Anda di halaman 1dari 22

PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila


DOSEN PENGAMPU:
Dr. H. Metroyadi, SH., M.Pd
Zain Ahmad Fauzi, M.Pd

Disusun oleh Kelompok 4


Kelas 1C
Anita 2310125120030
Irma Noor Afiyanti 2310125220079
Majdina Rakha El Eisy 2310125320036
Muhammad Fahrizal Ramadani 2310125210077
Najma Khairina 2310125220073
Nazwa Nanda Humaira 2310125220055
Noor Habibah 2310125120031
Putri Sardela 2310125220074
Ririn Septiawati 2310125320024
Wildiana Rifqa Suriansyah 2310125320027

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia sebelum disahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dulu.
Dahulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara, yang merupakan
nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta religius. Nilai-nilai tersebut telah ada
dan melekat serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan
hidup, sehingga materi Pancasila yang berupa nila-nilai tersebut tidak lain
adalah bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa indonesia sebagai kausa
materialis pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan
secara formal oleh para pendiri negara utuk di jadikan sebagai dasar filsafat
negara indonesia. Proses perumusan materi pancasila secara formal tersebut
dilakukan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pertama, sidang Panitia Sembilan, sidang
BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar filsafat
negara republik Indonesia.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami pancasila
secara lengkap dan utuh terutama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa
Indonesia. Secara epistemologi sekaligus sebagai pertanggung jawaban ilmiah,
bahwa pancasila selain sebagai dasar negara indonesia juga sebagai pandangan
hidup bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian luruh
bangsa indonesia pada waktu mendirikan negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pancasila?
2. Bagaimana terjadinya sejarah pada zaman Kutai?
3. Bagaimana terjadinya sejarah pada zaman Sriwijaya?

1
4. Bagaimana terjadinya sejarah pada zaman kerajaan-kerajaan sebelum
Majapahit?
5. Bagaimana terjadinya sejarah pada zaman kerajaan Majapahit?
6. Bagaimana terjadinya sejarah pada zaman penjajahan?
7. Bagaimana terjadinya sejarah pada kebangkitan nasional?
8. Bagaimana terjadinya sejarah pada zaman penjajahan Jepang?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Pancasila.
2. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya sejarah pada zaman Kutai.
3. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya sejarah pada zaman Sriwijaya.
4. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya sejarah pada zaman kerajaan-
kerajaan sebelum Majapahit.
5. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya sejarah pada zaman kerajaan
Majapahit.
6. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya sejarah pada zaman penjajahan.
7. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya sejarah pada kebangkitan nasional.
8. Untuk mengetahui bagaimana terjaidnya sejarah pada zaman penjajahan
Jepang.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pancasila
Para pendiri negara republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945
menyepakati Dasar Negara adalah Pancasila. Istilah pancasila itu sendiri
menurut Darji Darmodiharjo, SH (1995 : 3) sudah dikenal sejak zaman
Majapahit pada abad ke XIV, terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan
Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular.
Istilah pancasila dalam kehidupan kenegaraan dikenalkan pertama kali
oleh Ir. Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Menurut Ir.
Soekarno, Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun
sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan
demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yaitu
falsafah bangsa Indonesia. Muhammad Yamin menjelaskan bahwa Pancasila
berasal dari kata panca yang berarti lima dan sila yang berarti sendi, atas, dasar
atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian, Pancasila
merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku
yang penting dan baik.
Pancasila sejak tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan sebagai dasar
negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Secara umum fungsi dan peranan Pancasila
menurut Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Nasional dan
Tata Urutan Perundangan dinyatakan bahwa Pancasila berfungsi sebagai dasar
negara. Hal ini mengandung maksud bahwa Pancasila digunakan sebagai dasar
untuk mengatur penyelenggaraan ketatanegaraan negara, yang meliputi bidang
idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

