesia II. Jakarta: Departemen Jakarta: Gramedia.
Pendidikan dan Kebudayaan.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 101
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
Jhonson Pardosi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
In each wedding ceremony have three element Dalihan na Tolu to have and to do right and
responsibility. They are three big symbols, used umpasa, bride price and ulos. The people
of Batak Toba Traditional are concealment; they are not saying something about
everything other live. Have point, so to say something to make hide-mean but not
understand. Usually they use term and traditional poetry (pantun) to say something to
someone or more in communication. Bride price (sinamot) has philosophy and deep
symbolic meaning. The meaning of bride price is a process to give and take. To give ulos
have symbolic meaning as stamp other their request to God to be real together ulos.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 102
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
berisi permohonan yang menjadi cita-cita hidup yang terdapat ketika upacara perkawianan Batak
setiap masyarakat Batak Toba, berupa hagabeon Toba.
(kebahagiaan), hamoraon (kekayaan), hasangapon
(dihormati), dan saur matua (panjang umur dan 1.4. Landasan Teori
sejahtera). Teori yang digunakan pada pembahasan adalah
Penggunaan umpasa dilakukan ketika teori interaksi simbolik yang bercikal bakal dari
upacara adat perkawinan berlangsung sebagai faham fenomenologi, berusaha memahami tentang
media komunikasi dan permohonan kepada Tuhan suatu “gejala” erat hubungannya dengan situasi,
Yang Mahaesa bagi kelompok-kelompok yang kepercayaan, motive pemikiran yang melatar-
mempunyai andil pada upacara adat tersebut. belakangi. Moeleong, (2000:9) mengatakan,
Suasana akan menjadi hidup apabila pembicara ”Penekanan kaum Fenomenologis adalah aspek
dari kelompok-kelompok yang terkait subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha
menggunakan umpasa dengan fasih dan berirama masuk ke dalam dunia konseptual para subjek
sambil menunjukkan kebolehannya sebagai simbol yang ditelitinya sehingga mereka mangerti apa dan
bahwa kelompok tersebut mengerti dan memahami bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan di
upacara adat dengan baik. sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.”
Ulos adalah selembar kain yang ditenun Selanjutnya teori interaksi simbolik berpandangan
sebagai kerajinan oleh wanita dengan berbagai bahwa seseorang berbuat dan bertindak bersama
pola dan aturan-aturan. Ulos merupakan ciri khas dengan orang lain, berdasarkan konsep makna
kebudayaan Batak Toba tradisional berwujud yang berlaku pada masyarakatnya; makna itu
kebudayaan artefaks (konkrit). Sebelum masuknya adalah produk sosial yang terjadi pada saat
agama Kristen pada masyarakat Batak Toba, ulos interaksi; aktor sosial yang terkait dengan situasi
adalah benda yang diresapi oleh suatu orang lain melalui proses interpretasi atau
kualitas/kekuatan “magis religius”. Oleh karena tergantung kepada orang yang menafsirkannya.
itu, banyak larangan dan pantangan yang tidak Blumer (dalam Zeitlin, 1998:331-332)
boleh diabaikan ketika proses penenunan karena mengatakan,
diberkati dengan kekuatan keramat. Panjangnya Karakter interaksi khusus yang berlangsung
harus tertentu, jika tidak, dapat mambawa maut antar manusia. Aktor tidak semata-mata
dan kehancuran pada “tondi” atau roh sipenerima bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi
ulos. Akan tetapi, jika ulos dibuat sesuai dengan dia menafsirkan dan mendefenisikan setiap
aturan berupa ukuran dan pola tertentu maka ulos tindakan orang lain. Respon aktor baik
akan dapat dijadikan sebagai pembimbing dalam secara langsung maupun tidak selalu
kehidupan. didasarkan atas penilaian makna tersebut.
Secara umum pembuatan ulos adalah Oleh karenanya, interaksi manusia
sama, yang membedakannya adalah nama, corak dijembatani oleh penggunaan symbol-
atau motif, dan sifat kedudukan pemakaiannya simbol penafsiran atau dengan menemukan
yang harus sesuai dengan jenis upacara adat ketika makna tindakan orang lain.
memberikannya. Walaupun mempunyai
perbedaan, akan tetapi pemberian ulos selalu 2. PEMBAHASAN
diartikan dan dihubungkan dengan makna simbol- Sistem kemasyarakatan Batak Toba tertuang dalam
simbol. Ulos dianggap sebagai medium konkrit kerangka konsep Dalihan na Tolu, artinya tungku
sebagai “materai” agar permohonan direstui oleh nan bertiga. Ketiga kaki tungku masing-masing
Tuhan Yang Mahaesa, bersamaan dengan mempunyai fungsi dan kedudukan yang tidak
penggunaan umpasa yang berisi permohonan boleh dipisahkan dan dipertukarkan untuk menjaga
sehingga permohonan tersebut dapat diterima oleh keseimbangan. Ketiga unsur Dalihan na Tolu
tondi (roh) dan daging (tubuh). terdiri dari; Pertama, Dongan Sabutuha artinya
pihak terdiri dari turunanan laki-laki satu leluhur.
1.2. Perumusan Masalah Kedua, Boru artinya pihak penerima
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil dara/perempuan mulai dari anak, suami, orang tua
suatu rumusan masalah. Adapun masalah yang dari suami. Ketiga, Hula-hula artinya pihak
dapat dirumuskan adalah apakah makna simbol- berdasarkan para turunan pemberi dara atau istri.
simbol yang terdapat pada upacara perkawinan Penentuan dari sistem kemasyarakatan
Batak Toba? Batak Toba ditarik berdasarkan garis patrilineal
atau garis Ayah yang setiap orang atau individu
1.3. Tujuan Pembahasan diwariskan marga. Marga adalah identitas klan
Tujuan dari hasil pembahasan pada karya ilmiah atau keturunan yang diteruskan oleh laki-laki,
ini adalah untuk mengetahui makna simbol-simbol sedangkan perempuan hanya terbatas pada
individunya saja tidak sampai kepada anak-
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 103
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 104
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 105
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
seluruh hadirin menjawab dengan kata Ima tutu Tulang ”upa Tulang” (bagian saudara laki-laki
(demikianlah adanya). dari ibu mertua perempuan); Pariban ”upa
Pada akhir acara adat perkawinan, setelah pariban” (bagian saudara perempuan dari ibu
semua pihak Hula-hula selesai memberikan ulos, mertua atau bibi dari pempelai perempuan); dan
petuah, dan kata-kata berkat/harapan kepada para undangan pihak perempuan (parboru) yang
pengantin dan kepada semua pihak paranak, maka hadir walaupun jumlah bilangannya sedikit sebagai
pihak paranak akan menjawab segala kebaikan bukti (tuhor ni boru).
atau kemurahan hati Hula-hula yang telah Hal ini sebagai wujud dari sistem
memberikan berkat sebagai inti dan kata akhir dari kemasyarakatan Batak Toba yang masing-masing
upacara adat perkawinan. Salah seorang dari mempunyai status dan peran. Ketiga unsur
paranak menjawab diiringi dengan penggunaan kemasyarakatan mendapatkan bagian dari sinamot,
umpasa, agar segala pemberian petuah, berkat, dan sebaliknya mereka akan melaksanakan perannya
harapan untuk hidup sejahtera dapat terwujud, pada upacara adat perkawinan. Filosofi "Somba
terutama kepada keluarga pengantin. marhula-hula, Manat mardongan sabutuha, Elek
Turtu ninna anduhur marboru" masih dipegang teguh sampai sekarang.
“Turtu kicauan burung perkutut Somba marhula-hula artinya Hula-hula adalah
Tio ninna lote kelompok yang harus dihormati karena
Indah kicauan burung puyuh mempunyai anugerah untuk memberikan berkat
Sude hata nauli kehidupan kepada kelompok Boru, bagaikan
Semua petuah/berkat matahari yang memberikan cahayanya ke bumi
Sai unang muba, unang mose sehingga terjadi kehidupan. Manat mardongan
Jangan berganti, jangan berubah”. tubu artinya harus hati-hati akan hubungan sesama
satu marga karena hubungannya sangat sensitif
Naung sampulu pitu apabila terjadi perselisihan, hubungan satu marga
”Bilangan tujuh belas diharapkan selalu bersatu bagaikan memotong air
Jumadi sampulu ualu yang tidak akan putus. Elek marboru artinya
Selanjutnya delapan belas kelompok boru yang selalu hormat kepada hula-
Hata na uli dahot pasu-pasu hula, sebaliknya hula-hula juga harus sayang dan
Semua kata petuah dan berkat memanjakan serta “menuruti” kemauan boru.
Boanon nami mai tu tonga ni jabu Hula-hula dihormati dan berwibawa karena sikap
Kami bawa ke dalam rumah”. hormat kelompok boru yang selalu menopang,
memberikan bantuan ketika melakukan suatu
Andor has ma andor his kegiatan.
“Tumbuhan has adalah tumbuhan his Pada masyarakat Batak Toba pemberian
Tu andor purba tua uang mahar (sinamot) dari pihak laki-laki kepada
Tumbuhan purba tua pihak perempuan janganlah diartikan sama dengan
Sai horas hula-hula nami jala torkis menjual sesuatu barang atau benda di pasaran.
Sejahteralah hula-hula kami dan sehat Pemberian uang mahar (sinamot) mempunyai
Sai gabe jala saur matua falsafah dan makna simbolik yang mendalam
berketurunan dan berbahagia”. sesuai dengan sistem nilai yang diwariskan secara
turun-temurun dan berfungsi pada masyarakatnya.
