Anda di halaman 1dari 152

SKRIPSI

PENERAPAN “ASSET BASED COMMUNITY DEVELOPMENT”


(ABCD) DI WILAYAH AGROPOLITAN KECAMATAN BUNGKU
UTARA KABUPATEN MOROWALI UTARA

OLEH :

MOH RIZKI PRATAMA


45 14 0420 02

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2019
PENERAPAN “ASSET BASED COMMUNITY DEVELOPMENT”
(ABCD) DI WILAYAH AGROPOLITAN KECAMATAN BUNGKU
UTARA KABUPATEN MOROWALI UTARA

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk memperoleh
Gelar Sarjana Teknik (S.T)

Oleh
MOH RIZKI PRATAMA
STAMBUK 45 14 0420 02

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2019
ABSTRAK

MOH RIZKI PRATAMA 2018 “Penerapan Asset Based Community


Development (ABCD) di Wilayah Agropolitan Kecamatan Bungku Utara
Kabupaten Morowali Utara” dibimbing oleh Rudi Latief dan Jufriadi.

Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi penelitian ini untuk dikaji,


yakni salah satu faktor yang menjadi kendala atau hambatan dalam
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya disebabkan
oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan
pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku Utara
Kabupaten Morowali Utara khususnya aset di sektor pertanian.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif
dengan Teknik pengumpulan data digunakan dengan wawancara medalam
terhadap salah satu responden yaitu pemerintah sebagai penyelenggara
atau penerap kebijakan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan
bungku utara.
Kesimpulan dari penelitian ini ialah, penerapan metode pengembangan
kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku Utara belum terealisasi dengan
baik akibat buruknya penanganan dari pemerintah dan kurangnya
koordinasi dan partisipasi dengan masyarakat. Sehingga perlunya
penerapan metode pengembangan baru yaitu metode “Asset Based
Community Development” (ABCD) yang lebih koordinatif, sehingga dapat
memaksimalkan potensi pertanian, sarana dan prasarana, peningkatan
social masyarakat dan kemandirian masyarakat.
Kata Kunci : Pengembangan kawasan Agropolitan Peningkatan
produktifitas.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-
Nyalah sehingga usaha dan kerja keras dalam menyelesaikan penelitian
ini. Penelitian ini berjudul “Penerapan Asset Based Community
Development (ABCD) di Wilayah Agropolitan Kecamatan Bungku
Utara Kabupaten Morowali Utara” Dapat terselesaikan. Ini dilaksanakan
untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar STRATA SATU (S10 pada
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas
Bosowa Makassar.

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis tak lupa menyampaikan


rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua saya yang tercinta Bapak As’at Paranaka, Spd. Mpd.
dan Ibu Farida Yap, Spd.dan juga adik-adik saya Moh Asfar, Moh Taufik
yang selalu membantu saya baik itu dengan doa, tenaga, finansial,
dukungan, semangat, dan kasih saying serta kesabaran dalam
membimbing dan membesarkan saya selama ini sehingga saya
mendapatkan gelar sarjana ini.
2. Bapak Ir. Jufriadi, M.SP. selaku Dosen, Ketua Jurusan Perencanaan
Wilayah dan kota, dan pembimbing 2 dalam pembuatan skripsi ini yang
telah banyak membantu saya, memberikan motivasi, support dan
dukungan dengan kesabaran dan keikhlasan sehingga saya dapat
menyelesaikan Skripsi ini.
3. Bapak Ir. Rudi Latief, M.Si Selaku Dosen dan Pembimbing 1 dalam
pembuatan Skripsi ini yang telah membimbing saya dengan kesabaran
dan keikhlasan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Teknik Universitas Bosowa
Makassar yang telah melayani dan memudahkan pengurusan

ii
administrasi saya selama menuntut ilmu di fakultas Teknik Universitas
Bosowa Makassar.
5. Teman-teman seperjuangan MAP 014, Terutama Saudara Tri Kora
yang membantu saya dalam perhitungan analisis, dan rekan-rekan
lainnya yang tidak bisa saya sebutkan Namanya satu persatu Mudah-
mudahan kebersamaan yang terjalin tidak akan putus sampai
kapanpun.

Penulis sangat menyadari bahwa tugas tugas ini masih dibawah dari
kesempurnaan untuk sebuah karya tulis, ini terjadi karena keterbatasan
literatus, pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari
berbagai pihak agar penulisan ini sesuai dengan prosedur yang telah ada
selama dalam penulisan ini. penulis banyak mendapat hambatan-
hambatan selama dalam penulisan ini, berkat arahan bimbingan dan
dukungan, partisipasi serta saran, kritikan dari berbagai pihak, hingga
penulisan tugas ini dapat terselesaikan.

Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak


yang telah memberikan bantuan. Semoga bantuannya dapat dinilai ibadah
oleh Allah SWT, dan semoga karya yang sederhana ini berguna dan
bermanfaat bagi para peneliti dan mahasiswa serta perkembangan ilmu
pada umumnya dan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK).

Wasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Makassar, 10 Januari 2019

MOH RIZKI PRATAMA

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
HALAMAN ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
E. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 7
F. Sistematika Pembahasan ............................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 10
A. Pengertian Pengembangan Kawasan ............................................ 10
B. Pengertian Umum dan Ciri-ciri Kawasan Agropolitan ..................... 12
1. Pengertian Umum Agropolitan .................................................. 12
2. Ciri-ciri Agropolitan .................................................................... 14
C. Teori ABCD (Asset Based Community Development) .................... 18
1. Mengenal Teori (Asset Based Community Development) ......... 18
2. Aset ........................................................................................... 21
3. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas ........................ 24

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 51


A. Jenis Penelitian .............................................................................. 51
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 53
1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 53
2. Waktu Penelitian ....................................................................... 54
C. Populasi dan Sampel ...................................................................... 55
1. populasi ..................................................................................... 55
2. Sampel ...................................................................................... 55
D. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 56
1. Jenis Data ................................................................................. 56
2. Sumber Data ............................................................................. 56
3. Dokumentasi ............................................................................. 56
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 57
1. Wawancara Mendalam ............................................................. 57
2. Survey ....................................................................................... 58
3. Observasi .................................................................................. 58
4. Dokumentasi ............................................................................. 58

iv
F. Variabel Penelitian ......................................................................... 59
G. Teknik Analisis Data ....................................................................... 59
1. Analisis Deskriptif Kualitatif ....................................................... 59
2. Analisis Kuantitatif ..................................................................... 60
H. Beberapa Devinisi .......................................................................... 61
I. Kerangka Berpikir ........................................................................... 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 65


A. Gabaran Umum Kabupaten Morowali Utara ................................... 65
1. Letak Geografis dan Batas Administrasi ................................... 65
2. Aspek Demografi ....................................................................... 68
B. Gambaran Umum Kecamatan Bungku Utara ................................. 71
1. Batas Administrasi .................................................................... 71
2. Aspek Demografi ....................................................................... 75
C. Hasil Identifikasi Wilayah Penelitian Dengan Pendekatan
Teori ABCD ..................................................................................... 76
1. Warga dan Masyarakat ............................................................. 77
2. Organisasi ................................................................................. 82
3. Fasilitas ..................................................................................... 86
D. Hasil Identifikasi Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 105
1. Penerapan Metode Pengembangan Kawasan Agropolitan ...... 106
2. Usaha Pemerintah Dalam Penanganan Pengembangan
Kawasan Agropolitan ............................................................... 107
3. Kendala Pemerintah Dalam Penerapan Pengembangan
Kawasan Agropolitan ............................................................... 107
4. Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Pengembangan
Kawasan Agropolitan ............................................................... 108
5. Perekonomian Kawasan Agropolitan Kecamatan
Bungku Utara ........................................................................... 109
6. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kawasan
Agropolitan ............................................................................... 110
7. Kesejahteraan Masyarakat Pertanian Kawasan Agropolitan ... 111
E. Analisis Penyebab Sehingga Pemerintah kecamatan Bungku Utara
Belum Menggunakan Metode ABCD Dalam Peningkatan
Produktifitas Kawasan Agropolitan ................................................. 112
1. Pemerintah ................................................................................ 112
2. Masyarakat ............................................................................... 112
3. Pihak-Pihak Lainnya ................................................................. 113
F. Analisis Faktor Perkembangan dan Jenis Proyeksi Setiap
Komoditas Pertanian Unggulan ...................................................... 113
1. Analisis Crosstabulation Statistic Kuantitatif ............................. 113
2. Analisis Proyeksi Komoditas Unggulan Dengan Menggunakan

v
Metode Estrapolasi ................................................................... 117
G. Model Penerapan Kosep Asset Based Community Development .. 121
1. Desentaralisasi ......................................................................... 122
2. Pemberdayaan .......................................................................... 123
3. Proses Belajar Sosial ................................................................ 125
4. Keberlanjutan ............................................................................ 126
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 128

A. Kesimpulan ..................................................................................... 128


B. Saran .............................................................................................. 129
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Schedule Pelaksanaan Penelitian Skripsi ............................. 54

Tabel 3.2 variabel Penelitian ................................................................ 59

Tabel 4.1 Luas Wilayah Dirinci Berdasarkan Kecamatan

di Kabupaten Morowali Utara Tahun 2016 ............................ 66

Tabel 4.2 Banyaknya Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin

di Kabupaten Morowali Utara Tahun 2016 ............................ 68

Tabel 4.3 Kepadatan Penduduk Kabupaten Morowali Utara

Dirinci Menurut Kecamatan Tahun 2016 ............................... 69

Tabel 4.4 Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Morowali Utara

Dirinci Menurut Kecamatan Tahun 2016 ............................... 70

Tabel 4.5 Luas Kecamatan Bungku Utara Dirinci Menurut

Desa Tahun 2016 .................................................................. 72

Tabel 4.6 Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Kecamatan

Bungku Utara Tahun 2016 .................................................... 75

Tabel 4.7 Sebaran Fasilitas Pendidikan Tahun 2016 ............................ 77

Tabel 4.8 Sebaran Kelompok Umur Tahun 2016 .................................. 79

Tabel 4.9 Sebaran Jumlah Petani Tahun 2016 ..................................... 80

Tabel 4.10 Sebaran Usaha Tahun 2016 ............................................... 80

Tabel 4.11 Sebaran Jumlah Lembaga Keuangan Tahun 2016 .............. 81

Tabel 4.12 Sebaran Kelompok Tani dan Petani Menurut Desa

vi
Tahun 2016 ......................................................................... 82

Tabel 4.13 Sebaran Usaha Koperasi Unit Desa (KUD) Serta

Jumlah Anggota Tahun 2016 .............................................. 84

Tabel 4.14 Sebaran Pegawai Pada Instansi/Jawatan Dinas

Menurut Jenis Kelamin Tahun 2016 .................................... 85

Tabel 4.15 Sebaran Jumlah Pelanggan PDAM Morowali Utara

Menurut Desa Tahun 2016 ................................................. 87

Tabel 4.16 Sebaran Jumlah Langganan Pascabayar Listrik

Menurut Desa Tahun 2016 ................................................. 88

Tabel 4.17 Sebaran Jumlah Pasar Umum Menurut Desa 2016 ............ 88

Tabel 4.18 Sebaran Tempat Ibadah Menurut Desa

Tahun 2016 ......................................................................... 91

Tabel 4.19 Sebaran Jumlah Hotel, Penginapan, dan Rumah

Makan/Warung Tahun 2016 ................................................ 92

Tabel 4.20 Sebaran Jumlah Sekolah Dasar Menurut Desa

Tahun 2016 ......................................................................... 93

Tabel 4.21 Sebaran Jumlah Sekolah Menengah Pertama

Menurut Desa Tahun 2016 .................................................. 94

Tabel 4.22 Sebaran Jumlah Sekolah Menengah Atas Menurut

Desa Tahun 2016................................................................. 96

vii
Tabel 4.23 Nama-nama Sungai di Kecamatan Bungku Utara

Tahun 2016 ......................................................................... 97

Tabel 4.24 Luas Kawasan Hutan Tahun 2016 ....................................... 98

Tabel 4.25 Jumlah Objek/Daya Tarik Wisata di Kecamatan

Bungku Utara Tahun 2016 ..................................................................... 99

Tabel 4.26 Luas dan Produksi Komoditi Tanaman Bahan

Makanan Utama Tahun 2016.............................................................. 100

Tabel 4.27 Luas Panen Produksi Sayur-sayuran

Tahun 2016 ........................................................................ 100

Tabel 4.28 Luas Produksi, Produktifitas Perkebunan

Tahun 2016 ....................................................................... 102

Tabel 4.29 Jumlah Populasi Hewan Ternak Menurut Jenisnya

Tahun 2016 ....................................................................... 103

Tabel 4.30 Banyaknya Produksi dan Retribusi Perikanan 2016 .......... 104

Tabel 4.31 Potensi Perikanan Darat Tambak Tahun 2016 .................. 104

Tabel 4.32 Tabel Crosstabulation Statistic Data Hasil Responden .... 114

Tabel 4.33 Tabel Crosstabulation Statistic Hasil Perhitungan

Frekuensi ........................................................................ 115

Tabel 4.34 Tabel Perhitungan Crosstabulation Statistic .................... 115

Tabel 4.35 Data Perkembangan Komoditas 5 Tahun Terakhir .......... 118

Tabel 4.36 Hasil Proyeksi Komoditas Kelapa Sawit ........................... 118

viii
Tabel 4.37 Hasil Produksi Komoditas Padi Sawah ............................ 119

Tabel 4.38 Hasil produksi Komoditas Kakao ...................................... 119

Tabel 4.39 Hasil Produksi Komoditas Kelapa ..................................... 120

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Proses Kombinasi Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.... 52

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Morowali Utara ................... 67

Gambar 4.2 Peta Administrasi Kecamatan Bungku Utara .................... 69

Gambar 4.3 Pengaruh 4 Faktor Dalam Produktifitas Kawasan

Agropolitan ...................................................................... 116

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian masyarakat merupakan salah satu hal penting dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat atau peningkatan kualitas

hidup masyarakat. Seperti halnya Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) yang merupakan penjumlahan nilai output bersih

perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di

suatu wilayah tertentu dan dalam satu kurun waktu tertentu (satu

tahun). Dalam penelitian ini, nilai PDRB Kabupaten Morowali Utara

pada tahun 2015 1.987.345,1 juta rupiah, tahun 2016 angka ini

meningkat menjadi 2.247.209,6 juta rupiah, dan di tahun 2017

berkembang menjadi 2.6187.253,7 juta rupiah atau mengalami

peningkatan sebesar 23,19 persen dari tahun 2015. Pada tahun

2016 perekonomian Kabupaten Morowali Utara tumbuh sebesar

5,55 persen, sedangkan pada tahun 2017 mengalami perlambatan

pertumbuhan ekonomi dibanding sebelumnya dengan nilai

pertumbuhan sebesar 5,35 persen. PDRB perkapita Kabupaten

Morowali Utara tahun 2017 sebesar 14.780.203 rupiah.

Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang seharusnya

memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian Kabupaten

1
Morowali Utara. Namun pada awalnya memiliki potensi yang

menjanjikan. Pada tahun 2016 sektor pertanian tumbuh sebesar

4,38 persen, Meskipun angka pertumbuhannya relatif kecil namun

sektor ini adalah penyekong ekonomi kedua tertinggi di kabupaten

Morowali Utara yaitu 20,28. Tetapi pendapatan perkapita Kabupaten

Morowali Utara masih di bawah pendapatan perkapita rata-rata

Provinsi Sulawesi Tengah. Karena kabupaten morowali utara

adalah kabupaten yang baru saja dimekarkan pada tahun 2014,

tidak bisa dipungkiri bila angka kemiskinan Kabupaten Morowali

Utara sebesar 23,26 persen. (Sumber : Statistik Daerah Kabupaten

Morowali Utara Tahun 2017).

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 (UU No. 26 tahun 2007)

tentang Penataan Ruang, kawasan agropolitan didefinisikan

sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan

pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan

pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh

adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan 3

sistem pemukiman dan sistem agrobisnis.

Padahal, kawasan agropolitan yang berada dikecamatan bungku

utara, yang ditetapkan sebagai lokasi Rencana Kawasan

Agropolitan didasarkan atas kriteria yang ada serta berdasarkan

arahan dari Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2015 (Perda No. 12

2
Tahun 2015) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Morowali Utara Tahun 2015-2035. Setelah diidentifikasi memiliki

aset-aset atau potensi dominan yang ada di dalam masyarakat

dapat menjadi unggulan dan dapat dikembangkan untuk

kesejahteraan masyarakat setempat, asset-aset seperti tanaman

pangan berupa padi, jagung, aneka sayuran dan rempah-rempah,

juga tanaman perkebunan seperti kakao dan sawit, serta didukung

oleh sector-sektor lainnya seperti budidaya tambak ikan air tawar

dan air laut, serta potensi sebagai sarana wisata agropolitan. Selain

itu, Kecamatan bungku Utara memiliki prasana dasar (PSD) untuk

menunjang perkembangan produksi dan jasa, seperti jaringan listrik

dan telepon serta mempunyai jumlah penduduk yang cukup untuk

memenuhi standar penyediaan fasilitas sosial maupun ekonomi.

Tetapi ada peberapa permasalahan yang menyebankan

rendahnya peningkatan produktifitas kawasan agropolitan

kecamatan Bungku Utara, seperti menurunnya tingkat partisipasi

masyarakat dalam pengembangan kawasan agropolitan seperti

penurunan sebaran jumlah petani yang ada di kecamatan bungku

utara yang pada tahun 2015 berjumlah 5.821 petani dengan jumlah

penduduk 14.886 jiwa, kemudian pada tahun 2016 mengalami

penurunan jumlah petani sebesar 4.937 petani dengan jumlah

penduduk 16.146 jiwa. Begitu juga dengan sebaran kelompok tani

3
pada tahun 2015 berjumlah 156 dan pada tahun 2016 menurun

menjadi 123 kelompok tani, serta menurunnya produksi tani secara

keseluruhan, yang pada 2015 sebesar 16.325.010 Kuintal pada

2016 mengalami penurunan 12.020.550 kuintal. Walaupun kawasan

agropolitan ini tergolong baru karena baru mekarnya kabupaten

Morowali Utara pada tahun 2014 dan perdanya disahkan pada

tahnu 2015, namun melihat penurunan kualitas dari kawasan

agropolitan kecamatan bungku utara ini salah satunya diakibatkan

kurangnya pemahaman tentang konsep dan pengembangan

kawasan agropolitan oleh penyelenggara kebijakan yaitu

pemerintah daerah, hal ini berdampak pada masyarakat kawasan

agropolitan yang menjadi kurang terorgarir oleh kebijakan-kebijakan

pemerintah menyebabkan perunan tingkat produktifitas masyarakat

akibatnya banyak masyarakat yang mencari pekerjaan baru

terutama diluar kawasan agropolitan. Untuk itu perlunya konsep

metode Asset Based Community Development (ABCD) untuk

mengatasi permasalahan penurunan produktifitas masyarakat

kawasan agropolitan kecamatan Bungku Utara.

Metode pengembangan “Asset Based Community Development”

atau disingkat ABCD adalah metode yang bisa menyelesaikan

permasalahan rendahnya partisipasi masyarakat diwilayah

agropolitan kecamatan Bungku Utara ini, didasarkan pada

4
keyakinan bahwa yang dapat menjawab suatu problem masyarakat

adalah masyarakat itu sendiri, metode ini bertujuan merangkum dan

masyarakat membentuk Modal Sosial (Social Capital) untuk bekerja

sama meningkatkan produtifitas Kawasan agropolitan dengan

memanfaatkan aset-aset baik keterampilan, finansial, social,

infrastruktur, dan SDA secara menyeluruh dikelola oleh kominitas-

komunitas masyarakat serta dalam pengawasan pemerintah

sebagai pihak yang menerapkan kebijakan.

Berdasarkan isu dan permasalahan di atas, maka penulis

memilih judul dalam rangka tugas akhir dengan pokok bahasan

tentang “Penerapan Asset Based Community Development

(ABCD) di Wilayah Agropolitan Kecamatan Bungku Utara

Kabupaten Morowali Utara” Yang diharapkan dapat Meningkatkan

produktifitas di kawasan agropolitan Kecamatan Bungku Utara

dengan melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara

langsung maupun tidak langsung serta bekerjasama secara

berkelanjutan dengan pihak pemerintah maupun non pemerintah

untuk pengembangan aset-aset dan pengembangan kawasan

agropolitan yang terdapat di Kecamatan Bungku Utara.

5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,

penulis mengungkapkan masalah yang termuat dalam suatu

rumusan yaitu :

1. Apa yang menyebabkan sehingga Pemerintah kecamatan

Bungku Utara Belum menggunakan metode ABCD dalam

upaya peningkatan produktifitas Kawasan agropolitan

kecamatan Bungku Utara;

2. Bagaimana upaya penerapan metode ABCD dalam upaya

peningkatan produktifitas Kawasan agropolitan di kecamatan

Bungku Utara.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengidentifikasi penyebab rendahnya produktifitas

Kawasan agropolitan Kecamatan Bungku Utara karena tidak

adanya penerapan metode ABCD;

2. Untuk mengetahui Model Penerapan Asset Based

Community Development Dalam peningkatan produktifitas

Kawasan Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara

Kabupaten Morowali Utara.

6
D. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan dan informasi dasar bagi pemerintah

dalam hal perencanaan tata ruang kawasan agropolitan

khususnya di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali

Utara.

2. Sebagai informasi bagi pihak – pihak yang membutuhkan dan

penelitian kedepannya.

