Anda di halaman 1dari 7

KOMPETISI KARYA TULIS ILMIAH TINGKAT SLTA/SEDERAJAT SE-JAWA TIMUR

“SEJARAH DAN BUDAYA LOKAL JEMBER”

Eksistensi Kesenian Tak Buthakan di


Kabupaten Jember

NAMA : Ayuningrat Larasati Amran


ASAL SEKOLAH : SMA NEGERI 2 MALANG
GURU PEMBIMBING : Sri Rusmila Fhatmawati
Eksistensi Kesenian Tak Buthakan di Kabupaten Jember
Oleh : Ayuningrat Larasati Amran, SMAN 2 Malang

Pendahuluan
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, kepercayaan terhadap roh-roh nenek
moyang maupun benda-benda mistik seakan tak dapat benar-benar ditanggalkan.
Seakan zaman modern takkan bisa menghapus hal tersebut. Tak terkecuali di
daerah Jawa Timur. Di Jawa Timur masih sangat banyak kota dan kabupaten yang
mempercayai dan berpegang teguh pada adat dan kebudayaan nenek moyang,
termasuk pada animisme, dinamisme dan totemisme sendiri. Pada pemikiran
masyarakat Jawa hal-hal tersebut masih sangat melekat dan sulit dipisahkan.
Nah, satu dari banyak wilayah yang penduduknya masih terikat dengan
animisme dan sejenisnya adalah Kabupaten Jember. Kabupaten yang kini cukup
ramai dan terkenal dengan JFC ini juga masih menganut adat-adat jawa alias
kejawen. Kesenian-kesenian yang disimpan oleh wilayah ini sendiri juga sangat
kental dengan kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh nenek moyang.
Kesenian-kesenian itu seperti, tak buthakan, musik patrol, jaran kencak,
hadrah, terbangan, kentrung, singo ulung, can-macanan kadduk, lengger, dan
banyak lagi.

Metodologi Penelitian
Metodologi yang dilakukan dalam penelitian ini menggabungkan
metodologi sejarah dengan pendekatan antropologi budaya. Dalam metodologi
sejarah terdapat empat tahapan yaitu, heuristik, kritik, intepretasi, dan
historiografi. Heuristik dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai macam
sumber tertulis yang relevan dengan judul penelitian, sehingga didapatkan sumber
penelitian yang memadai. Kritik sumber diperlukan untuk menilai otensitas
sumber yang ada, sehingga diperoleh sumber sejarah yang paling otentik. Hasil
dari proses kritik sumber yaitu diperolehnya fakta tentang masa lalau, dalam hal
ini berkaitan dengan lahir dan berkembangnya budaya Pandhalungan di Jember.
Intepretasi bertujuan untuk menafsirkan fakta-fakta sejarah sehingga dapat
diperoleh penjelasan berkaitan dengan sebab akibat, motivasi, analogi, dan lain
sebagainya. Yang terakhir adalah tahap historiografi. Historiografi atau penulisan
sejarah merupakan ekspose atau penyajian data hasil analisis sejarah dalam bentuk
tulisan. Historiografi ini pada nantinya merupakan metode sejarahwan dalam
mengembangkan ilmu sejarah sebagai disiplin ilmu akademis dalam setiap karya
sejarah.
Antropologi budaya merupakan salah satu cabang dari ilmu antropologi
yang fokus kajiannya terletak pada variasi kebudayaan pada manusia. Pendekatan
antropologi budaya digunakan untuk menafsirkan perilaku sosial masyarakat
Pandhalungan di Jember. Metode penelitian yang umum digunakan dalam
pendekatan ini adalah pengamatan partisipatif, wawancara, survey. Namun,
dikarenakan keterbatasan penulis, penulis melakukan pendekatan antropologi
budaya melalui artikel wawancara yang digunakan oleh peneliti lain (artikel
terlampir).