2.2. Makna Simbol Uang Mahar pada Upacara Pengertian dari pemberian uang mahar (sinamot)
Adat Perkawinan Batak Toba yang paling hakiki adalah proses “pemberian dan
Mahar disebut juga di dalam masyarakat Batak penerimaan”. Mempelai perempuan yang telah
Toba dengan sinamot, yaitu pembayaran diberikan marga oleh pihak keturunan/klan
perkawinan atau emas kawin dalam bentuk uang, ayahnya akan melepaskan haknya, sebaliknya akan
benda, dan kekayaan. Pembicaraan tentang berapa ”menerima sinamot” dari pihak paranak. Oleh
besarnya sinamot telah dibicarakan sebelum pesta karena itu, mempelai perempuan diharapkan
perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak jangan membuat malu nama keturunan/klan
berunding untuk bersepakat dengan pelaksanaan ayahnya kepada pihak mempelai laki-laki yang
pesta perkawinan. Pertemuan ini disebut dengan telah ”memberi” dan membawa ke dalam
marhata sinamot (membicarakan sinamot). keturunan/klannya. Mempelai perempuan sudah
Sedangkan pada waktu upacara perkawinan, tidak menjadi tanggungan ayahnya lagi dalam adat
sinamot dibagi-bagikan kepada pihak kerabat yang karena haknya sudah diserahkan kepada pihak
berhak; Suhut (bagian orang tua dari mempelai mempelai laki-laki. Mulai saat itu, mempelai
perempuan); Si jalo Bara (bagian saudara laki-laki perempuan sudah harus mengikuti marga
ayah dari mempelai perempuan; Sijalo Todoan suaminya, seperti kata umpasa:
(bagian sudara laki-laku mempelai perempuan);
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 106
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 107
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
tradisional. Makna simbolik ulos secara umum Pitu sundut so ada mara.
terdiri atas tiga bagian, yaitu; hapal (tebal) Tujuh generasi tidak bermara”.
memberikan kehangatan tubuh dan roh bagi yang
menerimanya. Sitorop Rambu (banyak rambu pada Ia tambor bonana,
ujung ulos) mempunyai arti agar mendapatkan “Batangnya ditimbun,
banyak keturunan putra dan putri bagi yang Rugun ma dohot punsuna,
menerimanya. Ganjang (panjang) yang Daunnyapun akan rindang,
mempunyai arti agar orang yang penerimanya Ia gabe maradong hula-hulana,
panjang umur. Berketurunan dan kaya hula-hulanya,
Pemberian ulos ketika upacara adat Suang songoni nang boruna.
perkawinan Batak Toba bersamaan dengan Demikian juga borunya”.
penggunaan umpasa, setelah umpasa selesai
diucapkan maka ulos dililitkan ke punggung kedua Suhat si gopuk,
pengantin. Pemberian ulos mempunyai makna “Keladi si gupak,
simbolik sebagai “materai” agar permohonan Suhat ni marga panggabean,
yang disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa Keladi milik Panggabean,
menjadi kenyataan seiring dengan sampainya ulos Molo mamora boru,
tersebut untuk mengahangatkan tubuh dan roh Jika boru berada,
kedua pengantin yang menjadi satu dalam Adong ma paulaean.
keluarga. Penyampain ulos diharapkan dapat Ada yang dihandalkan”.
memacu semangat hidup untuk mengayuh biduk
keluarga di tengah gelombang dunia yang dahsyat. Na tinapu salaon,
Penggunan umpasa ketika memberikan ”Yang dipupuk salaon,
ulos pada kedua pengantin dan pihak paranak Salaon situa-tua,
merupakan permohonan berkat agar kedua Salaon milik leluhur,
mempelai dan keluarga selalu dalam lindungan Martua do halak,
Tuhan yang Mahaesa, diberikan kesehatan, Bertuahlah orang,
keturunan putra/putri yang bijaksana, kekayaan, Molo gabe boruna,
dan wibawa yang dapat melindungi keluarga. Apabila sejahtera borunya,
Permohonan ini merupakan filosofi orang Batak Ia pinangido hepeng,
Toba diarapkan dapat terwujud di dalam Jika diminta uangnya,
mengarungi bahtera rumah tangga yang baru Na so olo manjua.
dibentuk, seperti kata umpasa: Pasti diberikan”.
Uli pe pinggan pasi,
“Cantik piring pasi, 3. SIMPULAN
Ulian do panggan pasu, Pada masyarakat Batak Toba ketika
Lebih cantik piring pasu, berlangsungnya upacara adat ditemukan banyak
Gabe ma boru na pinamuli, sistem simbol yang mempunyai makna tersendiri,
Berketurunanlah putri yang dinikahkan, tergantung pada jenis upacara yang sedang
Naung manjalo pasu-pasu. dilaksanakan. Sehubungan dengan tujuan
Yang telah mendapat pemberkatan”. pembahasan dapat ditarik simpulan, bahwa pada
upacara adat perkawinan Batak Toba berlangsung
Bintang na rumiris, secara umum ditemukan tiga simbol yaitu, 1.
“Bintang yang bertaburan, Simbol penggunaan umpasa 2. Simbol pemberian
Tu ombun na sumorop, dan penerimaan uang mahar (sinamot), 3. Simbol
Embun yang menebal, pemberian ulos.
Anak pe riris, Makna simbol pemberian dan penerimaan
Putra jumlahnya tak terhingga, uang mahar (sinamot) pada upacara adat
Boru pe torop. perkawinan Batak Toba adalah keluarga mempelai
Putri juga jumlahnya banyak”. perempuan yang telah mewariskan marga klan
keturunan, menerima uang sinamot akan
Obuk do jambulan, melepaskan haknya kepada mempelai perempuan.
“Rambut adalah rambut, Selanjutnya pengantin laki-laki yang memberikan
Nidandan bahen samara, sinamot akan menerima dan memasukkan
Didandan berkepang, mempelai perempuan ke dalam klan keturunan
Pasu-pasu ni hula-hula, mempelai laki-laki.
Berkat yang bersumber dari hula-hula,
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 108
Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat
❏ Jhonson Pardosi
Perkawinan Batak Toba
Makna simbol penggunaan umpasa pada Poedjawijatna, I.R. 1987. Manusia dan Alamnya.
upacara adat perkawinan Batak Toba adalah Jakarta:Bina Aksara.
sebagai sarana komunikasi bagi utusan pembicara
dari kelompok yang berkompoten pada saat Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Strategi
upacara berlangsung. Selain itu, umpasa Kebudayaan: Pendekatan Filosofis.
digunakan sebagai sarana berkomunikasi untuk Jakarta:Gramedia.
bermohon dengan Tuhan Yang Mahaesa agar
diberikan hagabeon (memiliki putra dan putri), Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak.
hamoraon (memiliki kekayaan harta benda), Medan:Napitupulu & Sons.
hasangapon (memiliki Wibawa dan terpandang),
dan saur matua (panjang umur dan dapat mencapai Siahaan, Mangaraja Asal. 2004. Adat dohot
cita-cita). Umpama. Pematang siantar: Tulus Jaya.
Makna simbol pemberian ulos pada saat
upacara adat perkawinan Batak Toba adalah Sibarani, Parda. 1976. Umpasa Batak Dohot
sebagai “materai” agar permohonan yang Lapatanna. Pematang Siantar:”Parda”.
disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa
menjadi kenyataan seiring dengan sampainya ulos Sihombing, T.M. 1997. Jambar Hata. Pematang
tersebut untuk mengahangatkan tubuh dan roh Siantar: Tulus Jaya.
kedua pengantin yang menjadi satu dalam
keluarga. Soemardjan, Selo. 1984. “Kesenian dalam
Perubahan Kebudayaan”. Dalam Zoeltom
DAFTAR PUSTAKA (Ed.) Budaya Sastra. Jakarta:Rajawali.
Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Tampubolon, Radja Patik. 1960. Adat Batak
Jakarta:Grafiti Pers. Taringot Parjambaran. Pematang Siantar.
Hardiman, Franki Budi. 1993. “Kesadaran yang Vergowen, J.C. 1985. Masyarakat dan Hukum
Tak Bersarang” Dalam Tim Redaksi Adat Batak Toba. Jakarta:Pustaka Azet.
Driyakara. Diskursus Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan. Jakarta:Gramedia. Zeitlin, Irving M. 1998. Memahami Kembali
Sosiologi. Yokyakarta:Gadjah Mada
Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan. University Press.
Yokyakarta:Kanisius.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 109
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
Ikhwanuddin Nasution
Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
The semiotic related to the system and code to have symbol to each other. When the system
and code related to literary work, so have process to communication between reader to
literary work and writer. In this process, Roland Barthes make five code and system level of
meaning. For code, they are hermeneutic, proairetic, semic, symbolic and culture. And the
system, Barthes make level of system, they are denotative and connotative. The system and
code used for analysis of novel Penakluk Ujung Dunia work of Bokor Hutasuhut.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 110
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
tanggung jawab sastrawan terhadap hakikat hidup dan pembaca. Hal inilah yang terkadang membuat
dan kehidupan. pemahaman terhadap sebuah karya sastra menjadi
Suatu karya sastra bukan tidak mungkin tidak sama, bahkan tidak wajar.
harus dipandang sebagai pelambang sosial, Pandangan semiotika bukan hanya dapat
meskipun pandangan ini tidak harus dipatuhi. menghubungkan sistem dalam karya itu sendiri,
Namun, tidak pula ditafsirkan bahwa sastra harus tetapi juga dengan sistem di luarnya, dengan
dipahami lepas sama sekali dari konteksnya. Istilah sistem dalam kehidupan. Namun, hal itu
kenyataan imajiner dapat dipahami, bahwa dalam tergantung pada kesanggupan seorang pembaca
melukiskan suatu kenyataan fiktif, sastrawan dapat untuk menghubungkannya, tentu saja kesanggupan
saja mengambil bahan dari kenyataan objektif. pembaca untuk memahami kehidupan itu sendiri.
