Anda di halaman 1dari 296

Bukuiniber upayamenga sa

hr asaNuraniagark i
tabegit
ua kr
abdenganAl l
ah.
Mela
lauirangkai
ank at
ay a
ngindahda nsar
atma k
nas pi
ri
tual
,bukui
nimenebar k
a n
suas
anak ehadi
ranTuhany angtakberwujudtapinyata,t
akberwarnatapilebih
i
ndahda riwa r
naa pa
pun,terangtapita
kbercahayak a
renaDiabukanl
ahc a
ha ya,
namuns umberc ahaya.Cahaya-
Nyadiatasca
ha y
a
“Bi
smil
lahi
rrahma
nirrahi
m”
Buk
uy angpenuhhikma hi
nipent
ingdanhar
usdi
bac
aolehsemuaorang.SemogaAl
l
ah
menja
dikanbukui
nisebagai
wa r
is
a ny
angber
har
gabagi
semuamusli
m.

Maul
anaSyai
khMuhammadHis
yam Kabbani
(
Pimpi
nanThar
iqa
hNa qs
abandi
haqqa
niAmeri
kaSeri
kat)

“Meskipunwa hyukenabi
ans udahber
akhi
r,hi
dayahdanbimbinganbagihambaAllahyang
shal
ehda nterpi
li
hma si
ht erusberl
angs
ung,sayay ak
ink andunganbukui ni
,pert
ama
munc uldari
ha t
idanpiki
ranSy a
ikhHanaf
i
ahtaklepasdari
bimbinganAl
lah.Sebuahsaj
ian
ruhaniyangkeluardar
ihatiyangbeni
ngsemesti
nyal
ahdibacada ndi
hay
a t
idenganbening
pula
.”

Prof
.Dr.Komar
uddi
nHida
yat
,MA
(
Mant
anRek
torUINSyari
fHi
daya
tul
l
ahJak
art
a)

“Sayasangatter
kesandenga nbuku“ Membeda hBa has
aRa sa”HidanganNuraniSy
aik
h
Ha na
fi
ah.Bukui nisangatba i
kuntukdiba
ca .Ma k
nada ribukut er
sebutsangatdal
am
dimanakeri
nduanha mbat erhada
ppenci
pta-Nyas anga
tmeny entuhkit
abert
a f
akuraka
n
kebesar
anAlla
h.Alangkahk eci
l
nyadir
iki
tadihadapanpencipt
a.”

Habi
bAbdul
l
ahbi
nAbdulQadi
rAss
egaf
(
TokohUlama/Habi
b)

“Di
tengahk esengsa
raanhi
dupdimasyar
akatmoderny angk a
pabil
i
sti
kda nc enderung
sekul
er,gagasantenta
ngTuhanda
nma nusi
adibuatti
dakrel
evandank i
taterpentaldar
i
sumbuk ehidupan.Bukui
nimengamba
li
kank i
takesumbuk odrat
iki
tay a
ngr indua kan
Tuhan.”
Moha mma dSoba ry
(Buda y
awa n)

“Dal
am menikmatihi
danganNuraniTuangkuSyai
khMuha
mmadAliHana
fi
ah,k
usak
sika
n
kek
otor
a nk
u mela l
uikesuc
ian-
Nya,k ehi
naank
us aa
tmemuj
a-Ny
a ,dankehampaank
u
dal
amk ehadi
ran-
Ny a.

H.DeddyMiz
war
(
Akt
ors
eni
or/s
utr
ada
raF
il
m“Pa
raPencari
Tuhan”
)
ZUBAIR

MENGURAI
BAHASA RASA
Penjelasan Singkat terhadap Kalam Sirri
Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah
Ar Rabbani

Penerbit
Adabia Press Jakarta
2017
MENGURAI BAHASA RASA
Penjelasan Singkat terhadap Kalam Sirri Tuangku Syekh
Muhammad Ali Hanafiah Ar Rabbani

Penulis : Zubair

Ed. 1,—12—Jakarta: Adabia Press, 2017


x, 231 hlm., 14,8 x 21 cm

Copyright © 2017 pada Penulis

Cetakan pertama, Januari 2017


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy, tanpa
izin dari penerbit.

ISBN : 978-602-7908-07-9

Desain Cover: Ridwan Kamil

Diterbitkan oleh Adabia Press


Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta
Jl. Ir. Juanda No. 95 Ciputat 15412, Indonesia
Telp. +6221-7443329 Fax. +6221-7443364
email: adabiapress_fahuin@yahoo.com

ii
PENGANTAR PENULIS

Segala pujian hanya kuperuntukkan kepada Allah Swt,


Tuhan yang menguasai dan memelihara semesta alam atas dasar
kasih dan sayang yang meliputi setiap makhluk-Nya, terutama
kepada para perindu dan pecinta-Nya. Salawat dan salam semoga
Allah tetap terlimpahkan kepada kekasih agung, Baginda Rasulullah
Saw pembawa cinta bagi sekalian alam. Semoga kesejahteraan dan
keselamatan juga tercurah kepada keturunannya, para Sahabat,
Tabiin, Tabi-Tabiin, auliya‘, shiddiqin, syuhada‘, dan orang-orang
shaleh hingga hari kiamat. Juga kepada kedua orang tuaku, para guru
dan pembimbingku, kerabatku, sahabatku, dan seluruh saudaraku
seiman dan seagama, Amiin.
Buku ini merupakan penjelasan (syarah) terhadap kalam
ilham (biasa juga disebut ilham sirri) yang diterima oleh Guru dan
Mursyid saya, Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Quthub Ar
Rabbani (kami memanggilnya dengan Tuangku) sejak tahun 1995
yang dimuat dalam buku ―Inilah Aku: Pencerahan Ruhani bagi Pencari
Tuhan (Here I Am: Englightenment of the Soul for the Seeker of God)
(Rabbani Press, 2012)‖. Buku tersebut adalah edisi keempat dari
hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Prof. (Riset) Dr. Ahmad
Rahman, M.Ag pada tahun 2002. Hasil penelitian tersebut pertama
kali diterbitkan pada tahun 2004 oleh Hikmah, kelompok Penerbit
Mizan, dengan judul ―Sastra Ilahi‖. Edisi kedua berjudul ―Menyapa
Rasa Para Pencari Tuhan: Hidangan Nurani (Ilham Sirri) Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah‖ (2011); edisi ketiga berjudul ―Inilah Aku:
Hidangan Nurani (Ilham Sirri) Tuangku Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah‖ (2011) masing-masing diterbitkan oleh Rabbani Press.
Syarah yang tulis dalam buku ini merupakan hasil pemahaman Saya
sendiri setelah mengikuti kajian dan bimbingan beliau sejak tahun
2002 hingga saat ini.
Setidaknya ada dua alasan mengapa syarah ini Saya buat.
Pertama, kami para murid seringkali meminta kepada guru kami
untuk memberikan syarah pada tiap-tiap kalam ilham yang
diterimanya, namun beliau tidak berkenan karena dikhawatirkan
akan terjadi tafsir tunggal dan baku, padahal kandungan kalam ilham
ini bersifat umum dan universal. Untuk itu, beliau menganjurkan
agar murid-muridnyalah yang memberikan syarah. Kedalaman dan
iii
keakuratan setiap syarah, menurut beliau, sangat bergantung pada
kebersihan hati dan pengalaman batin masing-masing pensyarah.
Kedua, untuk membantu para pembaca untuk memahami isi
dan kandungan buku tersebut. Pada awalnya, saya pribadi kesulitan
untuk mencerna dan mengerti maksud dari kalam ilham ini. Bahkan,
Saya butuh waktu sekitar dua-tiga tahun mengikuti kajian dan
diskusi dengan beliau baru bisa mengerti. Beliau pernah
mengatakan, ―Kunci untuk memahami kalam ilham ini adalah
melalui pengalaman rasa bertuhan di dalam hati, bukan
mengandalkan akal semata.‖
Pernyataan beliau memang benar adanya. Pada awalnya,
ketika beliau datang ke Jakarta (khususnya Ciputat) pada tahun 2002
dibawa dan diperkenalkan oleh guru kami Ustadz Ahmad Rahman
(saat itu sedang studi program doktor dalam bidang tasawuf). Pada
waktu itu, Saya dan beberapa kawan yang sedang studi pada
program Magister dan Doktor di Pascasarjana UIN
SyarifHidayatullah Jakarta merasa penasaran dengan apa yang
diterimanya. Melihat asal-usul, latar belakang pendidikan non-
madrasah/pesantren (hanya tamatan STM), dan usianya yang masih
belia (hadir di Ciputat pada usia 24 tahun) rasanya belaiu tidak
mungkin memiliki keistimewaan itu. Maka, ketika diundang untuk
mengikuti kajian beliau, kami pun merasa berkesempatan untuk
―menguji‖ kemampuannya. Dengan modal pemikiran rasional, lintas
mazhab, lintas agama, dan identik ―liberal‖ yang diperoleh dari UIN
Syarif Hidayatullah, kami pun terlibat diskusi serius dengan beliau.
Semua konsep-konsep yang pernah kami pelajari di kampus yang
berkaitan dengan Tuhan, manusia, dan alam dengan berbagai
perspektif dapat dijelaskan dengan lugas dan memuaskan secara
logika. Walaupun lugas dan memuaskan, namun penjelasannya tetap
saja masih menyisakan rasa penasaran di dalam hati. Menurut beliau,
setinggi apa pun pencapaian pengetahuan akal manusia tentang
Tuhan, maka puncaknya hanya sampai pada kesimpulan bahwa
tuhan itu ada. Namun, untuk membuktikan keberadaan-Nya
diperlukan media lain, yaitu rasa pada hati nurani. Rasa inilah yang
perlu diasah dengan latihan ruhani (riyadhah), di antaranya dengan
zikir lisan (jasmani), zikir hati (ruhani), dan zikir sirr (nurani).

iv
Terkait dengan hal di atas, kami memiliki kisah yang cukup
menarik. Sekitar tahun 2003 di daerah Kebayoran Lama, kami yang
terdiri dari dua professor, beberapa doktor dan magister agama,
dibimbing zikir oleh beliau dan beliau mengatakan, ―Bapak-bapak
ini sudah sarjana, magister, doktor, dan sebagian professor, tetapi
secara spiritual masih setingkat taman kanak-kanak.‖ Kami pun
membenarkan pernyataan beliau itu dan menyadari bahwa
banyaknya pengetahuan agama yang kita miliki bukanlah jaminan
untuk dapat mengenal hakikat Allah sebagai Tuhan (makrifat).
Padahal, Nabi Saw pernah bersabda, “Awwaluddin ma‟rifatullaah”
(dasar pertama dalam beragama adalah mengenal Allah). Pantaslah
bila Rasulullah Saw juga pernah bersabda, ―Berfikirlah tentang
ciptaan Allah, dan jangan berfikir tentang zat-Nya.‖ Memang, zat
Allah bukanlah objek yang dapat dijangkau oleh akal untuk
dipikirkan, tetapi ia dapat disentuh dengan hati yang bersih melalui
rasa di dalam nurani.
Setelah sering diberi amanah menggantikan beliau dan
wakilnya di Jakarta untuk mengisi kajian Majelis Rabbani Indonesia
di Yayasan Paramadina dan beberapa masjid yang lain, muncul ide
saya dan juga adanya permintaan dari para jamaah dan sahabat yang
lain agar setiap kalam ilham ini diberi syarah mengingat
kandungannya yang sangat dalam dan sulit dipahami bagi pemula.
Maka, sejak bulan Mei 2013, dengan segala kejahilan dan kelemahan
yang dimiliki, saya pun mulai menuliskan syarahnya satu persatu dan
diupload di facebook sejak 20 Mei 2013 hingga awal tahun 2014.
Sejak diupload di facebook, belum ada tanggapan negatif apalagi
bantahan terhadap kebenaran isi kalam ilham ini. Memang, Tuangku
pernah mengatakan, ―Orang mungkin bisa menolak dan menentang
Saya, tetapi tidak akan dapat menolak dan menentang kebenaran
yang ada dalam kalam ilham ini. ‖Tuangku juga pernah mengakatan,
―Sekalipun ratusan atau pun ribuan kalam ilham yang Saya terima,
tidak akan pernah dapat menandingi kandungan dan kagungan Al-
Qur‘an. Kalam ilham ini hanyalah ―resep qalbu‖ dari Allah untuk
mencapai jalan yang lebih cepat menuju titik terdekat bersama Allah
Swt, sementara Al-Qur‘an dan Sunnah sebagai bahan pokoknya
yang wajib dipakai bagi siapa pun yang memakai resep tersebut.‖
Ucapan terima kasih dan penghormatan Saya persembahkan
terutama kepada almarhum Abba Ahmad Usman, dan Ummy
v
Junaidah yang telah dipilih oleh Allah untuk mengandung,
melahirkan, membesarkan, dan mendidik Saya dengan kasih sayang
yang tulus, semoga dikasihi dan diberkahi, serta diampuni segala
dosa dan kesalahannya. Juga kepada guru-guru saya, terutama
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah yang dengan tulus
berbagi pengetahuan dan pengalaman serta bimbingannya dalam
memperjalankan hati untuk menemukan makrifat dan cinta kepada
Allah Swt, semoga beliau tetap dalam bimbingan dan kasih Allah
Swt. Juga kepada para khalifah utama Tarekat Qadiriyah Hanafiah
yang senantiasa mendampingi beliau dan memberikan arahan
kepada semua murid-muridnya.
Akhirnya, kepada Allah Swt jualah berhimpun segala
pengetahuan dan kepada-Nya pulalah Saya kembalikan segala
urusan dan permohonan Saya. Kiranya, Dia berkenan memberikan
balasan pahala yang berlipat ganda kepada siapa pun yang telah
memberikan sumbangsih dalam penyusunan buku ini. Dan kepada
para pembaca, Saya juga doakan agar mendapatkan tambahan
pengetahuan dan bimbingan dari Allah, serta kekuatan untuk
mengamalkannya. Selain itu, Saya juga memohon dibukakan pintu
maaf sekiranya ada yang keliru dan atau kurang berkenan di hati.
Mahasuci Engkau ya Allah dan Maha Terpuji, Saya bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Engkau, dan Saya memohon ampunan-Mu. Amiin
Yaa Rabba al-‗Alamiin.

vi
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H.M. Bambang Pranowo, MA
(Cendikiawan Muslim)

Dalam suatu kesempatan tanya jawab pada acara Hikmah Pagi


TVRI, seorang ibu mengajukan pertanyaan kepada penulis yang
waktu itu bertindak sebagai nara sumber. ―Indonesia ini adalah
negeri muslim terbesar di dunia. Kegiatan keagamaan di mana-mana
tampak semarak. Tetapi, mengapa negeri ini juga dikenal sebagai
salah satu negara yang tingkat korupsinya paling tinggi di dunia?‖
Pertanyaan yang sangat menohok tersebut sesungguhnya
merupakan pertanyaan banyak orang sekaligus mencerminkan
kegelisahan terhadap kualitas hidup beragama di negeri ini. Jumlah
masjid dan musalla yang terus meningkat, jumlah jamaah haji yang
setiap tahunnya merupakan yang terbesar di dunia; ternyata tidak
berkorelasi positif dengan terciptanya kehidupan yang benar-benar
agamis. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Bukankah ibadah
shalat itu mestinya mencegah dari perbuatan keji dan munkar!
Bukankah ibadah puasa itu mendorong kita untuk peduli kepada
mereka yang lapar dan menderita! Bukankah zakat itu menuntun
kita untuk senantiasa membersihkan harta agar harta kita bersih dan
berkah! Bukankah ibadah haji dimaksudkan untuk meraih haji
mabrur! Dan ketika Nabi Muhammad SAW ditanya oleh sahabat,
―Apakah yang dimaksud dengan mabrur ya Rasulullah?‖ Ternyata
Nabi menjawab, ―Memberi makan kepada mereka yang memerlukan
dan menyebarkan keselamatan!‖
Kalau demikian erat hubungan ibadah mahdhah dengan amal
kebajikan, mengapa dalam kehidupan sehari-hari amal-amal yang
terpuji itu tidak terwujud? Jawaban atas pertanyaan demikian
sungguh tidak sederhana. Pada acara Hikmah Pagi tersebut penulis
hanya menjawab bahwa hal itu sangat mungkin karena kebanyakan

vii
kita kaum muslimin baru bergama secara ritual, tetapi belum
beragama secara aktual. Kita memang melakukan shalat, tetapi
shalat kita tidak jauh berbeda dengan olahraga. Secara fisik kita
melakukan shalat, tetapi hati kita tidak shalat, sehingga sehabis
shalat tidak ada bekas atau dampak terhadap perbuatan kita. Asma
Allah kita sebut berulang-ulang sewaktu shalat, tetapi seusai shalat
Allah tidak lagi terasa hadir. Kehadiran Allah tidak kita rasakan
ketika kita berada di kantor, di pasar, di laboratorium, di sawah
maupun di ladang. Akibatnya, kita tidak malu dan tidak takut
berbuat curang, culas, menipu atau menilep hak orang lain atau
menggelapkan harta negara. Padahal bukankah Allah itu
sesungguhnya sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita
sendiri! (Q.S. Qaf/50: 16).
Seusai rekaman acara Hikmah Pagi TVRI itu, masalah
―kedekatan‖ dengan Allah SWT menyergap pikiran saya. Saya segera
teringat dengan buku Kalam Ilham Ilahi (Pencerahan Bagi Hamba
Pencari Tuhan) yang dihadiahkan kepada saya oleh Dr. Ahmad
Rahman, peneliti dari buku tersebut. Buku tersebut berisi kumpulan
berbagai ilham dari Allah SWT yang diterima oleh Maulana Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah yang sarat dengan seruan untuk mengenal
diri sendiri dan mendekatkan diri kepada Allah, yang disampaikan
dalam untaian bahasa yang indah dan sangat menyentuh hati.
Membaca buku tersebut tanpa mengenal lebih dahulu penulisnya
tentulah orang akan membayangkan bahwa buku tersebut ditulis
oleh seorang sufi yang selain usianya sudah cukup lanjut, juga ilmu
pengetahuan agamanya sangat luas dan mendalam. Saya sendiri
merasa terpukau dengan isinya. Betapa ketika ―Tuhan‖ atau ―Allah‖
lebih banyak menjadi penghias ucapan sementara perbuatan si
pengucap terasa jauh dari kehadiran Tuhan, ternyata ada seorang
yang begitu dekat dengan-Nya sehingga sering disapa oleh Tuhan
dengan kata-kata ―Wahai hamba-Ku‖ kemudian dianugerahi
berbagai pelajaran spiritual yang adiluhung. Dan, orang tersebut
viii
bukan di Timur Tengah sana, tetapi di sini, di Indonesia yang
sedang dilanda krisis multi dimensi ini.
Memang dengan jujur harus saya katakan timbul juga pertanyaan.
Apakah ilham yang diterima oleh Muhammad Ali Hanafiah itu
benar-benar dari Tuhan? Bukankah wahyu Allah telah berakhir
dengan telah berakhirnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad
SAW? Namun, akhirnya pertanyaan tersebut saya jawab sendiri,
meskipun jawaban muncul juga dalam bentuk serangkaian
pertanyaan. Bukankah dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT
pernah berfirman:
―Tidak ada cara yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku
seperti melaksanakan fardu-fardu-Ku dan sesungguhnya ia
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang
sunnah sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku
mencintainya, Aku menjadi kakinya yang dengan-Nya ia berjalan,
tangan yang dengan-Nya ia memukul, lidah yang dengan-Nya ia
berkata, dan hatinya yang dengan-Nya ia berpikir. Bila ia meminta
kepada-Ku, Aku memberinya dan bila ia berdoa Aku menerima
doanya. (Muhammad Taj al-Dīn ibn al-Manāwī al-Hadādī, Al-It-hafāt
al-Thāsaniyyah bi al- Ahādith al-Qudsiyyah, alih bahasa H. Salim
Bahreisy, Bina Ilmu Surabaya, tt., h. 76).
Dengan merenungkan firman Allah tersebut secara mendalam,
kiranya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa sampai kapan
pun Allah tidak akan berhenti untuk menyapa hamba yang
dikehendaki dan dicintai-Nya, meskipun sapaan Allah tersebut
tentunya tidak setingkat dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Pertanyaan lebih lanjut yang menggoda adalah mungkinkah
seorang Muhammad Ali Hanafiah yang usianya begitu muda (lahir
tahun 1978), hanya tamatan STM, tidak pernah belajar di pesantren,
dan tidak pernah mendalami ilmu agama atau memperoleh
ix
bimbingan dari ulama; menerima begitu banyak kalam ilham dari
Allah Swt?
Setelah mengenal Muhammad Ali Hanafiah yang akrab dipanggil
―Tuangku‖, secara langsung saya berkenalan dengan sosok yang
kepribadiannya sungguh sarat dengan kelembutan, kesantunan, dan
keteduhan. Dari sini, saya kemudian merasa menemukan jawaban
dari berbagai pertanyaan di atas, bahkan termasuk pertanyaan besar
sehubungan dengan kualitas kehidupan beragama kaun muslimin
saat ini. Ulama maupun sarjana agama memang banyak, tapi tidak
cukup banyak yang benar-benar mampu menjadi suluh bagi
kehidupan yang dinafasi dengan akhlak luhur. Bahkan, penguasaan
ilmu agama yang luas tidak jarang menyebabkan orang jatuh ke
dalam intelektualisme, sehingga ilmu agama yang luas bukannya
menjadikan orang bersangkutan menjadi semakin tawadu, tetapi
malah menjadi semakin sombong dan mudah memandang rendah
kepada orang lain. Padahal penguasaan ilmu agama itu tidak identik
dengan keberagamaan itu sendiri. Penguasaan ilmu itu adalah satu
hal, sedangkan keberagamaan adalah hal lain. Bukankah sahabat
Nabi, Bilal—si penyeru azan pertama itu—hanyalah seorang budak
berkulit hitam yang ilmunya sangat terbatas? Tetapi mengapa ia
dinyatakan sebagai penghuni surga yang gemerincing terompahnya
di surga terdengar oleh Nabi ketika beliau mi‘raj? Adalah jelas
sahabat Bilal dipuji oleh Nabi Muhammad SAW bukan lantaran
pengetahuan atau kapasitas intelektualnya, melainkan karena
kebaikan akhlak dan kekukuhannya mengikuti kebenaran. Dan,
itulah yang telah mengantarkan sahabat Bilal kepada derajat
ruhaniah yang tinggi.
Lukman al-Hakim dan Khidir A.S. adalah nama-nama yang
malahan diabadikan dalam Al-Qur‘an (Q.S. al-Baqarah/2: 269 dan
al-Kahfi/18: 60-82) sebagai contoh tentang adanya orang-orang
yang memperoleh anugerah berupa hikmah dan ilmu langsung dari
Allah (ilmu ladunni). Ayat-ayat Al-Qur‘an itu bersifat abadi, oleh
x
sebab itu tentunya kemurahan Allah untuk menganugerahkan
hikmah dan ilmu ladunni kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya
juga bersifat abadi. Jadi, tidak mengenal kata ‗berhenti‘. Dengan kata
lain, kehadiran Muhammad Ali Hanafiah yang tidak
berlatarbelakang pendidikan agama yang luas tidak mustahil
merupakan contoh yang sedang ditampilkan Allah dalam rangka
‗dekonstruksi‘ tersebut.
Cara pandang demikian kiranya menjadi semakin relevan untuk
diterapkan saat di mana permasalahan dunia semakin rumit, krisis
melanda berbagai belahan dunia dan bahkan Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam banyak hal tidak berdaya
mengatasinya. Tanpa meyakini bahwa Allah akan tetap menyapa
serta membimbing siapa saja yang dikehendaki dan yang berusaha
mendekati-Nya, rasanya manusia akan kehilangan harapan. Dan,
tanpa harapan kehidupan umat manusia tentu akan semakin
runyam.
Kehadiran buku Inilah Aku ini merupakan revisi atas buku
Hidangan Nurani Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah dan Buku
Sastra Ilahi: Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah,
yang merupakan cetak ulang dengan sejumlah tambahan atas buku
Kalam Ilham Ilahi yang semula peredarannya hanya untuk kalangan
terbatas, kiranya merupakan penegasan kepada masyarakat luas
bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya terus-menerus
berada dalam kegelapan dan tanpa harapan. Selain akan
memperkaya sastra sufisme yang keberadaannya dalam bahasa
Indonesia masih sangat langka, kehadiran buku ini semoga dapat
mendorong penduduk negeri yang berdasar pada ―Ketuhanan Yang
Maha Esa‖ ini merasakan kehadiran Tuhan secara nyata. Bukan
hadir dalam kata-kata dan retorika belaka! Āmīn yā Rabb al-„Ālamīn.

xi
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA
(Cendikiawan Muslim)

Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern


mempermudah hidup dan kehidupan manusia, dan dapat mengantar
manusia memperoleh kesenangan dan kenyamanan lahiriyah dewasa
ini. Tapi, manusia modern sering dinilai telah ditimpa kehampaan
spiritual. Tasawuf sebagai salah satu manifestasi nilai-nilai spiritual
Islam semakin digandrungi oleh masyarakat dewasa ini. Hal ini
memberi petunjuk bahwa hidup serba materi tidak menjamin
kesenangan hidup, bahkan dapat membawa kegelisahan. Oleh
karena itu, manusia sesuai dengan fitrahnya, membutuhkan
keseimbangan hidup, lahir dan batin, materi dan spiritual. Ajaran
tasawuf memberikan perimbangan antara kecenderungan duniawi
dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal trilogi Islam, yaitu iman, islam, dan
ihsan. Iman adalah sistem kepercayaan orang Islam, yaitu rukun
iman, kemudian dikembangkan secara sistematis oleh para ulama
menjadi sistem teologi atau usūl al-dīn. Islam lebih menekankan pada
aspek ibadah, yang dikenal dengan nama syariah, dan kemudian
menjadi salah satu disiplin ilmu yang disebut fikih atau usul fikih.
Sedangkan ihsan lebih menekankan pada kualitas peribadatan,
sehingga mengandung aspek spiritual yang dapat dikembangkan
menjadi mistik Islam atau tasawuf, sehingga seseorang yang
menyembah Tuhan seakan-akan melihat-Nya.
Pada zaman modern yang bercirikan liberalisasi, rasionalisasi, dan
efisiensi, secara konsisten terus melakukan proses pendangkalan
kehidupan spiritual. Liberalisasi yang terjadi pada seluruh aspek
kehidupan adalah proses despiritualisasi tata nilai kehidupan. Dalam
situasi seperti ini, agama dipandang tidak relevan dan signifikan lagi

xii
dalam kehidupan. Akibatnya, sebagaimana terlihat pada gejala
umum masyarakat modern, kehidupan ruhani semakin kering dan
dangkal. Sebagai reaksi terhadap kenyataan itu, kerinduan
masyarakat modern kepada nilai-nilai spiritual seperti tercermin
pada fenomena pada dasawarsa terakhir, sesungguhnya hal yang
wajar. Tasawuf memang menawarkan kekayaan spiritual yang
bernilai tinggi, karena ia bertolak dari keinginan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Praktik-praktik ritual tertentu yang harus
diamalkan setiap waktu dapat memelihara hubungan ruhani secara
vertikal dengan Tuhan dalam situasi yang komunikatif. Ibadah-
ibadah (ritual) itulah yang menumbuhkan kesadaran ruhani yang
pada tahap lebih lanjut mengejawantah dalam perilaku yang luhur
dan mulia (ihsan). Kesadaran seseorang bahwa ia selalu berhadapan
dengan Tuhan menimbulkan sikap ikhlas, rela, rendah hati (tawādu),
sabar, tawakal, cinta kasih, murāqabah (merasa diawasi) dan
sebagainya.
Di tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah kepada
dekadensi moral seperti yang gejala-gejalanya mulai nampak saat ini,
dan akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan, maka tasawuf
mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk
terlibat secara aktif mengatasi masalah-masalah tersebut. Untuk
mengatasi masalah ini, tasawuflah yang paling memiliki potensi dan
otoritas, karena dalam tasawuf dibina secara intensif tentang cara-
cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam
dirinya. Dengan cara demikian, ia malu melakukan penyimpangan
karena merasa diperhatikan oleh Tuhan. Tasawuf cenderung
semakin menemukan momentumnya pada masa sekarang ini. Di
kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,
Yogyakarta, Padang, dan kota-kota lainnya, kaum terdidik,
pengusaha, dan masyarakat kampus, banyak tertarik terhadap kajian
tasawuf.

xiii
Buku Inilah Aku yang ada di tangan pembaca ini merupakan
revisi atas buku Hidangan Qalbu Maulana Syaikh Muhammad Ali
Hanafiah dan buku Sastra Ilahi: Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh
Muhammad Ali Hanafiah. Buku ini adalah salah satu buku kajian
tasawuf yang dapat memberikan pencerahan. Saya menyadari bahwa
buku ini akan mengundang pro-kontra, dan akan memunculkan
banyak pertanyaan, seperti apakah masih ada ilham yang turun
sesudah Nabi Muhammad SAW? Bagaimana seorang Muhammad
Ali Hanafiah, yang hanya tamatan STM, tidak pernah belajar di
pesantren dan tidak mendapatkan bimbingan ulama, bisa
mendapatkan begitu banyak ilham?
Kalau kita mencermati ajaran Islam, terutama Al-Qur‘an
diperoleh petunjuk bahwa ada orang yang diberikan hikmah seperti
Lukman al-Hakim dan ilmu langsung dari Tuhan (ilmu ladunni)
seperti Khidir A.S. Bukankah Tuhan telah berfirman dalam Al-
Qur‘an surat al-Baqarah (2) ayat 269: ―Allah menganugerahkan
hikmah kepada siapa yang dikehendak. Dan barang siapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak‖. Sedang seorang hamba (Khidir) yang diajar langsung oleh
Tuhan (Allamnāhu min ladunnā ilman) ceritanya diabadikan dalam
surat al-Kahfi (18) ayat 60-82.
Saya sudah kenal baik dengan Tuangku Muhammad Ali Hanafiah
di Jakarta. Ia mengemukakan gagasannya tentang pentingnya
pencerahan umat melalui zikir, latihan spiritual (riyādah), dan
khalwat. Dan ia juga menceritakan sebagian pengalaman ruhaninya.
Pengalaman ruhani Tuangku Muhammad Ali Hanafiah,
mengingatkan saya pada pengalaman ruhani beberapa ulama sufi
yang terdapat dalam kitab-kitab seperti Hilyah al-Awliyā‟ wa Tabaqāt
al-„Ashfiyā‟, karya Abu Na‘im al-Asfahānī (w. 430 H/1038 M) dan
Jāmi‟ Karāmāt al-Awliyā‟ yang ditulis oleh Yūsuf al-Nabhānī (w.1350
H/1993 M).

xiv
Abu Nasr al-Tūsī (w. 378 H/988 M) dalam bukunya Al-Luma‟
menyebut beberapa nama yang mendapat ilham dari Allah SWT. Al-
Gazālī (w. 505H/1111M) dalam bukunya Ihyā‟ „Ulūm al-Dīn
mengemukakan bahwa sejak Nabi Muhammad SAW wahyu sudah
berakhir, tetapi masih banyak pilihan Allah yang mendapatkan
makrifah, yang tersingkap (kashf) baginya melalui ilham. Lebih lanjut
Al- Gazālī mengemukakan bahwa sulit untuk sampai pada tingkatan
makrifah, tetapi bagi orang yang belum sampai, seyogyanya ia
bersedia mempercayainya.
Literatur sufisme yang berbahasa Indonesia masih tergolong
langkah. Kehadiran buku ini diharapkan dapat mencerahkan dan
menjadi rujukan bagi orang yang tertarik pada tasawuf.

xv
DAFTAR ISI

Pengantar Penulis – iii


Daftar Isi – xvi
Pendahuluan – 1-10
Pengetahuan – 11-22
Kesia-sian – 23
Keraguan – 24
Ujian – 25
Hukum – 26-30
Kesempurnaan – 31
Zikir – 32
Permintaan – 33
Kekhusukan – 34
Tasbih – 35
Perkataan yang Diterima – 36
Tingkatan – 37
Penghambaan – 38
Berniaga dan Berbagi – 39
Kemaafan – 40
Pintu – 41
Cahaya – 42
Hikmah – 43-44
Lauh Mahfudz – 45
Hijab – 46-59
Takdir – 60
Kehampaan (Nol) – 61-72
Kesucian – 73-74
Hati – 75
Kebenaran – 76
Rasa – 77-93
Nama – 94-98
Nurani – 99-103
Kesatuan – 104-105
Datang – 106-107
Yang Dicari – 108-109
Kedekatan – 110-113
Penyaksian – 114-120

xvi
Pandangan – 121
Penyingkapan – 122-125
Kenyataan – 126-128
Keberadaan – 129-130
Keakuan – 131-138
Penyembahan – 139-140
Pertemuan – 141-143
Kerinduan – 144-146
Kecintaan – 147-173
Keridhaan – 174-176
Perjalanan – 177-178
Rahasia – 179-180
Zat – 181-183
Tujuan – 184-185
Amalan Wirid Al Qur‗an Thariqah Qodiriyah Hanafiah – 245-287

xvii
ُ ِ ‫يع ۡٱل َعل‬ َ َ َ َ َ َ َ َٓ َ ْ ُ َۡ َ َ َ
َ ‫ٱّللِ ٓأَلت َو ُه َو‬
ُ ‫ٱلس ِه‬
٥ ‫يم‬ ٖۚ ‫نو َكن يرجوا ل ِقاء ٱّللِ فإِن أجل‬

Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah,


maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan Allah itu pasti datang,
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Al-Ankabut/29: 5).

xviii
PENDAHULUAN

Wahai hamba-Ku! “Aku bagimu Kalam sirri inilah yang menjadi


adalah seuatu yang tak tersentuh olehdasar penamaan buku Inilah
kedua mata dan telingamu, dan tidak Aku, kumpulan beberapa
Kalam Sirri yang pernah
jua oleh akal pikiranmu, maka pergilah
diperoleh Tuangku Syaikh
engkau dengan rasa dan temui hatimu,
Muhammad Ali Hanafiah Ar
dan masuklah ke dalam nuranimu serta
Rabbani dalam pengalaman
menetaplah padanya,hingga Aku akan mukhatabat ilahiyah dengan
menemuimu dan berkata, „Inilah Aku Allah Swt. Menurutnya, setiap
Tuhan-mu!‟” Waliyullah dalam penyaksian-
nya kepada Allah, semua
bermula ketika Allah datang
memerkenalkan diri kepada para pencari-Nya dengan kalimat „Inilah
Aku Tuhan-mu!‟. Bahkan, seorang Nabi dan Rasul pun, di awal
kenabian dan kerasulannya selalu diawali dengan sapaan Allah
melalui kalimat tersebut. Perhatikan firman Allah Swt berikut yang
mengenalkan diri-Nya kepada Musa a.s.
“Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua
terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci,
Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang
akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Taha, 20/12-14).
Allah Swt yang tiada sesuatu pun menyerupai diri-Nya tentu
tidak dapat dianalogikan dengan apa pun di dunia ini. Allah Yang
Mahasuci juga tak mungkin dapat ditemui dengan cara apa pun.
Pertanyaannya, bagaimana mengenali Allah dan bagaimana pula cara
menemukannya?

1
2

Mengenal Allah
Populer di kalangan para ulama sebuah riwayat yang
menyatakan bahwa dasar pertama dalam beragama adalah mengenal
Allah, atau awwal al-diin ma’rifat Allah. Penulis belum menemukan
siapa yang meriwayatkan ungkapan ini. Terlepas dari sahih tidaknya
riwayat ini, seorang Muslim memang dituntut untuk mengenal siapa
tuhannya. Tuhan yang telah menciptakan semua makhluk, Tuhan
yang telah memberikan perintah dan larangan padanya, Tuhan yang
telah mengangkat nabi dan rasul yang dilengkapi dengan kitab dari-
Nya, Tuhan yang wajib untuk disembah dan dimintai pertolongan,
dan sebagainya.
Sebagai makhluk, manusia tidak mungkin dapat menjangkau
dan mengenal Allah karena Dia adalah zat yang tak terjangkau oleh
indra manusia. Allah berfirman: “Dia tak terjangkau oleh mata,
tetapi Dia yang menjangkau penglihatan mata. Dia Mahahalus lagi
Maha Mengetahui (QS. Al-An‟am, 6/103)
Tuhan juga tidak mungkin terjangkau oleh pikiran
manusia,“Berpikirlah tentang ciptaan Allah, dan jangan berpikir
tentang zat Allah!” Mengapa? Karena pikiran manusia hanya
mampu sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada sebagai
sumber dari segala yang tercipta, tetapi tidak akan mampu
menyaksikan keberadaan-Nya. Perhatikanlah bagaimana Nabi
Ibrahim a.s. berusaha menemukan Tuhan melalui pencarian akalnya
dengan melihat fenomena alam semesta. Bulan, bintang, dan
matahari yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan
alam sekitarnya ternyata tidak pantas untuk dijadikan sebagai tuhan.
Nabi Ibrahim a.s. kemudian bersungkur dan menyerah seraya
berkata, “Sekarang aku hadapkan wajahku kepada zat yang telah
menciptakan langit dan bumi, tulus dan berserah diri, dan aku bukan
termasuk orang menpersekutukan. (QS. Al-An‟am, 6/79).
Al-Qur‟an selalu mengingatkan kita untuk mengunakan akal
atau pikiran untuk mengenal Allah. Namun, batas pengenalan akal
atau pikiran terbatas hanya pada pengenalan terhadap tanda-tanda
atau ayat Allah. Yakni, tanda-tanda kekuasaan-Nya, tanda-tanda
3

keberadaan-Nya, tanda-tanda kasih-sayang-Nya, dan lain-lain. Mari


kita selami firman Allah Swt berikut!
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali
Imran, 3:190-191).
Orang yang mentafakuri penciptaan langit dan bumi,
pergantian siang dan malam, dan disertai dengan keyakinan bahwa
ada Allah yang mengatur semua itu, akan memahami ayat atau
tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah. Karena kesadaran
akan kelemahannya, orang yang bertafakur akhirnya akan mengakui
bahwa ada Allah dan Allah itu memiliki perintah dan larangan yang
harus ditaati. Bila tidak taat, manusia akan mendapatkan azab
neraka.
Dengan akalnya, manusia hanya sanggup mengenal Allah
yang terkait dengan nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Nama adalah
media untuk memanggil sang pemilik nama. Sifat adalah sesuatu
yang menggambarkan hal-hal yang menjadi karakter yang memiliki
sifat tersebut. Perbuatan adalah karya yang dihasilkan oleh pelaku
perbuatan. Ketiga hal inilah yang dikenalkan oleh seorang Nabi
melalui kitab yang dibawanya.
Allah dan nama-nama-Nya yang lain adalah media bagi
seorang hamba untuk memanggil yaTuhannya, sebagaimana firman
Allah, “Hanya milik Allah nama-nama yang terbaik (asmaa-ul husna),
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan,” (QS. Al-A‟raf,
7/180)
4

Sifat-sifat Allah juga tercermin pada nama-nama tersebut.


Selain itu, ulama melekatkan sifat-sifat yang mutlak melekat pada
Allah sebagai tuhan, dan sifat-sifat yang mustahil melekat pada-Nya.
Sebagai tuhan, Allah mutlak memiliki sifat: ada, terdahulu, kekal,
esa, berbeda dengan sesuatu, hidup, ilmu, kuasa, kehendak,
pendengaran, penglihatan, dan perkataan. Sementara sifat-sifat yang
mustahil melekat pada Allah adalah kebalikan dari sifat-sifat mutlak
tersebut.
Sementara itu, perbuatan Allah adalah semua kejadian di
alam raya ini sebagai ciptaan-Nya. Alam raya yang mahaluas, penuh
keteraturan, dan segala kehebatannya merupakan karya cipta Tuhan
Yang Mahakuasa.
Nama, sifat, dan perbuatan Allah itulah jangkauan yang
dapat dicapai oleh akal manusia. Semuanya merupakan tanda-tanda
akan adanya Allah. Siapa pemilik nama, siapa pemilik sifat, dan siapa
pemilik perbuatan tersebut masih menyisakan misteri bagi akal
manusia. Dari ketiga tanda-tanda tersebut, akal manusia akan sampai
pada kesimpulan bahwa ada Tuhan yang mengatur semesta ini.

Berjumpa dengan Allah


Kalau akal pikiran manusia tak sanggup mengenal Allah
sebagai zat yang memiliki nama, sifat, dan perbuatan seperti
disebutkan di atas, lalu dengan media apa yang manusia mengenal-
Nya? Melalui buku Inilah Aku ini, Tuangku Syekh Muhammad Ali
Hanafiah memberikan pemahaman bahwa media untuk menemukan
dan menyentuh keberadaan dan kenyataan Allah adalah rasa telah
diletakkan Allah di dalam hati nurani manusia. Pada posisi inilah
manusia dapat mengerti firman Allah.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah 2/115).
Wajah Allah atau keberadaan dan kenyataan Allah dapat
ditemukan di mana saja apabila hati sudah merasakan bahwa segala
yang ada di timur dan barat adalah kepunyaan Allah; dapat
5

merasakan bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, termasuk semua


yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Tubuh dengan segala
anggotanya adalah kepunyaan Allah; hidup, kekuatan, pengetahuan,
pendengaran, penglihatan, dan perkataan adalah milik Allah. Kalau
sudah tidak ada lagi yang terasa sebagai hak miilik di dalam dirinya,
maka akan nyatalah Allah itu di dalam perasaan. Hati nurani akan
memahami apa yang dirasakannya, hati nurani mengerti apa arti
kedekatan, mengerti arti kekuasaan, mengerti arti keberadaan dan
kenyataan Allah.
Mungkinkan berjumpa dengan Allah? Dibalik semua yang
dirasakan. Mari ikuti bahasan selanjutnya.
Wahai hamba-Ku:
Ketika engkau didatangi keinginan untuk bersama-Ku, maka
lepaskanlah segala bentuk keterikatan dirimu terhadap panca indera,
karena tidaklah pernah satu pun hamba yang sampai melaluinya,
melainkan bila ia meletakkan keinginannya kepada rasa, hingga dengan
rasa tersebut ia berjalan kepada-Ku tanpa ada sedikit pun jarak yang
ditempuhnya.. (Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, 81)
Kunci pertama berjumpa dengan Allah adalah memiliki
harapan berjumpa dengan-Nya.cAllah berfirman, “Siapa yang
mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu
perjumpaan Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Ankabut/29: 5).
Kunci kedua adalah berusaha semaksimal mungkin untuk
berjumpa dengan-Nya. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang
berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-
Ankabut/29: 69). “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan
menemui-Nya” (QS. Al-Insyiqaq/84: 66)
Kunci ketiga setelah berharap dan berusaha adalah tawakal
dan sabar menunggu Allah membukakan pintu-Nya. Allah
6

berfirman, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (niat


dan usaha), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali
Imran/3: 159); “Hai orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-
Baqarah/2: 153).
Tunggu apa lagi! Mari kita tanamkan harapan di hati untuk
berjumpa dengan Allah, ikuti dengan usaha yang maksimal yang
disertai rasa tawakal dan sabar atas ketentuan Allah karena “Dia
Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Buruj/85:
16)
Perhatikah Kalam Sirr berikut!
Wahai hamba-Ku: Aku sangat menyukai hamba-hamba-Ku yang
berusaha menuju kepada-Ku, walaupun ia tidak mempunyai
kesanggupan untuk menemukan-Ku. Dibandingkan dengan hamba-
hamba yang mengaku sanggup menuju kepada-Ku, tetapi ia terlepas
dari ketergantungan kepada-Ku. Sesungguhnya ketidaksanggupan
dalam berusaha menuju kepada-Ku, adalah tempat awal bagi Aku
mendatangi hamba-hamba-Ku dari segala penjuru arah.. (Tuangku
Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, 58)
Allah Swt menyukai hamba-Nya yang berusaha menuju
kepada-Nya dalam keadaan bertawakal karena sesungguhnya
manusia mustahil menemukan Allah kecuali Allah jua yang
mengenalkan diri-Nya sendiri.
Di sinilah seseorang yang merasa memiliki ilmu agama
seringkali terjebak, apalagi merasa belajar agama dari tingkat dasar
hingga level yang lebih tinggi. Dia merasa bahwa dengan
pengetahuan agama yang dimilikinya membuat dirinya sanggup
mendekati dan merapat kepada Allah serta menemukan-Nya. Orang
seperti ini, di mata Allah, adalah orang yang sombong karena
mengandalkan ilmu dan usahanya kepada Allah, tetapi berlepas diri
dari kehendak dan kekuasaan Allah. Justru, orang sombong seperti
ini yang mustahil menemukan Allah sampai kapan pun.
7

Justru, apabila seseorang mengakui dirinya tidak mampu,


tidak mengandalkan niat dan usahanya dalam menuju kepada Allah,
tetapi menyerahkan sepenuhnya hasil akhir dari niat dan usahanya
itu kepada Allah, dialah yang akan berkesempatan besar disapa oleh
Allah.
Wahai ahli ilmu, sadarilah bahwa ilmumu tidak akan
sanggup mengantarkanmu kepada Allah.
Wahai ahli ibadah, sadarilah bahwa ibadahmu tidak akan
sanggup mengantarkanmu kepada Allah.
Hanya kasih dan sayang-Nya jualah sebagai jalan Allah
menyambut para penuju-Nya.
Hanya qudrat dan iradat-Nya jualah yang sanggup
membukakan hijab bagi para pencari-Nya.
Tugasmu hanyalah berniat dan berusaha untuk berjalan
kepadanya dengan penuh tawakal, sedangkan hasilnya
serahkan kepada qudrah dan iradah-Nya.

Hawa Nafsu, Akal, Hati dan Nurani dan Fungsinya


Menurut Tuangku Ali Hanafiah, Allah Swt menciptakan
manusia dalam tiga unsur: jasmani, ruhani, dan nurani. Berikut
penjelasan masing-masing.1
1. Jasmani
Unsur jasmani adalah bentuk fisik kita yang terdiri dari
beragam macam materi seperti daging, tulang, darah,
kelengkapan anggota tubuh dan alat indrawi, dll.
Jasmani memiliki perasaan yang dapat merasakan hal-hal
yang bersifat jasmaniah seperti manis, asam, asin, pahit, panas,
dingin, dan lain sebagainya.

2. Ruhani
Unsur ruhani terdari atas hati, akal dan nafsu yang bagian ini
sering disebut oleh Tuangku Ali Hanafiah dengan istilah ruh

1
Lihat lampiran buku Ahmad Rahman (Ed.), “Inilah Aku: Pencerahan
Ruhani bagi Pencari Tuhan (Here I Am: Englightenment of the Soul for the
Seeker of God) (Rabbani Press, 2012)”, h. 181.
8

luar. Sebagaimana jasmani, ruhani juga memiliki perasaan yang


dapat merasakan senang, susah, bahagia, sengsara, marah, benci,
rindu, cinta, dan hal-hal yang sifatnya ruhaniah.
a. Hawa Nafsu
Hawa berarti keinginan, dan nafsu berarti diri, sehingga
hawa nafsu adalah keinginan diri. Keinginan diri manusia
memang diciptakan secara terpisah dari akal dan hati. Ia
memiliki tabiat untuk berkeinginan dan keinginannya tidak
terbatas. Tujuan penciptaannya adalah agar dapat menopang
tubuh fisik atau jasmani agar bisa tetap tumbuh dan
berkembang. Oleh karena itu, keinginannya selalu berorientasi
untuk menjamin agar tubuh fisik ini tetap bisa sehat, hidup, dan
merasa nyaman.

b. Akal
Seperti halnya hawa nafsu, akal juga diciptakan Allah
secara terpisah sebagai pelengkap bagi diri manusia. Tugasnya
adalah mempertimbangkan. Sebagaimana namanya, akal
mengikat segala pengetahuan yang diperoleh dari alat-alat
pengindraan yang diberikan pada manusia, yaitu mata, telinga,
hidung, lidah, dan perasa. Karena informasi yang ditangkap akal
bersumber dari indra yang memiliki keterbatasan, maka tentu
pengetahuannya pun sangat terbatas.

c. Hati
Hawa nafsu, akal, dan hati masing-masing sebagai paket
terpisah diciptakan Allah yang akan membungkus nurani.
Fungsi hati adalah sebagai berfikir, memahami, mengingat,
merenung, merasakan, dan lain-lain. Hati merupakan wadah
bagi rasa yang akan menampung pengetahuan yang keluar dari
nurani.

d. Nurani
Nurani adalah sejumlah sifat-sifat yang Allah tiupkan kepada
jasmani dan ruhani kita. Nurani ini sering pula disebut dengan
inti ruh atau ruh dalam. Sifat Allah yang ditiupkan adalah hayat,
qudrah, iradah, ilmu, sama‟, bashar, dan kalam. Allah berfirman,
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya ruh sifat-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
9

pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali


bersyukur,” (QS. Al Sajdah/32: 9).
Hidupnya jasmani dan ruhani karena adanya tiupan sifat
Allah padanya. Dengan adanya tiupan itu, manusia menjadi
hidup, berdaya, berkehendak, berpengetahuan, mendengar,
melihat, dan berbicara.
Untuk memudahkan pemahaman, kalau boleh digambarkan:

Ruh yang dimaksud di dalam ayat Sajdah/32: 9 di atas


bukanlah ruh seperti ruh manusia, melainkan ia adalah sifat-sifat
Allah. Setelah sifat Allah Swt tersebut ditiupkan ke dalam diri/tubuh
manusia yang telah sempurna, maka ia menjadi nurani, yang selalu
menyuarakan kebenaran hakiki dan mengajak manusia kepada
kebaikan.
Nurani adalah bagian sifat Tuhan di dalam diri manusia,
sekaligus nurani menjadi sumber lahirnya rasa yang bertempat pada
hati. Hati dibungkus dengan akal dan nafsu yang kemudian disebut
ruh diri hamba (aku-nya hamba).
10

Nurani menjadi tempat hamba “bertemu” dengan Tuhannya,


karena nurani adalah sifat Allah di dalam diri hamba, sedangkan sifat
tidak akan pernah berjarak dan berperantara dengan zatnya. Artinya,
manusia yang di dalam dirinya terdapat sifat-sifat Allah tidak pernah
terpisah dari zat Allah itu sendiri.
Kalam Sirri 1

Pengetahuan 1
Wahai hamba-Ku:
Di zaman ini telah banyak manusia yang merusak matanya
dengan kebutaan, bukan karena mereka orang bodoh dari ilmu
pengetahuan, namun mereka hanya orang-orang yang telah
dibodohi oleh ilmu pengetahuannya sendiri. Mereka menganggap
dirinya dapat mengupas ilmu pengetahuan di dunia, padahal
pengetahuan tentang dirinya sendiri masih dalam kebutaan.
Apakah mereka pantas dikatakan orang-orang pintar?

Jangan bersedih bila tidak dapat membaca semua kitab para


ulama dan buku para filosof, karena banyak orang yang dibutakan
oleh hasil bacaannya sendiri. Mereka menganggap dengan ilmu
akalnya itu mampu mengantarkan dirinya kepada Allah. Padahal,
Allah tak tersentuh oleh pengetahuan akal mereka.
Bersedihlah bila tidak mampu membaca dirimu sendiri,
karena itu adalah kebutaan yang sebenarnya. Dirimu yang sejati
adalah sifat Allah yang ditiupkan sehingga engkau dapat mendengar,
melihat, dan berperasaan.Allah berfirman:
ُ َ َ َ ُّ ٰ ‫ُثًَّ َّ َـٔى‬
ُّ ٌََِّ ِّ‫َّو َج َف َظ َّذِي‬
َّ‫ض َِّّ َّۦ َّ َو َس َعو َّىس ًُ َّٱلف ٍۡ ََّع‬
ِ ‫َّرو‬
َ ُُ َۡ ‫َ ۡ َۡ َ َٰ َ ۡ َۡ َ َ َ ا‬
َّ َّ٩َّ‫َّوٱۡلةص َّؽَّ َّوٱۡلفَِّٔػ َّةَّكيِيٗلٌَّاَّتشهؽون‬
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya
roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”(QS. As-
Sajdah/32:9).

Engkau tidak pernah terpisah dan berjarak dengan-Nya,


seperti halnya sifat tidak pernah terpisah dan berjarak dengan
zatnya. Sifat bukanlah zat dan zat bukanlah sifat. Keberadaan sifat

11
12

bergantung kepada zat, tetapi keberadaan zat tidak bergantung


kepada sifatnya.
Menangislah bila tidak mampu melihat melalui nuranimu
karena sesungguhnya engkaulah orang yang buta di dunia ini. Siapa
yang buta di dunia ini maka dia juga akan buta di akhirat. Siapa yang
tidak mampu menyaksikan dalam keyakinan akan keberadaan
tuhannya di dunia ini maka pasti tidak akan berkesempatan
memandang keindahan akan keagungan wajah Allah di akhirat.

‫َ َ ۡ َ َ َ َ ُّ َ ا‬ َ َ ۡ َ ٓ َٰ
Allah Swt berfirman:
ٰ ‫َِّفَّٱٓأۡلعِؽَّة َِّأخ‬ َ ُ ٰ َ َ ََ
َّ٧٢َّ‫َمَّوأضوَّـبِيٗل‬ ِ ٔ ٓ ‫َّذ‬ ‫َم‬‫خ‬‫أ‬ َّ َّ
‫ۦ‬ ِ َّ
‫ه‬ ‫ؼ‬
ِ ‫َّه‬‫َِّف‬
ِ ‫وٌَََّك‬
‫ن‬
“Dan Barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar)” (Al-Isra‟/17: 72).
Semoga Allah hidupkan hati kita untuk bisa mengingat-Nya
dengan memberikan jalan pengetahuan tentang diri-Nya. Wallahu
a‟lam.
13

Kalam Sirri 2

Pengetahuan 2
Wahai hamba-Ku:
Ilmu-Ku bukanlah suatu kalimat ataupun kitab, dan tidak akan
pernah terurai di lisan. Tetapi keberadaannya yang sekejab
mampu menguraikan seluruh isi kitab-kitab dan kenyataannnya
pun tak pernah terbantah.

Ilmu makrifat yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya


yang bersih hatinya tidak berbentuk bunyi dan huruf, atau kalimat
dan tulisan. Pengetahuan tentang Allah yang terurai dalam kitab-
kitab-Nya (Al-Qur‟an, Injil, Taurat, Zabur, dll) hanyalah sebagai
informasi tentang nama, sifat, dan perbuatan-Nya untuk dipahami
oleh akal kita. Makrifat yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui rasa di dalam hati yang semata-mata hanya

َُّ ‫ََّّٱ‬١َّ‫ّللَّأ َ َض ٌػ‬


bergantung kepada Allah. Bukankah Allah berfirman,
ۡ َ ُ‫َّول َ ًَّۡي‬
ًََّۡ‫ََّّ َول‬٣َّ‫َٔل‬ َ ‫ِل‬ۡ ِ َ‫ََّّل َ ًَّۡي‬٢َّ‫ّللَّٱلص ٍَ َُّػ‬ ُ ُۡ
َُّ ‫وَّْ ََّٔٱ‬
َّ ‫ك‬
ُ َ َ ُُ ُ ُ َ
ۢ ً
َّ َّ٤َّ‫ََّّلۥَّنفٔاَّأضػ‬ َّ ‫يس‬
“Katakanlah! Dia itu Allah Yang Mahaesa, Tempat bergantung
segala sesuatu”. (QS. Al-Ikhlas/112:1-2)

Tuhan itu bernama Allah yang memiliki sifat Mahaesa, yakni


sebagai Tempat bergantung segala sesuatu. Artinya, hanya hati yang
total bergantung kepada Allah yang dapat membuktikan keesaan-
Nya. Kalau masih bergantung kepada akal, ilmu, pekerjaan, atau
harta maka mustahil akan menemukan keesaan Allah. Demikian
pula dengan pengetahuan (makrifat) tentang hakikat sifat-sifat Allah
yang lain. Wallahu a‟lam.
14

Kalam Sirri 3

Pengetahuan 3
Wahai hamba-Ku:
Apabila mata akalmu tiada kesanggupan untuk dapat
menceritakan dan mengungkapkan dengan jelas dari tumpuan
pandangannya, maka melihatlah melalui mata hatimu, hingga
sekalipun ia tak sanggup menceritakan apa-apa yang telah
dipandangnya, niscaya ia dapat meletakan pemahaman
kepadamu. Ingatlah, bukanlah suatu ilmu apabila ia masih
dalam lingkaran akal. Dan sesungguhnya ilmu bagi-Ku adalah
apabila ia bermaqam dalam pemahaman dan berlaku dalam
perbuatanmu.