3
Pengertian Pancasila juga terbagi menjadi tiga, yaitu secara etimologis,
historis, dan terminologis.
a. Pengertian Pancasila secara Etimologis
Bila dilihat secara harfiah (Etimologis) “Pancasila” berasal dari bahasa
Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana), yang dapat dijabarkan
dalam dua kata, yaitu Panca yang berarti lima, dan Sila yang berarti dasar.
Sehingga pancasila berarti lima dasar, yaitu lima Dasar Negara Republik
Indonesia.
Istilah “Sila” juga bisa berarti sebagai aturan yang melatar belakangi
perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab
(sopan santun); akhlak dan moral.
Istilah Pancasila menurut Prof. Darji Darmodiharjo, SH telah dikenal
sejak zaman kerajaan Majapahit pada abad XIV, yaitu terdapat dalam buku
Negarakertagama karangan Empu Prapanca, dan buku Sutasoma karangan
Empu Tantular.
Dalam buku Sutasoma ini istilah Pancasila disamping mempunyai arti
“berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sansekerta) dia juga mempunyai arti
pelaksanaan Kesusilaan yang lima, (Pancasila Krama), yang meliputi:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa)
2. Tidak boleh mencuri (asteya)
3. Tidak boleh berjiwa dengki (Indriva nigraha)
4. Tidak boleh berbohong (amrsuada)
5. Tidak boleh mabuk minuman keras (dama). (Darji Darmodihardjo, et.al:
15).

b. Pengertian Pancasila Secara historis

Masuknya Jepang ke Indonesia berjalan dengan mulus dan mendapat


sambutan gembira dari bangsa Indonesia, karena perlakuan Jepang yang
ramah. Bahkan saat itu Indonesia diperbolehkan mengibarkan bendera
merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia raya.

Bahkan dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara tidak terlepas


dari janji pemerintah Jepang di Tokyo yang disampaikan oleh perdana

4
menteri Kaiso di hadapan Parleman Jepang pada tanggal 7 September 1944,
yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai
hadiah dari pemerintah Jepang.
Walaupun dalam perkembangannya janji tersebut baru dapat dilakukan
setelah Jepang menglami berbagai kekalahan dalam semua medan
pertempuran, serta adanya berbagai desakan dari pergerakan bangsa
Indonesia, yang akhirnya memaksa Jepang untuk membentuk suatu badan
usah-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atau biasa disebut
dengan “DOKURITZU ZYUNBI TYOOSAKAI” pada tanggal 29 April 1945.
Kemudian dilanjutkan proses pelantikannya pada tanggal 28 Mei 1945,
(Sumatri,1992:77-78).
Walaupun demikian Proses perumusan atau sidang BPUPKI tetap
dilaksanakan dan dalam sidang BPUPKI pertama Dr. Radjiman
Widyodiningrat, mengajukan masalah yang akan dibahas pada sidang
tersebut, yaitu yang berkenaan dengan calon rumusan Dasar Negara
Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampillah beberapa tokoh pendiri
bangsa yang mengajukan rumusannya masing-masing, yaitu :
a) Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945).
Pada tanggal 29 Mei 1945 BPUPKI mengadakan sidangnya yang
pertama. Peristiwa ini telah dijadikan tonggak sejarah karena pada saat
itulah Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk
mengemukakan pidatonya dihadapan sidang lengkap BPUPKI. Rumusan
Dasar Negara Indonesia merdeka yang diidam-idamkan itu disampaikan
secara lisan yang terdiri dari:
1. Peri Kebangsaan.
2. Peri Kemanusiaan.
3. Peri Ke-Tuhanan.
4. Peri Kerakyatan.
5. Kesejahteraan Rakyat.

5
b) K. Bagoes Hadi Kosumo dan K.H.Wahid hasyim (30 Mei 1945).
Pada hari kedua pada tanggal 30 Juni 1945, yang tampil
menyampaikan pidatonya adalah tokoh-tokoh Islam yang diwakili oleh
K. Bagoes Hadi Kosumo dan K. H.Wahid Hasyim. Namun mereka hanya
menyampaikan usul atau pandangan mengenai dasar negara Indonesia
adalah berdasarkan syariat agama Islam. Namun mereka tidak
menyampaikan rincian yang menjadi dasar negara tersebut. (Subandi Al
Marsudi, 2001: 20).
c) Dr. Soepomo (31 Mei 1945)