Sebaliknya, sastra sebagai pelambang sosial pun Semua itu tentu saja dibantu oleh ilmu bantu
tidak diartikan sebagai mengandung kenyataan lainnya.
sebenarnya, sebagaimana seseorang sedang Kelemahan pendekatan semiotika ini
melihat fotocopy suatu kenyataan. Kenyataan mungkin ada yakni sifatnya yang sistematik
dalam karya sastra dipandang sebagai pelambang keilmuan, sehingga orang awam akan mengalami
sosial pada saatnya dipakai sebagai penghubung kesusahan untuk memahaminya, tetapi kajian
masyarakat tertentu, sebagai pelaku tersier yang semacam itu memungkinkan suatu pendekatan
sebenarnya telah terpisah jauh secara psikologis yang bersifat manusiawi, yang memperlihatkan
dari sastrawannya (Atmaja, 1986:12). perspektif kemanusiaan, sehingga segala-galanya
Menurut Freud (Darma, 1995:42) yang akan menjadi sesuatu yang penting bagi kehidupan
ditulis oleh seorang sastrawan pada dasarnya manusia (Junus, 1981:25).
sambungan kenangan di masa kecil. Imajinasi Pandangan ini menunjukkan bahwa
sastrawan kembali pada masa lalunya untuk memahami karya sastra dengan pendekatan
diungkapkan dalam bentuk penulisan kreatif, yang
semiotika masih memerlukan ilmu bantu lainnya
merupakan rangkaian masa lalu, kini, dan nanti.
atau dapat dikatakan bahwa pendekatan ini
Mangunwijaya (1999:124) mengatakan bahwa
termasuk pendekatan yang mutidisipliner.
proses kreatif pada dasarnya dimulai jauh pada
Semiotika sebagai ilmu tanda dalam sastra
usia sangat awal ketika masih kanak-kanak.
bukanlah sekadar tanda biasa, sebagaimana
Didikan orang tua, dunia sekeliling, suasana
pendidikan di sekolah, dan sebagainya merupakan memahami ikon dalam kehidupan, misalnya
dunia perangsang kreasi dan pembina karya yang sebuah gambar kuda merupakan ikon, artinya ada
tidak boleh diabaikan dampaknya bagi seorang kemiripan dengan kuda dalam kenyataan.
penulis. Munculnya semiotika sebagai ilmu
Secara sederhana karya sastra dapat ditandai oleh timbulnya kesadaran akan fungsi
dikatakan sebagai sarana untuk berkomunikasi. suatu tanda, yang berhubungan dengan kegiatan
Namun, bagaimanakah komunikasi itu terjadi pada komunikasi. Hegel mengakui bahwa “proses
karya sastra, sehingga apa yang ingin disampaikan komunikasi” terjadi dengan bantuan tanda dan
oleh sastrawan sampai kepada pembacanya. Sastra melihatnya bersama-sama dengan karya yang
penuh dengan tanda-tanda dan memiliki sistem, bersifat material sebagai suatu jenis pemuasan
yang secara lebih besar dikaitkan dengan kode. kebutuhan dalam bermasyarakat. Fungsi utama
Oleh karena itu, untuk menafsirkan dan dari tanda adalah tanda sebagai objek yang
memahaminya diperlukan pemahaman atas kode- diterapkan dalam masyarakat dan sebagai teori
kode yang ada dalam karya sastra tersebut. pengetahuan yang bersifat logis. Berbeda dengan
Sastrawan hidup dalam berbagai jenis rangkaian aliran Marxisme yang menerapkan tanda dalam
kode, ia hanya bisa menyampaikan pesannya kehidupan masyarakat dan bersifat praktis
dengan mempergunakan kode-kode itu sebagai (Trabaut, 1996:9–10).
alatnya. Jasa dua orang ahli semiotika tidak dapat
Kode-kode itu akan berhubungan dengan dilupakan yakni Ferdinand de Saussure dan
sosial-budaya yang dipahami oleh sastrawan, Charles Sanders Peirce dan perkembangan
sehingga seorang pembaca (kritikus) setidaknya semiotika selanjutnya dipengaruhi oleh dua ahli
“mengetahui” sosial-budaya mana yang ini. Saussure mengembangkan semiotikanya
digambarkan dalam karya itu, sehingga berdasarkan linguistik Eropa, sedangkan Pierce
memudahkannya untuk memahami kode-kode berdasarkan filsafat. Jika diperhatikan ada
dalam sebuah karya sastra. perbedaan pandangan dari keduanya. Saussure
cenderung mempersoalkan struktur dalam pada
2. SISTEM DAN KODE SEMIOTIKA tanda-tanda dengan menunjukkan proses
Semiotika mempertimbangkan kode dan sekaligus penandaan itu pada sistem diadik, yakni penanda
memperlihatkan adanya sistem. Sistem itu bisa dan petanda. Sebuah penanda dikaitkan dengan
saja terbentuk dari sistem yang ada pada penulis petandanya yang berupa konsep dan konsep itu
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 111
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
merupakan sesuatu yang ada dalam benak sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat
seseorang, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan ekspresi untuk sistem kedua, di sini sistem pertama
realitas. Misalnya kata “kucing” sebagai penanda, berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan
tidaklah dikaitkan dengan kucing sebagai seekor tingkat kedua dengan tingkat konotasi. Pada
binatang, tetapi dikaitkan dengan konsep yang ada artikulasi kedua (sebelah kanan), sistem primer
dalam batin atau ingatan manusia. (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem
Berbeda dengan apa yang dikonsepkan kedua, di sini sistem pertama berkorespondensi
oleh Peirce dalam proses penandaannya. Peirce dengan objek bahasa dan sistem kedua dengan
terkenal dengan triadiknya, yakni representamen, metabahasa (metalinguistik). Dalam hal inilah
objek, dan interpretant. Representamen berfungsi Barthes telah menghubungkan sistem tanda itu
sebagai penanda dan objek sebagai petanda, tetapi dengan konteks sosial-budaya, yang di dalamnya
relasi fungsional itu baru terjadi jika saling termuat mitologi dan ideologi.
dikaitkan oleh interpretant. Peirce mengakui Dalam bukunya Empire of Sings, terlihat
eksistensi realitas objektif yang berperan dalam Barthes telah menempatkan simiotika pada
pembentukan tanda (Masinambow, 2001:29). konteks yang lebih luas, karena tafsir atas makna
Kelemahan Saussure terlihat bahwa dia berlangsung dalam wilayah artikulasi yang tanda-
tidak mempertimbangkan adanya jela antara tandanya menempati apa yang bisa disebut dengan
penanda dan petanda yang berkaitan dengan ruang publik kebudayaan. Ini menyiratkan bahwa
perubahan yang ditandai – dalam jangka panjang – yang menjadi fokus tafsir adalah “produk-produk”
dan hubungannya dengan konteks sosial-budaya. budaya yang ditekstualisasikan serta berbagai
Sementara Peirce mengarahkan perhatiannya pada konteks dan praktik di mana makna-maknanya
fungsi tanda yang memiliki petunjuk komunikatif ditanamkan secara sosial, lantas disebarluaskan
dan menyelidiki peranan sosial-budaya dalam dan “dikonsumsi” (Trifonas, 2003:22–23).
interpretant. Sistem tanda itu akan lebih berperan jika
Namun, kelemahan Saussure itu telah dikaitkan dengan kode-kode yang terdapat dalam
diatasi oleh Roland Barthes yang mengembangkan masyarakat setempat di mana tanda itu dihasilkan,
semiotikanya berdasarkan semiotika Saussure. karena sistem apa pun yang dipilih untuk
Barthes mengembangkan pandangan Saussure itu diterapkan pada sebuah teks hanya dapat
pada tingkatan-tingkatan proses penandaan. mengaktifkan satu atau lebih “suara” teks, padahal
Tingkatan pertama bersifat denotatif dan tingkatan sebuah teks memilih “suara” yang tidak terbatas.
kedua konotatif atau berfungsi sebagai objek Apalagi pembaca mengambil titik pandang yang
bahasa dan metabahasa. Pada tingkat kedua inilah berbeda, sehingga makna teks dihasilkan dengan
dihubungkan dengan mitologi dan ideologi. sejumlah besar fragmen yang tidak mempunyai
Makalah ini akan menggiring pemahaman atas kesatuan yang melekat (Selden, 1991:79–80).
semiotika berdasarkan konsep Roland Barthes ini. Misalnya lolongan anjing atau srigala
Sistem tanda dalam proses penandaan pada malam hari. Pada masyarakat Meksiko
(semiosis) dilakukan Barthes dengan pemberian Tenggara lolongan itu dihubungkan dengan adanya
makna yang lebih pada tingkatan kedua. Sistem wanita tukang sihir yang datang pada malam itu.
tanda kedua dibangun dengan menjadikan penanda Pada masyarakat di Sumatera Utara percaya bahwa
dan petanda tingkat pertama petanda baru yang lolongan anjing itu berkaitan dengan adanya setan
kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam atau hantu yang dilihat oleh anjing tersebut,
suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih sehingga orang tua akan menyuruh anak-anaknya
tinggi. Sistem tanda pertama disebut untuk cepat tidur, agar tidak digangu oleh setan
denotatif/terminologi dan sistem tanda kedua atau hantu tersebut.
disebut konotatif/retoris/mitologi. Sistem tanda itu dikaitkan dengan kode
Perhatikan sistem tanda Roland Barthes budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat
berikut ini: dan jika ditelusuri sistem tanda yang dibuat oleh
Barthes maka dapat digambarkan sebagai berikut.
konotasi E C E C metabahasa
suara anjing untuk datangnya wanita
denotasi E C E C objek bahasa memanggil pasangan atau tukang sihir/adanya
kelompoknya. setan atau hantu
Sistem bahasa biasanya mengenal tanda lolongan suara
dalam ekspresi (E) dan content atau isi (C), tetapi anjing anjing yang
dalam integrasinya keduanya harus memiliki relasi melengking
(R), sehingga sistem itu dapat juga digambarkan yang
dengan ERC. Relasi ini dapat juga disebut sebagai tidak biasa.