Pengetahuan tentang Allah sebagai tuhan tidak bisa


didapatkan hanya melalui membaca buku, mendengarkan ceramah,
atau berfikir filosofis. Pengetahuan seperti ini hanya memberikan
informasi mengenai „konsep‟ tentang Allah, padahal Allah bukanlah
konsep.
Namun, sebelum mengenal Allah yang sebenarnya tentu kita
perlu mengenal asma, sifat, dan perbuatan-Nya. Untuk mengenal
asma, sifat, dan perbuatan-Nya, tentu kita harus menggunakan
pengetahuan akal dari bacaan, simakan, dan perenungan. Akal ini
berfungsi untuk mengenali “tanda-tanda” keberadaan-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
َ َ َ َ ۡ َ َۡ َ َ َ ۡ َ
َّ‫ج‬ ٰ ‫ٓأَلي‬َّ َّ
‫ار‬ ٓ ‫نل‬ ‫ٱ‬َّ
‫و‬ َّ َّ
‫و‬ ۡ
‫َّل‬ ‫ٱ‬ َّ َّ
‫ف‬ ٰ ‫ل‬ ‫خ‬ ‫ع‬‫ٱ‬َّ
‫و‬ َّ َّ
‫ۡرض‬ ِ ‫ۡل‬ ‫ٱ‬َّ
‫و‬ َّ َّ
‫ت‬ ٰ ‫ن‬ٰ ‫م‬‫لف‬ ‫ٱ‬َّ ‫ق‬
ٖ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َِّف َّع‬
‫ي‬ ِ ‫إِن‬
َّٰ‫لَع‬ََ َ ‫َ َۡ ُُ َ َ َ ا َُ ُ ا‬ َ َۡ ۡ ْ ُ ّ
‫ّلل َّك ِيٍا َّورعٔدا َّو‬ ٰ َّ ‫ِيَ َّيؼنؽون َّٱ‬ َّ ‫ ٱَّل‬١٩٠َّ ‫ب‬ ٰ
َِّ ‫ِۡلو ِِل َّٱۡلىب‬
َۡ َ ۡ َ َ ََََ ۡ ُ ُ
َ َ َ
َّ‫ۡرض َّربِا ٌَّا‬ َّ ِ ‫ت َّ َّوٱۡل‬ َِّ ٰ ‫َِّف َّعي ِق َّٱلف َم ٰ َن‬ ِ ‫سِٔب ِ ًِٓ َّويخفه ُؽون‬
َ َ َ َ َ َ َ ٰ َ ۡ ُ ‫َ َ ۡ َ َٰ َ َٰ ا‬
١٩١َِّ‫ار‬
َّ ‫عيلجَّهؼاَّب ِطٗلَّـتحِمَّفلِِاَّعؼابَّٱنل‬
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
15

yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil


berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka” (QS.
Ali Imran/3: 190-191).
Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa penciptaan
langit dan bumi, pergantian siang dan malam, merupakan „tanda-
tanda‟ yang bisa dipikirkan dan direnugkan oleh manusia dengan
akalnya bahwa di balik keteraturan semua itu pasti ada Zat yang
mengaturnya.
Pengetahuan sejati tentang Allah hanya dapat diperoleh
melalui rasa di dalam hati. Rasa ini akan memberikan pemahaman
pada kita, dan pemahaman ini mendorong mengaktualisasikannya
dalam bentuk perbuatan. Perbuatan yang lahir dari pengenalan
(makrifat) kepada Allah adalah perbuatan yang disenangi oleh Allah,
sehingga lahirlah akhlak yang mulia. Hal itu karena ia memberikan
keyakinan bahwa apa pun yang kita ucapkan dan lakukan pasti
didengar dan dilihat oleh Allah Swt. Jadi, akhlak mulia hanya bisa
lahir dari seseorang yang sudah mengenal Allah melalui rasa dalam
hatinya. Wallahu a‟lam.
16

Kalam Sirri 4

Pengetahuan 4
Wahai hamba-Ku:
Orang yang pintar adalah orang yang dapat menghalau ilmu
pengetahuan dunia kepada istana sumber ilmu pengetahuan yang
hakiki,yakni Aku.

Sebagaimana diisyaratkan pada QS. Ali Imran/3: 190-191 di


atas, bahwa orang yang berpengetahuan (ulil albab) itu adalah yang
dapat merenungi apa-apa di balik penciptaan langit dan bumi serta
segala yang terjadi di dalamnya.
Lebih jauh dari itu, hukum kausalitas yang selama ini
dipercaya sebagai penggerak atau penyebab utama segala kejadian di
alam raya ini ternyata tetap akan mencari penggerak pertama (causa
prima) sebagai titik awal. Ketika mencari penggerak pertama maka
otomatis hukum causalitas menjadi suatu kesemuan karena
penggerak pertama dianggap tidak memiliki sebab sebelumnya.
Maka, maha benar Allah Swt yang menggunakan terma sunnatullah
sebagai hukum yang berlaku di alam ini, yakni bahwa semua
kejadian merupakan hukum yang telah ditentukan Allah dan
penggeraknya adalah Allah.
Itulah penjelasan mengenai sifat Allah sebagai al-Awwal (Yang
Pertama). Namun, Allah bukan hanya sebagai al-Awwal tetapi Dia
juga sekaligus al-Akhir (Yang Terakhir). Dalam hukum kausalitas,
selain ada sebab juga ada akibat. Apabila setiap sebab melahirkan
akibat maka alam ini akan kekal, padahal secara ilmiah diakui bahwa
alam ini akan mengalami kehancuran. Karena itu, diperlukan adanya
akibat terakhir, dan Allah adalah al-Akhir.
17

Kalam Sirri 5

Pengetahuan 5
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang meneguk ilmu pengetahuan-Ku, maka
tunduklah keseluruhan ilmu yang ada kepada dirinya.

Dalam sejarah ilmuwan besar di dunia Islam, baik yang pakar


dalam bidang keilmuan agama maupun ilmu sains pada umumnya
adalah orang-orang dekat dengan Allah. Sebagai contoh, Imam al-
Ghazali setelah meneguk ilmu makrifatullah, karya-karyanya sangat
banyak dan luar biasa mendalam. Di dalam al-Qur‟an, Allah Swt
mengisyaratkan tentang hal ini dalam kisah Nabi Khaidir a.s.:
ّ ‫ۡح اث‬
َ َُ‫ٌَّ ََِّۡعِِ ِػ‬
ٌَََُِّّّ ٰ‫اَّو َعي ٍۡ َن‬ َ ۡ ‫َّر‬ َ ٓ ‫اٌَّ ََِّۡع َِتادَُِا‬
َ ُّ ٰ‫َّء َات ۡي َن‬ ّ ‫فَ َٔ َس َػاَّ َخ ۡت اػ‬
ۡ
َّ َّ٦٥َّ‫َُلُاَّعِي اٍا‬
“Lalu, mereka bertemu dengan seorang hamba (Nabi Khaidir a.s.)
di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
(ladunni) dari sisi Kami,” (QS. Al-Kahfi/18: 65)
Sebagaimana ayat-ayat selanjutnya, Nabi Khaidir a.s.
digambarkan diberkahi pengetahuan yang tidak diberikan kepada
seorang Nabi Musa a.s. sekalipun, yaitu mengetahui hal-hal yang
telah dan akan terjadi. Ini menunjukkan bahwa siapa yang meneguk
ilmu pengetahuan langsung dari Allah sebagai ilmu ladunni maka ia
tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu. Semua pengetahuan di dunia
ini akan dikembalikan kepada sumbernya Sang Pemilik ilmu, yakni
Allah Swt. Wallahu a‟lam.
18

Kalam Sirri 6

Pengetahuan 6
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya ilmu-Ku Maha Luas dan tak akan dapat
ditampung oleh wadah apapun di dunia ini, kecuali di hati
manusia yang merindukan-Ku dengan keikhlasan semata.

Luasnya pengetahuan Allah Swt memang mustahil untuk


dijangkau oleh manusia. Allah Swt menggambarkan di dalam al-

َ ََۡ ۡ ۡ َ َ َّ
Qur‟an:
َ َّ ‫َ ا‬ ۡ ۡ َ َ ُ
َّ‫ج َّر ِّب َّنلَفِػ َّٱۡلَط َُّؽ َّرتو َّأن‬ ِ ٰ ‫كو َّى ۡٔ ََّكن َّٱۡلَط َُّؽ ٌَِّػادا َّى َِكِم‬
‫ا‬ ۡ
َّ َّ١٠٩َّ‫س ۡئ َِاَّة ِ ٍِري ِ َِّّۦَّ ٌَ َػدا‬ َّ ۡ َ ‫َّول‬
ٔ َ ‫َّر ّّب‬
َ ‫ج‬ َ َ َ َ
ُ ٰ ‫ََّك ِ َم‬ ‫حِفػ‬
ِ ِ
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
(ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi/18: 109)
Bagaimana mungkin sesuatu dapat menampung hal yang lebih
besar daripada tampungannya, demikian pula dengan ilmu Allah dan
ilmu tentang Allah Swt. Namun, jika hati manusia yang bersih dari
sesuatu selain Allah maka ia dapat memahami semua pengetahuan
yang dibukakan Allah padanya. Hati yang bersih akan menemukan
kenyataan Allah yang sebenarnya, walaupun akal dan lidah tidak
akan pernah sanggup untuk mengungkapkannya. Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah hanya mengungkapkan tentang nama, sifat, dan
perbuatan Allah, tetapi bukan kenyataan-Nya.
19

Kalam Sirri 7

Pengetahuan 7
Wahai hamba-Ku:
Pakailah akal sebagai penampung ilmu dunia, dan pakailah hati
sebagai tempat ilmu-Ku bersemayam. Dan hendaknya
kebijaksanaan ilmu dari akalmu harus keluar melalui pintu
kebijaksanaan ilmu yang ada di hatimu.

Allah Swt memerintahkan manusia untuk menggunakan akal


sesuai dengan fungsinya. Akal digunakan untuk mengatur dunia ini
sebagai fasilitas dalam melaksanakan tugas kekhalifahan. Dengan
kata lain, fungsi akal adalah untuk memikirkan segala ciptaan Allah
tetapi tidak untuk memikirkan Allah.
Untuk mengenal Allah, maka Allah memberikan fasilitas
khusus yang bernama hati. Di dalam hati terdapat nurani. Nurani
inilah yang mampu mengenal Allah karena ia merupakan wadah
penghubung dengan Allah. Melalui nurani, Allah membimbing
hamba-Nya kepada jalan kebenaran. Karena hanya nurani diberi
potensi untuk membedakan mana yang salah dan yang benar. Akal
tidak mampu membedakan secara pasti antara salah dan benar
karena terkadang dikendalikan oleh hawa nafsu.
Karena itu, bila ingin selamat maka jadikanlah nurani sebagai
pintu keluar setiap pertimbangan yang muncul pada akal kita. Akal
kita adalah pelayan bagi nurani sekaligus pelayan bagi nafsu. Karena
itu, hendaklah nurani yang menguasai akal, sebelum ia diperbudak
oleh hawa nafsu yang akan menghancurkan diri kita sendiri. Apabila
akal dikendalikan oleh nafsu maka akan melahirkan ego dan
keakuan kita, sehingga mustahil untuk menemukan keakuan dan
keberadaan Allah Yang Maha Nyata.
Perkataan dan perbuatan yang tidak melalui saringan hati
cenderung mementingkan ego dan hawa nafsu. Sebab, di sana tidak
ada rasa takut diawasi oleh Allah Swt. Akibatnya, akan melahirkan
kesombongan ketika tercapai harapannya, dan akan merasa kecewa
dan menyesal ketikga menemui kegagalan. Wallahu a‟lam.
20

Kalam Sirri 8

Pengetahuan 8
Wahai hamba-Ku:
Pikiran yang Aku sukai adalah pikiran tentang apa-apa yang
tersembunyi dari ciptaan-Ku. Dan di antara nafsu yang Aku
senangi tak lain adalah nafsu yang hilang dari kemauannya.
Hati hamba-hamba yang Aku cintai adalah hati yang penuh
dengan rasa rindu terhadap-Ku. Dan niscaya tiada suatu apa
pun yang Aku biasakan berdampingan dengannya melainkan
pengetahuan-pengetahuan yang Aku himpun pada hati untuk
selalu memandang-Ku.

Allah Swt memuji hamba-Nya yang selalu melakukan


renungan tentang kekuasaan, keperkasaan, dan kasih-sayang-Nya
kepada manusia. Semua ciptaan-Nya sengaja diciptakan untuk
melayani makhluk kesayangan-Nya yang bernama manusia.
Renungan seperti inilah yang akan melahirkan kekaguman akan
keagungan-Nya dan memberikan kesadaran betapa lemahnya
manusia dan mutlak butuh pada-Nya. Mereka adalah orang-orang
pemilik albab diabadikan dalam Al-Qur‟an (Ali Imran/3: 190)
Allah Swt juga sangat menyenangi hamba-Nya yang mampu
menjadikan nafsunya kehilangan „keinginan‟ untuk memenuhi
kepentingan jasmaninya belaka. Keinginan nafsunya tetap ada tetapi
senantiasa berkehendak kepada sesuatu yang disenangi oleh Allah.
Inilah yang disebut dengan nafsu mutmainnah, yaitu nafsu yang
ditenangkan oleh Allah sehingga hidupnya menjadi damai
karenanya.
Cinta Allah hanya ditujukan kepada hati hamba yang
merindukannya. Hanya hati yang merindukan-Nya yang diberi
kesempatan besar oleh Allah untuk memandang keindahan wajah-
Nya. Saat memandang wajah-Nya itulah saat terbukanya segala
pengetahuan yang langsung dari sumbernya (ilmu ladunni).
21

Kalam Sirri 9

Pengetahuan 9
Wahai hamba-Ku:
Manusia telah dibodohi dengan pengetahuannya sendiri dan
manusia telah miskin di dalam kekayaannya. Pengetahuan yang
dianggap telah membawanya di atas puncak kecerdasan yang tak
“berilmu”. Sedangkan manusia yang merasa dirinya telah kaya,
sama sekali tidak menyadari jika harta kekayaannya telah
menjadikan dirinya “pengemis” yang terus meminta-minta.

Di antara kita banyak yang terjebak oleh ilmu pengetahuan


agama yang diperoleh dari berbagai lembaga pendidikan, baik
formal maupun nonformal. Bahkan, karena sudah merasa pakar
dalam berbagai bidang agama, seperti ahli tafsir, hadis, fiqih, dan
lain-lain sehingga merasa dengan ilmu pengetahuan akalnya itu
mampu membawanya mengenal Allah. Padahal, sungguh bodoh
orang yang mengandalkan pengetahuan akalnya untuk mengenal
Allah, karena Allah mustahil dapat dijangkau oleh pengetahuan
yang bersumber dari akal, kecuali pengetahuan yang diperoleh
melalui rasa dalam hati nurani. Pengetahuan nurani hanya diberikan
kepada hamba yang telah menghabiskan segala rasa kepemilikian
pada dirinya sehingga total merasakan ketergantungan sepenuhnya
kepada Allah Swt.
Sementara itu, banyak pula di antara kita yang sudah
berkecukupan merasa dirinya sudah kaya. Padahal, karena didorong
oleh keinginannya untuk memperbanyak hartanya terus-menerus,
sehingga tanpa sadar dia telah menjadi seorang mengemis yang terus
meminta-minta. Tidak pernah puas dengan apa yang ada demi untuk
kesenangan duniawi belaka. Namun, jika niatnya untuk ibadah
kepada Allah dan untuk berbagi maka ketamakannya menjadi hilang
karenanya. Wallahu a‟lam.
22

Kalam Sirri 10

Pengetahuan 10
Wahai hamba-Ku:
Dan bagi di antaramu yang menjauhkan diri kepada-Ku, maka
terhijablah ia dari pengetahuan-Ku. Dan bagi dirimu yang akan
mengenal-Ku, niscaya Aku dekatkan tanda-tanda-Ku. Dan bagi
hamba-hamba yang merindui diri-Ku, maka tiada yang lebih
pantas bagi mereka kecuali pengetahuan yang dapat
„memandang-Ku‟pula.

Orang yang tidak berusaha menuntut pengetahuan untuk


mengenal Allah, atau merasa cukup dengan pelajaran yang
telah diterimanya dari hasil belajar, membaca, atau berdiskusi
tanpa ada keinginan untuk mengenal Allah melalui rasa pada
hatinya, maka akan selamanya tidak akan pernah mengenal
Allah (makrifatullah). Namun, jika ada keinginan dan harapan
di dalam hatinya mencari pengetahuan tentang bagaimana
mengenal Allah melalui perjumpaan, maka niscaya Allah akan
membukakan jalan-jalannya. Perhatikan firman Allah sebagai
berikut:
َُ ََ َ َ َٓ ْ َ َ
َُّ‫يع‬ َ
َّ ٍِ ‫ٓأَلت َّؤْ َّٱلف‬
ٖۚ ٖ َّ ِ‫ّلل‬ َّ ‫ٌََ ََّكن َّيَ ۡؽ ُسٔا َّى ِلا َء َّٱ‬
َّ ‫ّللِ َّفإِن َّأسو َّٱ‬
ۡ
َّ٥ًَّ‫ي‬َُّ ِ ‫ٱى َعي‬
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang.
Dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui,”
(QS. Al-Ankabut/29: 5)
Sekali lagi, modal awal untuk menjumpai Allah adalah
niat atau harapan untuk berjumpa dengan-Nya. Tanpa niat dan
23

pengharapan, maka tidak mungkin dapat meraihnya. Ketika


seseorang sudah memiliki harapan maka Allah Swt akan
memperlihatkan berbagai tanda-tanda keberadaan diri-Nya
melalui pengenalan melalui akal. Dengan akal, manusia akan
sampai pada kesimpulan bahwa segala kejadian di alam ini
merupakan bukti adanya Zat yang mengaturnya. Demikian
pula ketika berfikir tentang penciptaan diri sendiri, lalu ada
kesadaran betapa kuasa Zat yang telah menciptakannya. Al-
Qur‟an senantiasa mendorong kita untuk menggunakan akal
untuk berfikir dan merenung agar mengakui adanya Tuhan
dibalik semua yang ada. Allah berfirman:
ٞ ُّ ٞ َ َ ُ َ َ َ ۡ ُّ ُ ٰ َ َۡ َ َ ُ َٰ ۡ ََ َۡ ََ
َّ َّ٧٧َّ‫صيًٌَّتِني‬
ِ ‫ََّأُاَّعيلنٌَََِّّّجطفثَّٖفإِذأََّّْع‬َّ ‫أ َّوَّلًَّيؽَّٱ ِۡلنس‬
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia
menjadi penantang yang nyata! (QS. Yasin/36: 77)
Namun, niat saja tidak cukup tetapi harus disertai dengan
usaha yang sungguh-sungguh. Allah Swt menjanjikan bahwa
siapa saja yang bersungguh-sungguh di jalan-Nya pasti akan
diberikan bimbingan dan petunjuk untuk dapat menjumpai
diri-Nya sebagai balasan atas kualitas usahanya itu.
ۡ َ َ َ ُ ۡ ُ َ ََۡ َ ْ ُ ََٰ َ َ
ََّ ِ ‫ّللَّل ٍَ َعَّٱل ٍُ ۡطفِ ن‬
َّ َّ٦٩َّ‫ني‬ َّ ‫َّـ ُتي َِاَِّإَونَّٱ‬ ًِٓ‫ِيََّجٓػواَّذِيِاَّنلٓػِح‬
َّ ‫َّوٱَّل‬
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari rida
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-
jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat ihsan” (QS. Al Ankabut/29: 69)
Bersungguh-sungguh mencari rida Allah Swt adalah
bagian dari perbuatan ihsan. Yaitu, perbuatan yang dilakukan
di kala perasaan sedang diawasi Allah atau merasa menyaksikan
kehadiran dan kesertaan-Nya.
24

Kalam Sirri 11

Pengetahuan 11
Wahai hamba-Ku:
Bahwasanya “rasa”mu dalam “merasai” keberadaan-Ku
merupakan pengetahuan yang Aku nyatakan tanpa perkataan
dan huruf, namun ia dapat menembus segala arti dan makna dari
segala ungkapan maupun tulisan yang menghijab dirimu
terhadap-Ku. Dan keterlepasan dirimu dari pengetahuan yang
lahir dari huruf dan bilangan akan menghidupkan pengetahuan-
Ku yang ada pada “rasa”mu.

Pengetahuan hati tentang Allah (makrifat) bukanlah


pengetahuan yang diperoleh dari hasil mendengarkan pelajaran dari
orangtua, guru, atau penceramah; ia juga tidak diperoleh dari hasil
bacaan atas kitab-kitab, melainkan melalui rasa nurani.
Pengetahuan tentang Allah yang diperoleh dari hasil
pendengaran dan bacaan akan selamanya menjadi „hijab‟ jika
pemahaman itu hanya ditampung oleh akal pikiran kita.
Pengetahuan seperti itu hanya melahirkan berbagai konsep tentang
Tuhan yang mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain.
Namun, pengetahuan tentang Allah akan menjadi pasti dan
meyakinkan serta sama bagi setiap orang apabila diperoleh melalui
hati yang merasakan keberadaan Allah yang Mahanyata.
Para pemikir akan selalu berbeda dalam konsep mereka
tentang Tuhan dan kesimpulannya pun tidak meyakinkan.
Sementara para sufi akan selalu sama pengetahuannya tentang
Tuhan sekaligus meyakinkan, walaupun dalam pengungkapannya
terkadang menggunakan bahasa yang berbeda. Mengapa berbeda?
Karena, pengetahuan rasa mustahil dapat terwakili dalam bahasa apa
pun. Menjelaskan rasa manis saja tidak bisa melahirkan ungkapan
yang sama, begitu juga rasa rindu walau dimengerti hakikatnya tetapi
sulit diungkapkan dalam bahasa secara pasti. Wallahu a‟lam.
25

Kalam Sirri 12

Pengetahuan 12
Wahai hamba-Ku:
Pengetahuan-Ku tidaklah mencari huruf dalam ia bernyata,
melainkan huruf dan bilangan yang mencarinya. Maka
janganlah sekali-kali engkau mendatangi-Ku dengan segala
bentuk huruf dan bilangan, karena ia akan menghijabmu dalam
kata dan hitungan. Ketika engkau ingin dapat mengenal tanpa
pengenalan, serta berjalan kepada-Ku tanpa ada jarak yang
dapat ditafsirkan, yakni apabila semata-mata engkau jadikan
“rasa”mu tempat engkau mendatangi-Ku, sehingga cukuplah
dengan pengetahuannya (rasa) engkau mengetahui keberadaan-
Ku.

Makrifatullah tidak dapat diperoleh dengan membaca


rangkaian huruf atau memikirkan bilangan makhluk, juga tidak
dapat diperoleh dengan membaca zikir tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu. Bahkan, mengutamakan zikir lisan dan
dalam jumlah tertentu dapat menjadi hijab yang membatasi
pada Allah.
Makrifatullah hanya dapat diperoleh melalui rasa di
dalam hati. Rasa tidak membutuhkan kata untuk mengenal
sesuatu karena ia adalah merupakan media untuk menyentuh
sesuatu. Rasa jasmani tidak perlu diceritakan tentang manis
karena setelah ia bersentuhan dengan manis cerita itu tidaklah
persis dengan yang dirasakan. Rasa ruhani tidak butuh
penjelasan tentang cinta karena jika jiwa seseorang sedang
jatuh cinta maka semua penjelasan tentang cinta tidak persis
sama dengan apa yang dirasakan. Demikian dengan rasa nurani
pada hati, tidak butuh uraian tentang Allah karena jika ia telah
merasakan Allah, maka semua uraian tentang-Nya tidaklah
sejelas dengan apa yang dirasakan.
Semua pengetahuan yang diperoleh oleh rasa, baik rasa
jasmani, rasa ruhani, maupun rasa nurani dapat menguraikan
26

apa yang diketahuinya dengan sejuta penjelasan. Rasa tidak


membutuhkan penjelasan untuk mengenali sesuatu. Rasa hanya
butuh menyentuh obyek yang hendak dikenalinya. Setelah
menyentuh obyeknya, justru huruf dan kata yang mencari
kalimat untuk menjelaskannya, walau semua kalimat yang
diungkapkan oleh akal melalui lisan dan tulisan tidaklah
mewakili hakikat sesuatu yang diketahui oleh rasa.
Demikianlah, kita membutuhkan rasa nurani untuk
mengenali Allah (makrifatullah) sebagai tuhan yang
sebenarnya. Rasa nurani tempatnya di dalam hati, dan untuk
memfungsikannya maka wadahnya perlu dibersihkan.
Bersihnya hati bukan hanya bersih dari dosa, melainkan bersih
dari rasa memiliki sesuatu (ego) kecuali rasa ketergantungan
kepada Allah semata-mata. Wallahu a‟lam.
27

Kalam Sirri 13

Kesia-siaan
Wahai hamba-Ku:
Sebodoh-bodoh manusia, yaitu manusia yang mendapatkan ilmu
namun tiada diamalkan, dan selemah-lemah manusia adalah
manusia yang beribadah dan beramal, akan tetapi masih
mencintai dunia dan hawa nafsunya.

Kita sudah belajar agama dari kecil, mulai dari pelajaran yang
diberikan orang tua, sekolah, sampai dengan menggunakan berbagai
media, cetak maupun elektronik. Pengetahuan agama yang
mencakup islam (amaliah), iman, dan ihsan sudah kita dapatkan
semuanya. Namun, kebodohan kita adalah sudah tahu banyak hal
tetapi tidak diamalkan sehingga tidak dapat mengubah prilaku kita.
Kelemahan kita lainnya adalah melakukan ibadah tetapi
masih mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia. Ibadah
kita lakukan untuk mendapatkan penghormatan dari lingkungan kita
untuk mendapatkan status sosial.
Terkadang kita melakukan kebaikan untuk kepentingan diri,
keluarga, dan kelompok kita. Ketika memberikan sumbangan,
berharap namanya hendak dikenal oleh orang lain. Ketika
menolong, mengharap publikasi supaya populer di masyarakat.
Segalanya menjadi sia-sia ketika melakukan ibadah dan amal
kebaikan bukan mengharapkan keridaan Allah Swt.

ًَّ‫عََّأيبَّيعىلَّشػادَّةََّأوسَّريضَّاّللَّعَِّّعََّانليبَّصىلَّاّللَّعييَّّوـي‬
َْ َْ ْ َ ُ َْ َ ْ َْ َ ْ َ َ َ َ َ ُ َ َْ َ َ ْ َ ُ ّ َ ْ
ََُّّّ ‫ف‬
ََّ ‫ََّ َّأ َّت ََّت ََّعَّ َّج َّف‬
َّ ٌَّ َّ‫س َّؾ‬
َِّ ‫تَّ َّو َّاى َّعا‬ َّ ٍَّ ِ ‫وََّّل‬
َِّ َّٔ ٍَّ ‫اَّب َّع َّػ َّ َّال‬ َّ ٍَِّ ‫ع‬
َّ ‫ف ََّّّ َّو‬
َّ ‫انَّ َّج َّف‬
َّ ‫ََّ َّد‬
َّ ٌَّ َّ‫ؿ‬
َّ ِ ‫ه َّي‬
َّ ‫" َّاى‬: ‫كال‬
ََ ْ ََ ََ َ ََ
)‫انَّ"َّ(رواهَّاىرتٌؼي‬ َّ ِ ٌَّ ‫اۡل‬
َّ َِّ‫ّلل‬ َّ َّ‫اَّو َّت ٍََّّن‬
َّ ‫َّلَعَّا‬ َّ ْ‫ا‬
َّ َّٔ َّْ
28

Abu Ya‟la Syaddad bin Aus r.a. menceritakan bahwa Nabi Saw
pernah bersabda, “Orang cerdas adalah orang mendekati dirinya dan
berbuat untuk persiapan setelah mati, sedangkan orang yang lemah
adalah orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya sementara
berharap pula mendapatkan kemuliaan di sisi Allah (HR. Turmudzi).

Kecerdasan bukanlah terletak dalam banyaknya ilmu yang


dikuasai, khususnya pengetahuan agama melainkan bergantung pada
sejauh mana pengamalannya dalam rangka mencari rida Allah.
Dengan mendapatkan rida-Nya, maka masa depan di akhirat nanti
akan dijamin bahagia di sisi Allah. Wallahu a‟lam.
29

Kalam Sirri 14

Keraguaan
Wahai hamba-Ku:
Berjalanlah dalam keadaan yang terang, dan hindarilah berjalan
dalam keremangan, karena ia akan membawamu kepada
kegelapan. Sebab tiada pernah keraguan akan memberimu
jawaban, namun sebaliknya ia akan membawamu ke dalam
lembah kebingungan, hingga lebih menjauhkanmu dari keputusan
yang benar.

Ketika hendak menuju kepada Allah maka gunakan


petunjuk Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai pengikat bagi rasa dalam
hati. Ketika rasa tidak diikat dengan petunjuk Al-Qur‟an dan Sunnah
maka yang akan menuntun adalah akal, sementara akal tidak akan
pernah melahirkan suatu keyakinan, bahkan bisa jadi setan yang
akan menjadi pendampingnya. Jika setan menjadi pendamping,
maka pasti perjalanannya akan menemui jalan sesat.
Oleh karena itu, jangan andalkan akal dalam berjalan kepada
Allah karena pengetahuan apa pun yang diperoleh akal tentang
Allah, tidak akan melahirkan suatu keyakinan yang pasti.
Gunakanlah „rasa nurani‟ karena ia selalu memberikan pengetahuan
yang meyakinkan, namun jangan lupa untuk memagarinya dengan
petunjuk Al-Qur‟an dan Sunnah.
Jika ada orang yang merasa dekat dengan Allah tetapi
menyepelekan syariat apalagi mengabaikannya, maka tinggalkanlah.
Sesungguhnya orang yang demikian itu sudah terjebak dalam tipu
daya setan yang menghembuskan syubhat di dalam pikirannya.
30

Kalam Sirri 15

Ujian
Wahai hamba-Ku:
Dunia dan hawa nafsu ujianmu untuk meraih kebahagian di
akhirat, sedangkan surga dan neraka adalah ujian bagi engkau
yang menuju-Ku.

Allah Swt telah menjadikan dunia ini menjadi indah untuk


melayani segala kebutuhan manusia. Dunia semakin indah ketika
Allah memberikan hawa nafsu kepada manusia. Maka, dunia dan
hawa nafsu itu menjadi ujian untuk melakukan ibadah dan amal
kebaikan yang akan dibalas dengan pahala di surga. Ketika harta kita
cari dan kumpulkan dengan susah payah, lalu ada perintah untuk
memberikan kepada orang lain, tentu akal dan hawa nafsu kita akan
berontak. Bagaimana mungkin sesuatu yang diperoleh dengan kerja
keras harus dikeluarkan begitu saja sehingga tidak lagi bisa
dinikmati!
Sementara itu, kebahagiaan di surga dan penderitaan di
akhirat menjadi ujian bagi seorang hamba yang melakukan ibadah
dan amal. Apakah ia beribadah dan beramal hanya karena
menginginkan pahala supaya masuk surga dan menghindari neraka;
atau beribadah karena mengharapkan perjumpaan dengan Allah
Swt. Bila karena harapkan surga maka akan diberi surga, tetapi bila
karena Allah maka akan mendapatkan kebahagiaan tertinggi
diperkenankan memandang wajah keagungan-Nya. Apakah kita
masih mau menyembah Allah andaikan tidak ada surga atau neraka?
Wallahu a‟lam.
31

Kalam Sirri 16

Hukum 1
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya Aku menciptakan hukum-hukum bukanlah
untukmu. Ia diciptakan hanyalah sebagai pagar untuk hawa
nafsumu, sebab binatang yang paling buas dan yang paling
berbahaya adalah hawa nafsumu sendiri.

Allah Swt menciptakan hukum bukan untuk membatasi diri


manusia mengabdi kepada-Nya. Janganlah kita membatasi diri hanya
melaksanakan yang Allah wajibkan saja karena itu adalah tertulis
dalam kontrak yang telah kita sepakati di alam arwah. Sekadar
menggugurkan kewajiban tentulah tidak istimewa di mata Allah.
Oleh karena itu, bila ingin mendapatkan perhatian istimewa dari-
Nya, laksanakanlah hal-hal yang disunnahkan. Hanya dengan itu,
Allah akan mencari hamba-Nya dan menganugrahkan rasa
kedekatan pada diri-Nya, serta akan memandikannya dengan cinta.
Hanya hamba yang dicintai-Nya yang dapat menemukan
kebahagiaan surgawi di dunia ini dan dirindukan oleh Allah Swt.
Jangan pula kita termasuk orang yang memanfaatkan hukum
Allah untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi kita. Kita rajin shalat
ke mesjid, misalnya, hanya untuk menunjukkan kesalehan diri
kepada orang lain; kita berzakat untuk menunjukkan
kedermawanan, kita berhaji atau umrah untuk mencari popularitas
dan status sosial, dan lain sebagainya. Kita bekerja semata-mata
untuk mencari kepentingan-kepetingan duniawi dan hawa nafsu.
Bila itu kita lakukan, maka semua kebaikan kita akan hangus dan sia-
sia. Belajarlah untuk berbuat semata-mata mencari perhatian dan
kasih sayang dari Allah Swt.
Ingatlah, hukum itu dibuat untuk memagari hawa nafsu
manusia. Hukum shalat, puasa, zakat, dah haji dibuat untuk
memagari hawa nafsu. Hukum nikah, waris, muamalah, dan lain-lain
semuanya dibuat Allah untuk memagari hawa nafsu.
32

Oleh karena itu, jangan lagi ada yang mencoba membuat


tafsiran-tafsiran terhadap Al-Qur‟an dan Sunnah untuk membuka
peluang bagi hawa nafsu untuk berkuasa atas diri manusia dan

َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ َۡ ْ ُ ُ ۡ َ َ ۡ ْ ُ َۡ ََ
menjauhkannya dari Allah Swt.
َ ۡ َ
َّ٤٢َّ‫وَّوحسخٍٔاَّٱۡلقََّّوأُخًَّتعئٍن‬ ٰ
َِّ ‫لَّحيبِفٔاَّٱۡلقَََّّّة ِٱىب ِط‬
َّ ‫و‬
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil
dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui. (QS. Al-Baqarah/2: 42)
Lihatlah, ketika hukum Allah dijadikan sebagai jalan pemuas
hawa nafsu, misalnya membangun lembaga pendidikan Islam tetapi
untuk memperkaya diri, mendirikan partai Islam tetapi hanya untuk
memperoleh kekuasaan, dan sebagainya. Alih-alih menjadikan
hukum sebagai pagar bagi hawa nafsunya. Wallahu a‟lam.
33

Kalam Sirri 17

Hukum 2
Wahai hamba-Ku:
Hukum-hukum manusia dibatasi oleh waktu, dikuasai oleh
masa, dapat dibantah dengan keadaan. Bahkan dapat
dikhianati oleh orang yang membuat hukum tersebut. Tetapi
hukum-Ku tak pernah lapuk dalam waktu dan pudar dengan
masa, juga tak akan pernah dapat dibantah oleh siapapun
karena hukum-Ku merupakan kebenaran yang selalu beriringan
dengan hati nurani setiap manusia.

Hukum yang Allah turunkan kepada manusia adalah


formula canggih untuk menciptakan kemaslahatan bagi semesta

َ َٰ ۡ َ َۡ ٓ َ َ
alam. Allah Swt berfirman:
َ ََٰ ۡ ّ ‫َ ۡ َ ا‬
َّ َّ١٠٧َّ‫وٌَّاَّأرـينمَّإِلَّرۡحثَّى ِيعي ٍِني‬
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya/21: 107).
Rahmat adalah kasih sayang yang dilandasi cinta. Agama ini
adalah tanda cinta dari Allah Swt untuk disebarkan dengan cinta
agar semua makhluk tersambung dalam cinta. Kebenaran agama ini
tidak mungkin dapat dibantah bagi orang yang mengikuti hati

َ َ ۡ َ ۡ ََ
nuraninya. Allah berfirman:
َ ۡ ََ َ َ َ َ َ َ ۡ ‫َ ا‬ ّ
َّ‫اسَّعييٓا‬َّ ‫تَّذطؽَّٱنل‬ َّ ِ ‫ّللَِّٱى‬
َّ ‫ِيََّضِِيفاَّف ِطؽتَّٱ‬ ِ ‫فأك ًََِّّوسٓمَّل ِِل‬
َ ۡ َ َ َ ۡ ُ ّ َ َٰ ۡ َ َ َ
َ
َّ ِ ‫سََّأزَثَّٱنل‬
َّ‫اس‬ ِ ٰ ‫ِيََّٱىل ّي ِ ًََُّّ َول‬ َّ ‫َِّلَي ِقَّٱ‬
َّ ‫ّللَِّذل ِمَّٱَل‬ ِ ‫لَّت ۡت ِػيو‬
َ ََُۡ َ
َّ َّ٣٠َّ‫لَّحعئٍن‬
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(sebagai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Al-
Rum/30: 30).
34

Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa manusia


diciptakan oleh Allah dengan fitrahnya sebagai makhluk yang
bertuhan. Setiap hati nurani manusia pasti mengakui akan adanya
Tuhan, namun karena ego yang lahir dari kolaborasi nafsu dan
akalnya sehingga menolak keberadaannya. Inilah yang disebut
sebagai keingkaran atau kekufuran terhadap apa yang diakui
kebenarannya oleh hatinya sendiri.
Allah Swt dengan kasih sayang-Nya telah menurunkan
agama, baik dari luar diri manusia, yakni melalui rasul dan kitab-Nya
maupun dari dalam dirinya yang bersumber pada hati nuraninya.
Oleh karena itu, semua hukum Allah tidak akan pernah lekang
dengan waktu karena sejalan dengan hati nurani manusia.
Keadilan mustahil muncul dari akal manusia, tetapi keadilan
itu keluar dari hati nuraninya. Jika hanya menggunakan
pertimbangan akal maka keadilan akan banyak dipengaruhi oleh hal-
hal lain selain daripada kebenaran itu sendiri. Akal dengan mudah
dapat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan sehingga mencari-cari
alasan pembenaran atas putusannya. Dan hanya hati yang
tersambung dengan Tuhan yang dapat mengeluarkan keputusan
yang adil bagi manusia.
35

Kalam Sirri 18

Hukum 3
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada yang menjadikan
hukum-hukum-Ku adalah tujuan kehidupannya, sedangkan
mereka jauh dari hati yang menyentuh keberadaan-Ku di diri
mereka.

Banyak di antara kita lebih mementingkan formalitas dalam


menjalankan hukum Allah tetapi kosong dari iman atau rasa
kehambaan dan rasa bertuhan. Kita shalat tetapi shalat kita hanya
„mempraktikkan tatacara shalat‟ yang diajarkan oleh orang tua, para
guru, ustad dan kiyai. Lebih parah lagi, kita fanatik dan merasa
paling benar dengan apa yang kita terima dan menganggap tatacara
shalat saudara kita tidak tepat. Padahal, di saat shalat Allah sedang
bersama kita dalam setiap kali berdiri, ruku, duduk, dan sujud. Bila
kedekatan Allah dalam setiap kondisi itu dirasakan, maka semua
mazhab akan lebur dalam satu bentuk penghambaan kepada Zat
Yang Disembah tanpa melihat gaya kita, kecuali melihat ketulusan
dan ketundukan kita kepada-Nya.
Begitu pula dengan hukum puasa, zakat, haji dan lain-lain.
Melakukan puasa dengan tujuan gugurnya kewajiban tetapi jauh dari
harapan tidak menuhankan hawa nafsu syahwat. Menunaikan zakat
dan shadaqah tetapi jauh dari harapan bagaimana tidak menuhankan
harta. Menunaikan ibadah haji sekedar ketuntasan rukun Islam dan
mencari prestise dan status sosial. Semuanya hanya menjalankan
hukum sebagai tujuannya tetapi jauh dari hati yang mengenal Allah
sebagai Zat yang selalu bersamanya dan Zat yang memberi rezki.
Padahal, Allah Mahadekat dengan setiap hamba-Nya, lebih dekat
daripada detak jantung dan tarikan nafas yang ada di dalam dirinya.
Wallahu a‟lam.
36

Kalam Sirri 19

Hukum 4
Wahai hamba-Ku:
Ketahuilah, tidak akan pernah Aku jadikan hukum dan aturan
padamu melainkan menjadi pembeda di antaramu yang tunduk
kepada-Ku. Maka tegakkanlah hukum-Ku jika dirimu termasuk
orang-orang yang tunduk. Tetapi, tidaklah pantas bagi di
antaramu yang mengaku tunduk, sedangkan diri dan hatimu
jauh dari mengenal Aku sang pemilik hukum.

Hanya orang yang mengenal Allah (bermakrifat) yang bisa


tunduk dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Dan hanya orang
tunduk yang dapat menjalankan hukum Allah sehingga melahirkan
kemaslahatan dan kedamaian. Orang yang kenal dengan Allah pasti
jatuh cinta kepada-Nya, sehingga semua perintah Allah akan
dilaksanakannya dengan senang hati. Baginya, semua perintah itu
bagaikan permintaan dari kekasihnya sehingga melaksanakannya
pun dijadikan sebagai tempat pembuktian cinta pada-Nya.
Maka, pantaslah kiranya bila Nabi Muhammad Saw diutus
ke dunia ini untuk menjadi cinta atau rahmat bagi semesta. Hanya
cinta yang dapat melahirkan perilaku yang santun dan kedamaian.
Wajar bila beliau mengaku bahwa kerasulannya hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, tindak laku dan tindak
tuturnya selalu diwarnai cinta dan kasih sayang. Segalanya menjadi
wadah untuk melampiaskan rasa rindu dan membuktikan cinta
kepada Sang Kekasih.
Orang yang demikian akan dipandang berbeda karena
perilakunya yang baik dan santun sehingga ia menampil Islam
sebagai bagian dari keindahan Allah yang Mahaindah.
37

Kalam Sirri 20

Hukum 5
Wahai hamba-Ku:
Aku-lah Tuhan yang menjadikan hukum sebagai pakaian dalam
hidupmu sekaligus pembeda bagimu dengan orang-orang yang
sengaja berpaling dari wajah-Ku, sehingga dirimu menjadi bagian
dari keindahan diri-Ku. Sesungguhnya hukum-hukum tersebut
merupakan pertunjukan dari keindahan sifat-sifat-Ku.

Agama adalah pakaian yang diturunkan Allah ke bumi untuk


membungkus rasa bertuhan bagi setiap hamba-Nya. Dan pakaian
terindah yang diturunkan adalah Islam. Janganlah kiranya kita sibuk
memperindah pakaian itu tetapi tidak memiliki pengenalan kepada
Allah. Bahkan, pakaian itu kita tambal sulam sehingga hilanglah
keaslian dari pakaian itu sendiri seperti kelakuan orang-orang
Yahudi. Jangan pula kita sibuk mengultuskan sang pembawa
pakaian sehingga mengulang kembali kelakukan orang-orang
Nasrani yang mengultuskan Nabi Isa a.s.
Pakailah Islam sebagai pembungkus tingkah laku dan tutur
katamu sehingga ia mendatangkan kedamaian kepada siapa pun.
Jadilah mercusuar yang dapat menerangi setiap kegelapan yang ada
di sekitarmu. Kita tidak perlu memaksakan Islam kepada siapa pun,
atau memperjuangkan Islam dengan kekerasan dan teror karena hal
itu mengotori keindahannya. Namun, tampillah sebagai Muslim
yang menebar rahmat bagi semua. Hanya dengan begitu, Islam akan
menjadi bagian dari pertunjukan keindahan sifat-sifat Allah bagi
umat manusia. Wallahu a‟lam.
38

Kalam Sirri 21

Kesempurnaan
Wahai hamba-Ku:
Telah terang akan kelemahan manusia dalam mengendalikan
kesempurnaannya, dan tidakkah manusia melihat keberadaannya
yang diletakkan lebih tinggi dari apa-apa yang telah Ku-
ciptakan. Dan bahwasanya tiada kan pernah Aku adakan
baginya kesempurnaan melainkan dengannya ia lebih mengenal
maksud-Ku terhadap apa-apa yang telah diatur dalam segala
ketentuan-Ku.

Kelebihan yang dimiliki manusia dibandingkan makhluk


lainnya adalah karena ia dikarunia akal, hati, dan nurani. Ketiganya
tidak mungkin diadakan dan diciptakan oleh manusia sendiri.
Bahkan, Allah menciptakan segala sesuatu selain manusia tunduk
untuk melayani segala kebutuhan manusia dalam menghamba dan
menunaikan tugas kekhalifahannya.
Untuk apa Allah melengkapi manusia dengan akal, hati, dan
nurani? Dengan akalnya, manusia diberi kesempatan untuk
memakmurkan alam ini dan menangkap sinyal mahakarya Allah
yang telah menciptakannya dengan penuh keteraturan. Dengan
hatinya, manusia diberi kesempatan merasakan keagungan kasih
sayang Allah kepada manusia. Dan dengan nuraninya, manusia
dapat mengenal dan menyaksikan kenyataan Allah yang Maha
Mencintai para kekasihnya. Dengan potensi itu, manusia mampu
memahami bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah tanda
kasih dan cintanya kepada manusia itu sendiri.
Dengan potensi akal, hati, dan nuraninya, manusia akan
menjadi makhluk sempurna (Insan Kamil). Dia menjalin cinta dan
kerinduan dengan Allah Swt dan membuktikan cintanya itu dengan
membagi kasih dan sayangnya kepada sesama makhluk Allah yang
lain. Inilah puncak dari tujuan para nabi diutus dan tujuan dari
39

semua kitab diturunkan. Semoga Allah berkenan memberikan


kesempatan untuk dapat memanfaatkan semua potensi tersebut
untuk menemukan surga di dunia ini dan memandang wajah
keagungan-Nya di akhirat kelak, amin.
Allah Swt menciptakan segala sesuatu di dunia sebagai
pelayan bagi manusia. Karena itu, seorang hamba hendaknya dapat
mengerti dan memahami bahwa apa pun kejadian di dunia ini tidak
lain adalah sebagai tanda cinta Allah kepadanya. Memang, akal
manusia terkadang tak mampu mengerti dan memahaminya
sehingga tidak sabar dan bersyukur. Wallahu a‟lam.
40

Kalam Sirri 22

Ingatan - Zikir
Wahai hamba-Ku:
Agar engkau Aku ingatkan ketika lupa, maka carilah
kesempatan untuk ingat kepada-Ku di saat engkau disibukkan
dengan yang lain, Karena sesungguhnya Aku tidak melupakan
hamba-hamba-Ku yang pernah ingat kepada-Ku di waktu ia
lalai untuk mengingat diri-Ku.

Allah akan senantiasa mengingat hamba-Nya apabila si


hamba juga mengingat-Nya. Orang yang selalu lalai dalam
mengingat Allah maka sulit untuk mendapatkan hidayah dan taufik
dari Allah untuk tetap bisa berjalan di jalan yang benar dan diridhai
Allah. Dalam hal ini,Allah berfirman, “Ingatlah Aku maka Aku akan
mengingat kalian” (QS. Al-Baqarah/2: 152).
“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi
dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”
(QS. Al-A‟raf/7: 205).
Kelalaian dari mengingat Allah adalah bencana karena kita
akan dikendalikan oleh hawa nafsu. Jika hawa nafsu yang menguasai
manusia, maka akalnya pun akan diperbudak untuk memenuhi
segala keinginannya. Jika hawa nafsu dan akal sudah berkolaborasi,
maka akan melahirkan ego atau rasa kepemilikan terhadap sesuatu.
Bila muncul ego dalam diri manusia, maka tembok tirai dan hijab
telah terbangun kokoh sehingga tak lagi mampu merasakan dirinya
sebagai hamba dan yang menjadi tuhannya tidak lain adalah hawa
nafsunya sendiri. Bagi orang yang berpaling dari ingatan kepada
Allah maka pasti akan mengalami kehidupan yang sempit, dan lebih
celaka lagi di akhirat akan dibangkitkan dalam keadaan buta. Allah
berfirman,
41

ََّ‫ُشَّهُۥ َّيَ ۡٔم‬ ُ ُ ‫َن‬َۡ َ ‫َ َُ َ َ ا َ ا‬ ۡ َ َ َۡ َ ۡ ََ


‫َّّلۥ ٌَّعِيشث َّضِٗك َّو‬ َّ ‫َ َّأعؽض َّعََّذِن ِؽيَّفإِن‬ َّ ٌ‫و‬
َُّ‫َّنِج‬ ُ ََۡ َ ۡ َ ٓ َۡ َ َ َ ّ َ َ َ َ ۡ َ َ َ ۡ
‫َم َّوكػ‬ ٰ ‫ب َّل ًِ َّضُشح ِّن َّأخ‬ ٰ ‫ٱىلِيٍٰثَِّ َّأخ‬
ِ ‫ َّ َّكال َّر‬١٢٤َّ ‫َم‬
ََّ‫َّو َك َذٰل َِم َّٱ َّۡلَ ۡٔ َّم‬ َ ‫َّء َاي ٰ ُخ َِا َّفَنَف‬
َ ‫يخ َٓا‬ َ َ ۡ َ َ َ َٰ َ َ َ ‫ةَ ِص ا‬
ِ ‫ال َّنذل ِم َّأتخم‬ َّ ‫ َّك‬١٢٥َّ ‫ريا‬
ٰ َ ُ‫ح‬
َّ َّ١٢٦َّ‫نَس‬
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku
dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang
melihat? Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu
ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada
hari ini kamupun dilupakan" (QS Thaha/20: 124-126)
Jika ingin mengingat Allah dalam segala keadaan, maka
hilangkanlah „rasa‟ kepemilikan pada diri (terhadap ilmu, harta, daya,
jasad, dll) dan kembalikan kepemilikan itu kepada Allah. Hanya
orang yang mengakui segala sesuatu adalah milik Allah yang akan
mampu merasakan kenyataan Allah kemana pun ia menghadap-kan

َ َ ْ ُّ َ ُ َ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ۡ
wajahnya. Allah berfirman:
ََّ‫ّلل‬
َّ ‫ّللِ َّإِن َّٱ‬ ُ ۡ َ
َّ ‫ب َّفأحٍِا َّحٔىٔا َّذرً َّوسّ َّٱ‬َّ ‫ق َّ َّوٱلٍغ ِؽ‬
َّ ‫ُش‬ َّ ِ ‫َو‬
ِ ٍ‫ّللِ َّٱل‬
َ ‫َوٰـ ٌع‬
ٞ ِ ‫َّعي‬
َّ َّ١١٥ًَّ‫ي‬ ِ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui” (QS. Al-Baqarah/2: 115).
Di saat rasa kepemilikian sudah diserahkan kepada Allah
maka yang terasa adalah Allah maha meliputi segala sesuatu,
termasuk melipuri diri kita sendiri. Kalau sudah demikian, ke mana
pun wajah memandang maka di sana ada wajah Allah.
42

Kalam Sirri 23

Permintaan - Doa
Wahai hamba-Ku:
Memintalah kepada-Ku dengan segala yang tersirat dalam
hatimu dan lepaskanlah sesuatu yang mengikatnya yakni
kebiasaanmu, karena sesungguhnya permintaan yang datang
dari hatimu adalah salah satu bukti kejujuran jiwamu kepada-
Ku. Sebab, meminta (do‟a) merupakan cara yang terbaik untuk
jujur kepada-Ku.

Kita seringkali terjebak dengan kebiasaan memilih doa-doa


tertentu dengan susunan tertentu. Misalkan saja setiap habis shalat
berjamaah hanya membaca doa sesuai tradisi, atau sekadar
mengaminkan apa yang dibaca oleh yang memimpin doa. Padahal,
doa seperti itu tidak akan diijabah oleh Allah karena tidak lahir dari
harapan kita kepada Allah sebagaimana yang terbetik di dalam hati.
Allah sangat menyukai hamba-Nya yang selalu berdoa
sebagai bentuk adanya rasa butuh kepada-Nya. Orang yang tidak
mau berdoa adalah orang yang angkuh dan sombong di hadapan
Allah karena merasa dirinya dapat mewujudkan segala harapannya
melalui daya dan pikirannya sendiri. Padahal, daya dan pikiran serta
semua ruang dan waktu yang dia manfaatkan adalah Allah jua yang
mengaruniakannya.
Doa adalah tanda kehambaan kepada Allah. Orang yang
senantiasa berdoa dalam memulai segala sesuatu adalah orang benar-
benar tawakal kepada Allah. Dia yakin bahwa apa pun yang
diniatkan dan diusahakan tanpa perkenan dari Allah mustahil dapat
terwujud. Apabila niat dan usahanya berhasil, maka dia tidak
mengklaim sebagai hasil dari niat dan usahanya sendiri sehingga
tidak pantas untuk merasa bangga memilikinya. Apa yang datang
dan pergi dari dirinya adalah ketentuan Allah, dan Allah pasti
memberikan yang terbaik untuk dirinya. Wallahu a‟lam.
43

Kalam Sirri 24

Permintaan - Doa
Wahai hamba-Ku:
Dan tiadalah perkataan yang sampai kepada-Ku kecuali ia telah
terlepas dari ikatan-ikatan huruf yang keluar dari kejahilan
akalmu. Padahal sesungguhnya Aku telah menjadikan hatimu
jauh dari hijab-hijab-Ku, supaya engkau datang kepada-Ku
dengan hatimu sendiri. Dan itulah perkataan yang Aku
utamakan datang dari-mu.

Allah Swt memerintahkan kita untuk berdoa dan memohon

ُ َ ۡ َ ۡ َ ٓ ُ ۡ ُ ُ ُّ َ َ َ َ
kepada-Nya dan Dia berjanji akan mengabulkannya:
َ ُ ۡ َ َۡ َ ۡ
َّ‫ِيَ َّيفخه ِِبون‬
َّ ‫شب َّىسً َّإِن َّٱَّل‬ ِ ‫ٔن َّأـخ‬ َّ ِ ‫ال َّربسً َّٱدع‬َّ ‫وك‬
َ َ ‫ٔن‬َ ُ ُ ََۡ َ َ ۡ َ
َّ َّ٦٠ََّ‫ي‬َ ‫عؽ‬ِِ ‫َّس ََِّٓ ًََّدا‬ ‫خََّعِتاد ِِتَّـيػعي‬
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Al-Mu‟min/40: 60).
Ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang yang tidak mau
berdoa merupakan orang yang takabur dan terancam masuk neraka
Jahanam. Mengapa harus berdoa? Berdoa adalah tanda kehambaan
yang butuh kepada Allah. Doa ini harus keluar dari kebutuhan yang
muncul di dalam hati, bukan doa yang sengaja dirangkai oleh otak
menjadi kalimat-kalimat indah, atau doa yang dihapalkan tetapi tidak
mewakili apa yang menjadi kebutuhan kita.
Doa yang dipanjatkan harus dipahami tujuannya, bukan
sekadar bahasa Arab tetapi lalai dari maknanya. Doa yang dipahami
akan meresap ke dalam hati atau mewakili perasaan di dalam hati,
dan hati itu senantiasa terhubung dengan Allan tanpa prantara.
44

Kalam Sirri 25

Kekhusyukan
Wahai hamba-Ku:
Kekhusyukan dirimu kepada-Ku bukanlah ternilai daripada
khusyuk itu sendiri, akan tetapi terlihat dalam usahamu dalam
memeliharanya. Dan bahwasanya Aku-lah yang sanggup
membuatmu khusyuk kepada diri-Ku. Karena, Aku tidak
meletakkan penilaian kepadamu, melainkan melalui niat dan
usahamu kepada-Ku. Katakanlah, “Cukuplah Allah Tuhan-Ku.”

Khusyuk adalah perasaan patuh dan tunduk di hadapan


Allah Swt. Khusyuk adalah karunia atau anugrah dari Allah, bukan
hasil niat dan usaha manusia. Tidak ada yang mampu
mengkhusyukkan kecuali Allah jua. Oleh sebab itu, Allah tidak
menilai hamba-Nya dari kekhusyukannya. Kekhusyukan yang dinilai
Allah terletak pada niat dan usaha seorang hamba untuk khusyuk
atau proses untuk dapat khusyuk kepada-Nya, serta bagaimana
memeliharanya apabila khusyuk telah didatangkan Allah padanya.
Allah mengajarkan dua tip untuk khusyuk di dalam shalat,
sebagaimana firman-Nya: “(orang-orang khusyuk yaitu) yang
meyakini sedang menemui Tuhannya, dan bahwa mereka merasa
akan kembali kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah/2: 46). Tip pertama
adalah merasakan bahwa Allah melihat dan memerhatikan setiap
gerak kamu berdiri, rukuk, duduk, dan sujud; serta rasakan pula
bahwa Alah mendengar setiap doa yang dibaca di dalamnya.
Tip kedua adalah bahwa dalam shalat munculkan perasaan
akan kembali kepada Allah. Boleh jadi shalat yang dilakukan adalah
kesempatan yang terakhir yang diberikan Allah untuk menyembah-
Nya karena tidak ada yang menjamin bahwa Allah masih
menyisakan usia untuk bisa melakukan shalat yang berikutnya.
Semoga Allah menjadikan kita dan keluarga kita sebagai orang-orang
yang mendirikan shalat yang khusyuk kepada-Nya. Wallahu a‟lam.
45

Kalam Sirri 26

Tasbih
Wahai hamba-Ku:
Tiada Tuhan selain Aku, dan sungguh tiada satu pun denyutan
pada jantungmu yang dapat mengadakan gerakannya sendiri,
melainkan dari Aku Yang Maha Menatapnya melalui “perintah”
dan dalam hitungan-Ku yang tersembunyi. Dan bahwasanya
cukup Aku-lah yang Maha Mengetahui dari segala yang berada
pada genggaman-Ku. Maka tiada yang lebih baik dari denyutan
di dadamu, kecuali bila ia telah menjadi hitungan tasbih
terhadap diri-Ku.