Kemudian dalam persidangan hari ketiga tanggal 31 Mei 1945,


tampil sebagai pembicara utama adalah Soepomo, yang di dalam
pidatonya beliau menyampaikan pandangannya mengenai Rumusan
dasar Negara kebangsaan, yaitu melalui uraian yang berfokus pada aliran
pikiran negara integralistik. Walaupun dalam kaitan ini tidak dijumpai
adanya perumusan dasar negara yang lima dari Soepomo, kecuali dalam
buku karangan Nugroho Notosusanto yang berjudul: “Proses perumusan
Pancasila Dasar Negara” yang sumbernya dikutip dari buku karangan
Muhammad Yamin, yang berjudul “Naskah Persiapan UUD 1945” yang
di dalamnya terdapat rumusan lima dasar negara yang diusulkan oleh
Soepomo. Kelima dasar negara tersebut adalah:

1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir dan batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat. (Nugroho Notosusanto, 1981: 53).
d) Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945).

Pada tanggal 1 Juni 1945 adalah merupakan hari keempat dari masa
persidangan I BPUPKI. Tokoh yang tampil sebagai pembicara utama
dalam sidang tersebut adalah Soekarno yang berpidato secara lisan
mengenai konsep rumusan dasar negara Indonesia. Untuk nama dari
dasar negara tersebut Soekarno memberikan nama dengan “Pancasila”

6
yang artinya lima dasar, yang menurut Soekarno atas saran seorang
temannya yang ahli bahasa, tapi tanpa menyebutkan siapa namanya. Dan
usul mengenai nama Pancasila tersebut dapat diterima oleh peserta
sidang.

e) Piagam Jakarta (22 Juni 1945).

Pada tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional, yang dikenal


dengan Panitia 9, yang terdiri dari Ir. Soekarno (sebagai Ketua), dan 8
delapan orang anggota, yaitu Drs. Muhammad Hatta, Mr. Muhammad
Yamin, Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. Alfred Andre Maramis, Abdoel
Kahar Muzakkir, K.H.Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan H.
Agus Salim. Mereka (Panitia 9) ini bersidang untuk membahas usul-usul
dasar negara yang telah disampaikan dalam sidang BPUPKI pertama.
Sidang berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal dengan
“Piagam Jakarta” atau menurut Muh. Yamin disebut dengan Jacarta
Charter, dan Gentelman Agrement menurut Soekiman. Yang didalamnya
memuat perumusan Dasar Negara sebagai hasil kerja kolektif Panitia 9,
yang di dalamnya terdiri atas lima dasar, atau Pancasila.

c. Pengertian Pancasila Secara Terminologis.


Dengan diproklamasikannya Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus
1945, maka lahirlah negara Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 18
Agustus 1945 dilanjutkan dengan sidang PPKI sebagai sarana untuk
melengkapi alat-alat kelengkapan negara yang telah merdeka. Dalam sidang
tersebut telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia, yang
selanjutnya dikenal dengan nama UUD 1945. Naskah dalam UUD 1945
secara keseluruhan terdiri dan tersusun atas tiga bagian, yaitu:
1. Bagian Pembukaan, yang terdiri atas 4 alinea.
2. Bagian batang tubuh, yang terdiri atas 16 Bab, 37 Pasal, dan 4 Pasal
Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan.
3. Bagian Penjelasan, yang meliputi penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal.

7
B. Zaman Kutai
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan
ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti
tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarman keturunan dari raja
Aswawarman keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti
tersebut mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana,
dan para Brahmana membangun yupa itu sebagi tanda terima kasih raja yang
dermawan (Ismaun, 1975: 25). Masyarakat Kutai yang membangun zaman
sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik,
dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para
Brahmana.
Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja
ini tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di Jawa dan
Sumatera. Dalam zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil
mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi hampir separuh Indonesia
dan seluruh wilayah Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra
dan Majapahit yang berpusat di Jawa (Toyibin, 1997).

C. Zaman Sriwijaya
Menurut Mr. M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan Indonesia
tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan
warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia
terbentuk melalui tiga tahap, yaitu pertama, zaman Sriwijaya di bawah wangsa
Syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan
zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut
merupakan negara kebangsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga, Negara
kebangsaan modern yaitu Negara Indonesia merdeka (sekarang negara
Proklamasi 17 Agustus 1945) (Sekretariat Negara RI., 1995: 11).
Pada abad ke VII munculah suatu kerajaan di Sumatra yaitu kerajaan
Sriwijaya, di bawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam
prasasti Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang
bertarikh 605 Caka atau 683 M, dalam bahasa Melayu kuna dan huruf Pallawa.