artikulasi. Pada artikulasi pertama (sebelah kiri),
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 112
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
Sistem tanda itulah yang dikaitkan yakni adanya wanita tukang sihir (Meksiko
dengan kode masyarakat yang berbeda-beda dalam Tenggara) atau adanya setan (Sumatera Utara), hal
menanggapi lolongan anjing tersebut. Setiap ini menunjukkan bahwa kode itu dihubungkan
komunitas atau masyarakat memiliki kode-kode dengan perspektif masyarakat yakni kode simbolik
tersendiri untuk menanggapi sistem tanda yang yang berbeda-beda antara masyarakat Meksiko
dihadapi mereka. Barthes memberikan lima jenis Tenggara dan Sumatera Utara. Terakhir kode
kode sebagai acuan dari setiap tanda. Kode-kode budaya yakni adanya indikasi untuk melakukan
itu merupakan sistem tanda luar, yang disebutnya sesuatu untuk mengatasi hal itu, misalnya
ekstra-linguistik yang substansinya adalah objek melakukan upacara atau menyuruh anak-anak
atau imaji. Kelima kode itu adalah kode supaya cepat tidur atau menakut-nakuti anak-anak
hermeneutik, kode proairetik, kode semik, kode dan jangan lupa berdoa.
simbolik, dan kode budaya. Dengan demikian terlihat bahwa sistem
Kode hermeneutik berhubungan dengan dan kode simiotika itu tidak dapat dipisahkan,
teks-teks yang timbul ketika teks mulai dibaca. karena saling menunjang dan mendukung untuk
Siapakah tokoh ini? Bagaimanakah peristiwa itu memberikan makna pada suatu tanda. Meskipun
berlanjut? Jadi, didaftarkan beragam istilah, teka- sebuah tanda dapat juga dimaknai hanya pada
teki yang dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, sistem tingkat pertama, tetapi makna itu terkadang
dipertahankan, dan akhirnya disingkap. Apa belum intens. Oleh karena itu, sebuah tanda tetap
sebenarnya istilah atau teka-teki tersebut. Kode ini akan berkaitan dengan tanda-tanda lain dan
disebut juga “Suara Kebenaran” (The Voice of konteks yang mengikutinya.
Truth). Kode proairetik (Suara Empirik) yang
merupakan tindakan naratif dasar. Tindakan- 3. TEKS SASTRA
tindakan yang dapat terjadi dalam beragam sekuen Sekarang, bagaimana sistem tanda dan kode
yang mungkin diindikasikan. Kode semik (petanda semiotika itu dalam kajian sastra yang berkaitan
dari konotasi atau pembicaraan yang ketat) dengan proses komunikasi. Ketika seseorang
merupakan kode relasi-penghubung (medium- membaca sebuah karya sastra, baik prosa maupun
relatic code) yang merupakan sebuah konotator puisi, baik sastra lama maupun sastra modern
dari orang, tempat, objek, yang petandanya adalah (posmodernisme), pertama-tama ia akan
sebuah karakter (sifat, atribut, predikat). Kode berhadapan dengan sistem yang ada dalam karya
simbolik (tema) yang bersifat tidak stabil dan sastra tersebut, kemudian mengaitkannya dengan
dapat dimasuki melalui beragam sudut pendekatan. kode. Kode-kode itu biasanya akan dikaitkan
Kode ini berhubungan dengan polaritas dengan norma-norma, nilai-nilai sosial budaya,
(perlawanan) dan antitesis (pertentangan) yang apakah itu dari segi politik, agama, humanis, adat-
mengizinkan berbagai relasi dan “pembalikan”. istiadat, dan sebagainya.
Kode simbolik ini menandai sebuah pola yang Meskipun kode itu bersifat abstrak tetapi
mungkin diikuti orang. Kode budaya (suara ilmu) biasanya masih bisa dihubungkan dengan salah
sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga satu sendi kehidupan. Hal itu tentunya bergantung
pengetahuan (fisika, psikologi, sejarah, dll.) yang pada kemampuan pembaca (kritikus) untuk
dihasilkan oleh masyarakat. Kode ini akan menafsirkan dan memahaminya. Jika kode-kode
mengacu pada budaya yang ada dalam masyarakat yang ada dalam sebuah karya sastra dapat
dan diekspresikan dalam masyarakat tersebut dipahami oleh pembaca, maka komunikasi akan
(Kurniawan, 2001: 69–70; Selden, 1991:80–81). berjalan lancar, tetapi jika sebaliknya yang terjadi
Kelima kode merupakan hal yang mesti maka komunikasi akan mengalami “gangguan”.
dilakui secara berurutan, sehingga tergambar Hal ini terjadi kemungkinan kode yang ada dalam
bagaimana sistem tanda itu dikodekan dalam karya sastra itu tidak memiliki hubungan eksplisit
sebuah teks. Misalnya lolongan anjing tadi, dengan suatu makna atau realitas tertentu, atau
pertama dilihat bagaimana peristiwa itu terjadi, di pembaca belum menemukan kode-kode itu dalam
malam hari, yang tentunya tidak dapat dikaitkan realitas. Oleh karena itu, pembaca berusaha
dengan siang hari. Anjing sebagai tokoh yang membaca ulang karya itu dengan pemahaman yang
menyuarakan lolongan itu. Kode berikutnya berbeda.
proairetik menunjukkan adanya tindakan dari Menurut Atmaja (1986:26) jika sebuah
anjing yang lolongannya tidak biasa, yang berbeda kode dirasakan tidak berhubungan dengan suatu
dengan suara biasanya, meski sebenarnya itu kenyataan, namun ia akan selalu tampak oleh
hanya panggilan bagi pasangannya atau sistem tanda itu sendiri dan ini dapat diikuti secara
kelompoknya (denotatif). Kemudian kode semik alamiah, karena suatu tanda dan kode memang
yang menghubungkan lolongan anjing itu dengan harus dimengerti. Hal ini terjadi karena sejak
pandangan masyarakat setempat yang jangkauan masalah tidak dapat ditentukan
dihubungkan dengan petanda lain (konotatif), batasannya, sejak itu pula suatu tanda dan kode
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 113
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
mengandung kemungkinan yang cukup luas. Teks sastra menurut pendapat Bernstejn
Kemungkinan itu mengakibatkan suatu seni (1927) hanya bisa berfungsi sebagai tanda karena
(sastra) menunjukkan hubungan yang kabur strukturnya dapat dianalisis dengan foktor-faktor
dengan kenyataan, namun hal itu seharusnya yang bisa dikenali. Sejalan dengan hal itu,
dilihat sebagai hubungan yang menyeluruh untuk Bremond mengatakan bahwa makna sebuah teks
kebutuhan kenyataan sosial, seperti unsur psikis, seni (sastra) dapat diterangkan hanya dengan
politik, religius, bahkan ekonomi. referensi kepada model-model di luar teks itu
Oleh karena itu, Atmaja (1986:15) (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:27 & 37).
mengatakan bahwa sebuah teks sastra tidak semata
dianggap sebagai sekumpulan wacana naratif. 4. PROSES KOMUNIKASI TEKS
Namun, harus diperhitungkan sebagai “tenunan
makna sosial-budaya” dan untuk memahaminya
SASTRA
Teks sastra dibangun dengan konfigurasi-
perlu melakukan dialog dan interaksi ke dalam
konfigurasi pesan, gagasan, atau tema yang
teks itu.
diungkapkan lewat tanda oleh pengarang yang
Berdialog dan berinteraksi ke dalam teks
akan disampaikan kepada pembacanya. Tanda itu
sastra berarti seorang pembaca berhadapan dengan
sendiri memiliki sistem tersendiri pada setiap
sistem sastra yang penuh dengan tanda. Dengan karya sastra, di samping itu juga dirasakan adanya
demikian pembaca berhadapan dengan struktur kode yang turut mendorong terciptanya karya
karya itu yang tentunya saling berkaitan untuk sastra tersebut. Oleh karena itu, sebuah karya
membangun keseluruhan teks sastra tersebut. sastra memiliki kekhasan tersendiri, hal inilah
Pandangan inilah yang dikenal dengan yang disebut memiliki tanda yang otonom. Namun
strukturalisme. Dengan demikian, memahami sebuah karya sastra juga berperan dan berfungsi
struktur sangat penting artinya untuk hubungan sebagai tanda komunikasi.
komunikasi, sehingga dapat dipahami dengan lebih Suatu kualitas teks sastra yang penting
baik tentang realitas atau fiksionalitas yang adalah kemampuannya menyampaikan informasi
terdapat dalam karya tersebut. yang berbeda kepada pembaca yang berbeda pula.
Studi sastra yang berorientasi pada teori Pertanyaan pertama yang harus dihadapi pembaca
informasi dan semiotika menganggap teks sastra dalam suatu situasi pembacaan yang sebenarnya,
terdiri dari seperangkat tanda yang merupakan bukan dengan cara manakah teks tersebut harus
bagian dari proses komunikasi antara teks dan “dibongkar”, tetapi dalam bahasa atau dalam kode
pembaca, apabila teks dibaca oleh pembaca. Teks yang manakah suatu teks “disusun”. Banyak faktor
sastra dilihat sebagai suatu pesan yang dicerna yang menyulitkan pembacaan itu, di antaranya
oleh pembaca dan dikirim oleh pengirim. adalah faktor yang berasal dari keberadaan norma-
Meskipun demikian Lotman memandang teks norma dan sistem sastra yang beragam yang
sastra sebagai suatu cara komunikasi yang spesifik, digunakan oleh sastrawan pada satu sisi dan
sebagai suatu “bahasa” yang disusun dengan cara pembaca pada sisi yang lain. Dengan kalimat lain,
yang aneh. Lotman memberi istilah bahasa (kode) norma sistem sastra yang berbeda antara yang
sebagai suatu arti yang sangat luas, yang umumnya digunakan sastrawan dengan yang digunakan
dalam semiotika disebut sebagai suatu sistem yang pembaca (Segers, 2000:18–19). Hal inilah yang
diatur, yang berperan sebagai sarana komunikasi, akan menghambat terjadinya proses komunikasi,
dan yang memakai tanda-tanda. sehingga teks sastra itu ditafsirkan dan dipahami
Jadi, sastra memiliki bahasa sendiri yang dengan tidak wajar.