َۡ
Allah berfirman:
ُۡ ۡ َ َ َّ ٰ ‫ٌَّا َِّف َّٱلف َم ٰ َن‬
َّ‫وس‬ ُّ
َّ ِ ‫م َّٱىلػ‬ َ َّ ِ ‫َِّف َّٱۡل‬
َِّ ِ ‫ۡرض َّٱلٍي‬ ِ ‫ت َّوٌا‬ ِ ِ
َ ِ‫ص َّ ِّلل‬َُّ ِ ‫ي ُ َف ّت‬

َّ َّ١ًَّ‫ِي‬ َ ۡ ‫يؾَّٱ‬
َِّ ‫ۡله‬ َِّ ‫ٱى َع ِؾ‬
ۡ

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Allah Sang Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Jumu‟ah/62:1)
Seluruh makhluk senantiasa bertasbih kepada Allah,
termasuk setiap organ dan sel yang ada di dalam tubuh kita. Tasbih
mereka dalam bentuk menjalankan semua tugas dan fungsinya
menurut perintah Allah padanya (sunnatullah). Mereka senantiasa
menjalankan tugasnya tanpa pernah menolak dan membangkan.
Para malaikat pun hanya bertasbih sesuai dengan tugasnya masing-
masing, yang tugasnya hanya bersujud selamanya, ada yang tugasnya
mencatat selamanya, dan seterusnya tanpa bisa menolak perintah
Allah.
Hanya manusia dan jin diberi tugas ibadah atau menyembah
kepada Allah (QS. Al-Dzariyat/51: 56) karena hanya keduanya
46

diberi potensi untuk mengenal Allah. Manusia dan jin dikaruniai hati
nurani yang merupakan media untuk mengenal Allah, sedangkan
makhluk yang lain tidak memilikinya sehingga mereka hanya diminta
bertasbih saja.
Jadi, pada dasarnya seluruh organ dan sel dalam tubuh kita
sedang menjalankan tasbihnya masing-masing, namun kita tidak
menyadarinya karena hati kita terlanjur berlumuran ego dan hawa
nafsu. Denyutan jantung akan menjadi nada pengiring tasbih bagi
hati yang telah terbebas dari hubbudunia atau “rasa memiliki”
terhadap dunia.
Siapa pun kita tidak ada yang mampu mendetakkan
jantungnya dan mendenyutkan nadinya. Jantung dan nadi juga
mustahil berdetak dan berdenyut dengan sendirinya. Semuanya
berjalan atas perintah Allah padanya. Jika demikian, maka
sesungguhnya yang hidup di dalam diri kita adalah hayat tiupan
Allah yang tidak pernah mati. Di balik detak jantung dan denyutan
nadi pasti ada Allah Yang Mahahidup yang senantiasa bersama
dengan kita.
Semoga Allah terus membimbing dan mendidik hati kita
untuk sampai pada kenikmatan tasbih yang teriringi melodi detak
dan denyutan jantung kita masing-masing. Wallahu a‟lam.
47

Kalam Sirri 27

Tingkatan - Maqam
Wahai hamba-Ku:
Ketika ruhmu meliputi jasad, saat itu Aku memanggilmu
“manusia”, dan setelah ”rasa“ meliputi jasad dan jiwamu, Aku
akan memanggilmu “hamba”, dan apabila sifat-Ku telah
meliputimu maka saat itu Aku akan memanggilmu “Sang
Kekasih”.

Maqam pertama adalah sebagai manusia. Manusia terdiri


atas ruh dan jasad. Ruh/jiwa terdiri atas hati, akal, dan hawa nafsu.
Ketika ketiga komponen ini meliputi jasad maka kita disebut sebagai
manusia. Posisi manusia (basyar) ketika hati, akal, dan nafsu
berfungsi menjalankan tugasnya masing-masing. Inilah maqam
pertama di hadapan Allah.
Maqam kedua adalah sebagai hamba. Manusia memiliki tiga
macam rasa, yaitu rasa jasmani, rasa ruhani, dan rasa nurani. Rasa
jasmani dapat mengenal manis, asin, pahit, asam, dan lain-lain. Rasa
ruhani dapat mengenal senang, bahagia, sedih, marah, cinta, dan
benci. Adapun rasa nurani adalah rasa yang dapat mengenal hal baik
dan buruk, benar dan salah, serta mengenal Allah. Hati merupakan
wadah bagi rasa yang bersumber dari nurani. Ketika rasa nurani
yang bekerja, maka manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai
hamba karena mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang
benar dan yang salah, serta dapat mengabdi kepada Allah karena
hatinya mampu mengenal Allah dan memahami posisinya sebagai
hamba-Nya.
Maqam ketiga adalah sebagai kekasih. Di dalam ruh/jiwa
manusia terdapat nurani yang merupakan sifat Allah yang ditiupkan
sebagaimana firman-Nya, “Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam tubuhnya ruh (sifat)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur.”(QS. Al-Sajdah/32: 9). Ada tujuh sifat yang
ditiupkan, yaitu hayat, qudrah, iradah, „ilmu, sama‟, bashar, dan
48

kalam. Ketika manusia lebur dalam nuraninya yang tidak lain adalah
sifat Allah, maka dia akan menyaksikan zat Allah sebagai zat Yang
Mahanyata dan Mahaindah, sehingga pasti akan jatuh cinta pada-
Nya. Pada posisi inilah seorang akan menemukan keindahan dan
kebahagiaan surga di dunia sehingga apa pun yang dilakukan dan
diucapkan adalah wujud pembuktian cintanya kepada Allah Swt.
Orang yang seperti inilah yang akan mampu ikhlas dan ridha dalam
setiap kata dan perbuatannya, serta menebar kasih kepada siapa dan
apa pun di dunia ini. Semoga Allah memasukkan kita dalam maqam
“kekasih” di sisi-Nya. Wallahu a‟lam.
49

Kalam Sirri 28

Penghambaan
Wahai hamba-Ku:
Mohon ampunlah kepada-Ku dalam keikhlasan, memintalah
kepada-Ku dalam keyakinan, kemudian berharaplah di dalam
rahmat-Ku, sertailah syukur bersama pemberian-Ku, hingga
engkau menemukan dirimu dalam keadaan berserah diri kepada
Zat-Ku semata.

Ciri-ciri orang yang berserah diri kepada Allah (Muslim)


adalah senantiasa menghamba dengan memohon ampun, berdoa,
berharap, dan bersyukur kepada Allah Swt.
Dosa dan kekufuran hampir setiap saat senantiasa kita
perbuat. Banyak kewajiban yang kita tinggalkan dan juga banyak
larangan yang kita langgar, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Untuk disebut sebagai hamba, mestilah kita akui kelemahan dan
kebodohan kita dengan memohon ampunan Allah dengan penuh
keikhlasan (taubat nasuha), berjanji tidak akan mengulanginya, serta
menutupinya dengan kebaikan yang sepadan atau lebih. Inilah yang
menjadi syarat diterimanya sebuah taubat.
Untuk disebut sebagai hamba, maka mestilah kita tunjukkan
melalui doa-doa kita. Doa itu harus lahir dari rasa butuh yang
muncul di hati kita. Dalam berdoa, munculkanlah keyakinan di
dalam hati bahwa hanya Allah Yang Mahakuasa mewujudkan segala
permohonan kita.
Untuk menjadi hamba, maka setelah memohon ampun
dengan keikhlasan serta berdoa dengan penuh keyakinan, kita harus
tetap memosisikan diri sebagai hamba yang mengharapkan kasih
sayang Allah berupa ampunan dan perkenan atas doa-doa kita. Bila
ada doa yang belum terkabulkan, jangan pernah berputus harapan
akan datangnya rahmat Allah.
Untuk disebut sebagai hamba, maka kita harus bersyukur
dengan mengakui bahwa segala sesuatu yang kita alami mulai dari
kecil hingga saat ini adalah karunia terbaik dari Allah Swt. Kalau pun
50

kita telah bekerja keras untuk mencari ilmu, harta, jabatan, dan lain-
lain tetapi yakinlah bahwa semua itu karunia dari Allah dan menjadi
titipan yang harus kita emban sebagai amanah. Dengan bersyukur,
kita meyakini bahwa apa yang hilang/pergi dari diri kita adalah
wujud kasih-Nya dan pasti akan digantikan yang lebih baik. Dengan
bersyukur, kita akan terbebas dari „rasa memiliki‟ atas sesuatu
sehingga kita benar-benar mengakui kehambaan kita yang
bergantung hanya kepada Allah Swt.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang benar-
benar berserah diri pada-Nya dengan senantiasa ikhlas memohon
ampunan-Nya, yakin dalam berdoa pada-Nya, tidak putus asa akan
rahmat-Nya, serta senantiasa mensyukuri segala karunia titipan-Nya
pada kita. Wallahu a‟lam.
51

Kalam Sirri 29

Perniagaan dan Berbagi


Wahai hamba-Ku:
Setiap perniagaan di dunia ini pastilah ada ruginya, namun
perniagaan yang tak pernah merugi bahkan tetap bertambah
keuntungannya adalah berniaga dengan-Ku, yakni hamba yang
menjadikan hidupnya penuh berbagi dengan hamba-hamba-Ku.

Hidup adalah sebuah bisnis, selalu mencari untung dalam


bertutur dan bertingkah. Hawa nafsu selalu mendorong untuk
bekerja demi kepentingan tegaknya kehidupan, namun terkadang
melebihi dari apa yang dibutuhkan. Ketika pencapaian telah
melampaui kebutuhan maka sesungguhnya itu adalah sampah bagi
jiwa. Agar tidak mengotorinya, sampah tersebut harus dibuang pada
tempatnya. Harta yang lebih harus disalurkan kepada yang berhak
sehingga terhindar dari kotoran yang mengotori hati seperti tamak,
kikir, sombong, dan lainnya, sekaligus memberi manfaat bagi yang
lain. Ilmu yang lebih hendaknya dibagi agar tidak mengotori hati
dengan keangkuhan dan merendahkan, sekaligus memberi manfaat
bagi yang lain.
Allah Swt berfirman, “Maukah Aku tunjukkan sebuah
perniagaan yang akan menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
Yaitu, kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya, berjuang melalui
harta dan jiwa di jalan Allah. Demikian itu lebih baik untuk kalian
jika mengetahuinya. (QS. Ash-Shaff/61: 10-11)
Berjuang di jalan Allah melalui harta dan jiwa (pikiran,
tenaga, dll) adalah berbagi dan memberikan kemanfaatan bagi
sesama. Sehingga, puncak dalam bisnis islami adalah berbagi dengan
sesama. Wallahu a‟lam.
52

Kalam Sirri 30

Pemaafan
Wahai hamba-Ku:
Memaafkan orang lain dengan keikhlasan, sama nilai dan
artinya memaafkan kesalahanmu dari orang yang tak dapat
memaafkanmu. Maka hendaklah menjadi hamba yang mudah
memaafkan karena engkau tidak akan pernah tahu seberapa
banyak orang yang tidak dapat memaafkan dirimu.

Kebencian dan dendam adalah sesuatu yang menyesakkan


dada, mengganggu pikiran, dan merusak hati. Dada menjadi sesak
karena kemarahan hendak membalas, pikiran kacau karena akan
mencari cara bagaimana membalas, dan hati rusak karena tidak lagi
bisa menyayangi.
Kebencian dan dendam akan melahirkan sifat iri dan dengki.
Setiap kali yang dibenci mendapatkan kebaikan maka muncul iri,
bahkan berusaha mencari jalan agar dia tidak mendapatkan kebaikan
dan menjatuhkannya.
Kebencian dan dendam juga akan melahirkan kesombongan
dan keegoan. Setiap kali memiliki sesuatu yang lebih, selalu ada
keinginan memamerkannya dan merendahkan orang yang dibenci.
Egoisme juga menguasai diri karena tidak adanya keinginan bersikap
empati dan menunjukkan kerendahan hati kepada yang dibenci.
Kebencian dan dendam akan membawa kepada maksiat dan
kezaliman. Hal ini mendorong untuk bertindak maksiat dan zalim
kepada yang dibenci, bahkan merusak segala sesuatu yang terkait
dengan orang yang dibenci.
Obat dari sesaknya dada, kacaunya pikiran, dan rusaknya
hati karena kebencian dan dendam adalah memaafkan. Obat dari iri
dan dengki adalah memaafkan. Obat dari sombong dan egoisme
adalah memaafkan. Obat dari maksiat dan kezaliman adalah
memaafkan. Bahkan, obat dari hubungan yang tidak harmonis
dengan sesama adalah memaafkan.
53

Dengan memaafkan, dada menjadi lapang, pikiran menjadi


jernih, hati menjadi suci, iri dan dengki menjadi syukur, sombong
dan egois menjadi rendah hati dan empati, maksiat dan kezaliman
menjadi ketaatan dan keadilan, serta menciptakan kehidupan damai
dengan sesama.
Ketahuilah, hampir setiap saat kita melakukan maksiat dan
kezaliman kepada orang, baik sengaja maupun tidak sengaja. Hal itu
tentu melahirkan kebencian dan dendam orang lain terhadap diri
kita. Pemaafan adalah hak mereka dan kita tidak mampu
memintanya satu per satu. Maka, marilah kita menjadi hamba yang
selalu berusaha memaafkan orang lain dengan ketulusan karena hal
itu merupakan obat atas pemaafan mereka yang belum kita
dapatkan. Memaafkan adalah bagian dari sifat kasih sayang Allah,
maka hiasilah diri dengan sifat maaf untuk menjadikan diri bagian
dari keindahan dan kasih sayang Allah kepada sesama. Wallahu
a‟lam.
54

Kalam Sirri 31

Pemaafan
Wahai hamba-Ku:
Pintu kekayaan adalah bersedekah,
pintu kebijaksanaan adalah diam,
pintu hikmah adalah berpuasa, dan
pintu ilmu adalah berbagi sekalipun ilmumu hanya secuil bagi
perkiraanmu.

Siapa yang ingin kaya maka bersedekahlah, karena sedekah


adalah piutang kepada Allah yang akan dibayar dengan berlipat
ganda, “Jika kalian mengutangi kebaikan kepada Allah maka Allah
melipatgandakan bayarannya untuk kalian dan mengampuni dosa
kalian karena seungguhnya Allah Maha Berterima kasih dan Maha
Bijaksana” (QS. Al-Taghabun/64: 17).
Dengan bersedekah maka sesungguhnya kita akan merasa
tidak butuh dengan harta yang dikeluarkan itu. Rasa tidak butuh
kepada harta itulah kekayaan yang sesungguhnya. Janganlah kita
memiliki dan mengumpulkan harta yang banyak tetapi tanpa sadar
menjadikan diri kita sendiri sebagai pengemis yang selalu meminta-
minta. Inilah orang miskin dalam kekayaannya.
Siapa yang ingin bijaksana maka hendaklah lebih banyak
diam dari kata dan perbuatan yang sia-sia. Orang yang banyak diam
akan menyerap pemahaman dari banyak sumber sehingga ketika
hendak berbicara dan bertindak maka semuanya dipertimbangkan
secara matang.
Siapa yang ingin diberikan kemampuan memandang segala
kejadian sebagai bentuk kasih-sayang dari Allah maka hendaklah
banyak berpuasa. Dengan berpuasa, hati menjadi bersih sehingga
Allah akan menurunkan padanya berbagai hikmah atau pengetahuan
yang langsung dari-Nya sehingga senantiasa ridha terhadap apa yang
datang dan pergi dari dirinya.
Siapa yang ingin mendapatkan ilmu yang banyak maka
hendaklah ia mengajarkan apa yang telah diketahuinya. Ketika ilmu
55

semakin diajarkan maka semakin bertambah pengetahuan baru yang


Allah berikan. Siapa yang kikir ilmu maka sulit pula bertambah
ilmunya. Ketahuilah, ilmu yang ada pada diri kita adalah karunia dari
Allah, bukan berasal dari usaha kita. Usaha kita mencari ilmu akan
dibalas oleh Allah dengan karunia ilmu, semakin kuat usaha kita
maka semakin besar pula peluang dititipi ilmu. Oleh karena itu,
ikhlaslah dalam membagi ilmu untuk kemanfaatan orang yang lebih
banyak.
Semoga dengan harta yang kita bagi dan ilmu yang kita
ajarkan menjadi jalan bagi kita mendapatkan karunia-Nya yang lebih
besar. Karunia yang akan terus kita nikmati, tidak hanya terbatas
ketika kita masih hidup di dunia tetapi juga tetap mengalir setelah
kembali kepada Allah. Wallahu a‟lam.
56

Kalam Sirri 32

Cahaya
Wahai hamba-Ku:
Nur-Ku bukanlah cahaya, bukanlah kalimat, dan nur-Ku bukan
jua bentuk, namun nur-Ku adalah suatu pengertian dan
pemahaman yang lebih nyata dan benar daripada segala
pandangan akal dan fikiranmu.

Allah Swt berfirman, “Allah nur bagi langit dan bumi.


Perumpamaan nur Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak
tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-
hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Nur di atas nur,
Allah membimbing dengan nur-Nya kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-
Nur/24: 35)
Jangan pernah membayangkan Allah itu seperti cahaya
karena Dia bukanlah cahaya dan Dia di atas cahaya. Cahaya atau nur
Allah pun bukanlah cahaya sebagai sesuatu yang dapat menerangi
ruang yang gelap. Namun, cahaya Allah menerangi seluruh alam
semesta tetapi menjadi sebuah kegelapan bagi orang kotor hatinya
karena hawa nafsu dan ego. Padahal, di dalam kegelapan itulah
terletak cahaya yang terang benderang. Orang yang gelap hatinya
bagaikan kelelawar yang tidak mampu melihat di siang hari.
Kelelawar bukannya tidak dapat melihat karena tidak ada cahaya,
melainkan karena cahaya itu terlalu terang dan menyilaukan
penglihatannya.
Cahaya Allah adalah pengetahuan tentang diri-Nya atau
makrifatullah. Pengetahuan tentang Allah bermula dari pengenalan
57

tentang nama, sifat, dan perbuatannya. Nama-Nya adalah media


untuk memanggil zat-Nya, sifat-Nya adalah identitas yang melekat
pada zat-Nya yang berbeda dengan apa pun, sedangkan perbuatan-
Nya adalah semua ciptaan-Nya. Ketiganya merupakan tanda-tanda
keberadaan-Nya yang dapat ditangkap oleh akal. Meskipun akal
hanya mampu sampai pada kesimpulan bahwa di balik nama, sifat,
dan perbuatan tersebut ada Zat Allah, tetapi ia tidak mampu
menyentuh keberadaan-Nya dan menyaksikan kenyataan-Nya.
Selagi kita menggunakan akal dan pikiran untuk melihat
cahaya Allah, maka selagi itu pula akan menemui kegelapan. Cahaya
terang akan bersinar manakala menggunakan hati nurani, karena hati
nurani diberi kemampuan menyaksikan kenyataan Allah yang lebih
terang daripada cahaya apa pun, lebih nyata daripada diri kita
sendiri. Hati yang bersih akan memahami dan mengerti apa yang
disaksikan, walaupun lidah kelu menyusun kata dan kalimat untuk
mengungkapkannya.
Cukuplah diri menjadi rembulan. Untuk dapat memberikan
cahaya, rembulan membutuhkan pancaran sinar dari matahari.
Hanya dengan petunjuk dari Allah kita dapat menemukan cahaya
kebenaran dan memancarkannya kepada sesama. Semoga Sang
Matahari berkenan berbagi cahaya-Nya kepada kita. Wallahu a‟lam.
58

Kalam Sirri 33

Hikmah 1
Wahai hamba-Ku:
Tiada arti suatu kalimat jika ia keluar dari bahasa lisanmu,
namun apabila kalimat itu keluar dari bahasa nuranimu, maka
kalimat tersebut akan menjadi hikmah bagimu. Dan ingatlah,
sebaik-baik bahasa adalah hikmah, karena hikmah adalah
pemahaman yang datang langsung dari Aku Tuhanmu.

Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu


dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. Al-Nahl/16: 125).
Dalam mengajak kepada kebenaran, Allah memberikan tiga
metode yaitu dengan hikmah, pejalaran yang baik, dan diskusi yang
lebih baik.
Pertama, dakwah dengan hikmah, yaitu pemahaman yang
datang dari Allah melalui hati nurani. Karena ia melalui hati nurani,
maka setiap ajakannya selalu dilandasi atas ketulusan berbagi
kebaikan dan tidak berharap keuntungan duniawi. Apabila dalam
dakwah masih mengharapkan keuntungan duniawi, maka akan sulit
dapat memberikan pencerahan kepada orang lain. Bukankah para
nabi/rasul dalam dakwahnya selalu berkata, “Kami tidak
mengharapkan upah dari kalian, tetapi kami hanya berharap balasan
dari Allah Swt.” Para ustaz, dai, mubalig, guru, dosen, ulama, dll
adalah pewaris para nabi dalam dakwah, maka jika masih
mengharapkan keuntungan duniawi dari dakwahnya maka mereka
bukanlah termasuk pewaris para nabi.
Kedua, dakwah dengan pelajaran yang baik. Palajaran yang
baik bisa diperoleh dari sejarah umat terdahulu, atau belajar dari
pengalaman orang lain. Pelajaran yang baik juga dengan
memerhatikan penciptaan alam semesta, termasuk penciptaan pada
59

diri sendiri. Metode ini mengajak kita untuk lebih banyak melakukan
perenungan dan tafakur agar memberikan ibrah bagi kesadaran kita.
Ketiga, dakwah secara dialogis. Apabila ada orang yang
membantah atau menolak ajakan kita maka Allah mengajarkan
menggunakan metode dialog dan diskusi dengan cara yang lebih
santun.
Ingat, tugas kita hanyalah mengajak kepada kebenaran
namun hidayah dan petunjuk itu menjadi kewenangan Allah Swt.
Allah tidak melihat berapa banyak orang yang berhasil kita sadarkan,
tetapi yang dinilai oleh Allah adalah apa niat kita berdakwah dan
seberapa maksimal usaha kita di dalamnya.
Semoga Allah tetap memberikan ketulusan dalam
menyampaikan ajaran-ajaran-Nya sehingga tidak keluar kalimat dari
mulut kita kecuali hikmah yang telah diletakkan Allah dalam nurani
kita. Kalimat yang merupakan pesan langsung dari Allah melalui
lisan kita sebagai hamba yang terpilih. Wallahu a‟lam.
60

Kalam Sirri 34

Hikmah 2
Wahai hamba-Ku:
Hakekat dari makna adalah hikmah, sedangkan hakekat dari
hikmah adalah pemahaman hati yang tiada perperantara dengan
Zat-Ku. Oleh karena itu, seringlah melihat atau memandang
dengan hatimu, sebab dialah yang sanggup menjadikan sesuatu
itu bermakna.

Hikmah merupakan suatu karunia yang sangat besar, melebihi

َ َ ُ ۡ ََ ََ ۡ ۡ َ ُۡ ََ ُٓ ََ َ ََ ۡ ۡ
pengetahuan yang datang dari olah akal dan nalar.
ۡ ۡ
‫ا‬
َّ‫وت َّعريا‬
ِ ‫ت َّٱۡل ِهٍ َّث ٌََّ َّيشاء َّوٌَ َّيؤت َّٱۡل ِهٍ َّث َّذلػ َّأ‬ َّ ِ ‫يُؤ‬
َ َۡ ۡ ْ ُُْ ٓ ُ َ َ َ ‫َ ا‬
َِّ ٰ‫نرِرياَّۗوٌاَّيؼنؽَّإِلَّأولٔاَّٱۡلىب‬
َّ َّ٢٦٩َّ‫ب‬
“Allah menganugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya; dan siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-
benar telah dianugerahi karunia yang banyak; dan hanya orang-
orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari
hikmah,” (QS. Al-Baqarah/2: 269).
Para ulama memaknai hikmah pada ayat di atas sebagai
fahaman yang dalam tentang Al-Quran dan Sunnah. Namun,
hakikat dari hikmah sebenarnya adalah pemahaman langsung
mengenai suatu kebenaran yang diberikan Allah kepada seorang
hamba yang hatinya bersih. Orang yang mendapatkan hikmah ini
adalah merupakan penyambung pesan Allah kepada hamba-hamba-
Nya. Setelah Rasulullah Saw tiada, orang-orang inilah yang mewarisi
tugas-tugas kerasulan untuk membacakan tanda-tanda keberadaan
Allah, mengajarkan kitabullah dan hikmah. Allah Swt berfirman:
61

ُ َ ۡ ّ ‫ۡ َُ ا‬ َ ۡ َ ُۡۡ ََ ُ ََ
ًَّۡٓ‫ف‬ ِِ ‫ني َّإِذ ََّب َعد َّذِي ًِٓ َّرـٔل ٌََِّ َّأُف‬ َّ ‫ىل َّۡػ َّ ٌََ َّٱ‬
َّ ِ ٌِِ ‫ّلل َّلَع َّٱلٍؤ‬
َ ۡ ۡ َ ۡ ّ َ ۡ ََُّ َ َ ۡ َۡ َ ْ َُۡ
َّ َ ٰ‫َّو ُي َعي ِ ٍُ ُٓ ًُ َّٱىهِت‬
َّ‫ب َّ ََّوٱۡل ِه ٍَ َّث‬ ًِٓ ‫َّءايٰخ ِ َِّّۦ َّويؾك ِي‬ ًِٓ ‫حخئا َّعيي‬
َ َ َُۡ
ُّ ‫َّض َلٰو‬ ْ ُ َ
َّ َّ١٦٤َّ‫ني‬ ‫ت‬
ٍ ِ ٌَّٖ ‫ِف‬
ِ ‫َّى‬ ‫و‬ ‫ت‬ ‫ََِّر‬ ٌَّ ‫ِإَونََّكُٔا‬
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-
ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata,” (QS. Ali Imran/3: 164).
Setiap orang berpeluang mendapatkan hikmah atau
pengetahuan langsung dari Allah apabila hatinya bersih, yakni
sepenuhnya bergantung kepada-Nya. Dan orang yang mendapatkan
amanah tersebut otomatis berkewajiban untuk mengajarkan dan
menyampaikan kepada orang lain. Wallahu a‟lam.
62

Kalam Sirri 35

Lauh Mahfuzh
Wahai hamba-Ku:
Engkau bagaikan tulisan-tulisan dalam kitab,
dengan takdir menjadi lembaran kertasnya,
dunia beserta akhirat menjadi sampulnya,
sedangkan penulis ataupun pengarangnya adalah Aku.

Perjalanan hidup kita sesungguhnya adalah sebuah proses


rangkaian cerita. Alur cerita itu bermula ketika Allah membuat
kontrak dengan kita, dimana kita siap untuk menjadi hamba apabila
terlahir ke muka bumi ini.
Kita pun mulai diperjalankan oleh Allah melalui pertemuan
sperma ayah dan ovum ibu. Di dalam rahimnya, ibu diberi rasa kasih
sayang oleh Allah untuk menyayangi kita sehingga sampai akhirnya
selamat terlahir di muka bumi ini. Kasih sayang yang Allah berikan
kepada orang-orang di sekitar kita, terutama kedua orang tua,
memungkinkan kita tumbuh dan berkembang hingga menjadi
remaja. Allah pun mewajibkan orang tua kita dan orang-orang di
sekitar kita supaya memberikan pendidikan hingga akhirnya menjadi
dewasa. Allah pun pilihkan tempat dan lingkungan yang pas dan
tepat untuk kita jadikan sebagai wadah penempaan diri untuk
menjadi manusia yang terhormat. Allah pun menyempurkan potensi
kita dengan menganugrahkan akal dan hati agar mampu
menjalankan isi kontrak yang telah disepakati dengan-Nya ketika
hendak dilahirkan ke bumi ini. Sampai akhirnya, Allah pun
menghentikan perjalanan hidup kita dan mengakhiri ceritanya.
Semuanya tertuliskan dalam lembaran yang sudah disiapkan.
Ia berjalan sesuai skenario yang telah Allah tentukan dalam takdir-
Nya. Semuanya terjadi tanpa pernah kita bisa memilih. Orang tua
bukan pilihan kita, jenis kelamin bukan pilihan kita, tanggal lahir dan
tempat kita tumbuh-berkembang bukan pilihan kita, rizki dan jodoh
bukan pilihan kita, dan kematian pun bukan pilihan kita. Maka
semua yang terjadi di luar pilihan kita tersebut tidak menjadi dasar
63

penilaian Allah untuk kita. Allah hanya memberikan dua hal yang
menjadi milik kita dan menjadi dasar penilaian-Nya, yaitu pilihan
berniat dan pilihan berusaha. Hasil dari niat dan usaha yang kita
lakukan juga bukan dasar penilaian Allah atas kita. Jadi, tugas kita
hanyalah berniat dan berusaha, tetapi hasilnya bukanlah kewenangan
kita sehingga tidak boleh diklaim sebagai prestasi. Sesungguhnya
Allah tidak menilai hamba-Nya berdasarkan rizki, ilmu, pangkat,
jabatan, status sosial, dan semua apa yang sering kita akui sebagai
“hasil usaha” sebab semuanya adalah karunia dari-Nya. Namun,
penilaian Allah terletak pada prosesnya, apa niatnya, kualitas atau
kuantitas usahanya, dan pemanfaatan hasilnya.
Mari kita menjadi pena dan tinta yang merangkai kata dan
kalimat melalui niat dan usaha kita masing-masing. Cerita apa pun
yang terangkai biarkan Allah yang menentukan alurnya. Semoga
rangkaian kata dan kalimat yang kita torehkan di dalam lembaran
takdir-Nya di dunia ini berawal dari niat dan usaha yang hanya
mengharap keridhaan Allah Swt, sehingga membentuk sebuah alur
kisah yang dikenang indah setiap orang yang ditinggalkan dan
dibanggakan oleh Allah SangPenulis dan Pengarangnya di hadapan
para malaikat-Nya. Wallahu a‟lam.
64

Kalam Sirri 36

Hijab 1
Wahai hamba-Ku:
Akal adalah dinding yang kokoh di dunia ini, menjadikan
manusia terjebak dalam menuju Aku Tuhannya, karena apapun
yang datang dari akalmu adalah tirai-tirai penghijab antaramu
dengan Aku, maka untuk mengalahkannya bangunlah dinding
yang lebih tinggi dan kokoh hingga kamu dengan melaluinya
dapat melompati dinding akal, dinding yang lebih tinggi dan
kokoh tersebut adalah “rasa” pada hatimu.

Akal merupakan hijab tebal yang membatasi manusia untuk


menyentuh keberadaan dan kenyataan Allah. Khalilullah Ibrahim
a.s. pernah terjebak oleh akalnya sendiri ketika ia menjadikannya
sebagai media untuk menemukan tuhan. Lihatlah, Ibrahim a.s.
terjebak mengira gemintang di angkasa sebagai tuhannya, sesuatu
yang tinggi dan bercahaya. Begitu pula ketika rembulan
menampakkan wujudnya di malam hari, lebih besar dan terang
membagi cahayanya untuk kebaikan penduduk bumi. Semuanya
berhenti memberi cahaya dan keindahannya tatkala terbenam di
ufuk barat. Matahari pun terbit di ufuk timur, ukurannya besar dan
kilauan cahayanya melampaui bintang dan rembulan. Namun,
matahari pun mengalami nasib yang sama. Akhirnya, Ibrahim a.s.
tidak mau menjadikan mereka sebagai tuhan. Ibrahim a.s. dengan
akalnya menyadari dan meyakini bahwa pasti ada Tuhan yang
mengatur segala sesuatu di alam raya ini. Ada kekuatan yang super
dengan mahakarya yang luar biasa. Akalnya terus mencari dan
mencari, namun selamanya tetap saja buntu dan tidak menemukan
apa-apa. Akhirnya, Ibrahim a.s. pun menyerah dan mengakui
kelemahan akalnya untuk menemukan kenyataan Tuhan, ia lalu
berkata:
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi secara tulus dan berserah diri, dan aku
65

bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”


(QS. Al-An‟am/6: 78).
Dalam ketidakberdayaan dan kepasrahan diri inilah,
kemudian Allah mengenalkan dirinya kepada Ibrahim a.s. Dalam
kepasrahan, Ibrahim a.s. merasakan kemahanyataan Allah yang
mahadekat, sehingga doa, ibadah, hidup, dan matinya terasa olehnya
sebagai milik Allah semua. (perhatikan QS. Al-An‟am/6: 161-163).
Ketahuilah, rasa dalam hati bersumber dari nurani dimana
nurani adalah taman pertemuan antara seorang hamba dengan
Tuhannya. Nurani itulah yang merupakan agama yang lurus titipan
Allah kepada setiap manusia. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah (nurani) itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. Al-Rum/30: 30)
Akal tidak akan pernah kenal hakikat manisnya gula kecuali
lidah telah merasakannya secara jasmani; akal tidak akan pernah
mengenal hakikat senang kecuali jiwa telah merasakannya secara
ruhani; dan akal tidak pernah akan pernah mengenal hakikat Tuhan
kecuali hati merasakannya secara nurani. Karenanya, jangan pernah
mengendarai akal untuk mengenal Tuhan. Akal hanya mampu
mengenal tanda-tanda keberadaan Tuhan, tetapi nuranilah yang
diberi kemampuan untuk merasakan kenyataan-Nya. Semoga kita
diberi kekuatan untuk membersihkan hati dari ego yang tercipta dari
kolaborasi akal dan nafsu sehingga rasa nurani bisa secara peka dan
terbebas dari hijab untuk merasakan Tuhan yang Maha Nyata.
Wallahu a‟lam.
66

Kalam Sirri 37

Hijab 2
Wahai hamba-Ku:
Seburuk-buruk pendusta adalah egomu yang menyatakan
kepemilikan terhadap kepunyaan-Ku di dalam dirimu. Dan tiada
penipu yang lebih pandai daripada akalmu sendiri, yang
menjadikan engkau buta dari segala sesuatu yang Aku
datangkan dan yang Aku ambil dari dirimu.

Ego adalah rasa keakuan dan kepemilikan atas karunia yang


Allah berikan. Ego adalah hasil kolaborasi antara hawa nafsu dan
akal. Hawa nafsu mendorong manusia memenuhi segala kebutuhan
sebanyak-banyaknya. Dengan hawa nafsu, manusia terdorong
mencari pangan, sandang, dan papan. Dengan hawa nafsu, manusia
terdorong untuk memenuhi hasrat biologis dan sosialnya. Dengan
hawa nafsu, manusia dapat mempertahankan eksistensinya di muka
bumi ini. Untuk memenuhi segala kebutuhannya itu, akal menjadi
kaki tangan hawa nafsu. Ketika itulah muncul rasa memiliki harta,
ilmu, kedudukan, dan lain-lain atas dasar bahwa semua yang
didapatkannya adalah hasil dari jerih payah dan tetesan keringatnya.
Padahal, semuanya merupakan milik Allah yang dititipkan pada
manusia. Egoisme melahirkan rasa sombong dan angkuh karena
semua yang melekat pada dirinya dianggapnya sebagai hak milik
dirinya sendiri. Inilah pendusta yang sesungguhnya karena mengakui
milik Allah yang dititipkan sebagai miliknya.
Dari sana, manusia tertipu oleh akalnya sendiri. Kata akal,
karena manusia bekerja sehingga mendapatkan harta, karena
manusia belajar sehingga mendapatkan ilmu, karena memiliki
kelebihan sehingga mendapatkan kedudukan, dan sebagainya.
Akibatnya, manusia merasa memiliki harta, ilmu, dan kedudukan,
sehingga bila mendapatkan karunia maka manusia bersuka cita,
tetapi apabila kehilangan maka ia pun berduka cita. Padahal, harta,
ilmu dan kedudukan hanyalah karunia yang dititipkan dan telah
ditentukan kadarnya oleh Allah Swt. Tugas manusia adalah berusaha
67

meraihnya, dan adalah kewenangan Allah memberikan karunia-Nya


kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
“Tiada sesuatu pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu bersuka cita terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al-Hadid/57: 22-23)
Apabila kita bisa menjadikan segala ego-kepemilikan-
keakuan kembali kepada Allah, maka pasti hijab akan terbuka
sehingga Allah akan terpandang ke mana pun wajah kita
dihadapkan. Allah berfirman, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 115)
Mari kita berusaha semaksimal mungkin untuk meraih apa
pun yang menjadi harapan kita dengan tetap bersandar kepada
Allah, tetapi bila karunia itu Allah datangkan maka jauhkan diri dari
rasa memilikinya. Yakinilah bahwa segala sesuatu yang datang pada,
dan pergi dari diri kita sebagai titipan dan tanda kasih sayang-Nya,
dan yakini pula bahwa apa pun yang pergi dari diri kita pasti akan
digantikan dengan sesuatu yang lebih baik oleh Allah. Wallahu
a‟lam.
68

Kalam Sirri 38

Hijab 3
Wahai hamba-Ku:
Berdiamlah dalam segala kehendak dan kemauanmu, karena ia
menampakkan egomu. Bersunyilah dari penglihatanmu sebab ia
akan mengajarkan hawa nafsumu dengan segala keindahan.
Sebaik-baik perbuatan adalah berbuat tanpa berharap kepada
perbuatan tersebut, dan melihat tanpa menilai apa-apa yang
telah terlihat oleh mata.

Sifat nafsu adalah berkehendak dan berkemauan untuk


meraih sesuatu demi memenuhi kebutuhan jasmaniah yang sifatnya
sementara dengan memperbudak akal. Karena sifatnya demikian,
maka kehendak dan kemauan nafsu ini tidak terbatas dan tidak
pernah puas. Keinginan nafsu itu bersumber dari mata dengan
melihat keindahan, telinga dengan mendengar kemerduan, dan
pikiran yang menghayalkan kebahagiaan.
Ketika kehendak dan kemauannya tercapai, akal kemudian
membenarkan bahwa apa yang peroleh tersebut adalah hasil
karyanya dan berhak untuk memiliki serta berbangga dengannya.
Rasa memiliki inilah yang disebut dengan ego. Jika ego dan
keinginan nafsu terus dibiarkan dan diperturutkan maka sungguh
kita telah menuhankan hawa nafsu. Sifat egoisme ini dapat menimpa
siapa saja, orang alim dengan ilmunya, orang kaya dengan hartanya,
ahli ibadah dengan ibadahnya, orang baik dengan kebaikannya, dan
lain-lain.
Allah Swt berfirman, “Tahukah kamu orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah
membiarkannya sesat padahal memiliki ilmu dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah/45: 23)
Oleh karena itu, sebaik-baik perbuatan adalah tidak berharap
dari perbuatan itu sendiri. Bekerja tetapi tidak berharap rizki dari
69

pekerjaannya, menuntut ilmu tetapi tidak berharap ilmu dari


berlajarnya, beribadah tetapi tidak berharap pahala dari ibadahnya,
berbuat baik tetapi tidak berharap kebaikan dari perbuatannya.
Harapan mendapat rizki, ilmu, pahala, dan kebaikan hanya kepada
Allah Swt. Inilah yang disebut tawakal dalam berbuat. Sebab, kalau
kita masih berharap pada pekerjaan, usaha menuntut ilmu, ibadah,
dan kesalehan, maka semua itu menjadi hijab menuju kepada Allah.
Mari kita jadikan semua harapan kita hanya kepada Allah dan mari
kita jadikan semua yang datang pada diri kita sebagai karunia-Nya.
Semoga Allah menjadikan hawa nafsu kita hilang dari keinginannya
sendiri (muthmainnah) kecuali sesuai dengan yang diridhai Allah,
dan menjauhkan kita dari sifat egois atau rasa memiliki sesuatu.
Imam Ja‟far meriwayatkan, Rasulullah Saw pernah bersabda
bahwa Allah Swt berfirman, “Janganlah seseorang mengandalkan
perbuatannya untuk mendapatkan pahala dari-Ku, karena
sesungguhnya jika mereka berusaha dan berjuang selama hidupnya
menyembah-Ku niscaya mereka terbatas dalam penyembahannya
bila dibandingkan dengan kemuliaan dan kenikmataan surga yang
mereka minta atau kedudukan yang tinggi di sisi-Ku. Namun,
hendaklah mereka yakin dengan rahmat-Ku, hendaklah mereka
berharap karunia dari-Ku, bersikap tenang melalui sangka baik pada-
Ku. Sesungguhnya dengan cara itulah rahmat-Ku menjangkau
mereka, karunia-Ku membawa mereka pada keridaan-Ku, ampunan
dan maaf-Ku menyelimuti mereka. Ketahuilah, Aku adalah Allah
Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan begitulah ketinggian-Ku.
(al-Kaafii, 2:71)
Niat, usaha, dan tawakal adalah paket yang mesti
diwujudkan dalam rangka mengharapkan rahmat dan karunia dari
Allah Swt. Wallahu a‟lam.
70

Kalam Sirri 39

Hijab 4
Wahai hamba-Ku:
Letakkanlah akal dan pikiranmu dalam mengenal Aku, dan
letakkanlah jiwamu dalam berhadapan kepada-Ku. Kemudian
datangilah hatimu dalam keadaan memandang-Ku, maka
sesunggunya hal yang demikian itu akan membawamu kepada
terungkapnya hijab dengan segala rahasia antara Aku dengan
dirimu.

Allah bukanlah zat yang dapat disentuh dengan akal dan


nalar, karena sumber pengetahuan akal berasal dari indra, sedangkan
pikiran atau nalar bersumber dari rangkaian sebab dan akibat.
Padahal, Allah bukanlah zat yang dapat dijangkau oleh indra dan
Allah juga tidaklah terikat oleh hukum sebab akibat. Oleh karena itu,
jangan menggunakan akal untuk mengenal Allah, karena akal hanya
bisa memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya, bukan zat-Nya. Akal
hanya mampu sampai pada kesimpulan bahwa Allah itu ada, tetapi
tidak akan mampu menemukan kenyataan-Nya.
Hawa nafs (keinginan diri) manusia juga tidak akan mampu
mengenal Allah karena ia adalah berupa keinginan dan upaya
menuju kepada Allah. Keinginan dan usaha tidak bisa diandalkan
karena keduanya hanya bisa ditunggangi hingga sampai berdiri di
depan pintu hadirat-Nya. Hanya Allah yang berkuasa membukakan
hijab dan mengenalkan dirinya kepada hamba yang dikehendaki-
Nya.
Karena itulah, Allah Swt memerintahkan Nabi Musa a.s.
meninggalkan kedua terompahnya, yaitu terompah akal dan
nafsunya ketika hendak masuk ke lembah suci nurani yang bernama

َ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ ُّ َ ۠ َ َ ٓ ّ
Tuwa.
‫ا‬ ُ َّ ِ ‫َّفٱعي َّعَّجعييمَّإُِمََّّة ِٱلٔادََِّّٱلٍلػ‬
َّ١٢َّ‫سَّطٔى‬ َّ ‫نَّأُاَّربم‬
َّ ِ ِ ‫إ‬
71

“(Wahai Musa! Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka


tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di
lembah yang suci, Thuwa” (QS. Thaha/20: 12).
Agar Allah menyingkapkan hijab-Nya sehingga kita
diperkenankan menemukan segala rahasia-Nya, maka hendaklah kita
masuk ke dalam hati. Di dalam hati terdapat nurani yang senantiasa
tidak pernah berjarak dengan Allah Swt. Nurani inilah media yang
Allah letakkan kepada setiap manusia sebagai jalur pengetahuan dan
pengenalan terhadap diri-Nya.
Untuk itu, mari kita bersihkan wadah nurani yang bernama
hati dari segala bentuk rasa kepemilikan atas segala sesuatu dan dari
rasa ketergantungan selain kepada Allah. Semoga kita termasuk
orang-orang yang dicari Allah ketika kita terus berharap dan
berusaha mencari perhatian-Nya melalui tutur kata dan tutur laku
yang diridhai-Nya. Wallahu a‟lam.
72

Kalam Sirri 40

Hijab 5
Wahai hamba-Ku:
Janganlah sekali-kali engkau mau “dibutakan” serta “ditulikan” oleh
penglihatan ataupun pendengaranmu, dan jangan jua dibodohi oleh
pernyataan akal pikiranmu. Cukuplah hanya pada wajah-Ku saja
engkau berhadapan melalui jendela hati yang ada pada rasamu
Karena dengannya (rasa) penglihatan dan pendengaran-mu tiada
mempunyai batas. Dan akal pikiranmu akan menjadi jalur
pengetahuan-Ku, hingga terhadapnya tiada kemustahilan bagi
dirimu untuk memahami keinginan-Ku.

Penglihatan mata kepala dapat tertipu karena hanya


mengangkap sebagian dari objek yang terlihat. Pendengaran telinga
juga dapat tertipu karena hanya mampu menyimak sebagian dari
suara yang didengarnya. Akal pikiran pun dapat tertipu karena ia
hanya bersandar pada indra yang kemampuannya menangkap
informasi sangat terbatas.
Namun, penglihatan mata hati akan memberikan
pengetahuan yang pasti. Pendengaran telinga hati juga akan
memberikan pengetahuan yang pasti. Begitu pula dengan akal budi
pada hati akan memberikan pemahaman yang meyakinkan. Media
untuk mendapatkan pengetahuan hakiki tersebut tiada lain kecuali
rasa pada hati. Rasa pada hati adalah jendela menyingkap tabir
rahasia Allah bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Rasa merupakan
muara pertemuan antara hamba dengan Allah sehingga dengannya
dapat menyaksikan keberadaan dan kenyataan Allah Yang Maha
Agung.
Setelah tenggelam dalam rasanya, maka akal pikiran seorang
hamba akan diberi kemampuan untuk mengungkapkan sebagian
dari pengetahuan yang disingkapkan Allah baginya. Walaupun tidak
cukup kata dan kalimat untuk mewakili segala apa yang diketahuinya
itu.
73

Kalam Sirri 41

Hijab 6
Wahai hamba-Ku:
Pandanglah Aku setelah engkau buta dari penglihatanmu,
dengarlah kalam-Ku ketika pendengaranmu tuli dari suara,
datangilah Aku di saat akalmu tiada kesanggupan lagi untuk
merangkai huruf maupun kata-kata, lalu cintai Aku di mana
hatimu telah jauh ditinggalkan oleh kemauanmu sendiri. Dan
ketahuilah, sesungguhnya Aku adalah sebaik-baik pengganti
dari segala sesuatu yang hilang di dirimu.

Ketika seorang hamba sudah tidak lagi merasa memiliki


penglihatan kecuali hanyalah karunia yang dititipkan Allah pada
matanya; Ketika seorang hamba sudah tidak lagi merasa memiliki
pendengaran kecuali hanya sebagai karunia yang dititipkan Allah
pada telinganya; Ketika seorang hamba sudah tidak lagi merasa
memiliki kesanggupan untuk berfikir merangkai kata dan kalimat
kecuali karunia yang dititipkan pada akalnya; Maka saat itulah dia
akan merasakan kehampaan dirinya, dan digantikan dengan
kesaksian akan keberadaan dan kenyataan Allah yang bersama
dirinya.
Di saat mendapatkan karunia berupa kesanggupan
menyaksikan kenyataan Allah, maka ia pasti akan jatuh cinta kepada
Allah dan Allah pun membalas cintanya. Maka maha benar Allah
dalam firman-Nya di dalam hadis Qudsi, “Ketika Aku mencintai
hambaku, maka penglihatan dan pendengarannya adalah penglihatan
dan pendengaran-Ku…dst.” Artinya, rasa memiliki penglihatan dan
pendengaran sudah tidak ada lagi sehingga yang ada adalah
kehampaan dan ketergantungan sepenuhnya kepada rahmat Allah
untuk dapat melihat dan mendengar. Wallahu a‟lam.
74

Kalam Sirri 42

Hijab 7
Wahai hamba-Ku:
Perlu engkau ketahui, “waktu” adalah salah satu dari sejuta hijab
yang menutupi di dirimu. Bila engkau hendak menyingkirkannya
maka janganlah engkau melihat masa depanmu melalui dia, namun
lihatlah melalui “takdir”, karena hanya Aku yang dapat menentukan
masa depanmu, sedangkan waktu sebagai jalan untuk membuktikan
apa yang telah dikehendaki oleh Aku Tuhanmu.

Waktu merupakan rentangan masa yang dilalui setiap


makhluk dalam menjalani takdirnya masing-masing. Ada yang diberi
rentangan masa pendek, sedang, dan ada pula yang panjang.
Penilaian Allah kepada hamba-Nya tidak berdasarkan rentangan
masa tersebut, tetapi bagaimana kualitas pemanfaatan waktu dalam
berniat dan berusaha. Yang pasti, semua orang tidak akan
memanfaatkan jatah waktu yang diberikan secara maksimal dalam

َ َ َٰ ۡ
menjalani tugas kehambaan dan kekhalifahannya. Allah berfirman:
ْ ُ ۡ ‫ََّوٱ ۡى َع‬
َّ‫ِيَ َّ َء َاٌ ُِٔا‬
ََّ ‫ َّ َّإِل َّٱَّل‬٢َّ ‫ۡس‬ ٍ
ۡ ‫َّع‬ ‫ِف‬ ِ ‫ى‬ َّ َّ
َ ‫نس‬‫ۡل‬
ِ ‫ٱ‬ َّ ‫ن‬ِ ‫إ‬ َّ َّ ١َّ َّ
‫ص‬
ِ
ْ َ َ َ َ ّ َۡ ْ ۡ َ َ َ َ ٰ َ ٰ ْ ُ
َّ٣َّ‫ِب‬ َِّ ۡ ‫اص ۡٔاََّّة ِٱلص‬ٔ‫قَّوح‬َِّ ‫جَّوحٔاصٔاََّّة ِٱۡل‬ َِّ ‫َو َع ٍِئاَّٱىصيِح‬
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr/103: 1-3)
Dalam berusaha mencapai sesuatu, terkadang kita
meletakkan harapan pada waktu di mana apa yang kita usahakan
hari ini akan kita dapatkan pada suatu waktu nanti. Harapan pada
waktu ini akan memunculkan perasaan menunggu dan menguji
kesabaran. Apabila tidak lulus dalam kesabaran, maka akan muncul
kekecewaan dan putus asa. Inilah salah satu hijab menuju kepada
Allah karena harapan tidak diletakkan kepada Allah.
75

Oleh karena itu, apa pun yang kita cita-citakan di dunia ini
maka letakkanlah semua harapan hanya kepada Allah. Kita berniat
dan berusaha mencapai apa pun yang menjadi tujuan kita tetapi
jangan menunggu waktu yang memberikannya, tetapi tunggulah apa
yang menjadi takdir Allah untuk kita yang akan terbukti melalui
waktu.
Waktu adalah wadah bagi kita untuk dapat mengetahui apa
yang menjadi takdir Allah. Segala sesuatu yang telah terjadi pada
waktu yang berlalu itulah takdir yang bisa kita pahami, dan segala
sesuatu yang belum terjadi tetap menjadi rahasia Allah. Karena
sifatnya rahasia, maka kita dibebaskan untuk memilih melalui niat
dan usaha kita. Penilaian Allah pada hamba-Nya tidak terletak pada
hasil, tetapi terletak pada kualitas niat dan usahanya. Wallahu a‟lam.
76

Kalam Sirri 43

Hijab 8
Wahai hamba-Ku:
Lihatlah apa yang di hadapanmu, dan pandanglah di balik apa
yang di hadapanmu, niscaya penglihatanmu tidak akan
mendustaimu. Karena sesungguhnya nafsu selalu melihat apa
yang ada di hadapannya, dan melupakan apa yang nyata di balik
sesuatu yang di hadapannya.

Pandangan mata jasmani memiliki keterbatasan untuk


menjangkau objek yang terlihat di dekatnya yang bersifat material
dan hasil pandangan inilah yang mempengaruhi pikiran. Apabila
hawa nafsu yang mengendalikan pikiran maka yang terpandang
indah hanyalah apa yang sedang disaksikan oleh mata kepala. Apa
yang terpandang indah tersebut belum tentu sama dengan yang
sebenarnya. Lihatlah indahnya hamparan sawah, tetapi apabila
didekati maka sebenarnya tidak lebih dari lumpur dan rerumputan.
Tidak semua yang terlihat itu adalah sesuatu yang nyata, seperti
tongkat yang terlihat bengkok bila dicelupkan ke dalam air, begitu
juga dengan fatamorgana yang terlihat seperti air dari kejauhan.
Padahal, ada sesuatu yang lebih indah di balik sesuatu yang
terlihat. Kulit durian tentu tajam dan menyakiti jika tertusuk, tetapi
ada sesuatu yang lezat di balik kulitnya itu. Ada yang lebih nyata di
balik sesuatu yang terpandang. Rasa manis dan lezat pada buah
durian ketika dinikmati lebih nyata daripada bentuk durian itu
sendiri.
Begitulah sebenarnya, segala sesuatu di balik yang terindra di
dunia ini ada pencipta dan pengaturnya. Ada ketentuan dan takdir
Allah melalui kasih sayang-Nya untuk manusia. Allah sesungguhnya
lebih nyata daripada segala apa pun di dunia ini karena Dia al
Zhahir, Maha Nyata.
77

Kalam Sirri 44

Hijab 9
Wahai hamba-Ku:
Engkau bukanlah dijadikan untuk sesuatu, dan tak akan Aku
jadikan sesuatu jikalau bukan karenamu, sedangkan engkau
dijadikan hanya untuk Aku semata, maka hai hamba berkatalah dan
berbuat karena Aku saja.

Allah Swt telah menundukkan semua makhluk di alam


semesta untuk melayani manusia,
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu;
dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu,
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu
malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim/14: 32-34).
Ayat di atas mempertegas betapa semua makhluk diciptakan
oleh Allah untuk mengabdi kepada manusia, namun banyak di
antara kita justru kepada makhluk, mempertuhankan harta, jabatan,
pengetahuan, dan sebagainya. Alih-alih menjadikan makhluk
mengabdi kepada diri kita, malah kita yang mengabdi kepada
mereka.
Allah menciptakan kita hanya untuk mengabdi kepada-Nya
dengan menggunakan segala fasilitas yang telah Dia sediakan untuk
itu. Mengabdi kepada selain Allah termasuk perbuatan menzalimi
diri sendiri. Wallahu a‟lam.
78

Kalam Sirri 45

Hijab 10
Wahai hamba-Ku:
Engkau seperti orang yang berdiri di depan cermin, namun tidak
mengetahui apa yang terdapat di belakang cermin. Ingatlah,
dunia seumpama cermin sedangkan akhirat berada di
belakangnya. Dan janganlah asyik berkaca, hingga terlena akan
bayangan semu yang diciptakan dunia.

Indahnya dunia akan terpandang oleh penglihatan hawa nafsu yang


tidak lain hanyalah bayangan semu. Kenikmatannya tidak pernah
mampu memberikan kepuasan kepada manusia. Kehidupan ini
hanyalah permainan peran, namun terkadang tanpa sadar membawa
kita kepada suatu tujuan untuk selalu menghias diri dengan
kemewahan, kehormatan, dan kedudukan. Selanjutnya, membawa
diri kita kepada kebanggaan, keangkuhan dan kesombongan melalui
apa yang kita anggap sebagai miliki berupa harta, kedudukan, ilmu,
keluarga, dan status sosial. Namun, tanpa sadar semua itu justru
melalaikan kita mengingat kematian, mengingat kehidupan akhirat,

ُ َ ۡ َ ۢ ُ ُ َ َ َ ٞ َ َ ٞ ۡ َ َ ٞ َ َ ۡ ُّ ُ ٰ َ َ ۡ َ َ ْ ٓ ُ َ ۡ
terutama melupakan Allah Swt.
ًَّۡ‫س‬ ِ‫ٱعئٍَّا َّأجٍاَّٱۡلئَّة َّٱَلجيا َّىعِب َّولٓٔ َّوزِيِث َّوتفاعؽ َّةي‬
ََّ‫ار‬ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َٰ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ٞ ُ‫ساذ‬
َ ََ
َّ ‫د َّأعشب َّٱىهف‬ ٍ ‫ي‬ ‫َّد‬ ‫و‬
ِ ‫ر‬ ٍ ‫ن‬َّ َّ
‫ػ‬ِ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ۡل‬ ‫ٱ‬َّ
‫و‬ َّ َّ
‫ل‬ِ ٰ ‫ن‬ ٌ‫ۡل‬‫ٱ‬َّ ‫َِّف‬
ِ ‫ؽ‬ ‫وح‬
ُ ‫ٔن‬
َ ‫َّض َطٰ اٍا‬ ُ ُ َ ُ ّ‫َ َ ُ ُ ُ َ ُ َ َ َ ٰ ُ ُ ۡ َ ا‬
َِّ‫ع َؽة‬ِ ‫َّو ِِف َّٱٓأۡل‬ ‫جتاح َّّۥ َّثً َّي ِٓيز َّذرتىّ َّمصفؽاَّثً َّيس‬
ٓ َ ۡ ُّ ُ ٰ َ َ ۡ َ َ ٞ َ ۡ َ ّ ٞ ‫َّو ٌَ ۡغف َؽة‬ ٞ َ ٞ َ َ
َّ‫ّللَِّورِضنٰن َّوٌاَّٱۡلئَّة َّٱَلجيَّا َّإِل‬ ََّ ٌَّ
َّ ‫َِ َّٱ‬ ِ َ ‫عؼاب َّش ِػيػ‬
ُۡ َ
َّ ‫ٌَتٰ ُعَّٱىغ ُؽ‬
َّ٢٠َِّ‫ور‬
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
79

megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya


harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid/57: 20)
Ketahuilah bahwa kehidupan di dunia ini merupakan ladang
untuk menyemai bekal untuk kehidupan akhirat. Kehidupan ini
hanyalah tempat transit sementara untuk sebuah kehidupan yang
lebih nyata dan abadi. Kehidupan akhirat jauh lebih baik bila kita
tidak terlena dengan indahnya bayangan di dunia.
Oleh karena itu, jangan kita terlena dan mencintai bayangan
semu di dalam cermin. Apalagi hanya mencintai cermin itu sendiri.
Di balik cermin dunia ada keindahan dan kebahagiaan yang nyata
dan abadi di akhirat. Semoga Allah memberikan hawa nafsu yang
tenang dan tidak selalu menginginkan keindahan semu, sehingga
tidak terlena oleh buaian permainan yang menipu ini. Wallahu a‟lam.
80

Kalam Sirri 46-47

Hijab 11
Wahai hamba-Ku:
Dunia dapat memabukkan bagimu walau ia bukan arak, hawa
nafsu bukan jua api, namun ia dapat menghanguskan apa-apa
yang berdekatan dengannya. Begitu jua dengan egomu, ia
bukanlah dinding atau tembok tetapi mampu memisahkan antara
benda daripada bayangannya sendiri.