E. Ruang lingkup

1. Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi dalam penelitian yaitu meninjau Struktur

Tata Ruang Wilayah dan Pola Ruang Kabupaten Morowali Utara,

mengidentifikasi arahan pengembangan kawasan agropolitan di

Kecamatan Bungku Utara, serta dapat melihat dan melakukan

suatu arahan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan

Bungku Utara.

2. Ruang Lingku Wilayah

Lingkup wilayah yang masuk dalam wilayah penelitian ini

adalah Kecamatan Bungku Utara yang merupakan kawasan

agropolitan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 12

Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Majene Tahun 2015-2035.

7
G . Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan proposal ini di bagi ke dalam tiga Bab,

dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian dan Ruang Lingkup serta Sistematika

Pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat tentang Batasan Pengertian Judul, Tinjauan

Pustaka, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan

Pariwisata, Standar dan Konsep Pengembangan Kepariwisataan,

Jenis obyek wisata, Kondisi obyek wisata dan Pemanfaatannya.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel,

Jenis dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa

Data, Definisi Operasional, Kerangka Pikir.,

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat tentang Gambaran Umum kabupaten Morowali

Utara, Tinjauan Lokasi Studi, Potensi Obyek Wisata, Prasarana dan

Sarana, Opini Masyarakat, Potensi Pengembangan obyek wisata air

8
terjun Werampadoa, Analisis Potensi Kawasan Obyek Wisata Air

Terjun Werampadoa, Strategi Pengembangan Obyek Wisata,

BAB V PENUTUP

Kesimpulan dan Saran.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pengembangan Kawasan

Pembangunan ialah mengadakan, membuat atau mengatur

sesuatu yang belum ada. Pengembangan ialah memajukan,

memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada.

Pembangunan dan pengembangan (development) dilakukan untuk

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dan

pengembangan itu dapat merupakan pembangunan fisik atau

pengembangan fisik, dan dapat merupakan pembangunan sosial

dan ekonomi atau pengembangan sosial-ekonomi (Jayadinata, T.

Johara, 1992;43)

Pengembangan (development) mengandung pengertian

pemekaran (kuantitatif dan perbaikan (kualitatif), sedangkan

pengertian kawasan, wilayah dengan fungsi utama lindung dan

budidaya; ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri

tertentu/spesifik/khusus (Kamus Tata Ruang, 1997;51).

Pengembangan kawasan atau wilayah mengandung

pengertian arti yang luas, tetapi pada prinsipnya merupakan

berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki taraf

10
kesejahteraan hidup pada suatu wilayah tertentu. Tujuan

pengembangan kawasan mengandung dua sisi yang saling

berkaitan. Disisi sosial ekonomis, pengembangan wilayah adalah

upaya memberikan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat,

misalnya penciptaan pusatpusat produksi, memberikan kemudahan

prasarana dan pelayanan logistik, dan sebagainya. Disisi lain secara

keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan

manusia terhadap lingkungan. Alasan mengapa diperlukan upaya

pengembangan pada suatu daerah tertentu, biasanya terkait dengan

masalah ketidakseimbangan demografi, tingginya biaya produksi,

penurun taraf hidup masyarakat, ketertinggalan pembangunan, atau

adanya kebutuhan yang sangat mendesak.

Dari definisi diatas terdapat beberapa kata kunci yang harus

terdapat dalam pengembangan kawasan yaitu :

1. Program yang menyeluruh dan terpadu

2. Sumber daya yang tersedia dan kontribusi terhadap wilayah

3. Suatu wilayah tertentu

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang

penataan ruang disebutkan bahwa terdapat 3 klasifikasi bentuk

Rencana Tata Ruang Wilayah yaitu :

1. Berdasarkan fungsinya dikenal adanya Kawasan Budidaya dan

Kawasan Lindung;

11
2. Berdasarkan aspek administrasinya dikenal dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi (RTRWP), Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten (RTRWK);

3. Berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi

kawasan perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu (anonym).

Berdasarkan perkembangan serta kebutuhan pembangunan

daerah, bentuk-bentuk perencanaan wilayah bertambah variasinya.

Mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

47 Tahun 1997 (PP No. 47/1997) tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional (RTRWN), rincian rencana dikembangkan

berdasarkan kepada skala prioritas ditetapkan Kawasan-Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Dalam menunjang

program-program kerjasama Sub-Regional, globalisasi, mengatasi

krisis moneter (program rescue dan pemulihan) dibutuhkan

pendekatanpendekatan wilayah untuk mengikat program-program

tersebut.

B. Pengertian Umum Dan Ciri-ciri Kawasan Agropolitan

1. Pengertian Umum Agropolitan

Agropolitan terdiri dari kata agro dan politan (polis). Agro

berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga dapat

diartikan sebagai kota pertanian atau kota yang terletak di dalam

12
kawasan pertanian. Sehingga yang dimaksud dengan

agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang

karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu

melayani, mendorong, menarik kegiatan pembangunan

agribisnis dari wilayah sekitarnya.

Agropolitan adalah suatu konsep pembangunan berdasarkan

aspirasi masyarakat bawah yang tujuannya tidak hanya

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi juga mengembangkan

segala aspek kehidupan sosial (pendidikan, kesehatan, seni-

budaya, politik, pertahanan-keamanan, kehidupan beragama,

kepemudaan, dan pemberdayaan pemuda dan kaum

perempuan) (Ali Kabul Mahi, 2014;1).

Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) terdiri dari

kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang

ada disekitarnya dengan batasan yang tidak ditentukan oleh

batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan

dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada.

Pengelolaan ruang dimaknakan sebagai kegiatan pengaturan,

pengendalian, pengawasan, evaluasi, penertiban dan peninjauan

kembali atas pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi

pangan (agropolitan).

13
Program pengembangan kawasan sentra produksi pangan

(agropolitan) adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian

yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi

yang ada, yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing,

berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisai yang

digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah.

Kawasan pedesaan harus dikembangkan sebagai satu

kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan

ekonomi antara desa-kota (Urban-rural linkages), dan

menyeluruh hubungan yang bersifat interpendensi/timbale balik

yang dinamis.

2. Ciri-ciri Kawasan Agropolitan

Kawasan Agropolitan yang sedang berkembangan memiliki

ciri-ciri sebagai berikut :

a. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh

pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis);

b. Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh

kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya

usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-

hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan

ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan

permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan;

14
c. Hubungan antara kota dan kawasan agropolitan bersifat

interdependensi timbal balik yang harmonis, dan saling

membutuhkan, dimana kawasan agropolitan

mengemhangkan usaha budidaya (on farm) dan produk

olahan skala rumah tangga (off farm). Sedangkan kota

menyediakan fasilitas, pelayanan untuk pengembangan

usaha budidaya dan agribisnis sepert penyediaan sarana

pertanian, modal, tel inforrnasi pengolahan hasil dan

penampungan/pemasaran produk pertanian;

d. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan

suasana kota karena keadaan sarana yang ada di dalam

kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.

Menurut (Ali Kabul Mahi, 2014 : 3) suatu wilayah dapat

dikembangkan menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat

memenuhi persyaratan meliputi :

a. Memiliki sumber daya lahan dengan agroklimat yang sesuai

untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat

dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut

komoditi unggulan), serta berpotensi atau lebih berkembang

diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya.

Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut

kegiatan budidaya pertanian (on-farm) tetapi juga kegiatan off

15
farm-nya; yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana

pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan, alsin),

kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti membuat produk

olahan, produk makanan ringan/kripik, dodol, dan lain-lain)

sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti

bakulan, warung jual beli hasil pertanian, pasar lelang

terminal/sub terminal agribisnis dan lain-lain) dan juga

kegiatan penunjangnya (seperti pasae hasil agrowisata);

b. Memiliki berbagai prasarana dan sarana agribisnis yang

memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan

usaha agribisni, antara lain : Jalan, pertanian, dan fasilitas

umum serta fasilitas sosial lainnya, seperti :

1) Pasar, untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana

pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa

pelayanan termasuk pasar lelang gudang tempat

penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum

dipasarkan;

2) Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan)

sebagai sumber modal dan kegiatan agribisnis;

3) Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi,

asosiasi) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru,

yang harus berfungsi pula sebagai sentra pembelajaran

16
dan pengembangan Agribisnis (SPPA), kelembagaan

petani di samping sebagai pusat pembelajaran

(pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani

maju dengan petani di sekitamya merupakan inti plasma

dalam usaha agribisnis;

4) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi

sebagai klinik, konsultasi agribisnis (KKA) yakni sebagai

sumber informasi pemberdayaan masyarakat dalam

pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan

menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan

agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi balai

penyuluhan pembangunan terpadu di mana BPP ini

merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan

petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan

agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontak

tani/petani maju, tokoh masyarakat dan lain-lain;

5) Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk

rnengembangkan teknologi tepat guna yang cocok di

kawasan agropolitan;

6) Jaringan jalan yang memadai dan aksesibilitas dengan

daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya

17
untuk mendukung usaha pertanian (agribisnis) yang

efisien;

7) Prasarana dan sarana agribisnis yang terdapat dalam

kawasan agropolitan

c. Memiliki prasarana dan sarana umum yang memadai, seperti

transportasi jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih dan lain-

lain;

d. Memiliki prasarana dan sarana kesejahteraan

sosial/masyarakat yang memadai seperti kesehatan,

pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dan

lain-lain;

e. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya

alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan

hubungan kota dan desa terjamin (Ali Kabul Mahi, 2014;3).

C. Teori ABCD (Asset Based Community Development)

1. Mengenal Teori ABCD (Asset Based Community

Development)

Teori Asset Based CommunityDevelopment (ABCD) yang

dikembangkan oleh Jhon McKnight. Teori ini berasumsi bahwa

yang dapat menjawab suatu problem masyarakat adalah

masyarakat itu sendiri dan segala usaha perbaikan ini harus

dimulai dari perbaikan modal sosial (Jhon McKnight, 2010;46).

18
Sedangkan modal sosial (social capital) dapat didefinisikan

sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi

mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok

dan organisasi. Adapun menurut Putnam, komponen modal

sosial adalah terdiri dari suatu kepercayaan (trust), normanorma

(norm), dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat

memperbaiki efensiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas

tindakan-tindakan yang terorganisasi. Lebih lanjut Putnam

mengatakan bahwa kerjasama akan mudah terjadi dalam suatu

komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam

bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik, dan jaringan-

jaringan antar warga (Adnan, Tajuddin, D. Yuliani, L.

Komaruddin, dan H. Lopulala, 2012;342)

McKnight dan Kretzman percaya bahwa salah satu masalah

sentral dalam masyarakat kita adalah bahwa modal sosial telah

rusak oleh profesionalisasi kepedulian dalam perencanaan dan

layanan sistem.Lingkungan dan penduduk hanya dipandang

sebagai obyek “yang membutuhkan” dan dipandang sebagai

“masalah” yang harus diselesaikan (Jhon McKnight, 2010;46).

Dalam Action Strategies for community development tentang

konsep dari teori ABCD dimulai dari dua aspek, yakni

Neighborhood of Needs (kebutuhan masyarakat sekitar) dan

19
Neighborhood of Asset (asset masyarakat sekitar). Dalam arti

setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan dan aset, begitu pula

setiap masyarakat memiliki masalah namun disisi lain

masyarakat juga memiliki potensi untuk mengatasinya.

Adapun langkah dalam pendekatan teori ABCD adalah

mengidentifikasi dan mengintegrasikan aset lokal yang terdiri

dari:

a. Warga atau masyarakat sekitar, khususnya mereka yang

biasanya terlihat sebagai “yang membutuhkan” dalam

masyarakat, seperti anak muda, penyandang cacat, orang

yang lemah pendapatan, dan mereka yang jauh dari

kesejahteraan.

b. Organisasi lokal baik yang formal atau informal seperti masjid,

gereja, klub buku, tim olahraga dan klub rekreasi, layanan

organisasi, kelompok mandiri, posko perawatan, dan lingkup

pertemanan.

c. Fasilitas yang ada di lingkungan sekitar baik dalam skala kota

atau negara, organisasi seperti pusat medis, bank cabang,

perpustakaan sekolah, fasilitas universitas, dan taman,

termasuk publik dan lembaga swasta.

Ketiga aset lokal inilah yang akan diidentifikasi sehingga

dapat diketahui tentang kebutuhan dan asetnya. Aset yang

20
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri yang nantinya akan menutupi

kebutuhan dan masalah yang ada di dalam masyarakat (Jhon

McKnight, 2010;47).

Setelah tiga aset lokal di identifikasi, maka langkah

selanjutnya adalah mengintregasikan tiga aset lokal ini secara

maksimal, dengan cara produktif membangun hubungan untuk

menghubungkan masyarakat lokal, lembaga, dan fasilitas.

Hubungan yang dijalin pun harus saling menguntungkan bagi

ketiga belah pihak.

2. Aset

Aset adalah kualitas berguna atau berharga, orang atau

benda, sebuah keuntungan atau sumber daya. Sedangkan

Kretzmann dan McKnight mendefinisikan aset sebagai hadiah,

keterampilan dan kapasitas dari individu, asosiasi dan institusi

(Jhon McKnight, 2010;47).

Modal manusia didefinisikan sebagai keterampilan, bakat,

dan pengetahuan anggota masyarakat. Penting untuk mengakui

bahwa tidak hanya orang dewasa bagian dari persamaan modal

manusia, tetapi anak-anak dan remaja juga berkontribusi.

Menurut Arief Hidayatullah dalam Pemberdayaan Masyarakat

Berbasis Aset menjelaskan bahwa aset juga meningkatkan

sumber penghidupan (livelihoods) masyarakat. Dalam hal ini,

21
United Kingdom Departement for International Development

(DFID) mengidentifikasikan adanya 5 (lima) aset dalam sumber

penghidupan (livelihoods) yaitu:

a. Aset Manusia: keterampilan, pengetahuan, kemampuan

untuk bekerja dan pentingnya kesehatan yang baik agar

mampu menerapkan strategi-strategi dalam sumber

penghidupan yang berbeda.

b. Aset Finansial: sumber-sumber keuangan yang digunakan

oleh masyarakat (seperti tabungan, pinjaman atau kredit,

pengiriman uang,atau dana pensiun) untuk dapat memilih

sumber penghidupan yang cocok bagi mereka

c. Aset Sosial: sumber daya sosial (jaringan sosial, anggota

kelompok, hubungan dan kepercayaan, akses yang luas

terhadap institusi sosial) untuk dapat meningkatkan sumber

penghidupan mereka.

d. Aset Fisik: infrastruktur dasar (transportasi, perumahan, air,

energi, dan alatalat komunikasi) dan alat-alat produksi serta

cara yang memampukan masyarakat untuk meningkatkan

sumber penghidupannya.

e. Aset Natural: persediaan sumber-sumber alam (seperti tanah,

air, biodiversifikasi, sumber-sumber yang berasal dari

22
lingkungan dan dapat digunakan dalam sumber penghidupan

masyarakat.

Aset-aset yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh

masyarakat sangat berperan dalam proses pemberdayaan

masyarakat. Misalnya, dalam proses pemberdayaan masyarakat

peran aset manusia sangat mendukung keberlangsungan

pengembangan atau pemberdayaan kapasitas atau kemampuan

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau meningkatkan

kualitas masyarakat harus memperhatikan atau memahami

kondisi masyarakat termasuk aset-aset yang ada di dalamnya.

Karena aset yang ada di dalam masyarakat dapat menjadi

keunggulan yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan

masyarakat. Tidak adanya aset juga menjadi masalah atau

kendala bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas

hidupnya. Melalui pemberdayaan masyarakat maka asetaset

yang belum ada dan penting bagi masyarakat penting untuk

dikembangkan atau diciptakan untuk membantu masyarakat

dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

23
3. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas

1. Pengertian

Pengelolaan Sumber daya Berbasis Komuntas

(Community Based Resources Management) merupakan

strategi pembangunan masyarakat yang memberi peran

dominan kepada masyarakat pada tingkat komunitas untuk

mengelola proses pembangunan, khususnya dalam

mengontrol dan mengelola sumber daya produktif.

Strategi ini mengarah pada penguatan mekanisme

dalam pengelolaan sumber daya agar lebih efektif terutama

dalam rangka pemenuhan kebutuhan lokal. Melalui strategi ini

setiap komunitas dapat mengembangkan sistem dan

mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat

memanfaatkan sumber daya lokal antara lain berupa (tanah,

air, informasi, teknologi, energi manusia dan kereativitas)

yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhan individu

dan kebutuhan kolektif.

Dari pengertian di atas, kinerja dari strategi

Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas dapat dilihat

dari kemampuaannya untuk melakukan mobilisasi sumber

daya yang tersedia agar dapat dimanfaatkan secara lebih

24
produktif, merata dan berkesinambungan guna memenuhi

berbagai kebutuhan warga masyarakat.

Dalam, kenyataannya, setiap masyarakat, lebih-lebih

pada tingkat lokal, memiliki perbedaan dilihat dari berbagai

sudut, baik permasalahan, kebutuhan, potensi yang dapat

dikembangkan maupun tingkat perkembangan sosial

ekonominya.

Sebagaimana diketahui, dalam kehidupan masyarakat

pada tingkat komunitas lebih mudah diorganisasikan berbagai

bentuk tindakan bersama, termasuk tindakan bersama untuk

memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara individual

maupun kebutuhan kolektif. Hal itu disebabkan karena pada

tingkat komunitas masih lebih kental dirasakan adanya

kesadaran kolektif, solidartas sosial dan kesadaran bersama.

Dengan demikian, apabila masyarakat lokal memiliki

komitmen tentang suatu gagasan sebagai bentuk prakarsa

dan kreativitas dari dalam, mereka akan berusaha untuk

memobilisasi sumber daya yang ada melalui tindakan

bersama guna merealisasikan gagasan tersebut.

Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai

dan mengakomodasi perbedaan dan prakarsa lokal, karena

itu mendukung bahkan mendorong tumbuhnya proses yang

25
bersifat swakelola sebagai bentuk kemandirian masyarakat

lokal dalam melakukan aktivitas pembangunannya. Sesuai

dengan berbagai asumsi dan pemikiran yang melandasinya,

maka strategi Pengelolaan Sumber daya Berbasis Komunitas

memiliki beberapa karakteristik utama, diantaranya adalah :

desentralisasi, pemberdayaan, proses belajar sosial dan

keberlanjutan.

2. Pendekatan Partisipasi

a. Pengertian

Karakteristik dari strategi Pengelolaan Sumber daya

Berbasis Komunitas dalam pelaksanaannya terkandung

suatu unsur yang boleh dikatakan mutlak, yaitu partisipasi

masyarakat lokal. Sebagaimana diketahui, pembangunan

pada dasarnya merupakan proses perubahan, dari salah

satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah

perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat

yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun

kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari

perubahan sikap dan perilaku tersebut. Dalam hal ini

aktivitas lokal merupakan media dan sarana bagi

masyarakat dalam melaksanakan partisipasinya. Agar

proses pembangunan dapat berlangsung secara

26
berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada

kesinambungan dan peningkatan yang bersifat kumulatif

dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan

bersama dan aktvitas lokal. Dengan demikian, berarti

pendekatan partispatoris harus dilihat sebagai pendekatan

utama dalam strategi Pengelolaan Sumber daya Berbasis

Komunitas.

Mikkelsen (1999; 64) dalam Soetomo (2008; 438),

misalnya menginventarisasi adanya enam tafsiran dan

makna yang berbeda tentang partisipasi. Pertama,

partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat

kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan

keputusan. Kedua, partisipasi adalah usaha membuat

masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan

menerima dan kemampuan menanggapi proyekproyek

pembangunan. Ketiga, partisipasi adalah proses yang

aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok

terkait mengambil inisiatif dan menggunakan

kebebasannya untuk melakukan hal itu. Keempat,

partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat

setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan,

pelaksanaan dan monitoring proyek, agar memperoleh

27
informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak

sosial. Kelima, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat

dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan

mereka. Tampak bahwa kriteria utama yang digunakan

untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah

adanya keterlibatan tanpa harus mempersoalkan faktor

yang melatarbelakangi dan mendorong keterlibatan

tersebut.

Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat yang

dimaksudkan adalah partisipasi dalam keseluruhan

proses pembangunan mulai dari pengambilan keputusan

dalam identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan

program, pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan

menikmati hasil. Partisipasi sebagai alat sekaligus tujuan.

Dengan demikian, dalam proses pembangunan akan

terjadi perkembangan dan peningkatan kapasitas

masyarakat secara kumulatif yang tercermin dalam proses

yang berkelanjutan.

Dengan partisipasi masyarakat dalam berbagai

tindakan bersama melalui aktivitas lokal, telah terjadi

proses belajar sosial yang kemudian dapat meningkatkan

kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara lebih

28
baik dalam tindakan bersama dan aktivitas lokal

berikutnya. Dari sudut pandang yang lain, partisipasi

masyarakat dalam pembangunan juga dapat

berkedudukan sebagai input sekaligus output. Partisipasi

masyarakat menjadi salah satu faktor pendukung

keberhasilan pembangunan, di lain pihak, juga dapat

dikatakan bahwa pembangunan berhasil kalau dapat

meningkatkan kapasitas masyarakat, termasuk dalam

berpartisipasi. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk

berpartisipasi secara lebih baik sebagai salah satu tolak

ukur keberhasilan pembangunan juga merupakan

pencerminan, bahwa dalam pembangunan masyarakat

lebih memberikan fokus perhatian pada aspek manusia

dan masyarakatnya bukan semata-mata pada hasil secara

fisik materil.

b. Persoalan Yang Muncul

Banyak terdengar keluhan bahwa pemerintah atau

penguasa seringkali terlalu memaksakan program yang

sudah dirancang secara terpusat tanpa melakukan

konsultasi dengan masyarakat yang akan menjadi

sasaran program. Dilain pihak, juga sering dikemukakan

adanya kenyataan, bahwa walaupun sudah dibuka

29
kesempatan kepada masyarakat dan diberi sarana serta

media untuk melakukan partisipasi, terutama dalam

perencanaan, masyarakat tidak menggunakan

kesempatan dan peluang tersebut. Kemudian muncul

pertanyaan “apakah sebetulnya masyarakat lokal

memang ingin berpartisipasi”.