8
Kerajaan itu adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya,
kunci lalu-lintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat Sunda (686)
kemudian selat Malaka (775). Pada zaman itu kerajaan Sriwijaya merupakan
suatu kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia selatan.
Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan dengan pedagang pengrajin
dan pegawai raja yang disebut Tuha An Vatakvurah sebagai pengawas dan
pengumpul semacam koperasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan
barang dagangannya (Keneth R. Hall, 1976: 75-77).
Sebagai suatu kerajaan yang besar Sriwijaya sudah mengembangkan
tata negara dan tata pemerintahan yang mampu menciptakan peraturan-
peraturan yang ditaati oleh rakyat yang berada diwilayah kekuasaannya.
Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus
pajak, har benda kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis
pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga pada saat itu
kerajaan dalam menjalankan sistem negara tidak dapat dilepaskan dengan nilai
Ketuhanan (Suwarno, 1993: 19).

D. Zaman Kerajaan-Kerajaan Sebelum Majapahit


Sebelum kerajaan Majapahit muncul sebagai suatu kerajaan yang
memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti. Kerajaan Kalingga pada
abad ke VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membantu membangun candi
Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah wihara untuk pendeta Budha didirikan
di Jawa Tengah bersama dengan dinasti Syailendra (abad ke VII dan IX).
Refleksi puncak budaya dari Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-
kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha
pada abad ke IX), dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Sebagaimana telah diketahui bahwa agama Hindu dan Budha berasal dari
India, sehingga pembangunan candi-candi tersebut menunjukkan fakta bahwa
dahulu bangsa Indonesia telah mengembangkan toleransi beragama dan sikap
humanisme dalam pergaulan antar manusia.

9
Selain kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah tersebut di Jawa Timur
munculan kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke IX), Darmawangsa (abad ke
X) demikian juga kerajaan Airlangga pada abad ke XI. Raja Airlangga
membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap
toleransi dalam kehidupan beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah
agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan
secara damai (Toyibin, 1997: 26). Menurut prasasti Kelagen, Raja Airlangga
telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola
dan Champa hal ini menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan. Demikian pula
Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan bathin di hutan dan tahun
1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan
memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, meneruskan
tradisi istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula menurut prasasti
Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk membuat
tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian rakyat, dan hal ini merupakan
nilai-nilai sila kelima (Toybin, 1997: 28,29).
Bahkan pada zaman itu lambang negara Indonesia yang makna di
dalamnya juga melambangkan sila-sila Pancasila, digambarkan dengan burung
garuda, dengan seloka Bhinneka Tunggal Ika. Burung garuda adalah
merupakan kekayaan satwa nusantara, sebagai salah satu jenis burung bahkan
terdapat secara luas di tanah bangsa serumpun dan memiliki kesamaan
kebudayaan yaitu madagaskar dan malagsi, dan satwa itu dahulu diistilahkan
dengan nama Vurumahery yang berarti burung sakti. Garuda adalah termasuk
jenis burung yang besar dan kuat dan mampu terbang tinggi, yang
melambangkan suatu bangsa (Indonesia) yang besar dan kuat. Sebagai seekor
satwa, burung garuda mampu terbang tinggi, dan hal ini melukiskan cita-cita
bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat internasional (Ismaun, 1975:
118).
Burung garuda juga lambang pembangun dan pemelihara, hal ini dapat
ditafsirkan dari sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dahulu ada yang
menganut Agama Hindu dan garuda adalah wahana (kendaraan) Dewa Wishnu
yaitu dewa pembangun dan Pemelihara dan dalam cerita wayang di Jawa

10
terjelma dalam Bhatara Kresna tokoh yang bijaksana. Bahkan Raja Airlangga
menggunakan lencana Garudamukha yang terkandung dalam kitab
Marowangsa. Demikian pula kerajaan Kedah juga menggunakan lambang
Garuda Garagasi sebagai lambang pemelihara (Ismaun, 1975: 119).
Di wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada
abad ke XIII), yang kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya
kerajaan Majapahit.