berbeda dengan bahasa natural, dengan demikian Ketika pembaca membaca sebuah karya
sastra juga memiliki suatu sistem tanda yang sastra tentu yang diharapkan adalah terjadinya
berbeda ketika mengirim pesan-pesan kepada komunikasi antara pengarang (melalui teks sastra)
pembacanya. Oleh karena itulah Lotman dengan pembacanya. Komunikasi yang terjadi
mengatakan bahwa bahasa sastra adalah sistem memang meniadakan pengarang sebagai
sekunder yang disebut secondary modelling komunikator, tetapi komunikator itu telah terwakili
system. Sistem model kedua merupakan struktur lewat karya tersebut. Itulah sebabnya karya sastra
yang didasarkan pada bahasa natural. Di atas itu dapat juga disebut sebagai indeksikal dari
bahasa natural telah dibagun sruktur pelengkap pengarangnya. Karya itu tidak tercipta begitu saja
yang ideologikal, etis, dan artistik (Segers, tanda adanya pengarang. Roland Barthes pernah
2000:13–15). Sementara Tynjanov menguraikan mengatakan bahwa pengarang telah mati, tetapi
bahwa sastra sebagai “konstruksi” bahasa yang pada kesempatan lain ia juga mengatakan secara
dinamis, artinya teks sastra tidak merupakan diam-diam pengarang itu turut dalam karya
kenyataan statis yang terisolir, tetapi merupakan sastranya. Dengan demikian pengarang tidak dapat
bagian dari tradisi dan proses komunikasi dihindari sebagai pengirim tanda dalam proses
(Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:29). komunikasi sastra.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 114
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
Dieter Janik mengatakan bahwa ada tiga sungai dan memintal tali yang terbuat dari ijuk.
lapisan komunikasi yang dapat dikenali dalam teks Inilah kode proairetik.
sastra. Lapisan pertama berkenaan dengan Selanjutnya, pembaca akan dihadapkan
hubungan komunikasi antara pengarang, teks, ddan pada kegigihan Ronggur untuk menaklukkan
pembaca. Lapisan kedua terdiri atas komunikasi sungai Titian Dewata yang arusnya tidak tentu dan
antara narator dan pembaca implisit (implied lebatnya hutan belantara. Ronggur hanya ditemani
reader, merujuk pada pesan pembaca dalam teks), Tio dan si belang (anjing kesayangannya). Dengan
lapisan ketiga terdiri atas hubungan komunikasi perjuangan yang gigih dan keras Ronggur dan Tio
timbal balik antarpelaku dalam teks. Di samping serta si belang berhasil mendapatkan tanah landai
itu Janik juga mengatakan bahwa konsep teks sebagai tanah habungkasan di muara sungai Titian
sastra sebagai komunikasi yang dikomunikasikan Dewata. Namun, apa yang terjadi ketika Ronggur
(Segers, 2000:15). pulang ke kampungnya untuk memberitahukan
Jika proses komunikasi yang dikatakan tentang tanah habungkasan itu? Ronggur bersama
Janik tersebut dihubungkan dengan sistem dan Tio –yang sudah jadi istrinya– justru dihukum mati
kode semiotika Roland Barthes akan terlihat karena telah melanggar aturan adat kampungnya
bagaimana proses komunikasi itu berjalan dengan itu. Sebelum hukuman dilaksanakan mereka
baik. Misalnya proses pembacaan pada novel diselamatkan oleh orang-orang yang ingin tahu dan
karya Bokor Hutasuhut katakanlah Penakluk menginginkan tanah habungkasan itu. Inilah kode
Ujung Dunia. Pembaca berhadapan dengan sistem semik.
sastra yang ada pada novel tersebut, karena sastra Berikutnya adalah kode simbolik dan
dibangun atas konfigurasi tanda, maka sistem budaya yang berkaitan dengan persoalan
tanda dalam novel itu secara tidak disadari turut ekstrinsik, persoalan pemaknaan untuk
berperan dalam pembacaan itu dan secara otomatis mendapatkan pesan-pesan dari pengarang kepada
diiringi dengan kode-kode. pembacanya. Kedua kode itu menyangkut
Penakluk Ujung Dunia diawali dengan wawasan si pembaca agar lebih dapat menafsirkan,
cerita perang antar Marga dan hal ini salalu terjadi memahami, dan menghayati, serta menilai karya
karena persoalan pembagian air dan perbatasan sastra yang sedang dibacanya. Jika dikaitkan
sawah. Ronggur salah seorang tokoh dalam novel dengan Penakluk Ujung Dunia ini, pembaca
itu meskipun masih muda telah memikirkan hal itu digiring untuk melakukan penafsiran, pemahaman,
dan bagaimana cara untuk mengatasinya. Ronggur dan penghayatan tadi dengan wawasan masyarakat
berpendapat bahwa mereka harus mencari tanah kawasan Danau Toba jaman dahulu, lengkap
garapan baru (tanah habungkasan), yang dengan adat istiadatnya. Budaya etnik yang kental
menurutnya ada di muara sungai Titian Dewata. dengan persoalan perebutan lahan dan pengairan
Pada satu kesempatan Ronggur menyampaikan hal sawah ditambah dengan persoalan harkat dan
itu di hadapan sidang kerajaan warganya, tetapi martabat suatu Marga yang tidak boleh diusik oleh
sidang kerajaan itu tidak menerima usul Ronggur. Marga lain. Di samping itu, ada persoalan
Namun, Ronggur tetap bertekad untuk keyakinan yang sudah turun-temurun mengenai
mencari tanah habungkasan dan akan mengarungi sungai Titian Dewata. Keyakinan inilah yang ingin
sungai Titian Dewata tersebut. Saat inilah pembaca diubah oleh Ronggur, demi untuk mencari tanah
akan bertanya-tanya bagaimana dan dengan siapa garapan baru. Benarkan persoalan ini terjadi pada
Ronggur menjalankan misinya itu. Sementara masyarakat di kawasan Danau Toba pada jaman
masyarakat berkeyakinan bahwa sungai Titian dahulu. Maka berpulang pada pembaca untuk
Dewata itu berakhir di ujung dunia, sengaja mengaitkan hal itu dengan persoalan pertumbuhan
diciptakan Dewata untuk titian para Dewata penduduk dan menyempitnya lahan persawahan.
menuju matahari, tempat bersemayamnya Mula Pada satu sisi masyarakat tanpa sadar
Jadi Na Bolon dan juga diyakini sebagai jalan telah melestarikan alam dengan melarang
arwah manusia ke dunia lain. Jadi, jelaslah bahwa masyarakat untuk memasuki kawasan hutan di
Ronggur telah menentang keyakinan masyarakat hilir sungai Titian Dewata, karena di sanalah para
itu. Hal ini merupakan salah satu kode dewa dan arwah nenek moyang bersemayam.
hermeneutik. Akan tetapi pada sisi lain Ronggur menginginkan
Pembaca akan meneruskan perluasan tanah garapan, karena di kawanan
pembacaannya untuk mengetahui tindakan- perkampungan mereka yang penduduknya semakin
tindakan Ronggur untuk mewujudkan bertambah yang mengakibatkan lebih banyak
keinginannya mencari tanah habungkasan itu, “mulut” yang harus diisi. Oleh karena itulah,
yang diyakininya ada di muara sungai Titian Ronggur berusaha untuk mencari dan
Dewata. Ronggur bersama Tio (tawanannya) mendapatkan tanah garapan baru itu dan dia
mempersiapkan perjalanannya itu dengan berhasil. Keyakinan masyarakat selama ini telah
membuat perahu sebagai alat untuk mengarungi diruntuhkan Ronggur.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 115
Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra:
❏ Ikhwanuddin Nasution
Suatu Proses Komunikasi
Usaha Ronggur itu kalau dikaitkan Damono, Sapardi Djoko. 1989. “Umar Kayam
dengan pandangan Geertz (1976) dalam bukunya sebagai Sampel Sistem Pengarang
Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia”. dalam Aprinus Salam (ed).
Indonesia jelas didapatkan pandangan-pandangan Umar Kayam dan Jaring Semiotik.
yang sama yang terjadi di Indonesia, tentang lahan Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
pertanian yang semakin menyempit dan
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik, Ideologi,
pertumbuhan penduduk yang semakin banyak pada
dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka
tahun 1970-an. Usaha Ronggur semakin dihormati Firdaus.
sebagai seorang yang berpikiran maju saat itu,
meskipun harus melanggar adat-istiadat yang Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta:
berupa keyakinan. Pustaka Pelajar.
Pengarang (Bokor Hutasuhut) telah
memberikan pandangan baru tentang pemahaman Fokkema, D.W. dan Kunne-Ibsch, Elrud. 1998.
masyarakat jaman dahulu, di sekitar kawasan Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta:
Danau Toba, tentang mitologi yang ada di muara Gramedia Pustaka Utama.
sungai Titian Dewata. Padangan masyarakat itu
menyatakan bahwa sungai itu bermuara di ujung Geertz, Clifford. 1978. Involusi Pertanian: Proses
dunia, sehingga mereka beranggapan bahwa arwah Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta:
Bhratara K.A.
orang yang sudah mati (nenek moyang) akan
melalui sungai itu untuk menuju matahari, tempat Hutasuhut, Bokor. 1988. Penakluk Ujung Dunia.
Mula Jadi Na Bolon bersemayam. Namun, melalui Jakarta: Pustaka Karya Grafika Utama.
tokoh Ronggur, Bokor membuktikan bahwa sungai
itu berujung di sebuah danau yang lebih luas dari Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi.
Danau Toba, yakni danau yang airnya asin, laut. Jakarta: Sinar Harapan
Di sana ada tanah yang landai, yang subur untuk
dijadikan tanah habungkasan. Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes.
Mangelang: Indonesiatera.