Dalam kondisi tertentu barangkali hal tersebut

memang disebabkan karena masyarakat belum siap atau

belum termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan

pembangunan. Walaupun demikian, juga tidak tertutup

kemungkinan persoalannya tidak terletak pada rendahnya

keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Sebagai

contoh, barangkali perlu dikaji dan dilihat efektivitas media

dan sarana yang disediakan untuk berpartisipasi.

Sebagaimana diketahui, untuk keperluan pelaksanaan

pembangunan, tidak jarang pemerintah menciptakan

lembaga baru dalam masyarakat dengan harapan dapat

berfungsi sebagai wadah dan media partisipasi

masyarakat dalam pembangunan serta sebagai sarana

komunikasi antara instansi yang melaksanakan program

dengan masyarakat. Walaupun demikian, dalam

kenyataannya jarang dari lembaga ini yang berhasil

30
mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga

menjadi tidak dapat berfungsi sebagaiman diharapkan. Di

samping itu, suasana dan iklim dalam forum yang

diciptakan mungkin juga kurang mendukung. Suasana

yang terlalu formal seringkali juga membuat komunikasi

menjadi macet oleh karena masyarakat terbiasa

mengemukakan aspirasi dan pendapat dalam situasi yang

informal.

Faktor struktural dan kultural masyarakat yang

bersangkutan seringkali juga perlu dipertimbangkan dalam

mendorong munculnya partisipasi warga masyarakat

terutama dalam proses pengambilan keputusan. Tidak

jarang aspirasi, ide, pendapat dan usulan dari warga

masyarakat tidak muncul dalam forum yang juga dihadiri

oleh pimpinan dan elit lokal. Bukannya mereka tidak

mempunyai ide dan aspirasi, tetapi suasana struktural

cenderung mendorong mereka mengikuti dan menyetujui

apa yang sudah disampaikan oleh elit dan pimpinannya.

Oleh sebab itu, untuk menghilangkan gejala yang

cenderung bersifat paternalistis tersebut memang

membutuhkan proses yang dalam pembahasan

sebelumnya disebut sebagai proses belajar sosial. Dalam

31
proses ini pada tingkat masyarakat lokal diperlukan

perubahan dari dua arah, baik dari elit dan pimpinan lokal

agar bersedia mengurangi dominasinya, dan dari warga

masyarakat agar belajar untuk berani mengungkapkan

aspirasinya meskipun berbeda dengan elitnya.

Pertanyaan yang lain “apakah masyarakat tahu dan

mengerti apa yang seharusnya menjadi permasalahan

dan kebutuhannya”. Pertanyaan tersebut meragukan

kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan identifikasi

masalah dan identifikasi kebutuhan. Keraguan itu sering

menggunakan dasar adanya anggapan terutama oleh

pihak pemerintah, bahwa pada saat masyarakat lokal

diberi kesempatan untuk melakukan identifikasi kebutuhan

sebagai bahan untuk pengambilan keputusan, yang

mereka lakukan adalah identifikasi keinginan yang

seringkali dianggap kurang realistis dan sulit

dilaksanakan. Guna memahami secara proporsional

kenyataan ini pun diperlukan pemikiran yang cermat.

Barangkali memang benar, dalam masyarakat tertentu

kapasitas masyarakat untuk melakukan identifikasi

kebutuhan masih rendah, tetapi hal tersebut tidak harus

menjadi alasan untuk tidak memberikan kesempatan bagi

32
warga masyarakat berpartisipasi dalam proses

pengambilan keputusan. Apabila ternyata kapasitas masih

rendah, yang harus dilakukan adalah meningkatkannya

melalui proses belajar sosial.

Dalam banyak kasus yang terjadi, persoalannya bukan

pada kapasitas masyarakat untuk melakukan identifikasi

kebutuhan, karena pada dasarnya masyarakat lokal itu

sendiri yang paling tahu apa yang menjadi masalah dan

kebutuhannya. Persoalannya seringkali terletak pada

perspektif yang digunakan untuk mengidentifikasi

kebutuhan. Pihak eksternal termasuk aparat birokrasi

mendefinisikan kebutuhan masyarakat tidak

menggunakan prespektif masyarakat lokal, melainkan

menggunakan perspektif meraka. Sesuai dengan sifat

pendekatan yang sentralistis dan top-down,

programprogram cenderung dirancang secaraterpusat

dari atas. Desain yang sudah dirancang dari atas inilah

yang seringkali digunakan sebagai acuan untuk menilai

usulan dari bawah. Apabila usulan dari bawah tadi tidak

masuk dalam bingkai desain yang sudah dibuat, kemudian

dianggap bukan kebutuhan yang nyata tetapi sekadar

keinginan. Dalam hal ini seringkali tamoak adanya

33
berbagai kepentingan yang berbeda, dan persoalannya,

kepentingan mana yang lebih diakomodasi, kepentingan

lokal, regional atau nasional.

Dengan berpegang pada asumsi bahwa pada

dasarnya masyarakat lokal yang paling tahu masalah dan

kebutuhan yang ada di lingkungannya karena mereka

yang terlibat dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-

hari, maka persoalan yang sesungguhnya bukan

kapasitas masyarakat dalam melihat apa yang menjadi

kebutuhan dan masalah, tetapi pada cara dan media

dalam mengungkapkannya. Oleh sebab itu, perlu dipilih

dan dikembangkan cara dan media yang tepat dan

kondusif yang memungkinkan warga masyarakat tidak

terhambat dalam mengungkapkan aspirasinya. Dalam hal

yang terkait dengan pihak eksternal yang melaksanakan

program dan kegiatan pada tingkat masyarakat lokal,

maka bukan hanya masyarakat lokal yang harus selalu

dituntut untuk menyesuaikan diri dengan cara dan

kerangka berpikir pihak eksternal, tetapi terutama adalah

pihak eksternal yang harus mampu menyelami dan

memahami cara dan kerangka berpikir masyarakat lokal.

Melalui cara ini pihak eksternal akan mampu mengetahui

34
dan menyerap kebutuhan yang betul-betul dirasakan oleh

warga masyarakat, bukan penyerapan aspirasi kebutuhan

sebatas yang tampak di atas permukaan realitas

kehidupan sosialnya. Hal itulah yang sesungguhnya

merupakan prinsip dari proses belajar sosial yang

merupakan unsur pokok dari pendekatan dan strategi ini,

yang mana proses belajar tadi tidak hanya dituntut

dilakukan oleh masyarakat lokal, tetapi juga berlaku bagi

pihak eksternal.

Persoalan lain yang tidak kalah penting dalam

identifikasi masalah dan kebutuhan pada tingkat lokal ini

adalah telah berkembangnya semacam opini, persepsi

atau image di kalanga masyarakat luas, walaupun belum

tentu benar, tentang unsur-unsur yang ada agar

pembangunan di suatu tempat dikatakan berhasil.

Tumbuhnya opini atau kesan semacam itu tidak dapat

dilepaskan dari pendekatan uniformitas yang dalam

periode yang cukup lama pernah diterapkan. Oleh sebab

itu, tidak mengherankan apabila opini, image dan kesan

tersebut yang kemudian menjadi semacam acuan dalam

identifikasi kebutuhan. Hal-hal atau unsur yang belum ada

sesuai dengan image tersebut akan ditempatkan sebagai

35
kebutuhan bahkan dalam prioritas yang tinggi, walaupun

sebetulnya dilihat dari kepentingan masyarakat lokal

bukan merupakan kebutuhan yang mendesak. Sebagai

contoh keberadaan gerbang desa, bahkan di setiap jalan

dan gang, pagar halaman yang seragam, pendek kata

bangunan fisik yang mencerminkan wajah desa dianggap

sebagai symbol keberhasilan pembangunan. Oleh sebab

itu, apabila hal-hal tersebut belum dimiliki oleh suatu desa,

maka secara cepat akan ditempatkan sebagai kebutuhan

dalam prioritas tinggi, walaupun sebetulnya ada

kebutuhan yang lebih mendesak dilihat dari pemenuhan

kebutuhan dasar warga masyarakatnya.

c. Strategi Pengembangan Partisipasi

Mikkelsen (1999; 66) dalam Soetomo (2008; 447),

mengemukakan bahwa terdapat beberapa pertimbangan

rasional yang mendasari strategi pengembangan

partisipasi masyarakat. Secara normative asumsi yang

mendasarinya adalah bahwa masyarakat lokal harus

memperoleh proyek dan program pembangunan yang

mereka tentukan sendiri. Asumsi normatif ini didasari oleh

asumsi deduktif bahwa masyarakat lokal yang paling tahu

apa yang menjadi masalah dan kebutuhannya, dan

36
mereka memiliki hak dan kemampuan untuk menyatakan

pikiran dan kehendaknya tadi. Dengan demikian, apabila

program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan di

tingkat lokal didasari oleh keputusan yang diambil

masyarakat sendiri maka program tersebut akan lebih

relevan dan lebih menyentuh permasalahan dan

kebutuhan yang dirasakan masyarakat.

Asumsi normatif dan asumsi deduktif tersebut

kemudian dapat dilanjutkan dengan pengembangan

asumsi teoretik yang menjelaskan hubungan sebab

akibat. Beberapa asumsi teoretik yang dikembangkan

Mikkelsen lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut ini.

Pertama, tujuan pembangunan dapat dicapai secara

harmonis dan konflik antar kelompokkelompok

masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi

setempat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat adalah

mungkin. Kedua, pembangunan menjadi positif apabila

ada partisipasi masyarakat. Asumsi ini ingin

menempatkan partisipasi masyarakat sebagai sarana

sekaligus tujuan dari proses pembangunan. Ketiga,

pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan

partisipasinya, karena pemerintah tidak akan

37
mengeluarkan biaya untuk program pembangunan yang

ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri

mempunyai kemampuan untuk memaksa pemerintahnya.

Keempat, kurangnya partisipasi masyarakat dalam

program pembangunan berarti ada penolakan secara

internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri, dan

secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana

program. Kurangnya partisipasi masyarakat juga dapat

disebabkan oleh adanya struktur sosial yang tidak

memungkinkan masyarakat berpartisipasi. Hambatan

struktural yang sering termanifestasikan dalam bentuk

konflik kepentingan perlu diatasi melalui musyawarah

mufakat, atau menghilangkan struktur sosial yang

menghambat melalui reformasi structural.

Dari berbagai bentuk dan jenis strategi pengembangan

partisipasi tersebut dapat dibedakan berdasarkan

kedalaman dan keluasan partisipasi yang diharapkan dari

warga masyarakat di satu pihak, dan proporsi peranan

yang dilakukan oleh pihak eksternal di lain pihak.

Mikkelsen (1999; 69) dalam Soetomo (2008; 449),

dijelaskan dan diuraikan berdasarkan kriteria tersebut

membedakan adanya empat pendekatan untuk

38
mengembangkan partisipasi masyarakat. Pertama,

pendektan partisipasi pasif, pelatihan dan informasi.

Pendekatan ini berdasarkan pada anggapan bahwa pihak

eksternal yang lebih tahu, lebih menguasai pengetahuan,

teknologi, skill dan sumber daya. Dengan komunikasi satu

arah, dari atas ke bawah, hubungan pihak eksternal dan

masyarakat lokal bersifat vertikal.

Kedua, pendekatan partisipasi aktif. Dalam

pendekatan ini sudah dicoba dikembangkan komunikasi

dua arah, walaupun pada dasarnya masih berdasarkan

pra anggapan yang sama dengan pendekatan yang

pertama, bahwa pihak eksternal lebih tahu dibandingkan

masyarakat lokal. Pendekatan ini sudah mulai membuka

dialog, guna memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk berinteraksi secara lebih intensif

dengan para petugas dari institusi eksternal. Salah satu

contohnya adalah pendekatan pelatihan dan kunjungan.

Ketiga, pendekatan partisipasi dengan keterikatan.

Pendekatan ini mirip kontrak sosial antara pihak eksternal

dengan masyarakat lokal. Dalam keterikatan tersebut

dapat disepakati apa yang dapat dilakukan masyarakat

lokal dan apa yang harus dilaksanakan dan diberikan

39
pihak eksternal. Masyarakat setempat, baik sebagai

individu maupun sebagai kelompok kecil, diberikan pilihan

untuk terikat pada sesuatu dengan tanggung jawab atas

setiap kegiatan pada masyarakat dan juga pada pihak

eksternal. Dalam model ini masyarakat setempat

mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan

kegiatan yang telah disepakati dan mendapat dukungan

dari pihak eksternal baik finansial maupun teknis.

Keuntungan dari pendekatan ini adalah memberikan

kesempatan kepada masyarakat lokal untuk bekerja

sambil belajar dalam melakukan pengelolaan

pembangunan. Keuntungan yang lain adalah dapat

dilakukan modifikasi atas model yang disepakati sesuai

dengan tujuan yang diinginkan.

Keempat, partisipasi atas permintaan setempat.

Bentuk ini mencerminkan kegiatan pembangunan atas

dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat.

Kegiatan dan peranan pihak eksternal lebih bersifat

menjawab kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan

oleh masyarakat lokal, bukan kebutuhan berdasarkan

program yang dirancang dari luar. Bagi pihak eksternal,

dalam pendekatan ini tidak ada rancangan program dari

40
luar yang harus dilaksanakan oleh masyarakat lokal, tidak

ada target waktu, tidak ada target anggaran yang sudah

ditetapkan sebelumnya, serta yang lebih penting tidak ada

sistem komando atau instruksi dari pihak eksternal kepada

masyarakat. Dilihat dari pendekatan proses belajar sosial,

pendekatan yang terakhir ini yang leboh sesuai dan

banyak digunakan dalam praktik di lapangan. Sebagai

salah satu contoh dalam pelaksanaan yang lebih teknis

dan operasional dapat disebutkan pendekatan

Participatory Rural Appraisal (PRA), yang kemudian

dikembangakan ke dalam pendekatan perencanaan yang

partisipatif. Dalam pendekatan tersebut sudah

dikembangkan dan banyak dipraktekkan langkah-langkah

dan teknis pendekatan yang lebih rinci. Kesemuanya itu

merupakan perwujudan dari proses belajar sosial.

d. Forum Antar Stakeholders

Sebagaimana diketahui, proses pembangunan

melibatkan tiga stakeholders: negara, swasta dan

masyarakat. Unsur masyarakat dapat berupa masyarakat

lokal atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dilihat

dari dimensi ruang, masyarakat lokal merupakan bagian

dari perkembangan suatu kawasan tertentu. Oleh sebab

41
itu, dapat dipahami adanya hubungan timbalbalik antara

perkembangan masyarakat lokal dengan perkembangan

suatu kawasan. Berbagai peluang pada tingkat regional

dapat diantisipasi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan

kehidupan masyarakat lokal, dan sebaliknya

perkembangan masyarakat lokal juga sering memberikan

51 kontribusi yang berarti bagi perkembangan suatu

kawasan. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam

perencanaan dan pengelolaan perkembangan suatu

kawasan, perlu juga melibatkan masyarakat lokal sebagai

salah satu stakeholder di samping stakeholders lain.

Dengan kata lain, partisipasi masyarakat lokal tidak hanya

terbatas pada lingkungan masyarakat lokal, tetapi juga

dalam perkembangan lingkungan yang lebih luas, yaitu

perkembangan kawasan.

Untuk maksud tersebut, dalam pengembangan suatu

kawasan, dirasa perlu kehadiran suatu forum yang dapat

memfasilitasi dan menjadi media interaksi antar

stakeholders. Forum tersebut dapat terdiri dari unsur

pemerintah, unsur swasta, unsur LSM dan masyarakat

lokal. Berbagai aspirasi, kepentingan dan ide dapat

diakomodasi dan didialogkan melalui forum tersebut,

42
termasuk dalam merencanakan dan mengelola

perkembangan kawasan yang bersangkutan. Hal ini

sangat penting agar di kemudian hari tidak terjadi saling

tuding apabila dalam perkembangan kawasan tersebut

ternyata mengarah pada hal-hal yang tidak diharapkan.

Melalui keberadaan forum tersebut walaupun tidak harus

dalam posisi yang bersifat formal, dapat dikembangkan

tanggung jawab bersama baik dalam proses

perencanaan, pelaksanaan maupun memetikm manfaat.

Dengan demikian, proses interaksi dan dialog dalam

kesetaraan melalui forum tersebut akan dapat memenuhi

prinsip bahwa: kontrol terhadap suatu pengambilan

keputusan dan terhadap tindakan untuk melaksanakan

keputusan tersebut harus ada pada pihak-pihak yang akan

menanggung akibat dari keputusan dan tindakan yang

diambil. Pada dasarnya, walaupun dalam intensitas yang

berbeda, akibat dari keputusan dan tindakan tadi akan

dirasakan oleh semua stakeholders yang ada.

Apabila dilihat dari sisi yang lain, forum tersebut di

samping dapat menjadi media untuk menjalin dan

mengembangkan kerja sama dan hubungan yang bersifat

sinergis antar pihak-pihak terkait, juga dapat menjadi

43
media untuk menyelesaikan konflik yang sangat mungkin

terjadi antar berbagai pihak terkait tadi. Apabila kawasan

semakin berkembang, peluang ekonomis semakin besar,

maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya benturan

kepentingan yang menjurus pada terjadinya konflik.

Konflik yang muncul tidak hanya terbatas antar

stakeholders dalam kawasan yang sama, tetapi dapat pula

dengan kawasan lain yang setingkat atau dengan

kawasan yang memilki hierarki regional yang lebih tinggi.

e. Pentingnya Istitusi Lokal

Nugroho (2001; 141) dalam Soetomo (2008; 455),

menjelaskan kebijakan yang bersifat sentralistis dan

kedudukan masyarakat yang cenderung sebagai objek

pembangunan telah mendorong terjadinya penetrasi

negara dan pasar yang berlebihan dalam masyarakat,

khususnya masyarakat lokal. Hal itu menyebabkan dalam

realitas ekonomi, sosial dan politik kehidupan bangsa,

melalui proses yang cukup panjang peranan negara dan

pasar jauh lebih kuat dari sektor masyarakat. Penetrasi

negara telah masuk terlalu jauh dalam kehidupan

masyarakat, demikian juga ekspansi pasar tak

berbendung dan membuat posisi tawar masyarakat

44
terhadap modal besar sangat rendah. Dalam kondisi

seperti itu kepanjangan tangan kepentingan negara dan

pasar dibangun sampai pada kehidupan masyarakat

terbawah atau yang paling dasar, sementara masyarakat

yang berada dalam posisi yang lemah tidak kuasa

mengimbanginya. Sebagai akibatnya, idealism bahwa

kebijakan publik akan mencerminkan aspirasi individu

atau warga masyarakat tidak pernah dapat terwujud.

Bahkan, tidak jarang kebijakan publik tersebut berlaku

coercive bagi masing-masing individu, sehingga akibatnya

individu mengalami alienasi dan ketidakberdayaan dalam

menghadapi kebijakan publik.

Kenyataan tersebut telah mengakibatkan

ketidakberdayaan masyarakat dalam berhadapan dengan

negara dan pasar, sehingga mengakibatkan sebagian

lapisan masyarakat semakin termarginalisasi dengan

kondisi kesejahteraan sosial dan rendah. Oleh sebab itu,

apabila berbicara tentang hubungan antar stakeholders,

maka posisi masyarakat khususnya masyarakat lokal

berada dalam kondisi yang lebih lemah dibanding negara

dan pasar atau sektor swasta. Dengan demikian,

hubungan sinergis yang bersifat saling menguntungkan

45
sulit diharapkan, bahkan sangat potensial menjurus pada

hubungan yang eksploitatif. Sebagaimana sudah dibahas,

upaya paling strategis untuk keluar dari kondisi tersebut

adalah melalui pemberdayaan. Sehubungan dengan

upaya pemberdayaan ini, apabila dilakukan secara

individual, kedudukan warga masyarakat lokal tetap lemah

dan posisi tawar terhadap negara dan pasar juga kurang

kuat. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya tindakan

bersama, terutama tindakan bersama melalui institusi

sosial yang ada pada tingkat lokal. Institusi lokal ini

diharapkan dapat berkedudukan sebagai struktur mediasi

yang dapat menjembatani kehidupan privat dan kehidupan

politik. Nugroho (2001; 142) dalam Soetomo (2008; 456),

mendefinisikan struktur mediasi sebagai lembaga-

lembaga yang mempunyai posisi di antara wilayah

kehidupan individu secara privat dengan lembaga makro

yang berhubungan dengan kehidupan publik. Kedua

bidang tersebut saling berinteraksi melalui berbagai cara,

tetapi kehidupan privat cenderung selalu berada dalam

posisi inferior, sebab pemaknaan dalam dunia modern

lebih dikuasai oleh kehidupan publik. Dengan demikian,

melalui struktur mediasi tersebut masyarakat diharapkan

46
lebih memiliki posisi tawar sehingga berbagai kebijakan

publik menjadi lebih responsif dan akomodatif terhadap

kepentingan masyarakat.