Ada tiga ujian besar bagi kita di dunia ini, yaitu


hubbuddunya, hawa nafsu, dan ego. Hubbuddunya atau cinta pada
dunia menjadikan kita lupa dengan pencipta dunia itu sendiri.
Larangan hubbuddunya bukanlah berarti kita tidak boleh
mengambil bagian dari dunia, tetapi jangan sampai timbul merasa
memilikinya sehingga membuat kita terikat atau bergantung
dengannya. Rasulullah Saw pernah bersabda, “Siapa yang mencintai
sesuatu maka ia akan menjadi budaknya”. Terlena dengan keindahan
sesaat di dunia ini maka akan membuat kita mabuk padanya
sehingga melupakan kehidupan akhirat.
Larangan mengikuti keinginan diri atau hawa nafsu berarti
kita tidak boleh menginginkan sesuatu. Keinginan nafsu sebenarnya
fasilitas Allah untuk kita agar dapat menopang kehidupan kita dalam
rangka menjalankan tugas kekhalifahan dan kehambaan. Karena
keinginan nafsu itu selalu hanya untuk memuaskan jasmani yang
sifatnya sesaat sehingga akal kita dibuanya lupa dengan kepuasan
yang di akhirat. Nafsu akan membakar segala kebaikan kita,
misalnya keinginan untuk menjadi pejabat atau orang kaya sehingga
segala cara digunakan. Bahkan, ibadah yang bertahun-tahun kita
jalankan bila sedikit saja nafsu menumpanginya maka akan sia-sialah
semuanya. Bagaimana tidak, ibadah dan kesalehan itu bisa jadi kita
banggakan atau kita jadikan alat untuk mendapatkan simpati dan
pujian dari makhluk.
Terkait dengan ego atau keakuan diri, sebenarnya manusia
tidak berhak memilikinya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki
manusia tidak lain adalah titipan dari Allah Swt. Bahkan, ruh
81

manusia adalah bagian dari sifat Allah yang ditiupkan atau bagian
sifat dari zat Allah. Tiupan itu terus berlangsung hingga sekarang.
Al-Qur‟an menggunakan istilah „meniupkan‟ untuk menunjukkan
bahwa Allah dan manusia tidak pernah terpisah dan berjarak. Maka,
wajarlah bila Allah berfirman “Aku lebih dekat pada manusia
daripada urat nadinya sendiri.” Bila boleh diibaratkan, manusia
adalah bayangan dan Allah adalah bendanya. Bayangan dan benda
tentu dua hal yang berbeda, dan keduanya tidak pernah berjarak dan
terpisah. Keberadaan bayangan bergantung kepada keberadaan
benda. Begitu pula, keberadaan sifat bergantung kepada keberadaan
zatnya. Dengan dengan demikian, keberadaan manusia bergantung
kepada keberadaan Allah Swt.
Namun, ego atau rasa keakuan diri pada manusia telah
menyebabkan dirinya tidak lagi mampu merasakan dirinya yang
sebenarnya selalu bersama dengan Allah. Rasa keakuan atau
kepemilikan atas semua karunia titipan Allah, seperti mengaku
punya ilmu, punya jabatan, punya harta, punya keluarga, punya
tubuh yang indah, punya pemikiran, punya kemampuan, punya
kecerdasan, punya pendidikan, dan seterusnya sehingga terhijablah
ia dari Allah. Sekiranya manusia meletakkan segala sesuatu sebagai
milik Allah maka di situlah ia akan merasakan betapa dirinya dekat
dan sangat bergantung kepada Allah (“Allah tempat bergantung”
[QS. Al-Ikhlas/112: 2]). Manusia berilmu karena Allah masih
titipkan di akalnya, berharta karena Allah masih berkenan
mengaruniainya, jasadnya hidup karena Allah masih
menghidupkannya, berkampuan karena Allah masih berkenan
memberikan segala daya padanya. Rasa ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan inilah yang memunculkan rasa butuh pada Allah,
dan rasa butuh inilah yang menjadi tali penghubung bagi manusia
kepada Allah Yang Maha Dekat.
Untuk merasakan dekatnya Allah dengan kita, maka
jauhkanlah rasa keakuan diri yang memiliki sesuatu dan
munculkanlah rasa tidak berdaya yang selalu butuh hanya kepada
Allah Allah semata. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba
yang diberi kemampuan merasakan hakikat laa hawla wa laa quwwata
illaa billaah, yakni merasakan ketidakberdayaan dan mutlak butuh
pada-Nya. Cukuplah Allah sebagai tempat bergantung, sebagai
pelindung dan penolong kita, “habunaa Allaah ni’ma al-wakiil wa ni’ma
al-maulaa wa ni’ma al-nashiir. Wallahu a‟lam.
82

Kalam Sirri 46-47

Hijab 12
Wahai hamba-Ku:
Aku adalah suatu Zat yang teramat dekat untuk dikenali. Dan
bahwasanya Aku selalu melihat apa yang engkau lihat dan
mengetahui apa yang engkau ketahui, sedangkan Aku menjadi
suatu hal yang amat sukar untuk didekati, bila engkau
mengenali-Ku sebagaimana orang buta mengenali dirinya di
depan cermin.

Ada banyak ayat Al Qur‟an yang menjelaskan bahwa Allah


Swt sangat dekat dengan hamba-Nya, dan tiga kali Allah menyebut
diri-Nya sebagai al Qariib (Maha Dekat).
Karena Allah Maha Dekat maka manusia diperintahkan
menyeru dan meminta pada-Nya, niscaya Dia akan menyambut dan
mengabulkan permintaan hamba-Nya. Maka, untuk menemukan
kedekatan dengan-Nya, Allah mengajarkan metodenya, yaitu
menjawab seruan-Nya dan beriman kepadanya. Dengan melakukan
kedua hal tersebut, Allah berjanji akan memberikan bimbingan
untuk menemukan kedekatan yang dimaksud dan berkenalan
dengan-Nya. (kandungan QS. Al Baqarah/2: 186).
Namun, Allah Swt juga mengingatkan kita bahwa untuk
mengenal dirinya tidak cukup dengan pengenalan berdasarkan
pemahaman yang diperoleh dari nalar semata. Mengenal nama, sifat,
dan perbuatannya memang bisa dilakukan dengan menggunakan
akal setelah membaca, mendengar, dan melihat ayat-ayat-Nya, baik
yang qauliyah maupun yang kauniyah. Namaun, pengenalan seperti
itu masih diibaratkan orang buta yang mencoba mengenali seekor
gajah. Jika ada beberapa orang buta yang memegangi gajah dengan
menyentuh objek yang berbeda maka kesimpulan mereka pasti akan
berbeda satu sama lain. Begitu pula halnya jika kita hanya mengenal
Allah melalui pengetahuan akal semata maka akan lahir berbagai
macam konsep tentang Allah, tetapi tentu semuanya tidak dapat
memberikan pengetahuan secara pasti.
83

Untuk itu, dengan kasih sayang-Nya, Allah Swt memberikan


fasilitas lain untuk mengenal diri-Nya, yaitu berupa hati nurani. Hati
adalah wadah untuk menampung rasa nurani, dimana rasa nurani itu
merupakan media khusus yang diibaratkan seperti muara yang
mempertemukan lautan dan sungai. Ia seperti taman pertemuan
antara seorang kekasih dengan kekasihnya. Maka, untuk mengenal
Allah, manusia harus leburkan jiwanya ke dalam nuraninya. Syarat
adalah membersihkan hati yang menjadi wadahnya dari segala
ketergantungan kepada selain Allah. Wallahu a‟lam.
84

Kalam Sirri 48

Hijab 13
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya Aku tidak menutup Diri untuk dikenal dan
diketahui, namun hanya mereka yang tiada sadar telah
merentangkan jarak terhadap-Ku. Dan sungguh Aku-lah Diri
yang dapat didekati tanpa perantara alat apa pun dan dikenali
tanpa bantuan sepotong kata pun hingga Aku-lah yang pertama
mereka temui sebelum mereka datangi perantara-perantara
mereka.

Memperturutkan keinginan hawa nafsu yang kemudian


melahirkan ego merupakan perentangan jarak antara kita dengan
Allah, padahal Allah maha meliputi segala sesuatu, termasuk
peliputan-Nya yang senantiasa mahadekat bersama kita.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah/2: 186).
Kedekatan Allah dengan manusia bahkan tidak mampu
diurai dengan bahasa apa pun.Kata „dekat‟ pun tak mampu mewakili
dekatnya Allah pada manusia,seperti halnya dekatnya bayangan
dengan bendanya atau dekatnya sifat dari zatnya.
Kedekatan Allah dengan manusia tiada berprantara. Nama-
Nya merupakan salah perantara untuk menyeru Allah, sebagaimana

ۡ َ ٰ َ ۡ ُۡ ُ ٓ َ ۡ َ ۡ
firman-Nya,
ََّ‫ٔهَُّةٓا‬ ُ
ِ َّ ‫ّنَّ َّفٱدع‬ َّ ِ ‫َو‬
َّ ‫ّللَِّٱۡلـٍا َّءَّٱۡلف‬
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik(asmaa-ul husna), maka
serulah Dia dengan menyebut nama-Nya (QS. Al-A‟raf/7: 180).
Padahal, sebelum menyebut nama-Nya tersebut, kita sudah
bersama dan diliputi Allah karena untuk menyebutkan satu kata saja,
85

kita membutuhkan sifat hidup, berdaya, berkehendak,


berpengetahuan, dan berbicara. Semua sifat tersebut senantiasa
ditiupkan Allah pada diri kita dan hal ini menunjukkan
kebersamaan-Nya yang tiada berjarak dengan diri kita.
Allah Swt telah melengkapi kita sesuatu yang mampu
mendekati-Nya tanpa ada jarak sedikit pun, yaitu nurani di dalam
hati kita. Ketika hati dibersihkan dari ego maka nurani secara
otomatis merasakan kebersamaan dengan Allah yang tiada berjarak
sedikit pun, meskipun Dia juga tidak menyatu dengan kita. Dia jauh
tak berprantara dan tak berjarak, dan Dia dekat tak bersatu.
Sesungguhnya Allah memberi petunjuk pada siapa yang
dihendaki-Nya kepada jalan yang lurus. Semoga kita termasuk
orang-orang yang dikendaki Allah di dalamnya. Wallahu a‟lam.
86

Kalam Sirri 49

Takdir
Wahai hamba-Ku:
Apapun yang terjadi di dunia ini, janganlah engkau jadikan “sebab
akibat” sebagai dasar penilaianmu, karena ia dapat menghijab
pandanganmu kepada-Ku. Cukuplah menjadikan takdir sebagai
dasar dalam penilaianmu.

Percaya pada hukum „sebab-akibat‟ seringkali menjebak akal


kita sehingga seakan menghilangkan peran Allah di belakangnya.
Padahal, sebab pertama (sebab dari semua sebab) adalah Allah
sebagai zat al-Awwal dan akibat terakhir (akibat dari semua akibat)
adalah Allah jua sebagai zat al-Akhir. Pada hukum sebab akibat
berlaku sunnatullah di mana Allah senantiasa memberikan „energi‟
sehingga semuanya bisa berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya. Jika
dibaratkan sebagai komputer, alam ini ibarat hardware, sebab-akibat
adalah software, dan kekuasaan Allah adalah energi powernya. Allah
yang menciptakan alam, Allah menciptakan sebab-akibat, dan Allah

ُ َ ٓ ََ َۡ َ َٓ
pula yang berkuasa menggerakkannya.
ۡ ُ َ ُّ َ َ
َّ‫َِّف‬
ِ ‫فسً َّإِل‬ ِ ‫َِّف َّأُف‬
ِ ‫ۡرض َّول‬َّ ِ ‫َِّف َّٱۡل‬ِ ٖ‫ٌَّا َّأصاب ٌََِّ ٌَّ ِصيتث‬
ََۡ ّ ٞ َ ََ َ َ
ٰ ٓ َ ََۡ َ َۡ ّ َ
َّ‫ٗل‬
َّ ‫ َّى ِهي‬٢٢َّ ‫فري‬ ِ ‫ّللِ َّي‬
َّ ‫ب ٌَََِّّرت ِو َّأنَّجِبأْا َّإِن َّذل ِم َّلَع َّٱ‬ ٖ ٰ‫نِت‬
ُ َ ُ َ ۡ ُ ٰ َ َ ٓ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ ۡ ُ َ َ َ َٰ َ ْ ۡ َ ۡ َ
َُّّ‫َُّيِب‬ ‫ّللَّل‬
َّ ‫َّوٱ‬
َّ ًۗ‫حأـٔا َّلَع ٌَّاَّفاحسًَّول َّتفؽضٔا َّةٍِاَّءاحىس‬
ُ َ َُۡ ُ
َّ٢٣َّ‫ٔر‬
ٍَّ ‫الَّفغ‬
ٖ ‫ُكَُّمخ‬
“Tiada sesuatu pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bersuka cita
terhadap apa yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
87

menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS.


Al-Hadid/57: 22-23).
Percaya kepada takdir merupakan bentuk ketergantungan
diri kepada Allah dan apa pun yang datang dan pergi dari diri kita
adalah bentuk kasih-sayang Allah. Percaya kepada takdir bukan
berarti kita diam dan berpangku tangan, karena takdir hanya bisa
kita ketahui bila telah terbukti oleh waktu. Sebelum terbukti oleh
waktu, maka adalah kewajiban kita untuk berniat dan berusaha
mewujudkan apa pun yang menjadi harapan kita. Hasil dari niat dan
usaha, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. “Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad (berniat dan berusaha), maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran/3: 159)
Rasulullah Saw telah mengajarkan untuk tidak memercayai
sepenuhnya bahwa segala yang terjadi adalah karena hukum sebab
akibat. “Janganlah kamu mengatakan „seandainya saya begini tentu
akan begitu‟ Namun, katakanlah apa yang terjadi sudah menjadi
takdir Allah Swt karena kalimat „seandainya‟ tersebut membuka
peluang bagi setan menyesatkan manusia.” (HR. Muslim)
Dengan menyerahkan hasil dari niat dan usaha kita kepada
Allah, maka semua yang dicapai kita yakini sebagai anugrah, karunia,
dan titipan dari Allah. Sebab, ketika kita mengakui bahwa apa yang
dicapai itu sebagai hasil dari niat dan usaha kita maka itulah ego
yang akan membuat kita sombong dan berbangga diri. Ego adalah
hijab terbesar dan paling tebal yang menghalangi kita untuk
merasakan keberadaan Allah. Semoga Allah mengajarkan hati kita
bahwa apa pun yang datang dan pergi dari kita adalah bentuk kasih-
sayang-Nya. Wallahu a‟lam.
88

Kalam Sirri 50-51

Kehampaan 1
Wahai hamba-Ku:
Bilamana suatu masa mendatangimu dalam kepapaan, maka
katakanlah, “Tiada sesuatu itu ada dan nyata jika bukan daripada
ianya dahulu dari kepapaan.” Dan tiada suatu pengenalan berawal,
kecuali bermula dari kepapaan, maka tak akan sia-sia Aku
menjadikan suatu kepapaan dan kehampaan kalau bukan untuk
mengenal-Ku lebih daripada engkau mengenal yang lainnya.”

Sebelum orang tua kita bertemu, kita tidak pernah ada di


dunia ini. Kita adalah makhluk yang diadakan oleh Allah yang pada
hakikatnya sebelumnya tiada. Ketika dilahirkan, Allah melengkapi
kita dengan akal dan hawa nafsu sebagai fasilitas untuk hidup dan
menjadi khalifah di bumi. Namun, akal dan hawa nafsu ini lambat
laun menipu kita sehingga muncul perasaan akan keberadaan dan
keakuan diri atas tubuh, harta, pengetahuan, dan lain-lain. Padahal,
yang berhak meng-„aku‟ dan meng-„ada‟ pada diri kita adalah hanya
Allah semata. Apabila Allah berkenan memberikan pemahaman dan
perasaan akan kepapaaan atau ketiadaan diri, maka inilah yang
dimaksud dengan mengosongkan diri (takhalli).
Makrifat kepada Allah berawal dari kekosongan diri atau
keberadaan diri pada titik nol, tiada memiliki apa-apa dan merasa
papa. Suatu posisi dimana kita dapat memahami dan merasakan
makna kalimat “Laa hawla walaa quwwata illah billaah” (tiada daya dan
kekuatan kecuali bersama Allah). Suatu posisi ketika kita merasakan
makna kalimat tauhid “laa ilaaha illaa Allaah” yang berarti “Tiada
sesuatu pun yang ada dan wujud hakiki kecuali Allah semata.”
Apabila kita berada pada posisi rasa seperti itu, maka di situlah kita
mengenal Allah lebih nyata daripada mengenal makhluk, termasuk
pengenalan atas diri kita sendiri. Inilah tauhid yang sebenarnya.
Semoga Allah tetap menjaga niat kita untuk terus berharap
berjumpa dan mengenal-Nya. Semoga Allah tetap memberikan daya
dan kekuatan untuk berusaha maksimal menuju kepada-Nya. Dan
menibakan masa kita merasa papa tanpa memiliki apa-apa.
89

Kalam Sirri 51

Kehampaan 2
Wahai hamba-Ku:
Dan nyatalah engkau dalam kehampaan dari segala kebendaan dengan
mengosongkan segala nilainya, sehingga Aku nyatakan engkau dalam
rahasia-Ku. Sedangkan rahasia-Ku bernyata dalam keadaanmu yang
hilang dari semua yang nyata kecuali daripada-Ku.

Ketika kita berada dalam posisi nol atau tak berdaya maka
Allah Swt akan mengungkapkan kenyataan diri-Nya dan rahasia-
rahasi-Nya. Untuk sampai pada posisi itu, seorang hamba harus
melepaskan segala ketergantungannya kepada makhluk, termasuk
kepada sandang, pangan, dan papan.
Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengosongkan
nilainya. Harta tidak bernilai, jabatan tidak bernilai, ilmu tak bernilai,
dan segala sesuatu tidak ada yang bernilai. Sebab, apabila kita
menjadikannya bernilai maka ia akan mengikat dan membuat kita
bergantung padanya.
Itulah sebabnya, berbagai ibadah yang kita lakukan
bertujuan untuk melepaskan rasa ketergantungan kita kepada
selain Allah. Dengan zakat, Allah memaksa kita untuk
menghilangkan rasa memiliki kepada harta kita. Dengan salat,
Allah hendak menjadikan kita hanya menjadi budak-Nya,
bukan budak dari makhluk. Dengan puasa, Allah memaksa kita
untuk menghilangkan rasa memiliki kekuatan fisik, dan
seterusnya. Apabila berhasil melewati tahap takhalli atau
mengosongkan diri, maka Allah akan mengangkat kita masuk
pada tahap tajalli atau tersingkapnya rahasi-rahasia Allah.
Wallahu a‟lam.
90

Kalam Sirri 52

Kehampaan 3
Wahai hamba-Ku:
Datangilah Aku dengan segala kelemahanmu, niscaya Aku akan
membawa kekuatan kepadamu. Dan datangilah Aku dengan segala
kefakiranmu, maka Aku akan menyingkap tirai perbendaharaan
langit dan bumi kepadamu.

Untuk menuju kepada Allah, manusia harus punya niat dan usaha
dalam bentuk harapan dan amal, serta zikir dan ibadah. Namun,
seorang hamba perlu menyadari bahwa ilmu dan amal serta zikir dan
ibadahnya itu tidak akan pernah menyampaikan dirinya kepada
Allah kecuali bila Allah berkenan menyingkapkan diri-Nya. Untuk
itu, dalam usaha menuju kepada Allah, seorang hamba tidak boleh
mengandalkan ilmu dan amalnya atau mengandalkan zikir dan
ibadahnya, tetapi ia harus tetap bergantung dan mengandalkan Allah
Swt. Hanya Allah yang Maha Kuasa mengenalkan diri-Nya kepada
hamba yang dikehendaki-Nya.
Seorang hamba mutlak mengakui kelemahannya dan
ketidakmampuannya menuju Allah, tetapi dia harus maksimal dalam
berniat dan berusaha. Mengandalkan niat dan usaha menuju kepada
Allah merupakan bentuk ego yang menjadi hijab dan mustahil untuk
ditembus.
Ketika Nabi Ibrahim a.s. mengakui segala kelemahannya kepada Zat
Yang menciptakan langit dan bumi, mengakui kepasrahannya
dengan tulus, mengakui bahwa shalat, ibadah, hidup, dan matinya
semua milik Allah, maka di situlah beliau berada posisi titik nol dan
kehampaan. Shalat dan ibadah yang dilakukannya diakui Ibrahim a.s.
sebagai bukan miliknya, melainkan milik Allah. Dalam menuju
kepada Allah, Ibrahim a.s. hanya punya harapan dan ketergantungan
kepada Allah semata. Pada saat itulah Allah membuka tirai
perbendaharaan langit dan bumi kepadanya, dan membukakan hijab
sehingga Ibrahim a.s. menemukan Allah, Tuhan Yang Satu dan
Nyata.
Semoga Allah tetap memberikan rasa penasaran kepada kita untuk
selalu berharap hendak berjumpa dengan-Nya serta memberikan
91

kekuatan dalam berusaha secara maksimal menuju kepada-Nya.


“Sesusungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” Wallahu a‟lam.
92

Kalam Sirri 53

Kehampaan 4
Wahai hamba-Ku:
Tidaklah bermaqam hikmah di hatimu, kecuali telah jauhnya makna
kata-kata yang bersumber dari akalmu dan berhimpunnya segala
kehampaan dalam setiap makna kalam yang keluar dari akalmu, maka
dengannya akan mendatangkan segala rahasia-Ku yang takkan pernah
terurai dan terjabar dalam setiap ucapan akalmu. Dan ia melampaui
makna dan hikmah yang terungkap dari dirimu sendiri.

Hikmah adalah pengetahuan langsung yang diberikan Allah


kepada hamba yang telah kosong hatinya dari rasa ketergantungan
kepada selain Allah. Hikmah ini merupakan petunjuk bagi orang
yang menerimanya dan juga orang lain. Namun, pengetahuan seperti
ini tidak bisa bercampur dengan pengetahuan yang bersumber dari
informasi yang dihimpun akal melalui pancaindra. Allah Swt

َ َ ُ ۡ ََ ََ ۡ ۡ َ ُۡ ََ ُٓ ََ َ ََ ۡ ۡ
berfirman,
‫ا‬ ۡ ُۡ
َّ‫وت َّعريا‬
ِ ‫َّأ‬ ‫ػ‬ ‫ل‬‫ذ‬ َّ َّ
‫ث‬ ٍ ‫ِه‬ ‫ۡل‬ ‫ٱ‬ َّ ‫ت‬ ‫ؤ‬‫َّي‬ َ ٌ‫َّو‬ ‫ء‬‫ا‬‫ش‬‫َّي‬ ٌََّ َّ
‫ث‬ ٍ ‫ِه‬ ‫ۡل‬ ‫ٱ‬َّ َّ
‫ت‬ ِ ‫ي‬
‫ؤ‬
َ َۡ ۡ ْ ُُْ ٓ ُ َ َ َ ‫َ ا‬
َّ َّ٢٦٩َّ‫ب‬ ٰ
َِّ ‫نرِرياَّۗوٌاَّيؼنؽَّإِلَّأولٔاَّٱۡلىب‬
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang
Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS.
Al-Baqarah/2: 269)
Pengetahuan tentang hikmah walaupun datangnya hanya
dalam waktu sekejab tetapi informasi yang peroleh sungguh sangat
luas dan dalam sehingga tidak semuanya dapat diungkapkan dengan
kata-kata. Kalau pun pengetahuan itu bisa diungkapkan, namun
kalimat yang digunakan tidak akan mewakili semua hikmah yang
diperoleh. Wallaahu a‟lam
93

Kalam Sirri 52-54

Kehampaan 5
Wahai hamba-Ku:
Biarkan lepas segala yang datang dari dirimu (keinginan-keinginan
manusiawi). Dan sambutlah segala yang datang dari salah satu pintu-Ku
yakni “takdir”. Maka Aku akan membukakan pintu-pintu-Ku untuk
kamu datangi.

Allah Swt mengajak hamba-Nya untuk mendekati dan


menjumpai-Nya dengan segala niat dan usahanya. Apa pun
permasalahan yang dihadapi selama dalam perjalanan menuju
kepadanya hendaknya dihadapi dengan sabar dan tawakal. Sabar,
doa dan tawakal menanti ketentuan takdir yang Allah berlakukan.
Ini memang sesuatu yang berat untuk dilakukan kecuali bagi hamba
yang hatinya tunduk dan patuh kepada Allah. Dan orang yang dapat
patuh dan tunduk kepada Allah hanyalah orang dalam posisi sedang
merasakan dirinya sedang menjumpai Allah dan meyakini bahwa
dirinya sedang kembali kepada-Nya. Allah berfirman,
“Dan minta tolonglah kepada Allah dengan penuh kesabaran dan
diiringi doa karena hal itu sungguh berat kecuali orang yang tunduk
hatinya, 46. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya,”
(QS. Al Baqarah/2: 45-46).
Berjalan dalam keyakinan pada takdir Allah merupakan
wujud dari tawakal kepada-Nya. Tawakal merupakan salah satu
pintuk menuju kepadanya karena “Siapa yang tawakal kepada Allah
maka itu cukup baginya dan sesungguhnya Allah yang akan
menyampaikan urusan-Nya dan Allah sungguh telah menjadikan
segala sesuatu memiliki takdirnya.” (QS. Al Thalaq/65: 3). Wallaahu
a‟lam.
94

Kalam Sirri 55

Kehampaan 6
Wahai hamba-Ku:
Jika engkau meninggalkan Aku untuk mendapatkan sesuatu maka
sesuatu itu pasti akan berlari darimu, namun jika engkau dahulukan
Aku daripada diri mu, niscaya sesuatu itu pasti akan datang serta
takluk kepadamu.

Keakuan diri atau ego muncul ketika kita meninggalkan


Allah dalam setiap niat dan usaha yang kita lakukan. Allah
berfirman,“Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku
dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.
(QS. An-Naml/27: 31).
Salah satu bentuk kepasrahan kepada Allah adalah mengakui
kekuasaan-Nya yang bersifat mutlak dalam setiap niat dan usaha
yang kita lakukan. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw mengajarkan agar
setiap kali hendak melakuan sesuatu supaya membaca basmalah.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, “Setiap perkara penting yang
dilakukan tanpa basmalah maka akan sia-sia.”(HR. Abu Daud, dll)
Basmalah melukiskan kepapaan manusia dan khazanah akan
kekayaan ilahi yang abadi. Kalimat ‘bismillahirrahmanirrahim ’ berarti
„dengan bersama‟ Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Artinya, hanya kebersamaan dengan Allah kita dapat melakukan
sesuatu. Tanpa adanya kebersamaan Allah yang senantiasa
memberikan hidup, daya, pikiran, penglihatan, pendengaran, bumi,
matahari, waktu, dan lain-lain maka tidak akan pernah ada yang bisa
kita wujudkan di dunia ini. Inilah bentuk kepasrahan dalam setiap
niat dan usaha. Kalimat basmalah merupakan pintu awal bagi kita
untuk menunjukkan kehambaan kepada Allah, sehingga apa pun
hasil dari niat dan usaha kita, maka itu semata-mata karena karunia
dari Allah Swt. Dengan begitu, kita tidak akan merasa memiliki pada
apa yang lahir dari hasil niat dan usaha kita. Yakinlah, apabila semua
niat, harapan, dan usaha kita diserahkan kepada Allah maka pasti
akan terwujud sebagai karunia terbaik dari kasih sayang-Nya. Setelah
itu, pantaslah kita berucap alhamdulillah sebagai tanda syukur atas
semua karunia-Nya. Wallahu a‟lam.
95

Kalam Sirri 56

Kehampaan 7
Wahai hamba-Ku:
Bila engkau menghendaki Aku hadir dalam kehendakmu, maka
tinggalkan segala cita-citamu terhadap kepentinganmu sendiri,
dan bersabarlah dalam keinginan-Ku, sekalipun yang datang
kepadamu adalah sesuatu yang tidak engkau kehendaki.

Untuk memiliki niat yang tulus maka yang diperlukan adalah


hadirnya Allah dalam kehendak diri kita. Bagaimana cara
menghadirkan Allah dalam diri? Caranya adalah pertama, melakukan
sesuatu sesuai dengan ajaran Allah, kedua awalilah dengan meminta
pertolongan kepada Allah melalui basmalah, dan ketiga serahkan
hasilnya kepada Allah.
Dalam menunggu hasilnya, kita dituntut agar senantiasa
bersabar. Terkadang Allah segera menjawab harapan kita kepada-
Nya dengan memberikan apa yang kita minta dan usahakan, tetapi
terkadang juga Allah menundanya. Atau, memberikan sesuatu yang
nilainya sama atau melebihi apa yang kita harapkan. Atau, Allah
memberikan sesuatu yang mungkin menurut akal kita lebih buruk
dari apa yang kita harapkan.
Dalam hal Allah tidak memberikan sesuatu sesuai harapan,
apalagi yang bentuknya lebih buruh, maka kita harus memiliki
keyakinan dan prasangka baik bahwa Allah tidak pernah menzalimi
hambanya, dan bahwa apa yang Allah datangkan adalah sesuatu
yang terbaik untuk diri kita, bahwa apa yang Allah ambil dari kita
pasti akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Pasti ada
hikmah di balik pemberian-Nya itu.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa
mendahulukan Allah dalam tiap niat dan usaha untuk mencapai
sesuatu. Semoga kita menjadi orang-orang yang pasrah menerima
apa pun yang Allah berikan sebagai buah setiap niat dan usaha kita.
Cukuplah Allah sebagai tempat bersandar, tempat berlindung, dan
penolong kita. Wallahu a‟lam.
96

Kalam Sirri 57

Kehampaan 8
Wahai hamba-Ku:
Bagi di antara hamba-hamba-Ku yang memandang dengan
penglihatannya, maka terhijablah ia dengan penglihatannya, dan
bagi hamba-Ku yang berpikir dengan pikirannya, niscaya terhijab
dengan apa-apa yang diungkapkannya. Namun bilamana ia hilang
dari dirinya sendiri, hingga lepas dari keterikatan penglihatan dan
pikirannya, maka ia telah bebas dari segala ikatan, kecuali ikatan
Zat Aku semata.

Orang yang sudah sampai pada posisi ikhlas atau kosong


dari segala ketergantungan selain kepada Allah maka dia telah
menemukan sifat ketuggalan-Nya (Al-Ahad) dan sudah pasti
menyaksikan tempat bergantungnya segala sesuatu (Al-Shamad).
Maqam seperti ini hanya bisa dicapai apabila segala keakuan sudah
lepas, sehingga yang ada hanya keakuan Allah. Posisi demikian akan
bisa merasakan bahwa sesungguhnya dirinya tidak lagi memiliki
penglihatan karena penglihatan itu bukan miliknya melainkan milik
Allah yang dititipkan pada dirinya. Pikiran yang ada pada akalnya
juga bukan miliknya melainkan pikiran dititipkan Allah padanya.
Apabila masih ada rasa memiliki hidup, kuasa, kehendak,
pengetahuan, penglihatan, pendengaran, dan perkataan maka
posisinya masih pada maqam orang yang terhijab. Serahkan
kepemilikan atas semua itu kepada pemiliknya sehingga tidak ada
lagi yang tersisa di dalam diri kecuali perasaan bergantung kepada
Allah. Kita bergantung kepada Allah untuk bisa hidup, berdaya,
berkehendak, berilmu, melihat, mendengar, dan berbicara. Ini bukan
dalam teori atau konsep yang dapat dipikirkan, melainkan sesuatu
yang dapat dirasakan. Kalau masih dalam tataran konsep pemikiran
maka posisinya pun masih tergolong orang yang terhijab. Wallahu
a‟lam.
97

Kalam Sirri 58

Kehampaan 9
Wahai hamba-Ku:
Aku sangat menyukai hamba-hamba-Ku yang berusaha menuju
kepada-Ku, walaupun ia tidak mempunyai kesanggupan untuk
menemukan-Ku. Dibandingkan dengan hamba-hamba yang
mengaku sanggup menuju kepada-Ku, tetapi ia terlepas dari
ketergantungan kepada-Ku. Sesungguhnya ketidaksanggupan dalam
berusaha menuju kepada-Ku adalah tempat awal bagi Aku
mendatangi hamba-hamba-Ku dari segala penjuru arah.

Siapa yang ingin berjumpa dengan Allah maka ia harus


berjuang dan berusaha semaksimal mungkin. Allah berfirman, “Hai
manusia, sesungguhnya kamu adalah orang yang sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-
Insyiqaq/84:6).
Dan hanya orang yang bersungguh-sungguh yang akan
diberi petunjuk jalan untuk berjumpa dengan-Nya. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang berjuang untuk berjumpa dengan Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik. (QS. Al-Ankabut/29:69).
Salah satu bentuk kesungguhan untuk berjumpa Allah
adalah melakukan amal kebaikan dan tulus dipersembahkan hanya
untuk Allah. Allah berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadat
kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahf/18:110).
Namun, seorang hamba yang berniat dan berusaha hendak
berjumpa dengan Allah harus menyadari bahwa sampai kapan pun
ia tidak akan sanggup berjumpa dengan-Nya, kecuali Allah berkenan
menemui dirinya. Dia harus berjuang maksimal dengan ilmu dan
amalnya, tetapi tidak boleh mengandalkan ilmu dan amalnya („azam)
itu. Dia harus tetap memasrahkan dirinya dan hanya mengandalkan
98

Allah sehingga masa perjumpaan itu ditibakan waktunya oleh Allah.


Seorang hamba harus berusaha maksimal namun hasilnya ia
serahkan kepada Allah. Allah berfirman, “Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad (niat dan usaha), maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran/3: 159).
Mari kita bulatkan tekad dengan harapan berjumpa dengan
Allah, mari berjuang dan berusaha maksimal dengan penuh
ketulusan menuju Allah, walaupun kita tidak memiliki kemampuan
untuk menemui-Nya. Untuk itu, hasil tekad dan ikhtiar kita serahkan
sepenuhnya kepada Zat Yang Maha Berkuasa melakukan apa pun
yang dikehendaki-Nya. Semoga Allah tibakan masa perjumpaan itu
sesuai dengan janji-Nya. Wallahu a‟lam.
99

Kalam Sirri 59

Kehampaan 10
Wahai hamba-Ku:
Bagi hamba-Ku yang benar-benar mencintai-Ku dan memiliki
kerinduan hanya kepada-Ku, niscaya bagi hamba tersebut dapat
ditemukan dalam keadaan berserah diri dengan segala rasa
ketidak berdayaan, bahkan ia telah hilang dari segala rasa
kepemilikan di dalam dirinya sendiri.

Orang yang cinta dan rindu kepada Allah selalu dalam posisi
pasrah dan tak berdaya di hadapan Allah. Kepasrahaannya bukan
berarti tidak ada niat dan usahanya, melainkan bahwa segala
urusannya digantungkan kepada Allah.
Orang seperti ini tidak akan melewatkan waktu sedikit pun
untuk tidak berbuat kebaikan. Sebab, rasa rindu dan cintanya
mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya rela
melakukan apa pun yang diperintahkan dan meninggalkan segala hal
yang dilarang Allah. Allah memerintahkan untuk berusaha sehingga
ia giat melakukannya, apabila selesai satu pekerjaan segera
melakukan pekerjaan yang lain. Allah memerintahkan untuk
berinfak di jalan-Nya maka ia pun melakukannya. Singkatnya, segala
apa yang disenangi Allah akan dilakukannya dan menjauhi segala
yang tidak disenangi-Nya sebagai bukti cinta dan rindu pada-Nya.
Orang yang bisa melakukan ini adalah orang yang sudah
tidak lagi merasa memiliki apa pun di dunia ini, termasuk merasa
memiliki tubuhnya sendiri. Tubuh yang dia gunakan untuk berusaha
dan ibadah juga adalah titipan dari Allah padanya. Lantas apa yang
bisa dia banggakan di depan makhluk Allah yang lain! Wallahu
a‟lam.
100

Kalam Sirri 60

Kehampaan 11
Wahai hamba-Ku:
Aku akan berkata dalam tiap-tiap kalimat yang kosong dari
kemauan. Aku akan terpandang dalam tiap-tiap penglihatan
yang hampa dari segala warna. Dan tiada pernah Aku bernyata
kecuali bila engkau jauh dari segala yang dapat berbilang.

Seseorang yang sudah cinta kepada Allah dan cintanya


dibalas oleh Allah maka kata-kata yang diucapkannya berumber dari
Allah. Dirinya tidak berani mengucapkan satu kata pun tanpa
dipertimbang oleh nuraninya terlebih dahulu. Ketika telah
mendapatkan pertimbangan nurani, maka pasti ia akan kosong dari
tendensi dan kepentingan pribadinya. Dengan begitu, sesunggunya
yang berbicara di sana adalah Allah jua karena nurani hamba-Nya
adalah tempat bagi-Nya untuk menyampaikan pesannya yang
selanjutnya dikeluarkan melalui lisan hamba-Nya.
Demikian halnya dengan pandangan dan pendengaran
seorang hamba. Segala apa yang dilihat dan didengar sudah tidak lagi
memiliki nilai disisinya, sehingga tidak akan lagi terpesona
karenanya. Jika egonya sudah dilepaskan maka yang memandang
dan yang terpandang adalah Allah jua, yang mendengar dan yang
didengar adalah juga Allah semata. Semuanya adalah satu, esa, dan
tak berbilang. Makhluk hakikatnya tidak nyata karena ia hanyalah
bayangan dari benda, ia hanyalah sifat dari zat, yakni Allah Yang
Mahaesa. Wujud yang nyata itu hanya satu, bukan banyak yang
dijadikan satu atau wahdatul wujud. Bukan pula satu atau beberapa
wujud bersatu atau bergabung dengan wujud yang lain sehingga
menjadi satu atau ittihad. Wallahu a‟lam.
101

Kalam Sirri 61

Kehampaan 12
Wahai hamba-Ku:
Akuilah pandanganmu bukanlah kepunyaanmu, dan akuilah
pendengaranmu bukan pula milikmu. Dan katakanlah, “Aku
bersaksi dengan keagungan Tuhanku, tidaklah ada dan nyata segala
yang ada dan nyata pada diriku, kecuali ia telah bernyata Sang
Aku-Nya Zat dari Tuhanku. Maka sesungguhnya dengan demikian
itu engkau telah meletakkan yang benar (haq) pada tempatnya
semula.”

Seperti halnya dengan kalam sirri sebelumnya, ketika


seorang hamba telah dapat merasakan dan mengakui bahwa
penglihatan dan pendengaran adalah milik Allah, maka pada saat itu
Allah akan menyingkapkan tabir padanya bahwa yang sungguh-
sungguh nyata itu adalah Allah yang Maha Melihat dan Maha
Mendengar. Pada saat itulah terkadang keluar kata-kata misterius
atau syathahat dari seorang seperti “Maa fi jubbati illa Allah (Tiada
sesuati di dalam jubahku kecuali Allah)” sebagaimana diungkapkan
al-Hallaj.
Ungkapan al-Hallaj seperti itu bukan berarti dirinya adalah
Allah, tetapi ia sudah tidak merasa memiliki dirinya sendiri, karena
tubuh dan jiwanya semuanya milik Allah. Ini bukan dalam konsep
belaka tetapi dapat ia saksikan dalam perasaan dan kesadaraan
hatinya. Dia dalam posisi benar-benar dalam keadaan tiada daya dan
upaya kecuali bersama dengan Allah. Inilah hakikat yang
sebenarnya, seperti kalimat lain dari al-Hallaj, “Ana al-Haq (akulah
al-Haq atau Tuhan yang sebenarnya). Di sini, sekali lagi, al-Hallaj
bukan menyatu (ittihad) dengan Allah melainkan kesadaraan
memiliki dirinya yang sudah hilang dan lebur, yang ada adalah
kepemilikan Allah atas dirinya. Karenanya, ia tidak ada lagi memiliki
hak untuk meng‟aku‟ atas dirinya, kecuali ke‟aku‟an dari Allah Swt.
Wallahu a‟lam.
102

Kalam Sirri 62

Kesucian 1
Wahai hamba-Ku:
Kebenaran adalah pembuktian dari kesucian, sedangkan kesucian
suatu tanda penghabisan dari segala yang ada. Kemudian
bernyatalah yang telah nyata dalam dirimu, yakni Aku yang
Maha Suci.

Kebenaran sejati adalah Allah al Haqq. Menjumpai Al Haqq


hanya dapat terjadi manakala segala bentuk keterikatan di hati telah
musnah, termasuk keterikatan pada diri sendiri. Hilanglah segala
bentuk rasa memiliki pada sesuatu, terhadap harta, jabatan, hidup,
kuasa, kehendak, ilmu, penglihatan, pendengaran, perkataan, dan
semua hal yang menyangkut diri.
Ketika segalanya telah habis maka yang nyata hanyalah Allah
semata, kemana pun wajah dihadapkan maka yang terpandang hanya
ada wajah Allah, ke mana pun telinga diarahkan maka yang
terdengar hanyalah kalam Allah semata, ke mana pun rasa
menyentuh maka yang tersaksikan hanyalah Allah jua.

ََّ‫ّلل‬ ُ ۡ َ َ َ ْ ُّ َ ُ َ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ۡ
َّ ‫ّللِ َّإِن َّٱ‬
َّ ‫ب َّفأحٍِا َّحٔىٔا َّذرً َّوسّ َّٱ‬َّ ‫ق َّ َّوٱلٍغ ِؽ‬
َّ ‫ُش‬ َّ ِ ‫َو‬
ِ ٍ‫ّللِ َّٱل‬
َ ‫َوٰـ ٌع‬
ٞ ِ ‫َّعي‬
َّ َّ١١٥ًَّ‫ي‬ ِ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Al Baqarah, 2/115)
Ketika segala sesuatu dikembalikan kepada pemiliknya maka
diri dengan segala atributnya menjadi hilang dan tenggelam dalam
diri-Nya, ia memiliki kesadaran tetapi tidak memiliki keyantaan.
Wallahu a‟lam.
103

Kalam Sirri 63

Kesucian 2
Wahai hamba-Ku:
Suci adalah bersih, dan bersih adalah kosong dari segala sesuatu
yang ada. Dan kesucian hamba-Ku terletak ketika ia dapat
membersihkan segala yang membuat ia tergantung kecuali
kepada-Ku saja, sehingga kekosongan hatinya akan ditempati
oleh pemiliknya sendiri, yakni Aku.

“Sungguh beruntunglah orang-orang yang senantiasa mensucikan


hatinya. Dan sungguh rugilah orang-orang yang mengotorinya” (QS.
Al-Syams/91: 9-10).
Kesucian hati bukan hanya bersih dari dosa semata, tetapi
kesucian hati yang sebenarnya adalah apabila hati terlepas dari segala
bentuk ketergantungan kecuali kepada Allah semata. Hati yang
bersih dari ketergantungan selain Allah itulah yang akan mengenal
Allah sebagai Al-Ahad karena ia telah menjadikannya sebagai Tuhan
Al-Shamad atau tempat bergantung segala sesuatu pada-Nya. Allah

َُّ ‫ََّّٱ‬١َّ‫ّللَّأ َ َض ٌػ‬


berfirman,
ۡ َ ُ‫َّول َ ًَّۡي‬
ًََّۡ‫ََّّ َول‬٣َّ‫َٔل‬ َ ‫ِل‬ۡ ِ َ‫ََّّل َ ًَّۡي‬٢َّ‫ّللَّٱلص ٍَ َُّػ‬ ُ ُۡ
َُّ ‫وَّْ ََّٔٱ‬
َّ ‫ك‬
ُ َ َ ُُ ُ ُ َ
َّ َّ٤َّ‫ََّّلۥَّنف ًٔاَّأضػ‬
ۢ َّ ‫يس‬
1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS. Al-
Ikhlas/112: 1-4)
Surat ini disebut dengan al-Ikhlas yang artinya memurnikan
atau membersihkan. Maksudnya, memurnikan hati dari segala
bentuk ketergantungan kepada Allah. Apabila hati telah bersih dan
kosong dari selain Allah, maka yang ada hanya Allah semata.
Bergantung dan mengandalkan sesuatu seperti pada ilmu,
harta, pekerjaan, jabatan, profesi, orang lain, keluarga, dan lain-lain,
104

bahkan pada diri sendiri merupakan bentuk-bentuk ketergantungan


kepada selain Allah. Semua itu adalah dunia yang dijadikan Allah
sebagai fasilitas untuk kita manfaatkan semaksimalnya sekaligus
sebagai titipan yang di dalamnya ada amanah yang harus diemban,
namun tidak boleh mengandalkannya. Ketika mengandalkannya,
maka ketika itu pula kita akan bergantung padanya. Terlebih lagi bila
mencintainya, maka seketika itu pula kita akan diperbudaknya.
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Siapa yang mencintai sesuatu
maka ia akan menjadi budaknya.”
Di dalam mencari ilmu, proses belajar harus kita lakukan
secara maksimal sebagai bentuk niat dan usaha, tetapi tidak boleh
mengandalkan proses itu sebagai sumber ilmu, karena yang
memberikan ilmu adalah Allah jua. Ketika kita mengandalkannya,
maka ilmu yang diperoleh akan kita akui sebagai hasil usaha kita dan
pasti akan membuat kita sombong karenanya. Padahal, ilmu itu
adalah karunia dan titipan Allah bagi orang yang telah berusaha
mendatangi pintu-pintunya.
Dalam mencari rezeki, kita wajib berniat dan berusaha
semaksimal mungkin dengan memanfaatkan semua fasilitas yang
telah Allah berikan pada diri kita. Namun, kita tidak boleh
mengandalkan niat dan usaha tersebut sebagai pemberi rezeki
karena Allah yang memberikan rezeki kepada setiap hamba menurut
kadar yang telah ditentukan-Nya. Sebab, apabila kita berkata bahwa
rezeki datang karena usaha kita, maka kita telah mengandalkan
usaha kita dalam mendapatkan rezeki. Sekiranya usaha kita yang
mendatangkan rezeki, maka tentu hasilnya selalu sesuai dengan
harapan kita, tetapi ternyata tidak demikian adanya.
Oleh karena itu, orang yang bersih hatinya adalah orang
yang tidak lagi diperbudak oleh ilmu, harta, pekerjaan, jabatan,
profesi, orang lain, keluarga, dan lain-lain, bahkan oleh dirinya
sendiri dengan mengandalkannya. Semua itu adalah fasilitas, titipan,
dan amanah dari Allah Swt. Semoga Allah membimbing kita
sehingga dapat merasakan bahwa Allah al-Shamad, Zat tempat
bergantung segala sesuatu. Karena, hanya orang yang bergantung
sepenuhnya kepada-Nya yang akan menemukan kenyataan Allah di
dalam dirinya sendiri. Wallahu a‟lam.
105

Kalam Sirri 64

Hati
Wahai hamba-Ku:
Ketahuilah, hatimu adalah dataran tertinggi di dalam dirimu,
maka daripadanya engkau dapat memandang ke segala penjuru
dengan mudah tanpa penghalang. Dan bertempatlah engkau
padanya, sesungguhnya tiada pemandangan yang lebih terang
yang engkau pandang dari hatimu, sehingga dengannya engkau
akan dapat menyaksikan Zat yang terahasia pada dirimu
sendiri, yakni Aku.

Ketika akal tak mampu menjangkau keberadaan dan


kenyataan Allah, maka Allah melengkapi manusia dengan hati.
Pandangan nurani yang ada di dalam hati jika diijinkan Allah mampu
ۡ ُ َ َٰ َ َۡ ۡ ُ ُۡ َ ُ َ ُٰ َ َۡ ۡ ُ ُ ُۡ
memandang segala sesuatu. Allah berfirman,
َُّ‫ري‬ َ ُ َ
َّ ِ ‫يف َّٱِلت‬ َّ ‫لَّ َّحػرِكّ َّٱۡلةص َّؽ َّؤْ َّيػرِك َّٱۡلةص َّؽ َّؤْ َّٱلي ِط‬
َۡ َ َ َ َۡ ۡ َ َ ۡ ُ ّ ٓ ُ ٓ َۡ
ِ ‫ َّك َّػ َّ َسا َءزً َّةَ َصان ِ ُؽ ٌََِّ َّربِسً َّذٍَ َّأةص َّفيِِف‬١٠٣
ََّّ‫ف َِّّۦ‬
َ ُ َۡ َ ََ۠ ٓ َ َ ََۡ َ َ َ َ ۡ َ َ
َّ َّ١٠٤َّ‫يظ‬ٖ ِ‫ًَِّبف‬
ِ ‫وٌََّع َِمَّذعييٓاَّوٌاَّأُاَّعييس‬
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
mencapai segala penglihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi
Maha mengetahui. Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu
penglihatan-penglihatan yang terang; maka siapa yang melihat maka
untuk dirinya sendiri; dan siapa yang butamaka kemudharatan bagi
dirinya. Dan aku sekali-kali bukanlah pemelihara atas kalian (QS. Al-
A‟am/6: 103-104).
Pandangan mata kepala merupakan sumber pengetahuan
akal, sehingga Allah yang tidak terjangkau oleh mata adalah mustahil
bagi akal untuk mengenal-Nya. Namun, apabila manusia diberi
kemampuan untuk melihat dengan mata hatinya maka sungguh ia
telah mendapatkan karunia yang sangat besar. Sebaliknya, siapa yang
106

buta atau tidak mampu memandang keberadaan dan kenyataan


Allah di dalam dirinya maka sungguh ia telah celaka. Dan Allah
tidak akan memelihara orang-orang yang buta mata hatinya.
Allah ada dan nyata di balik semua yang ada di dalam diri
manusia bagi orang yang bersih hatinya karena Dia adalah al-Zhahir,
tetapi akan menjadi tersembunyi bagi hati yang kotor karena Allah
adalah al-Bathin. Semoga kita tetap diberi petunjuk dan kekuatan
untuk berniat dan berusaha membersihkan hati sehingga dianugrahi
pandangan hati yang mampu melihat kenyataan Allah Yang Maha
Nyata. Wallahu a‟lam.
107

Kalam Sirri 65

Hati dan Perasaan


Wahai hamba-Ku:
Hatimu bagaikan lautan yang dalam, tidak dapat diselami oleh
akal dan pikiran, maka selamilah ia dengan perasaanmu, tetapi
ikatlah dahulu perasanmu pada Al-Qur‟an dan Sunnah agar ia
terarah kepada kebenaran-Ku yang hakiki.

Hati manusia merupakan satu-satunya wadah yang diberi


kemampuan menampung segala pengetahuan tentang sesuatu. Bila
langit, bumi, dan gunung-gunung tidak sanggup memikul amanah
Allah, maka hati manusialah yang sanggup memikulnya. Bila
pengetahuan akal dan pikiran bersumber dari panca indra, maka
pengetahuan hati bersumber dari pandangan rasa nurani yang
berasal dari Allah Swt. Perasaan hati dapat menemukan nilai benar
dan salah, bahkan perasaan hati diberi kemampuan untuk
menemukan Allah.
Namun, perasaan di dalam hati ini tak terbatas dan bisa jadi
tidak terkendali. Apabila tidak terkendali, rasa dalam hati bisa
mabuk sehingga mengabaikan berbagai aturan syariat. Oleh karena
itu, perasaan hati nurani mutlak diikat oleh ketentuan yang terdapat
di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Apabila tidak diikat maka ia akan
lebih berbahaya daripada akal yang tidak terkendali.
Seseorang yang dengan akalnya bisa saja menyangkal
keberadaan Tuhan atau atheis, tetapi bila yang bersangkutan dalam
keadaan terpojok dan tidak ada yang bisa menolongnya tentu dia
akan memohon kepada Tuhan. Lihatlah bagaimana Firaun yang
akhirnya mengaku percaya kepada Tuhan Musa ketika ia tidak ada
lagi yang bisa menolongnya dari tenggelam di lautan. Namun, orang
yang tidak terkendali oleh perasaan hatinya, bisa saja mengaku
dirinya sebagai Tuhan, dan mengabaikan aturan-aturan Tuhan.
Untuk itu, dalam melakukan perjalanan menuju Tuhan
melalui rasa dalam hati mutlak mengindahkan syariat atau hukum
108

dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Apabila ada orang yang mengaku


dekat tuhan lalu menyepelekan syariat maka pastilah orang itu sesat
dalam perjalanannya. Jangankan mengabaikan atau mengingkari
syariat, sekedar menyepelekannya saja berarti ia telah terjerumus
dalam jurang kegelapan. Di sinilah pentingnya seorang penunjuk
jalan yang berpengalaman. Orang yang pernah melalui jalan spiritual
tersebut tentu bisa menunjukkan mana jalan yang benar menuju
gerbang istana Sang Raja. Apabila sudah sampai di depan gerbang
istana, penunjuk jalan pun sudah lepas tangan dan menyerahkan
sepenuhnya kepada pemilik istana. Sang Rajalah yang berwenang
membukakan gerbang istana dan mengajak tamu untuk masuk ke
bilik kamar-Nya.
Orang yang tidak mau berguru adalah orang yang sombong
dan angkuh karena merasa memiliki ilmu dan amal yang dapat
mengantarkannya kepada Sang Raja. Ketahuilah, kesombongan dan
keangkuhan adalah hijab yang mustahil dapat ditembus oleh
pelakunya bila hendak menjumpai Allah. Ya Allah, berikanlah hati
yang bersih, terkendali oleh al-Qur‟an dan Sunnah, dan rela
dibimbing oleh para kekasih-Mu. Engkaulah tujuan kami dan hanya
ridha-Mu yang kami cari. Tolonglah kami agar senantiasa ingat
pada-Mu, mensyukuri nikmatmu, dan mempersembahkan ibadah
terbaik kepada-Mu. Wallahu a‟lam.
109

Kalam Sirri 66

Kebenaran
Wahai hamba-Ku:
Bila engkau mendekati kehendak-Ku, berarti engkau telah
membuka hatimu dalam kebenaran, dan bila engkau mendekati
kehendakmu sendiri, sekalipun ia menyatakan kebenaran,
janganlah engkau ikuti sebab kebenarannya dapat membawamu
ke dalam kehancuran. Berbuatlah menurut-Ku, berkatalah
sesuai kalam-Ku, dan berjalanlah bersama takdir-Ku, niscaya
tiada satupun makhluk yang akan dapat menipu dan
menghancurkanmu.

Di dalam diri manusia ada dua kehendak, yaitu kehendak


diri (hawa nafs) dan kehendak Allah. Kehendak diri muncul dalam
bentuk keinginan-keinginan yang bertujuan untuk menopang
kebutuhan jasmani manusia ketika hidup di dunia. Keinginan diri ini
tiada batasnya. Adapun kehendak Allah pada diri manusia adalah
pengetahuan yang muncul pada hati nuraninya.
Kehendak diri memang juga bisa menginginkan sebuah
kebenaran, misalnya kehendak untuk jujur, adil, sopan, simpatik,
dan lain-lain. Namun, apabila kehendak itu muncul sebagai usaha
menopang jasmani, misalnya berlaku jujur,adil, sopan, simpatik, dan
lain-lain untuk mendapatkan penghargaan atau mencapai tujuan-
tujuan tertentu yang bersifat duniawi, maka ia berpotensi besar
untuk menghancurkan dirinya sendiri. Apabila jika tidak berhasil
mendapatkan tujuannya, maka dia akan menyesali kejujuran,
keadilan, kesopanan, dan simpatik yang telah dilakukannya. Oleh
karena itu, kehendak diri atau hawa nafsu walaupun benar maka
janganlah diingikuti.
Allah memerintahkan hamba-Nya agar berbuat menurut
kehendak-Nya yang ada di dalam nurani, berkata dan bicara
menurut ketentuan dalam Al-Qur‟an dan sunnah rasul-Nya, serta
berniat dan berusaha secara maksimal dengan tetap menyerahkan
hasilnya sebagai takdir dari Allah. Kalau seorang hamba sudah dapat
110

berbuat, bertutur, dan bersikap sesuai dengan kehendak Allah maka


dialah orang yang paling bahagia di dunia ini. Dia tidak akan
berduka cita dengan apa yang luput dari dirinya dan juga tidak akan
terlalu bersuka cita dengan apa yang Allah datangkan pada dirinya.
Apa pun yang dialaminya, baginya, adalah tanda cinta dan kasih-
sayang dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang
menjalankan pesan rasul-Nya, istafti qalbak (bertanyalalah pada hati
nuranimu!). Wallahu a‟lam.
111

Kalam Sirri 67

Rasa 1
Wahai hamba-Ku:
Akal dan pikiranmu seumpama keledai yang lemah dalam
menempuh perjalanan yang jauh. Oleh karena itu, tunggangilah
seekor kuda yang kuat, sebab dia mampu melakukan perjalanan
yang jauh, dengan syarat engkau harus memakai tali kekang,
agar ia tidak akan menjatuhkanmu.
Begitu jua bagimu yang hendak menyelami ilmu-Ku, jangan
sekali-kali mengandalkan akal ataupun pikiran, sebab kekuatan
akal dan pikiran sangat terbatas. Gunakanlah hati dan
perasaanmu, akan tetapi janganlah meninggalkan Al-Qur‟an
dan Sunnah sebagai tali kekang dari „rasamu‟ itu.