E. Zaman Kerajaan Majapahit


Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah
Mada yang dibantu oleh laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk
menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu
membentang dari semananjung melayu (Malaysia sekarang) sampai Inan Barat
melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan
damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365).
Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah "Pancasila". Empu Tantular
mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka
persatuan nasional yaitu "Bhinneka Tunggal Ika", yang melambangkan bangsa
dan negara Indonesia yang tersusun dari berbagai unsur rakyat (bangsa) yang
terdiri atas berbagai macam, suku, adat-istiadat, golongan, kebudayaan dan
agama, wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau menyatu menjadi bangsa
dan negara Indonesia. Secara filologis istilah seloka itu diambil dari bahasa
Jawa kuno, berasal dari zaman kerajaan Keprabuan Majapahit yang zaman
keemasannya di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah
Mada (1350-1364). Pada zaman kerajaan Majapahit tersebut hidup berbagai
agama dan aliran antara lain Hindu dengan berbagai macam aliran dan
sektenya, serta agama Budha dengan berbagai aliran dan sektenya, serta
berbagai macam tradisi yang tampak dalam Tantrayana dan upacara Crada
(yaitu upacara dalam menghormati nenek moyang yang telah meninggal)
kemudian bercampur yang disebut dengan syncritisme. Berbagai unsur agama

11
yang berbeda tersebut hidup dalam suatu kerajaan di bawah kekuasaan
kerajaan Majapahit dan di bawah satu Hukum Negara (Dharma) dan hidup
rukun dan damai dengan penuh toleransi antara umat berbagai agama.
Sebagaimana ditemukan dalam peninggalan sejarah bahwa Agama Hindu
aliran Ciwa dipimpin oleh Dharmadyaksaring Kacaiwan (Kepala Urusan
Agama Ciwa), agama Budha dipimpin oleh Dharmadyaksaring Kasogatan
(Kepala Urusan Agama Budha) yang pernah dijabat oleh ayah dari empu
Prapanca sendiri. Seloka "Bhinneka Tunggal Ika” dipetik dari kitab Sutasoma
atau Purudasanta dalam bahasa Jawa Kuno gubahan Empu Tantular.
Seloka 'Bhinneka Tunggal Ika' dipetik dari kitab Sutasoma atau
Purudasanta dalam bahasa Jawa Kuno gubahan Empu Tantular. Bunyi dari
petikan bagian kitab Sutasoma itu selengkapnya ditulis dalam bahasa Jawa
Kuno sebagai berikut:
“Hyung Budha tan pahi Ciwa raja dewa Rwanckadhatu winuwus wara Budha
wicwa”
“Bhinneka rakwa ring apan kena parwwanosen.”
“Mangka Yittnawa lawan Ciwatatwatunggal”
“Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”
Adapun terjemahannya adalah sebagai berikut:
“Dewa Budha tidak berbeda dengan dewa Ciwa sebagai dewa Keduanya
disebutkan memiliki sejumlah anasir dunia, Budha yang tinggal di
kedudukannya ini adalah dunia semesta alam.”
“Apakah kedua mereka yang dapat diperbedakan ini dipisakan menjadi dua
Dzat budha dan dzat Ciwa itu hanya satu. Ita dapat diperbedakan tetapi
sesungguhnya satu, tak ada hukum agama yang mendua” (Ismaun, 1975: 122).
Jika dilakukan kajian melalui filsafat analitika bahasa (suatu metode
analisis terhadap makna penggunaan ungkapan bahasa era kontemporer di
Eropa), seloka Bhinneka Tunggal Ika itu pada hakikatnya merupakan suatu
frase. Secara linguistis makna struktural seloka itu adalah “beda itu, satu itu”.
Secara morfologis kata Bhinneka berasal dari kata polimorfemis yaitu "bhinna”
dan “iko”. Kata “Bhina” berasal dari bahasa Sansekerta “Bhid", yang dapat
diterjemahkan menjadi beda. Dalam proses linguistis karena digabungkan