Uphoff (1986; 4) dalam Soetomo (2008; 456),

mengemukakan instutusi pada tingkat lokal yang menjadi

saluran penghubung antara sektor privat dan sektor publik

tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam enam macam. (a)

administrasi lokal yang merupakan kepanjangan tangan

atau perwakilan departemen pemerintah pusat pada

tingkat lokal, (b) pemerintahan lokal yang mempunyai

otoritas untuk menyelenggarakan pembangunan dan

membuat regulasi yang dipertanggungjawabkan kepada

warga masyarakat, (c) asosiasi lokal yang

keanggotaannya bersifat sukarela, yang dikembangkan

untuk berbagai tujuan, (d) koperasi yang merupakan alat

kerja sama anggota untuk memperoleh keuntungan

ekonomis, (e) organisasi pelayanan lokal yang mewadahi

warganya dalam saling membantu secara timbal-balik, (f)

usaha ekonomi perorangan di bidang manufaktur,

perdagangan atau jasa. Untuk kategori masih dapat

dibedakan menjadi tiga yaitu yang memiliki multifungsi

misalnya komite desa, yang mempunyai misi spesifik

47
seperti organisasi pengelola air dan yang mewadahi

kebutuhan khusus anggota seperti arisan ibu-ibu.

Uphoff (1986; 5) dalam Soetomo (2008; 457),

mengemukakan lebih lanjut tentang kategori administrasi

lokal dan pemerintahan lokal diklasifikasikan sebagai

sektor publik, asosiasi lokal yang bersifat sukarela dan

koperasi diklasifikasikan sebagai sektor sukarela,

kemudian organisasi pelayanan lokal dan usaha ekonomi

perorangan diklasifikasikan sebagai sektor privat. Dalam

pembahasan berikut akan lebih difokuskan pada sektor

sukarela yaitu berbagai bentuk institusi yang tumbuh

dalam masyarakat lokal dengan keanggotaan bersifat

sukarela. Pilihan tersebut didasarkan atas pertimbangan,

bahwa dilihat sebagai suatu continuum asosiasi sukarela

atau sektor sukarela ini berada di antara institusi lokal

yang termasuk sektor publik dan sektor privat. Institusi

seperti ini dapat memfasilitasi berbagai tindakan bersama

berdasarkan inisiatif lokal yang diputuskan bersama dan

atas tanggung jawab bersama pula, sehingga tidak

dikontrol, dikendalikan atau tergantung dari program-

program pemerintah.

48
Berbagai lembaga bentukan pemerintah yang didesain

seolah-olah sebagai instrument proses perencanan dari

masyarakat yang bersifat bottomup, tetapi sebetulnya

sekedar prosedural dan formalitas untuk melegitimasi

penetrasi dan dominasi pemerintah. Pada masa lampau

LKMD memang dikenal sebagai lembaga bentukan

pemerintah yang harus ada di setiap desa, sebagai

instrument aktualisasi pendekatan yang bersifat

sentralistis, top-down dan blueprint approach. Pada era

sekarang hal itu sudah dianggap tidak cocok.

Oleh sebab itu, di beberapa kabupaten kemudian

muncul Perda atau dalam bentuk keputusan bupati yang

mengatur pergantian lenbaga tersebut. Secara sepintas

bentuknya memang tidak lagi sebagai instruksi

penyeragaman, karena diserahkan kepada masing-

masing masyarakat. Hanya saja, apabila masyarakat

masih ingin membentuk lembaga pengganti LKMD

polanya diatur dalam Perda tersebut. Dalam hal nama

lembaga baru tersebut, di antara kabupaten satu dengan

yang lain memang tidak seragam. Demikan juga bentuk

peraturannya. Di kabupaten tertentu diatur dalam

Keputusan Bupati dan lembaga baru yang dinamakan

49
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD),

sedangkan di kabupaten yang lain diatur dalam bentuk

Peraturan Daerah (Perda), yang menyebutkan bahwa

nama lembaga baru tersebut diserahkan kepada masing-

masing desa. Dalam Perda tersebut jga terdapat

ketentuan lain yang mengatakan bahwa lurah, pamong

desa, sekretaris BPD dan anggota BPD tidak boleh

menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan tadi. Secara

umum tampaknya sudah ada upaya untuk mengurangi

porsi campur tangan negara, dan lebih bersifat

demokratis. Walaupun demikian, karena pendekatan

keseragaman dan sentralistis sudah cukup lama

mewarnai kehidupan kelembagaan desa, maka sangat

mungkin terjadi dalam operasionalisasinya banyak desa

yang lebih memilih sekedar mengganti nama LKMD

dengan nama baru, sedangkan substansi dan cara

kerjanya tetap sama. Dengan kata lain, orang bisa lebih

tertarik kepada kemasannya dibanding isi atau

substansinya. Dari pengamatan sementara, memang

kecenderungan terakhir itulah yang banyak terjadi,

sehingga pemberdayaan masih banyak sebatas retorika

dibandingkan realita.

50
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Bermacam-macam metode penelitian bila dilihat dari
landasan filsafat,data dan analisisnya dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu metode penelitian kuantitatif, metode penelitian kualitatif,
dan metode penelitian kombinasi (mixed methods). Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif.
metode kualitatif dibagi menjadi menjadi lima macam yaitu (1)
Fenomologis, dimana peneliti melakukan pengumpulan data dengan
observasi partisipan untuk mengetahui fenomena esensial partisipan
dalam pengalaman hidup (2) Grounded adalah diaman peneliti dapat
menarik generalisasi, teori yang abstrak tentang proses, tindakan
atau interaksi berdasarkan pandangan dari partisipan yang diteliti (3)
Etnografi adalah dimana peneliti melakukan studi terhadap budaya
kelompok dalam kondisi yang alamiah melalui observasi dan
wawancara (4) kasus adalah dimana peneliti melakukan eksplorasi
secara mendalam terhadap program,kejadian,proses,aktivitas,
terhadap satu atau lebih orang (5) Naratif adalah dimana peneliti
melakukan studi terhadap satu orang individua atau lebih untuk
memperoleh data tentang sejarah perjalanan dalam kehidupan.
Tidak seperti umumnya pendekatan kuantitatif, pendekatan
kualitatif memiliki cara yang berbeda dalam asumsi mengenai
sampel penelitian. Sarantakos (Poerwandari, (1998) menjelaskan
beberapa karakteristik prosedur pengambilan sampel, yaitu sebagai
berikut :

51
a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan
pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhussan masalah penelitian;
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, melainkan dapat
berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya,
sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam
penelitian.
c. Tidak diarahakan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau
peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks.

Metode kuantitatif digunakan untuk dapat melakukan

pengukuran, peneliti melakukan kajian dari berbagai literatur yang

terkait dengan hasil pengamatan langsung dilapangan yang di

jabarkan kedalam beberapa komponen sub variabel/indikator.

Setiap sub variabel/indikator yang di tentukan dan di ukur melalui


perhitungan ilmiah berasal dari sampel masyarakat asli dan
masyarakat pendatang serta pengembang pada Kecamtan
Manggala yang diminta menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang
survey untuk menentukan frekuensi dan persentase tanggapan
mereka dengan memberikan angka yang berbeda-beda sesuai
dengan kategori informasi yang berkaitan dengan sub
variabel/indikator tersebut. Proses penelitian yang dilakukan dapat
dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini.

52
Proses penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar
3.1 dibawah ini.

Gambar 3.1. Proses Kombinasi Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif


(Diadaptasi dari Surya, 2010 : 129 , dengan Modifikasi)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Bungku Utara yang
merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Morowali Utara. Lokasi penelitian ini dengan didasarkan
pertimbangan-pertimbangan bahwa Kecamatan Bungku Utara
ditetapkan sebagai lokasi Rencana Kawasan Agropolitan
didasarkan atas kriteria yang ada serta berdasarkan arahan dari
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2015 (Perda No. 12 Tahun
2015) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Morowali Utara Tahun 2015-2035. Dan, karena sebagian besar

53
masyarakat dikawasan tersebut didominasi oleh kegiatan
pertanian atau agribisnis, termasuk didalamnya usaha industri
(pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian,
perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan),
agrowisata dan jasa pelayanan. Selain itu, memiliki sumberdaya
lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan
komoditi pertanian khususnya pangan, yang dapat dipasarkan
atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi
unggulan).
2. Waktu Penelitian

Tabel 3.1

Schedule Pelaksanaan Penelitian Skripsi

Waktu

no Agenda Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
1
Sinopsis
Persiapan
2 Berkas
(SK)
Penyusun
3 an Bab I,II,
& III
Survei
4 Pengambil
an Data
Penyusun
5 an Bab IV
Dan V
Seminar
6
Hasil
Seminar
7
Tutup

54
C. Populasi dan Sample
1. Populasi
Masyarakat yang berada diwilayah penelitian atau kawasan
agropolitan kecamatan Bungku Utara.
2. Sample
Adapun Teknik penarikan sample yang yang digunakan
dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu pemilihan
sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya. Untuk itu selalu dipilih
informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya sebagai
sumber data yang mantap serta mengetahui permasalahan yang
diteliti secara mendalam (Sutopo,1993:27)
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memilih
informan/responden kunci yang dipandang paling mengetahui
permasalahan seperti petani, pelaku agribisnis, kepala desa,
para ketua adat, dan informan kunci lainnya yang merupakan
masyarakat kawasan agropolitan kecamatan Bungku Utara yang
telah berdomisili atau tinggal kurang lebih 10 tahun. Secara
matematis besaran sample dari suatu populasi menggunakan
rumus slovin, yaitu sebagai berikut :
n
n=
1+N e2
Keterangan :
n : Jumlah Sampel
N : Jumlah populasi
e : Koefisien kelonggaran ketidak telitian karena kesalahan
pengambilan sample yang masih dapat ditoleransi atau
diinginkan.

55
Berdasarkan rumusan tersebut, maka hasilnya adalah sebagai
berikut :

16.146
n=
1 + (16.146 x 0.01)

16.146
n=
162,46
n = 99 Responden

Jadi yang menjadi sample adalah sebanyak 99 orang responden.


D. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Data
Kualitatif merupakan jenis data yang berupa kondisi objek dalam
ruang lingkup penelitian atau data yang tidak bisa langsung
diolah dengan menggunakan perhitungan matematis tetap
dengan narasi dan hanya terbatas pada teknik pengolahan data
seperti membaca grafik, tabel, gambar yang kemudian dilakukan
penafsiran atau analisis.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan, digolongkan ke dalam 2
kelompok, yaitu data primer dan data sekunder. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam uraian berikut :
a. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
hasil observasi lapangan seperti data yang diperoleh dari
responden atau nara sumber melalui wawancara dan
observasi langsung dilapangan. Observasi dilakukan untuk

56
mengetahui kondisi kualitatif objek studi. Jenis data yang
dimaksud meliputi :
1) Pengamatan langsung berupa data kondisi fisik
kawasan dan pola penggunaan lahan.;
2) Wawancara mendalam terhadap pemerintah.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui instansi-
instansi yang terkait seperti data pendukung baik dalam
bentuk deskriptif. Data-data yang pendukung yang dimaksud
adalah :
1) Dinas PU dan Tata Ruang berupa data geografi wilayah,
sarana dan prasarana;
2) Kantor badan pusat statistik berupa data demografi;
3) Kantor kecamatan Bungku Utara berupa data kondisi
fisik wilayah kecamatan;
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terbagi atas:
1. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(Interview) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(Interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2005).
Digunakan Teknik wawancara dalam penelitian ini untuk 3
maksud utama, Yaitu (Kerlinger, 2000) :
a. Sebagai alat eksplorasi untuk membantu identifikasi variabel
dan memandu tahapan-tahapan lain penelitian;
b. Sebagai instrument utama dalam penelitian yang dirancang
untuk mengukur variabel-variabel penelitian;

57
c. Sebagai pelengkap metode lain, yaitu untuk menghadapi hasil
penelitian yang tidak terduga dan mengetahui motivasi
responden dalam memberikan jawaban dengan cara tertentu.

Pencatatan data selama wawancara penting sekali karena


data yang akan dianalisis didasarkan atas kutipan hasil
wawancara (Moleong, 2005). Oleh karena itu dalam penelitian ini
peneliti menggunakan perekam sebagai alat untuk merekam
proses wawancara. Pemilihan tempat wawancara sesuai dengan
permintaan subjek untuk menjaga kenyamanan sehingga proses
wawancara dapat berlangsung dengan efektif.

Teknik wawancara mendalam ini digunakan untuk


pengumpulan data melalui wawancara khusus dengan penerap
kebijakan yaitu pemerintah sebagai naras umber dalam rangka
memperoleh data dan informasi yang bertujuan untuk
mengetahui dan memahami kondisi serta potensi wilayah yang
diteliti.
2. Survei
Survey adalah teknik pengumpulan data primer untuk
mengetahui kondisi kualitatif objek studi melalui kuesioner yaitu
sejumlah pertanyaan sesuai dengan data yang dibutuhkan terkait
dengan variabel yang diteliti seperti tanggapan responden
mengenai faktor yang mempengaruhi faktor yang mempengaruhi
perkembangan komoditi pertanian di kawasan agropolitan.
3. Observasi
Observasi atau pengamatan, Yaitu Teknik pengumpulan data
primer melalui pengamatan langsung pada lokasi penelitian
menggunakan ceklis guna mendapatkan gambaran dari kondisi
yang ingin diteliti.

58
4. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu Teknik pengumpulan data dengan
mempelajari dokumen yang berasal dari dinas/instansi maupun
literatur-literatur yang berkaitan dengan data-data penelitian.
Studi dokumentasi berkaitan dengan data yang tertulis dan sudah
disajikan oleh pihak yang berkepentingan dalam hal ini pihak
pemeringtah maupun swasta.
F. Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu atribut atau sifat serta nilai dari
seseorang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu
yang di tetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian di
tarik kesimpulanya, menurut Sugiono (2011). Dalam Budiono (2009)
varibel diartikan sebagai suatu sifat yang dapat dimiliki bermacam
nilai/harga apabila suatu variabel hanya mempunyai satu nilai saja,
maka variabel tersebut di sebut konstanta Vink (1983) dan
Soerianegara (1978).
Dalam penelitian ini penulis mengklasifikasikan variabel
kedalam jenis variabel mandiri, Yaitu sebagai berikut :
Tabel 3.2 Variabel Penelitian

VARIABEL PRODUTIFITAS KAWASAN

No. Variabel Mandiri


1 Kelapa Sawit
2 Padi Sawah
3 Kakao
4 Kelapa

Sumber : Hasil Identifikasi 2019

G. Teknik Analisis Data


Metode analisis yang digunakan di dalam penelitian ini sebagai
berikut :

59
1. Analisis Deskriptif Kualitatif
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Metode analisis Deskriktif dengan pendekatan kualitatif
dan teknik pengumpulan datan dilakukan dengan wawancara
mendalam pada responden yaitu pemerintah sebagai pihak yang
terkait penerap kebijakan.
2. Analisis Kuantitatif
Metode analisis deskriptif kuantitatif adalah metode analisis
sebagai bagian dari rumusan masalah kedua (2) yaitu upaya
penerapan metode ABCD dalam upaya peningkatan
produktifitas Kawasan agropolitan di kecamatan Bungku
Utara. Analisis deskriptif kuantitatif ialah menjelaskan fenomena
yang dikaji dengan menggunakan angka-angka untuk
mencandarkan karakteristik individu atau kelompok (Syamsudin
& Damiyanti: 2011).
• Analisis Crosstabulation statistic
Adapun bentuk analisis statistik deskriptif kuantitatif
dengan Perhitungan crosstabulation statistic. Analisis ini
digunakan untuk menentukan faktor perkembangan
komoditas unggulan yang mempengaruhi peningkatan
produktifitas kawasan agropolitan. Perhitungan
crosstabulation statistic merupakan metode analisis yang
mentabulasikan beberapa variabel yang berbeda kedalam
suatu matriks yang hasilnya disajikan dalam suatu tabel
dengan variabel yang tersusun dalam baris dan kolom.
Variabel yang dipilih ialah variabel kategeri bebas.
Perhitungan crosstabulation statistic dilakukan dengan
menyusun data yang diperoleh melalui hasil kuisioner
kemudian dimasukan dalam bentuk tabel frekwensi
sederhana kemudian diketahui persentase yang selanjutnya

60
diinterpresentasikan atau didespritifkan secara mendalam
sesuai dengan tujuan.

• Analisis Proyeksi komoditas unggulan


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perkembagan
komoditas unggulan dengan menggunakan data penduduk
5 tahun terakhir sebagai acuannya, kemudian hasil proyeksi
tersebut dijadikan tolak ukur untuk peningkatan produktifitas
komoditas khususnya komoditas unggulan yang ada
dikawasan agropolitan kecamatan bungku utara.
Dengan menggunakan data hasil produksi komoditas
unggulan 5 tahun terakhir untuk diproyeksikan 5 tahun
kedepan yakni dari tahun 2017 hingga tahun 2021 dengan
menggunakan metode Estrapolasi.

∑𝑡𝑡−1
1 𝛽𝛽𝛽𝛽
Potb = pt + 𝛽𝛽 𝛽𝛽 = (𝑡𝑡−1)

H. Beberapa Devinisi
1. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu
melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan
pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya.
2. Aset adalah kualitas berguna atau berharga, orang atau benda,
sebuah keuntungan atau sumber daya.
3. Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan
melancarkan pelaksanaan suatu usaha.
4. Komunitas adalah sebuah sekumpulan orang mempunyai
sesuatu yang sama secara geografis dan saling mengenal satu
sama lain sehingga tercipta interaksi dan memberikan kontribusi
bagi lingkungannya.

61
5. Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah
sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam
kelompok tersebut.
6. Organisasi adalah sebagai tempat atau wadah untuk orang
berkumpul dan bekerjasama secara rasional dan sistematis,
terencana, terpimpin, dan terkendali, dalam memanfaatkan
sumber daya baik uang, metode, material, lingkungan, sarana
dan prasarana, data dan lain sebagainya yang digunakan secara
efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
7. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi
seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung
jawab di dalamnya atau suatu gejala demokrasi dimana orang
diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam
pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai
dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya.
8. Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam
proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada
dimasyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang
alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya
mengatasi masalah, keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi.
9. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan
dari aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau
jasa kepada pelanggan.
10. Pengembangan adalah memperbaiki atau meningkatkan atau
memajukan sesuatu yang sudah ada.
11. Pengelolaan adalah menggerakkan, mengorganisasikan dan
mengarahkan usaha manusia untuk memanfaatkan secara
efektif material dan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan.

62
12. Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu
meteri atau unsur tertentu dalam kehidupan.
13. Warga Negara adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu
wilayah tertentu.

63
I. Kerangka Berpikir
Eksisting :

- Kawasan agropolitan dikecamatan Bungku Harapan :


Utara kabupaten Morowali menjadi lokasi studi
dalam penelitian ini, karena adanya - Diharapkan adanya penerapan metode
permasalahan produktifitas Kawasan ABCD dalam upaya peningkatan
agropolitan karena kurangnya partisipasi produktifitas Kawasan agropolitan
masyarakat dari metode pengembangan kecamatan Bungku Utara;
agropolitan sebelumnya. - Diharapkan adanya langkah-langkah
- Akibat penurunan produktifitas Kawasan dalam penerapan metode ABCD untuk
agropolitan, pendapatan ekonomi masyarakat meningkatkan produktifitas kawasan
berkurang dan perimbas pada kesejateraan Agropolitan Kecamatan Bungku Utara.
masyarakat Kawasan agropolitan itu sendiri.

Teori : Rumusan Masalah :

- Teori pengembangan Kawasan - Apa yang menyebabkan sehingga pemerintah


- Teori agropolitan kecamatan bungku utara belum menggunakan
- Teori Asset Based Community metode ABCD dalam upaya peningkatan
Development (ABCD) produktifitas Kawasan agropolitan kecamatan
Bungku Utara;
- Bagaimana upaya penerapan metode ABCD
- Analisis Deskriptif dengan pendekatan dalam upaya peningkatan produktifitas Kawasan
Kualitatif agropolitan di kecamatan Bungku Utara.
- Pengumpulan data dilakukan dengan
Teknik wawancara mendalam
Tujuan :

Data : - Untuk mengidentifikasi penyebab rendahnya


produktifitas Kawasan agropolitan Kecamatan
- Pemerintah atau penyelenggara Bungku Utara karena tidak adanya penerapan
pengembangan Kawasan sebagai metode ABCD;
subjek / Nara sumber. - Untuk mengetahui Model Penerapan Asset
- Telaan Pustaka Based Community Development Dalam
- Dokumentasi peningkatan produktifitas Kawasan Agropolitan
di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten
Morowali Utara.
Hasil Analisis :
Manfaat :
- Pengoptimalisasian produktifitas
Kawasan agropolitan - Sebagai bahan masukan dan informasi dasar
- Model Penerapan Kosep ABCD (Asset bagi pemerintah dalam hal perencanaan tata
Based Community Development) dalam ruang kawasan agropolitan khususnya di
peningkatan produktifitas Kawasan Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali
agropolitan. Utara.
- Sebagai informasi bagi pihak – pihak yang
membutuhkan dan penelitian kedepannya.

Kajian :

- Arahan penerapan ABCD guna meningkatkan


pengoptimalisasian produktifitas Kawasan agropolitan.