5. SIMPULAN
Mangunwijaya, Y,B. 1999. “Sastrawan Hati
Sistem dan kode semiotika dalam sastra menjadi
Nurani”. Dalam Sindhunata (ed). Menjadi
alat proses komunikasi antara pengarang, teks, dan Generasi Pasca-Indonesia. Yogyakarta:
pembaca. Salah satu sistem dan kode semiotika itu Kanisius.
adalah yang dirancang oleh Roland Barthes yang
lebih melihat unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik Masinambow, E.K.M. 2001. “Teori Kebudayaan
teks sastra itu. Unsur intrinsik dan ekstrinsik itu dan Ilmu Pengetahuan Budaya”. Dalam Ida
tidak dapat dipisahkan sama sekali untuk lebih Sundari Husein dan Rahayu Hidayat.
dapat menafsirkan, memahami, dan menghayati, Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan
serta menilai sebuah karya sastra melalui Budaya. Yogyakarta: Bintang Budaya.
pendekatan semiotika.
Pembaca memulai pembacaannya dengan Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian
memahami sistem tanda dalam sebuah teks sastra Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
dan sekaligus diiringi dengan kode-kode yang
terdapat di dalamnya. Yang diinginkan adalah Segers, Rein T. 2000. Evaluasi Teks
kesamaan persepsi antara pengarang dengan Sastra.Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
pembaca tentang kode-kode tersebut, yang
tentunya didapatkan bila pembaca memiliki Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca: Teori
wawasan yang luas tentang apa yang Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
direpresentasikan pengarang dalam karyanya. Hal Mada University Press.
inilah yang menjadikan proses komunikasi
semakin lancar. Trabaut, Jurgen. 1996. Dasar-Dasar Semiotik.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Trifonas, Peter Pericles. 2003. Barthes dan
Atmaja, Jiwa. 1986. Notasi tentang Novel dan Imperium Tanda. Yogyakarta: Jendela.
Semiotika Sastra. Ende: Nusa Indah.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 116
❏ Pertampilan S. Brahmana Sastra sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
Pertampilan S. Brahmana
Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
The writing to try understands literature as one the other science. The requirements of
science are have ontology, epistemology and axiology. Writer to try explain ontology,
epistemology and axiology from letter as a science.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 117
❏ Pertampilan S. Brahmana Sastra sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
c. Ilmu itu obyektif artinya berdasarkan keindahan dalam isi dan ungkapannya. î
fakta dan atau faktual, bukan berasal dari kesastraan, perihal sastra (maknanya lebih luas
intuisi pribadi, atau hal-hal yang gaib. daripada kesusastraan). î Sastrawan, (1) ahli
sastra, (2) pujangga, pengarang prosa dan puisi, (3)
Menurut Ralph Rose dan Ernest Van den (orang) pandai-pandai, cerdik cendekia.
Haag, bahwa sifat ilmiah adalah, Dalam Kamus Sastra yang ditulis oleh
a. Rasional. Sudjiman (1986), dijelaskan sastra, karya lisan
b. Bersifat empiris atau tertulis yang memiliki berbagai ciri
c. Bersifat umum, dan keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan,
d. Ilmu bersifat akumulatif. keindahan dalam isi, dan ungkapan.
Eagleton (1988:1-2) mengatakan
1.4 Simpulan kesusastraan adalah karya tulisan yang bersifat
Hakikat ilmu adalah esensi, inti dari pengetahuan. "imajinatif. Kesusastraan adalah sejenis karya
Esensi atau hakikat ilmu bahwa ilmu mempunyai tulisan yang mewakili suatu keganasan1 yang
ontologi (hakikat atau esensi), mempunyai teratur terhadap pertuturan biasa. Kesusastraan
epistemologi (metode atau cara mendapatkan mengubah dan memadatkan bahasa harian.
pengetahuan yang benar), sehingga jelas batas- Luxemburg, dkk. (1984:5,9) mengatakan
batasnya antara ilmu pengetahuan yang satu kesusastraan merupakan sebuah ciptaan, sebuah
dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dan kreasi. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita
mempunyai aksiologi (deontologi) yaitu kegunaan jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan
atau kemanfaatan ilmu pengetahuan. alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil
Sifat ilmu adalah kumulatif, tidak bersifat tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
mutlak, obyektif, rasional, bersifat empiris, bersifat Menurut Ahmad (1952:6) kesusastraan
umum. ialah himpunan segala sastera atau karangan yang
indah, karangan yang baik. Kesusastraan atau seni
2. PENGERTIAN SASTRA sastra ialah segala pensahiran pikiran atau perasaan
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari manusia dengan memakai alat bahasa, baik dengan
bahasa sansekerta; akar kata sas biasanya lisan maupun tulisan yang memenuhi syarat-syarat
menunjukkan alat, sarana. Maka itu sastra dapat kesenian. Sedangkan menurut Nasution, dkk
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku (1973: 11) kesusastraan ialah segala karangan yang
instruksi atau pengajaran. Awalan su berarti baik, baik bentuk dan isinya, yang dimaksud bentuk dan
indah, sehingga susastra dapat dibandingkan isi ialah pemakaian bahasa dan teknik pengolahan
dengan belles-lettres (Teeuw. 1988:23). sesuatu karangan, sedangkan isi, berarti pikiran
Apakah kesusastraan itu? Dalam Kamus atau ide yang dikemukakan. Kemudian
Sinonim Bahasa Indonesia yang disusun oleh berdasarkan Simposium Bahasa dan Kesusastraan
Kridalaksana (1977:154), sastra bersinonim Indonesia pada tanggal 25-28 Oktober 1966
dengan bahasa indah, pustaka, buku, persuratan. (1967:184), diungkapkan kesusastraan adalah
Kesusastraan bersinonim dengan literatur, sebuah peristiwa seni yang memakai bahasa
kepustakaan, seni kata. Sastrawan bersinonim sebagai mediumnya.
pujangga, pengarang, penyair. Di samping itu, sastra sebagai ilmu
menurut Teeuw (1988:120) menunjukkan
Dalam KUBI (1996:882) dijelaskan sastra keistimewaan, barangkali juga keanehan yang
adalah: mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang
1 Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang ilmu pengetahuan lain yaitu obyek utama
dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa penelitiannya tidak tentu malahan tidak karuan.
sehari-hari). Sampai sekarang belum ada seorang pun yang
2 Karya tulis, yang jika dibandingkan berhasil memberi jawaban atas pertanyaan ilmu
dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri sastra; Apakah sastra?.
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, Melihat keluasan seperti yang
keindahan dalam isi dan ungkapannya. dikemukakan oleh Teeuw tersebut, maka
3 Kitab suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan. kemudian menurut Hutagalung "meskipun telah
4 Pustaka; kitab primbon (berisi ramalan, lama diterima sebagai ilmu dan diajarkan di
hitungan, dan sebagainya) perguruan tinggi, ilmu susastra (sastra, pen) masih
5 Tulisan, huruf. diragukan kemurniannya sebagai ilmu, bahkan
oleh ahlinya sendiri seperti Hudson dan Warren
yang sudah menyusun buku pengantar untuk
Sedangkan kesusastraan, karya tulis yang
jika dibandingkan dengan yang lain, memiliki
berbagai ketentuan seperti keaslian, keartisikan, 1
Istilah keganasan ini adalah istilah Malaysia. Pengutipan di
atas dikutip dari terjemahan dalam bahasa Malaysia.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 118
❏ Pertampilan S. Brahmana Sastra sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
pemahaman susastra. Salah satu penyebab utama terhadap pemahaman sebuah karya sastra, bukan
timbulnya masalah kemurnian ilmu susastra adalah saling berbeda, sebab kalau pembicaraan terhadap
karena obyeknya yakni karya sastra yang "licin sebuah karya sastra lebih ditekankan ke segi
dan cair"2. ekstrinsiknya, pembicaraan karya sastra menjadi
Dengan bertolak dari pandangan di atas, lain, boleh jadi bukan lagi pembicaraan tentang
permasalahan sebenarnya dapat disederhanakan kesusastraan. Menekankan ke bidang sosiologi
menjadi dua bagian: Pertama sastra dalam misalnya, akan menjadi semacam uraian tentang
pengertian: sastra sebagai karya imajinatif. Kedua sosiologi. Menekankan kepada bidang sejarah
sastra dalam pengertian seni bahasa (sebagai karya misalnya, akan menjadi semacam pembicaraan
kreatif). Sastra sebagai karya imajinatif adalah tentang sejarah.
rekaan, hasil konstruksi seorang pengarang Jadi, walaupun pengertian sastra dan ilmu
sementara sastra sebagai seni bahasa adalah sastra samar-samar, setidak-tidaknya karya sastra
kreativitas. mengandung tujuh unsur, yakni unsur (1)
Jadi, sastra adalah kegiatan kreatif dan kebahasaan, (2) struktur wacana, (3) signifikan
imajinatif. Sebagai kegiatan kreatif karya sastra sastra, (4) keindahan, (5) sosial budaya, (6) nilai,
baik nilai filsafat, agama, maupun psikologi, serta
adalah sebuah seni bahasa. Bersifat imajinatif,
(7) latar kesejarahannya (Aminuddin, 1987: 51).
berarti kalaupun realitas yang disajikan sebuah
karya sastra adalah sebuah realitas yang sungguh-
sungguh ada, seolah-olah dapat dijadikan studi 3. SASTRA SEBAGAI ILMU
sejarah misalnya, tetapi realitas seperti ini adalah 3.1 Syarat Ilmu
realitas yang sudah dimodifikasi, direkonstruksi Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sesuatu
itu dapat digolongkan menjadi ilmu harus
sipengarang berdasarkan kehendak hatinya (anutan
memiliki ontologi, epistemologi, aksiologi
rohaninya)3.