Sesungguhnya akal dan pikiran berfungsi untuk membaca


dan menelaah tentang makhluk ciptaan Allah di alam semesta ini.
Akal merupakan fasilitas bagi manusia dalam menjalankan tugas
kekhalifahannya. Kemampuan akal untuk mengenal Allah sangat
terbatas kecuali hanya mampu menangkap tanda-tanda kekuasaan-
Nya. Namun, akal tidak memiliki kesanggupan menyentuh
keberadaan dan kenyataan Allah Swt.
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha
Perkasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah
Kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran/3: 189-191)
Orang yang diberi kemampuan mengembalikan segala
sesuatu sebagai milik Allah dalam akal dan rasanya, maka dialah
yang akan mampu memandang keberadaan dan kenyataan Allah
kemana pun ia menghadapkan wajahnya.
112

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu


menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah/2: 115).
Namun, rasa di dalam hati ketika tersentuh oleh
pengetahuan tentang ketuhanan bisa jadi tak terkendali. Karena
terlalu asyik dengan rasa, seseorang terkadang bertindak menyalahi
pertimbangan-pertimbangan rasional, bahkan seringkali melangkahi
hukum-hukum syariat. Oleh karena itu, ketidakterbatasan rasa dalam
hati haruslah dibatasi oleh tuntunan al-Qur‟an dan Sunnah. Selain
itu, petualangan rasa juga memerlukan seorang penunjuk jalan yang
pernah melalui rimba ketuhanan agar tidak tersesat dalam
perjalanannya. Semoga Allah menuntun rasa dalam hati dan pikiran
dalam akal kita dengan al-Qur‟an dan sunnah rasul-Nya sehingga
menjadi ulul albab. Wallahu a‟lam.
113

Kalam Sirri 68

Rasa 2
Wahai hamba-Ku:
Bila engkau ingin merasakan manisnya gula, janganlah hanya
dipandang, namun cobalah engkau rasakan. Apabila engkau ingin
mengetahui kenikmatan bertemu dengan-Ku, maka rasakan Aku ada
dalam gerakmu dan rasakan Aku menyertaimu (ihsan). Gula di ujung
lidahmu saja dapat engkau rasakan, maka tidak mustahil jika
engkau dapat merasakan-Ku, karena Aku lebih dekat dari lidahmu
sendiri, dan karena Aku-lah engkau dapat menikmati segala rasa
beserta kenikmatannya.

Allah Swt mengarunia kita dengan tiga macam rasa: (1) rasa
jasmani untuk merasakan manis, pahit, asam, asin, panas, dingin,
dan lain-lain; (2) rasa ruhani untuk merasakan senang, sedih, marah,
bahagia, cinta, benci, dan lain-lain; dan (3) rasa nurani untuk
merasakan kebenaran dan Allah.
Semua pengetahuan yang didapatkan melalui rasa sifatnya
menyakinkan dan abadi walaupun tidak akan cukup kata dan bahasa
untuk menguraikannya. Berbeda dengan pengetahuan yang
didapatkan oleh akal yang sifatnya relatif dan temporal. Sekali
seseorang pernah merasakan manis maka pengetahuannya tentang
manis pasti meyakinkan dan tidak akan pernah lupa, tetapi
seseorang yang pernah berkenalan orang lain di waktu kecil lalu
terpisah dan berjumpa pada usia 50an tahun, bisa jadi lupa. Begitu
pula dengan pengetahuan yang didapatkan oleh rasa ruhani dan rasa
nurani.
Akal tidak akan pernah mengenal dan menyentuh hakikat
sesuatu yang menjadi objek rasa. Akal tidak akan pernah mengenal
dan menyentuh yang namanya manis, bahagia, dan tuhan. Manis,
bahagia, dan tuhan tidak akan pernah mampu dijelaskan dan
diuraikan oleh akal manusia dalam bahasa apa pun.
Oleh karena itu, jangan gunakan akal untuk mengenal dan
menyentuh manis tetapi rasakanlah dengan jasmani. Jangan gunakan
akal untuk mengenal dan menyentuh kebahagiaan, tetapi rasakanlah
114

dengan ruhani. Dan, jangan gunakan akal untuk mengenal dan


menyentuh keberadaan dan kenyataan Allah (ma‟rifullah), tetapi
gunakanlah rasa nurani.
Mari kita jaga kesehatan jasmani agar rasa bisa menikmati
manis, mari kita jaga kesehatan ruhani agar bisa menikmati bahagia,
dan mari kita jaga kesehatan hati agar bisa menikmati surga
kenyamanan bersama Sumber Segala Kenikmatan. Wallahu a‟lam.
115

Kalam Sirri 69

Rasa 3
Wahai hamba-Ku:
Akal adalah tempat bermain bagi pikiranmu, hati adalah tempat
bermain bagi jiwamu, nurani adalah tempat bermain sifat-Ku,
sedangkan “rasa yang dekat” sebagai pintu masuknya.

Kalam ini menjelaskan fungsi akal, hati, dan nurani. Akal


berfungsi untuk berfikir. Memikirkan segala objek yang bisa
terjangkau olehnya. Sumber pengetahuan akal tentu saja adalah
panca indra. Karena sumbernya pancaindra, maka pengetahuan akal
pun sangat terbatas sebatas jangkauan indrawi. Maka, ada ungkapan
menyebutkan bahwa “berfikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi
jangan berfikir tentang Allah” karena memang Allah tidak mungkin
dijangkau oleh akal. Akal hanya sanggup menangkap tanda-tanda
(ayat-ayat) tentang keberadaan tuhan dan sampai pada kesimpulan
bahwa tuhan itu ada. Namun, untuk membuktikannya, akal tidak
mampu.
Sementara itu, hati memiliki fungsi untuk merasakan apa
yang dialami oleh jiwa kita. Rasa senang, bahagia, marah, benci,
suka, cinta, dan seterunya merupakan objek-objek yang dapat
dikenali oleh jiwa kita. Seperti halnya akal, jiwa pun tidak memiliki
kesanggupan untuk menyentuh keberadaan Allah. Ia hanya akan
sampai pada tanda-tanda akan keberadaan Allah Swt.
Oleh karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allah melengkapi
kita dengan nurani. Nurani ini adalah tempat sifat-sifat Allah
bersemayam. Rasa dalam nurani dapat merasakan sifat-sifat Allah
dan memberikan keyakinan yang pasti bahwa di balik sifat-sifat itu
ada zat Allah. Pintu pertama untuk menemukan hakikat sifat Allah
adalah adanya rasa dekat kepada Allah. Namun, bukanlah rasa dekat
yang menjadi puncak makrifat kepada Allah, melainkan ia hanya
pengantar atau tangga untuk sampai kepada keyakinan menyaksikan
akan kenyataan Allah di balik rasa dekat tersebut. Wallaahu a‟lam.
116

Kalam Sirri 70

Rasa 4
Wahai hamba-Ku:
Bila akal hendak berbicara tentang Aku, maka diamkanlah dia.
Namun jika ia hendak berbicara dunia, maka biarkan ia bicara
menurut pikirannya. Begitupun hati, apabila ia hendak berbicara
dunia, maka diamkanlah, namun apabila ia berbicara tentang Aku,
biarkan ia berbicara menurut apa yang dirasanya. Letakkanlah
sesuatu pembicaraan sesuai dengan pintu keluarnya.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, akal tidak akan


mampu mengenal dan menyentuh sesuatu yang menjadi objek
pengetahuan rasa. Bahasa apa pun digunakan untuk mengurai
tentang pengalaman rasa, tentu tidak akan pernah menjelaskan
hakikat yang sebenarnya. Oleh karena itu, akal tidak akan mampu
menceritakan tentang hakikat Tuhan, Allah Swt karena hanya rasa
nurani yang dapat menyentuhnya.
Fungsi akal adalah memikirkan dunia atau ciptaan Allah.
Makhluk atau ciptaan Allah merupakan tanda-tanda yang
menunjukkan adanya Zat yang Maha Kuasa di baliknya. Sekali lagi,
akal hanya mampu mengenal “tanda-tanda” keberadaan Allah tetapi
tidak akan mampu menyentuh kenyataan-Nya.
Tafakkaruu fi khalqillaah walaa tafakkaruu fi dzaatillaah
(Pikirkanlah ciptaan Allah, tetapi jangan pikirkan Zat Allah! Atau,
pikirkanlah ciptaan-Nya dan rasakanlah Allah!)
Itulah sebabnya, para kekasih Allah selalu mengingatkan
bahwa siapa yang tidak pernah merasakan Allah maka dia tidak akan
makrifat (kenal) kepada Allah (man lam yadzuq lam ya‟rif). Seperti
halnya, siapa yang tidak pernah merasakan manis, maka dia tidak
akan pernah kenal yang namanya manis, walau seribu kalimat yang
menjelaskan tentang manis itu sendiri. Wallaahu a‟lam.
117

Kalam Sirri 71

Rasa 5
Wahai hamba-Ku:
Andaikan engkau bermain dengan rasa, maka jadikan iman sebagai
kawannya, karena iman lebih tahu tempat yang cocok untuk rasamu,
yakni di sekitar telaga Al-Qur‟an dan Sunnah, karena rasa adalah
sesuatu tanpa batas yang mesti dibatasi.

Rasa nurani adalah sesuatu yang tanpa batas. Ia dapat


menjangkau segala sesuatu di alam semesta ini, bahkan diberi
kemampuan untuk menjangkau keberadaan Allah Swt. Namun,
apabila kecanggihannya tidak dibatasi, maka bisa menjerumuskan
pemiliknya kepada hal-hal yang mengabaikan syariat. Atau, bahkan
dapat mengaku dirinyalah tuhan yang pantas untuk disembah,
na’udzu min dzlik.
Untuk itu, rasa itu harus disertai dengan iman. Iman kepada
Allah, para malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qada dan kadar
merupakan pagar bagi rasa. Rukun iman ini diperoleh dari al-Qur‟an
dan Sunnah. Dengan iman, sedekat apa pun hubungan yang
dirasakan dengan Allah maka tidak akan pernah mengaku dirinya
sebagai Allah atau tuhan. Iman mengajarkan dirinya sebagai hamba
yang mutlak mengabdi kepada tuhannya. Pengabdian yang sejati
adalah pengabdian yang didasarkan rasa, yakni rasa rindu dan cinta
kepada Allah. Wallaahu a‟lam.
118

Kalam Sirri 72

Rasa 6
Wahai hamba-Ku:
Hamba-hamba-Ku yang mempuasakan rasa kepemilikan dari
dirinya sendiri, adalah hamba yang telah berdiri di depan pintu
gerbang rahasia-Ku. Dan bagi hamba-hamba-Ku yang memihak
kepada kemauan-Ku, maka demi apa-apa yang Aku tinggikan,
niscaya Aku tempatkan ia dalam mahligai kerahasiaan-Ku.

Allah Swt memuji hamba-hamba-Nya yang mengembalikan


segala kepemilikan kepada-Nya, termasuk kepemilikan atas dirinya
sendiri. Allah berfirman, “Mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun"[Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya-lah kami kembali.]. Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-
Baqarah/2: 156-157)
Orang yang seperti inilah yang disebut memiliki hati yang
bersih, yakni hati yang lepas dari segala rasa kepemilikan atas sesuatu
dan juga lepas dari rasa ketergantungan selain kepada Allah Swt. Dia
telah berdiri di depan pintu gerbang rahasia Allah Swt. Inilah
“sidratul muntaha” atau batas akhir yang bisa diusahakan oleh
manusia dalam ikhtiarnya untuk menuju kepada Allah. Di sinilah
titik dimana kepasrahan total (hanifan musliman) kepada Allah Swt
diwujudkan seorang hamba.
Dalam kepasrahan total itulah seorang hamba menunggu
kemurahan Allah untuk mempersilahkan masuk ke dalam istana
mahligai rahasia-Nya. Apabila seorang hamba telah dapat berbuat
berdasarkan kemauan Allah di dalam hati nuraninya maka dialah
hamba yang diperkenankan memandang keindahan wajah Allah
melalui rasanya. Sekali dapat memandang keindahan wajah-Nya
maka pasti akan jatuh cinta pada-Nya. Ketika jatuh cinta, maka
seluruh hidupnya akan dipersembahkan sebagai bukti cinta pada-
Nya, semua yang terpandang olehnya akan menjadi sandaran rindu
119

pada-Nya, dan dirinya akan menjadi bagian dari keindahan, kasih,


dan sayang Allah kepada makhluk yang lain.
Semoga Allah Swt memberikan taufik untuk tetap memiliki
harapan untuk berdiri di depan pintu gerbang istana-Nya dan
menganugrahkan kekuatan untuk terus berusaha menghampiri-Nya.
Wallahu al-musta‟an wa ilahi mashir.
120

Kalam Sirri 73

Rasa 7
Wahai hamba-Ku:
Tiadalah seorang hambapun yang dikatakan hamba jikalau ia
masih menuntun hatinya jauh dari kehambaan, dan tiada pula
seorang kekasih dikatakan kekasih jika ia masih mendatangi-Ku
dengan hati yang condong kepada apa yang diperbuat kedua
tangannya, dan tidaklah engkau mengetahui bilamana hatimu
Aku ciptakan hanyalah untuk kecondongan kepada apa yang
terbit dari rasamu, kemudian dengannya engkau mendatangi-Ku
bersama perasaan yang penuh kerinduan.

Hamba yang sebenarnya adalah yang selalu patuh dan


tunduk pada perintah tuannya. Seorang hamba tidak merasa
memiliki apa pun karena semua yang ada pada dirinya adalah milik
tuannya. Semua yang lahir dari dirinya seperti pikiran, kekuatan,
karya, prestasi dan lain-lain adalah milik dan dipersembahkan untuk
tuannya. Jadi, apabila seseorang masih „merasa memiliki‟ ilmu, amal,
harta, keluarga, dll [bukan sebagai titipan] maka dia bukanlah hamba
yang sebenarnya.
Seorang kekasih sejati adalah mencintai kekasihnya
sepenuhnya sehingga tiada lagi ruang yang tersisa di hatinya untuk
cinta kepada yang lainnya, termasuk cinta terhadap apa yang
diperbuat oleh tangannya, dipikirkan oleh akalnya, dan diucapkan
oleh lidahnya. Selagi hati masih mencintai karya tangannya, buah
pikirannya, dan tutur katanya, maka seseorang tidaklah dapat disebut
kekasih sejati karena masih membagi cintanya kepada selain Allah.
Padahal, hati manusia diciptakan Allah sebenarnya hanya
untuk mengikuti perasaan yang terbit dari nuraninya dan dengan
perasaan itulah sebagai jembatan menyentuh kenyataan Allah.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang
senantiasa cenderung mendatangi-Nya dengan segenap rasa
kehambaan dan rasa butuh pada-Nya, sehingga karya tangan, buah
pikiran, dan tutur kata kita menjadi sandaran untuk mengungkap
rindu dan cinta pada-Nya. Wallaahu a‟lam.
121

Kalam Sirri 74

Rasa 8
Wahai hamba-Ku:
Dan kebenaran hamba-Ku yang menyaksikan terletak pada
hatinya, sedangkan kebenaran hamba-Ku yang membuktikan
akan jelas pada “rasanya”. Maka tiada akan tersentuh suatu
kebenaran dengan “rasamu” sebelum ia disaksikan oleh hatimu
sendiri.

Ketika seorang hamba bersih hatinya dari rasa memiliki


sesuatu dan rasa ketergantungan kepada selain Allah, maka dengan
hatinya itu menjadi wadah untuk menyaksikan kebenaran, melihat
apa yang Allah lihat dan mendengar apa-apa yang Allah dengar.
Posisi ini adalah maqam seorang hamba yang telah menjalankan
kewajiban dan anjuran dari Allah sehingga Dia mencintainya
sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadis Qudsi.
Untuk membuktikan kebenaran tersebut, biarkanlah „rasa‟
pada hati kita yang menjadi „diri‟ untuk mendekati dan menyentuh
segala kenyataan Allah pada diri kita sendiri. Rasa merupakan
instrumen validasi kebenaran atas penyaksian pada kenyataan Allah
Yang Maha Nyata.
Wahai Zat Yang Maha Nyata, leburkanlah jiwa ini dalam
rahasia-Mu sehingga tiada lagi jiwa yang mengakui dirinya di dalam
diriku ini kecuali Diri Engkau Yang meng‟aku‟ padanya.
122

Kalam Sirri 75

Rasa 9
Wahai hamba-Ku:
Dan jadikanlah hati tempat engkau melihat apa yang Aku lihat
dan apa-apa yang Aku dengar. Dan biarkanlah „rasa‟ pada
hatimu menjadi „diri‟ yang mendekati dan menyentuh segala
kenyataan-Ku pada dirimu sendiri.

Menjadikan hati sebagai tempat melihat dan mendengar apa


yang dilihat dan didengar oleh Allah hanya bisa terjadi manakala hati
sudah kosong dari segala bentuk ketergantungan selain kepada
Allah. Ketika itu, kesadaran yang ada adalah menjadi hampa tak
berarti dalam arti tidak ada daya dan tidak ada upaya kecuali dengan
pertolongan dari Allah (laa hawla walaa quwwata illaa billaah).
Pada posisi kesadaran seperti itu sebenarnya akal tetap
berfungsi, tetapi fungsinya hanya memahami dan menyaksikan
dirinya sebagai bayangan yang tidak ada daya dari suatu sumber
kekuatan yang maha dahsyat, sebagai riak atau ombak dari samudra
yang maha luas. Dirinya sadar tetapi tidak lagi memiliki sesuatu.
Maka, pada saat itu melalui rasa dapat menyaksikan secara nyata
bahwa Allah yang sebenar-benarnya melihat, dapat merasakan
bahwa Allah itu nyata dan benar-benar maha mendengar melalui
dirinya sendiri. Di sini, jembatan untuk menyaksikan kenyataan
Allah adalah rasa di dalam nurani manusia. Wallaahu a‟lam.
123

Kalam Sirri 76

Rasa 10
Wahai hamba-Ku:
Hadapkanlah wajahmu kepada-Ku dengan segenap ingatan yang
menyentuh „rasamu‟ hingga darinya engkau mendapati wajah-Ku
dalam hatimu. Dan tiada sebaik-baik ingatan melainkan ingatan
yang melahirkan rasa kehadiran-Ku yang lebih nyata daripada
dirinya sendiri.

Zikir secara bahasa berarti menyebut dan mengingat.


Zikrullah dapat berwujud dalam tiga kondisi: pertama, menyebut
nama Allah tanpa disertai ingatan kepada-Nya; kedua, mengingat
Allah tanpa menyebut nama-Nya; dan ketiga menyebut nama Allah
yang disertai ingatan kepada-Nya. Pekerjaan menyebut nama ada
pada lisan, sedangkan pekerjaan mengingat ada pada memori akal
kita. Kedua media zikir ini (lisan dan akal) tidak akan pernah
sanggup menyentuh keberadaan dan kenyataan Allah, namun ia
berfungsi sebagai pemantik dan stimulus menuju kepada hidupnya
rasa bertuhan di dalam hati.
Oleh karena itu, sebaik-baik zikir (sebutan dan ingatan)
adalah yang dapat melahirkan rasa kehambaan kepada Allah, rasa
butuh kepada Allah, rasa dekat kepada Allah, dan rasa kehadiran
Allah Yang Maha Dekat dan Nyata di dalam hati.
Hidupnya rasa di dalam hati tidak terikat oleh banyaknya
jumlah zikir dan lamanya waktu. Bahkan, jumlah dan waktu zikir
bisa menjadi hijab yang membatasi antara hamba dan Tuhannya.
Berzikir sambil menghitung jumlah sehingga hilanglah ingatannya
kepada Allah, alih-alih melahir rasa dekat maka ia menjadi zikir yang
menghijat. Begitu pula sengaja memasang target untuk jangka waktu
tertentu dalam berzikir, sehingga yang menjadi fokusnya adalah
bagaimana mencapai jangka waktu tersebut dan lupa dengan Allah
maka waktu zikir yang lama pun menjadi hijab. Bolehlah berzikir
dengan jumlah tertentu atau jangka waktu jika dimaksudkan untuk
latihan kedisiplinan, atau sebagai riyadhah sebagaimana
diperintahkan oleh guru.
124

Ketika seorang hamba yang sibuk dalam zikir lisan maka


boleh jadi ia akan mabuk dalam kata dan kalimat yang
diucapkannya. Mabuk dalam kata dan kalimat merupakan fase yang
mesti dilalui seorang hamba yang sedang berjalan menuju Allah,
namun ia mutlak memiliki seorang penuntun. Tanpa seorang
penuntun, maka ia mudah terjebak dan tersesat dalam kata dan
kalimat belaka. Padahal, ia harus meninggalkan kata dan kalimat
tersebut dalam masuk ke dalam zikir melalui rasanya.
Di dalam rasa, seorang hamba boleh jadi juga larut dan
mabuk. Mabuk dalam rasa lebih berbahaya lagi daripada mabuk
dalam kata dan kalimat. Akal dan nafsunya bisa menjebak dan
menyesatkan dirinya yang sedang tenggelam dalam rasa dekat
dengan Allah, sehingga boleh jadi ia mengangkat dirinya sebagai
Tuhan. Dalam kondisi ini, seorang salik lebih membutuhkan
seorang penuntun dan pembimbing.
Oleh karena rasa tiada memiliki batas, maka ia perlu untuk
dibatasi. Bingkai pembatas bagi rasa tiada lain kecuali al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah Saw. Seorang salik tidak boleh melakukan hal-hal
yang tidak sejalan dengan syariat yang disepakati. Wallaahu a’lam.
125

Kalam Sirri 77

Rasa 11
Wahai hamba-Ku:
Bagaikan muara yang mempertemukan antara sungai dan lautan,
begitulah keadaan rasamu. Ianya Aku letakkan sebagai tempat
pertemuan-Ku dengan dirimu. Dan tiada sepantasnya bagimu
untuk menjadikan muara sejajar dengan lautan kecuali bila
kebodohan yang keluar dari perkataanmu.

Rasa jasmaniah merupakan wadah untuk menemukan manis


pada gula, namun rasa bukanlah manis itu sendiri. Rasa ruhaniah
merupakan media untuk menemukan kebahagiaan pada sesuatu
yang disenangi, namun ia bukanlah sesuatu yang disenangi itu
sendiri. Demikianlah halnya dengan rasa nurani. Rasa nurani adalah
taman pertemuan antara hamba dengan Tuhannya, namun rasa
nurani tersebut bukanlah Tuhan itu sendiri.
Banyak orang yang terjebak dengan rasa nurani ini karena
padanya dia menemukan kedekatan kepada Allah yang teramat nyata
sehingga muncullah kesimpulan pada dirinya bahwa Allah itu ada di
dalam rasa. Bahkan, dianggapnya rasa itulah Allah. Padahal, Allah
bukanlah rasa dan tidak pula berada di dalam rasa. Ketahuilah, Allah
itu ada dan nyata di balik rasa nurani setiap manusia yang telah
bersih hatinya. Di sinilah pentingnya bimbingan seorang Guru agar
seseorang yang memperjalankan hatinya kepada Allah, tidak tersesat
dalam pencariannya. Wallaahu a‟lam.
Ya Latif, Engkaulah Zat Yang Maha Halus yang hanya dapat
disentuh dengan kelembutan pada rasa kami. Anugrahkanlah kepada
kami rasa yang dapat menyentuh keberadaan dan kenyataan-Mu di
dalam diri kami. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan para perindu
dan pecintamu, bukan jalan orang-orang yang tersesat lagi dimurkai.
126

Kalam Sirri 78

Rasa 12
Wahai hamba-Ku:
Aku selalu terpandang di setiap rasamu memandang dalam
penglihatannya, dan Aku selalu terdengar ketika rasamu
mendengar apa yang didengarnya, maka Aku pun akan datang
bila rasamu lenyap daripada ia merasakan apa yang dirasa
terhadap keberadaannya diri sendiri.

Allah akan ditemukan melalui rasa jika manusia sudah tidak


lagi merasakan keberadaan dirinya sendiri. Puncak rasa adalah ketika
manusia tidak lagi memiliki rasa kedirian/egonya sehingga diri yang
merasa dan yang dirasakan adalah Dia jua. Di posisi ini, akal akan
menyaksikan dua pasang kekasih saling memadu cinta di dalam
dirinya sendiri. Dirinya sudah tidak lagi merasa memiliki daya dan
kehendak, tidak lagi merasa memiliki penglihatan dan pendengaran,
karena yang memiliki daya kuasa, yang memiliki kehendak,
penglihatan, dan pendengaran adalah Allah. Dirinya sadar bahwa ia
hanyalah wayang yang digerakkan oleh dalang. Wallaahu a‟lam.
127

Kalam Sirri 79

Rasa 13
Wahai hamba-Ku:
Tiada yang lebih baik dari perkataan dan perbuatan seorang
hamba, yang telah merasakan dan memahami gerak dan
perbuatan-Ku dalam ia berdiri, duduk, berbaring dan berjalan di
permukaan bumi ini.

“(Ulul Albab adalah) orang-orang yang mengingat Allah sambil


berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran, 3/191).
Mengingat yang dapat dilakukan dalam segala keadaan
adalah ingatan yang ada di dalam rasa karena merasakan sesuatu
tidak membutuhkan kata dalam bentuk ucapan dan juga tidak
memerlukan nalar dalam pikiran. Hanya orang yang merasakan
Allah yang senantiasa akan selalu ingat padanya dalam segala
keadaannya.
Orang yang sepenuhnya bergantung kepada Allah akan
merasakan bahwa sesungguhnya yang bergerak di dalam dirinya
adalah Allah jua karena dirinya sadar bahwa sumber daya dan
kekuataan semuanya bersumber dari tiupan Allah. Berdiri, duduk,
berbaring, dan berjalan semuanya hanya bisa terjadi jika Allah
menyertai dirinya, sehingga secara hakiki semua perbuatan itu adalah
perbuatan-Nya jua. Wallaahu a‟lam.
Ya Allah, setiap gerak dan perbuatanku, dan setiap gerak di
alam semesta ini adalah bersumber dari qudrah dan iradat-Mu.
Jadikanlah hati kami senantiasa mampu merasakan dan memahami
semua itu di dalam diri kami ini.
128

Kalam Sirri 80

Rasa 14
Wahai hamba-Ku:
Hanya sesungguhnya dengan hatimu yang selalu tersentuh
dengan Aku-lah yang berhak mempunyai penglihatan tanpa
tersentuh dengan keindahan warna dan padanya tiada
penghalang untuk memandang-Ku, maka bagi-Ku tiada
kesenangan yang lebih baik selain memandang hamba-Ku yang
„merasakan‟ Aku sedang memandangnya.

Mengapa kita banyak terpesona dengan keindahan di dunia


ini sehingga berlomba-lomba untuk meraihnya! Mengapa pula kita
terlena dengan kemerduan suara sehingga menghabiskan waktu dan
tenaga untuk menikmatinya! Sebab dari semua itu karena hati kita
masih bergantung kepada selain Allah, hati kita belum merasakan
pesona indahnya wajah Allah yang Maha Indah Mempesona, belum
menikmati kalam Allah yang Maha Syahdu Mendendang.
َ ََ ُۡ َُ َ َ َُٓ ۡ َ ۡ ُۡ ََ
َّ ‫َ َّذل ِػ َّٱ ۡـ َخ ٍۡ َف‬ٞ ‫ف‬
َّ‫م‬ ِ َّ
‫َّم‬ ْٔ ‫و‬ َّ ِ َّ
‫ّلل‬ ‫ٱ‬َّ ‫َل‬ِ ‫۞وٌَ َّيفيًِ َّوسٓ َّّ َّۥ َّإ‬
ُ ُۡ َُ َ َ َۡ ۡ ۡ
َّ ‫ّلل َِّع ٰ ِلتثَّٱۡلم‬
َّ َّ٢٢َِّ‫ٔر‬ َّ ‫قىَِّإَوَلَّٱ‬ َّٰ ‫َّة ِٱى ُع ۡؽ َوَّة َِّٱل ُٔث‬
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
dia orang yang berihsan, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan,” (QS Luqman, 22)
Jika kita sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
sehingga sampai pada maqam ihsan dimana terasa saling
memandang dengan Allah maka hal itu tidak akan lagi membuat
kita tertarik dengan dunia beserta keindahannya, tidak lagi gentar
dengan kekuasaan dunia dengan segala keperkasaannya, dan tidak
129

lagi kecewa terhadap dunia dengan segala penderitaannya. Semua


tidak lain karena telah terjalin ikatan yang maha kuat dengan cinta
dan rindu kepada Allah Swt. Wallahu a‟lam
130

Kalam Sirri 81

Rasa 15
Wahai hamba-Ku:
Ketika engkau didatangi keinginan untuk bersama-Ku, maka
lepaskanlah segala bentuk keterikatan dirimu terhadap panca
indera, karena tidaklah pernah satu pun hamba yang sampai
melaluinya, melainkan bila ia meletakkan keinginannya kepada
rasa, hingga dengan rasa tersebut ia berjalan kepada-Ku tanpa
ada sedikit pun jarak yang ditempuhnya.

Panca indra adalah sumber informasi bagi akal untuk


berfikir. Dengan mata, akal bisa membaca tulisan dalam buku,
meneliti fenomena alam, dan mengobservasi. Dengan telinga, akal
bisa memahami setiap ucapan dan bunyi dalam semesta sehingga
melahirkan pengetahuan. Demikian pula penciuman hidung,
kecapan lidah, dan sentuhan rasa jasmani. Semua informasi melalui
panca indra itu lalu diolah akal sehingga melahirkan pengetahuan
logis dan ilmiah.
Tuhan bukanlah fenomena yang dapat diobservasi, bukan
suara yang dapat didengar, bukan bau yang dapat dicium, bukan
jenis rasa jasmani yang dapat dicicipi, dan bukan pula objek yang
dapat diraba. Dengan demikian, mustahil bagi logika akal untuk
menemukan keberadaan Tuhan karena Dia bukanlah objek indrawi.
Pengetahuan akal tentang Tuhan paling tinggi hanyalah sampai pada
kesimpulan bahwa Tuhan itu ada dengan memerhatikan ciptaan-
Nya.
Dengan kasih sayang-Nya, Allah telah melengkapi fasilitas
bagi manusia untuk menemukan keberadaan-Nya dan menyaksikan
kenyataan-Nya. Fasilitas itu adalah rasa nurani pada hati manusia.
Rasa ini akan hidup dan sensitif bilamana hati bersih dari segala
bentuk keakuan diri, rasa memiliki sesuatu, dan ketergantungan
selain kepada Allah.
Semoga Allah tetap memberikan rasa penasaran untuk
berjumpa dengan-Nya dan melimpakan taufik-Nya untuk terus
berusaha maksimal merapat pada-Nya.
131

Kalam Sirri 82

Rasa 16
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya rasamu adalah tempat engkau lebih akrab dengan
Aku Tuhanmu dan janganlah engkau jadikan rasa sebagai tujuan
akhir dari penyaksian kepada-Ku, tetapi jadikanlah cinta sebagai
akhir dari segala “rasamu” kepada-Ku.

Melalui rasa, kita dapat menikmati kedekatan dengan Allah.


Rasa dekat yang dinikmati itu harus diyakini bahwa sumbernya
datang dari Allah jua dan bahwa di balik rasa dekat itu pada
dasarnya ada Allah. Semakin sering menikmati rasa dekat maka lama
kelamaan akan muncul keakraban. Kalau rasa dekat biasanya datang
dan pergi, namun rasa akrab sifatnya lebih sering muncul dan
berkepanjangan.
Jika rasa akrab terus dijaga dan dipelihara maka dengan
kehendak dan pertolongan Allah akan sampai kepada keyakinan
yang pasti di dalam hati nurani bahwa Dialah Allah yang Maha
Akrab tersebut. Keyakinan yang pasti inilah yang disebut dengan
penyaksian kepada Allah. Yakni, menyaksikan keberadaan dan
kenyataan Allah. Namun, penyaksian tersebut bukanlah tujuan akhir
dari perjalanan ruhani kita kepada Allah, melainkan awal untuk
melahirkan rasa rindu dan cinta kepada-Nya. Penyaksian itu
hendaknya berujung pada jalinan kasih dan cinta dengan Allah yang
Maha Agung, sehingga segala sesuatu dapat dilakukan dengan tulus
karena untuk membuktikan cinta pada-Nya, dan semua ketentuan-
Nya akan diterima dengan rida karena itu pasti buah cinta dari-Nya.
132

Kalam Sirri 83

Rasa 17
Wahai hamba-Ku:
Rasa pada hatimu bagaikan taman pertemuan antaramu dengan-
Ku, dan sebagai tempat para kekasih lebur dalam cintanya
terhadap-Ku, hingga hanya pada rasamu saja tersebut, jarak dan
hijab tiada dapat membatasi diri-Ku yang dicintai dengan para
pecinta-Ku.

Rasa adalah jannah (taman, surga) pertemuan bagi sepasang


kekasih memadu cintanya. Melalui rasa, seorang hamba
diperkenankan menyaksikan keberadaan dan kenyataan Allah.
Namun, seorang hamba yang ingin menikmati kebersamaan dengan
Allah tidak boleh menjadikan rasanya sebagai tujuan akhir
penyaksiannya, melainkan hendaklah menjadikan cinta sebagai akhir
dari segala rasanya kepada Allah.
Seorang pecinta Allah akan memandang segala sesuatu
sebagai sandaran rindunya kepada Sang Kekasih. Seorang pecinta
akan menjadikan setiap kata dan kalimat yang keluar dari lidahnya
sebagai pembuktian cinta kepada Sang Kekasih, sehingga tiada lagi
dusta, gibah, namimah, keangkuhan, dan sifat negatif lainnya.
Seorang pecinta akan menjadikan seluruh tingkah lakunya sebagai
persembahan kepada Sang Kekasih karena ia berbuat di hadapan-
Nya, sehingga tiada lagi kekerasan, maksiat, dan kejahatan pada
dirinya.
Inilah hamba yang akan menikmati sapaan Kekasihnya,
“Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan
penuh kerelaan (karena cinta) dan diridai (karena dicintai-Nya).
Masuklah dalam golongan hamba-Ku dan masuklah ke dalam taman
surga-Ku” (QS. Al-Fajr/89, 27-30).
133

Kalam Sirri 84

Nama 1
Wahai hamba-Ku:
Aku tidak mengajarkan nama-Ku kepadamu, melainkan bila ia
disebut sebagai panggilan terhadap ketuhanan-Ku. Dan nama-
Ku tiadalah berarti untuk disebut, apabila hatimu jauh dari
pada “rasa” yang merasai akan kebesaran-Ku terhadap dirimu.
Dan sesungguhnya bagi-Ku nama adalah lambang dari segala
kepunyaan-Ku, dan tiada sebaik-baik nama melainkan hanya
“Allah” sebagai sebutan yang Aku ridai.

Nama adalah cara praktis untuk mengidentifikasi dan


menunjuk pada satu objek tertentu. Selain itu, bagi makhluk berakal,
nama adalah media untuk memanggil yang bersangkutan. Bagi
Tuhan, “Allah” adalah nama sebutan yang paling diridhai-Nya.
Nama bukanlah zat, sehingga nama “Allah” bukanlah Zat Tuhan.
Tuhan memiliki banyak nama selain “Allah” dan nama-nama agung
tersebut adalah media untuk memanggil dan menyeru-Nya. Allah

ْ ُ َ َ َ ُ ُ ۡ َ َ ۡ ُۡ ُ ٓ َ ۡ َ ۡ
Swt berfirman:
َ ُ ُۡ َ
َّٓ‫َِّف‬
ِ ‫طػون‬ ِ ‫ِيَ َّيي‬
َّ ‫ٔه َّةِٓا َّوذروا َّٱَّل‬
َّ ‫ّن َّ َّفٱدع‬ َّ ِ ‫َو‬
َّٰ ‫ّللِ َّٱۡلـٍا َّء َّٱۡلف‬
َ َُ َۡ ْ ُ َ َ َ َۡ ۡ َُ َ ۡ َ
َّ١٨٠َّ‫أـمه ِ َِّّۦََّّـيشؾونٌَّاََّكُٔاَّحعٍئن‬ َٰٓ
“Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik),
maka serulah Dia dengan menyebut Asmaul Husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A‟raf/7: 180).
Banyak orang yang menyimpang dalam menyebut nama
Tuhan, sehingga nama “Allah” dijadikannya sebagai Tuhan.
Terkadang ada yang menjadikan tulisan/lafas Arab ‫ هللا‬yang
diimajinasikan dalam pikirannya sebagai Tuhan lalu disembahnya.
Padahal, “Allah” adalah sebuah nama dari “Zat Tuhan”. “Allah”
134

dan asmaul husna lainnya adalah sebuah lambang yang mewakili


kebesaran Tuhan dengan segala sifat-sifat keagungan-Nya.
Maka, tiadalah makna zikir atau menyebut nama “Allah” dan
Asmaul Husna lainnya apabila seorang hamba tidak merasakan
keagungan-Nya di balik kehambaan dan kehinaan dirinya sendiri.
Sebutan/zikir yang menyentuh rasa seperti inilah yang mampu
menggetarkan hati seorang hamba yang beriman.
Wahai Zat Yang Maha Agung, getarkanlah hati ini bila lidah
menyebut nama-Mu, dan bila telinga ini mendengar nama-Mu.
Engkaulah Tuhan Yang Maha Besar melebihi lambang kebesaran di
balik nama-nama-Mu sendiri.
135

Kalam Sirri 85

Nama 2
Wahai hamba-Ku:
Apabila engkau letakkan nama-Ku dalam putaran akal
pikiranmu, niscaya ia akan menghijabmu dengan-Ku, namun
jika engkau letakkan nama-Ku melalui “rasa” pada hatimu,
maka sesungguhnya yang demikian itu akan menjadikan hatimu
hidup dan bercahaya (berpengetahuan). Dan tiada satupun
perbuatan hamba-Ku yang benar, kecuali ia mempunyai kuasa
yang datang dari hati yang bercahaya. Dan hanya Aku-lah
yang berkuasa atas apa-apa yang keluar dari pada isi hati
hamba-Ku.

Apabila dalam berzikir, seorang hamba memikirkan dan


membayangkan nama Allah maka dia telah membangun tembok
tebal antara dirinya dengan Tuhannya. Untuk menghilangkan
tembok tebal tersebut, maka media untuk memanggil Allah bukan
melalui akal pikiran melainkan rasa di dalam hatinya. Artinya,
seorang hamba harus merasakan kelemahan dirinya sehingga butuh
kepada keperkasaan Tuhan, kehinaan dirinya sehingga butuh akan
keagungan Tuhan, kebodohan dirinya sehingga butuh pada
pengetahuan Tuhan, dan lain-lain.
Perbuatan itu dianggap benar di sisi Allah apabila ia keluar
dari hati yang sudah menyentuh dan merasakan kebesaran dan
kehadiran Allah. Perbuatan yang tidak keluar dari hati, walaupun
benar menurut standar umum namun tetap salah di sisi Allah.
Seperti halnya, kebenaran yang disampaikan oleh peramal, walaupun
benar adanya namun sesungguhnya salah karena tidak bersumber
dari pengetahuan yang sebenarnya, melainkan perkiraan semata.
Maka, bertanyalah kepada hati nuranimu (istafti qalbak)
karena hati tidak pernah memberikan pengetahuan kecuali
kebenaran yang datang dari Allah sendiri.
136

Kalam Sirri 86

Nama 3
Wahai hamba-Ku:
Bagi orang yang melihat (membaca) nama dalam zikirnya
kepada-Ku, maka ia hamba yang terhijab. Dan bagi siapa yang
merasakan kebesaran nama-Ku, maka dialah hamba yang benar.
Sedangkan bagi hamba-Ku yang menyaksikan apa yang nyata di
balik nama-Ku, niscaya dia adalah hamba yang mengenal-Ku.

Siapa yang menghayalkan lafaz/nama Allah dalam berzikir


atau shalat dialah manusia yang terhijab dari Allah Swt. Dialah
manusia yang lalai (ghafil).
Siapa yang berzikir atau shalat dengan meresapi setiap
makna kata dan kalimat yang diucapkannya sehingga melahirkan
perasaan akan kebesaran Allah maka dialah manusia yang benar
dalam tindakannya. Dialah manusia yang menghamba (shiddiq).
Siapa yang berzikir atau shalat dengan perasaan yang
menyaksikan keberadaan dan kenyataan Allah di balik setiap kata
dan kalimat yang diucapkannya, maka dialah hamba yang mengenal
Allah. Dialah manusia yang bermakrifat („arif billah).
Siapa yang mengenal Allah maka pasti akan jatuh cinta
kepada-Nya. Cinta ada apabila ada kerinduan. Kerinduan akan lahir
apabila ada keakraban. Keakraban akan muncul apabila ada
kedekatan. Dan kedekatan bermula dari pengenalan. Jadi, Awwalud
diin ma’rifutullah (dasar pertama dalam beragama adalah mengenal
Allah).
137

Kalam Sirri 87

Nama 4
Wahai hamba-Ku:
Dan ketahuilah, tiada nama yang lebih baik dari pada nama-
nama-Ku, dan tiada diri yang mulia kecuali diri-Ku. Dan
janganlah engkau berpikir untuk dapat memanggil nama-Ku
terhadap dirimu, kecuali bila Aku yang memanggilnya untuk-Ku
melalui (melewati) dirimu.

“Allah” adalah nama yang paling diridai untuk zat-Nya


daripada nama-nama agung lainnya. Nama tersebut memiliki sifat
keperkasaan dan kemuliaan, Dzul Jallal wal Ikram. Raulullah Saw
mengajarkan kita untuk selalu berdoa kepada Allah agar diberi
kemampuan untuk mengingat-Nya, mensyukuri segala karunia-Nya,
dan mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada-Nya. Doa ini
mengisyaratkan kepada kita bahwasanya kita tidak memiliki daya
dan upaya untuk melakukan apa pun di dunia ini kecuali Allah
menyertai kita. Laa hawla wa laa quwwata illaa bi llaah.
Makna di atas sejalan dengan ungkapan para wali Allah yang
menyatakan bahwa ‘araftu rabbii bi rabbii (aku mengenal tuhanku
melalui pertolongan tuhanku sendiri. Artinya, harus muncul
kesadaran di dalam diri kita bahwa kita tidak ada kesanggupan untuk
mengingat Allah kalau bukan karena cinta dan kasih sayang-Nya.
Ketika kita sudah kosong dan tidak merasa memiliki diri,
kecuali diri kita adalah milik Allah Swt maka pada saat itu Allah yang
akan memanggil nama-Nya melalui diri kita. Yang memanggail dan
yang dipanggil adalah satu, al-Ahad. Sekali lagi, untuk menemukan
al-Ahad, kita harus kosong dan bergantung sepenuhnya kepada Zat
Tempat bergantung segala sesuatu, al-Shamad. Wallaahu a‟lam.
138

Kalam Sirri 88

Nama 5
Wahai hamba-Ku:
Hanya Aku-lah Zat yang mempunyai nama, maka tidaklah
pantas seorang hamba-Ku menjadikan nama-Ku perantara bagi
mereka, kecuali bila mereka telah melepaskan segala nama dari
diri mereka. Dan cukup Aku-lah yang memanggil nama atas diri
mereka.

Hakikatnya, Allah tidak butuh pada nama karena itu berarti


Dia bergantung pada nama-Nya sendiri. Yang butuh nama itu
adalah hamba agar dapat memanggil dan menyeru Tuhan melalui
nama-Nya. Kalau tidak ada nama-Nya, dengan apa seorang hamba
memanggil-Nya! Namun, nama tersebut bukanlah perantara kecuali
sekadar membantu untuk dapat mengenal dan menyaksikannya.
Jika seorang hamba telah melepaskan segala kepemilikan
pada dirinya, lepas dari atribut personal dan sosialnya maka ia telah
berada pada posisi nol, kosong. Dirinya sudah tidak berarti lagi,
tidak lebih dari sekadar bayangan yang bergantung kepada benda.
Dalam posisinya inilah seseorang akan bernama di sisi Allah sesuai
posisi ketergantungannya kepada Allah. Jika memposisikan dirinya
mengabdi kepada Allah sebagai Tuhan yang mutlak disembah dan
ditaati maka ia akan bernama “hamba”; apabila ia mengabdi kepada
Allah karena rindu dan cinta kepada-Nya, maka ia akan dipanggil
dengan nama “kekasih.”
139

Kalam Sirri 89

Nurani 1
Wahai hamba-Ku:
Tahukah engkau? Jika Aku mengutus pasukan yang paling kuat
dan tangguh yang siap menghancurkan dirimu sebagai ujianmu
di dunia, namun Aku pun telah mengadakan benteng yang
kokoh pada dirimu sebagai perlindungan. Pasukan itu tak lain
adalah hawa nafsumu sendiri, sedangkan benteng tersebut
adalah hati nuranimu. Dan jangan sekali-kali berlindung pada
akalmu, karena ia mudah berkhianat terhadapmu.

Hawa nafsu adalah pasukan yang kuat dan tangguh sebagai


fasilitas bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah
di muka bumi. Kalau tidak hati-hati, manusia akan dihancurkan oleh
hawa nafsunya sendiri. Ketika hawa nafsu yang berkuasa, maka akal
akan menjadi budak dan kaki tangannya. Sehingga, orang yang
paling pintar dan cerdas sekalipun akan hancur bilamana dikuasai
oleh hawa nafsunya sendiri.
Namun, dengan kemahaadilan-Nya, Allah telah menyiapkan
hati nurani bagi hamba-Nya sebagai benteng yang sangat kokoh
untuk membendung dan mengalahkan hawa nafsu. Hati nurani
adalah agama hanif yang Allah tiupkan ke dalam diri manusia yang
selalu menjadi jalur petunjuk-Nya tentang kebenaran. “Bertanyalah
kepada hati nuranimu!”, demikian sabda Rasulullah Saw. Ketika hati
nurani yang berjaya, akal pun akan menjadi tunduk padanya dan
hawa nafsu akan tenang mengikuti kehendak Allah Swt. Semoga
Allah menundukkan hawa nafsu kita sehingga menjadi nafsu yang
tenang (mutmainnah).
Dari sini tampak jelas bahwa akal tidak memiliki posisi
dalam diri kita kecuali sebagai alat pertimbangan untuk mewujudkan
kehendak yang datang dari nafsu atau yang datang dari nurani. Siapa
di antara keduanya yang kuat dorongannya maka akan
mengendalikan akal. Karena itu, akal tidak dapat dijadikan sebagai
benteng pertahanan dari serangan hawa nafsu. Wallaahu a’lam
140

Kalam Sirri 90

Nurani 2
Wahai hamba-Ku:
Raja dari tubuhmu adalah akalmu,
raja dari perbuatanmu adalah hatimu,
dan raja dari hatimu adalah rasa.
Sedangkan rasa bersumber dari nuranimu berada dekat dengan
Zat-Ku

Pada setiap komponen dalam diri manusia, Allah ciptakan


pengendalinya. Allah Maha Dekat pada setiap hamba-Nya. Dia
berada nyata di balik rasa nurani pada hati hamba-Nya. Bila rasa
dekat itu muncul pada diri seorang hamba, maka rasa inilah yang
akan mengendalikan hatinya. Bila rasa dekat sudah menguasai hati
seorang hamba, maka perbuatannya pun hanya akan tunduk pada
segala sesuatu yang terbit dari hatinya. Dia akan bertutur dan
bertindak sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah SWT.
Sementara itu, akal akan menjalankan fungsinya hanya
sebagai pengendali pada tubuh jasmaniah. Tubuh jasmaniah bukan
hanya berupa tubuh fisik, melainkan segala sesuatu yang berbentuk
lahiriyah, termasuk alam semesta ini.
Jadi, potensi akal hanyalah memikirkan tentang makhluk
Allah tetapi tidak akan mampu menjangkau keberadaan dan
kenyataan Allah. Sementara rasa pada hati diberi potensi untuk
menemukan kenyataan-Nya. Namun, jangan gunakan hati untuk
mengatur alam semesta karena fungsinya bukan untuk itu. Karena
itu, gunakan akal menurut proporsinya dan gunakan hati menurut
proporsinya. Wallahu a’lam.
141

Kalam Sirri 91

Nurani 3
Wahai hamba-Ku:
Di dalam akalmu engkau adalah manusia,
di dalam hatimu engkau adalah hamba,
dan di dalam rasa engkau adalah pencinta,
sedangkan di nurani engkau adalah sifat-Ku.

Identitas diri kita disebut manusia apabila akal mendominasi


seluruh pikiran dan tindakan. Dalam posisi ini, kita akan
mengandalikan kekuatan panca indra dan logika untuk mewujudkan
apa pun yang menjadi harapan kita. Namun, umumnya ia akan
menjebak kita pada keakuan diri atas prestasi yang dicapai dan
frustasi atas kegagalan yang didapati.
Identitas diri kita disebut hamba apabila hati yang
mendominasi seluruh pikiran dan tindakan kita. Dalam posisi ini,
kita akan menggunakan potensi indra dan logika dalam berusaha
dengan maksimal, tetapi hanya mengandalkan kudrat dan iradah
Allah dalam mewujudkan harapan kita. Kondisi ini membuat kita
bersyukur atas nikmat dan bersabar atas ujian sehingga hidup lebih
tentram.
Identitas diri kita disebut pencinta apabila rasa rindu pada
Allah yang mendominasi pikiran dan tindakan kita. Dalam posisi ini,
kita akan menjadikan segala sesuatu yang terpandang, terdengar,
tersentuh, dan terpikirkan sebagai sandaran rindu kepada Sang
Kekasih. Kondisi ini membuat seluruh pikiran dan tindakan kita
sebagai pembuktian cinta pada-Nya, sehingga apa pun yang datang
dan pergi dari diri kita adalah kerelaan.
Identitas diri kita disebut sebagai sifat Allah apabila nurani
yang mendominasi seluruh pikiran dan tindakan kita. Dalam posisi
ini, mata yang digunakan melihat adalah penglihatan-Nya, telinga
yang digunakan mendengar adalah pendengaran-Nya, tangan yang
dipakai menjangkau adalah kekuasan-Nya. Kita akan menjadi bagian
dari keindahan sifat-Nya dalam memperlakukan dunia ini. Wallaahu
a’lam.
142

Kalam Sirri 92

Nurani 4
Wahai hamba-Ku:
Ingatlah! Melihatlah melalui hatimu, mendengarlah melalui
hatimu, berkatalah melalui hatimu, dan berpikirlah melalui
hatimu, karena sebaik-baik berbuat adalah melalui hati.
Dan sesungguhnya Aku selalu menjatuhkan pandangan-Ku
hanya kepada hatimu, karena hatimu lebih dekat dengan nurani.
Dan nurani selalu akrab dengan-Ku.

Seorang „hamba‟ akan selalu menjadikan hatinya sebagai


teropong dalam memandang segala sesuatu sehingga ia tidak silau
akan keindahan dunia dan tidak pula jijik atas kejelekannya. Hatinya
akan menjadi jendela dalam mendengarkan segala sesuatu sehingga
tidak terbuai oleh kemerduan suara duniawi dan tidak pula pekak
atas gelegarnya. Hatinya juga menjadi pintu keluarnya setiap kata
sehingga ia terangkai menjadi untaian kalimat penuh hikmah dan
terhindar dari kesilapan yang menzalimi diri dan orang lain. Hatinya
juga akan menjadi mata air pengetahuan yang memancarkan pikiran-
pikiran yang jernih sehingga melahirkan peradaban yang
mendatangkan maslahat bagi semesta.
Hati merupakan wadah yang menampung setiap rasa yang
melimpah dari nurani dengan muatan kebenaran dan hikmah karena
nurani adalah tempat pancaran sifat Allah Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang.
Ketahuilah, hati yang dapat memerankan fungsi-fungsi itu
adalah hati yang bersih, yakni bersih dari rasa memiliki sesuatu
kecuali segala karunia Allah dipandangnya hanyalah titipan dari-Nya,
dan bersih dari rasa ketergantungan pada sesuatu selain Allah.
Semoga harapan memiliki hati yang bersih tetap Allah tanamkan
dalam diri kita dan Dia memberikan kekuatan untuk berusaha
meraihnya. Walaahu a’lam.
143

Kalam Sirri 93

Nurani 4
Wahai hamba-Ku:
Setiap makhluk-Ku pastilah mempunyai tempat tinggal, dan
tempat tinggal bagi musuhmu adalah jiwamu sendiri, maka
berlarilah engkau mencari tempat tinggal yang paling aman,
yakni nuranimu. Tinggallah dalam nuranimu dengan cara
menjauhi dirimu dari kehendak atau keinginan dirimu sendiri.

Musuh yang paling kuat adalah jiwa kita sendiri, yaitu jiwa
yang didominasi oleh kehendak dan keinginan diri (hawa nafsu).
Hawa nafsu adalah salah satu komponen jiwa manusia yang
merupakan paket pelengkap untuk memenuhi kebutuhan jasmani
agar tetap bisa bertahan hidup. Karena itulah, hawa nafsu selalu
butuh makan dan minum, butuh tempat tinggal dan alat transportasi
untuk berjalan, serta butuh pasangan hidup untuk menjaga
eksistensi generasi manusia. Namun, karena kehendak dan
keinginannya yang tidak terbatas, sehingga terkadang melampaui apa
yang menjadi kebutuhannya. Akhirnya, nafsu memperbudak akal
untuk mengumpulkan makanan dan minuman yang bisa menjamin
kelangsungan hidupnya dalam waktu yang lebih lama; mencari
tempat tinggal dan kendaraan yang bisa menyelamatkan hidupnya
lebih lama, dan pasangan hidup yang indah dipandang mata. Seakan-
akan semua itu akan membuat jasmaninya hidup untuk selamanya.
Tidak ada tempat menyelamatkan diri dari dorongan
kehendak dan keinginan nafsu kecuali berlindung di balik nurani.
Nurani akan mengajarkan kita bahwa hidup ini hanya sementara dan
kebutuhan jasmani sangat terbatas. Nilai hidup bagi setiap insan ada
pada kualitas dan kuantitas nilai kemanfaatannya bagi sesama. Dan
yang paling utama adalah bahwa nurani merupakan media untuk
mengenal Zat Yang Maha Hidup tempat manusia kembali untuk
hidup bersama-Nya. Wallaahu a’lam.
144

Kalam Sirri 94

Ketunggalan 1
Wahai hamba-Ku:
Ketunggalan-Ku bukanlah bilangan dan bukan pula
perumpamaan-perumpamaan yang engkau kenal, maka apabila
ada perumpamaan yang lebih mendekat, maka umpamakanlah
Aku terhadap keberadaan “rasa” pada dirimu.
Ketahuilah, karena sesungguhnya “rasa” berada dalam
ketunggalan namun ia dapat ditemui di setiap titik rasa (saraf)
pada seluruh tubuhmu, sekalipun begitu ia dapat dinikmati
dalam satu rasa di dirimu.

Allah adalah tuhan yang tidak dapat didefinisikan karena


tiada sesuatu pun yang dapat diperbandingkan dengan-Nya.
Ketunggalannya bukanlah dalam arti bilangan tetapi ia ada dan
meliputi seluruh bilangan tanpa batas. Satunya Allah dapat
ditemukan pada segala sesuatu. Dialah Tuhan yang di barat sekaligus
di timur, Dia di utara sekaligus di selatan, Dia di atas sekaligus di
bawah, Dia yang Nyata sekaligus yang Tersembunyi. Dialah Tuhan
yang dirasakan di dalam diri sekaligus Tuhan yang di luar diri.
Kemana pun wajah dihadapkan maka Wajah-Nya ada di sana.
Tuhan yang dirasakan si A adalah juga yang dirasakan oleh si B, si C,
dan seterusnya. Nama, sifat, dan perbuatannya sangat banyak tetap
zat-Nya tetaplah tunggal.
Perumpamaan yang dapat mendekati ketunggalan-Nya
adalah ibarat rasa pada diri manusia. Misalnya, rasa sakit yang ada
pada kaki adalah sama dengan rasa sakit pada tangan karena rasa
sakit itu adalah tunggal. Rasa yang di kaki, di tangan, di kepala, dan
lain-lain adalah satu. Pada setiap bagian tubuh kita dapat
menemukan rasa, walaupun ketika tubuh dibedah maka tidak
mungkin dapat menemukan apa yang disebut rasa itu sendiri. Dia
ada dan nyata, tetapi keberadaannya tidak dapat ditangkap dengan
akal dan panca indra. Wallaahu a’lam.
145

Kalam Sirri 95

Ketunggalan 2
Wahai hamba-Ku:
Dan telah menjadi suatu yang mustahil bagi setiap pandangan
untuk memandang ketuhanan-Ku bila engkau masih berdiri
dalam perhitungan akalmu, hingga daripadanya engkau hanya
mendapati berbagai bilangan yang dengannya engkau terhijab
dari-Ku.
Ketahuilah, “Aku”-lah Zat Yang Maha Nyata, Yang Hidup
tanpa tiupan dan Yang Maha Tunggal tanpa berhimpun dalam
bilangan.

Akal hanyalah alat untuk menemukan tanda-tanda


keberadaan Allah tetapi mustahil baginya menemukan keberadaan
dan kenyataan-Nya. Selama akal masih diandalkan mencari Tuhan
maka selama itu pula akan menemukan banyak tuhan dalam
berbagai konsep sejumlah bilangan makhluk. Ini bukan berarti
bahwa akal sama sekali tidak berguna dalam pencarian Tuhan, tetapi
merupakan tahap awal dalam pengenalan terhadap nama, sifat, dan
perbuatan-Nya. Setelah itu, akal pasti berhenti karena mustahil
melampauinya.
Kendaraan berikutnya menuju tuhan adalah rasa pada
nurani. Akal dan nafsu harus diistirahatkan seperti pesan Allah
kepada Nabi Musa a.s., “Wahai Musa, tinggalkanlah kedua
terompahmu (akal dan nafsu) karena engkau berada pada lembah
suci yang bernama Tuwa.” Kekuatan rasa terletak pada kepapaan
dan kepasrahan total untuk berdiri di depan gerbang istana-Nya
menunggu panggilan Sang Raja untuk masuk dalam singgasana-Nya.
Allah adalah Maharaja Yang Maha Nyata, Maha Hidup, dan
Maha Tunggal. Dia Nyata karena Zat-Nya Yang Nyata dan
kenyataan-Nya tidak bergantung pada sifat nyata itu sendiri, Dia
hidup karena Zat-Nya Yang Hidup dan tidak bergantung pada sifat
hayat untuk hidup, dan Dia tunggal karena Zat-Nya yang Tunggal
dan tidak bergantung pada sifat Ahad. Allah adalah Zat yang berdiri
146

sendiri, tanpa bergantung pada nama, sifat, dan perbuatan-Nya


sendiri. Dialah Zat yang menciptakan sifat-Nya sendiri dan sifat-
Nya bergantung kepada zat-Nya. Sementara itu, makhluk adalah zat
yang bergantung kepada sifatnya sendiri. Makhluk dikatakan hidup
jika sifat hidup ada padanya, sehingga ia bergantung pada sifatnya,
dan seterusnya. Wallaahu a’lam.
147

Kalam Sirri 96

Mendatangi 1
Wahai hamba-Ku:
Datangilah Aku sebagaimana engkau mendatangi segala
kemauanmu selama ini, kemudian dekatilah Aku dengan segala
rasa kedekatan yang telah mendatangimu pada segala
kemauanmu.
Dan katakanlah, “Demi Allah Yang Maha Mempunyai segala
Kesempurnaan, tidaklah Dia akan mendatangiku, melainkan
dengan kesungguhan aku yang didatangi-Nya, sedangkan aku
hanyalah hamba yang tiada terlepas dari segala kemauan
Tuhannya”.