64
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum kabupaten Morowali Utara


1. Letak Geografis dan Batas Administrasi
a. Letak Geografis
Kabupaten Morowali Utara merupakan salah satu dari 13 (tiga
belas) kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yang
secara geografis terletak pada 1°31' - 3°04' Lintang Selatan dan
121°02' - 123°15' Bujur Timur. Topografi wilayahnya mulai
dari pesisir, dataran rendah, hingga Pegunungan yang
merupakan bagian dari Pegunungan Pompangeo, Paa-Tokala,
Peleru dan Pegunungan Rerende dengan ketinggian wilayah
antara 0-2.500 meter diatas permukaan air laut (mdpl).
Wilayahnya termasuk beberapa pulau kecil di Teluk Towuri dan
Teluk Tolo di Laut Banda seperti Pulau Pangia, Pulau
Tokonanaka, dan Pulau Tokobae.
b. Batas Administrasi
Adapun wilayah administrasi kabupaten Morowali Utara
adalah sebagai berikut :
• Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Tojo Una-una;
• Sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi
Selatan dan Kabupaten Morowali;
• Sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Poso;
• Sebelah timur berbatasan dengan wilayah kabupaten
Banggai dan perairan Teluk Tolo;

Secara administratif luas wilayah Kabupaten Morowali utara


adalah 10.004,28 km² Kabupaten ini adalah kabupaten terluas,

65
terpadat ke-13, dan memiliki populasi terbanyak ke-10 di
Sulawesi Tengah. Kecamatan terluasnya adalah Kecamatan
Bungku Utara dan yang terkecil adalah Kecamatan Petasia
Barat. Kabupaten Morowali Utara terbagi atas 10 Kecamatan
yaitu Kecamatan Mori atas, Kecamatan Lembo, Kecamatan
Lembo Raya, Kecamtan Petasia Timur, Kecamatan Petasia,
Kecamatan Petasia Barat, Kecamatan Mori Utara, Kecamatan
Soyo Jaya, Kecamatan Mamosolato, Dan kecamatan Bungku
Utara, Serta Memiliki 125 Desa/Kelurahan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Dirinci Berdasarkan Kecamatan di


Kabupaten Morowali Utara Tahun 2017
No. Kecamatan Luas (km2) Persentase(%)
1. Mori Atas 1.508,01 15,08
2. Lembo 676,23 6,75
3. Lembo Raya 657,61 6,57
4. Petasia Timur 509,77 5,10
5. Petasia 646,34 6,46
6. Petasia Barat 480,30 4,80
7. Mori Utara 1.048,93 10,48
8. Soyo Jaya 605,51 6,05
9. Bungku Utara 2.406,79 24,06
10. Mamosolato 1.464,99 14,64
Total 10.004,28 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Morowali Utara Dalam Angka Tahun 2017

66
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Morowali Utara

67
2. Aspek Demografi
a. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Morowali Utara pada tahun
2016 menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Morowali Utara
pada tahun 2016 jumlah penduduk di Kabupaten Morowali Utara
sebesar 120.322 jiwa. Jumlah penduduk terbesar terdapat di dua
kecamatan yaitu Kecamatan Petasia dengan penduduk sebesar
17.982 jiwa, dan Kecamatan Bungku Utara dengan penduduk
sebesar 16.146 jiwa. Menurut jenis kelamin, tercatat penduduk
laki-laki sebesar 62.816 jiwa, sedangkan perempuan berjumlah
57.506 jiwa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin/sex
Ratio (SR) penduduk adalah sekitar 109,23 artinya untuk setiap
100 penduduk perempuan terdapat 109 atau 110 penduduk laki-
laki. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2
Banyaknya Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin di
Kabupaten Morowali Utara Tahun 2016
No. Kecamatan Penduduk Sex
Laki-laki Perempuan Jumlah Ratio
1. Mori Atas 6.145 5.456 11.681 112,63
2. Lembo 7.589 7.001 14.598 108,40
3. Lembo Raya 4.285 3.793 8.078 112,97
4. Petasia Timur 7.898 7.058 14.956 111,90
5. Petasia 9.154 8.828 17.982 103,69
6. Petasia Barat 4.226 3.859 8.085 109,51
7. Mori Utara 3.923 3.481 7.404 112,70
8. Soyo Jaya 5.258 4.469 9.737 117,88

68
9. Bungku Utara 8.281 7.865 16.146 105,29
10. Mamosolato 6.816 5.696 11.743 106,16
Total 62.816 57.506 120.322 103,23
Sumber : BPS Kabupaten Morowali Utara Dalam Angka Tahun 2017

b. Distribusi dan Kepadatan Penduduk


Kepadatan penduduk ditentukan oleh jumlah penduduk dan
luas wilayah yang menempati wilayah tersebut.Pada akhir tahun
2016 berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah penduduk
Kabupaten Morowali Utara tercatat sebanyak 120.322 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak 12,03 jiwa/km2 .
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3 mengenai luas
wilayah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Majene tahun
2017 dibawah ini.
Tabel 4.3
Kepadatan Penduduk kabupaten Morowali Utara Dirinci
Menurut Kecamatan Tahun 2016
No. Kecamatan Presentasi Kepadatan
populasi Penduduk
1. Mori Atas 9,64 7,69
2. Lembo 12,13 21.61
3. Lembo Raya 6,71 12,28
4. Petasia Timur 12,43 29,34
5. Petasia 14,94 27,82
6. Petasia Barat 6,72 16,83
7. Mori Utara 6,15 7,06
8. Soyo Jaya 8,09 16,08
9. Bungku Utara 13,42 6,71
10. Mamosolato 9,76 8.02
Total 100,00 12,03

69
Sumber : BPS Kabupaten Morowali Utara Dalam Angka Tahun 2017

Populasi penduduk tertinggi berada di Kecamatan Petasia


dengan Presentasi penduduk sebesar 14,94 dengan tingkat
kepadatan penduduk 27,82/km2 , sedang populasi penduduk
terendah berada di Kecamatan Mori Utara dengan presentase
penduduk 6,15 dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak
7,06 jiwa/km2 dan kepadatan penduduk terendah berada di
Kecamatan Bungku Utara dengan presentasi penduduk
sebanyak 13,42 dengan tingkat kepadatan penduduk hanya
mencapai 6,71 jiwa/km2 .
c. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Morowali Utara pada tahun
2016 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di
Kabupaten Morowali Utara adalah sebanyak 120.322 jiwa.
Jumlah penduduk tertinggi berada di Kecamatan Petasia yaitu
sebanyak 17.982 jiwa, sedangkan wilayah Kecamatan yang
memiliki jumlah penduduk terendah berada di Kecamatan Mori
Utara yaitu sebanyak 7.404 jiwa.
Tabel 4.4
Pertumbuhan Penduduk Kabupaten morowali Utara Dirinci
Menurut kecamatan Tahun 2016

No. Kecamatan Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan


Penduduk 2010-2016 (%)
2010 2016
1. Mori Atas 10.418 11.681 1,89
2. Lembo 20.300 14.598 -4,69
3. Lembo Raya - 8.078 -
4. Petasia Timur - 14.956 -

70
5. Petasia 33.705 17.982 -7,77
6. Petasia Barat - 8.085
7. Mori Utara 6.819 7.404 1,43
8. Soyo Jaya 7.884 9.737 3,92
9. Bungku Utara 14.699 16.146 1,64
10. Mamosolato 10.269 11.743 2,37
Total 104.094 120.322 2,60
Sumber : BPS Kabupaten Morowali Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel diatas yaitu Tabel 4.4 menunjukkan bahwa


rata-rata laju tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten
Morowali Utara pada tahun 2010-2016 dirinci menurut
Kecamatan mengalami kenaikan sebesar 2,60% per tahun.
B. Gambaran Umum Kecamatan Bungku Utara
1. Batas Administrasi
Kecamatan Bungku Utara merupakan salah satu kecamatan
yang termasuk dalam kawasan strategis agropolitan yang
terdapat dalam arahan RTRW Kabupaten Morowali Utara selain
dari Kecamatan Mamosolato, Kecamatan Soyo Jaya dan
kecamatan Lembo.
Adapun batas administrasi Kecamatan Bungku Utara adalah
sebagai berikut :
• Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Mamosolato
dan wilayah kabupaten Tojo Una-una
• Sebelah selatan Berbatasan dengan perairan teluk Tolo
• Sebelah timur berbatasan dengan wilayah kecamatan
mamosolato dan perairan teluk Tolo
• Sebelah barat berbatasan dengan wilayah kecamatan Soyo
jaya

71
Secara administratif Kecamatan Bungku Utara juga merupakan
Kecamatan teluas dari 10 Kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Morowali Utara dengan luas wilayah 2.406,79 Km2 .
Kecamatan Morowali Utara terbagi atas 23 Desa/Kelurahan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.5

Luas Kecamatan Bungku Utara Dirinci Menurut Desa


Tahun 2016

No. Desa/Kelurahan Luas Wilayah Presentase


(Km2) (%)
1. Takonanaka 30,22 1,26
2. Matube 539,39 22,41
3. Posangke 284,92 11,84
4. Tokala Atas 177,03 7,36
5. Uewajo 3,71 0,15
6. Baturube 78,95 3,28
7. Woomparigi 22,38 0,93
8. Tambarobone 7,86 0,33
9. Taronggo 580,51 24,12
10. Uemasi 116,34 4,83
11. Tirongan Atas 59,00 2,45
12. Kalombang 43,19 1,79
13. Tirongan Bawah 32,20 `1,34
14. Tanakuraya 6,95 0,29
15. Opo 118,41 4,92
16. Siliti 30,77 1,28
17. Ueruru 15,08 0,63
18. Lemo 42,35 1,76

72
19. Boba 31,59 1,31
20. Salubiro 117,94 4,90
21. Pokeang 17,00 0,71
22. Uempanapa 21,00 0,87
23. Lemowalia 30,00 1,25
Kecamatan 2.406,79 100,00
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

73
Gambar 4.2 Peta Administrasi Kecamatan Bungku Utara

74
2. Aspek Demografi
a. Jumlah Penduduk
Pada akhir tahun 2016 jumlah penduduk di Kecamatan
Bungku Utara dihuni penduduk sebanyak 16.146 jiwa. Secara
umum kondisi kependudukan di Kecamatan Bungku Utara
dapat dilihat pada penjelasan tabel di bawah ini.
Tabel 4.6
Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Kecamatan Bungku
Utara Tahun 2016

No. Desa/Kelurahan Luas Wilayah Jumlah Rata-rata


(Km2) Penduduk Penduduk
Per-Km2
1. Takonanaka 30,22 314 10
2. Matube 539,39 942 2
3. Posangke 284,92 445 2
4. Tokala Atas 177,03 414 2
5. Uewajo 3,71 896 246
6. Baturube 78,95 1.669 21
7. Woomparigi 22,38 579 26
8. Tambarobone 7,86 971 124
9. Taronggo 580,51 1.283 2
10. Uemasi 116,34 319 3
11. Tirongan Atas 59,00 642 11
12. Kalombang 43,19 518 12
13. Tirongan Bawah 32,20 526 16
14. Tanakuraya 6,95 770 111
15. Opo 118,41 624 5
16. Siliti 30,77 711 23
17. Ueruru 15,08 345 23

75
18. Lemo 42,35 533 13
19. Boba 31,59 438 14
20. Salubiro 117,94 1.826 15
21. Pokeang 17,00 577 34
22. Uempanapa 21,00 397 19
23. Lemowalia 30,00 407 14
Kecamatan 2.406,79 16.146 7
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa


perkembangan penduduk di Kecamatan Bungku Utara yaitu
di desa Baturube merupakan wilayah yang memiliki jumlah
penduduk tertinggi yakni 2.667 jiwa dan jumlah penduduk
terendah berada di Desa Tanakuraya yakni 314 jiwa.
Sementara kepadatan penduduk tertinggi berada di desa
Uewajo yaitu 246 Jiwa/km2 dengan jumlah penduduk 3,71
jiwa dan luas 896 km2, sedangkan kepadatan penduduk
terendah yaitu 2 jiwa/km2 berada di empat desa, yaitu desa
Matube dengan penduduk 942 jiwa dan luas 539,39 km2,
Desa Posangke dengan Penduduk 445 Jiwa dan luas 284,92
km2 , Desa Tokala Atas dengan penduduk 414 jiwa luas
177,03 km2, Dan desa Taronggo berpenduduk 1.283 jiwa
serta luas 580,51 km2.

C. Hasil Identifikasi Kawasan Agropolitan Dengan Pendekatan


Teori ABCD
Sebagaimana yang dikemukan pada bab 2 sebelumnya yakni
tinjauan pustaka terdapat langkah atau faktor dalam pendekatan
teori ABCD untuk mengidentifikasi dan mengintegrasi aset lokal.
Dalam penelitian ini, ada 3 faktor yang diduga mempengaruhi
pengembangan kawasan agropolitan berbasis ABCD di Kecamatan

76
Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara, yaitu : warga/masyarakat,
organisasi lokal, dan fasilitas.
Ketiga faktor tersebut dianalisis berdasarkan hasil identifikasi
aset-aset yang sudah dimiliki Kecamatan Bungku Utara dipadukan
dengan data-data dari BPS Kabupaten Morowali Utara yang terkait
dengan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku
Utara Kabupaten Morowali Utara.
1. Warga dan Masyarakat
a. Aset Manusia
Aset manusia yang dimaksud dalam penelitian ini yakni
pengetahuan, kemampuan untuk bekerja, keterampilan,
serta pentingnya kesehatan yang baik agar mampu
menerapkan strategi-strategi dalam penghidupannya dan
erat kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan
di wilayah penelitian Kecamatan Bungku Utara.
Tabel 4.7
Sebaran Tingkat Pendidikan Yang Terkait Dengan
Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016
Tingkat Jumlah Peserta Lulus
Pendidikan Murid/Siswa Ujian
SD 2.019 232 232
SLTP 503 168 166
SLTA 450 65 65
PTS 247 23 23
Total 3.219 448 446
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.7, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 jumlah murid SD di Kecamatan Bungku

77
Utara sebanyak 2.019 orang dengan jumlah peserta ujian
dan dinyatakan lulus sebanyak 232 orang, jumlah murid
SLTP di Kecamatan Malunda sebanyak 503 orang dengan
jumlah peserta ujian 168 orang dan dinyatakan lulus
sebanyak 166 orang, jumlah murid SLTA sebanyak 450
orang dengan jumlah peserta ujian dan dinyatakan lulus
sebanyak 65 orang, sedangkan jumlah mahasiswa PTS di
Kecamatan Bungku Utara sebanyak 247 dan sebanyak 23
orang telah menyelesaikan pendidikan kuliahnya. Dengan
demikian, dari hasil identifikasi pada tingkat pendidikan tabel
4.7 ini merupakan salah satu peluang atau aset yakni aset
manusia dalam bidang pengetahuan yang terkait dengan
pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku
Utara.

78
Tabel 4.8
Sebaran Kelompok Umur Yang Terkait Dengan
Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016

Kelompok Penduduk
Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0-4 993 936 1.929
5-9 904 886 1.790
10-14 691 701 1.792
15-19 633 551 1.184
20-24 677 690 1.367
25-29 735 698 1.433
30-34 639 618 1.257
35-39 645 554 1.199
40-44 556 588 1.144
45-49 509 459 968
50-54 4439 357 796
55-59 289 292 581
60-64 234 232 466
65-69 157 133 290
70-74 92 79 171
75+ 88 91 179
Total 8.281 7.865 16.146
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.10, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016. Pada kelompok umur 0 – 4 tahun memiliki
jumlah penduduk tertinggi sebesar 1.929 orang dengan
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 993 orang dan penduduk

79
perempuan sebanyak 936 orang, dan jumlah penduduk
terendah pada kelompok umur 75 tahun keatas sebanyak
179 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 88
orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 91 orang.
Tabel 4.9
Sebaran Jumlah Petani Terkait Dengan Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara
Tahun 2016
Jumlah Presentase
Kecamatan Petani
Penduduk (%)
Bungku Utara 4.937 16.146 100
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.9, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 jumlah petani di Kecamatan Bungku Utara
sebesar 3.475 jiwa dari total penduduk sebesar 16.146 jiwa
dengan persentase sebesar 30,5 %. Hal ini dapat menjadi
peluang untuk mengembangkan aset manusia dalam
kemampuan untuk bekerja di Kecamatan Bungku Utara
dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di
wilayah tersebut, melihat banyaknya jumlah petani yang ada.

Tabel 4.10

Sebaran Jumlah Usaha Yang Terkait Dengan


Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016

Sektor Usaha Jumlah


Perdangangan 50
Industri Pertanian 3
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

80
Berdasarkan tabel 4.10, maka dapat diketahui bahwa
pada tahun 2016 jumlah pengusaha kecil pada sektor
perdagangan sebanyak 50 dan industri pertanian sebanyak
3 yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan.
Ini dapat menjadi peluang untuk mengembangkan aset
manusia dalam bidang keterampilan baik pada sektor
industri pertanian maupun perdagangan untuk
meningkatkan perekomonian masyarakat di Kecamatan
Bungku Utara untuk pengembangan kawasan agropolitan di
wilayah tersebut.

b. Aset Finansial
Aset finansial yang dimaksud dalam penelitian ini, terkait
dengan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara ialah sumber-sumber keuangan (lembaga
keuangan) yang digunakan oleh masyarakat untuk dapat
memilih sumber penghidupan yang cocok bagi masyarakat
setempat.
Tabel 4.11
Sebaran Jumlah Lembaga Keuangan Yang Terkait
Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016
Desa Lembagan Keuangan Jumlah
Baturube Agen Bank Rakyat Indonesia (BRI) 1
Tanakuraya Agen Bank Rakyat Indonesia (BRI) 1
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.11, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 terdapat 2 agen Bank Rakyat Indonesia
(BRI) yang berada di Desa Baturube dan Tanakuraya. Hal ini
dapat menjadi peluang untuk mengembangkan aset manusia

81
dalam kemampuan untuk bekerja di Kecamatan Bungku
Utara dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di
wilayah tersebut, melihat adanya 2 lembaga keuangan.
2. Organisasi
a. Aset Sosial
Organisasi yang dimaksud yakni mengenai aset sosial
yang ada pada wilayah Kecamatan Malunda. Aset sosial
yang dimaksud dalam penelitian ini ialah sumber daya sosial
untuk dapat meningkatkan sumber penghidupan masyarakat
yaitu dalam hal kelompok tani, koperasi, dan jumlah pegawai
pada instansi pemerintahan.
Tabel 4.12
Sebaran Kelompok Tani dan Petani Menurut Desa Yang
Terkait Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

Tani Dewasa/
No. Desa Petani
Taruna Tani
1. Takonanaka - -
2. Matube - -
3. Posangke 8 251
4. Tokala Atas 7 244
5. Uewajo - -
6. Baturube 5 323
7. Woomparigi 7 228
8. Tambarobone 8 347
9. Taronggo 12 562
10. Uemasi 6 178
11. Tirongan Atas 7 224
12. Kalombang 6 271

82
13. Tirongan Bawah - 6
14. Tanakuraya 3 162
15. Opo 5 249
16. Siliti 2 181
17. Ueruru 4 161
18. Lemo 7 287
19. Boba 4 150
20. Salubiro 9 486
21. Pokeang 10 283
22. Uempanapa 8 182
23. Lemowalia 8 165
Jumlah 123 4.937
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.12, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 Desa Taronggo memiliki kelompok tani
dewasa/taruna tani tertinggi yaitu 12 dengan jumlah petani
terbanyak yaitu 563, desa Tanakuraya memiliki kelompok
Tani/Taruna Terendah sebanyak 2 dengan jumlah angota
terbanyak yaitu 152. Sedangkan desa Takonanaka, matube,
Uewajo, dan Tirongan Bawah tidak memiliki Kelompok Tani
dan jumlah petani yang banyak karena kondisi wilayahnya yg
berada di pesisir sehingga masyarakatnya cenderung
bermata pencarian sebagai nelayan. Hal ini merupakan
sebuah peluang atau potensi dan aset sosial yang dimiliki
Kecamatan Malunda dalam rangka pengembangan kawasan
agropolitan di wilayah tersebut.

83
Tabel 4.13
Sebaran Usaha Koperasi Unit Desa (KUD) Serta Jumlah
Anggota Menurut Desa Yang Terkait Dengan
Pegembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016

Koperasi Unit Jumlah


No. Desa
Desa (KUD) Anggota
1. Takonanaka - -
2. Matube - -
3. Posangke - -
4. Tokala Atas 1 60
5. Uewajo - -
6. Baturube 1 167
7. Woomparigi - -
8. Tambarobone - -
9. Taronggo - -
10. Uemasi - -
11. Tirongan Atas - -
12. Kalombang 1 83
13. Tirongan Bawah - -
14. Tanakuraya - -
15. Opo - -
16. Siliti - -
17. Ueruru - -
18. Lemo - -
19. Boba - -
20. Salubiro - -
21. Pokeang 1 45

84
22. Uempanapa - -
23. Lemowalia - -
Jumlah 4 355
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.13, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 di Desa Baturube memiliki KUD dengan
jumlah anggota terbanyak yaitu 163 orang, kemudian ada
desa kalombang yang memiliki 83 orang anggota, desa
Tokala Atas dengan 60 Anggota, dan desa Pokeang dengan
45 anggota. Banyaknya anggota masyarakat yang ikut
berpartisipasi dalam organisasi seperti KUD ini merupakan
aset sosial yang ada Kecamatan Malunda.
Tabel 4.14
Sebaran Pegawai Pada Instansi/Jawatan Dinas Menurut
Jenis Kelamin Yang Terkait Dengan Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara
Tahun 2016
Laki-laki Perempuan
Instansi/Jawatan
No. Tidak Tidak Jumlah
Dinas Tetap Tetap
Tetap Tetap
1. Kantor Camat 14 18 3 15 50
Cabang Dinas P
2. 5 1 1 2 9
&K
3. Puskesmas 7 16 18 47 88
4. KUA 5 - 1 - 6
5. PLN 5 - - - 5
6. BKKBN - - 2 - 2
7. PDAM 2 - - - 2

85
Pertanian,
8. Perkebunan, & 7 3 - 6 16
Kehutanan
Kantor Pembantu
9. 2 - - - 2
Pos & Giro
Badan Pusat
10. 1 - - - 1
Statistik
Total 48 38 25 70 181
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.14, maka dapat diketahui bahwa


di Kantor Camat memiliki pegawai tetap laki-laki terbanyak
yakni 14 orang dan terendah di BPS sebanyak 1 orang.
Kantor Camat juga memiliki pegawai tidak tetap sebanyak 18
orang dan pegawai tidak tetap laki-laki terendah di Cabang
Dinas P & K. Sedangkan, pagawai tetap perempuan terbesar
di Puskesmas sebanyak 18 orang dan terendah sebanyak 1
orang di Cabang Dinas P & K dan Kantor Urusan Agama.
Dan, pegawai tidak tetap sebanyak 47 orang di Puskesmas
dan terendah sebanyak 2 orang di Cabang Dinas P & K.
Jumlah total Pegawai Tertinggi sebanyak 88 orang berada
Puskesmas. Banyaknya jumlah pegawai yang berada dalam
naungan instansi pemerintahan setempat juga merupakan
aset sosial yang ada Kecamatan Bungku Utara.