(deontologi). Pertanyaan kemudian, bagaimana
Dalam hal ini maka pendekatan karya
ontologi sastra sebagai ilmu? Bagaimana
sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang
epistemologi sastra sebagai ilmu dan bagaimana
dikenal dengan pendekatan instrinsik dan
aksiologi atau deontologi sastra sebagai ilmu?
ekstrinsik4. Kedua pendekatan ini hanya terpisah
dalam istilah saja. Pada kenyataannya antara
3.1.1 Ontologi Sastra
pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling
Apa yang menjadi ontologi atau hakikat atau inti
mengisi, saling mendukung dalam memberi arti
sastra atau kesusastraan? Apakah Sastra atau
kesusastraan itu seni atau bukan. Apakah Sastra
2
Kompas Senin, 14 Juli 1986, juga Suara Karya, 14 Juli 1984. atau kesusastraan itu media komunikasi atau
3
Di sinilah ketidakakuratan karya sastra dalam bukan? Dengan terjawab hakikat sastra ini, maka
mengungkapkan realitas sosial. Dalam karya-karya sastra
lama misalnya, lokasi kejadian kerap tidak jelas disebutkan semakin jelas terjawab masalah epistemologi
saja di sebuah daerah antah berantah. Menelaah realitas sastra atau kesusastraan. Nyatanya hingga kini, apa
sosial seperti ini sejarah misalnya jelas sangat sulit, sebab ontologi sastra belum terjawab.
data seperti ini tidak dapat menjawab satu atau dua W dari 4 Menurut pandangan penulis setidaknya
W yaitu W (Where) di mana yaitu mengenai lokasi kejadian
atau (When) kapan yaitu tahun berapa kejadian itu ada.
ada lima ontologi atau hakikat atau esensi sastra
Tetapi dalam karya-karya sastra moderen, walaupun realitas sebagai ilmu pertama sastra sebagai bahasa, sastra
di dalam sebuah karya sastra moderen dapat menjawab 4 W sebagai seni, sastra sebagai komunikasi, sastra
di atas, tetapi karya sastra moderen juga tidak dapat sebagai simbol artinya dibalik teks ada makna lain,
dijadikan bahan studi sejarah, hal ini dikarenakan sifat karya dan sastra sebagai hiburan.
sastra itu yaitu imajinatif. Realitas yang sesungguhnya
kerapkali sudah dimanipulasi, direkonstruksi si pengarang
untuk tujuan-tujuannya. Salah satu contoh ini adalah karya
Williem Shakespeare yang berjudul King Lear. Dalam Ontologi Sastra
sejarah tokoh King Lear menang dalam peperangan, tetapi Sastra Sebagai Bahasa
dalam karya Williem Shakespeare, tokoh King Lear
menderita kekalahan (Wiratmo Soekito. Kesusastraan dan Sastra Sebagai Seni/Estetika
Kekuasaan, majalah Prima, Maret 1979, hal 47-50). Ini Sastra Sebagai Komunikasi
berarti telah terjadi pemutarbalikan fakta. Mengapa Williem Sastra Sebagai Simbol
Shakespeare merekonstruksi fakta ini (baca diputarbalikkan), Sastra Sebagai Hiburan
tentu ada maksud-maksud tersendiri.
4
Pendekatan instrinsik adalah pendekatan yang berdasarkan
unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra itu dari Di sinilah keunikan sastra sebagai ilmu,
dalam, misalnya sebuah puisi, maka yang dibicarakan antara sastra sebagai ilmu mempunyai lebih dari satu
lain, masalah rasa (feeling), nada (tone), amanat/tujuan ontologi, hakikat, atau esensinya. Ontologi,
(intention), diksi (diction), imaji (imagery) dan sebagainya.
Dalam prosa antara lain plot, penokohan, latar dan
hakekat, esensi yang berbeda, menghasilkan, atau
sebagainya. Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang memerlukan metode pengkajian yang berbeda
berdasarkan hal-hal yang mempengaruhi penciptaan karya pula. Hal inilah yang menyebabkan dalam tataran
sastra itu dari unsur luar seperti sejarah, perubahan sosial, epistemologi, banyak metode pendekatan,
ideologi (anutan rohani si penulis/pengarang) dan pengkajian terhadap sastra.
sebagainya.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 119
❏ Pertampilan S. Brahmana Sastra sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 120
❏ Pertampilan S. Brahmana Sastra sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 121
❏ Pertampilan S. Brahmana Sastra sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Rene Wellek dan Austin Warren, 1989. Teori
Sastra. Bandung: Penerbit C.V. Sinar Baru. Kesusastraan. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia.
Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusastraan Suatu
Pengenalan, terjemahan Muhammad Hj. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra.
Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Jakarta: Penerbit Gramedia, Jakarta.
Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Sumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah
Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Fisafat, Buku I, II Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
dan III. Jakarta: Bulan Bintang.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung:
Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. ITB Bandung.
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:
Hardiyanto, Soegeng. Metodologi Keilmuan: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Pengenalan Awal Sebuah Pemahaman Jaya - Girimukti Pasaka.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 122
Politik Anti Belanda dalam Cerpen
“Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’
❏ Yundi Fitrah
(Di Bawah Bayangan Jembatan)”
Karya A.S. Hadisiswojo
Yundi Fitrah
PBS FKIP Universitas Jambi
Abstract
Indonesian literature in 1942-1945 was definited by Japan’s gavermant. Many of literature
products such as short story centain the Japan’s wishes. Because of Netherlands still held
the power at that time, Japan tried to fight against Netherland by creating short story which
contain the opposed toward colonial dommination. Short story which centain the opposed
toward colonial domination short story titled “Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti A.V.C.
(Di Bawah Bayangan Jembatan)” written by A.S. Hadisiswoyo told abaut the struggle
toward colonial dommination. We can see fron the character’stic of short story.
Key words: Anti dutch colonialsm, short story, and people’s a atitude
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 123
Politik Anti Belanda dalam Cerpen
“Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’
❏ Yundi Fitrah
(Di Bawah Bayangan Jembatan)”
Karya A.S. Hadisiswojo
(Di Bawah Bayangan Jembatan)” karya A.S. Belanda yang merupakan musuh” (Kebudayaan
Hadisiswoyo. (Jawa Baru, no. 13. 1943). Sumber Timur, no. 7, 144:2-3).
data adalah hal-hal yang membuktikan berupa Berdasarkan itu maka tujuan tema “anti
susunan kata dan kalimat yang terdapat dalam penjajah Belanda” sengaja diciptakan agar timbul
cerpen, yang secara kualitatif menggambarkan anti rasa benci pada rakyat Indonesia terhadap penjajah
penjajah Belanda. Belanda dan mendukung pemerintah Jepang di
Teori dan pendekatan yang digunakan Indonesia. Jika dicermati kedua bangsa penjajah,
adalah struktural-intrinsik, memandang bahwa sebenarnya sama-sama tidak perlu didukung, sebab
karya sastra dalam hal ini cerpen sebagai suatu penjajahan suatu negara ke nagara lain adalah
bangun struktur bahasa dan dapat didekati dari bertentangan dengan undang-undang Lembaga
“unsur-unsur dalam” karya itu, seperti tema, Persatuan Negara-Negara se-Dunia. Untuk lebih
amanat, tokoh, latar, dan lain-lain (Hudson, 1963: jelasnya tema “anti penjajah Belanda” dalam
59, dan Rene Wellek dalam Budianta, 1993 : 45). cerpen tersebut di bawah ini akan dianalisis secara
Pendekatan inilah yang dijadikan sebagai alat rinci.
menganalisis data untuk membuktikan konsep anti
penjajah Belanda yang terdapat pada susunan kata, 2.2. Tema “Anti Penjajah Belanda” dalam
kalimat-kalimat, dan paragraf yang digambarkan Cerpen “Hamid, Pahlawan Perkumpulan
cerpen. Anti ‘A.V.C’. (Di Bawah Bayangan
Untuk menjelaskan konsep “anti penjajah Jembatan)”
Belanda”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cerpen “Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti
(Anonim, 1988 : 68) dan Kamus Melayu (Abidin, ‘A.V.C’. (Di Bawah Bayangan Jembatan)”
2002:76). menjelaskan, kata “anti” artinya (selanjutnya baca DBBJ) adalah cerpen yang
melawan, menyangkal, membangkang, memenangkan hadiah kedua dalam sayembara
membantah, menentang, dan memusuhi segala penulisan cerpen pada masa pemerintahan Jepang
sesuatu. “Anti penjajah Belanda” artinya melawan, di bawah sensor Keimin Bunka Sidhosho.
menyangkal, membangkang, membantah, Membaca awal cerita cerpen DBBJ, telah
menentang, dan memusuhi segala sesuatu. yang terbayang kepada pembaca bahwa peristiwa demi
dilakukan oleh penjajah Belanda. Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada masa itu; ketika Jepang
rujukan tersebut, maka anti penjajah Belanda yang melawan Sekutu (Belanda, Inggris, dan Amerika)
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah anti terhadap di Asia Pasifik dan ketika melawan penjajah
penjajah Belanda tentang apa saja yang dilakukan Belanda di Indonesia. Peristiwa yang ditonjolkan
atau diberlakukannya terhadap rakyat Indonesia. adalah keperkasaan tentara Jepang dalam
Adapun langkah-langkah yang dilakukan berperang melawan militer Sekutu dan kekonyolan
agar sampai pada pengungkapan masalah dalam tentara Sekutu dalam menghadapi tentara-tentara
tulisan ini adalah; 1) membaca cerpen-cerpen yang Jepang. Para tentara Jepang sengaja digambarkan
diterbitkan pada masa pemerintahan Jepang, 2) sebagai tentara yang berani, manakala tentara
menentukan konsep “anti penjajah Belanda”, 3) Sekutu sengaja pula digambarkan sebagai tentara
menerapkan konsep “anti penjajah Belanda”, dan yang penakut. Perhatikan kutipan berikut.
4) membuktikan konsep “anti penjajah Belanda” “Udara seluruh Asia bergetar penuh oleh
dalam cerpen “Hamid, Pahlawan Perkumpulan hawa peperangan, yang akan segera
Anti AVC (“Di Bawah Bayangan Jembatan”)” menyudahi nasib bangsa-bangsa di Asia.
karya A.S. Hadisiswoyo. Dengan kecepatan dan ketangkasan yang tak
ada bandingannya, bala tentera Jepang
2. PEMBAHASAN DAN TEMUAN menyerbu membanjiri segala penjuru daerah-
2.1 Pengantar daerah Selatan. Tiap-tiap saat mau tidak mau
Tema “anti penjajah Belanda” adalah tema yang pemerintah Hindia Belanda terpaksa
sesuai dengan keinginan politik pemerintah Jepang mengakui kekalahan-kekalahan kaum Sekutu,
pada masa-masa awal kedatangan tentera- terpaksa mengakui kemenangan-kemenangan
tenteranya ke Indonesia. Tema ini sesuai juga yang gilang-gemilang dari angkatan darat,
dengan cita-cita Keimin Bunka Shidhoso (Lembaga angkatan armada dan angkatan garuda-
Pusat Kebudayaan) yang dinyatakan seperti garuda Jepang” (hal.27)
berikut, “Menghapuskan kebudayaan Barat.
