Anda di halaman 1dari 2

i aj’main. Ama ba’du.

Yang saya hormati ustadz Slamet beserta keluarganya,dan asatidz-asatidzah TPA Al-Huda Kajangan
serta teman teman yang saya sayangi.

Pertama tama marilah kita bersyukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya
sehingga kita semua bisa berkumpul kembali dalam yasinan ini. Shalawat dan salam senantiasa kita
panjatkan pada junjungan kita semua Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi Rasul kebanggaan
umat Islam dan supaya kita semua mendapat limpahan syafaat beliau kelak di akhirat nanti.

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang “Melatih diri untuk tawadhu”

Tawadhu berarti menempatkan kita lebih rendah daripada mereka semua. Hal ini guna mengubur
sifat sombong yang kerap kali bergelora dalam diri kita. Tawadhu penting kita terapkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan kepada Allah swt maupun kepada seluruh makhluk
ciptaan-Nya, meliputi manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya.

Lawan dari tawadhu adalah sombong. Sombong adalah pangkal berbagai macam sifat tercela
lainnya. Kita tentu hafal betul kisah Iblis yang menolak bersujud dalam rangka menghormati Nabi
Adam as. Itu tidak lain karena kesombongan makhluk terlaknat tersebut. Pasalnya, Iblis merasa lebih
baik karena diciptakan dari api, sedangkan Nabi Adam as diciptakan dari tanah.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah, menegaskan bahwa merasa lebih baik dari
makhluk lain adalah bentuk kesombongan. Karenanya, kita harus meyakini bahwa sesungguhnya
yang terbaik di sisi Allah swt itu adanya di akhirat kelak. Hal demikian tentu saja tidak berada dalam
jangkauan kita sebagai manusia biasa.

Kita harus memiliki keyakinan bahwa orang lain itu lebih baik dari kita. Jika dalam pandangan mata
terlihat buruk, kita tidak dapat menganggap keseluruhannya demikian. Setiap manusia pasti
memiliki sisi yang baik. Imam al-Ghazali memberikan tips bagaimana kita menggunakan kacamata
tawadhu dalam melihat siapa saja, anak kecil, orang tua, orang bodoh, atau kafir sekalipun. Anak
kecil tentu belum dihukumi taklif sehingga tidak bermaksiat kepada Allah swt, sedangkan hari-hari
kita tidak pernah lepas dari bermaksiat kepada-Nya. Dengan begitu, kita tidak perlu ragu untuk
mengakui bahwa anak kecil itu lebih baik dari diri kita.

Orang yang lebih tua dari kita sebaiknya dipandang lebih baik dari kita. Sebab, mereka lebih dahulu
daripada kita dalam beribadah kepada Allah swt. Karenanya, tak ada halangan lagi untuk meyakini
bahwa mereka lebih baik daripada kita.

Sekalipun ada orang yang tampak bodoh, kita juga harus meyakini kebaikan mereka. Sebab, jika pun
mereka melakukan maksiat, tentu itu didasari atas ketidaktahuannya, sedangkan kita tetap
bermaksiat, meskipun kita tahu bahwa hal tersebut salah dan dilarang Allah swt.

Bahkan, terhadap orang kafir pun kita tidak boleh merasa lebih baik. Sebab, mungkin saja di suatu
saat nanti, atau mungkin di akhir hayatnya kelak, ia mengucapkan syahadat dan wafat dalam
membawa keislaman dan keimanan. Hal demikian bukanlah hal yang mustahil dan memang banyak
terjadi.

Dengan keyakinan demikian, perasaan tidak lebih baik dari orang lain, maka kita akan berusaha
untuk terus memperbaiki diri, berintrospeksi, mencari kesalahan diri agar tidak lagi mengulanginya
di kemudian hari dan menggantinya dengan sikap dan laku yang baik. Kita juga tidak mencari-cari
kesalahan orang lain, tetapi justru mencari dan menemukan kebaikannya untuk kita tiru, kita
teladani sebaik mungkin sehingga kita bukan saja terhindari dari laku buruk, tetapi justru melampaui
hal tersebut, yakni dengan berlaku baik.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan sikap tawadhu dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab, orang tawadhu adalah hamba Allah swt yang utama. Hal ini ditegaskan Allah swt dalam Al-
Qur’an Surat Al-Furqan ayat 63.

Yang artinya: “Adapun hamba-hamba (utama) Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang
yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan
kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.

Imam Abu Ishaq Ats-Tsa’labi dalam kitabnya menjelaskan bahwa hamba yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah hamba utama, yakni orang yang tawadhu, rendah hati. Bahkan, jika ada orang yang
‘mengkhutbahi’, menasihati dengan kata-kata yang justru tidak membuatnya nyaman, orang
tersebut tetap menjawabnya dengan doa keselamatan. Dalam tafsir lain, Ibnu Hayyan mengatakan
bahwa hamba utama itu menjawab dengan perkataan yang menyelamatkannya dari dosa.

Meskipun diperlakukan dengan tidak baik, sikap tawadhu menghindarkan kita dari dosa-dosa berupa
laku buruk yang serupa atau bahkan lebih sebagai balasan kepadanya. Kita justru akan menjawab
perlakuan itu dengan kebalikannya, yaitu dengan mendoakan keselamatan, tetap menjaga etika dan
akhlak kita, baik secara perbuatan ataupun perkataan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Abul
Qasim al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya, Lathaiful Isyarat.

Nabi Muhammad saw bersabda sebagaimana dicantumkan Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab
Lubabul Hadits yang artinya “ Tawadhu merupakan bagian dari akhlaknya para Nabi, sedangkan
sombong adalah akhlaknya orang-orang kafir dan para firaun.”

Oleh karena itu, dengan kita bertawadhu, sesungguhnya kita tengah menjalankan salah satu
akhlaknya para Nabi. Dan semoga, kita dapat senantiasa menjalankan sikap demikian ini. Meskipun
mungkin akan sulit diterapkan karena beragam hal, mulai merasa diri pintar karena berprestasi,
merasa lebih dekat dengan Allah karena selalu berjamaah di masjid, misalnya, dan sebagainya,
tawadhu haruslah kita latih. Sedikit demi sedikit, insyaallah, kita akan terbiasa bersikap demikian.

Demikian yang bisa saya sampaikan kurang lebihnya saya minta maaf. Akhirukalam bilahi taufik
walhidayah. Wassalamu’alaikum wr.wb.

Anda mungkin juga menyukai