Kalau setiap saat kita selalu mendatangi kemauan kita


sendiri, maka sesungguhnya Allah pun siap didatangi setiap saat.
Dan untuk mendekati Allah, gunakanlah rasa kedekatan yang
menghapiri kemauan kita. Artinya, munculnya rasa dekat kepada
Allah bukan hasil dari kemauan kita sendiri tetapi Allah jua yang
mendatangkannya. Akal kita tidak mungkin mampu mendatangkan
rasa dekat kepada Allah, dan lebih mustahil lagi apabila rasa dekat
itu muncul dari hawa nafsu kita. Nah, apabila muncul rasa dekat
maka manfaatkanlah perasaan tersebut mendekati Allah dengan cara
meyakini bahwa yang ada di balik rasa dekat itu adalah Allah jua.
Ibaratnya, bila kita merasakan asin pada sesuatu maka kita pasti
meyakini bahwa di balik rasa asin itu pasti ada garam, atau di balik
rasa pedas itu pasti ada cabe.
Namun, ingatlah bahwa datangnya rasa dekat kepada Allah
tidak terlepas dari kesungguhan kita dalam berniat dan berusaha
mendekati Allah dengan tetap menyerahkan sepenuhnya kepada
Allah akan datangnya rasa dekat. Jangan pernah mengandalkan niat
dan usaha untuk mendekati Allah, tetapi andalkanlah Allah untuk
mendatangkannya melalui niat dan usaha yang maksimal dengan
tetap berdoa dan berharap kepada-Nya. Wallaahu a’lam.
148

Kalam Sirri 97

Mendatangi 2
Wahai hamba-Ku:
Dan datanglah kepada-Ku melalui sifat-sifat-Ku, dengan
meninggalkan segala kemauanmu. Sedangkan Aku akan berada
padamu dengan segala kemauan-Ku terhadap dirimu, melalui
sifat-sifat-Ku yang telah engkau datangi.

Dekatnya Allah dengan seorang hamba tidak dapat


digambarkan dengan permisalan apa pun. Al-Qur‟an menggambar-
kan bahwa Dia lebih dekat daripada urat nadinya. Bahkan, kata
„dekat‟ pun tidak mampu mewakili keadaan yang sebenarnya. Allah
dekat tetapi tidak menyatu, terpisah tetapi tidak pula berjarak
dengan hamba-Nya. Kedekatan yang sebenarnya adalah
tergambarkan melalui tiupan sifat-Nya yang menjadikan manusia itu
hidup, berdaya, berkehendak, berpengetahuan, mendengar, melihat,
dan berbicara.
Untuk mendatangi-Nya, kita harus mampu menemukan
sifat-sifat Allah itu di dalam diri kita sendiri. Hilangkan rasa memiliki
terhadap diri kita. Rasakanlah bahwa hidup adalah sifat hayat-Nya,
rasakanlah bahwa daya adalah sifat qudrah-Nya, rasakanlah bahwa
kehendak dan kemauan itu adalah sifat iradat-Nya, rasakanlah
bahwa pengetahuan itu adalah sifat ilmu-Nya, rasakanlah bahwa
pendengaran itu adalah sifat sama‟-Nya, rasakanlah bahwa
penglihatan itu adalah sifat bashar-Nya, dan rasakanlah bahwa
perkataan itu adalah sifat kalam-Nya. Hanya dengan mengakui dan
merasakan semua itu sebagai milik Allah yang dapat menjadi
jembatan untuk menemukan keberadaan dan kenyataan Allah di
dalam diri kita sendiri. Wallaahu a’lam.
149

Kalam Sirri 98

Yang Dicari 1
Wahai hamba-Ku:
Wahai Sang Pencinta!
Di manakah “sesuatu” yang engkau cari? Dan tidakkah cukup
bagi-Ku yang telah membuktikan apa-apa yang menjadikan
dirimu sebagai pencari? Dan tidakkah Aku telah meletakkan
pengetahuan yang benar dan lurus pada hatimu, agar
dengannya engkau mengetahui sebuah kebenaran dari yang
pantas dicari?
Dan tentunya akan menjadi sesuatu kesia-siaan belaka bagi
hamba yang mencari, apabila diri mereka masih disibukkan
menjadi pencari.

Di manakah Tuhan yang kita cari selama ini? Perlu disadari


bahwa adanya „keinginan‟ di dalam diri untuk mencari Tuhan itu
adalah merupakan karunia dari Allah Swt jua. Yang menjadikan diri
kita sebagai pencari adalah Allah sendiri. Kalau begitu, dalam proses
pencarian terhadap Allah sesungguhnya di balik pencarian itu adalah
hidayah Allah jua.
Allah telah meletakkan kefitrahan di dalam hati kita sebagai
makhluk yang mengakui akan adanya Tuhan. Siapa pun kita, pasti
mengakui adanya Tuhan di dalam hati kita kecuali bila mendustai
kata hati sendiri.
Namun, perlu diingat bahwa bagaimana pun juga sebagai
makhluk, kita tidak akan mungkin dapat menemukan Tuhan kecuali
bila diperkenankan oleh-Nya. Agar Allah memperkenankan kita
untuk menemukan diri-Nya, maka jalan yang harus ditempuh adalah
menjadi orang yang dicari Tuhan, bukan sebagai pencari Tuhan.
Agar dapat dicari Tuhan, kita harus melakukan segala sesuatu yang
mengundang perhatian-Nya, melalui ibadah dan berbagi kasih
sayang terhadap makhluk-Nya yang lain, menjadi rahmat bagi
manusia dan lingkungan.
150

Kalam Sirri 99

Yang Dicari 2
Wahai hamba-Ku:
Putusnya pencarian adalah ketika engkau lepas dari segala
tuntutan dari kemauan dirimu, dan usahamu hanya terletak
kepada ketenangan dari segala kemauanmu, hingga melaluinya
engkau mendapati-Ku tanpa engkau cari.
Ingatlah, bahwasanya tiada yang lebih kuasa selain dari Aku
untuk mencari diri-Ku sendiri.

Karena seorang hamba mustahil mencari dan menemukan


Tuhannya, maka perjumpaan dengan Tuhan hanya akan terwujud
bila Dia sendiri menjumpai dan mengenalkan diri-Nya kepada
hamba pilihan-Nya. Dan pencarian seorang hamba kepada Tuhan
hanya akan berhenti manakalah ia telah kehabisan akal dan tenaga,
yakni ketika ia sampai pada titik tak berdaya dan pasrah total serta
hanya menunggu untuk disapa oleh-Nya.
Selama seorang hamba merasa mampu untuk bisa
menjumpai Tuhannya maka selama itu pula perjumpaan itu tidak
akan mewujud. Hal itu karena dia telah membangun tirai dan
tembok kokoh yang bernama keakuan diri sebagai pembatas dengan
Tuhannya. Keakuan ini merupakan bentuk takabbur dan orang
takabbur tidak akan pernah mencium aroma perjumpaan dengan-
Nya.
Untuk itu, seorang hamba mutlak mematikan ego atau
keakuannya dan membiarkan sifat Allah yang ada pada dirinya
sebagai pencari kepada Zat-Nya sendiri. Seorang hamba harus lebur
dalam sifat-Nya, sehingga dia tidak lagi merasa hidup kecuali dengan
hayat-Nya, tidak lagi merasa berdaya dan berkemauan kecuali
dengan qudrah dan iradah-Nya, tidak lagi merasa berpengetahuan
kecuali dengan ilmu-Nya, tidak lagi merasa mendengar, melihat, dan
berbicara kecuali dengan sama‟, bashar, dan kalam-Nya. Laa hawla
walaa quwwata illaa bi Allaah. Wallaahu a’lam
151

Kalam Sirri 100

Kedekatan 1
Wahai hamba-Ku:
Dekatnya Aku bagimu tiada lagi bisa dikatakan dekat, dan
jarak-Ku bagimu tiada lagi bisa dikatakan berjarak, karena
sesungguhnya Aku tidak dekat dan tidaklah pula diumpamakan
jauh, namun cukuplah Aku-lah yang ada dalam keberadaanmu
ketika dekat dan jauh itu Aku.

Ruh pada diri manusia adalah tiupan sifat Allah pada


jasadnya. Tiupan itu tidak pernah berhenti selagi manusia memiliki
hayat di dunia ini. Karena ia adalah sifat-Nya, maka gambaran
kedekatan Tuhan dengan manusia tidak bisa terwakili oleh kata
„dekat‟ itu sendiri. Karena ruh adalah sifat, tentu tidak bisa disebut
sebagai zat. Antara sifat dan zat memang berbeda tetapi tidak bisa
dipisahkan oleh jarak apa pun. Sedekat apa pun manusia dengan
Tuhan maka ia tidak akan pernah menjadi Tuhan, dan sejauh apa
pun manusia dengan Tuhan maka ia tidak akan pernah berjarak
dengan-Nya. Keduanya tidak menyatu dan tidak pula terpisah. Yang
mempertemukan keduanya hanyalah rasa nurani para pecinta.
Di sinilah kekeliruan dari para pengkaji tasawuf yang
menganggap bahwa tujuan para sufi adalah menyatu dengan Tuhan
(ittihad), atau menganggap bahwa wujud yang ada ini hanyalah
wujud tuhan (wahdatul wujud/panteisme), atau ditempati tubuhnya
oleh Tuhan (hulul). Semua istilah ittihad, wahdatul wujud, dan hulul
dengan makna yang demikian adalah berasal dari kesimpulan para
pengkaji yang tidak pernah merasakan apa yang disimpulkannya.
Padahal, para sufi dalam mengungkapkan pengalaman rasanya selalu
tak akan mampu menggambarkan dengan bahasa apa pun. Siapa
yang tidak pernah merasakannya maka ia tidak akan mengerti yang
dimaksud (man lam yazuq lam ya’rif). Kalau ada ungkapan dari mereka
yang berkonotasi ittihad atau hulul itu dalam makna yang hanya
mereka sendiri yang memahaminya. Wallaahu a’lam.
152

Kalam Sirri 101

Kedekatan 2
Wahai hamba-Ku:
Aku itu dekat bukan hanya sebatas perkataan. Dan arti dari
kata “dekat” tidak terjabar dalam akal dan pikiran, hanya rasa
dan perasaan yang lebih mengetahui makna “dekat”, maka
letakkan “dekat” mu di atas “rasa”, niscaya ia akan membawamu
kepada Aku tanpa ada lagi hijab.

Sebagaimana disebutkan di atas, kata „dekat‟ tidak dapat


menggambarkan dekatnya Allah dan hamba-Nya. Hal itu karena
kata „dekat‟ adalah bahasa akal yang selalu mengaitkannya antara
satu objek dengan objek lainnya. Karena ruh manusia dan zat Allah
adalah sesuatu yang tidak terjangkau dengan akal maka sulit
ditemukan suatu kata yang pas untuk menjelaskan kedekatan
keduanya. Jangankan dekatnya ruh manusia dengan Allah, dekatnya
gula dan manis saja tidak bisa digambarkan oleh akal. Namun, rasa
dapat membedakan mana zat gula dan mana rasa manis, dan rasa
mengerti bahwa zat gula dan rasa manis adalah sesuatu yang sangat
dekat dan tak berjarak, walaupun keduanya berbeda. Begitu pula
sulitnya membahasakan dekatnya orang tua dengan anaknya. Rasa
kasih sayang antara keduanya pasti mengerti kedekatan kedua,
walaupun kedekatan yang dirasakan tak mungkin untuk dijelaskan.
Begitu pula dengan kedekatan Allah dengan hamba-Nya.
Sulit untuk dijelaskan dengan menggunakan bahasa. Jika rasa nurani
seseorang sedang hidup, ketika tiba padanya rasa dekat dengan Allah
maka ia mengerti apa yang dimaksud dengan kedekatan itu. Akal
dapat mengerti dan memahami maksud kedekatan itu, namum
bahasa lisan tak mungkin untuk menjelaskannya.
Rasa dekat dengan Allah itu timbul karena sebagai dari Allah
bagi hamba-Nya, sehingga tugas hamba adalah meyakini bahwa ada
Allah di balik rasa dekat itu. Ia tidak boleh berhenti pada perasaan
dekat, tetapi harus melanjutkannya dengan keyakinan bahwa ada
Allah di balik rasa dekat itu. Wallaahu a’lam.
153

Kalam Sirri 102

Kedekatan 3
Wahai hamba-Ku:
Engkau tempat Aku menyingkap diri-Ku melalui sifat-sifat-Ku
yang berkehendak dalam dirimu. Engkau dapat lebur dalam sifat-
Ku, tapi engkau tetap terpisah daripada Zat-Ku tanpa
berperantara.

Sifat Allah yang ditiupkan di dalam diri manusia mencakup


hayat, qudrah, iradah, ilmu, sama‟, bashar, dan kalam. Sifat-sifat
tersebut tentu tidak terpisah dengan zat-Nya. Oleh karena itu, bila
hendak menemukan Allah di dalam diri kita maka leburlah ke dalam
sifat-sifat tersebut. Artinya, hilangkanlah rasa memiliki hidup
kemudian rasakanlah bahwa yang hidup di dalam diri kita adalah
sifat-Nya; hilangkanlah rasa memiliki daya dan kehendak lalu
rasakanlah bahwa daya dan kehendak itu adalah sifat-Nya;
hilangkanlah rasa memiliki ilmu kemudian rasakanlah bahwa ilmu
itu adalah sifat-Nya; hilangkanlah rasa memiliki pendengaran,
penglihatan, dan perkataan lalu rasakanlah bahwa itu semua adalah
sifat-Nya.
Ketika seorang hamba dalam kepapaan dari rasa memiliki
sesuatu maka di situlah ia akan menemukan segala sesuatu adalah
milik-Nya, sebagaimana firman-Nya “Dan (rasakanlah) bahwa segala
yang di timur dan di barat adalah milik-Nya sehingga ke mana pun
engkau palingkan wajahmu maka di sana akan engkau temukan
wajah-Nya.” (QS. 2/115)
Inilah kedekatan yang tiada lagi berjarak dan berprantara.
Namun, walaupun manusia telah lebur ke dalam sifat-sifat Allah
namun manusia tetaplah terpisah dari zat-Nya. Kedekatannya dapat
ditemukan di dalam rasa setiap hamba yang bersih hatinya.
154

Kalam Sirri 103

Kedekatan 4
Wahai hamba-Ku:
Sifatmu denganmu tiada bercerai dan berperantara. Begitu juga
sifat-Ku dengan zat-Ku, tiada bercerai dan berperantara. Oleh
karena itu, leburlah dirimu kepada sifat-sifat-Ku sehingga
engkau dengan zat-Ku tiada bercerai dan berperantara.

Sifat yang kita miliki tentu tidak terpisah dengan diri kita
sendiri. Misalnya, kita seorang pemaaf maka sifat pemaaf itu melekat
bersama diri kita. Kita dan sifat pemaaf itu adalah dua hal yang
berbeda tetapi tidak dapat diceraikan.
Sifat Allah dan zat Allah adalah dua hal yang berbeda, tetapi
tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya. Di dalam diri kita ada sifat-
sifat Allah, yaitu sifat-Nya yang ditiupkan ketika memberikan ruh
pada jasmani kita. Tiupan sifat Allah itu menjadikan kita hidup,
berdaya, berkehendak, dan seterusnya. Nah, untuk mengenal zat
Allah maka harus lebur dalam sifat-Nya yang ada di dalam diri.
Lebur yang dimaksud di sini adalah hilangnya rasa memiliki hidup,
daya, kehendak dan seterusnya sehingga terasa bahwa yang hidup,
berdaya, berkehendak, dan seterusnya adalah Allah. Fana atau lebur
ke dalam sifat Allah bukan berarti kesadaran diri juga menjadi
hilang. Kita tetap dalam keadaan sadar dan akal tetap berfungsi,
tetapi kesadaran akal hanya dapat menyaksikan diri kita dalam
keadaan yang bergantung sepenuhnya kepada Allah. Diri kita tidak
memiliki daya kecuali beserta dengan Allah, tidak memiliki daya
kecuali beserta Allah, tidak memiliki kehendak kecuali beserta Allah,
dan seterusnya. Wallaahu a’lam.
155

Kalam Sirri 104

Penyaksian 1
Wahai hamba-Ku:
Keberadaan-Ku terlampau jauh untuk dikenal oleh egomu,
Kenyataan-Ku teramat jauh bila disentuh oleh akalmu,
dan tanda-tanda-Ku terlalu samar bagi penglihatanmu,
kecuali jika engkau himpun dalam penghabisan,
dan engkau sentuh Aku dalam “rasa”, yang habis daripada ia
merasa, niscaya “rasamu” Aku ganti dengan penyaksian kepada
zat-Ku semata.

Tiada Yang pantas meng-Aku kecuali Allah sehingga ketika


diri memiliki keakuan maka pada saat itu pula keberadaan Allah
mustahil untuk dikenali. Ego terbangun oleh kombinasi hawa nafsu
dan akal sehingga melahirkan rasa memiliki. Yakni, rasa memiliki
hidup, daya, ilmu, harta, dan lain sebagainya. Padahal, semua itu
milik-Nya yang dititipkan pada diri kita.
Pengetahuan akal dominan diperoleh dari informasi yang
diberikan panca indra yang kemudian disusun secara logis, padahal
Allah bukanlah sesuatu yang bisa dijangkau oleh indra dan logika
manusia. Maka, semakin berusaha mencari tuhan dengan akal maka
semakin jauh pula untuk menyentuh keberadaan-Nya. Pengetahuan
akal tentang keberadaan Tuhan paling tinggi hanya sampai pada
kesimpulan bahwa Dia itu ada. Akal hanya mempu menemukan
tanda-tanda keberadaan-Nya melalui asma, sifat, dan af‟al-Nya,
tetapi mustahil untuk menemukan zat-Nya.
Ego dan akal beserta perangkat indrawinya mutlak untuk
dihentikan untuk mengenal dan menyaksikan kenyataan Allah, dan
beralih menggunakan kendaraan baru yang bernama rasa pada hati.
Puncak rasa adalah ketika ia tidak lagi merasakan akan keberadaan
dirinya sendiri, sehingga yang merasa adalah Allah jua. Pada saat
itulah, seseorang akan lebur dalam sifat Allah dan menyaksikan
kenyataan-Nya melebihi kenyataan dirinya sendiri. Inilah syahadat
yang sebenar-benarnya. Wallaahu a’lam.
156

Kalam Sirri 105

Penyaksian 2
Wahai hamba-Ku:
Engkau akan direndahkan oleh hawa nafsumu, namun engkau
akan ditinggikan dari makhluk lainnya dengan akalmu, dan
engkau akan dimuliakan dengan sifat-Ku yang ada pada
nuranimu, maka hendaklah engkau lebur ke dalamnya hingga
datang waktu di mana engkau dapat menyaksikan zat-Ku.

Apabila manusia menuruti dorongan hawa nafsunya maka


pasti akan direndahkan karena ia telah mengikuti keinginan jasmani
pada dirinya seperti halnya hewan mengikuti dorongan nafsunya.
Apabila manusia menggunakan daya akalnya maka tentu dia
banyak berpikir dan berkarya. Dengan daya pikir dan kreasinya,
manusia akan mendapatkan posisi yang tinggi di antara manusia dan
makhluk yang lain.
Dan apabila manusia mengikuti dorongan hati nuraninya
maka dia akan dimulikan oleh seluruh makhluk, bahkan dimuliakan
oleh Sang Khaliq. Hati nurani adalah taman pertemuan antara
manusia dengan Allah. Untuk menyaksikan kenyataan Allah,
manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan, kecuali Allah
mengenalkan diri-Nya sendiri. Tugas manusia adalah senantiasa
mendengarkan kata hatinya, melihat dengan hati, dan berbuat
dengan hatinya sembari menanti karunia Allah menyapa dirinya.
Karena itu, kita hendaknya terus berharap dan maksimalkan
usaha untuk mendatangi Allah, hingga Allah berkenan membuka
tirai-Nya dan memperkenalkan diri-Nya.
157

Kalam Sirri 106

Penyaksian 3
Wahai hamba-Ku:
Janganlah engkau kira Aku bersembunyi di balik apa-apa yang
engkau pandang, karena sebenarnya penglihatanmulah yang
menyembunyikan Aku terhadapmu. Begitu pun perasaan yang
merasai akan keberadaan-Ku, di mana sesungguhnya sebelum ia
datang kepada-Ku, rasamu telah Aku liputi dengan segala
pengetahuan dan cara untuk datang kepada-Ku.

Allah adalah Zat Yang Maha Nyata (al-Zhahir) bagi hamba


yang telah bersih hatinya dari keakuan diri atau bersih dari ego dan
rasa memiliki sesuatu. Raga dengan segala perangkatnya adalah milik
Allah sebagai bungkusan bagi jiwa yang telah ditiupkan-Nya di
dalam diri manusia. Dengan tiupan sifat tersebut, antara manusia
dengan Allah pada dasarnya tidak pernah terpisah dan tiada pula
berjarak, walaupun juga tidak menyatu. Mengapa Allah Swt tidak
terpandang? Sebabnya adalah kita merasa kita yang memandang,
sehingga ego kita yang bekerja. Namun, jika kita lepaskan ego kita,
maka akan terasa Allah yang memandang sekaligus yang dipandang.
Kedekatan Allah dengan manusia yang tak bisa digambarkan
itu ternyata mampu dipisahkan oleh ego manusia, sehingga manusia
tidak mampu memandang kenyataan-Nya. Padahal, di dalam nurani
manusia terdapat rasa sebagai jembatan penghubung langsung
antara hamba dengan Tuhannya. Bahkan, rasa tersebut sudah
dibekali pengetahuan atau makrifat oleh Allah sebelum manusia
memanfaatkannya untuk menyentuh keberadaan-Nya Yang Maha
Nyata. Rasa nurani tidak memerlukan penjelasan akal tentang siapa
tuhan yang sebenarnya, karena sejak semula rasa nurani telah
mengenal Zat Allah. Hanya nafsu yang berkolaborasi dengan akal
sehingga melahirkan ego yang menjadi tembok tebal sehingga
menghijab antara bayangan dengan bendanya, antara sifat dan
Zatnya, dan antara hamba dengan Tuhannya. Wallaahu a’lam.
158

Kalam Sirri 107

Penyaksian 4
Wahai hamba-Ku:
Aku Maha Menyaksikan terhadap segala sesuatu yang berawal
dan berakhir, dan hanya kepada-Ku semua perkara akan
kembali. Dan dirimu tiada pernah ditegakkan di hadapan-Ku,
melainkan sebelumnya telah Aku berikan penglihatan untuk
menyaksikan diri-Ku yang berada pada hati nuranimu.
Maka sungguh suatu kebutaan yang amat gelap bagi hamba
bilamana Aku yang Maha Besar lagi Agung tiada terpandang
di hadapannya, padahal dari tangan-Ku ia makan dan minum
dan bahwasanya dengan selimut-Ku (malam) ia tidur tanpa
sekejap pun Aku lengah dalam menjaganya.

Segala sesuatu yang berawal dan berakhir adalah makhluk


ciptaan Allah, Dia menyaksikan semua proses itu. Bahkan, Allah
pula yang mengawali kejadian tiap sesuatu dan Dia pula yang
mengakhirinya karena segala sesuatu berada dalam genggaman
kekuasaan dan kehendak-Nya. Dialah Allah Yang Awal sebagai
sumber dari segala yang berawal, sekaligus Yang Akhir sebagai akhir
dari segala sesuatu.
Sebelum lahir ke dunia, manusia telah diberi kesempatan
oleh Allah untuk menyaksikan diri-Nya saat diambil janjinya. Setelah
lahir pun, manusia dilengkapi potensi untuk menyaksikan Allah
melalui hati nuraninya.
Daya dan kehendak untuk makan dan minum pada diri
manusia adalah juga karunia dari-Nya. Daya dan kehendak itu
selamanya Allah tiupkan dan tanpa pernah terhenti hingga ajalnya
tiba. Ketika tertidur pun, Allah senantiasa tetap meniupkan hayat
untuk bisa tetap bernapas tanpa campur tangan manusia. Bila saja
manusia merasakan dan mengakui kepemilikan hayat, daya, dan
keinginan yang ada pada dirinya adalah milik Allah tentulah ia akan
memandang kenyataan Allah yang lebih nyata daripada dirinya
sendiri. Wallaahu a’lam.
159

Kalam Sirri 108

Penyaksian 5
Wahai hamba-Ku:
Aku-lah Tuhan yang selalu berada di balik apa yang engkau
rasa. Dan hanya Zat-Ku yang selalu berada di balik apa-apa
yang engkau rasa terhadapnya.
Sesungguhnya hamba-hamba yang merasakan Aku ada, maka ia
hamba-hamba yang dipandang. Dan bila ia melihat apa-apa yang
di balik pandangan rasa, dialah hamba yang memandang.

Allah bukanlah rasa tetapi Dia ada di balik rasa. Rasulullah


mengajarkan bahwa dalam ibadah ada dua posisi yang mutlak
ditempati oleh seorang hamba, yaitu merasa dipandang Allah atau
merasa memandang Allah.
Maksud dari “merasa dipandang Allah” adalah ketika
seorang hamba meyakini bahwa Allah itu ada, Dia melihat apa yang
ia lakukan, Dia mendengar apa yang ia ucapkan, Dia mengetahui apa
yang ia pikirkan, Dia mengatur alam seluruhnya, dan seterusnya.
Adapun maksud dari “merasa memandang Allah” adalah
ketika seorang hamba tidak hanya meyakini keberadaan-Nya, tetapi
juga merasakan secara langsung bahwa di balik kehidupannya ada
hayat-Nya, di balik kekuatannya adalah qudrah-Nya, di balik
kehendaknya adalah iradat-Nya, di balik pengetahuannya adalah
ilmu-Nya, di balik pendengarannya adalah sama‟-Nya, di balik
penglihatannya adalah bashar-Nya, dan di balik ucapannya adalah
kalam-Nya.
Semoga Allah menjadikan hati kita lebih sensitif dalam
merasakan keberadaan dan kenyataan-Nya melalui kepasrahan dan
ketergantungan total pada-Nya.
160

Kalam Sirri 109

Penyaksian 6
Wahai hamba-Ku:
Aku akan selalu bersama dirimu apabila engkau lepaskan hatimu
dari kebersamaan selain diri-Ku. Dan Aku akan disaksikan
selagi engkau menyaksikan hatimu lebur dalam nuranimu.
Sesungguhnya hamba-hamba yang meyakini dan beriman yang
benar kepada-Ku adalah hamba-hamba yang menyaksikan
kenyataan-Ku melebihi dari kenyataan dirinya sendiri.

Ketunggalan Allah al-Ahad hanya akan ditemukan apabila


menjadikannya sebagai al-Shamad, yakni tempat bergantung seluruh
apa yang ada pada diri kita. Yakni, ketika kita dapat merasakan
bahwa hidup kita bergantung pada-Nya, daya dan kehendak kita
bergantung pada-Nya, ilmu dan pengetahuan kita bergantung pada-
Nya, pendengaran, penglihatan, dan perkataan bergantung pada-
Nya.
Dalam keadaan merasa papa, tiada hidup, daya, kehendak,
ilmu, pendengaran, penglihatan, dan perkataan kecuali merasakan
semua itu bersama dengan-Nya, maka itulah yang disebut dengan
leburnya hati di dalam nurani. Ketika hati lebur dalam nurani maka
di sanalah Allah akan menyatakan dirinya sebagai Zat Yang Maha
Nyata. Pada saat itulah seseorang tidak lagi melihat keberadaan
dirinya sendiri, seperti halnya Musa a.s. yang tidak lagi mampu
melihat gunung yang ada di hadapannya, karena yang nyata hanyalah
Allah semata. Inilah syahadat yang sebenar-benarnya dan ini pulalah
keimanan yang sejati. Wallaahu a’lam.
161

Kalam Sirri 110

Penyaksian 7
Wahai hamba-Ku:
Aku bukan rasa dan bukan pula di dalam rasa, Aku akan
tampak nyata setelah engkau berdiri di puncak rasa, ketika
rasamu merasai dirinya sendiri hingga ianya tiada lagi merasa
kecuali menjadi sebuah penyaksian akan kenyataan-Ku di dalam
dirimu sendiri.

Allah Swt hanya dapat disentuh dengan rasa nurani di dalam


diri manusia. Namun, Allah bukanlah rasa nurani itu sendiri dan
tidak pula berada di dalam rasa tersebut. Untuk menemukan
kenyataan Allah di dalam diri, manusia harus berada pada puncak
rasa nuraninya sendiri, yaitu ketika rasa nurani tersebut merasai
dirinya sendiri. Ketika rasa nurani merasai dirinya sendiri maka pada
saat itu kedirian manusia tidak lagi merasakan apa-apa, termasuk
merasakan keberadaan dirinya sendiri. Yang ada hanyalah
penyaksian sifat akan kenyataan zat Allah Yang Maha Nyata.
Nurani adalah tiupan sifat Allah yang menjadi sumber
penciptaan ruh manusia. Ketika manusia dapat lebur ke dalam sifat
Allah tersebut yang ada di dalam dirinya, maka kediriannya telah
hilang sehinggga yang dirasakan adalah tenggelam dalam rasa
nuraninya sendiri. Ingat, lebur ke dalam nurani berarti merasa
bersama nurani yang merupakan sifat Allah, dan sifat Allah tidak
pernah berjarak dengan zat-Nya sendiri. Untuk itu, hendaklah kita
bertawakal dengan merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada
Zat Tempat bergantung segala sesuatu untuk menemukan
ketunggalan Allah di dalam diri kita sendiri! Wallaahu a’lam.
162

Kalam Sirri 111

Pandangan
Wahai hamba-Ku:
Kebutaan yang awal bagimu adalah ketika engkau membawa
keinginan ego dan hawa nafsumu dalam setiap pandangan. Dan
maka tiadalah suatu yang terang bagimu melainkan pada
pandanganmu telah terdapat apa-apa yang telah Aku kehendaki
di saat engkau memandang.

Ego yang merupakan keakuan atau kepemilikan atas apa


yang melekat pada diri adalah tembok paling kuat dan kokoh untuk
dapat ditembus oleh setiap orang yang hendak menemukan
keberadaan dan kenyataan Allah. Ketika kita “merasa memiliki”
ilmu pengetahuan syariat yang cukup atau merasa memiliki amal
ibadah yang banyak, lalu “mengandalkannya” maka itulah hijab yang
mustahil untuk dibuka. Apalagi ilmu dan amal tersebut didasari atas
dorongan hawa nafsu. Berjalan menuju Allah mutlak mengandalkan
Allah sebagai Zat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Sebagai
hamba, kita wajib berusaha memeroleh ilmu agama yang cukup dan
amal ibadah yang maksimal sembari berharap kepada Allah agar
membukakan pintu-pintu rahasia-Nya.
Apabila Allah berkenan, setelah kita mengandalkan-Nya
dalam berjalan menuju pada-Nya, Dia akan membukakan hijab itu
sehingga apa yang terpandang adalah kebenaran yang sejati,
pengetahuan yang pasti, bukan pengetahuan atas dasar hasil bacaan,
diskusi, atau pun olah nalar dan logika belaka. Semoga Allah
menuntun dan membimbing kita menuju pada-Nya. Wallaahu a’lam.
163

Kalam Sirri 112

Penyingkapan 1
Wahai hamba-Ku:
Jadikanlah segala isi alam ini cermin bagimu, dan jadikanlah
segala apa yang ada padamu cermin dari pada Aku. Karena
sesungguhnya Aku menceritakan dan membeberkan diri-Ku
melalui dirimu.

Makrokosmos merupakan perwujudan yang merepresentasi-


kan mikrokosmos yang ada pada diri manusia. Dalam ilmu fisika,
seluruh unsur atom yang ada dalam semesta juga ada pada diri
manusia. Dari sisi kewujudan, alam semesta merupakan kreasi
Wujud Mutlak sehingga semesta tergantung pada keberadaan-Nya,
sama seperti kewujudan diri kita sendiri. Olehnya itu, melihat alam
semesta pada dasarnya melihat kewujudan fisik diri kita sendiri.
Kalau tubuh jasmani manusia adalah representasi dari alam
semesta, maka tubuh rohani manusia adalah representasi dari alam
metafisika atau ketuhanan. Jasmani adalah benda mati bila tidak
digerakkan oleh ruh pada diri kita. Ruh ini merupakan tiupan sifat
Allah di dalam diri kita.
Sifat dan zat tidak pernah bercerai dan terpisah, sehingga
ruh kita tidak pernah terpisah dari zat Allah. Hanya ego dan hawa
nafsu kita sajalah yang mampu memisahkan keduanya. Semoga kita
dapat menjadikan diri kita cermin dari Allah sehingga dapat
menemukan nyatanya Allah di dalam diri kita sendiri. Wallaahu a’lam.
164

Kalam Sirri 113

Penyingkapan 2
Wahai hamba-Ku:
Bila engkau melihat Aku dalam dirimu, sebagaimana engkau
melihat Aku dalam segala sesuatu, niscaya berkuranglah cintamu
terhadap dunia.

Allah adalah Zat Yang Maha Nyata yang dapat ditemukan


keberadaan dan kenyataan-Nya bagi setiap hamba yang lepas dari
segala bentuk ego atau rasa memiliki pada hatinya. Dalam kondisi
hati yang penuh kepapaan dan ketergantungan sepenuhnya kepada
Allah, rasa nuraninya akan menemukan kenyataan Allah yang
meliputi dirinya sendiri. Apa yang disaksikan oleh rasa nuraninya itu
akan melihat kenyataan Allah meliputi segala sesuatu, tidak hanya
meliputi dirinya sendiri tetapi juga meliputi seluruh alam semesta.
Apa yang disaksikan pada dirinya adalah sama dengan apa yang
disaksikan di luar dirinya. Ibarat ombak yang dapat melihat air laut
pada dirinya dan dapat pula merasakan keseluruhan di luar dirinya
tiada lain adalah air laut yang ada pada dirinya sendiri.
Penyaksian seorang hamba terhadap Zat Yang Maha Indah
itu tentu akan menghilangkan nilai dan keindahan segala sesuatu di
dunia ini dari hatinya. Indahnya cinta dan kasih sayang Allah pada
dirinya akan melebihi nilai cindramata-Nya yang telah diterimanya
selama ini, baik berupa harta, jabatan, kedudukan, keluarga, maupun
lainnya. Semoga benih rindu dan cinta di dalam hati kita tetap diberi
kesempatan oleh Allah untuk tumbuh dan berkembang hingga
saatnya nanti mekar dan berbagi wangi dan keindahan bagi semesta
alam. Wallaahu a’lam.
165

Kalam Sirri 114

Penyingkapan 3
Wahai hamba-Ku:
Engkau ibarat bulan yang bersinar karena menerima cahaya dari
matahari, berputar mengelilinginya, dan tak akan pernah
mendekat dan tak pula dapat menjauhinya. Sekedar cahayanya
yang engkau harapkan untuk keelokan rupamu. Karena, tanpa
cahaya engkau tak akan pernah ditemukan sebagai bulan.

Manusia ibarat bulan yang bersinar. Bulan bersinar karena


mendapatkan cahaya dari matahari. Cahaya matahari itulah yang
dipantulkan sehingga seakan bulan memiliki cahaya. Bulan beredar
sesuai rotasinya mengitari bumi dan bumi sendiri mengelilingi
matahari. Itulah takdir bulan yang terus bergerak yang tidak terlepas
menjauh dari matahari dan tidak pernah pula mendekat menyatu
padanya.
Untuk menemukan bulan dengan segala keindahannya, tentu
ia butuh cahaya matahari. Begitu pula dengan manusia. Manusia
tidak pernah ditemukan kecuali adanya tiupan dari Allah Swt.
Tiupan inilah yang menjadikan manusia hidup, berpengetahuan,
berdaya, berkehendak, melihat, mendengar, dan berbicara. Tanpa
adanya tiupan, maka manusia tidak akan pernah ada. Kedekatan
manusia dengan Allah ibarat kedekatan bulan dengan matahari,
keduanya tidak pernah terpisah dan tidak pula menyatu. Hubungan
bulan dengan matahari disatukan dalam cahayanya, dan hubungan
manusia dengan Allah dihubungkan dengan merasakan tiupan-Nya
di dalam hati nurani. Wallaahu a’lam.
Semoga Allah yang tiada berjarak dengan kita dapat
dirasakan kenyataan-Nya, melebihi terangnya matahari bagi bulan.
166

Kalam Sirri 115

Penyingkapan 4
Wahai hamba-Ku:
Engkaulah tempat Aku menyingkap rindu-Ku, dan engkau jua
tempat bernyata cinta-Ku terhadap diri-Ku sendiri, maka
jadikanlah segala sesuatu yang tertumpu pandanganmu sebagai
tempat engkau mengungkapkan rindu dan cinta hanya kepada-
Ku, niscaya dengan itu Aku akan singkap segala hijab bagimu
untuk memandang Zat-Ku.

Hakikat jati diri manusia adalah ruh yang berasal dari sifat
Allah yang ditiupkan. Sebagai sifat, manusia sejatinya tidak berjarak
dan terpisah dari zat Allah. Ketika seorang hamba sudah
menemukan jati dirinya maka pasti akan penasaran dengan rasa
rindu yang menyesakkan dadanya. Ketika ia dibukakan hijab walau
dalam sekejab maka akan bergeloralah cintanya kepada Allah.
Sesungguhnya, ketika cinta berbalaskan maka segala sesuatu
yang terjangkau mata, telinga, hidung, akal dan hati akan menjadi
sandaran rindu kepada Sang Kekasih, karena semua itu adalah
cindramata dari-Nya. Di sinilah sifat yang merindui zat-Nya, sifat
yang mencintai zat-Nya dan sebaliknya. Inilah masa ketika terwujud
perindu yang dirindui dan pecinta yang dicintai.
Wahai Perindu dan Pecinta Sejati, biarkanlah benih rinduku
menyemaikan cinta pada-Mu walaupun secuil dan jangan biarkan ia
tercerabut dari hatiku.
167

Kalam Sirri 116

Kenyataan 1
Wahai hamba-Ku:
Cukup Aku-lah yang berada pada kalimat-kalimat pengakuanmu
pada dirimu, dan cukuplah “rasamu” ada untuk merasakan Aku
berada padanya merasa. Dan dengannya engkau hidup dan
bernyata di hadapan-Ku.

Karena manusia adalah makhluk yang sebelumnya pernah


tiada, maka keberadaannya adalah bergantung kepada Yang
mengadakannya. Kehidupan, kekuatan, kehendak, dan lainnya pada
diri manusia adalah tiupan dari Yang Maha Hidup, Maha Kuat,
Maha Berkehendak, dan seterusnya. Oleh karena itu, manusia
tidaklah pantas memiliki keakuan pada dirinya. Secara hakiki,
manusia bergantung kepada Allah, tetapi mengapa ia memiliki ego
dan keakuan diri. Lalu, bagaimana menemukan kehampaan diri dan
ketidakberdayaan itu?
Jawabannya tidaklah untuk dipikirkan, tetapi untuk
dirasakan. Ketika nuraninya merasa, setelah hati bersih dari segala
bentuk ketergantungan selain Allah, maka manusia akan merasakan
kenyataan Allah di dalam dirinya. Dengan kenyataan itu, manusia
akan mengerti bahwa yang hidup dan nyata dalam dirinya adalah
Allah jua. Wallaahu a’lam.
Semoga hati kita tetap dibimbing dan diberi taufik untuk
sampai pada titik nol dan hampa dari segala bentuk ketergantungan
selain kepada-Nya.
168

Kalam Sirri 117

Kenyataan 2
Wahai hamba-Ku:
Aku yang bersamamu bukanlah untuk diceritakan, namun ia
hanya untuk dinyatakan jelas dalam rasamu, hingga
kenyataan-Nya melebihi dari apa yang terlihat terang oleh
penglihatanmu, sebagai bukti yang tiada dapat lagi
membutuhkan keterangan lainnya.
Maka, sesungguhnya tiada kekekalan dalam mata kepalamu
memandang-Ku melainkan apa yang dipandangnya hanya
menjadi tanda bagimu. Sedangkan hati dan rasamu dapat
menyingkap bukti kenyataan-Ku yang jelas berkekalan ke mana
pun wajahmu dipalingkan.

Ketika seorang hamba telah hilang ego kediriannya maka


ego ketuhanan Allah saja yang akan terpandang. Pada saat itulah, ia
akan menyaksikan kenyataan Allah yang memang tidak pernah
berpisah dengan dirinya. Apa yang disaksikan rasa nuraninya adalah
bukti keberadaan dan kenyataan Allah Swt. Ketika hati
diperkenankan merasakan-Nya, maka Maha Nyata-lah Allah itu
sebagai Zat Yang Meliputi segala sesuatu, sehingga ke mana pun
wajah menghadap maka di sana wajah Allah, apa pun yang terdengar
oleh telinga maka di sana wajah Allah. Bila segala kepemilikan di
dunia ini dan di dalam diri kita sendiri dikembalikan kepada Allah,
maka di sanalah hati akan memandang wajah Allah kemana arah
memandang. “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. QS. Al-
Baqarah/2: 115)
Wahai Zat Yang Maha Meliputi, singkapkanlah tirai-Mu
agar kami dapat memandang-Mu ke mana pun mata ini
memandang, dapat mendengar-Mu dari mana pun suara datang, dan
dapat merasakan-Mu pada apa pun yang tersentuh oleh jasmani,
ruhani, dan nurani kami.
169

Kalam Sirri 118

Kenyataan 3
Wahai hamba-Ku:
Tiadalah yang nyata dalam dirimu suatu sifat kecuali sifat-Ku
semata, dan tiada jua yang ada dalam pandangan-Ku jikalau
bukan engkau yang terliputi dalam sifat-Ku.
Tiada yang ada dan nyata dalam dirimu kecuali ada dan nyatanya
Aku yang telah dihijab oleh ego dan hawa nafsumu, hingga
keberadaan-Ku tak engkau rasakan.
Engkau tak akan melihat Aku ada kecuali jika engkau lihat
keberadaan-Ku di balik keberadaan dirimu dengan rasa pada
hatimu.

Sosok kita diidentifikasi sebagai manusia karena padanya


memiliki sifat hidup, berilmu, kuasa, berkehendak, melihat,
mendengar, dan berbicara. Ketika sifat-sifat tersebut tidak ada, maka
tidak bisa disebut manusia kecuali jasad. Sifat-sifat tersebut tidak lain
adalah tiupan dari ruh (sifat) Allah pada jasad manusia. Tiupan
tersebut tidak pernah putus sehingga kebersamaan manusia dengan
Allah tidak pernah berjarak. Hanya hawa nafsu manusialah yang
telah membentangkan jarak, sehingga dengan egonya
menghilangkan kepemilikan sifat-sifat itu sebagai milik Allah.
Akibatnya, manusia tidak lagi mampu melihat keberadaan Allah dan
merasakan kenyataan-Nya di balik sifat-sifat yang ada pada dirinya
sendiri.
Wahai Zat Yang Maha Hidup, perkenankan hamba
merasakan kenyataan-Mu pada setiap hela nafas, detakan jantung,
denyutan nadi dan aliran darahku.
Wahai Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak,
perkenankan hamba merasakan tiada kekuatan dan kehendak pada
diriku kecuali bersama-Mu.
Wahai Zat Yang Maha Mengetahui, ajarkan hamba
merasakan pengetahuan pada diri ini adalah pancaran ilmu-Mu.
170

Wahai Zat Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha


Berkata-kata, ijinkan hamba merasakan keberadaan-Mu di balik
setiap pandangan, pendengaran, dan perkataanku. Sesungguhnya
hanya Engkaulah Zat Yang Maha Nyata dan Maha Meliputi segala
sesuatu.
171

Kalam Sirri 119

Keberadaan 1
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang merasakan keberadaan-Ku di setiap
pandangan, maka Aku jadikan ia tumpuan dari segala
pandangan.

َ َ ْ ُّ َ ُ َ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ۡ
Allah Swt berfirman,
ََّ‫ّلل‬
َّ ‫ّللِ َّإِن َّٱ‬ ُ ۡ َ
َّ ‫ب َّفأحٍِا َّحٔىٔا َّذرً َّوسّ َّٱ‬َّ ‫ق َّ َّوٱلٍغ ِؽ‬
َّ ‫ُش‬ َّ ِ ‫َو‬
ِ ٍ‫ّللِ َّٱل‬
َ ‫َوٰـ ٌع‬
ٞ ِ ‫َّعي‬
َّ١١٥ًَّ‫ي‬ ِ
“Dan milik Allah semua Timur dan Barat, maka ke mana pun kalian
palingkan wajah maka di sana wajah Allah” (QS Al-Baqarah/2: 115).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Timur dan Barat itu adalah
mewakili segala penjuru arah, dan di sana itu adalah wajah Allah.
Bagaimana menemukan wajah Allah di sana? Jawabannya adalah
ketika hati mampu merasakan bahwa segala sesuatu adalah milik
Allah, termasuk diri kita sendiri. Diri kita adalah milik Allah karena
kehidupan kita adalah miliknya, kekuatan kita adalah milik-Nya,
kehendak kita adalah milik-Nya, dan seterusnya. Kalau sudah bisa
merasakan semua itu adalah milik-Nya maka otomatis akan
mengerti bahwa kita benar-benar bergantung kepada Allah karena
semua yang digunakan adalah fasilitas titipan dari-Nya.
Maka, benarlah kalimat bismillahirrahmanirrahim dengan
makna bahwa hanya dengan “bersama Allah Yang Maha Pengasih
dan Penyayang” yang terus memberikan seluruh fasilitas itu
sehingga dapat hidup, berdaya, berkehendak, berpengetahuan,
melihat, mendengar, dan berbicara. Tanpa kebersamaan dengan-
Nya, mustahil kita dapat memanfaatkan semua itu.
Inilah yang dimaksud merasakan keberadaan Allah pada diri
kita sendiri. Kalau sudah demikian, apa yang terpandang maka di
sana akan terasa keberadaan Allah karena sesunggunya pandangan
mata kita terjadi karena adanya Allah yang menyertai dan bersama
172

mata kita. Orang seperti inilah yang akan menjadi tumpuan


pandangan Allah dengan keridaan-Nya, dan tentu menjadi tumpuan
pandangan makhluk-Nya karena keindahan akhlaknya. Semoga
Allah memberikan kesempatan untuk merasakan keberadaan-Nya.
Wallaahu a’lam.
173

Kalam Sirri 120

Keberadaan 2
Wahai hamba-Ku:
Manusia boleh saja mengingkari pemberian-Ku, namun yakinlah
siapapun manusianya tidak akan dapat mengingkari keberadaan-
Ku. Apalagi jika ia berada dalam ketidakberdayaan dan
kefakiran.

Allah yang selalu bersama kita senantiasa memberikan


semua apa yang menjadi kebutuhan kita, walaupun seringkali kita
melupakan-Nya. Bahkan, kita sering mengingkari pemberian itu
sebagai karunia dari-Nya dan merasa bahwa kitalah yang
mengadakan dan mendapatkannya melalui daya dan upaya kita
sendiri.
Namun, satu hal pasti bahwa siapa pun kita tidak akan
mampu mengingkari keberadaan Allah sebagai Tuhan. Orang yang
paling atheis sekalipun ketika dalam keadaan terpojok dan tidak
berdaya pasti akan mencari perlindungan dan pertolongan. Lihatlah
bagaimana Firaun yang tidak saja mengingkari keberadaan Allah
tetapi juga mengangkat dirinya sebagai tuhan. Namun, ketika ia
terdesak dan tidak berdaya ketika mau tenggelam di tengah lautan
barulah ia mengakui bahwa Tuhan itu ada.
Akankah kita menjadi Firaun-Firaun yang hanya beriman
ketika tidak berdaya? Akankah kita menjadi Qarun-Qarun yang akan
beriman ketika kehabisan harta? Ketahuilah, sesungguhnya kita
adalah makhluk yang tiada berdaya dan tiada memiliki sesuatu
karena hanya Allah Yang Maha Kuasa dan Pemilik Kerajaan langit
dan bumi! Wallaahu a’lam.
174

Kalam Sirri 121

Keakuan 1
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya jika engkau ingin merasakan Aku ada, maka
tiadakan pengakuanmu terhadap dirimu, kemudian rasakanlah
kepunyaan-Ku yang ada padamu, niscaya engkau tidak
menemukan hakmu di dalam pengakuan atas kepemilikan
daripada kata ‟Aku‟.

Dengan bersyukur, seorang hamba dapat menghilangkan


keakuan akan segala hal yang melekat pada dirinya. Kehidupan,
kekuatan, kehendak, pengetahuan, dan harta merupakan karunia dan
amanah yang diberikan Allah pada manusia. Karena semua adalah
karunia dari-Nya maka manusia tidak pantas merasa memiliki
kehidupan, memiliki kekuatan, memiliki kehendak, memiliki ilmu
pengetahuan, atau memiliki harta.
Mari syukuri kehidupan karena ia adalah tiupan hayat-Nya
yang bersama kita, syukuri kekuatan karena ia adalah kudrat-Nya
yang bersama kita, syukuri kehendak karena ia adalah iradat-Nya
yang bersama kita, syukuri pengetahuan karena ia adalah ilmu-Nya
yang bersama kita. Dengan merasakan semua itu adalah milik dan
sifat-Nya niscaya seorang kita akan merasakan betapa dekatnya
Allah dengan diri kita, betapa sayangnya Allah pada diri kita, betapa
setianya Allah meliputi diri kita. Hingga saatnya nanti, Allah tibakan
waktu bagi kita untuk merasakan sifat-sifat-Nya itu sehingga tiada
lagi yang pantas meng-AKU di dalam diri kita kecuali ke-aku-an
Allah Swt, semoga! Wallaahu a’lam.
175

Kalam Sirri 122

Keakuan 2
Wahai hamba-Ku:
Sesungguhnya kata “aku” hanyalah milik-Ku, dan ia tiada
boleh terungkap dan terdengar kecuali hanya kepada-Ku saja.
Maka barangsiapa yang mengungkapkan dan
membeberkannya, niscaya ia akan Aku jauhkan dari
keberadaannya (keramaian).
Dan hendaklah ia menjauhkan diri dari kaum yang tuli dan
buta (yang tidak merasakan), baginya diperbolehkan untuk
mendekati diri hanya pada kaum yang memakai penglihatan
dan pendengaran-Ku (yang merasakan).
Janganlah sekali-kali engkau ungkapkan rahasiamu kecuali
kepada Zat yang memberimu rahasia, karena tiadalah Dia
nyatakan rahasia kepadamu jikalau bukan karena engkau jua
bagian dari rahasia-Ku.

Al-Hallaj dan Syaikh Siti Jenar adalah di antara sufi yang


tidak kuasa menyembunyikan ke-aku-an Allah pada dirinya sehingga
terungkaplah rahasia itu di tengah khalayak. Al-Bustami mengatakan
bahwa qutila al-Hallaj li ifsyaa`i sirr Allaah (al-Hallaj dibunuh karena
membocorkan rahasia Allah). Hal yang sama juga dialami oleh
Syaikh Siti Jenar rahimahullah.
Ungkapan-ungkapan seperti maa fi jubbatii illaa Allah (Tiada
sesuatu di balik jubahku kecuali Allah) atau ana al-Haqq (aku adalah
Tuhan Yang Hakiki) hanya boleh disampaikan kepada orang yang
sudah memiliki pengetahuan tentang Allah (ma‟rifatullah) melalui
rasa nuraninya, bukan melalui akal pikirannya semata. Ketika hal itu
disampaikan kepada ahli syariat atau ahli kalam/filsuf, maka akan
mendatangkan penentangan yang berujung kepada penistaan. Dan
memang, Allah telah berjanji bahwa siapa saja di antara hamba-Nya
membocorkan rahasia-Nya di depan orang yang tidak mampu
memahaminya, maka ia akan dijauhkan dari keberadaannya
(dipanggil menghadap kehadirat-Nya). Wallaahu a’lam.
176

Kalam Sirri 123

Keakuan 3
Wahai hamba-Ku:
“Aku” itu adalah lambang kepunyaan-Ku, maka singkirkanlah
keakuan yang terdapat pada dirimu dengan melenyapkan segala
“rasa” kepunyaanmu terhadap dirimu, dan kosongkan jua
kalimat keakuanmu daripada “rasa” pengakuannya sendiri.
Karena, demikian itu adalah gerbang yang pertama untuk
mengenal sifat-Ku dari dalam dirimu sebagai hamba-Ku.

Gerbang pertama bagi seorang hamba untuk menemukan


keberadaan Allah adalah dengan kepasrahan pada titik nol (musliman)
dimana ia merasa tiada daya dan kekuatan kecuali daya dan kekuatan
Allah yang bersama dengan dirinya (laa hawla walaa quwwata illaa bi
Allaah). Dengan pengakuan yang didasari pembuktian melalui
rasanya bahwa daya dan kekuatan yang ada pada dirinya adalah milik
Allah, niscaya seorang hamba akan menemukan pula bahwa tiada
kehidupan, tiada pengetahuan, tiada penglihatan, tiada pendengaran,
dan seterusnya kecuali milik Allah yang bersama dirinya.
Demikianlah betapapun, suka atau tidak, manusia itu benar-
benar bergantung kepada Allah, dan benar-benar dekat dengan-Nya
melebihi urat nadinya sendiri. Hanya dengan keakuan atau ego pada
dirinyalah yang telah membangun tembok yang maha kokoh,
sehingga ia tak mampu merasakan keberadaan Allah Yang Maha
Nyata di dalam dirinya sendiri. Tentu kita berharap agar Allah
mencabut ego keakuan kita dan menggantinya dengan ego dan
keakuan-Nya sendiri pada diri kita sehingga berkesempatan
menikmati indahnya kebersamaan dengan-Nya. Wallaahu a’lam.
177

Kalam Sirri 124

Keakuan 4
Wahai hamba-Ku:
Janganlah sekali-kali engkau ungkapkan keakuanmu, kecuali
engkau sendiri telah terlepas dari ikatan dan sentuhan dari
keakuanmu terhadap segala sesuatu yang terdapat pada dirimu.”

Rasa memiliki sesuatu pada apa yang melekat pada diri kita
merupakan bentuk keakuan yang tidak pantas dilakukan. Bukankah
Al-Qur‟an menyatakan, “Dan milik Allah segala yang ada di langit
dan di bumi”, termasuk diri kita sendiri dan apa yang melekat
padanya. Kalau pun kita mengatakan bahwa kita memiliki
pengetahuan maka harus dimaksudkan dalam arti kiasan, karena
sesungguhnya pengetahuan itu adalah milik-Nya yang dititipkan
pada kita. Kalaulah kita mengatakan punya kekuatan maka
ungkapan itu harus lahir dari perasaan meminjam kekuatan yang
Allah karuniakan pada diri kita. Kalaulah kita mengatakan memiliki
harta dan lainnya maka pernyataan itu harus muncul dari perasaan
sebagai orang yang mendapatkan titipan karunia dari-Nya.
Bila semua kepemilikan dan keakuan itu kita kembalikan
kepada Zat Pemilik segala sesuatu maka yang akan terpandang di
seluruh penjuru arah tiada lain adalah wajah-Nya. Bukankah Allah
berfirman, “Dan adalah milik Allah segala yang di barat dan timur,
maka ke mana pun engkau palingkan wajahmu maka di sana ada
wajah Allah (QS. 2:115). Wallaahu a’lam.
Wahai Zat Pemegang ubun-ubun semua makhluk,
hilangkanlah rasa memiliki dan keakuan pada jiwa ini agar dapat
menemukan wajah-Mu ke mana pun kami memandang.
178

Kalam Sirri 125

Keakuan 5
Wahai hamba-Ku:
Aku itu satu, tiada akan ditemukan yang lain selain melalui
keakuanmu terhadap Aku yang berada padamu. Maka
nyatakanlah,” Aku adalah diri yang terliputi oleh ke-aku-an
Tuhanku, dan dengannya aku tiada layak memiliki apapun yang
berada pada diriku, hingga cukuplah keakuanku adalah rahasia
keakuan bagi Tuhanku terhadap kerahasiaan zat-Nya yang
Maha Satu dari padaku”.