3. Fasilitas
a. Aset Fisik
Aset fisik dalam penelitian ini salah satunya
infrastruktur dasar (air, energi listirik, pasar, fasilitas ibadah,
dan lain-lain) yang memampukan masyarakat untuk
menigkatkan sumber penghidupannya.

86
Tabel 4.15

Sebaran Jumlah Pelanggan PDAM Morowali Utara


Menurut Desa Yang Terkait Dengan Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara
Tahun 2016

No. Desa 2016


1. Takonanaka -
2. Matube -
3. Posangke -
4. Tokala Atas -
5. Uewajo -
6. Baturube 136
7. Woomparigi -
8. Tambarobone -
9. Taronggo -
10. Uemasi -
11. Tirongan Atas 46
12. Kalombang 53
13. Tirongan Bawah 28
14. Tanakuraya 37
15. Opo 8
16. Siliti -
17. Ueruru -
18. Lemo 18
19. Boba -
20. Salubiro -
21. Pokeang -
22. Uempanapa -

87
23. Lemowalia -
Kecamatan 326
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.15, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 Desa Baturube memiliki Jumlah pelanggan
PDAM terbanyak yaitu 136, Sedangkan yang paling sedikit
adalah desa Opo yaitu 8 pelanggan pada PDAM Morowali
Utara.

Tabel 4.16

Sebaran Jumlah Langganan Pascabayar Listrik


Menurut Desa Yang Terkait Dengan Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara
Tahun 2016

No. Desa Langganan


Pascabayar
1. Takonanaka -
2. Matube -
3. Posangke 77
4. Tokala Atas 77
5. Uewajo 82
6. Baturube 346
7. Woomparigi 112
8. Tambarobone 132
9. Taronggo 43
10. Uemasi 40
11. Tirongan Atas 75
12. Kalombang 90

88
13. Tirongan Bawah 87
14. Tanakuraya 197
15. Opo 46
16. Siliti -
17. Ueruru -
18. Lemo -
19. Boba -
20. Salubiro -
21. Pokeang 95
22. Uempanapa -
23. Lemowalia -
Total 1.449
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.16, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 Desa Baturube memiliki langganan
pascabayar listrik tertinggi sebesar 346, Desa Tanakuraya
197 Desa Tambarobone sebesar 132, dan Desa Woomparigi
112. Sedangkan, Desa Uemasi yang paling rendah yakni
sebesar 40.

Tabel 4.17

Sebaran Jumlah Pasar Umum Menurut Desa Yang


Terkait Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan
di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Desa Pasar Umum


1. Takonanaka -
2. Matube -
3. Posangke -

89
4. Tokala Atas -
5. Uewajo -
6. Baturube 1
7. Woomparigi -
8. Tambarobone -
9. Taronggo -
10. Uemasi -
11. Tirongan Atas -
12. Kalombang -
13. Tirongan Bawah -
14. Tanakuraya -
15. Opo -
16. Siliti -
17. Ueruru -
18. Lemo 1
19. Boba -
20. Salubiro -
21. Pokeang -
22. Uempanapa -
23. Lemowalia -
Total 2
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.17, maka dapat diketahui bahwa pada


tahun 2016 Kecamatan Bungku Utara memiliki masing-
masing 1 pasar di Desa Baturube, dan Desa Lemo dengan
total jumlah pasar sebanyak 2 pasar umum. Pasar umum
yang tersebar di 2 desa di Kecamatan Bungku Utara
merupakan suatu aset fisik serta fasilitas yang dapat
digunakan masyarakat untuk menjual hasil-hasil produksi

90
(sumber daya alam) yang ada di Kecamatan Bungku Utara
sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan
perekonomian masyarakat khususnya para petani.

Tabel 4.18

Sebaran Tempat Ibadah Menurut Desa Yang Terkait


Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

Tempat Ibadah
No. Desa Mushollah Gereja Gereja
Masjid Pura Vihara
/ Langgar Kristen Katolik
1. Takonanaka 2 - - - - -
2. Matube 1 - - - - -
3. Posangke 1 1 - - 1 -
4. Tokala Atas 1 3 - - - -
5. Uewajo 1 - - - - -
6. Baturube 2 3 1 - - -
7. Woomparigi 1 - - - - -
8. Tambarobone 1 1 - - 4 -
9. Taronggo 1 - 2 - - -
10. Uemasi - - 2 - - -
11. Tirongan Atas 1 1 - - - -
12. Kalombang 1 - - - - -
13. Tirongan Bawah 1 - - - - -
14. Tanakuraya 1 1 - - - -
15. Opo 2 - 2 - - -
16. Siliti 1 1 - - - -
17. Ueruru 1 - - - - -
18. Lemo - - 4 - - -
19. Boba 1 1 - - - -
20. Salubiro - - 7 - - -
21. Pokeang 1 - - - - -
22. Uempanapa - - 3 - - -

91
23. Lemowalia - - 3 - - -
Total 21 12 24 - 5 -
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.28, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 berdasarkan Desa/Kelurahan yang
memiliki tempat ibadah mesjid terbanyak yaitu Desa
Baturube dengan jumlah mesjid sebanyak 2, dan musholla
sebanyak 3, Serta desa lainnya memiliki masing-masing 1
masjid. Sedangkan. Desa dengan jumlah tempat ibadah
Gereja Kristen terbanyak adalah Desa Salubiro sebanyak 7
buah sementara Desa Baturube memiliki jumlah Gereja
paling sedikit yaitu 1 buah. Dan desa dengan rumah ibadah
Pura terbanyak yaitu Desa Tambarobone yaitu 4 Buah serta
Desa Posangke memiliki jumlah pura paling sedikit yaitu 1
buah.

Tabel 4.19

Sebaran Jumlah Hotel, Penginapan, dan Rumah


Makan/Warung Yang Terkait Dengan Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara
Tahun 2016

Wisma / Rumah Makan /


Kecamatan Hotel
Penginapan Warung

Bungku Utara - 2 22

Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.19, maka dapat diketahui bahwa


pada tahun 2016 Kecamatan Bungku Utara memiliki 2
Wisma/Penginapan dan rumah makan/warung sebanyak 22.

92
Meskipun, jumlah tersebut masih belum terlalu tinggi, tetapi
ini merupakan suatu aset yang harus dipertahankan dan
dikembangkan dalam rangka pengembangan kawasan
agropolitan di Kecamatan Bungku Utara.

Tabel 4.20

Sebaran Jumlah Sekolah Dasar Menurut Desa Yang


Terkait Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan
di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Desa SD Negeri SD Swasta


1. Takonanaka 1 -
2. Matube 1 -
3. Posangke 1 -
4. Tokala Atas 1 -
5. Uewajo 1 -
6. Baturube 3 -
7. Woomparigi 1 -
8. Tambarobone 1 -
9. Taronggo - 1
10. Uemasi 1 -
11. Tirongan Atas 2 -
12. Kalombang 1 -
13. Tirongan Bawah 1 -
14. Tanakuraya 1 -
15. Opo 1 1
16. Siliti 1 -
17. Ueruru 1 -
18. Lemo 1 -
19. Boba 1 -

93
20. Salubiro 1 3
21. Pokeang 1 -
22. Uempanapa - 1
23. Lemowalia 1 -
Total 23 6
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.20, maka dapat diketahui bahwa


di Kecamatan Bungku Utara yaitu Desa Baturue memiliki 3
sekolah dasar Negeri dan jumlah yang paling tinggi di
Kecamatan Bungku Utara. Sedangkan di Desa-desa lainnya
memiliki 1 sekolah di masing-masing desa tersebut. Desa
Salubiro memilki jumlah sekolah dasar swasta terbanyak
yaitu 3, kemudian desa Uempanapa, Desa Opo, dan Desa
Taronggo memiliki 1 sekolah masing-masing di desa
tersebut. sekolah dasar yang tersebar sebagai fasilitas yang
sudah ada merupakan aset, juga berkontribusi besar dalam
pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku
Utara. Mengingat, sumber daya alam yang sudah menjadi
aset dapat lebih di kembangkan, jika sumber daya manusia
juga dapat terpenuhi secara merata dan memadai baik
secara kualitas maupun kuantitas.

Tabel 4.21

Sebaran Jumlah Sekolah Menengah Pertama Menurut


Desa Yang Terkait Dengan Pengembangan Kawasan
Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Desa SLTP


1. Takonanaka -
2. Matube 1

94
3. Posangke 1
4. Tokala Atas -
5. Uewajo -
6. Baturube 2
7. Woomparigi 1
8. Tambarobone -
9. Taronggo -
10. Uemasi -
11. Tirongan Atas -
12. Kalombang -
13. Tirongan Bawah -
14. Tanakuraya 1
15. Opo -
16. Siliti 1
17. Ueruru -
18. Lemo -
19. Boba -
20. Salubiro 1
21. Pokeang -
22. Uempanapa -
23. Lemowalia -
Total 8
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.21, maka dapat diketahui bahwa


di Desa Baturube memiliki 2 sekolah lanjutan tingkat pertama
dan yang terbanyak dikecamatan bungku utara. Serta Desa
Matube, Desa Posangke, Desa Woomparigi, Desa
Tanakuraya, Desa Siliti dan Salubiro Memiliki 1 sekolah di
masing-masing desa. Fasilitas sekolah ini yang berperan

95
sebagai aset yang merupakan modal awal atau peluang
yang dapat mengembangkan kawasan agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara.

Tabel 4.22

Sebaran Jumlah Sekolah Menegah Atas Menurut Desa


Yang Terkait Dengan Pengembangan Kawasan
Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Desa SLTA


1. Takonanaka -
2. Matube -
3. Posangke -
4. Tokala Atas -
5. Uewajo -
6. Baturube 1
7. Woomparigi 1
8. Tambarobone -
9. Taronggo -
10. Uemasi -
11. Tirongan Atas -
12. Kalombang -
13. Tirongan Bawah -
14. Tanakuraya -
15. Opo -
16. Siliti -
17. Ueruru -
18. Lemo -
19. Boba -
20. Salubiro -

96
21. Pokeang -
22. Uempanapa -
23. Lemowalia -
Total 2
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.22, maka dapat diketahui bahwa


di Kecamatan Bungku Utara memiliki 2 sekolah menengah
atas, Yaitu di Desa baturube dan Desa Woomparigi.

b. Aset Natural
Aset natural dalam penelitian ini yakni persediaan
sumber-sumber alam (seperti tanah, air, dan lain-lain)¸
sumber-sumber yang berasal dari lingkungan dan dapat
digunakan dalam sumber penghidupan masyarakat, salah
satunya ialal sektor pertanian.
Tabel 4.23
Nama-nama Sungai Yang Terkait Dengan
Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016

No. Nama Sungai Panjang (Km)


1. S. Kafuyu 22,00
2. S. Lamuru 8,00
3. S. Padaidi 5,00
4. S. Bongka 28,00
5. S. Solato 29,00
6. S. Siombo 18,00
7. S. Tirongan 43,00
8. S. Morowangu 9,00
9. S. Morowali 37,00

97
10. S. Ula 47,00
11. S. Tiwono 53,00
12. S. Nua-Nua 21,00
13. S. Tofu 19,00
14. S. Uemanu 22,00
15. S. Samara 23,00
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.23, maka dapat diketahui bahwa


di Kecamatan Bungku Utara memiliki sungai-sungai yang
mengalir di wilayah administrasinya yang berjumlah 15
sungai. Sungai Terpanjang bernama Sungai Tiwono dengan
Panjang 53,00 Km dan yang terpendek bernama Sungai
Padaidi 5,00 Km. Air yang mengalir disungai tersebut
membantu para petani atau masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat baik dalam sektor pertanian
(pengairan) maupun pengkonsumsiannya serta aset ini
dapat membantu dan erat kaitannya dalam pengembangan
kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku Utara.
Tabel 4.24
Luas Kawasan Hutan Yang Terkait dengan
Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016
Hutan
Hutan Total Luas
Produksi
Kecamatan Lindung Kawasan
Terbatas
(Ha) (Ha)
(Ha)
Bungku
112.496,35 32.397,17 144.893,52
Utara
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

98
Berdasarkan tabel 4.24, maka dapat diketahui bahwa
di Kecamatan Bungku Utara dari kawasan hutan seluas
144.893,52 ha yang dimiliki terdiri atas 112.496,35 ha hutan
lindung dan 32.397,17 ha hutan produksi terbatas. Luas
kawasan hutan sebagai aset yang dimiliki mengisyaratkan
bahwa Kecamatan Bungku Utara sangat potensial dan
prospektif untuk pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
hutan secara lestari.

Tabel 4.25

Jumlah Objek/Daya Tarik Wisata Yang Terkait Dengan


Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2016

Wisata Wisata Wisata


Kecamatan Jumlah
Alam Bahari Budaya
Bungku
4 1 3 8
Utara
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.25, maka dapat diketahui bahwa


di Kecamatan Malunda memiliki 8 Objek/Daya Tarik Wisata
yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan di
Kecamatan Malunda. Yaitu 4 Wisata Alam, 1 wisata bahari,
dan 3 wisata budaya.

99
Tabel 4.26

Luas dan Produksi Komoditi Tanaman Bahan Makanan


Utama Yang Terkait Dengan Pengembangan Kawasan
Agropolitan di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Jenis Tanaman Luas Panen Produksi


(Ha) (Ton)
1. Padi Sawah 10.689 21.843,72
2. Padi Ladang 246 602,92
3. Jagung 57 270,47
4. Ubi Kayu 10 259,85
5. Ubi Jalas 4 54,04
6. Kacang Kedelai 217 326,59
7. Kacang Tanah 23 31,14
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.26, maka dapat diketahui bahwa


sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting
dalam roda perekonomian di Kecamatan Bungku Utara.
produksi padi sawah tahun 2016 adalah sebesar 7.843,72
ton. Angka ini adalah yang tertinggi untuk produksi komoditi
tanaman lading, disusul dengan padi ladang 602,92 ton dan
kacang kedelai 326,59 ton. Kecamatan Bungku Utara juga
merupakan salah satu kecamatan yang berperan sebagai
sentra produksi padi di kabupaten Morowali.

100
Tabel 4.27

Luas Panen Produksi Sayur-Sayuran Yang Terkait


Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Jenis Tanaman Luas Panen Produksi


(Ha) (Kuintal)
1. Cabe Rawit 29 130
2. Bawang Merah - -
3. Petsai / Sawi - -
4. Tomat 1 149
5. Ketimun 2 117
6. Kacang Panjang 5 64
7. Cabe Besar - -
8. Terung 2 19
9. Bayam 2 16
10. Kangkung - -
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel 4.37, maka dapat diketahui produksi


Tomat tahun 2016 adalah yang tertinggi yaitu 149 kwintal
dan cabe rawit 130 kwintal, ketimun, kacang Panjang,
terung, dan bayam.

101
Tabel 4.28

Luas Produksi, Produktifitas Perkebunan Yang Terkait


Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

Luas Tanam Produksi


No. Jenis Tanaman
(Ha) (Kuintal)
1. Kelapa 4.064,4 928,82
2. Cengkeh 131 12,35
3. Kelapa Sawit 20.557,2 240.161,56
4. Kakao 4.560 3.814,96
5. Pala 235

Jumlah Produksi
No. Jenis Tanaman
Pohon (Kuintal)
6. Rambutan 380 115
7. Pisang 3.826 650
8. Mangga 975 450
9. Nagka 365 103
10. Jambu Air 240 90
11. Langsat 636 400
12. Durian 300 260
13. Pepaya 1.294 128
14. Alpukat 46 14
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 4.28 produksi tanaman


perkebunan di kecamatan bungku utara cukup berlimpah
dan menjadi aset yang besar dalam pengembangan
Kawasan Agropolitan. Dari sector perkebunan kelapa sawit

102
memiliki produktifitas tertinggi dengan produksi sebesar
20.161,56 kwintal, begitu juga dengan Kakao 814,96 kwintal,
dan 182,82 kwintal.

Tabel 4.29

Jumlah Populasi Hewan Ternak Menurut Jenisnya Yang


Terkait Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan
di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Jenis Ternak Populasi (Ekor)


1. Sapi 1.008
2. Kambing 1.903
3. Babi 967
4. Ayam Kampung 825
5. Itik 1.380
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 4.29, maka dapat diketahui


populasi ternak kambing di kecamatan Bungku Utara adalah
yang tertinggi dengan populasi 1903 ekor, kemudian ternak
itik 1.380 ekor, sapi 1.008 ekor, Babi 967 ekor dan yang
terkhir ayam kampung 825 ekor. Potensi hewan ternak
sangat pentik sebagai penunjang penigkatan Kawasan
agropolitan kecamatan Bungku Utara.

103
Tabel 4.30

Banyaknya Produksi Dan Retribusi Perikanan Yang


Terkait Dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan
di Kecamatan Bungku Utara Tahun 2016

No. Uraian Jumlah


1. Nelayah (Orang) 79
2. Produksi (Ton) 350,39
3. Retribusi (Rp) 6.218.560
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 4.30, diketahui jumlah nelayan


yang berada di kecamatan bungku utara tidak begitu banyak,
tetapi produksi dan retribusinya cukup tinggi. Sektor ini juga
sangat berpotensi sebagai pendukung berkembangnya
Kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku Utara.

Tabel 4.31

Potensi Perikanan Darat Tambak Yang terkait Dengan


Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Tahun 2017

No. Uraian Jumlah


1. Petani Tambak (Orang) 15
2. Produksi (Ton) 11,6
3. Retribusi (Rp) -
Sumber : BPS Kecamatan Bungku Utara Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan Tabel 4.31, diketahui produksi di sektor


perikanan tambak juga masih kurang dibandingkan produksi
pertanian atau perkebunan. Namun sector ini sangat
berpotensi untuk dikembangkan mengingat banyaknya

104
daerah sungai dan daerah berair yang sangat cocok untuk
budidaya perikanan darat di Kawasan agropolitan
kecamatan Bungku Utara.

Dari hasil identifikasi wilayah penelitian di Kecamatan


Bungku Utara, maka dapat disimpulkan bahwa aset yang
dimiliki wilayah setempat berkaitan dengan pengembangan
kawasan agropolitan seperti pasar yang menjadi tempat
untuk menjual hasil-hasil pertanian; lembaga keuangan;
kelembagaan petani (kelompok, koperasi, asosiasi) yang
dinamis dan terbuka pada inovasi baru; memiliki prasarana
dan sarana umum yang memadai, seperti transportasi
jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih dan lain-lain;
memiliki prasarana dan sarana kesejahteraan
sosial/masyarakat yang memadai seperti kesehatan,
pendidikan, kesehatan, sekolah, swalayan dan lain-lain. Aset
yang dimiliki Kecamatan Bungku Utara hampir memadai dan
hampir merata di setiap desa/kelurahan atau dengan kata
lain belum cukup memadai, karena belum ada
pengembangan yang berkelanjutan dan merata di setiap
desa/kelurahan pada wilayah penelitian.

D. Hasil Identifikasi Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan


Data hasil identifikasi kawasan pengembang agropolitan yang
berada di kecamatan Bungku Utara ini penelitian diperoleh dari
Teknik wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terhadap 1
(satu) orang narasumber dari pejabat pemerintahan yang mewaliki
sebagai penyelenggara atau pelaksa kebijakan pengembangan
Kawasan agropolitan dikecamatan bungku utara. Berikut merupakan
data dari narasumber dalam penelitian ini.
Nama : As’at Paranaka

105
Umur : 55 tahun
Jabatan : Sekcam Bungku Utara
Data yang diperoleh dari wawancara berupa jawaban
narasumber atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti melalui
panduan wawancara yang dilakukan secara tatap muka langsung
dengan narasumber, yang kemudian data jawaban tersebut disajikan
dalam bentuk kajian dari hasil wawancara. Kajian dari hasil
wawancara tersebut memaparkan jawaban narasumber mengenai
faktor-foktor yang mempengaruhi sehingga tidak optimalnya
pengembangan Kawasan agropolitan di Kecamatan Bungku Utara.
Daftar pertanyaan yang diajukan peneliti terbilang cukup
banyak, oleh karena itu peneliti mencoba merangkum pertanyaan
tersebut dalam beberapa pembahasan dibawah ini.
1. Penerapan metode Pengembangan Kawasan Agroolitan
Kecamatan Bungku Utara
Berdasarkan pernyataan dari narasumber diketahui metode
pengembangan Kawasan agropolitan yang diterapkan di
kecamatan bungku utara terkesan keliru dan tidak jelas arahan
kebijakannya. karena pejabat pemerintahannya kurang
memahami tentang konsep agropolitan itu sendiri karena tidak
ada penyuluhan atau seminar khusus terkait pengembangan
Kawasan agropolitan di kecamatan bungku utara.
Oleh karena itu Metode ABCD ini sangat tepat diterapkan di
Kawasan agropolitan kecamatan Bungku Utara untuk
memperbaiki kesalahan dalam memahami konsep dan
mengembangkan Kawasan agropolitan kecamatan bungku utara
dengan aset-aset yang telah di sebutkan diatas sebelumnya.