12
dengan morfem “ika” maka menjadi “bhinna” “Ika” artinya ina, "Bhinneka"
artinya beda itu, sedangkan “tunggal ika” artinya satu itu (Kaelan, 2009). Oleh
karena itu jikalau diterjemahkan secara bebas maka, makna “Bhinneka
Tunggal Ika”, “Tan hana dharma mangrwa”, adalah meskipun berbeda-beda
akan tetapi satu jua. Tidak ada hukum yang mendua (dualisme). Toleransi
positif dalam bidang agama dijunjung tinggi sejak masa bahari yang telah
silam. Hal ini sebagai suatu fakta historis bahwa kausa materialis Pancasila
sudah dimiliki dan diamalkan dalam kehidupan bersama, meskipun pada saat
itu masih dalam kekuasaan kerajaan. Selain nilai-nilai yang diangkat dan
dikembangkan dalam negara kesatuan Republik Indonesia, juga terminologi
Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam
sidang Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun
1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai
berikut, “Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jika kalau seluruh
nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika kalau Gurun, Seram,
Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan” (Yamin, 1960:60). Selain itu dalam hubungannya dengan negara
lain raja Hayam Wuruk senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan
baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja.
Menurut prasasti Brumbung (1329), dalam tata pemerintahan kerajaan
Majapahit terdapat semacam penasehat seperti Rakyan I Hino, I Sirikan, dan I
Halu yang bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai
musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan kerajaan
Majapahit. Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia
dan banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme
Negara kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh
faktor keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara
pada permulaan abad XV, maka sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur
mulai memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan "Sinar Hilang
Kertaning Bumi" pada permulaan abad XVI (1520).

13
F. Zaman Penjajahan
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka
berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan
itu berkembang pulalah kerajan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan
mulailah berdatangan orang-orang Eropa di nusantara. Mereka itu antara lain
orang Portugis yang kemudan diikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin
mencari pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang pada awalnya berdagang
adalah orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis
mulai menunjukkan perannya dalam bidang perdagangan yang meningkat
menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh
Portugis.
Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia
dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untuk menghindarkan
persaingan di antara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan
suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (Verenigde Oost Indische
Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah 'Kompeni'.
Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga
rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataram di bawah pemerintahan Sultan
Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dengan menyerang ke
Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan
namun Gubernur Jendral J.P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang
kedua itu.
Beberapa saat setelah Sultan Agung mangkat maka Mataram menjadi
bagian kekuasaan kompeni. Bangsa belanda mulai memainkan peranan
politiknya dengan licik di Indonesia. Di Makasar yang memiliki kedudukan
yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan timbul
lah perlawanan dari rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula
wilayah Banten (Sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukkan pula oleh
kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa
Timur pada akhir abad ke XVII nampaknya tidak mampu atau meruntuhkan
kekuasaan kompeni pada saat itu. Demikian pula ajakan Tonu Iskandar

14
pimpinan armada dari Minangkabau untuk mengadakan perlawanan bersama
terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat. Perlawanan
bangsa Indonesia terhadap penjajah yang terpencar-pencar dan tidak memiliki
koordinasi tersebut banyak mengalami kegagatan sehingga banyak
menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa. Demikianlah Belanda pada
awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis dan kaya akan hasil rempah-
rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat
kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Pada abad itu sejarah mencatat bahwa belanda berusaha dengan keras
untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaannya di seluruh Indonesia.
Mereka ingin membulatkan hegemoninya sampai kepelosok-pelosok nusantara
kita. Melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah
perlawanan rakyat di berbagai wilayah nusantara, antara lain, Patimura di
Maluku (1817), Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di
Minangkabau (1821-1837). Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-830),
Jlentik, Polim, Teuku Tjik di Tiro, Teuku Umar dalam perang Aceh (1860),
anak Agung Made dalam perang Lombok (1894-1895). Sisingamangaraja di
tanah Batak (1900), dan masih banyak perlawanan rakyat di berbagai daerah di
nusantara. Dorongan akan cinta tanah air menimbulkan semangat untuk
melawan penindasan dari bangsa Belanda, namun sekali lagi karena tidak
adanya kesatuan dan persatuan di antara mereka dalam perlawanan melawan
penjajah, maka perlawanan tersebut senantiasa kandas dan bahkan
menimbulkan banyak korban.
Penghisapan mulai memuncak ketika belanda mulai menerapkan sistem
monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban
kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa. Penderitaan rakyat semakin
menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap penderitaan
tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk
memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.