Tak buthakan, kesenian ondel-ondel khas Kabupaten Jember


Salah satu kesenian yang cukup menyita perhatian masyrakat ini adalah
kesenian tak buthakan. Tak buthakan atau dalam bahasa Madura, dapat diartikan
buta-butaan ini adalah salah satu kesenian yang mengangkat kearifan lokal dan
berasal dari Dusun Panduman, Desa Jelbluk, Kecamatan Arjasa, Kabupaten
Jember, Jawa Timur. Dusun ini sendiri merupakan salah satu dari sekian dusun
yang berletak di kaki Gunung Arjuna. Tentu saja karena letakmya yang dekat
dengan gunung membuat dusun ini memiliki hawa yang sejuk serta suasana yang
asri dan juga SDA yang melimpah ruah serta tenar di negeri tetangga.
Kembali lagi dengan kesenian tak buthakan yang akan dikupas dalam
artikel ini. Kesenian Tak buthakan merupakan salah satu kesenian yang
mengandung kearifan lokal yang tinggi. Sebenarnya, selain tak buthakan masih
ada beberapa kesenian menarik lain yang patut disuguhi apresiasi yaitu, kesenian
ludruk, seni hadroh, seni silat dan lain-lain. Namun eksistensi kesenian tak
buthakan cukup kurang ditilik oleh masyarakat bahkan oleh pemkab Jember
sendiri.
Kesenian tak buthakan sendiri sebenarnya berasal dari Kabupaten Jember
wilayah utara. Kesenian merupakan salah satu kesenian yang biasa ditampilkan di
acara selamatan desa serta bersih desa. Meskipun kini, dikarenakan majunya
zaman, kesenian yang menampilkan dua ondel-ondel ini juga hadir di acara
hajatan maupun nikahan.
Kesenian ini merupakan ajaran dari leluhur Desa Kamal, dimana
masyarakat desa setempat meyakini bahwa kesenian ini mampu menghalau
malapetaka serta musibah yang mengkhawatirkan dan mengancam desa seperti
contohnya, gagal panen, maupun penyebaran wabah penyakit yang dapat
merugikan penduduk. Memang tujuan ini hampir mirip dengan penampilan ogoh-
ogoh masyarakat Hindu kala merayakan hari besar mereka, nyepi. Hanya saja
terdapat beberapa perbedaan dari berbagai segi di antara dua hal ini. Selain itu, tak
buthakan sendiri hampir mirip dengan ondel-ondel betawi karena ukurannya yang
tampak sama, meskipun untuk wajah ondel-ondel tak buthakan lebih seram dan
mengerikan.
Untuk teknis pagelaran tak buthakan sendiri terdapat beberapa hal seperti
jumlah pemain, serta arak-arakannya. Yaitu, pada mulanya terdapat satu ondel-
ondel wanita yang diarak dari Dusun Sumber Tengah. Lalu, ada satu ondel-ondel
pria yang diarak dari Dusun Sewan Kidul. Kedua ondel-ondel ini diarak dan akan
dipertemukan di Balai Desa. Memang awalnya hanya ada dua ondel-ondel yang
diisi masing masing satu orang pemain. Namun kini, pagelaran ini dilengkapi
dengan kucing-kucingan serta macan-macanan. Untuk musiknya, pagelaran
kesenin tak buthakan diiringi oleh beberapa alat musik gamelan, seperti, gong,
kenong, saron, kendang, dan lainnya. Sedangkan untuk jumlah pemainnya, ada
sekitar dua puluh orang, sepuluh orang pemusik, satu orang pawang, dua orang
yang mengisi ondel-ondel, dan sisanya pemain untuk kucing-kucingan dan
macan-macanan.
Selain itu, pada mulanya kala tak buthakan ini ditampilkan di sebuah
pagelaran, tiap topeng ondel-ondelnya selalu dimasuki roh-roh halus. Hal ini
ternyata bertujuan untuk memberikan sentuhan mistik saat mereka tampil. Selain
itu, hal ini juga dipercaya untuk menambah efek magis, agar saat ditampilkan
dapat menambah rasa takut penonton. Seperti tutur bapak kepala desa, “Saat dulu
ditampilkan, anak-anak kecil yang melihat akan merasa sawan atau semacam
kesurupan karena kekuatan magis pada topeng tak buthakan.”
Menurut beberapa orang yang telah melakukan observasi ilmiah
mahasiswa Fisip pada Sabtu, 2 Oktober 2015 di Desa Panduman yang bersumber
dari salah seorang warga setempat, sebenarnya kesenian tak buthakan ini sudah
ada sejak zaman PKI atau sekitar enam puluh tahun silam dan diciptakan oleh
Bapak Misna—warga Dusun Sumber Tengah. Yang dapat disimpulkan, Bapak
Misna tersebut merupakan warga Pandhalungan.