106
2. Usaha Pemerintah Dalam Penanganan Pengembangan
Kawasan Agropolitan Kecamatan Bungku Utara
Pemerintah secara khusus hanya melakukan penyuluhan
kepada masyarakat tentang penetapan Kawasan agropolitan di
kecamatan Bungku Utara melalui Perda RTRW tahun 2015.
Pemerintah juga membantu menyediakan sarana dan fasilitas
untuk mendukung peningkatan perekonomian masyarakat
dengan pertanian dan perkebunan tanpa mengetahui aset-aset
apa saja dan metode yang diterapkan dalam memejukan
produktifitas di Kawasan agropolitan kecamatan Bungku Utara.
Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa pemerintah kecamatan bungku utara sangat terbuka
dengan konsep agropolitan tersebut, tetapi penerapannya yang
keliru menyebabkan konsep agropolitan itu tidak sesuai dengan
perencanaan yang ditetapkan. Dengan menerapan metode
ABCD di Kawasan agropolitan kecamatan bungku utara
diharapkan pemerintah mengetahui cara pengelolaan
agropolitan dengan memahami kebutuhan desa atau wilayah
tani tersebut dari aset-asetnya seperti topografi, jenis tanah,
jenis tanaman, kebutuhan masyarakat dan sebagainya,
sehingga pemerintah dapat memberikan bantuan yang tepat
sesuai kebutuhan Kawasan pertanian/perkebunan yang ada di
kecamatan bungku utara.
3. Kendala Pemerintah Dalam Penerapan Pengenbangan
Kawasan Agropolitan Kecamatan Bungku Utara
Selama penaganan pengembangan Kawasan agropolitan,
pemerintah menemui beberapa kendala-kendala seperti
masalah pembagian tanah pertanian, susahnya akses masuk
dibeberapa desa tani terpencil, kekeringan di musim kemarau,
dan kurangnya minat masyarakat untuk mencoba perkebunan

107
baru seperti, cabai merah, kentang, nenas, semangka yang
masih sangat kurang di Kawasan agropolitan kecamatan bungku
utara.
Dari uraian pernyataan diatas dapat dilihat bahwa kendala-
kendala tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam
pengembangan wilayah agropolitan, dengan menerapkan
metode ABCD,pemerintah bisa memanfaatkan aset-aset seperti
aset manusia yaitu masyarakat, aset social seperti sumber daya
social atau jaringan kelompok, aset finan sial seperti sumber-
sumber keuangan masyarakat dan aset natural atau SDM.
Masyarakat dapat bekerja sama membentuk sebuah komunitas
untuk mengkaji masalah-masalah tersebut serta menemukam
solusi yang tepat, contohnya seperti masalah pertanian yang
hanya mengandalkan Padi dan jagung, dengan adanya aset-
aset ini peerintah bisa membentuk lembaga ataupun komunitas
pertanian tempat masyarakat berbagi ilmu tetang tanaman apa
saja perlu dikembangkan, mengumpulkan modal seperti hasil
patungan atau koperasi pertanian, dan merealisasikannya.
4. Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Pengembangan Kawasan
Agropololitan Kecamatan Bungku Utara
Penanganan pengembangan Kawasan agropolitan di
kecamatan Bungku Utara untuk sekarang masih ditangani oleh
pemerintah daerah Kecamatan Bungku Utara dan masyarakat,
Lembaga atau pihak-pihak lain seperti investor dalam maupun
luar daerah masih sangat kurang, kecuali dalam sektor
perkebunan kelapa sawit ada beberapa perusahaan yang mulai
berinvestasi di Kawasan agropolitan kecamatan bungku utara.
Kurangnya Pihak-pihak yang terlibat seperti investor, atau
Lembaga-lembaga lain seperti yang berhubungan dengan
pertanian dan perkebunan tidak lain karena kurangnnya

108
pemanfaatan aset-aset natural atau SDA yang ada di kecamatan
bungku utara. Aset-aset ini sangat berguna sebagai daya tarik
investor dan perusahaan-perusahaan luar daerah untuk masuk
berinvestasi di Kawasan agropolitan, aset-aset natural itu seperti
potensi pemanfaatan wisata agrari, atau desa tani yang mana
dapat meningkatkan pendapatan dan ekonomi masyarakat
selain dari hasil perkebunan juga dari pendapatan pariwisatanya.
Aset-aset seperti wisata alam dan wisata budaya sangat besar
potensinya untuk menarik minat pengunjung luar. Aset-aset ini
bisa dikelola dengan baik dengan menerapkan metode ABCD
dalam pengembangan Kawasan agropolitan kecamatan Bungku
Utara.
5. Perekonomian Masyarakat Agropolitan Kecamatan Bungku
Utara
Mata pencarian masyarakat kecamatan Bungku Utara dari
dulu memang didominasi oleh bertani dan berkebun. Akan tetapi
masyarakat berlahan-lahan mulai beralih pekerjaan yang
menurut mereka lebih layak dan meninggalkan profesi
bertaninya. Pendapatan masyarakat pertanian dikecamatan
bungku utara bisa dikatakan masih rendah karena masyarakat
bekerja mengurus hasil perkebununannya semata-mata hanya
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri tampa berpikir
untuk meningkatkan hasil panennya. Mainset berpikir seperti
itulah yang membuat perekonomian masyarakat Kawasan
agropolitan kecamatan bungku utara cenderung stagnan dan
tidak berkembang.
Dari uraian pernyataan di atas bisa disimpukan bahwa, tidak
meningkatnya perekonomian masyarakat Kawasan agropolitan
kecamatan bungku utara dikarenakan kurangnya minat
masyarakat dalam mengembangkan usaha pertaniannya akibat

109
mainset berpikir yang cenderung sempit. Untuk itu perlu adannya
penerapan metode ABCD dikawasan agropolitan kecamatan
bungku utara. Karena metode ABCD punya perana penting
dalam memajukan sumber daya manusia dengan gagasannya
yaitu yang dapat menyesesaikan suatu problem masyarakat
adalah masyarakat itu sendiri. Penerapannya sendiri salah
satunya mengembangkan potensi dan aset-aset masyarakat dan
mengimplementasikannya dalam pengembangan Kawasan
agropolitan kecamatan bungku utara.
6. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kawasan
Agropolitan Kecamatan Bungku Utara
Sektor pertanian dan perkebunan dengan pendapatan
tertinggi di Kawasan agropolitan kecamatan Bungku Utara
adalah padi sawah, kelapa sawit, dan kakao. Hasil panen dari
ketiganya sangat berperan penting terhadap pendapatan daerah
karena pemasannya sudah sampai keluar daerah kecamatan
bungku utara bahkan diluar pulau. Untuk pengelolanya
masyarakat baru bisa menghasilkan produk sendirinya, yaitu
beras dari hasil pertanian padi sawah, sementara untuk kelapa
sawit dan kakao masyarakat baru bisa mengolahnya sampai
bahan mentah saja dan hasilnya dikirim dan diproduksi dikeluar
daerah. karena belum adanya perusahaan dikecamatan bungku
utara yang mampu mengolah hasil perntanian itu menjadi
sebuah produk. Hasil pertanian dan perkebunan lainnya seperti
tanaman pangan, buah-buahan dan rempah-rempah juga hanya
dipasarkan didalam wilayah kecamatan bungku utara,
kabupaten morowali utara, dan kabupaten-kabupaten
disekitarnya saja.
Dari uraian diatas bisa disimpulkan pengelolaan dan
pemasaran hasil pertanian dikawasan agropolitan kecamatan

110
Bungku Utara masih sangat kurang dari target pengembangan
Kawasan agropolitan pada umumnya, dikarenakan penerapan
metode pengembangan agropolitan yang tidak jelas dan tidak
sesuai arahan pengembangan Kawasan yang ada. Tentunya
dengan menerapkan metode ABCD diharapkan tingkat
produktifitas kawasan agropolitan kecamatan bungku utara
meningkat dengan melakukan pemberdayaan masyarakat
dengan pendekatan partisipatif, meningkatkan potensi
masyarakat, membentuk komunitas masyarakat yang mampu
mengelola sektor-sektor pertanian dibidangnya masing, dan
menetapkan target pemasaran yang sesuai kebutuhan pasar.
7. Kesejahteraan Masyarakat Pertanian Kawasan Agropolitan
Kecamatan Bungku Utara
Kesejahteraan masyarakat yang berada di kawasan
agropolitan kecamatan bungku utara bisa dikatakan masih
sangat rendah, terutama yang berprofesi sebagai petani di
kecamatan bungku utara, tingkat pendapat untuk petani padi
sawah saja berkisar antara lima ratus ribu hingga dua juta rupiah
perbulannya. Untuk petani kepala sawit pendapatannya berkisar
tiga juta hingga lima juta rupiah perbulan, pendapatan itu
lumayan tinggi dibandingkan petani padi sawah. Untuk
pendapatan pertani perkebunan lainnya rata-rata di bawah
pendapatan petani padi sawah.
Rendahnya kesejahteraan masyarakat khususnya
masyarakat yang berprofesi sebagai petani sangat berbanding
terbalik dengan konsep agropolitan itu sendiri yang ada untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi itu terjadi
karena beberapa hal seperti buruknya kondisi infrastruktur
pendukung kawasan agropolitan, rendahnya sumber daya
manusia, kurangnya pelaku industri agrobisnis, dan buruknya

111
penanganan pemerintah terkait pengembangan kawasan
agropolitan.

E. Analisis Penyebab Sehingga Pemerintah Kecamatan Bungku


Utara Belum Menggunakan Metode ABCD Dalam Peningkatan
Produktifitas Kawasan Agropolitan

Dari data hasil identifikasi Kawasan diatas, diketahui ada


beberapa permasalahan yang menyebabkan sehingga penerapan
konsep Kawasan agropolitan tidak optimal ataupun konsep ABCD
ini, permasalahan-permasalahannya yaitu :

1. Pemerintah
a. Pihak pemerintah daerah kecamatan bungku utara yang
kurang memahami dari konsep agropolitan itu tanpa metode
yang jelas, dan dalam penerapannya tekesan keliru dan
arahan kebijakan yang tidak jelas sehingga menyebabkan
pengembangan agropolitan kecamatan bungku utara tidak
berjalan dengan baik.
b. Pemerintah kurang memahami potensi wilayah agropolitan
sehingga menyebankan beberapa kebijakan yang diambil
untuk pembangunan dan peningkatan Kawasan agropolitan
terkesan keliru dan salah sasaran.
c. Kurangnya intervensi pemerintah terhadap pengembangan
kawasan agrpolitan kecamatan bungku utara.
2. Masyarakat
a. kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatan
kawasasan agropolitan dikarenakan pola pikir masyarakat
yang masih tradisional sehingga kurangnya usaha
meningkatkan pendapatan dari hasil pertaniannya, hal itu

112
juga yang menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat
dari hasil pertanian.
b. Ketidak konsistenan masyarakat dalam mengolah tanaman
pertaniannya, yaitu masyarakat cenderung suka mengganti
tanaman pertaniannya karena mengikuti masyarakat lain
dengan tanaman pertanian berbeda yang lebih produktif.
Ketidak konsisitenan ini akibat pemikiran mayoritas
masyarakat yang kurang kreatif dan inovatif dalam melihat
peluang dan asset asset yang bisa dimanfaatkan untuk
mengembangkan produksi pertanian, tanpa harus mengganti
tanaman pertanian tersebut.
3. Pihak-Pihak Lainnya
a. Kurangnya Partisipasi dari Lembaga-lembaga sosial
masyarakat, investor local dan asing yang mau berinvestasi
mengembangkan usaha agrobisnis atau agrowisata di
kawasan agropolitan kecamatan bungku utara, karena
kurangnya pengenalan kawasan atau promosi, masih
buruknya infrastruktur disebagian kawasan tani yang
mempunyai aset dan potensi pengembangan, kebijakan
pemerintah yang kurang terarah dengan baik, serta masih
rendahnya tingkat pendapatan dari hasil pertanian kawasan
agropolitan kecamatan bungku utara.
F. Analisis Faktor Perkembangan dan Jenis Proyeksi Setiap
Komoditas Pertanian Unggulan
1. Analisis Cross Tabulation Statistik Kuantitatif
Faktor perkembangan komoditas unggulan sebagai
determinan perkembangan kawasan agropolitan kecamatan
bungku utara dapat diketahui dengan menggunakan perhitungan
analisis crosstabulation statistic. Perhitungan analisis
crosstabulation statistic merupakan metode analisis yang

113
mentabulasikan beberapa variabel yang berbeda kedalam suatu
matriks yang hasilnya disajikan dalam suatu tabel dengan
variabel yang tersusun dalam baris dan kolom. Variabel yang
dipilih ialah variabel kategori bebas / variabel berdiri sendiri,
variabel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang
menurut teori (Yunus,2000) lalu diuji berdasarkan realita faktor
perkembangan komoditi untuk mendapatkan sampel komoditas
unggulan yang berada di kawasan agropolitan kecamatan
morowali utara menggunakan responden/kuisioner.
Syarat pembagian responden berdasarkan pemilihan sampel
masyarakat yang bertempat tinggal/berdomisili 10 tahun dan
berprofesi sebagai petani, pelaku agribisnis, ketua adat, kepala
desa, atau orang berpengaruh lainnya di wilayah agropolitan
kecamatan bungku utara dan masyarakat yang merasakan
bagaimana proses perubahan perkembangan komoditas selama
limit waktu dari tahun 2008 – 2018. untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.32

Tabel Perhitungan CrossTabulation Statistic Data Hasil Responden

Tabel Perhitungan data kuisioner pemilihan responden terhadap faktor/variabel

Komuditas Pertanian yang


Total
mengalami perkembangan
CTS
Kelapa Padi
RESPON Kakao Kelapa
Sawit Sawah
Kecamatan 38 27 25 9 99
Bungku Utara
TOTAL 38 27 25 9 99
Sumber : Data hasil Responden 2018

114
Tabel 4.33
Tabel CrossTabulation Statistic Hasil Perhitungan Frekuensi
Tabel perhitungan frequensi dari data kuisioner pemilihan rerponden terhadap
faktor/variabel
Komuditas Pertanian yang mengalami
Total
perkembangan
CTS
Kelapa Padi
RESPON Kakao Kelapa
Sawit Sawah
Kecamatan 38,00 27,00 25,00 9,00 99
Bungku Utara
TOTAL 38,00 27,00 25,00 9,00 99
Sumber : Data hasil Responden 2018

Berdasarkan data hasil perhitungan responden dan perhitungan


frekuensi yang dilakukan, maka diperoleh hasil bahwa dari 99
responden yang dilakukan pad kawasan agropolitan kecamatan
bungku utara, dominan lebih memilih kelapa sawit dengan total
38 responden dan frekuensi 38,00.

Tabel 4.34
Tabel Hasil Perhitungan CrossTabulation Statistic
Tabel perhitungan Cross Tabulation Statistic

Responden Sampel
Cross Tabulation Statistic
Kecamatan Bungku
Utara TOTAL
Responden 38 38
Kelapa Frekuensi 38,00 38,00
Sawit
38,38 38,38
% Persentase
Komuditas
Responden 27 27
Pertanian Padi Frekuensi 27,00 27,00
Sawah
% Persentase 27,27 27,27
Kakao Responden 25 25

115
Frekuensi 25,00 25,00
% Persentase 25,25 25,25
Responden 9 9
Kelapa Frekuensi 9,00 9,00
% Persentase 9,09 9,09
Responden 99 99
Total Frekuensi 99,00 99,00
% Persentase 100,00 100,00
Sumber : Data hasil Responden 2018

Gambar 4.3 Pengaruh ke 4 faktor dalam produktifitas kawasan agropolitan

(Sumber : Surya, 2014:40)

Berdasarkan hasil perhitungan crosstabulation statistic dan

gambar di atas, beberapa interpertasi dapat di ajukan. pertama

pengaruh faktor perkembangan komoditas di kecamatan bungku

utara menunjukkan bahwa dari total 99 responden sebanyak 38

116
responden dan 38,38 % yang mengatakan bahwa kelapa sawit

sebagai komoditas yang paling berkembang, kedua komoditas

padi sawah dari total 99 responden sebanyak 27 responden

dengan presentase 27,27 %, kemudian ketiga kakao dari total 99

responden, sebanyak 25 responden dengan presentase 25,00,

disusul keempat dengan kelapa dari total 99 responden,

sebanyak 9 responden, sebanyak 9,09 % presentase.

Dari ke 4 faktor yang di kaji menunjukkan bahwa ke 4 faktor

tersebut telah memberikan pengaruhi faktor perkembangan

terhadap kawasan agropolitan kecamatan bungku utara.

2. Analisis Proyeksi Komoditas Unggulan dengan

Menggunakan Metode Estrapolasi

Berdasarkan data yang diperoleh baik data primer dan data

sekunder, terdapat 4 komoditas unggulan yang berada

dikawasan agropolitan kecamatan bungku utara. keempat

komoditas itu tentunya membutuhkan arahan pengembangan

yang lebih untuk peningktan hasil produksinya kedepan. Untuk

itu dibutuhkan proyeksi produksi kedepannya sebagai acuan

peningkatan produktifitas komoditas unggulan tersebut dalam

penerapan teori ABCD kedepannya.

Analisis ini menggunakan metode Estrapolasi menggunakan

data 5 tahun terakhir yaitu data hasil produksi panen tahunan dari

117
ke-4 komoditas tersebut untuk diproyeksikan 5 tahun kedepan,

yaitu dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2021.

Dari hasil proyeksi tersebut dapat dilihat pada table dibawah

ini :

Tabel 4.35

Data Perkembangan komoditas 5 Tahun Terahir

Aset komoditas Tahun Perkembangan


No. Pertanian
Unggulan 2012 2013 2014 2015 2016
1 Kelapa Sawit 152.443,20 176.631,50 190.728,40 220.238,60 240.161,50 72.776,13
2 Padi Sawah 113.046,60 188.232,60 182.126,20 196.546,80 218.437,20 88.972,80
3 Kakao 2.243,80 2.703,50 3.188,00 3.502,20 3.814,90 1.298,10
4 Kelapa 723,30 792,50 839,20 884,60 928,80 205,50
Sumber : Data BPS Kecamatan Bungku Utara 2017

Tabel 4.36

Hasil Proyeksi Komoditas Kelapa Sawit

No. Tahun Jumlah


1 2017 312.937,63
2 2018 385.713,76
3 2019 458.499,89
4 2020 531.265,65
5 2021 604.042,15

Dari tabel hasil proyeksi diatas diketahui bahwa komoditas

tanaman kepala sawit yang pada tahun 2016 memiliki produksi

sebesar 240.161,5 kwintal, pada tahun 2021 memiliki peningkatan

sebesar 604.042,15 Kwintal.

118
Tabel 4.37

Hasil Proyeksi Komoditas Padi Sawah

No. Tahun Jumlah


1 2017 307.410,00
2 2018 396.382,80
3 2019 485.355,60
4 2020 574.328,40
5 2021 663.301,20

Dari tabel hasil proyeksi diatas diketahui bahwa komoditas

tanaman padi sawah yang pada tahun 2016 memiliki produksi

sebesar 210.437,2 Kwintal, pada tahun 2021 memiliki

peningkatan sebesar 663.301,2 kwintal.

Tabel 4.38

Hasil Proyeksi Komoditas Kakao

No. Tahun Jumlah


1 2017 5.113,00
2 2018 6.411,10
3 2019 7.709,20
4 2020 9.007,30
5 2021 10.305,40

Dari tabel hasil proyeksi diatas diketahui bahwa komoditas

tanaman Kakao yang pada tahun 2016 memiliki produksi sebesar

119
3.814,9 Kwintal, pada tahun 2021 memiliki peningkatan sebesar

10.305,4 kwintal.

Tabel 4.39

Hasil Proyeksi Komoditas Kelapa

No. Tahun Jumlah


1 2017 1.134,30
2 2018 1.339,80
3 2019 1.545,30
4 2020 1.750,80
5 2021 1.956,30

Dari tabel hasil proyeksi diatas diketahui bahwa komoditas

tanaman Kakao yang pada tahun 2016 memiliki produksi sebesar

928,8 Kwintal, pada tahun 2021 memiliki peningkatan sebesar

1.956,3 kwintal.

Dari hasil perhitungan proyeksi diatas menunjukan bahwa

pertumbuhan produksi ke 4 komoditas tersebut dalam 5 tahun

kedepan terlihat lumayan meningkat tetapi tidak terlalu besar.

Walau produksi ke 4 komoditas meningkat tetapi dampak dari

peningkatan itu tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian

masyarakat karena beberapa faktor seperti :

1. Pengelolaan komoditas-komoditas unggulan itu dilakukan oleh

pihak-pihak tertentu seperti pebisnis, saudagar, atau

perusahaan.