15
G. Kebangkitan Nasional
Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan
kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri.
Republik Philipina (1898), yang dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang
atas Rusia di Tsunia (1905), gerakan Sun Yat Sen dengan republik Cinanya
(1911). Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di
Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu
kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo
dengan Budi Utomonya. Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan
nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang merdeka, yang memiliki
kehormatan dan martabat dengan kekuatannya sendiri.
Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang
merupakan pelopor pergerakan nasional, sehingga segera setelah itu munculah
organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan
nasional itu antara lain, Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian
dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan mengganti
namanya menjadi Sarekat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S.
Cokroaminoto. Berikutnya munculah Indische Partij (1913), yang dipimpin
oleh tiga serangkai yaitu, Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi
Suryaningrat (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar
Dewantoro). Sejak semula partai ini menunjukkan keradikalannya, sehingga
tidak dapat berumur panjang karena pemimpinnya dibuang ke luar negeri
(1913).
Dalam situasi yang menggoncangkan itu munculah Partai Nasional
Indonesia (PNI) (1927) yang dipelopori oleh Soekarno, Ciptomangunkusumo,
Sartono, dan tokoh lainnya. Mulailah kini perjuangan nasional Indonesia dititik
beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan yang jelas yaitu Indonesia
merdeka. Tujuan itu diekspresikannya dengan kata-kata yang jelas, kemudian
diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya antara lain,
Muh. Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, serta tokoh-tokoh muda
lainnya. Perjuangan rintisan kesatuan nasional kemudian diikuti dengan
Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang isinya satu Bahasa, satu

16
Bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia raya pada saat ini pertama
kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan kesadaran
berbangsa dan bernegara. Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan,
dan diganti bentuknya dengan Partai Indonesia dengan singkatan Partindo
(1931). Kemudian golongan Demokrat antara lain Moh. Hatta dan St. Syahrir
mendirikan PNI baru yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan
semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri
(Toyibin, 1997: 35).

H. Zaman Penjajahan Jepang


Setelah Nederland diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5 Mei
1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wihelmina dengan
segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga pemerintahan
Belanda masih dapat berkomunikasi dengan pemerintah jajahan di Indonesia.
Janji Belanda tentang Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam
kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi
kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggal 10 Maret 1940,
kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.
Fasis Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda "Jepang
Pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia". Akan tetapi dalam
perang melawan Sekutu Barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis,
Belanda dan negara Sekutu lainnya) nampaknya Jepang semakin terdesak.
Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka
pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu
menjanjikan Indonesia merdeka kelak di kemudian hari.
Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan hari ulang tahun Kaisar
Jepang beliau memberikan hadiah ulang tahun kepada bangsa Indonesia yaitu
janji kedua pemerintah Jepang berupa “kemerdekaan tanpa syarat”. Janji itu
disampaikan kepada bangsa Indonesia seminggu sebelum bangsa Jepang
menyerah, dengan Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari
Pemerintah Militer Jepang di seluruh Jawa dan Madura), No. 23. dalam janji
kemerdekaan yang kedua tersebut bangsa Indonesia diperkenankan untuk