Kesenian untuk kesenian. Kesenian yang tidak Kutipan tersebut menggambarkan bahwa
cocok dengan ketimuran, seperti kesenian dari tentara Jepang selalu dipihak yang menang dan
mampu mengalahkan tentara Sekutu; Belanda di
Indonesia. Setelah Belanda mengalami kekalahan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 124
Politik Anti Belanda dalam Cerpen
“Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’
❏ Yundi Fitrah
(Di Bawah Bayangan Jembatan)”
Karya A.S. Hadisiswojo
di Indonesia mereka membentuk suatu kekuatan Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tema
baru yang dinamai A.V.C., yaitu kelompok tentara cerpen DBBJ adalah sikap anti terhadap penjajah
jahat, kejam, dan sadis bukan saja untuk melawan Belanda. Penafsiran tema ini didasari pula oleh
tentara Jepang, tetapi juga menghabisi para laskar sikap kecintaan terhadap tanah air, sehingga
Indonesia. Penjajah Belanda sengaja membentuk membenci segala pengaruh yang masuk dari
kekuatan seperti ini dengan tujuan untuk menahan bangsa asing, dalam hal ini termasuk pengaruh
segala serangan yang datang dari para tentara politik penjajah Belanda.
Jepang. Sikap anti terhadap penjajah Belanda
adalah tema utama dari cita-cita politik pemerintah
Mencermati judul cerpen “Hamid,
Jepang. Adapun tujuan cita-cita politik Jepang
Pahlawan Perkumpulan Anti A.V.C. (Di Bawah
ditonjolkan adalah untuk mengimbangi misinya
Bayangan Jembatan)” saja, sudah menggambarkan agar penjajah Jepang tetap menduduki Indonesia
kepada pembaca bagaimana tokoh utama Hamid dan dapat mempengaruhi rakyat agar sama-sama
sebagai seorang tentara yang anti terhadap berusaha mengusir penjajah Belanda dari
penjajah Belanda. Ketika penjajah Belanda dalam Indonesia. Oleh karena itu, perlu pemerintah
hal ini pasukan A.V.C. sedang bersiap-siap untuk Jepang menggunakan cara-cara mencap buruk
melakukan serangan terhadap rakyat Indonesia, bangsa Belanda, menuduh penjajah Belanda yang
Hamid sebagai salah seorang wakil rakyat sangat egois, tidak memikirkan rakyat, menghancurkan
berusaha memikirkan bagaimana usaha membalas segala hasil pembangunan, dan lain-lain.
serangan. Oleh itu, Hamid bersama temannya Perhatikan kutipan-kutipan berikut ini.
membuat rancangan-rancangan yang sifatnya anti “Pemerintah Belanda hanya mementingkan
terhadap penjajah Belanda. Dia juga menunjukkan kebutuhannya sendiri sahaja., dan tidak
sikap seorang yang berjiwa kesatria dan jiwa memikirkan sedikit pun akan nasib rakyat
kepahlawanan yang rela berkorban, seperti yang Indonesia sebagai akibat dari cara perang yang
digambarkan pada kutipan berikut ini. semacam itu … “ (hal. 28).
“Hamid pergi mendapatkan teman-teman
seperti juragannya, seorang demi seorang; ia “Kaum Sekutu tak sanggup menahan
telah membuat rancangannya sendiri iaitu kemajuannya; sambil mereka mengundurkan
rancangan pekerjaan perkumpulan ‘anti diri, mereka merusak-rusakkan barang-barang
untuk keperluan anak negeri, untuk keperluan
A.V.C.’ Ia menggantikan Ahmad menjadi
umum; jembatan-jembatan diruntuhkan,
pemimpin perkumpulan rahasia yang hendak lumbung-lumbung padi dan gudang-gudang
menentang dan menghalang-halangi perbuatan beras atau makanan rakyat dibakar, pendek
kaum perusak yang durhaka itu” (hal. 28). kata satu pun yang kiranya mungkin terpakai
oleh tentera Jepun dimusnakan tentera Sekutu.
“Hamid memang seorang kesatria dan Dalam mereka mengundurkan diri itu, atau
pemimpin yang tak segan-segan berkorban. … jiwa mereka tidak sempat berbuat begitu oleh
Hamid dan Karno melakukan kewajibannya barisan A.V.C iaitu berisan perusak, Sedikit
yang berat itu; berusaha merusakkan dinamit pun mereka tidak mengingatkan kepada
yang dipasang oleh barisan perusak untuk kepentingan” (hal. 27).
meruntuhkan jembatan kita ini. Keduannya
telah bermufakat; Hamid akan merangkak Peristiwa demi peristiwa tersebut telah
dulu dan mencoba menarik perhatian serdadu menggambarkan bagaimana sikap dan pemikiran-
pengawal, ‘Biar bagaimana juga, biar apapun pemikiran tokoh yang anti terhadap penjajah
yang terjadi, apabila pengawal itu lengah, Belanda, seperti memburuk-burukkan, menuduh
lakukanlah pekerjaanmu, merusakkan dinamit penjajah yang egois, tidak memikirkan nasib
itu” demikian nasihat Hamid kepada Karno, rakyat, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat
dan Karno sedikit pun tidak ia menyangka disimpulkan bahwa cerpen DBBJ adalah cerpen
propaganda. Pengarang cerpen memberi kesan
bahawa Hamid akan berkorban demikian
buruk pada individu, kumpulan, bangsa, cita-cita,
besarnya itu” (hal. 28).
dan keyakinan-keyakinan atau pendapat agar
mengutuk dan menolak segala tindakan penjajah
Jika dicermati pula tokoh Hamid adalah Belanda. Sikap seperti ini adalah sikap anti
tokoh yang menonjolkan sikap kepahlawanan. Ia penjajah, dan rakyat diharapkan menghindarkan
rela berkorban demi membela tanah air. Seperti dari segala tipu muslihat, kekuasaan imperalialis,
yang dipuji oleh teman seperjuangannya pada bahkan semua tindakan yang dilakukan oleh
kutipan berikut. “Cintanya terhadap tanah air dan penjajah Belanda, seperti yang diinginkan oleh
bangsanya … telah memperbaiki langkahnya pemerintahan Jepang.
dengan cara yang benar-benar kesateria” (hal. 29).
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 125
Politik Anti Belanda dalam Cerpen
“Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti ‘AVC’
❏ Yundi Fitrah
(Di Bawah Bayangan Jembatan)”
Karya A.S. Hadisiswojo
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008
Halaman 126
TENTANG PENULIS
1. Ismed Nur
Ismed Nur adalah staf pengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU. Beliau
dilahirkan di Medan, 27 Juli 1960, menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra USU, 1985.
Saat ini beliau sedang menempuh pendidikan magister di Program Studi Sosiologi Antropologi
Unimed, Medan.
2. Irwansyah
Irwansyah adalah staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU. Tamat dari
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU (1982). Menyelesaikan S-2 (1989) di Program Studi
Sastra Indonesia dan Jawa, Fakuktas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan
tesis ‘Syair Putri Hijau: Telaah Sejarah Teks dan Resepsi”. Beliau dikenal juga sebagai cerpenis dan
esais. Sejak November 2008 menjadi kolumnis tetap di media online (portal) LKBN Antara Sumatera
Utara.
3. Isma Tantawi
Isma Tantawi adalah staf pengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU. Beliau
dilahirkan di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten Gayo Lues), 7 Februari 1960. Beliau
menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra USU, 1986 dan pendidikan magister (S-2)
di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia, 2006 dengan bidang kajian tradisi
lisan nusantara. Di samping itu, beliau juga aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik
sebagai peserta maupun pemakalah.
4. Jhonson Pardosi
Jhonson Pardosi adalah staf pengajar di Program Studi D-3 Pariwisata Fakultas Sastra USU. Beliau
dilahirkan di Medan, 20 April 1966. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra
USU, 1989 dan pendidikan magister (S-2) di Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana,
Bali, 2003, dengan konsentrasi Pariwisata Budaya. Saat ini beliau aktif dalam pengembangan
pariwisata di Sumatera Utara.
5. Ikhwanuddin Nasution
Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar
di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan
pendidikan sarjana di Fakultas Sastra USU 1986, pendidikan magister (S-2) di Program Studi Kajian
Budaya Universitas Udayana, Bali, 2000, dan Pendidikan Doktor di Program Studi Kajian Budaya
Universitas Udayana, Bali, 2007, dengan pengutamaan Estetika. Beliau aktif menulis di berbagai
jurnal ilmu. Saat ini beliau juga menjadi dosen di Program Linguistik Konsentrasi Wacana
Kesusastraan Program Pascasarjana USU.
6. Pertampilan S. Brahmana
Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra
USU. Beliau dilahirkan di Medan, 13 Oktober 1958 dan menyelesaikan pendidikan magister (S-2) di
Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali, 1989, dengan konsentrasi Pengendalian
Sosial.
7. Yundi Fitrah
Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru 25 Desember 1959 adalah pengajar pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni; Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah FKIP Universitas
Jambi. Pendidikan S-1 tamat dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Program Magister
Ilmu Susastra dari Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan Program
Doktor dalam Persuratan Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat kantor Kampus Pinang
Masak Jln. Jambi-Ma. Bulian KM 14, alamat rumah Jln. Kemajuan No.42. Mendalo Darat 36361 Tel.
0741–580008, Hp. 081366227848, Faks. O741-582625 Jambi Email yundi_fitrah45@yahoo.co.id