َُّ ‫ََّّٱ‬١َّ‫ّللَّأ َ َض ٌػ‬


Allah Swt berfirman,
ۡ َ ُ‫َّول َ ًَّۡي‬
ًََّۡ‫ََّّ َول‬٣َّ‫َٔل‬ َ ‫ِل‬ۡ ِ َ‫ََّّل َ ًَّۡي‬٢َّ‫ّللَّٱلص ٍَ َُّػ‬ ُ ُۡ
َُّ ‫وَّْ ََّٔٱ‬
َّ ‫ك‬
ُ َ َ ُُ ُ ُ َ
َّ٤َّ‫ََّّلۥَّنف ًٔاَّأضػ‬
ۢ َّ ‫يس‬
“Katakanlah, Allah itu Esa; Allah tempat bergantung segala sesuatu;
Tiada beranak dan tidak pula diperanak; Tiada sesuatu pun yang
setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas, 112:1-4).
Karena Allah adalah pada-Nya bergantung segala sesuatu,
maka manusia adalah bagian dari sifat-Nya yang senantiasa
bergantung pada zat-Nya. Hidup, daya, kehendak, pengetahuan,
penglihatan, pendengaran, dan perkataan manusia semuanya adalah
sifat-sifat Allah bergantung pada zat-Nya, sehingga ia tidak berhak
menyatakan keakuan atas sifat-sifat tersebut.
Untuk menemukan keesaan Allah, manusia mutlak
merasakan bahwa apa yang ada pada dirinya bergantung kepada
Allah. Begitulah seharusnya seorang hamba menjadikan Allah
sebagai Zat tempat ia bergantung (al-Shamad). Ketika menyadari
dirinya benar-benar bergantung kepada Allah, si hamba akan
menemukan Allah sebagai al-Awwal yang tidak diperanakkan dan al-
Akhir yang tidak memperanakan. Di saat itu, nyatalah Allah itu
baginya sebagai Zat yang tiada bandingan-Nya, tiada berjarak
dengan dirinya, dan Dia meliputi segala sesuatu. Nyatalah bahwa
179

dirinya tiada daya dan kekuatan kecuali bersama dengan Allah.


Wallaahu a’lam.
Wahai Zat Yang Maha Esa, tibakanlah waktu bagi kami
menemukan keesaan-Mu di dalam diri kami, saat di mana kami
dapat merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada-Mu, sehingga
tiada lagi yang pantas menjadi keakuan bagi kami atas apa yang telah
Engkau anugrahkan.
180

Kalam Sirri 126

Keakuan 6
Wahai hamba-Ku:
Cukuplah keakuan-Ku hanya terbit dari perasaanmu terhadap
engkau merasai akan keberadaan-Ku, sedangkan hatimu hanya
menjadi tempat tinggal bagi rasamu untuk mengungkapkan
keakuan-Ku pada dirimu.
Tiada kebohongan yang lebih besar dari seorang hamba yang
menyatakan “keakuan-Ku” berada pada perkataan dan
perbuatannya, sedangkan ia masih menyadari apa yang
diungkapkan oleh lidahnya.
Dan janganlah engkau berbuat melampaui batas terhadap dirimu,
karena cukuplah engkau berpegang teguh kepada apa yang telah
Aku tetapkan bagimu.

Ketika merasakan diri sudah dekat dengan Allah, lalu


menyampaikan segala harapan dan permohonan tetapi hal itu masih
merasakan keberadaan diri sebagai hamba yang mengabdi, maka
sesungguhnya ia belumlah hilang keakuannya. Sebab, ia masih
merasakan kediriannya dan mengaku sebagai hamba. Padahal,
hilangnya keakuan ketika perasaan sudah tidak lagi merasa diri yang
memohon kepada Allah, tetapi Allah sendiri yang memohon melalui
dirinya kepada Dirinya Sendiri.
Namun, Allah Swt mengingatkan kita agar tidak
memaksakan diri untuk mencapai posisi dimana hilangnya rasa
kedirian atau keakuan kita, sehingga melakukan riyadhah berlebihan
dan mengabaikan hak-hak jasmani kita. Tanda bahwa kita
melampaui batas dalam segala sesuatu, khususnya riyadhah adalah
ketika kita sudah tidak lagi merasa nyaman melakukannya. Yang
harus kita lakukan adalah terus berniat dan berusaha, sambil
menunggu datangnya waktu Allah memperkenankan kita hadir di
hadapan-Nya dan mengenalkan diri-Nya. Wallaahu a’lam.
181

Kalam Sirri 127

Keakuan 7
Wahai hamba-Ku:
Bagi pecinta-Ku tiada jalan yang dilewati tanpa setiap
langkahnya memandang wajah-Ku, dan pada jiwanya hampa
dari segala bentuk keinginan, sehingga hatinya terpelihara dari
pada panggilan keakuan dirinya, kecuali dari panggilan “Aku”
terhadap diri-Ku yang nyata padanya.

Orang yang mencintai Allah pasti memiliki kerinduan untuk


selalu berjumpa dengan-Nya. Seorang pecinta pasti akan menjadikan
segala sesuatu yang terkait dengan sang kekasih sebagai sandaran
rindunya. Bukankah segala sesuatu di alam semesta ini adalah
ciptaan Allah! Bukankah jasmani dan ruhani yang ada pada diri kita
adalah ciptaan-Nya juga. Adalah wajar manakala seorang pecinta
Allah senantiasa menemukan wajah Allah di mana pun ia berada
karena segalanya berasal dari-Nya.
Ketika rasa rindu menggelayuti seluruh jiwa, maka
keinginan-keinginan duniawi yang berasal dari hawa nafsu akan
menjadi hampa. Ketika ia mampu merasakan Sang Kekasih yang
dirinduinya begitu dekat bersama dirinya maka tiada lagi pantas
menyebutkan kepemilikan atas apa yang dikaruniakan-Nya pada
dirinya. Segalanya adalah milik-Nya dan bergantung pada-Nya.
Wallaahu a’lam.
Wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang, semaikanlah
pada hati ini benih cinta dan rindu pada-Mu sehingga hilanglah
segala keindahan dan nilai dunia ini. Milikilah diri ini karena
Engkaulah Pemilik barat dan timur agar hati ini hanya condong dan
berharap pada-Mu.
182

Kalam Sirri 128

Keakuan 8
Wahai hamba-Ku:
Bersaksilah atas kenyataan-Ku melebihi dari apa yang engkau
lihat jelas dan terang di mata. Dan singkirkanlah dirimu dari
pada perasaan yang mengikatmu terhadap kepemilikan akan
dirimu. Sungguh tidaklah seorang hamba-Ku yang mampu
mendatangi-Ku, jikalau ia masih menjeratkan lehernya kepada
segala keinginan yang tersembunyi di balik “keakuan” dirinya.

ُ ۡ َ ََ ْ ُُ ۡ َ ۡ ُ ُۡ َۡ ٓ ُُ ۡ َ
Allah SWT berfirman,

َّ١٥٢َّ‫ون‬ ُ
ِ ‫واَّ َِلَّولَّحسفؽ‬
َّ ‫َّوٱشهؽ‬
َّ ً‫ونَّأذنؽز‬
َّ ِ ‫َّفٱذنؽ‬
“Kalian, ingatlah Aku maka aku akan mengingat kalian! Dan
bersyukurlah pada-Ku dan jangan kalian mengingkari-Ku
(Q.S.2:152).”
Ayat ini mengajarkan kita bagaimana proses menjadi orang
beriman (tidak ingkar) kepada Allah. Langkah pertama adalah
dengan zikrullah, yaitu banyak menyebut nama Allah dengan lisan,
merenungi kekuasaan Allah dengan akal, dan merasakan kehadiran
Allah dengan hati.
Langkah kedua adalah syukrullah, yaitu memanfaatkan
semua karunia Allah sesuai dengan fungsinya dan diridai Allah, dan
mengakui bahwa apa yang melekat pada diri kita adalah titipan dan
milik Allah jua. Syukur dalam bentuk mengembalikan segala sesuatu
adalah titipan dan milik Allah, termasuk diri kita sendiri, merupakan
pintu untuk menemukan kenyataan Allah yang Maha Meliputi.
Dengan syukur, maka keakuan seorang hamba atas karunia Allah
padanya akan menjadi hilang dan tergantikan dengan keAkuan Allah
pada dirinya sendiri. Kalau sudah merasakan bahwa segala sesuatu
adalah milik Allah maka nyatalah Allah itu sebaga Zat Yang Maha
Dekat, Maha Esa, dan Mengasihi. Dan di saat seorang hamba
menyaksikan kenyataan-Nya maka itulah iman yang sebenar-
benarnya. Wallaahu a’lam.
183

Kalam Sirri 129

Penyembahan 1
Wahai hamba-Ku:
Tiada penyembahan yang lebih Aku utamakan, kecuali bermula
dari pengenalan yang membawa pendekatanmu kepada-Ku. Dan
ia akan berakhir pada kecintaanmu pada zat-Ku.
Maka jauhkanlah segala penyembahan yang menghijabmu,
niscaya tiada dikatakan suatu penyembahan apabila ia masih
menjauhkan diri hamba dari pada keberadaan apa yang
disembahnya, yakni Aku.

Pada hakikatnya, mustahil menyembah Allah bila belum


mengenalnya. Imam Ali r.a. mengatakan, “awwaluddiin ma’rifatullah”
(awal beragama adalah mengenal Allah). Tahap pertama pengenalan
kepada Allah adalah bermula dari mengenal sifat, asma, dan af‟al-
Nya. Ketiganya dapat diketahui melalui al-Qur‟an, Sunnah, dan
penjelasan para ulama. Pengenalan ini tentu saja menggunakan akal
dan logika. Namun, pengenalan melalui akal dan logika tidak
otomatis melahirkan kedekatan kepada Allah. Mengapa? Karena
kedekatan itu bukan urusan akal dan logika, melainkan urusan rasa
di dalam hati.
Memang, akal dan logika hanya mampu mengenali sifat,
asma, dan af‟al Allah berdasarkan hasil bacaan, simakan, atau
perenungan. Untuk mengenali pemilik sifat, asma, dan af‟al tersebut
kendaraan akal mesti ditinggalkan dan berganti dengan kendaraan
rasa. Dengan rasa, seorang hamba dapat membuktikan hakikat sifat,
asma, dan af‟al Allah. Dengan kata lain, melalui rasanya, seorang
hamba dapat mengenali Allah dengan sebenar-benarnya sebagai
Tuhan Yang Maha Ada dan Nyata. Apabila sudah mengenali-Nya
dalam rasa, secara otomatis akan melahirkan kecintaan pada-Nya
karena ia telah menemukan Zat Yang Maha Indah, Maha Pecinta,
dan Maha Penyayang.
Imam Ali r.a. berkata, “Awal beragama adalah mengenal
Allah, kesempurnaan pengenalan adalah membenarkan-Nya,
184

kesempurnaan pembenaran adalah mentauhidkan-Nya,


kesempurnaan tauhid adalah ikhlas, kesempurnaan ikhlas adalah
menafikan sifat-sifat dari-Nya dengan penyaksian bahwa semua sifat
itu tiada lain kecuali yang disifati itu sendiri. Siapa yang menyifati
Allah maka ia telah menyertakan sesuatu pada-Nya, siapa yang
menyertakan sesuatu pada-Nya maka ia telah menjadikannya dua,
siapa yang menjadikan-Nya dua maka ia telah membagi-Nya, siapa
yang membagi-Nya maka ia tidak mengenal-Nya, siapa yang tidak
mengenalnya maka ia telah membuat isyarat tentang-Nya, siapa yang
membuat isyarat tentang-Nya maka ia telah membatasi-Nya, siapa
yang membatasinya maka ia telah menjadikannya berbilang, siapa
yang bertanya, “pada apa?” maka ia telah memasukkannya dalam
ruang, siapa yang bertanya, “Di atas apa?” maka ia telah
mengeluarkannya dari ruang. Allah itu ada tetapi bukan dari sesuatu
yang baru, Dia itu wujud tetapi bukan dari tiada, Dia bersama segala
sesuatu tetapi tidak mendampinginya, Dia bukan segala sesuatu
tetapi tanpa berpisah darinya, Pelaku bukan dalam arti gerak dan
instrumen, Maha Melihat meski tak tampak bagi makhluk-Nya…
(Nahj al-Balaghah: 39)
Wallaahu a’alm.
185

Kalam Sirri 130

Penyembahan 2
Wahai hamba-Ku:
Sembahlah Aku dengan sifat-sifat-Ku yang berkehendak pada
dirimu, karena tiada yang pantas menyembah-Ku kecuali telah Aku
adakan padanya tanda-tanda “kedekatan” terhadap-Ku.
Dan tiadalah sesuatu apapun yang dapat mendekati-Ku, kecuali ia
jua datang dari zat-Ku. Dan katakanlah, “Ya Allah, kami datang
dari kuasa-Mu dan tentunya kami akan kembali kepada-Mu dengan
segala kuasa-Mu jua, maka kembalikanlah sujud dan rukuk kami
hanya untuk-Mu dan kepada apa yang Engkau inginkan
terhadapnya, karena sesungguhnya kami adalah makhluk yang tiada
daya menyembah Tuhan melainkan dengan segala kekuasaan Tuhan
yang kami sembah”.

Nabi Saw pernah bersabda, “Siapa yang mengenali dirinya


maka ia telah mengenal Tuhannya (Bihar al-Anwar, 2:32). Abu
Bakar al-Shiddiq r.a. pernah berkata, “Aku mengenal Tuhanku
melalui Tuhanku, sekiranya bukan karena Tuhanku maka aku tak
akan mengenal tuhanku.”
Kedua pernyataan tersebut secara sekilas kontradiktif.
Sebenarnya, keduanya tidak berbeda. Abu Bakar r.a. mengenal
Tuhan (Zat-Nya) melalui tuhan (Sifat-Nya), sementara sabda Nabi
Saw, siapa yang mengenal dirinya (yang merupakan sifat Tuhan)
maka dia akan mengenal Tuhan (Zat-Nya). Karena itu, hanya Allah
jualah yang berkuasa dan berkehendak dalam kuasa dan kehendak
seorang hamba dalam menyembah-Nya. Maka, pantaslah bila kita
berdoa:
“Ya Allah, kami datang dari kuasa-Mu dan tentunya kami
akan kembali kepada-Mu dengan segala kuasa-Mu jua, maka
kembalikanlah sujud dan rukuk kami hanya untuk-Mu dan kepada
apa yang Engkau inginkan terhadapnya, karena sesungguhnya kami
adalah makhluk yang tiada daya menyembah Tuhan melainkan
dengan segala kekuasaan Tuhan yang kami sembah”.
186

Kalam Sirri 131

Penyembahan 3
Wahai hamba-Ku:
Tiadalah makhluk yang mampu mengenal-Ku, kecuali bagi
hamba-hamba yang Aku perintahkan untuk menyembah-Ku.
Dan bila di antara mereka menyembah-Ku tanpa mengenal-Ku,
maka sesungguhnya penyembahan mereka tiada akan lebih baik
dari pada makhluk-makhluk yang telah Aku kehendaki hanya
untuk bertasbih kepada-Ku, lantaran padanya tiada
kemampuan yang Aku letakkan untuk dapat mengenal hakekat
diri-Ku.

ۡ َ ۡ ُ َۡ َ َ َ
Allah SWT berfirman,
ُ ُ ۡ َ
َّ٥٦َّ‫ََّّلعتػو ِن‬ َ
ِ ‫نؿَّإِل‬
َّ ‫ۡلَََّّ َّوٱ ِۡل‬
ِ ‫وٌاَّعيلجَّٱ‬
“Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk
menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat, 51:56).
Berdasarkan ayat ini, hanya manusia dan jin yang diberi
taklif untuk menyembah Allah. Bagaimana dengan malaikat dan
makhluk yang lainnya? Jawabannya adalah mereka hanya bertasbih
kepada Allah tanpa menyembah-Nya. Mengapa malaikat dan
makhluk lainnya tidak diperintahkan menyembah? Karena mereka
tidak diberi fasilitas untuk mengenal Allah, yaitu hati nurani.
Pengenalan kepada Allah tidak cukup dengan pengenalan akal tanpa
melibatkan hati nurani. Hati diberi fasilitas berupa rasa sehingga
dengan rasa itulah seorang hamba dapat mengenal dan menemukan
kenyataan Tuhan.
Oleh karena itu, bila di antara kita masih menyembah Allah
tanpa merasakan keberadaan dan kehadiran-Nya, maka tiada
bedanya dengan tasbih yang dilakukan oleh makhluk yang lain,
seperti hewan, tumbuhan, batu dan lain-lain. Untuk itu, perlu kita
bersihkan hati agar diberikan rasa yang dapat menyentuh
keberadaan-Nya. Wallahu a’lam. Semoga Allah mengenalkan diri-Nya
kepada kita sehingga dapat menyembah dan mengabdi kepada-Nya.
187

Kalam Sirri 132

Pertemuan 1
Wahai hamba-Ku:
Dapatkah bagimu dikatakan pengenalan sebelum pertemuan, dan
tiadalah dinyatakan pertemuan apabila tiada sesuatu yang
ditinggalkan. Dan akan menjadi suatu kedustaan bagi hamba
yang mengaku bertemu dengan-Ku, namun ia belum
meninggalkan ”dirinya” untuk-Ku.

Untuk berjumpa dengan Allah, tergantung pada kehendak


dan kuasa Allah jua. Namun, manusia diberikan dua hal sebagai
modalnya, yaitu niat dan usaha. Bermula dengan niat/harapan
sebagaimana firman Allah, “Siapa yang „berharap‟ berjumpa dengan
Allah maka masa perjumpaan itu pasti akan tiba waktunya” (QS. Al-
Ankabut/29 :5); lalu disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh,
sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, sesungguhnya kamu
„orang yang bersungguh-sungguh‟ kepada tuhanmu maka pasti
engkau akan menjumpai-Nya” (QS. Al-Insyiqaq/84: 6).
Salah satu bentuk harapan dan usaha menuju kepada Allah
adalah belajar mengenal Allah. Belajar mengenal Allah berawal dari
pengenalan tentang sifat, asma, dan perbuatan-Nya melalui akal.
Inilah yang dimaksud dengan berfikir tentang tanda-tanda
keberadaan-Nya. Selanjutnya, kendaraan akal harus digantikan
dengan kendaraan hati melalui rasa nurani di dalamnya. Ketika
menggunakan rasa nurani, maka sesungguhnya seorang hamba
sedang lebur dalam sifat Allah. Ketika ia telah lebur dalam sifat-Nya,
maka lenyaplah kedirian seorang hamba sehingga kedirian yang ada
hanyalah Allah semata. Ingatlah, sifat dan zat Allah tidak pernah
berjarak dan terpisah. Di sini, seorang hamba mutlak meninggalkan
diri dan keakuan atas dirinya sendiri. Semoga Allah berkenan
membalaskan harapan dan usaha kita untuk menjumpai-Nya berupa
pertemuan agung nan indah yang tiada berjarak dan berprantara.
Wallaahu a’lam.
188

Kalam Sirri 133

Pertemuan 2
Wahai hamba-Ku:
Pandangan-Ku hanya tertuju pada hamba-hamba-Ku, walau
hamba tiada mendapati Aku dalam tatapannya. Dan Aku selalu
mendekati hamba-hamba-Ku dengan tatapan yang tersembunyi
di balik hati hamba tersebut. Dan bila rasa pada hati hamba-
hamba-Ku dapat menyentuhkan diri-Ku di balik apa yang
dirasakannya tersebut, niscaya dunia akan menyaksikan
pertemuan tatapan antara Sang Pecinta Agung dengan yang
dicintai-Nya.

Allah Swt tidak pernah bersembunyi dari tatapan hamba-


Nya, namun hamba sendiri yang telah membangun tembok kokoh
dan tebal berupa ego atau keakuan diri. Rasa bagaikan muara yang
mempertemukan sungai dengan lautan, karena rasa nurani adalah
taman pertemuan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Di saat seorang hamba berhasil meninggalkan egonya, maka
sifat kediriannya pun menjadi hilang dan kedirian Allah saja yang
ada. Hal seperti ini terjadi dalam rasa nurani seorang hamba. Apabila
telah lebur ke dalam rasa nuraninya maka terjadilah perjumpaan
yang sesungguhnya, terjadilah penyaksian yang senyatanya. Pada saat
itulah cinta terpadu antara Pecinta Agung dengan pecinta sejati.
Wahai Pecinta Agung, karunialah kami cinta pada-Mu, cinta
orang yang mencintai-Mu, cinta pada hal-hal yang mendekatkan
cintaku pada-Mu, dan jadikanlah diri-Mu lebih aku cintai daripada
apa pun di dunia ini.
Wallaahu a’lam.
189

Kalam Sirri 134

Kerinduan 1
Wahai hamba-Ku:
Ingatlah, engkau menyatakan kerinduan terhadap-Ku ketika di
dunia, namun Aku menyatakan rindu-Ku di akhirat.
Karena, jika saja Aku tunjukkan kerinduan-Ku kepadamu di
dunia, niscaya engkau akan kehabisan rindumu kepada-Ku,
padahal perjalananmu masih panjang untuk mencapai Aku yang
sebenarnya.

Di akhirat kelak, setiap perindu akan memandang wajah


Sang Kekasih dengan wajah yang berseri-seri (QS. Al-Insan/75: 22-
23). Tiada lagi sekat yang tersembunyi, tiada lagi tabir, tiada lagi
hijab untuk abadi selamanya.
Di suatu masa di dunia ini, ketika Allah menyibakkan
sebagian tirai-Nya, maka setiap kali hamba akan memandangi wajah-
Nya Yang Maha Indah, sehingga pasti membuatnya tersungkur
jatuh cinta pada-Nya. Pandangan walau sekejab akan membuatnya
meregang rindu yang berkepanjangan hingga waktu tak lagi
menampungnya. Kerinduan yang hanya akan terlampiaskan melalui
undangan kematian Sang Kekasih.
Namun, cinta ini jualah yang membuatnya menjadikan
segalanya sebagai sandaran rindu pada-Nya. Cinta yang dibuktikan
dengan berbagi kasih dan sayang kepada segala makhluk.
Wahai Yang Terpuji dan Termulia, singkapkan sedikit tabir-
Mu agar aku dapat menatap wajah indah-Mu, karena akulah pencari-
Mu dan Engkaulah tujuanku.
Wahai Kekasih Sejati, akulah perindu-Mu walau secuil benih
cinta di hatiku yang Engkau tanamkan maka semaikanlah agar
tumbuh mekar dan tidak layu kembali.
Wallaahu a’lam.
190

Kalam Sirri 135

Kerinduan 2
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang merasakan Aku sangat dekat kepada dirinya,
maka bertanda Aku memperhatikannya. Dan barangsiapa yang
merasakan kerinduan kepada-Ku, bertanda ia telah dicintai oleh
Aku kekasihnya.

Harapan untuk meneguk cinta Allah mutlak diwujudkan


dalam bentuk niat dan usaha, sembari mengandalkan taufik dari-
Nya. Setiap usaha menuju kepada diri-Nya, akan dibalaskan dengan
rahmat berupa kedekatan kepada-Nya. Ingat, kedekatan itu
bukanlah hasil dari niat dan usaha kita kepada-Nya melainkan ia
adalah karunia dari-Nya. Kedekatan mustahil diwujudkan oleh hawa
nafsu kita, dan juga mustahil datang dari akal pikiran kita, kecuali
semata-mata berkah dari-Nya.
Apabila rasa kedekatan menghampiri jiwa kita sehingga
timbul hubungan yang bersambutan, maka itulah pertanda Allah
sedang memerhatikan kita. Tugas kita hanya terus berusaha mencari
dan mencuri perhatian-Nya sambil menunggu rahmat-Nya.
Bila kedekatan senantiasa menghampiri hati seorang hamba,
maka keterpisahan pasti akan melahirkan kerinduan. Kerinduan
untuk selalu ingin di samping-Nya, ingin menemukan kedamaian di
pangkuan-Nya, dan ingin memandang wajah indah-Nya. Dan itulah
bukti bahwa Allah telah menjadikan hati hamba-Nya sebagai
tumpuan cinta-Nya padanya.
Wahai Pecinta Agung, jadikanlah hati kami sebagai tumpuan
pandangan-Mu dengan memandikannya rasa rindu untuk menatap
wajah indah-Mu.
Wallahu a’lam.
191

Kalam Sirri 136

Kerinduan 3
Wahai hamba-Ku:
Kendaraan hamba-Ku yang bertaqwa adalah pengabdiannya
kepada-Ku. Sedangkan kendaraan hamba-Ku yang mencintai-
Ku adalah rindunya akan memandang-Ku dalam penglihatan,
mendengar-Ku di dalam pendengarannya, mengenal-Ku dalam
pikirannya, dan ia selalu rindu akan kehadiran Zat-Ku dalam
hati dengan rasanya.

Ada dua motivasi seseorang menjalankan agama Allah.


Motivasi pertama adalah karena merasa dirinya sebagai budak yang
wajib menjalankan perintah tuannya dan meninggalkan larangannya,
menginginkan berkah dan menghindari murka. Inilah yang disebut
dengan takwa.
Motivasi kedua adalah karena cinta kepada Allah. Saat ia
pertama kali jatuh cinta dalam pandangan pertama, maka
kerinduannya pun tidak pernah pudar. Segala hal yang disenangi
Kekasihnya adalah jalan untuk membuktikan rindu dan cintanya
dengan melakukannya, segala yang tidak disukai Kekasihnya adalah
jalan untuk membukti-kan rindu dan cintanya dengan
menghindarinya. Semuanya yang terlihat, terdengar, dan terpikirkan
olehnya menjadi sandaran atau media melepaskan rindu pada Sang
Kekasih.
Wahai Zat Yang Maha Melihat, Engkaulah di balik setiap
penglihatan mata yang memandang, maka benamkan hamba dalam
tatapan-Mu.
Wahai Zat Yang Maha Mendengar, Engkaulah di balik
setiap pendengaran telinga yang menyimak, maka selimuti hamba
dalam pendengaran-Mu.
Wahai Zat Yang Maha Mengetahui, Engkaulah di balik
setiap pengetahuan, maka ceburkan hamba dalam ilmu-Mu.
Wallaahu a’lam.
192

Kalam Sirri 137

Kecintaan 1
Wahai hamba-Ku:
Dan sesungguhnya keagungan-Ku meliputi hati yang selalu
menyentuh nama-nama-Ku, dan kecintaan-Ku dapat ditemukan
kepada hati hamba-hamba-Ku yang selalu bersembunyi malu
berhadapan dengan-Ku, sedangkan ia menjauhkan ibadahnya
dari pandangan segala makhluk, kecuali kepada-Ku saja.

Menyebut nama-nama Allah dalam lisan, mengingat dalam


pikiran, dan merasakan dalam hati adalah cara menemukan
keagungan Allah. Zikir lisan sebagai stimulus bagi pikiran, zikir
tafakur stimulus bagi hati untuk merasakan keagungan-Nya.
Ketika hati sudah tersentuh keagungan-Nya, maka ada rasa
harap-harap cemas ketika munajat pada-Nya. Cumbu rayu dan
bermanja diri adalah cara mengungkapkan rasa butuh atas karunia-
Nya dan rasa takut atas murka-Nya. Itulah sebabnya, hati yang
sudah tersentuh akan selalu mencari waktu dan tempat yang tidak
terganggu oleh siapa pun untuk melakukan ibadah, baik mahdah
muapun gairu mahdhah.
Ya Allah, ajarkan aku membuktikan cintaku pada-Mu tanpa
berharap pujian makhluk-Mu. Tolonglah aku dapat berbuat karena
hanya mengharapkan rida-Mu, tanpa merasa takut akan celaan
makhluk-Mu. Karena hanya hamba yang Engkau ikhlaskan yang
akan selamat dari pengaruh hawa nafsunya dan dari godaan setan.
Wallaahu a’lam.
193

Kalam Sirri 138

Kecintaan 2
Wahai hamba-Ku:
Tiadalah sesuatu apapun Aku letakkan di hati hamba yang
mencintai-Ku, kecuali rasa rindu yang berkepanjangan, dan tiada
suatu kalimatpun yang Aku ajarkan di lidahnya selain nama-
nama-Ku, sedangkan pandangannya tak berpaling lagi dari
wajah-Ku.

Seorang pecinta pasti selalu berhasrat berada di samping


kekasihnya. Jika harus terpisah maka segala sesuatu yang terkait
dengan kekasihnya akan menjadi sandaran rindu padanya. Seperti
dedaunan yang jatuh, bagi Majnun adalah surat cinta yang
dikirimkan Layla; anjin yang lewat dianggapnya utusan Layla.
Terlebih lagi bagi hamba yang cinta kepada Allah. Segala
yang ada di dunia ini adalah milik-Nya, sehingga apa pun yang
terlihat, terdengar, tersentuh, terpikirkan, atau terasa akan menjadi
sandaran rindunya kepada Allah. Segalanya menjadi pengingat
kepada-Nya.
Maka wajarlah bila nama yang selalu terucap oleh lidahnya
tiada lain kecuali asma-Nya. Semua yang dilakukannya adalah upaya
membuktikan cintanya pada Allah, segala yang dicintai Allah
menjadi kesenangannya pula dan segala yang dimurkai Allah juga
menjadi pantangannya. Hanya satu yang dinantikan yaitu undangan
Sang Kekasih untuk datang menatap wajah-Nya Yang Maha Agung.
Wallaahu a’lam
194

Kalam Sirri 139

Kecintaan 3
Wahai hamba-Ku:
Hatimu sebagai tempat pertama Aku tumpukan kecintaan,
kemudian dari akalmu kecintaan itu diungkapkan, akan tetapi
segala yang terungkap pada akalmu tiadalah keseluruhan dari
pada isi cinta di hatimu. Dan sesungguhnya kata-kata “cinta”
bagimu tiada akan pernah dapat mengurai cinta yang Aku
maksud.

Cinta adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh


siapa pun. Setiap orang yang jatuh cinta pasti akan pandai merangkai
kata dan kalimat yang indah, menyusun puisi dan syair, menggubah
lagu dan tembang, dan mengungkapkan dalam segala bentuk
ekspresi keindahan dan kebahagiaan.
Namun, segala yang diolah oleh akal tak akan mampu
mewakili hakikat cinta yang dirasakan. Begitu juga syair dan prosa
romantisme tak akan mampu mengurai hakikat cinta yang dirasakan.
Maka, wajarlah bila Jalaluddin Rumi merasa malu dengan segala
syair cintanya karena semua yang terlantung bukanlah hakikat cinta
yang dia rasakan.
Kala itulah, cinta menyapa tanpa kata, melihat tanpa mata,
mendengar tanpa telinga, berfikir tanpa akal. Semuanya indah,
segalanya tersenyum bahagia, tiada sedih, tiada was-was, dan tiada
kekhawatiran.
Ya Allah, ajari aku mencintai-Mu. Siramilah benih rindu dan
cinta yang telah Engkau tanamkan di hati ini agar tumbuh
berkembang hingga mekar dan menebarkan keharuman bagi
semesta raya.
Wallaahu a’lam.
195

Kalam Sirri 140

Kecintaan 4
Wahai hamba-Ku:
Cukuplah Aku Sang Pecinta yang mengenal akan kandungan
cinta-Ku padamu. Dan hanya hatimu yang dapat menjadi
wadah bagi cinta-Ku, walaupun ia sendiri tak akan mampu
untuk melukiskannya, tetapi ia sanggup merasakan keindahan
yang Aku maksud dalam cinta-Ku padamu. Sesungguhnya nilai
kecintaan bagi-Ku bukanlah dari ungkapan yang didengar,
namun dari pemahamanmu dalam merasakan maksud dan
tujuan cinta itu sendiri terhadapmu”.

Tahukah kamu apa maksud dan tujuan cinta itu bagi seorang
hamba! Maksud dari cinta itu adalah agar seorang hamba mengenal
Tuhannya, dan tujuannya adalah untuk memberikan pengabdian
sejati pada-Nya.
Bukankah Allah mencipta karena cinta-Nya untuk dikenali.
Tiada pengenalan yang melebihi daripada pengenalan yang diikat
oleh cinta. Cinta merupakan jembatan penghubung antara hamba
dan tuhannya. Tanpa cinta, seorang hamba tidak akan pernah
mengenali siapa tuhannya.
Bukankah tujuan Allah mencipta manusia dan jin tiada lain
kecuali untuk pengabdian pada-Nya. Ketahuilah, tiada pengabdian
yang tulus dan suci kecuali pengabdian yang didasari atas cinta.
Tanpa cinta, pengabdian pastilah mengharapkan pamrih. Tanpa
cinta, pengabdian hanyalah pemaksaan diri dan penderitaan semata.
Wahai pelindungku, hadapkanlah wajahku melalui sifat
wajah-Mu kepada zat wajah-Mu. Wahai tuhanku, Engkaulah
tujuanku dan hanya rida-Mu yang aku cari.
Wallaahu alam.
196

Kalam Sirri 141

Kecintaan 5
Wahai hamba-Ku:
Yang tidak mencintai-Ku berarti tidak merindui-Ku, dan yang
tidak merindui-Ku berarti tidak mencari-Ku, sedangkan yang
tidak mencari-Ku berarti tidak mengetahui-Ku. Dan
sesungguhnya barang siapa yang tiada mengetahui Aku
Tuhannya ia termasuk orang yang paling merugi di antara orang-
orang yang paling merugi.

Untuk menemukan cinta kepada Allah mutlak didahului


dengan rasa rindu pada-Nya. Rasa rindu ini akan muncul manakala
ada rasa dekat dan keakraban kepada-Nya. Rasa dekat baru akan
diperoleh apabila sudah pernah berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan
hanya akan terjadi apabila sebelumnya ada pencarian. Mencari
sesuatu terlebih dahulu mengetahui nama dan sifat-sifat yang dicari.
Itulah sebabnya para ulama selalu menekankan bahwa
awwalud diin ma’rifatullah (agama dimulai dari pengenalan kepada
Allah). Pengenalan Allah diawali dengan mengenal nama-nama-Nya,
mengenal sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Di sinilah peranan
akal sangat diperlukan. Nama-nama Allah adalah media untuk
memanggil dan menyeru-Nya, sifat-sifat Allah adalah media untuk
merasakan kehadiran-Nya, dan perbuatan Allah adalah tanda-tanda
keberadaan-Nya yang harus direnungi oleh akal manusia.
Pengenalan kita tidak boleh hanya berhenti pada pengenalan
akal semata, tetapi mesti melakukan pencarian agar terjadi
kedekatan, kedekatan dan keakraban adalah awal lahirnya kerinduan,
dan kerinduan adalah tanda benih cinta telah tumbuh. Wallaahu
a’lam.
197

Kalam Sirri 142

Kecintaan 6
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang menginginkan dunia maka Aku hidupkan ia
dengan hawa nafsu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat
maka Aku berikan ia takwa. Dan barangsiapa yang
menginginkan-Ku niscaya Kuhidupkan ia dengan cinta, hingga
dengan cinta itu pula ia dipertemukan oleh diri-Ku.

Hawa nafsu akan memberikan kesenangan duniawi, suatu


kesenangan yang sifatnya sesaat dan sementara. Ia tidak pernah
memberikan kepuasan sehingga mendorong untuk terus mencari
kepuasan baru yang tiada berakhir dan berujung.
Ketakutan kepada siksa neraka dan harapan kepada
kesenangan surgawi mendorong seseorang untuk bertakwa dengan
senantiasa menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-
Nya. Ketaatan seperti ini tidak didasari atas ketulusan dalam
berbuat, bahkan ia menjadi terbebani oleh takut berdosa dan
berharap pahala.
Namun, jika pengabdian didasari atas kerinduan akan
memandang wajah Allah yang Maha Agung maka segalanya menjadi
indah. Indah karena dilakukan dengan ketulusan dan semata
mencari perhatian Sang Kekasih agar tidak berpaling darinya. Ia
berbagi kasih kepada semesta raya semata-mata sebagai pembuktian
cinta kepada-Nya. Wallahu a’lam.
198

Kalam Sirri 143

Kecintaan 7
Wahai hamba-Ku:
Maka dengan hanya mengharapkan kecintaan engkau
mendekati-Ku, dan dengan kecintaan-Ku jua engkau jadikan
kesaksian sebagai awal engkau mencintai-Ku. Tiadalah sesuatu
yang dapat memalingkan “kedekatan” dan “penyaksian”
terhadap-Ku, melainkan jika engkau jadikan keduanya itu
sesuatu yang engkau tuju. Dan bahwasanya tiada lagi hamba
yang lebih merugi dalam berjalan kepada-Ku kecuali hamba-
hamba yang menjadikan ”kecintaan” dari tujuan ia berjalan
mendekati dan menyaksikan Aku kekasihnya.

Pada mulanya, perjalanan ruhani kepada Allah adalah dalam


rangka menemukan cinta-Nya. Ketika sudah menemukan kasih dan
sayang Allah telah meliputi diri maka timbullah keyakinan bahwa
Allah telah membalas cintanya.
Namun, kedekatan kepada Allah bisa menjadi hijab apabila
ia dijadikan sebagai tujuan berjalan kepada-Nya. Pada saat timbul
rasa dekat dan merasa bahwa itulah puncak perjalanan ruhani maka
ia akan berhenti di sana. Padahal, rasa dekat adalah batu loncatan
untuk memandang dan menyaksikan Allah di balik rasa dekat itu
sendiri.
Kesaksian atau musyahadah juga dapat menjadi hijab apabila
dijadikan sebagai tujuan dalam perjalanan ruhani kepada Allah.
Apabila sudah musyahadah maka terasa olehnya telah sampai pada
puncak pendakiannya dan berhenti di sana. Padahal, penyaksian
adalah awal untuk takjub dan terpesona hingga jatuh cinta.
Cinta pun akan menjadi hijab apabila ia dijadikan sebagai
tujuan perjalanan ruhani kepada Allah. Cinta hanyalah pengikat dan
penghubungan antara hamba dan Allah. Cinta tidak boleh dijadikan
puncak pencapaian, tetapi hanya Allah jualah yang menjadi terminal
terakhir perjalanan.
199

Kalam Sirri 144

Kecintaan 8
Wahai hamba-Ku:
Dan bukankah telah engkau ketahui, tiada yang sebaik-baik
hamba yang mentaati Aku, karena kecintaannya kepada-Ku,
dan tiada jua sebagus sujud hamba yang dimulai dari hati yang
rindu kepada-Ku.
Dan Aku bersaksi dari apa-apa yang Aku genggam, tidaklah
Aku adakan kecintaan pada hamba-hamba-Ku melainkan dari
padanya melahirkan keridhaan mereka terhadap ketentuan-
ketentuan-Ku, dan keridhaan-Ku pada tiap tarikan nafas di
diri mereka.

Hamba yang cinta kepada Allah akan menjalankan segala


perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan senang hati.
Bahkan, hatinya cenderung untuk melakukan ketaatan melebihi dari
apa yang diperintahkan. Hatinya senang karena semua ia lakukan
untuk membuktikan cintanya pada Allah. Hati jauh dari harapan
mendapatkan pujian atau celaan dari makhluk.
Rukuk dan sujud yang paling mengasyikkan bagi seorang
hamba adalah ketika kerinduan menyelimuti batinnya. Rasanya ingin
segera berjumpa dengan Yang Dirindu untuk menatap wajah-Nya
Yang Maha Agung. Shalat tidak lagi menjadi beban, tetapi momen
penting untuk melepas secuil rindu kepada Allah.
Hanya hamba yang rindu dan cinta kepada Allah yang
hatinya selalu rela menerima apa yang datang dari dan diambil oleh
Allah darinya. Mengapa? karena seorang kekasih mustahil
membiarkan kekasihnya bersedih, melainkan semuanya adalah
cindramata tanda cinta. Pada saat yang sama, Allah pun rida
memberikan karunia-Nya walau satu tarikan nafas atau satu kedipan
matanya. Wallaahu a’lam.
200

Kalam Sirri 145

Kecintaan 9
Wahai hamba-Ku:
Tiada kecintaan yang sesungguhnya, melainkan bila para pecinta
telah lebur dan lenyap dari ungkapannya sendiri, dan tiada kata
maupun kalimat yang dapat terikat oleh akalnya lagi. Dan ia
merasa tak layak untuk memberikan bukti cintanya melalui
segala sesuatu kepada-Ku, kecuali penyerahan diri dengan
“mematikan” diri dalam dirinya sendiri.

Seorang pecinta sejati akan selalu berbicara atas nama


kekasihnya, akan selalu berbuat atas nama kekasihnya, selalu berpikir
tentang kekasihnya. Tiada lagi kata dan kalimat yang mampu ia
rangkai dalam akalnya atas nama dan kepentingan dirinya sendiri.
Dia tidak peduli apa kata orang atas apa yang diucap dan
diperbuatnya, yang penting membahagiakan pujaan hatinya.
“Penglihatannya adalah penglihatan-Ku, pendengarannya
adalah pendengaran-Ku, perbuatannya adalah perbuatan-Ku”,
demikian Hadis Qudsi menggambarkan.
Di dalam benaknya, tak ada satu pun yang pantas
dipersembahkan sebagai bukti cinta. Harta untuk infak dan sedekah,
ilmu untuk diajarkan dan dimanfaatkan, dan tubuh untuk segala
ibadah adalah milik Kekasihnya jua sehingga tiada layak untuk
dipersembahkan pada-Nya. Hanyalah kepasrahan (islam) menjalani
printah-Nya dan keridaan atas apa-apa yang ditentukan pada dirinya
sebagai jalan untuk menjadikan Kekasihnya untuk tetap tersenyum.
Wallaahu a’lam.
201

Kalam Sirri 146

Kecintaan 10
Wahai hamba-Ku:
Alam yang Aku ciptakan hanya diabdikan kepada mereka yang
bertakwa, agar mereka selalu bersyukur kepada-Ku, akan tetapi
bagi para pencinta, alam ini hanyalah sebagai sandaran pelepas
rindu kepada-Ku. Sebab, mata di kepalanya melihat tanda-tanda
kekuasaan-Ku, sedang mata hatinya memandang Sang Kekasih,
Aku.

Alam semesta dan segala isinya merupakan karunia Allah


yang tidak mungkin dapat dihitung jumlahnya. Matahari, bulan,
bintang, bumi dan segala isinya, bahkan tubuh yang digunakan
adalah bentuk kemurahan Allah bagi hamba-Nya. Bagi seorang
hamba yang takwa, semua karunia itu adalah mutlak disyukuri tanda
terima kasih kepada Allah.
Namun, bagi seorang pecinta sejati, semua itu tidaklah
semata-mata hanya untuk disyukuri tetapi sebagai cindramata dari
Sang Kekasih. Semua itu adalah tanda-tanda dan mewakili akan
keberadaan Allah, Kekasihnya. Sehingga, apa pun yang terlihat,
terdengar, teringat, dan terasa adalah sandaran rindu pada-Nya.
Sementara hatinya tidak akan berpaling dari memandang wajah-Nya.
Wallaahu a’lam.
202

Kalam Sirri 147

Kecintaan 11
Wahai hamba-Ku:
Bila api cinta dunia yang membakarmu, maka menderitalah
dirimu, dan apabila api cinta akhirat yang membakarmu
kesejukanlah yang dirasa, namun bila api cinta-Ku yang
membakar dirimu, niscaya tiada lagi yang tersisa dalam hatimu,
kecuali Aku.

Cinta karena hawa nafsu akan melahirkan rasa memiliki pada


apa yang dititipkan Allah dan menjadi budaknya. Inilah cinta dunia.
Cinta kepada harta akan diperbudak oleh harta, baik saat
mengumpulkan maupun ketika menjaganya. Cinta kepada anak dan
istri akan diperbudak oleh mereka sehingga apa pun akan dilakukan
demi mereka. Cinta pada pangkat dan jabatan akan diperbudak
olehnya, baik saat mencapainya maupun mempertahankannya.
Terbakar cinta akhirat dengan mengharapkan surga dan
menjauhi siksa neraka akan mendorong pada kebaikan. Kebaikan
akan mendatangkan kebaikan pula. Shalat akan memberikan
ketenangan jiwa. Zakat akan mendatangkan keharmonisan dan
persaudaraan sesama. Puasa membantu untuk dapat mengendalikan
diri. Berhaji akan melahirkan persamaan dan persaudaraan.
Menolong orang maka orang lain pun akan membalas kebaikannya.
Semua itu akan berbalik memberikan kesejukan dalam menjalani
kehidupan.
Terbakar cinta ilahi akan menghilangkan segala ego kedirian
seorang hamba. Semua keinginannya hilang melainkan keinginan
Allah. Semua perkataannya hilang kecuali perkataan dengan
perkataan Allah. Semua perbutannya hilang kecuali perbuatan Allah.
Keinginan, perkataan dan perbuatannya bukan milik dirinya
melainkan milik Sang Kekasih yang tidak pernah berkedip
memperhatikan perbuatannya dirinya dan tidak pernah tuli
mendengar perkataannya sendiri. Wallaahu a’lam.
203

Kalam Sirri 148

Kecintaan 12
Wahai hamba-Ku:
Apalah artinya penghambaan tanpa ketaatan, dan apalah arti
cinta tanpa kerinduan, dan tiadalah ada arti cinta tanpa
pembuktian dari pecinta. Sedangkan pembuktian sesungguhnya
adalah menjadikan dirinya tempat bagi kekasih untuk
membeberkan segala rahasia-Ku.

Di dunia ini, seorang tuan tidak pernah menciptakan


budaknya sendiri, kecuali membeli atau menaklukkannya. Budak
adalah hamba milik dan pelayan tuannya. Hamba yang tidak taat dan
melayani tuannya bukanlah hamba sehingga pantas untuk dihukum
atau dijual kembali. Kehambaan manusia sepantasnya melebihi
ketaatan dan pelayanan budak di dunia ini karena manusia
diciptakan oleh Tuhannya. Oleh karena itu, apabila manusia tidak
taat maka pangkat hamba tidak laik melekat pada dirinya.
Seorang hamba bila mengaku cinta kepada Tuhannya tentu
ada rasa ingin selalu bersamanya. Ingin selalu mencari perhatiannya.
Dan ingin selalu mendapatkan undangan dari kekasihnya. Seorang
perindu akan melepas rindunya melalui cindramata sang kekasih.
Menatap makhluk, tiada yang teringat kecuali sang Khaliq. Rukuk
dan sujud adalah perjamuan khusus bersama sang kekasih.
Seorang pecinta mutlak membuktikan cintanya. Pembuktian
cinta seorang hamba adalah berbagi cinta dan kasih kepada
sesamanya, sedangkan pembuktian cinta dari Allah adalah
membeberkan segala rahasia-Nya kepada para pecinta-Nya yang
sejati. Maka, wajarlah kiranya bila para kekasih Allah diberi
kemampuan menceritakan apa yang tidak diketahui oleh hamba-
hamba yang lainnya.
Ya Allah, jadikanlah aku hamba-Mu yang taat hingga
merindui-Mu, jadikanlah kerinduanku sebagai jalan meneguk arak
cinta-Mu.
Wallaahu a’lam.
204

Kalam Sirri 149

Kecintaan 13
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang mencintai sesuatu di dunia ini, maka ia akan
terikat olehnya, dan bagi yang mencintai-Ku, ia akan dibebaskan
dari keterikatan terhadap sesuatu, hingga segala sesuatu di dunia
akan mengikatkan diri kepadanya.

Orang yang mencintai sesuatu akan maka ia akan menjadi


budaknya, terikat dan memenjarakannya. Mencintai harta maka ia
akan menjadi budak harta, semakin mencintainya maka semakin
mengikat dan mengendalikannya. Lihatlah, orang yang sudah
mengumpulkan harta sebanyak-banyak dan terus mengumpul-
kannya maka ia akan menjadi orang yang mengemis dan selalu
meminta-minta. Setelah itu, ia akan menjaga dan memeliharannya
dengan segala kemampuannya. Alih-alih harta menjaganya, malahan
dia menjadi penjaganya.
Mencintai kedudukan dan jabatan akan diperbudak olehnya
sehingga berusaha merebut dengan cara apa pun, dan ketika sudah
mendapatkannya akan berusaha mempertahankannya sekuat tenaga.
Bila tidak memilikinya seakan dunia akan kiamat.
Mencintai lawan jenis pun akan mengikat dan memperbudak
seseorang. Apa pun akan dia lakukan demi memiliki orang yang
dicintai dan mempertahankannya. Namun, bila dia cinta kepada
Allah maka ia akan menjadikan harta, kedudukan, jabatan, dll
sebagai budak-budaknya yang akan dimanfaatkan membuktikan
cintanya kepada Allah. Bahkan, semua hal dunia itu akan secara
otomatis mengikatkan diri kepadanya. Wallaahu a’lam.
205

Kalam Sirri 150

Kecintaan 14
Wahai hamba-Ku:
Bagi insan yang mencintai dunia dan hawa nafsunya, maka
menjadikan jasadnya sebagai istana, namun bagi insan yang
mencintai-Ku dan merindukan ukhrawi, akan menjadikan
jasadnya sebagai penjara.

Hawa nafsu adalah penopang bagi tumbuh dan


berkembangnya jasmani atau jasad. Semua kenikmatan jasmani akan
segera terpenuhi dengan adanya hawa nafsu. Keinginan nafsu terus
berusaha tanpa henti seakan-akan jasad itu bisa hidup selama-
lamanya. Memang, tanpa hawa nafsu, jasmani tidak akan hidup
karena butuh makan, minum, tidur, istirahat, dan lain-lain. Namun,
jasmani terikat oleh sunnatullah yang pasti akan habis waktunya.
Padahal, akal tahu bahwa jasad memiliki keterbatasan untuk hidup
namun ia dikalahkan oleh keinginan nafsunya. Di istana jasad inilah
seseorang dapat menikmati segala keindahan duniawi.
Sebaliknya, jasmani akan menjadi penjara bagi orang yang
mencintai Allah dan merindukan akhirat. Secara sadar, ia
mengetahui bahwa kenikmatan dunia hanyalah sementara sedangkan
kehikmatan akhirat adalah selamanya. Ketika ia hendak bersedekah,
hawa nafsunya berkata bahwa dialah yang mengumpulkan harta itu
sehingga begitu berat baginya untuk berzakat atau sedekah yang
merupakan ladang akhirat. Ketika hendak puasa, jasmaninya teriak-
teriak kelaparan sehingga sulit untuk berpuasa yang meruapakan
cara menyiapkan bekal akhirat. Begitu pula adanya dengan
melakukan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan oleh Allah, selalu
saja dihalangi oleh kecintaan dan kesenangan duniawi. Jasad menjadi
penjara baginya untuk menuntut akhirat dan menggapai cinta
kepada Allah Swt. Wallaahu a’lam.
206

Kalam Sirri 151

Kecintaan 15
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang mencintai-Ku karena takut kepada-Ku maka
Aku berikan apa yang dimintanya. Dan barangsiapa yang
mencintai-Ku karena ia mengharapkan akhirat-Ku, maka Aku
limpahkan ia surga. Akan tetapi bagi siapa yang mencintai-Ku
karena keikhlasan semata, niscaya Aku akan membukakan diri-
Ku untuk dikunjungi setiap ia rindu kepada-Ku.

Tiada salahnya mencintai Allah dan menaati-Nya karena


takut akan siksa neraka. Sebab, Allah telah berjanji akan
menyelamatkan orang yang seperti ini dari siksaan neraka-Nya.
Tiada pula salahnya mencintai Allah karena mengharapkan pahala
sehingga masuk ke dalam surga-Nya. Karena, Allah pun berjanji
akan melimpahkansegala kenikmatan surga kepadanya kelak.
Namuh, siapa yang mencintai Allah bukan karena takut akan
neraka-Nya atau karena menginginkan surga-Nya, maka dia telah
menjadi orang yang ikhlas. Orang yang ikhlas tidak mengharapkan
sesuatu pun dari apa yang dilakukannya kecuali rahmat dan rida dari
Allah Swt. Dia tidak mengharapkan pamrih, seperti berharap pahala
untuk mendapatkan surga atau keselamatan dari siksa neraka.
Ingatlah, Iblis pernah berjanji kepada Allah akan
menggelincirkan anak cucu Adam kepada jalan yang sesat dan kufur,
kecuali mereka yang diikhlaskan oleh Allah untuk berkata dan
berbuat semata-mata karena mencari rida-Nya.
Orang yang mencintai Allah dengan tulus akan
mendapatkan kemuliaan untuk selalu dapat mengunjungi dan
menjumpai Allah setiap kali ia rindu pada-Nya. Inilah kenikmatan
yang tiada tara melampaui kenikmatan apa pun di dunia ini.
Ingatlah, siapa yang tidak menemukan kenikmatan bersama Allah di
dunia ini maka ia tidak akan menemukan kenikmatan surgawi di
akhirat. Wallaahu a’lam.
207

Kalam Sirri 152

Kecintaan 16
Wahai hamba-Ku:
Engkau adalah salah satu pintu-Ku di dalam Aku merindui
diri-Ku sendiri, hingga bila engkau temukan kecintaan pada-Ku
maka kecintaan tersebut tiada bermula dan berakhir melainkan
dari Aku jua Yang Maha Mencintai. Dan engkau tidak akan
pernah menyentuh dan mengenal kecintaan-Ku kepadamu,
hingga engkau sendiri menjadi hamba yang “dicari”, yakni
hamba yang kosong dari segala rasa kepemilikan.

Seorang hamba mustahil menemukan Allah dengan


mencari-Nya. Allah juga mustahil disentuh dan dikenali melalui
usaha manusia. Seperti halnya sepeda mencari pembuatnya, ia hanya
dapat bertemu pembuatnya jika pembuatnya mencari sepeda
ciptaannya. Begitulah, Allah akan ditemui, disentuh, dan dikenali
manakala Allah sendiri yang berkenan datang menemui, menyentuh,
dan mengenalkan diri-Nya sendiri. Maka, cara untuk menemukan,
menyentuh, dan mengenal-Nya adalah memosisikan diri sebagai
hamba yang dicari dengan menjadi orang yang merasa papa tidak
memiliki apa-apa. Yakni, tiada memiliki daya, kekuatan,
kemampuan untuk melakukan apa pun kecuali daya, kekuatan, dan
kemampuan yang Allah titipkan.
Kalaulah Allah mencintai seorang hamba maka
sesungguhnya kecintaan itu datangnya dari Allah jua. Dengan
karunia cinta tersebut, Allah merindui diri-Nya sendiri di mana sifat
yang merindu kepada zatnya sendiri. Apabila sudah demikian, cinta
itu bermula dari Allah dan juga berakhir pada-Nya. Wallaahu a’lam.
Dialah Yang Dicintai sekaligus Yang Mencintai.
Dialah Yang Dirindui sekaligus Yang Merindui.
Dialah Yang Dicari sekaligus Yang Mencari.
Dialah Zat Yang Maha Tunggal.
Dialah Yang Awal sekaligus Yang Akhir.
Dialah Yang Zhahir sekaligus Yang Bathin.
208

Kalam Sirri 153

Kecintaan 17
Wahai hamba-Ku:
Janganlah engkau jadikan kedekatan dan penyaksian suatu
alasan untuk berjalan menuju kepada-Ku, karena kedekatan
maupun penyaksian bukanlah suatu tujuan yang sesungguhnya.
Cukuplah jadikan kedekatan dan penyaksian tersebut sebagai
jembatan untuk meraih cinta-Ku karena dengan cintalah segala
sesuatu itu memiliki tujuan.

Belajar untuk mengenal Allah adalah langkah awal dalam


beragama. Mengenal Allah melalui akal dengan mempelajari nama,
sifat, dan perbuatannya. Namun, tidak boleh menghentikan
perjalanan hati hanya pada tahap pengenalan akal semata, namun
perlu melangkah dengan melakukan pendekatan.
Pendekatan kepada Allah adalah langkah kedua dalam
memperjalankan hati dengan melaksanakan segala perintah dan
menghindari segala larangan-Nya. Namun, kedekatan tidak boleh
menjadi tujuan akhir perjalanan, tetapi hendaknya terus
mengayunkan langkah berikutnya untuk mengakrabinya.
Keakraban dengan Allah adalah langkah ketiga dengan
melaksanakan segala yang disunnahkan dan menghindari segala yang
dimakruhkan. Namun, keakraban bukanlah terminal akhir tetapi
terminal awal munculnya penyaksian pada-Nya.
Penyaksian adalah pandangan pertama untuk menemukan
cinta kepada Allah. Siapa pun yang menyaksikan wajah-Nya pasti
akan jatuh cinta dan akan meregang rindu sepanjang hayatnya.
Namun, penyaksian bukanlah akhir perjalanan hati, tetapi harus
terus melangkah hingga mendapatkan balasan cinta-Nya.
Ingat, cinta pun bukan terminal terkahir. Namun, dengan
cinta, tetapi di balik cinta akan ditemukan bahwa tujuan akhir dari
segala penciptaan termasuk tujuan dari penciptaan diri manusia
adalah mengabdi kepada Pecinta Sejati. Wallaahu a’lam.
209

Kalam Sirri 154

Kecintaan 18
Wahai hamba-Ku:
Berdekatan dengan-Ku bukanlah akhir dari perjalananmu, dan
penyaksian akan kenyataan-Ku bukan jua tempat engkau
berhenti. Namun bagimu cukuplah menjadikan kedekatan dan
penyaksian terhadap-Ku sebagai permulaan akan terungkapkan
kecintaan kepada-Ku.

Kekeliruan sering dialami oleh seorang hamba dalam


berjalan kepada Allah adalah berhenti pada stasiun kedekatan.
Apabila sudah muncul rasa dekat dianggapnya itulah puncak dari
pendakiannya kepada Allah. Padahal, di balik kedekatan itu
hendaknya dapat melanjutkan perjalanan berikutnya untuk
menyaksikan keberadaan dan kenyataan-Nya.
Demikian pula dengan orang yang sudah diberi kesempatan
untuk menyaksikan keberadaan dan kenyataan Allah, terkadang
merasa telah sampai pada menara tertinggi dari tiap anak tangga
yang telah dilewatinya, padahal di balik penyaksian masih ada
langkah berikutnya yang harus ditapaki. Hendaknya, penyaksiaan
itulah awal untuk melahirkan rasa rindu dan cinta kepada Allah.
Cinta adalah tali ikatan yang menjadikan hamba dan Tuhannya
memadu kasih dalam keadaan rida dan diridai. Wallaahu a’lam.
210

Kalam Sirri 155

Kecintaan 19
Wahai hamba-Ku:
Bagi yang mencintai-Ku lantaran rindu terhadap-Ku, niscaya
Aku akan ceritakan tentang diri-Ku dengan segala sesuatu yang
Aku rahasiakan, hingga ia akan asyik dalam setiap zikir dan
ibadahnya kepada-Ku, karena setiap pecinta akan lebih
menikmati “percintaan” dengan-Ku ketika ia beribadah kepada-
Ku.