Pandhalungan, pemrakarsa kesenian dan budaya akukturasi yang unik


Pandhalungan sendiri merupakan julukan untuk akulturasi budaya Jawa
dan Madura yang cukup mendominasi warga Kabupaten Jember. Sebenarnya,
Pandhalungan memiliki banyak makna, dan bahkan maknanya masih kabur. Ada
argumen dari seorang pria di Jember yang berkata, “..saya berasal dari Panaongan,
Sumenep Utara, sedangkan istri saya merupakan orang Tegal Boto, Jember. Kami
memiliki dua putri. Putri dan putri kami itu bisa disebut pandhalungan,” tutur Pak
Mangun, (51) yang merupakan warga Tegal Boto. Ada juga yang berpendapat
ketika ada interaksi antara orang Jawa dan orang Madura sama dengan
pandhalungan. Hanya saja, rata -rata pendapat masyarakat berordinat jika
kebudayaan Jawa dan kebudayaan Madura bersatu dan melahirkan budaya baru,
maka budaya baru itulah pandhalungan (Raharjo 2014)
Pandhalungan sendiri lahir karena banyaknya kebudayaan baru yang
masuk ke Kabupaten Jember. Karena pada kala itu, dalam konteks sosio-politik
wilayah-wilayah kecil di daerah Jawa Timur yaitu Jember, Situbondo, Lumajang
serta Probolinggo merupakan wilayah yang rawan konflik. Pada masa itu, banyak
sekali problematika yang menimpa wilayah-wilayah itu seperti contohnya, (1)
Peristiwa Jenggagah, konflik antara petani dengan pihak PTPN X di Jember, (2)
Aksi pembakaran gereja di Situbondo pada tahun 1995, (3) Kasus perebutan tanah
anatara penduduk dengan militer di Sukorejo Jember, (4) Aksi pembantaian
dengan isu Ninja pada 1998, dan (5) Aksi masyarakat kala Gus Dur ditanggalkan
dari kursi kepresidenan pada 2002. Peristiwa-peristiwa itu secara langsung
mencitrakan wilayah-wilayah tersebut beserta komunitas pendukungnya sebagai
papan berseminya kekerasan beralasan latar belakang budaya Madura sebagai
warga mayoritas. Tentu saja asumsi dan opini seperti itu tak dapat seratus persen
dibenarkan dan memukul rata semua warga mayoritas Madura seperti itu. Dan
pada dasarnya peristiwa kekerasan seperti itu tidak hanya karakteristik warga di
wilayah ini serta adanya latar belakang serta setting politik yang menjadi duduk
pondasi kumpulan peristiwa di atas meletus. Di samping itu, peran media juga
cukup berkuasa di sini. Media terus-menerus membahas dan menampilkan seputar
peristiwa-peristiwa ini, menyebabkan menguatnya stereotipe tersebut di
pemikiran masyarakat (Raharjo, 2014).
Usai banyaknya peristiwa yang terjadi di wilayah-wilayah itu, Jember
yang masih berupa desa kecil berinfrastruktur minim mulai terbenahi. Pihak
kolonial mulai membenahi kabupaten ini. Mulai dari diperbanyaknya perkbunan
swasta dan peningkatan tetek-bengeknya secara berkala, Jember mulai menjadi
kabupaten yang cukup maju bila dibandingkan dengan wilayah sekitarnya.
Jemberpun yang awalnya hanya desa berubah menjadi sebuah kabupaten. Karena
melihat infrastruktur yang maju serta tampak menggiurkan, banyak masyarakat
dari wilayah lain mulai bermigrasi dan menaruh hidup mereka di kabupaten ini,
tak terkecuali masyarakat Madura. Migrasi besar-besaranpun terjadi, diimbangi
dengan adanya mobilitas horizontal masyarakat. Masyarakat dari daerah lain yang
bermigrasi tentunya membawa kebudayaan dari wilayah asalnya masing-masing,
yang kemudian bersatu dengan kebudayaan asli masyarakat Jember dan disebut
Pandhalungan.

Penutup
Tak buthakan hanyalah salah satu contoh kecil produk kesenian hasil
penggabungan dua budaya besar Jawa dan Madura. Tentunya di daerah-daerah
Jawa Timur masih banyak kebudayaan yang unik dan belum terjamah oleh pihak
pemkab dan belum begitu terblow up oleh media.
Oleh karena itulah, perhatian dari Pemkab Jember amat dibutuhkan di sini.
Masyarakat berharap pihak Pemkab dapat meningkatkan kelestarian ondel-ondel
khas Jember ini. Bapak Kusnadi yang merupakan kepala Desa Kamal ini juga
berharap Pemkab juga memberikan bimbingan lebih pada pihak masyarakat dalam
rangka pelestarian dan pengenalan kesenian tak buthakan ini. Semoga ke
depannya, kesenian ini dapat lebih dilirik dan ditoleh masyarakat luas hingga
dapat menyusul kesenian budaya lainnya untuk unjuk gigi di kancah internasional
dan tidak diculik oleh negara lain.

Daftar pustaka
Arifin, Edy Burhan. 2006. Pandhalungan Kota Jember dan Munculnya Budaya
Pandhalungan. Jakarta (Makalah ini dipresentasikan dalam konferensi nasional
sejarah VIII di Jakarta pada Bulan November 2006)

Sutarto, Ayu. 2014. Sekilas Tentang Masyarakat Pandhalungan . (Diakses pada 20


September pukul 16.26 WIB
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/sekilas-tentang-masyarakat-
pandhalungan/ )

P. Raharjo, C. 2014. Pandhalungan : Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat


Multikultural. Jakarta: Kemendikbud (Diakses pada tanggal 20 September 2018
pukul 16.23 https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/pendhalungan-
sebuah-periuk-besar-masyarakat-multikultural/Linda, Rosa. 2018. Seni Budaya
Tak Butakan. https://budayajawa.id/seni-budaya-tak-butakan-jember/ )

UKMF- LIMAS FISIP UNEJ. 2015. TULISAN REALIS VII : Kesenian Tak
Butakan Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Panduman Kecamatan Jebluk
Kabupaten Jember. (Diakses pada 20 September pukul 16.45
https://limasfisipunej.wordpress.com/2016/03/09/tulisan-realis-viii-kesenian-tak-
butakan-sebagai-kearifan-lokal-masyarakat-desa-panduman-kecamatan-jelbuk-
kabupaten-jember/ )

Linda, Rosa. 2018. Seni Budaya Tak Butak’an, Jember. (Diakses pada 20
September 2019 pukul 19.09 https://budayajawa.idseni-budaya-tak-butakan-
jember )

Anda mungkin juga menyukai