17
memperjuangkan kemerdekaannya. Bahkan dianjurkan kepada bangsa
Indonesia untuk berani mendirikan negara Indonesia merdeka di hadapan
musuh-musuh Jepang yaitu Sekutu termasuk kaki tangannya Nica (Netherlands
Indie Civil Administration), yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya
di Indonesia. Bahkan Nica telah melancarkan serangannya di pulau Tarakan
dan Morotai.
Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka
sebagai realisasi janji tersebut maka dibentuklah suatu badan yang bertugas
untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
Dokuritsu Junbi Cosakai. Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua,
wakil ketua, serta para anggota.
Pada waktu itu susunan Badan Penyelidik itu adalah sebagai berikut,
Ketua (Kaicoo) Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat Ketua Muda (Itibangase)
(seorang anggota luar biasa). (Fuku Kaicoo Tokubetsu lin) Ketua Muda R. P.
Soeroso (Merangkap kepala) (Fuku Kaicoo atau Zimukyoku Kucoo).
Enampuluh (60) orang anggota biasa (lin) bangsa Indonesia (tidak termasuk
ketua dan ketua muda), yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa, tetapi
terdapat beberapa dari Sumatra. Maluku, Sulawesi dan beberapa orang
peranakan Eropa, Cina, Arab. Semuanya itu bertempat tinggal di Jawa, karena
Badan Penyelidik itu diadakan oleh Saikoo Sikikan Jawa.
Nama para anggota itu menurut nomor tempat duduknya dalam sidang
adalah sebagai berikut:
1) Ir. Soekarno, 2) Mr. Muh. Yamin, 3) Dr. R. Kusumah At-maja,
4) R. Abdulrahim Pratalikrama, 5) R. Aris, 6) K. Hajar Dewantara,
7) Ki Bagus Hadikusuma, 8) M.P.H. Bintoro, 9) A. K. Muzakir,
10) B.P.H. Poerbojo, 11) R.A.A. Wiranatakoesoema,
12) Ir. R. Asharsoetedjo Moenandar, 13) Oeij Tjiang Tjoei,
14) Drs. Moh. Hatta, 15) Oeij Tjong Hauw, 16) H. Agus Salim.
17) M. Soetardjo Kartohadikusumo, 18) R.M. Margonojohadikusumo,
19) K.H. Abdul Halim, 20) K.H. Masjkoer, 21) R. Soedirman,
22) Prof. Dr. P.A.H. Djayadiningrat, 23) Prof. Dr. Soepomo,

18
24) Prof. Ir. Roeseno, 25) Mr. R.F. Singgih, 26) Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso,
27) R.M.T.A. Soejo, 28) R. Ruslan Wongsokusumo,
29) R. Soesanto Tirtoprodjo, 30) Ny. R.S.S. Soemario Mangunpoes-pito,
31) Dr. R. Boentaran Martoatmodjo, 32) Liem Koen Hian,
33) Mr. J. Latuharhary, 34) Mr. R. Hindromartono,
35) R. Soekardjo Wirjopranoto, 36) Hadi Ah. Sanoesi, 37) A.M. Dasaat,
38) Mr. Tan Eng Hoa, 39) Ir. R.M.P. Soerachman Tjokroadisurjo,
40) R.A.A. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro,
41) K.R.M.T.H. Woeryaningrat. 42) Mr. A. Soebardjo,
43) Prof. Dr. R. Djenal Asiki Wijayakoesoema, 44) Abikoesno,
45) Parada Harahap, 46) Mr. R.M. Sartono, 47) K.H.M. Mansoer,
48) K.R.M.M.A. Sosrodiningrat, 49) Mr. Soewandi,
50) K.H.A. Wachid Hasyim, 51) P.F. Dahler, 52) Dr. Sockiman,
53) Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, 54) R. Oto Iskandardinata,
55) A. Baswedan, 56) Abdul Kadir, 57) Dr. Samsi, 58) Mr. A.A. Maramis,
59) Mr. Samsoedin, 60) mr. R. Sastromuljono. (Sekretariat Negara, 1995:
XXVII).

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa, Pancasila merupakan falsafah dan dasar negara Republik Indonesia
yang mengandung nilai-nilai luhur yang telah dihayati oleh bangsa Indonesia
sejak zaman kerajaan hingga zaman kemerdekaan. Pancasila merupakan hasil
dari perjuangan dan pengorbanan para pejuang bangsa yang berusaha merebut
kemerdekaan dari penjajah asing. Pancasila juga merupakan pedoman bagi
segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pancasila tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan melalui proses sejarah
yang panjang dan dinamis. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dapat dibagi
menjadi beberapa zaman, yaitu zaman Kutai, zaman Sriwijaya, zaman
kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit, zaman kerajaan Majapahit, zaman
penjajahan, zaman kebangkitan nasional, dan zaman penjajahan Jepang.
Pancasila merupakan hasil dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia
yang telah melalui berbagai zaman dan peristiwa. Pancasila juga merupakan
identitas dan jati diri bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.
Pancasila juga merupakan sumber inspirasi dan motivasi bagi bangsa Indonesia
untuk terus berkembang dan berprestasi dalam menghadapi tantangan masa
depan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. (2014). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: PARADIGMA.

21

Anda mungkin juga menyukai