120
2. Akibat menurunnya tingkat partisipasinya dalam mengelola

pertanian, masyarakat banyak yang menjual aset pertaniannya

seperti tanah, ladang perkebunan kepada pihak-pihak yang

mampu mengelolanya.

3. Kebanyakan masyarakat adalah buruh tani serabutan yang

dipekerjakan oleh pihak-pihak yang mengelola komoditas

pertanian tersebut.

G. Model Penerapan Konsep Asset Based Community


Development
Berdasarkan hasil identifikasi aset-aset yang ada di
Kecamatan Bungku Utara dan dari hasil identifikasi wilayah
penelitian diatas diketahui bahwa permasalahan utama
pengembangan wilayah agropolitan dikecamatan bungku utara ini
adalah dari kurangnya pengetahuan tentang konsep agropolitan itu
sendiri sehingga menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi
masyrakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan agropolitan
terutama dari segi aset-asetnya. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut dibutuhkan strategi pengelolaan berbasis komunitas.
Pengelolaan Sumber daya Berbasis Komunitas (Community
Based Resources Management) merupakan strategi pembangunan
masyarakat yang memberi peran dominan kepada masyarakat pada
tingkat komunitas untuk mengelola proses pembangunan,
khususnya dalam mengontrol dan mengelola sumber daya produktif.
Strategi ini mengarah pada penguatan mekanisme dalam
pengelolaan sumber daya agar lebih efektif terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan lokal. Melalui strategi ini setiap komunitas
dapat mengembangkan sistem dan mekanisme yang

121
memungkinkan warga masyarakat memanfaatkan sumber daya
lokal antara lain berupa (tanah, air, informasi, teknologi, energi
manusia dan kereativitas) yang tersedia untuk memenuhi berbagai
kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif.
1. Desentaralisasi
Desentralisasi dilakukan dalam pengambilan keputusan yang
meliputi keseluruhan proses pembangunan, mulai dari identifikasi
persoalan dan kebutuhan yang ada di kawasan agropolitan
kecamatan bungku utara, penyusunan dan pengelolaan program.
Strategi ini dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan
swakelola, dalam pengertian masyarakat lokal mendapat peluang
yang seluas-luasnya untuk mengelola kegiatan yang terkait
dengan pemenuhan kebutuhannya kawasan agropolitan
kecamatan bungku utara.
pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya
berbasis komunitas ini memiliki beberapa hal yang lebih positif.
Karena sifatnya yang tidak mengikuti pola yang baku, maka
pendekatan ini lebih fleksibel, dalam pengertian pola yang
digunakan akan menyesuaikan dengan kondisi masing-masing
masyarakat yang memiliki kondisi, persoalan, dan potensi yang
berbeda.
Dengan demikian, program-program yang diputuskan akan
lebih relevan dan mampu mengakomodasi persoalan dan
keputusan lokal. Bahkan, program-program tersebut bukan saja
mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah, melainkan
juga kepentingan masyarakat khususnya petani dan pelaku
agroindustri yang berada dikecamatan bungku utara, karena
masyarakat telah ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan. Dan, melalui pendekatan ini potensi dan sumber daya
yang ada dapat lebih diaktualisasikan, karena pada dasarnya

122
masyarakat lokal sendiri yang lebih tahu dan lebih mengenal
berbagai potensi dan sumber daya yang ada di sekitarnya.
Contoh penerapan desentaralisasi dikawasan agropolitan
kecamatan Bungku Utara seperti :
a) pemerintah kecamatan bungku utara memberi wewenang
kepada masyarakat mengelola sendiri kawasan pertaniannya
sesuai dengan jenis pertanian masing-masing dengan
kebijakan dan metode yang ditetapkan oleh masyarakat
melalui institusi sosial atau lebaga organisasi pertanian yang
dibentuk masyarakat.
b) Peran pemerintah hanya memberikan fasilitas sesuali dengan
kebutuhan yang ditetapkan oleh institusi sosial atau lebaga-
lembaga pertanian masyarakat tersebut, dalam hal ini
hubungan pemerintah dengan masyarakat bukan sebagai
penguasa melainkan sebagai pihak yang memberi pelayanan
atau sebagai fasilitator.

2. Pemberdayaan
Pemberdayaan perlu dilakukan agar desentralisasi cukup
efektif, diperlukan kondisi masyarakat yang memungkinkan untuk
mengemban fungsi pengambilan keputusan dan pengelolaan
sumber daya tersebut. diperlukan peluang, kesempatan dan
kewenangan juga kemampuan, yang kesemuanya memerlukan
proses yang disebut sebagai pemberdayaan (empowerment).
Pemberdayaan yang dapat dilakukan seperti :
- Menyelenggarakan seminar terkait konsep dan arahan
metode agropolitan kecamatan bungku utara.
- Mengadakan pelatihan pengelolaan indutri pertanian
rumahan.

123
- Membentuk Lembaga swadaya masyarakat yang
menaungi kelompok tani.
Pemberdayaan itu penting agar masyarakat dapat memahami
kawaan agropolitan itu sendiri yang diterapkan pemerintah serta
lebih membuka wawasan masyarakat dalam memanfaatkan
aset-aset fisik seperti alam untuk pengembangan pertanian dan
industri pertanian yang ada dikawasan agropolitan kecamatan
Bungku Utara dengan demikian peningkatan partisipasi dan
peran masyarakat akan lebih meningkat. Oleh karena itu
dibutuhkan beberapa prasyarat dalam pemberdayaan, yaitu :
a) perubahan persepsi dan anggapan bahwa masyarakat
hanya sebagai sekedar sumber informasi serta ikut
menentukan pengambilan keputusan dalam pengembangan
kawasan agropolitan.
b) Merubah pandangan tentang fungsi pemerintah yaitu tidak
hanya berarti hak untuk mengatur, tetapi juga membantu
masyarakat dalam memecahkan problem-problem
pengembangan kawasan agropolitan yang tidak dapat
dipecahkan sendiri oleh masyarakat.
c) Merubah persepsi tentang sistem peraturan yang seolah-
olah masyarakat tidak berhak memutuskan pendapat diluar
peraturan pemerintah.
d) berangkat dari pemahaman bahwa desa-desa di kecamatan
bungku utara cukup banyak, sehingga tidak mungkin
menggunakan pendekatan uniformitas, atau keseragaman.
e) kelompok miskin tidak lagi dipersepsikan sebagai kelompok
yang tidak produktif, karena walaupun miskin materi tetapi
tidak miskin pengalaman pembangunan, jiwa
kewiraswastaan dan keterampilan teknis.

124
3. Proses Belajar Sosial
Kehidupan masyarakat termasuk kehidupan komunitas
merupakan proses interaksi antarwarga masyarakat dan interaksi
terhadap lingkungannya. Melalui proses interaksi tersebut
kemudian di samping melahirkan perilaku individu juga tindakan
bersama untuk memenuhi tuntutan kehidupan bermasyarakat
termasuk pemecahan berbagai persoalan yang timbul yang
kemudian menjadi bagian dari institusi sosial yang merupakan
pola aktivitas bersama dan berbagai bentuk pengetahuan serta
kearifan lokal.
Proses belajar ini berlangsung secara berkesinambungan dan
terus menerus bukan melalui jalur pendidikan formal melainkan
melalui pengalaman dalam kehidupan bersama, Peningkatan
kemampuan ini tidak dilakukan melalui pendidikan formal, tetapi
melalui partisipasi dan interaksi dalam proses pengambilan
keputusan dan aktivitas bersama untuk melaksanakan keputusan
tersebut. Ada 3 tahapan dalam penerapan system belajar sosial,
yaitu :
a) Tahap belajar efektif merupakan tahap awal, di mana
beberapa orang dari lembaga pemerintah atau non
pemerintah datang ke desa-desa atau masyarakat lokal,
memahami permasalahan pembangunan dari perspektif
masyarakat local (seperti aturan adat yang mengikat),
mencoba beberapa pendekatan untuk memecahkan
persoalan dan memenuhi kebutuhan yang diidentifikasi
bersama. Dalam tahap ini dimungkinkan juga memperoleh
dukungan sumber daya manusia dari luar yang memiliki
keahlian tertentu sesuai kebutuhan.
b) Tahap belajar efisien merupakan tahap berikutnya, setelah
diketahui apa yang harus dilaksanakan sesuai hasil tahap

125
pertama. Tahap ini diarahkan pada proses belajar tentang
bagaimana melaksanakan secara lebih efisien,
meninggalkan cara-cara yang tidak produktif dan
mengembangkan cara-cara sederhana untuk memecahkan
persoalan operasional.
c) Tahap belajar mengembangkan diri dilakukan setelah
pelembagaan dan penyusunan organisasi diselesaikan
dalam tahap kedua. Dalam tahap ini perhatian lebih
dicurahkan pada upaya perluasaannya yang meliputi
pengembangan keahlian, sistem pengelolaan, struktur dan
nilai-nilai masyarakat setempat. Dengan demikian, dalam
tahap ini kapasitas masyarakat desa sudah lebih
berkembang sehingga sudah mempunyai kemampuan untuk
mengelola aktivitas pertanian yang lebih efisien dan produktif
secara mandiri dan berkesinambungan, terlepas ada
tidaknya ada lembaga eksternal baik pemerintah maupun
non pemerintah yang melaksanakan program-programnya.

Hasil dari proses belajar sosial adalah peningkatan


kapasitas baik pada tingkat masyarakat maupun pada tingkat
komunitas pertanian untuk peningkatan produktifitas dan
pengelolaan sumber daya kawasan agropolitan di komunitas
masyarakat secara lebih mandiri.

4. Keberlanjutan
Tahapan berkelanjutan ini adalah tahap dimana penerapan
metode agropolitan ini memberi manfaat kepada masyarakat
dalam jangka Panjang.
Usaha untuk melakukan eksploitasi secara maksimal sumber
daya alam walaupun memberikan manfaat yang besar tetapi
hanya berorientasi pada periode waktu tertentu bukanlah

126
penerapan tahapan yang berkelanjutan. Dengan demikian,
tahapan berkelanjutan mengandung unsur-unsur peningkatan
produktivitas pertanian, adanya distribusi dan pemerataan
manfaat keseluruh kawasan agropolitan, pelindungan atau
pelestarian sumber alam sebagai aset fisik kawasan agropolitan,
partisipasi masyarakat sejak identifikasi masalah dan kebutuhan,
pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan dalam menikmati
hasil, contoh penerapannya seperti :
- Membuka lahan untuk pengembangan bibit-bibit
pertanian yang lebih unggul dan berkualitas;
- Pemerataan fasilitas akses ke desa-desa pertanian yang
jauh dan sulit dijangkau;
- Pembuatan waduk atau bendungan untuk mengantisipasi
kekeringan sungai saat kemarau;
- Pengembangan daya tarik kawasan pertanian sebagai
kawasan agrowisata;
- tidak mengeksploitasi kawasan hutan secara berlebihan
demi kebutuhan pertanian;
- pembangunan pusat belanja untuk hasil pertanian
masyarakat.

127
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian analisis dan pembahasan, dapat ditarik


kesimpulan sehubungan dengan permasalahan penelitian yang
diajukan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan tidak menggunakan metode ABCD dalam
peningkatan produktifitas kawasan Agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara yaitu :
a. Kurangnya pemahaman dan intervensi pemerintah terhadap
konsep agropolitan, sehingga metode yang diterapkan tidak
jelas, terhadap pengembangan kawasan agropolitan
kecamatan bungku utara sehingga ;
b. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan
kawasan agropolitan karena kurangnya pengetahuan tentang
kawasan agropolitan itu sendiri, serta;
c. Kurangnya partisipasi dari Lembaga-lembangan sosial, dan
investasi dalam usaha agribisnis dan agropolitan karena
buruknya kosep pengembangan, sarana infrastruktur,
promosi kawasan dan rendahnya pendapatan kawasan
agropolitan.
2. Model Penerapan ABCD (Asset Bassed Community
Development) dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Di
Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara
Berdasarkan hasil identifikasi aset-aset yang ada dan hasil
identifikasi wilayah penelitian, maka dibutuhkan strategi
Pengelolaan Sumber daya Berbasis Komunitas (Community

128
Based Resources Management) yaitu strategi pembangunan
yang memberi peran dominan kepada masyarakat pada tingkat
komunitas untuk mengelola proses pembangunan, khususnya
dalam mengontrol dan mengelola sumber daya produktif.
Strategi ini dilakukan pada 3 tahapan yaitu : Desentaralisasi,
Pemberdayaan, Proses Belajar Sosial, dan Keberlanjutan.
B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, sebagai tindak lanjut dari hasil


penelitian terdapat beberapa saran dari peneliti adalah sebagai
berikut :
1. Kepada seluruh masyarakat di kawasan agropolitan di
Kecamatan Bungku Utara kabupaten Morowali Utara, diharapkan
mampu mengembangkan asset-aset yang sudah dimilikinya
serta mampu mengembangkan mutu sumber daya manusia baik
dari bantuan pemerintahan setempat maupun melalui non-
pemerintahan secara berkelanjutan.
2. Kepada Pemerintah Kabupaten Morowali Utara, diharapkan
mampu mengembangkan kawasan agropolitan di Kecamatan
Bungku Utara dengan model penerapan Asset Based Community
Development (ABCD) dan memaksimalkan potensi pertanian
(sumber daya alam) di wilayah setempat, juga meningkatkan
kemandirian masyarakatnya dan membangun sarana dan
prasarana pendukung kegiatan pengembangan agropolitan.

129
DAFTAR PUSTAKA

Action Strategies for community development,


(http.neighborhood.org/…/ActionStr, diakses 21 September 2018

Adnan, Tajuddin, D. Yuliani, L. Komaruddin, dan H. Lopulala, Belajar dari


Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi (Bogor:
Center For Inretnasional forestry Reseach)

Arief Hidayatullah, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Aset,


http://acakadul.wordpress.com/2010/04/23/, diunduh pada tanggal 21
September 2018

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka


Cipta, Jakarta.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Utara,


RTRW Kab. Morowali Utara Tahun 2015-2035

Badan Pusat Statistik, Kabupaten Majene Dalam Angka Tahun 2017.

Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang


(2007), Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang.

Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang


(2007), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun
1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).

Jayadinata, 1999, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan,


Perkotaan dan Wilayah, ITB, Bandung.

Jhon McKnight, The Careless Society: The Community and Its counterfeits
(New York; Basic Books, 2010).

Prof. Dr. Sugiono, 2016, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D),
Alfabet, bandung.
Mahi K.A., 2015, Agropolitan : Teori dan Aplikasi, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Noor J., 2015, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah, Prenadamedia Group, Jakarta.

Soefaat dkk, 1997, Kamus Tata Ruang, Direktorat Jendral Cipta Karya
Departement Pekerjaan Umum dan Ikatan Ahli Perencanaan
Indonesia, Jakarta.

Soetomo, 2008, Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

http://bukik.com/asset-based-community-development-kreativitas-di-
tumpukanpersoalan/ diakses 30 September 2018.

Tim Penyusun program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota UNIBOS,


2018, Pedoman Petunjuk & Penulisan Proposal Kripsi, Program Studi
perencanaan Wilayah & Kota.
LAMPIRAN

Daftar Pertanyaan Penelitian Skripsi

1. Apa pendapat Bapak/Ibu terkait pengembangan Kawasan


agropolitan di kecamatan bungku utara ini?;
2. Apa manfaat dari perkembangan Kawasan agropolitan ini bagi
pemerintah dan masyarakat?;
3. Apa saja jenis-jenis pertanian dan perkebunan yang ada di Kawasan
agropolitan ini?;
4. Apa saja jenis tanaman yang paling banyak ditanam di Kawasan
agropolitan ini?;
5. Apa saja jenis tanaman yang paling banyak menghasilkan
keuntungan untuk ekonomi masyarakat?;
6. Sejauh mana target pasar dari hasil panen Kawasan agropolitan ini?;
7. Apakah Kawasan agropolitan ini mempunyai pabrik pengolahan
sendiri dalam mengolah hasil panennya?;
8. Apa jenis metode pengembangan yang diterapkan dikawasan
agropolitan kecamatan bungku utara ini?;
9. seperti apa system penerapan metode pengembangan agropolitan
yang sekarang diterapkan di kecamatan bungku utara ini?;
10. apa keunggulan metode pengembangan Kawasan ini?;
11. Apa-apa saja usaha pemerintah dalam menerapkan metode
pengembangan agropolitan ini?
12. Apakah metode yang diterapkan sudah efektif atau tidak?;
13. Sejak kapan penerapan metode pengembangan agropolitan ini di
lakukan?;
14. Apa kendala yang dihadapi selama penerapan metode
pengembangan agropolitan yang sekarang ini?;
15. Siapa sajakah orang yang terlibat dalam upaya penerapan metode
pengembangan agropolitan di kecamatan bungku utara ini?;
16. Selain dari pemerintah, adakah keterlibatan dari masyarakat dan dari
pihak asing?;
17. Adakah upaya pembentukan kelompok-kelompok tani disetiap desa
untuk peningkatan kwalitas produksi pertanian?;
18. Apakah ketersediaan sarana dan prasarana pertanian di wilayah
agropolitan ini sudah memadahi?;
19. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan pemerintah demi terpenuhnya
ketersediaan sarana dan prasarana di Kawasan agropolitan ini?;
20. Adakah Lembaga-lembaga seperti koperasi pertanian yang didirikan
sebagai penyokong peningkatan aktifitas pertanian?;
21. Kenapa masih banyak masyarakat desa yang masih kurang
berminat untuk berpartisipasi dalam pengembangan Kawasan
agropolitan ini?;
22. Apakah masyarakat desa di Kawasan agropolitan pernah diberikan
penyuluhan atau pelatihan tentang tata cara penerapan dan
pengembangan Kawasan agropolitan ini sebelum?;
23. Apakah ada masalah pembagian lahan pertanian selama penerapan
metode pengembangan Kawasan agropolitan dikecamatan bungku
utara ini?;
24. Adakah keluhan-keluhan masyarakat yang diterima oleh pemerintah
dengan system yang sekarang ini?;
25. Apakah tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk mengkaji ulang
atau mengganti metode pengembangan Kawasan agropolitan
dikecamatan bungku utara ini?.
26. Apakah anda mengetahui metode Asset Based Community
Development (ABCD)?
27. Kenapa mencoba menerapkan metode ABCD ini di kawasan
agropolitan kecamatan bungku utara?
28. Apakah anda yakin Metode yang sekarang lebih baik dari metode
ABCD?
29. Apakah anda tertarik untuk menerapkan metode ABCD ini untuk
peningkatan produktifitas di kawasan agropolitan kecamatan bungku
utara?
Kuisioner Survei Penelitian
Perhitungan Analisis Proyeksi

Kelapa Sawit : Kakao :

P2017 = 240.161,50 + 72.776,13 (1) P2017 = 3.814,20 + 1.298,1 (1)

= 312.973,63 = 5.113

P2018 = 240.161,50 + 72.776,13 (2) P2018 = 3.814,90 + 1.298,1 (2)

= 385.713,76 = 6.411,1

P2019 = 240.161,50 + 72.776,13 (3) P2019 = 3.814,90 + 1.298,1 (3)

= 458.449,89 = 7.709,2

P2020 = 240.161,50 + 72.776,13 (4) P2020 = 3.814,90 + 1.298,1 (4)

= 531.265,65 = 9.007,3

P2021 = 240.161,50 + 72.776,13 (5) P2021 = 3.814,90 + 1.298,1 (5)

= 604.042,5 = 10.305,4

Padi : Kepala :

P2017 = 218.437,20 + 88.972,80 (1) P2017 = 928,80 + 205,5 (1)

= 307.410 = 1.134,3

P2018 = 218.437,20 + 88.972,80 (2) P2018 = 928,8 + 205,5 (2)

= 396.382.8 = 1.339,8

P2019 = 218.437,20 + 88.972,80 (3) P2019 = 928,8 + 205,5 (3)

= 485.355,60 = 1.545,3

P2020 = 218.432,20 + 88.972,80 (4) P2020 = 928,8+ 205,5 (4)

= 574.328,4 = 1.750,8

P2021 = 218.437,20 + 88.972,80 (5) P2021 = 928,8 + 205,5 (5)

= 663.301.2 = 1.956,3
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Bungku, Kabupaten Morowali,


pada 12 Juli 1996. Penulis merupakan anak pertama dari
3 bersaudara dari pasangan As’at Paranaka, Spd. Mpd.
dan Farida Yap, Spd. Pada Tahun 2000 penulis memulai
pendidikannya di Taman Kanak-kanak Dharmawanita.
Kemudian pada tahun 2002 penulis melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Kecamatan Bungku
Utara, kemudian pada 2003 pindah ke SDN 1 Wosu Kecamatan Bungku
Barat, pada tahun 2004 pindah kembali ke MIN 1 Kecamatan Bungku Utara
dan menamatkan pendidikan dasarnya pada Tahun 2008. Kemudian
melanjutkan pendidikannya pada SMPN 1 Baturube dan lulus pada tahun
2011. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di SMAN 1 Bungku
Utara dan lulus pada tahun 2014. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan Pendidikan di Universitas Bosowa Makassar melalui jalur ujian
seleksi masuk dan diterima pada program studi Perencanaan Wilayah dan
Kota di Fakultas Teknik.

Skripsi dengan judul “Pengembangan Asset Based Community


Development di Kawasan Agropolitan Kecamatan Bungku Utara Kabupaten
Morowali Utara” ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
pada fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar di bawah Bimbingan
Bapak Ir. Rudi Latief, M.Si dan Bapak Ir. Jufriadi, M.SP.

Anda mungkin juga menyukai