Cinta kepada Allah bertingkat-tingkat. Ada cinta yang


terucap di bibir saja, tetapi tidak berimplikasi dalam perbuatan. Ada
cinta yang diwujudkan dalam perbuatan, tetapi sekadar ucapan
terima kasih dan syukur atas segala nikmat yang Allah berikan
padanya. Dan ada pula cinta karena berawal dari pengenalan kepada
Allah yang melahirkan penyaksian. Dari penyaksian inilah ia
menemukan indahnya wajah Allah Yang Maha Agung, sehingga ia
pun jatuh cinta pada-Nya. Dengan cinta yang demikian, maka
lahirlah kerinduan yang tiada akhir.
Orang yang benar-benar dapat menikmati indahnya setiap
ibadah yang dilakukannya adalah mereka yang merindu kepada Allah
karena cinta dan Allah pun mencintainya. Di dalam ibadahnya, ia
dapat mencurahkan hasrat dan keinginannya, sehingga berbagai
rahasia Allah bukakan untuk dirinya. Inilah secuil surga dengan
penuh dengan kenikmatan yang Allah bukakan bagi hamba-Nya di
dunia ini, dan kelak di akhirat memandang wajah Tuhannya dengan
wajah yang berseri-seri.
Ya Allah, bukakan segala tirai dan hijab di hadapan hamba-
Mu sehingga dapat menikmati pesona wajah-Mu yang Maha Mulia
dan Maha Agung.
Wallaahu a’lam.
211

Kalam Sirri 156

Kecintaan 20
Wahai hamba-Ku:
Tanda yang utama bagi si pecinta adalah keluar dari apa-apa
yang ia cintai dari kemauan dan kehendaknya sendiri, dan
berjalan jauh dari apa-apa yang ia harapkan dari dirinya sendiri.
Karena sesungguhnya Pecinta akan selalu meletakkan dirinya
kepada apa-apa yang mendekati kemauan dan kehendak dari
Aku yang dicintainya.

Bila kita mencintai Allah maka semua kehendak dan


kemauan yang timbul dari diri kita tidak lagi berasal dari hawa nafsu
dan ego, tetapi ia senantiasa keluar dari nurani dan mengikuti segala
yang dikehendaki dan dimaui oleh Allah. Ketika berbuat sesuatu, ia
tidak lagi untuk memenuhi kepentingan dirinya seperti mengharap
pujian atau menghindari celaan orang lain, melainkan menunaikan
apa yang Allah ridai.
Atau dengan kata lain, orang yang cinta kepada Allah adalah
orang yang tulus dan ikhlas melakukan apa pun demi mendapatkan
keridaan dan kasih sayang Allah. Semua ia lakukan agar Allah
membalas cintanya. Hal yang paling ia takuti bukanlah siksa kubur
atau neraka, tetapi murka Allah sehingga berpaling dari dirinya.
Pengabdian dan ibadah paling tinggi nilainya di sisi Allah adalah
ketika ia dilakukan sebagai bukti cinta kepada-Nya.
Ya Allah, Engkaulah Pecinta Sejati, tiada yang dapat
mencintai-Mu kecuali hati yang Engkau kehendaki, maka
mandikanlah hatiku dengan cahaya cinta-Mu.
Engkaulah Perindu Sejati, tiada yang dapat merindui-Mu
kecuali jiwa yang Engkau perkenankan telah memandang keagungan
wajah-Mu maka singkaplah tirai dan hijab hadapanku.
Wallaahu a’lam.
212

Kalam Sirri 157

Kecintaan 21
Wahai hamba-Ku:
Tiada hubungan yang indah melainkan hubungan yang didahului
oleh kecintaan. Dan tiada pertemuan yang lebih baik kecuali ia
didahului dengan kerinduan, maka tiada satupun kecintaan dan
kerinduan hamba-Ku yang lebih Kuinginkan, kecuali ia masih
bersujud kepada-Ku.

Tiada ibadah paling indah dan mengasyikkan kecuali ibadah


yang dilakukan karena cinta. Tiada shalat yang penuh makna kecuali
bila di dalamnya terjadi perjumpaan dengan Sang Kekasih. Tiada
perjumpaan yang lebih berarti kecuali didahului oleh rasa rindu
kepada Sang Kekasih.
Oleh karena itu, munculkanlah kerinduan kepada Allah
ketika hendak mengambil air wudhu sehingga wudhu menjadi jalan
membersihkan segala dosa dan kesalahan yang diperbuat oleh mata,
mulut, hidung, telinga, pikiran, tangan, dan kaki seiring dengan
kucuran air yang mengalir.
Timbulkanlah kerinduan sebelum mengangkat tangan untuk
membesarkan keagungan Allah dalam takbir sehingga segala
ucapanmu mewakili kesadaran jiwa dan hatimu sebagai hamba yang
mengabdi kepada Sang Kekasih. Dengan shalat, engaku diberi
kesempatan untuk menumpahkan segala kemelut dan galau di
jiwamu, meluapkan segala sanjungan dan pujian kepada Sang
Kekasih Yang Mahaindah dan Mahaagung.
Pecinta sejati adalah melampiaskan rindu dan cintanya dalam
rukuk dan sujud penuh kepasrahan menyembah kepada Kekasih.
213

Kalam Sirri 158

Kecintaan 22
Wahai hamba-Ku:
Bagi di antaramu yang mengungkapkan cinta kepada-Ku, maka
ia telah terhijab dengan “kalimat” tersebut. Dan barangsiapa
yang menyatakan cinta dengan diam dalam rasanya, maka ia
telah menyelamatkan cintanya tersebut dari hijab-hijab yang
datang dari dirinya sendiri.

Cinta tidak akan terungkap dalam kata dan kalimat, karena


bahasa verbal tidak mampu mewakili rasa di dalam hati. Maka,
orang yang mengungkapkan bahwa ia mencintai Allah di depan
makhluk-Nya pastilah termasuk orang yang terhijab dan telah
berdusta dalam ungkapannya. Orang yang mencintai Allah, tidak
akan memperdengarkan kata „cinta‟ kepada siapa pun selain kepada
Allah Swt.
Menyatakan diri bahwa mencintai Allah di hadapan makhluk
tentu memiliki harapan pujian dari makhluk sekecil apa pun itu, dan
itu adalah hijab dan kebohongan. Menyatakan cinta kepada Allah di
hadapan makhluk tidaklah dalam bentuk kata, melainkan berbagi
kasih kepada mereka dalam tindak tutur dan tindak laku. Berbagi
kasih yang demikian adalah ungkapan dan pembuktian cinta di
hadapan Allah Sang Kekasih.
Ya Allah, Engkaulah Zat Yang Maha Menutupi, tutupi
cintaku pada-Mu dari mata dan telinga makhluk-Mu sehingga aku
hanya ungkapkan kepada-Mu.
Ya Allah, Engkaulah Zat Yang Maha Kuasa, tolonglah
hamba untuk membuktikan cinta dan rinduku padamu dalam
ingatan, syukur, dan pengabdian pada-Mu.
Wallaahu a’lam.
214

Kalam Sirri 159

Kecintaan 23
Wahai hamba-Ku:
Aku adalah Zat Yang Maha Mencintai dan tiada sesuatu jua
pun yang menyentuh-Ku kecuali atas semua yang menghampiri-
Ku dengan segala rindu dan kecintaannya pada-Ku. Oleh karena
itu, hampiri dirimu dengan kecintaan hanya kepada-Ku, niscaya
dengannya engkau dapat mendatangi-Ku dalam kondisi serta
keadaan apapun pada dirimu.

Harapan untuk berjumpa dengan Allah adalah titik start


untuk menyentuh dan menghampiri Allah. Allah berfirman, “Siapa
yang berharap jumpa dengan Allah, maka (ketahuilah) masa
perjumpaan itu pasti akan tiba waktunya(QS. Al-Ankabut/29: 5)”
Harapan jumpa harus disertai dengan usaha. Usaha pertama
yang dapat dilakukan adalah mencari pengetahuan tentang Allah.
Pengetahuan tentang Allah yang dapat dijangkau oleh akal tentu
terbatas hanya menyangkut nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Usaha
berikutnya adalah melakukan pendekatan dengan memanggil nama-
Nya dalam zikir, merasakan sifat-Nya dalam hati, dan memikirkan
perbuatan-Nya dalam tafakur.
Semakin rajin melakukan pendekatan kepada Allah maka
akan semakin kuat menumbuhkan rasa rindu pada-Nya. Bila rasa
rindu sudah tumbuh, dan dipupuk terus menerus maka bila tiba
waktunya Allah membukakan hijabnya sehingga dapat menyaksikan
keberadaan dan kenyataan-Nya. Jika seorang hamba yang telah
menyaksikan Allah di dalam nuraninya maka pasti akan jatuh cinta
pada-Nya.
Ya Allah, Engkaulah Pemilik Cintai, hamba ingin mencintai-
Mu maka peliharalah setiap harapan hanya tertuju pada-Mu.
Limpahkanlah daya dan kekuatan untuk terus berusaha menuju
pada-Mu. Dan semaikanlah rindu dan cintaku pada-Mu walaupun
itu hanya secuil.
Wallaahu a’lam.
215

Kalam Sirri 160

Kecintaan 24
Wahai hamba-Ku:
Lepaslah engkau dari segala kecintaan selain kepada-Ku karena
tiada sesuatu yang akan mengikatmu, kecuali jika sesuatu itu
engkau hampiri dengan kecintaan padanya.
Maka demi apa-apa yang terlintas di hati hamba-Ku, janganlah
sekali-kali engkau datangi sesuatu selain-Ku sebelum engkau
mendatanginya dengan rasa kecintaanmu pada-Ku.
Dan ketahuilah, sesungguhnya kecintaan yang tertuju hanya
kepada-Ku dapat menyelamatkanmu dari segala sesuatu yang
mengikatmu yang dapat memperbudak dirimu.

Siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan menjadi


budaknya. Mencintai harta maka ia akan menjadi budak hartanya;
mencintai jabatan maka akan menjadi budak jabatannya; mencintai
pekerjaan maka ia akan menjadi budak pekerjaannya; mencintai
seseorang seperti kekasih, anak, istri, suami, orang tua, maka ia pun
menjadi budak mereka, dan seterusnya.
Allah tidak melarang kita mencintai orang, harta, jabatan,
pekerjaan, dan apa pun di dunia ini, tetapi dengan syarat dalam
rangka cinta kepada Allah. Kita mencintai orang karena perintah
dari Allah dan sebagai bukti cinta kepada Allah. Kita mencintai
harta, jabatan, pekerjaan, dll karena ingin memanfaatkannya pada
sesuatu yang disenangi Allah sebagai bukti cinta pada-Nya.
Hanya cinta kepada Allah yang membebaskan diri kita dari
segala bentuk perbudakan yang kita ciptakan sendiri atas diri kita di
dunia ini. Dengan cinta itulah kita dapat mensyukuri segala apa yang
Allah datangkan dan ambil dari diri kita, karena semua itu tiada lain
adalah milik-Nya yang dititipkan pada kita. Wallaahu a’lam.
216

Kalam Sirri 161

Kecintaan 25
Wahai hamba-Ku:
Pertemuan antara Aku dengan “aku” yang merahasia di dirimu,
merupakan awal engkau melebur dalam lautan pengenalan. Dan
apabila engkau telah menyaksikan kecintaan dan kerinduan
antara Aku dengan “aku” di dirimu, maka kesaksian mata
hatimu menjadi bukti akan kecintaan-Ku yang meliputi dirimu
sendiri, niscaya tiada tempat yang layak untuk engkau huni
kecuali berada di tumpuan pandangan-Ku.

Yang pantas meng-„aku‟ pada diri kita hanya Allah karena


dengan tiupan dari sifat-Nyalah sehingga kita ada: dengan hayat-Nya
kita hidup, dengan qudrat-Nya kita berdaya, dengan iradat-Nya kita
berkehendak, dengan ilmu-Nya kita berpengetahuan, dengan
bashar-Nya kita melihat, dengan sama‟-Nya kita mendengar, dan
dengan kalam-Nya kita berbicara.
Untuk mengenal Allah, maka kita harus lebur dalam sifat-
sifat tersebut dengan meniadakan segala keakuan kita sendiri atas
hidup, daya, kehendak, ilmu, melihat, mendengar, dan berbicara.
Kita adalah nol dan hampa kecuali sebagai hamba yang hanya
bergantung sepenuhnya kepada Allah. Dengan lebur dalam sifat-
sifat Allah tersebut, maka kita akan menyaksikan pertemuan antara
„aku‟ (sifat Allah) dengan „Aku‟ (Zat Allah). Inilah yang dimaksud
ungkapan dalam hadis Nabi Saw, “Maka melalui aku (sifat-Ku)
mereka mengenal Aku (zat-Ku)” atau ungkapan sufi ‘araftu rabbiy bi
rabbiy (aku mengenal tuhanku (zat Allah) melalui tuhanku (sifat
Allah).
Dengan lebur di dalam sifat-Nya, maka nyatalah Allah
sebagai Zat Yang Maha Mencintai yang tiada pernah berpaling
menatap para kekasih-Nya yang telah hampa dan kosong dari segala
ego dan keakuannya. Wallaahu a’lam.
217

Kalam Sirri 162

Kecintaan 26
Wahai hamba-Ku:
Kecintaan kepada-Ku adalah awal dari perbudakan hamba
kepada-Ku. Sedangkan kerinduan hamba kepada-Ku adalah
zikir yang sebenarnya. Maka tiadalah budak yang lebih
beruntung kecuali budak yang mencintai dan dicintai oleh
majikannya. Begitupun jua, tiada yang lebih tinggi daripada
zikir yang dikarenakan rindunya hanya kepada-Ku saja.

Para pecinta Allah adalah hamba yang sebenar-benarnya


budak. Adalah aneh bila ada orang yang mengaku dekat dan cinta
kepada Allah tetapi mengabaikan syariat-Nya. Melaksanakan syariat
adalah wujud dari kehambaan seseorang. Budak yang mencintai
tuannya akan bergantung penuh pada tuannya, senang melakukan
perintahnya dan juga senang meninggalkan larangannya. Budak yang
mencintai tuannya selalu rela dan tulus menerima apa pun
keputusan tuannya atas dirinya. Dia ingin selalu bersamanya dan
paham betul bahwa apa yang dilakukan tuannya adalah demi
kebaikan dirinya sendiri. Manalah mungkin seorang kekasih tidak
memberikan sesuatu yang terbaik untuk kekasihnya.
Orang yang punya rasa cinta pasti ada kerinduan di dalam
hatinya. Seorang pecinta akan selalu menyebut dan mengingat
kekasihnya karena rindu pada-Nya. Pecinta Allah adalah nama Allah
yang penghias lisannya dan detak jantungnya menjadi hitungan zikir
pada-Nya. Tiada ingatan atau zikir kepada Allah yang melebihi
ingatan dan zikir para perindu-Nya. Wallaahu a’lam.
218

Kalam Sirri 163

Kecintaan 27
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa berusaha untuk mencintai-Ku, maka tiada
pengetahuan yang lebih utama baginya melainkan mengenal
pengetahuan tentang Aku. Dan di antara hamba-Ku yang
Aku cintai, tiada keraguan baginya untuk mengenal-Ku,
karena kecintaan-Ku jua sumber dari segala pengetahuan
untuk menuju kepada-Ku.
Sesungguhnya kecintaan yang datang dari padamu akan
membutuhkan pengetahuan tentang apa yang engkau cintai,
akan tetapi kecintaan yang datang dari-Ku kepadamu tidaklah
membutuhkan pengetahuan apapun bagi dirimu. Sungguh
melalui kecintaan-Ku saja akan mendatangkan pengetahuan
yang sebenarnya bagimu”.

Cinta hanya dapat diperoleh bila ada rindu. Rindu hanya


dapat diperoleh bila ada kedekatan. Kedekatan hanya dapat
diperoleh bila ada pengenalan. Jadi, usaha pertama yang mutlak
ditempu bila hendak meneguk cinta Allah adalah belajar mengenal
siapa Allah. Allah mustahil dikenali dengan akal, melainkan dengan
hati nurani. Namun, akal dibutuhkan untuk mendapatkan
pengenalan awal tentang Allah. Yang dapat dikenali oleh akal
terbatas pada nama, sifat, dan perbuatannya. Itulah sebabnya, Allah
senantiasa mengajak akal kita untuk memerhatikan “tanda-tanda”-
Nya. Tanda-tanda Allah dapat dilihat para nama, sifat, dan
perbuatan-Nya.
Selanjutnya, berusaha mendekat kepada Allah. Pendekatan
dapat dilakukan dengan menjalankan perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya. Pendekatan tidak cukup hanya
menjalankan perintah wajib atau larangan haram, tetapi mencari
perhatian-Nya dengan melakukan hal-hal yang disunnahkan dan
meninggalkan yang dimakruhkan. Usaha pendekatan seperti ini jika
istiqamah dilakukan, lambat laun akan memberikan keakraban.
219

Keakraban inilah yang akan melahirkan rasa rindu. Bila rasa rindu
sudah tumbuh maka benih cinta pun sudah mulai tersemai di dalam
hati.
Namun, semua usaha yang kita lakukan mulai dari
pengenalan nama, sifat, dan perbuatan Allah, usaha mendekat
dengan ibadah wajib dan sunnah, hingga muncul rasa rindu, adalah
bergantung kepada kemurahan Allah Swt. Ada yang dianugrahi cinta
setelah berusaha mengenali-Nya, dan ada juga yang diberi cinta
karena semata-mata kemurahan-Nya sehingga tidak memerlukan
pengenalan sebelumnya. Wallaahu a’lam.
220

Kalam Sirri 164

Keridaan 1
Wahai hamba-Ku:
Bukankah engkau mencari keridhaan-Ku? Namun kenapa engkau
masih meragukan kehendak-Ku ketika Aku turunkan bencana dan
kehinaan kepada-mu. Sesungguhnya keridhaan-Ku bukan saja
terletak pada kesenangan dalam pandanganmu, akan tetapi dapat
ditemukan di segala yang tidak engkau senangi, namun engkau masih
mudah menerimanya.

Allah berfirman, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di


bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi membanggakan diri, (QS. Al-Hadid/57: 22-23)
Hanya orang yang punya cinta yang memiliki kerelaan
menerima segala yang didatangkan dan diambil oleh kekasihnya
karena kerelaan adalah buah dari cinta. Dan hanya orang punya
cinta pula yang pandai berterima kasih atas segala cindramata dari
sang kekasih karena syukur adalah buah dari cinta pula.
Sebelum lahir, kita tidak tau kapan dan di mana akan lahir,
juga tidak tahu siapa ibu dan bapak kita nanti. Ketika sudah lahir,
kita tidak tahu kadar rezki, jodoh, dan sampai kapan kita akan
hidup. Bila hari ini kita telah lahir di sini, dan dengan kedua orang
tua kita saat ini, maka itu merupakan karunia dari Allah Swt. Bila
Allah yang menghidupkan kita maka Dia pula yang menentukan
kadar rezki, jodoh, dan waktu kematian kita. Jika demikian, buat apa
kita terlalu bersuka cita dengan karunia yang kita terima, dan buat
apa pula kita berduka cita dengan apa yang pergi dari diri kita.
Hanya hati yang rela menerima ketentuan Allah yang akan
menikmati indahnya kehidupan sesaat ini. Dan, hanya yang punya
cinta yang akan menikmatinya. Wallaahu a’lam.
221

Kalam Sirri 165

Keridaan 2
Wahai hamba-Ku:
Barangsiapa yang dapat memberi dengan keikhlasan, itu bertanda
Aku rida dan akan menambah rezkinya di luar daripada
perkiraan akal dan pikirannya.

Dambaan setiap insan adalah hidup dalam keridaan Allah


Swt. Tanda orang diridai Allah adalah ketika ia mampu berbuat
ikhlas dalam berbagi dengan orang lain, berbagi dengan nikmat yang
Allah karuniakan padanya. Mereka yang diberi ilmu pengetahuan
dapat berbagi dengan mengajar, yang diberi harta dapat berbagi
dengan sedekah, yang diberi jabatan dapat berbagi dengan amanah
dan tanggungjawab, yang diberi tenaga dapat berbagi dengan
bantuan fisik. Semua orang diberi kesempatan untuk berbagi, apa
pun keadaannya.
Namun, untuk berbagi dengan ikhlas tidaklah muda. Orang
yang dapat berbuat ikhlas hanyalah orang yang memiliki cinta
kepada Allah, sehingga apa pun yang dilakukannya semata-mata
untuk membuktikan cinta kepada-Nya.
Jika Allah berkenan mengaruniai keikhlasan, maka mudahlah
bagi kita untuk berbagi sebagai tanda syukur dan cinta kepada-Nya.
Allah berfirman, “Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim/14: 7).
Semakin kita berbagi dengan tulus sebagai tanda syukur
maka akan semakin dilipatgandakan penggantinya oleh Allah Swt.
Namun, semakin kita menahan harta maka Allah akan menyiksa kita
dengan harta itu dan kelak di akhirat juga akan diazab dengan
siksaan yang amat pedih. Wallaahu a’lam.
222

Kalam Sirri 166

Keridaan 3
Wahai hamba-Ku:
Ridha adalah dinding dari mahligai tawakkal, dan tawakkal
menjadi tiang dari kesabaran, maka kesabaran adalah kamar dari
pertolongan-Ku.

Salah satu tanda orang yang beriman adalah tawakal atau


bersandar sepenuhnya kepada Allah. Bersandar kepada Allah tidak
berarti berpangku tangan menunggu datangnya karunia, tetapi
memaksimalkan niat dan usaha sembari menunggu pertolongan dari
Allah Swt. Allah beriman, “Apabila kamu sudah berazam (tekad dan
usaha) maka serahkan sepenuhnya kepada Allah.” (QS. Ali Imran/3:
159)
Orang yang senantiasa bersandar kepada Allah yang selalu
rela atau rida menerima segala apa yang didatangkan dan diambil
oleh Allah atas dirinya. Orang yang bertawakal menyerahkan segala
harapan dan cita-citanya pada keputusan Allah akan diuji dengan
kesabaran. Kesabaran tidak mengenal waktu sehingga kekuatan
untuk terus bersandar kepada Allah merupakan ujian yang sangat
berat. Namun, Allah menjanjikan bahwa pertolongan Allah pasti
akan tiba waktunya bagi orang-orang yang sabar.
Ingin meraih ilmu butuh kesabaran, ingin meraih rezki
butuh kesabaran, ingin mencari jodoh butuh kesabaran, dan semua
harapan butuh kesabaran. Termasuk, keinginan meraih cinta kepada
Allah, butuh kesabaran. Orang yang berjalan atau memperjalankan
hatinya menuju kepada Allah butuh kesabaran yang lebih
dibandingkan dengan harapan-harapan yang lain. Keinginan
menggebu-gebu untuk dekat, menyaksikan, dan cinta kepada Allah
juga bisa jadi dorongan hawa nafsu, sehingga hilanglah kesabaran
itu. Padahal, kesabaran dalam berusaha itulah mujahadah yang
sebenarnya. Wallaahu a’lam.
223

Kalam Sirri 167

Perjalanan 1
Wahai hamba-Ku:
Jikalau kelahiran dan kematian adalah kawan seiring sejalan,
maka waktu adalah jalannya, amal ibadah akan menjadi
bekalnya, dan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabimu adalah
penerangnya, sedangkan Zat yang ditujunya tak lain adalah
Aku.

Kelahiran adalah titik awal kehidupan kita di muka bumi ini


dan kematian adalah titik akhirnya. Masing-masing kita diberi waktu
menjalani waktu antara kelahiran dan kematian. Waktu yang kita
jalani ini adalah pilihan Allah dan kita wajib menunaikan janji yang
pernah dibuat untuk menjadi hamba-Nya dan menjalankan tugas
kekhalifahan di dunia ini.
Perjalanan manusia di dunia ini bagaikan memasuki lorong
gelap yang setiap saat dapat saja tersesat di dalamnya. Lorong gelap
ini tentu memerlukan pelita penerang sehingga dapat mengambil
bekal. Lampu penerangnya tidak lain adalah Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah Saw. Berdasarkan kedua pedoman tersebut, setiap orang
dapat mempersiapkan bekal berupa perbuatan baik dan pengabdian
ibadah kepada Allah untuk melanjutkan perjalanannya menuju
terminal terakhir yaitu Allah itu sendiri.
Perjalanan yang lebih gelap lagi adalah perjalanan ruhani
menuju zat Allah. Kendaraan utamanya adalah rasa pada nurani
yang sifatnya tidak terbatas sehingga perlu diikat dengan ketentuan
syariat berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah. Selain itu, juga
diperlukan adanya teman perjalanan yang akan menjadi penunjuk
jalan agar tidak tersesat. Penunjuk jalan itu tiada lain adalah seorang
Guru atau Mursyid yang pernah melewati jalan yang penuh onak
dan duri itu, penuh tanjakan terjal dan jurang dalam, agar selamat
dalam perjalanan. Wallaahu a’lam.
224

Kalam Sirri 168

Perjalanan 2
Wahai hamba-Ku:
Akhir dari perjalanan jasadmu adalah kematian, dan akhir
perjalanan amal ibadahmu adalah akhirat. Sedangkau akhir dari
perjalanan dirimu sendiri adalah hidup bersama Zat-Ku.

Jasad adalah kendaraan bagi ruh untuk menjalankan


tugasnya sebagai hamba dan khalifah di alam dunia ini. Jasad
diciptakan dari unsur materi semesta, tanah, air, api, dan udara.
Karena sumbernya dari materi, maka jasad akan kembali ke asalnya
menjadi tanah, air, api, dan udara, seperti halnya dengan fisik hewan
dan tumbuhan. Oleh sebab itu, siapa yang hanya berorietansi untuk
kesenangan jasadnya maka akan berakhir dengan kematiannya.
Siapa yang tidak beribadah, bahkan menentang dan
membangkan kepada perintah Allah, maka juga akan mendapatkan
balasan siksa di akhirat kelak. Sebaliknya, siapa yang berbuat amal
ibadah dengan orientasi hanya semata-mata mendapatkan balasan
pahala berupa surga di akhirat maka kesenangan itu akan diraihnya
di akhirat. Mereka akan mendapatkan segala kesenangan sebagai
balasan baginya, kecuali kenikmatan memandang wajah Allah.
Sebagaimana ia berawal dan berasal, ruh kita pun akan
berakhir dalam kebersamaan dengan Allah. Memperjalankan ruhani
kepada Allah untuk memandang keindahan dan keagungan wajah-
Nya merupakan perjalanan menuju keabadian. Abadi dalam kasih
dan cinta ilahi, melepas rindu dan hasrat kepada Sang Kekasih.
Inilah puncak dari segala kenikmatan di surga. Kenikmatan ini
hanya diperuntukkan kepada hamba yang semasa di dunia selalu
berharap hendak berjumpa dengan Allah yang disertai dengan usaha
yang maksimal. Wallaahu a’lam.
225

Kalam Sirri 169

Rahasia 1
Wahai hamba-Ku:
Kerahasiaan-Ku tak akan dapat terungkap dengan segala
perumpamaan-perumpamaan yang datang dari akal pikiranmu.
Dan ia jauh tak dapat dijangkau dengan segala ukuran dari
penglihatanmu. Namun, ketahuilah, sesungguhnya rahasia-Ku
disembunyikan dari segala pandangan, sekalipun segala rahasia
tentang diri-Ku disembunyikan, namun Aku si pemilik rahasia
bersembunyi di balik sesuatu yang sering engkau kunjungi, yakni
rasa pada hati mu.

Allah Swt adalah zat yang Maha Halus (al-Lathiif) sehingga


mustahil untuk disentuh dengan pancaindra, tidak bisa dilihat oleh
mata, tidak bisa didengar oleh telinga, tidak dapat dicium oleh
hidung, tidak dapat dirasa dengan lidah, dan diraba oleh kulit.
Karena tidak dapat disentuh oleh pancaindra, maka otomatis Allah
Swt pun tidak bisa diketahui oleh akal pikiran manusia yang sumber
informasinya berasal dari indra.
Namun, Allah Swt juga adalah zat yang Maha Nyata yang
bisa disentuh dengan sesuatu yang maha halus di dalam diri
manusia, yaitu rasa di dalam hati. Rasa di dalam hati setiap saat
digunakan oleh manusia. Rasa ini mampu mengenali perbedaan
antara yang salah dan benar karena ia berasal dari nurani. Nurani
sendiri adalah wadah pertemuan antara hamba dengan Allah, antara
sifat dan Zat-Nya.
Nurani manusia sudah mengenal siapa tuhannya. Hanya
karena wadahnya, yaitu hati yang banyak bergantung kepada selain
Allah atau dipenuhi rasa kepemilikan atau ego sehingga tidak bisa
menemukan keberadaan-Nya yang Maha Nyata itu. Kuncinya,
bersihkan hati dengan menumbuhkan rasa butuh kepada Allah.
Wallaahu a’lam.
226

Kalam Sirri 170

Rahasia 2
Wahai hamba-Ku:
Segala tanda-tanda-Ku adalah rahasia-rahasia-Ku yang tersamar
dari segala pandangan mata. Namun akan menjadi pengetahuan
yang tak terbantahkan bagi segala pandangan yang datangnya
dari hati hamba-Ku dalam berpikir untuk mengenal rahasia-
rahasia-Ku.

Pengetahuan akal bergantung pada informasi yang didapat


oleh pancaindra. Informasi yang diperoleh indra tentu sangat
terbatas oleh ruang dan waktu. Pandangan mata bisa tertipu oleh
objek yang dilihatnya, misalnya tongkat lurus yang dimasukkan ke
air akan tampak bengkok. Pendengaran telinga juga bisa tertipu bila
ada kemiripan dengan yang lain. Penciuman hidung juga bisa tertipu
oleh adanya banyak benda yang memiliki aroma yang sama, dan
seterusnya.
Berbeda dengan indra, pengetahuan yang diperoleh melalui
rasa akan meyakinkan dan tidak mungkin terbantahkan, baik rasa
jasmani, rasa ruhani, maupun rasa nurani. Rasa jasmani, jika sehat,
ketika mencicipi manis pasti akan yakin bahwa di balik rasa manis
itu pasti ada gula, di balik rasa asin pasti ada garam dan seterusnya.
Rasa ruhani juga demikian, yang bisa merasakan senang, sedih,
marah, cinta, dan lain-lain. Walaupun semua perasaan tersebut tidak
mungkin untuk diungkapkan, namun ruhani kita pasti yakin akan
kenyataan perasaan-perasaan tersebut.
Rasa nurani sebagai rasa yang paling halus di dalam diri
manusia pasti bisa memberikan pengetahuan mana yang benar dan
mana yang salah. Rasa nurani ini pulalah yang dapat merasakan
keberadaan dan kenyataan Allah Swt. Ketika hati bersih, maka
sudah pasti nurani akan mengetahui siapa tuhan yang sebenarnya,
tidak bisa dibantah. Walaupun pengetahuan rasa nurani ini tidak
mungkin mengungkapkannya lewal akal melalui bahasa lisan.
Wallaahu a’lam.
227

Kalam Sirri 171

Zat 1
Wahai hamba-Ku:
Hanya Aku Tuhan yang mempunyai Zat yang tersembunyi dalam
rahasia yang tertutup dari segala celah, kecuali bagi hati yang
tersiram dengan sentuhan rasa, hingga daripadanya hamba
tersebut menemui Zat-Ku dalam keadaan yang tak tersentuh
dengan mata.

Nurani manusia merupakan ruh (sifat) Allah yang ditiupkan


kepada tubuh jasmaniah, sebagaimana firman Allah Swt,
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)
nya roh (sifat)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. Al-
Sajdah/32: 9).
Nurani ini ada di dalam hati manusia. Penghubung antara
nurani dan hati adalah rasa, sehingga apabila manusia hendak
menyentuh nuraninya maka ia harus tenggelam di dalam rasa di
dalam hatinya. Apabila sudah tenggelam di dalam nuraninya maka
otomatis manusia akan menemukan Zat Allah Swt.
Mengapa demikian? Hal itu karena nurani manusia tidak lain
adalah sifat Allah itu sendiri (yang ditiupkan), di mana antara sifat
dan zat tidak pernah berpisah. Ketika manusia lebur di dalam
nuraninya maka di sanalah ia akan menemukan tempat ia
bergantung, yaitu Zat Allah yang Maha Berdiri Sendiri. Pada saat itu,
keberadaan Zat Allah lebih nyata daripada keberadaan sifat-Nya,
yakni keberadaan Allah Swt lebih nyata daripada diri manusia itu
sendiri. Manusia hanya mendapati dirinya sebagai sesuatu yang
hampa, papa, tidak memiliki apa, sementara yang ada dan pemilik
segala yang ada hanya Allah Swt semata. Wallaahu a’lam.
228

Kalam Sirri 172

Zat 2
Wahai hamba-Ku:
Aku adalah Zat yang memegang segala kehidupan tanpa
tergantung dalam kehidupan. Aku-lah pencipta kehidupan
dalam tiap-tiap tarikan nafas, dan Aku jua yang memiliki
kehidupan walau ia tersembunyi dari kematian. Dan
sesungguhnya janganlah engkau mengira kehidupan itu hanya
terdapat dalam nafasmu karena kehidupan yang tergantung
dengan sesuatu untuk hidup bukanlah kehidupan yang
sebenarnya. Maka hanya Aku-lah satu-satunya yang pantas
disebut Zat yang sebenar-benar hidup karena Aku tidak
bergantung pada sifat-Ku yang hidup. Hanya Zat-Ku Yang
Berdiri Sendiri.

Perbedaan antara Allah dengan makhluk-Nya adalah bahwa


makhluk itu bergantung kepada sifatnya. Gula disebut gula bila ia
manis dan bila tidak manis bukanlah gula, garam disebut garam bila
ia asin bila tidak asin maka bukanlah garam, api disebut api bila ia
panas dan bila tidak panas bukanlah api, dan seterusnya.
Manusia disebut manusia bila ia memiliki sifat hidup, punya
daya dan berkehendak, berakal, melihat, mendengar, dan berkata-
kata. Bila sifat-sifat itu tidak ada maka tidak dapat disebut sebagai
manusia karena manusia bergantung pada sifatnya. Sebenarnya,
sifat-sifat tersebut bukanlah sifat asli manusia melaikan sifat Allah
yang ditiupkan padanya. Manusia hidup karena tiupan sifat hayat
Allah, manusia berdaya dan berkehendak karena tiupan sifat qudrat
dan iradat Allah, manusia berpengetahuan karena tiupan sifat ilmu
Allah, manusia melihat, mendengar, dan berkata-kata karena tiupan
sifat sama‟, bashar, dan kalam Allah.
Sesungguhnya, Allah sendiri tidak bergantung kepada sifat-
sifat-Nya, tetapi sifat-Nyalah yang bergantung kepada zat-Nya. Allah
tidak hidup karena sifat hayat-Nya, melainkan zat-Nyalah yang
menciptakan sifat-Nya yang hidup, dan seterusnya. Wallaahu a’lam.
229

Kalam Sirri 173

Zat 3
Wahai hamba-Ku:
Aku-lah Zat dari segala bentuk kecintaan, dan dari
kecintaanlah engkau melihat kesempurnaan dari keindahan
hati para hamba-hamba-Ku. Maka ketahuilah kecintaan
adalah wujud keindahan Zat-Ku, dan tidaklah Aku jadikan
hati para hamba-hamba-Ku melainkan Kubentuk melalui
sentuhan cinta-Ku, hingga Zat-Ku tiada dapat dipandang
dan disentuh kecuali dengan hati yang penuh dengan
kecintaan kepada-Ku. Aku-lah Zat yang selalu tersembunyi
dalam setiap kecintaan yang merayap dalam hati hamba-
hamba-Ku, dan Aku jua yang dapat mengerti bagaimana cinta
itu dapat dibaca dan dipahami oleh hati hamba-hamba-Ku.
Dengan kecintaanlah engkau berawal dan akan berakhir,
bahkan di situlah engkau akan menemukan Zat-Ku yang
tersembunyi di balik apa-apa yang engkau rasa terhadap
sebuah kecintaan kepada-Ku.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman, “Dulu, Aku


adalah sesuatu yang terpendam, lalu aku cinta untuk dikenali, maka
Aku mencipta. Lalu, melalui sifat-Ku mereka mengenali (zat)-Ku.”
Berdasarkan hadis di atas, dasar penciptaan makhluk adalah
cinta. Selain sebagai dasar penciptaan, cinta juga adalah penghubung
antara Allah dengan makhluk-Nya. Selain sebagai penghubung, cinta
pulalah sebagai tujuan daripada segala penciptaan di alam ini.
Manusia diciptakan untuk memadu kasih dengan Allah,
sehingga segala sesuatu yang diciptakan di alam ini tujuannya tiada
lain kecuali untuk berkhidmat kepada manusia. Inilah maksud dari
hadis Qudsi yang lain, “Seandainya bukan karena kamu (Nur
Muhammad), Aku tidak akan mencipta.” Untuk menemukan cinta-
Nya, prosesnya adalah mengenali nama, sifat, dan perbuatan-Nya
dengan ilmu, mendekati dan mengakrabi-Nya ibadah, memandangi
dan menyaksikan-Nya dengan rasa, hingga tumbuh rindu dan cinta
di dalam hati kepada-Nya. Wallaahu a’lam.
230

Kalam Sirri 174

Tujuan 1
Wahai hamba-Ku:
Maka barangsiapa yang meninggalkan segala tujuan dalam
kemauan “dirinya”, niscaya ia dipilih berjalan dalam segala
tujuan-Ku. Dan bahwasanya Aku-lah Diri yang dicari dari
segala tujuan-Ku sendiri. Sedangkan untuk hamba-Ku yang
dipilih bagi-Ku, Aku akan ridhai dirinya untuk hidup bersama
segala tujuan-Ku dan segala kehendak-kehendak-Ku yang ada
pada dirinya.

Tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk mengabdi


kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:“Aku tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS. al-
Dzariyyat/51: 56)
Bila pengabdian atau penghambaan sebagai tujuan, maka
tiada pengabdian atau penghambaan yang hakiki dan tulus
melainkan yang dilandasi dengan rasa rindu dan cinta kepada Allah.
Artinya, tujuan dari penciptaan adalah menemukan cinta kepada
Allah Swt agar bisa mempersembahkan pengabdian yang sejati.
Untuk menemukan cinta, maka manusia harus melepaskan
segala kehendaknya yang bersumber dari ego dan hawa nafsunya,
sehingga yang berkehendak di dalam dirinya adalah Allah jua.
Artinya, manusia harus berada pada posisi nol dan pasrah. Tidak ada
satu pun yang bisa dia wujudkan di dunia ini tanpa adanya perkenan
dan pertolongan dari Allah Swt. Apabila sudah pasrah total kepada
Allah, dalam arti segala niat dan usahanya disandarkan sepenuhnya
kepada Allah, maka sesungguhnya dialah yang dipilih oleh Allah
untuk menemukan cinta sejati pada-Nya. Hamba yang senantiasa
menggantungkan segala urusannya kepada Allah maka sesungguh-
nya dia telah melepaskan ego dan rasa kepemilikan atas apa yang
diperbuatnya. Segalanya terjadi berkat pertolongan dari Allah
semata, sehingga buah dari usahanya adalah karunia dan titipan dari
Sang Pemilik segala-gala-Nya. Wallaahu a’lam.
231

Kalam Sirri 174

Tujuan 2
Wahai hamba-Ku:
Dekatilah apapun yang dapat mendekatkanmu kepada-Ku dan
jauhilah apa-apa yang dapat menjauhkanmu kepada-Ku, sekalipun
ia datang dari dalam dirimu sendiri. Lalu ungkapkanlah, “Ya Tuhan
kami, pada-Mu segala kekuatan berhimpun dan pada-Mu segala
penuju dan tujuan akan berakhir, maka hendaklah Engkau
limpahkan pada kami kekuatan untuk menjauhkan kami dari apa-
apa yang dapat menjauhkan kami dari diri-Mu. Dan limpahkanlah
jua kepada kami kedekatan yang tiada berjarak dengan segala
tujuan kami. Dan bahwasanya tiada lagi tujuan yang lebih baik
bagi kami selain daripada diri-Mu wahai Tuhan yang Maha
Penuntun.”

Segala sesuatu di dunia ini dapat menjadi sarana


mendekatkan diri kepada Allah. Orang kaya mendekati Allah
dengan sedekah, orang alim mendekati Allah dengan membagi
ilmunya, orang pejabat mendekati Allah dengan kewenangannya,
orang miskin mendekati Allah dengan sabar dan rasa butuh kepada
Allah, orang bodoh dapat menjadi media mendekati Allah jika ada
keinginan untuk belajar, orang berdosa mendekati Allah dengan
istigfar, dan seterusnya.
Di dalam memperjalankan hati kepada Allah, seringkali
seorang hamba tertipu oleh keinginan egonya dalam beribadah. Ada
orang yang beribadah dan ingin segera sampai kepada terbukanya
hijab antara dirinya dengan Allah. Kesungguhan menuju kepada
Allah karena target-target tertentu selain kepada Allah,
sesungguhnya itulah bagian dari pengaruh ego dan hawa nafsu
sendiri.
Rasulullah Saw pernah mengajarkan doa sebagai berikut:“Ya
Allah, karuniailah aku cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang
mencintai-Mu, mencintai segala hal yang dapat mengantarkanku
kepada cinta pada-Mu, serta karuniailah cinta dimana Engkau lebih
aku cintai daripada selain Engkau.” Wallaahu a’lam.
232

Tentang Penulis

Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1973


di Lemo, salah satu desa terpencil di wilayah pinggir
selatan Kecamatan Kajuara, Kebupaten Bone
,Sulawesi Selatan. Dari desa itulah mulai sekolah di
SDN 276 Raja (1980-1986), kemudian melanjutkan
pendidikan pada MTs No. 11 Tanah Gunung –
Kajuara (1996-1989), dan MAN Lappariaja Cabang
Sinjai (1989-1992). Selanjutnya, melanjutkan pendidikan S1 pada
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada Fakultas Adab IAIN
Alauddin Makassar (1992-1996) dan melanjutkan pendidikan S2
pada Program Studi Kajian Islam/Syariah PPs IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan pada lembaga yang sama, menyelesaikan
program S3 dari tahun 2000-Maret 2008 pada bidang yang sama.
Selama kuliah di S1, penulis pernah aktif pada senat Fakultas
Adab IAIN Alauddin 1994-1995 dan menjadi salah seorang
pengurus IMM Komisariat Fakultas Adab IAIN Alauddin. Sejak
tahun 1999-2001, penulis aktif pada Lembaga Kajian Keislaman dan
Kemasyarakatan, Jakarta dan sejak tahun 2002 aktif pada Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sejak tahun 2004, penulis tercatat sebagai
Koordinator Dewan Pengawas Syariah pada BMT Cita Sejahteta
Ciputat. Sejak tahun 1999 hingga saat ini, penulis adalah staf
pengajar tetap pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh.
Karya ilmiah yang dihasilkan antara lain Ta`tsir al-Hadharah
al-Abbasiyyah fi Tathawwur al-Lughah al-Arabiyyah wa Adaabiha
(Pengaruh Kemajuan Peradaban Bany Abbasiyah terhadap
Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab), sekripsi, 1996; Pemikiran
Zamakhsyari dalam Hukum Islam: Telaah terhadap Tafsir Al-Kasysyaf,
Tesis, 2000 dan telah diterbitkan oleh penerbit Mishbah, 2008.
Menulis “Nafkah Istri dalam Islam” dalam Relasi Suami Istri dalam
Islam, Jakarta: PSW-UIN Jakarta, 2004 (Kontributor); Menuju
Masyarakat Antikorupsi, Jakarta: Dep. Komimfo, 2005 (Tim); Pada
program Doktornya menulis disertasi yang berjudul Gaya Bahasa
Ayat Hukum Al-Qur‟an tahun 2008. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian
Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007 (Kontributor); Ruqyah yang
Disyariatkan, Jakarta: Penerbit Mishbah Press, September 2008.
Memahami Dan Memaknai Ibadah Shalat; Jakarta: Rabbani Press,
233

September 2008; Kontribusi Abu Ubaid ibn Sallam dalam Pengembangan


Ekonomi Syariah, Rabbani Press, 2008; Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh
Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press, 2008 (Tim); Studi Eksploratif
Model Pembelajaran Berbasis Riset: Suatu Upaya Pengembangan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai Universitas Riset, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 (Tim); Ensiklopedia
Anak Shaleh: Koleksi Keluarga Muslim, Jakarta: Naylal Moona, 2011
(Tim); K.H. Abdullah Syafi’ie (1910-1985), Jakarta: Adabia Press,
2012; Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: PT. Sapta
Sentosa, 2014 (Editor dan Kontributor). Penulis juga menulis dalam
beberapa jurnal ilmiah: Al-Turas, Islam dan Lingkungan, al-
Iqtishadiyyah, al-Fikr, Zainal Abidin Syah, dan Lektur. Selain itu,
penulis juga menjadi penerjemah, editor, dan penyunting belasan
buku yang diterbitkan oleh Penerbit Teraju-Mizan dan penerbit
lainnya.
Pada tahun 2017 ini, selain buku Mengurai Bahasa Rasa ini, penulis
sedang menerbitkan 0km: Puisi Perjalanan, Kepedulian, dan Realitas; dan
Kembara Makrifat yang masing-masing diterbitkan Adabia Press,
Jakarta. Selain itu, Gaya Bahasa Al-Qur’an: Studi atas Ayat-ayat Hukum
Perkawinan (disertasi) juga dalam proses penerbitan oleh Bumi
Aksara, Jakarta.
‫األوراد القرآنية‬
‫للشيخ موالنا محمد علي حنفية القادري‬

‫مركز التصوف اإلسالمي اإلندونيسي‬


‫‪2102‬‬
KATA PENGANTAR

Wirid Al-Qur’an ini adalah karunia dari Allah SWT atas


permohonan Tuangku Muhammad Ali Hanafiah supaya diberikan
wirid yang bersumber dari Al-Qur’an untuk diamalkan para jama’ah
dan murid-muridnya. Pada saat wirid ini datang, Tuangku langsung
mengambil Al-Qur’an dan tangannya melingkari satu ayat yang
merupakan inti dari setiap surah, kecuali surah Al-Fatihah, dan Alam
Nasyrah hingga An-Nas.
Dalam setiap perjumpaan dengan para auliya, Tuangku selalu
meminta wirid kepada mereka dan wirid itu selalu dibagi kepada
para jama’ah. Suatu ketika Tuangku berjumpa dengan Nabi Khidir
a.s., meminta wirid khusus untuk jama’ah dan murid-muridnya,
namun beliau mengatakan, “Wirid Al-Qur’an itulah yang paling
utama, dan tidak ada lagi wirid yang melebihinya.”
Menurut Tuangku, “Siapa yang mengamalkan wirid Al-
Qur’an ini maka Allah akan melimpahkan karunia dan hidayahnya
yang teramat besar kepadanya di dunia dan di akhirat; seluruh
malaikat yang ada di langit pertama hingga langit ke tujuh
mendoakannya; dan diiringi oleh doa para nabi dan wali sehingga ia
menjadi bersih dan suci daripada dosa-dosa. Selain itu, setiap hari
Allah menurunkan kepadanya 700.000 malaikat hingga terpancar
dari kedua matanya nur Allah; kepadanya ditundukkan semua
binatang melata, baik lahir maupun batin; Allah juga menurunkan
bala tentaranya untuk melindungi keluarganya dari kejahatan yang
keluar dari bumi; Allah juga akan menghindarkan dirinya dari su’ul
khatimah dan ia tidak akan dimatikan sebelum diperlihatkan
tempatnya di surga; serta Allah akan mengalahkan musuh-musuhnya
tanpa ia sendiri menyadarinya; dan masih banyak langi manfaat
lainnya.
Sebelum mengamalkan wirid ini, adabnya adalah
menghadiahkan Al-Fatihah kepada Tuangku dan Salawat kepada
Nabi Muhammad Saw.

2
‫الرِج ْي ِم‬
َّ ‫ان‬ َّ ‫اهلل ِم َن‬
ِ َ‫الش ْيط‬ ِ ِ‫أَعُوذُ ب‬
ْ
       

       

       

      

‫ سورة الفاتحة‬    


1. Al-Fatihah
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai di hari Pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan.
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

3
           

  


2. Al-Baqarah:115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya
Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

       

   

3. Ali Imran:190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,


dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,

         

       

       

  


4. An-Nisa’:163. Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu
kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh
dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan

4
wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak
cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan
Zabur kepada Daud.

        

         

   


5. Al-Maidah:83. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang Telah
mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya
Tuhan kami, kami Telah beriman, Maka catatlah kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan
kenabian Muhammad s.a.w.).

          

           

          
6. Al-An’am:59. Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang
ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz)"

5
        

        

        

       


7. Al-A’raf:54. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam
di atas 'Arsy. dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-
Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.
Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

         

         

    


8. Al-Anfal: 17. Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka,
dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-
lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan
mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui.

6
        

        

      

     


9. At-Taubah: 34. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih,

          
10. Yunus: 44. Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada
manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim
kepada diri mereka sendiri.

            

       


11. Hud: 56. Sesungguhnya Aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku
dan Tuhanmu. tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah
yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan
yang lurus."

7
         

     


12. Yusuf: 4. (ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya:
"Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas
bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

      

         

  


13. Ar-Ra’d: 13. Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah,
(demikian pula) para malaikat Karena takut kepada-Nya, dan Allah
melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang dia
kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-
lah Tuhan yang Maha keras siksa-Nya.

          

    


14. Ibrahim: 19. Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya
Allah Telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? jika dia
menghendaki, niscaya dia membinasakan kamu dan mengganti(mu)
dengan makhluk yang baru.

8
     
15. Al-Hijr: 99. Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu
yang diyakini (ajal).

      


16. An-Nahl: 19. Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan
dan apa yang kamu lahirkan.

      


17. Al-Isra’: 43. Maha Suci dan Maha Tinggi dia dari apa yang
mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.

        


18. Al-Kahf: 25. Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus
tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).

          
19. Maryam: 93. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi,
kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku
seorang hamba.

          
20. Thaha: 110. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka
dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak
dapat meliputi ilmu-Nya.

     


21. Al-Anbiya’: 107. Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
9
         

       


22. Al-Hajj: 60. Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang
dengan penganiayaan yang pernah ia derita, Kemudian ia dianiaya
(lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-
benar Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

      


23. al-Mu’minun: 94. Ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan
aku berada di antara orang-orang yang zalim."

         

   


24. An-Nur: 34. Dan sesungguhnya kami telah menurunkan kepada
kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari
orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-
orang yang bertakwa.

         

         
25. al-Furqan: 2. Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan
bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya
dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.

10
      
26. Asy-Syu’ara’: 84. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi
orang-orang (yang datang) kemudian.

         

 
27. An-Naml: 28. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu
jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu
perhatikanlah apa yang mereka bicarakan"

          

        


28. Al-Qashash: 84. Barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada
kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang
telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa
yang dahulu mereka kerjakan.

           

 
29. Al-Ankabut: 5. Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan
Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti
datang. Dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

11
          
30. Ar-Rum: 5. Karena pertolongan Allah, dia menolong siapa yang
dikehendakiNya. dan dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.

          

           
31. Luqman: 27. Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi
pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut
(lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.

         

      


32. As-Sajdah: 9. Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.

      

         

  


33. Al-Ahzab: 72. Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
12
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

          

       


34. Saba’: 1. Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di
langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di
akhirat. Dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

          

       

        


35. Fathir: 10. Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka
bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.
Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.

        


36. Yasin: 83. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya
kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.

      

13
37. Ash-Saffat: 39. Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan
terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan.

    


38. Shad: 84. Allah berfirman: "Maka yang benar (adalah sumpah-
Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Ku-katakan".

       

          


39. Az-Zumar: 75. Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-
mmlaikat berlingkar di sekeliling 'Arsy bertasbih sambil memuji
Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan
adil dan diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".

         

      


40. Ghafir: 5. (Dialah) yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang
mempunyai 'Arsy, yang mengutus Jibril dengan (membawa)
perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-
hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari
pertemuan (hari kiamat).

        

      


41. Fushshilat: 9. Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir
kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
14
sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb
semesta alam".

          
42. Asy-Syura: 19. Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-
Nya; dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan dialah
yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

          

 
43. Az-Zukhruf: 84. Dan dialah Tuhan (yang disembah) di langit
dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

         


44. Ad-Dukhan: 3. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan.

          

            
45. Al-Jatsiyah: 24. Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain
hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak
ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-
kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga saja.

        


15
          

         

        

          

46. Al-Ahqaf: 15. Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat


baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh
tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau
dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri".

         
47. Muhammad: 7. Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.

         

         

16
 
48. Al-Fath: 4. Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam
hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-
lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.

        


49. Hujurat: 8. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

         

     


50. Qaf: 16. Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih
dekat kepadanya daripada urat lehernya.

     


51. Adz-Dzariyat: 47. Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan
(kami) dan sesungguhnya kami benar-benar berkuasa.

         

 
52. At-Thur: 48. Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan
Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami,
dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun
berdiri.
17
          

       


53. An-Najm: 26. Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat
mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan
bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).

     


54. Al-Qamar: 49. Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran.

    


55. Ar-Rahman: 7. Dan Allah telah meninggikan langit dan dia
meletakkan neraca (keadilan).

       


56. Al-Waqi’ah: 85. Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada
kamu. tetapi kamu tidak melihat.

          
57. Al-Hadid: 3. Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan
yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.

         

       


58. Al-Mujadilah: 6. Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah
semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah
18
mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan
itu, padahal mereka telah melupakannya. dan Allah Maha
menyaksikan segala sesuatu.

        

        

 
59. Al-Hasyr: 21. Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini
kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah
belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-
perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.

           

      


60. Al-Mumtahanah: 7. Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih
sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka, dan Allah adalah Maha Kuasa, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

       

        


61. Ash-Shaff: 11. Kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih
baik bagimu, jika kamu Mengetahui.

19
          

        


62. Al-Jumuah: 8. Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu
lari daripadanya, maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui
kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan".

            
63. Al-Munafiqun: 11. Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu
kematiannya. Dan Allah Maha mengenal apa yang kamu kerjakan.

          

  


64. At-Tagabun: 17. Jika kamu meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya
kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa
lagi Maha Penyantun.

            

           
65. Ath-Thalaq: 3. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.

20
sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.

          

       

          

        

        


66. At-Tahrim: 8. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-
murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan
nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami
cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu."

         
67. Al-Mulk: 26. Katakanlah: "Sesungguhnya ilmu (tentang hari
kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya Aku hanyalah
seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".

         

21
 
68. Al-Qalam: 48. Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad)
terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang
berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan
marah (kepada kaumnya).

   


69. Al-Haqqah: 51. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar
kebenaran yang diyakini.

      


70. al-Ma’arij: 39. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kami ciptakan
mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani).

        

      


71. Nuh: 28. Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang
masuk ke rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman
laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi
orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan".

          

  


72. Al-Jinn: 27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka
sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka
dan di belakangnya.

22
         
73. Al-Muzammil: 9. (Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah dia
sebagai Pelindung.

          

 
74. Al-Mudatsir: 56. Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran
daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. dia (Allah) adalah
Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi
ampun.

    


75. Al-Qiyamah: 17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.

            
76. Al-Insan: 30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.

    


77. Al-Mursalat: 50. Maka kepada perkataan apakah sesudah Al
Quran ini mereka akan beriman?

     

23
78. An-Naba’: -7. Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu
yang ditetapkan,

     


79. An-Nazi’at: 35. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa
yang telah dikerjakannya,

   


80. Abasa: 20. Kemudian dia memudahkan jalannya.

        


81. At-Takwir: 29. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.

     


82. Al-Infithar: 5. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang
telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.

       


83. Al-Muthaffifin: 12. Dan tidak ada yang mendustakan hari
pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi
berdosa.

        


84. Al-Insyiqaq: 6. Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan
menemui-Nya.

    

24
85. Al-Buruj: 13. Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan
(makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali).

      


86. Ath-Thariq: 4. Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada
penjaganya.

   


87. Al-A’la: 3. Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk,

    


88. Al-Ghasyiyah: 26. Kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-
lah menghisab mereka.

   


89. Al-Fajr: 14. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.

     


90. Al-Balad: 4. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
berada dalam susah payah.

    


91. Asy-Syams: 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu,

    


92. Al-Lail: 13. Dan sesungguhnya kepunyaan kamilah akhirat dan
dunia.

25
   
93. Ad-Dhuha: 8. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan.

         

          

          

  


94. Al-Insyirah:
1. Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
2. Dan kami Telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
3. Yang memberatkan punggungmu?
4. Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,
5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
7. Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
8. Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

       

         

       

26
        

      


95. At-Tin
1. Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
2. Dan demi bukit Sinai,
3. Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman,
4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya .
5. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka),
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;
Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
7. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari)
pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
8. Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?

          

         

           

          

          

27
          

         

        

      

96. Al-‘Alaq
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
7. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
8. Sesungguhnya Hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).
9. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
10. Seorang hamba ketika mengerjakan shalat,
11. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di
atas kebenaran,
12. Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu
mendustakan dan berpaling?
14. Tidaklah dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat
segala perbuatannya?
15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian)
niscaya kami tarik ubun-ubunnya,
16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
17. Maka Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
28
18. Kelak kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,
19. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan
sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).

           

          

           

97. Al-Qadr
1. Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada
malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

        

          

          

         

29
        

         

          

        

         

           

   


98. Al-Bayyinah
1. Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
2. (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan
lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran),
3. Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus.
4. Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al
Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka
bukti yang nyata.
5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
6. Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-

30
orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka
kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
8. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun
ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhannya.

       

         

         

         

     


99. al-Zalzalah
1. Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat),
2. Dan bumi Telah mengeluarkan beban-beban berat (yang
dikandung)nya,
3. Dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?",
4. Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
5. Karena Sesungguhnya Tuhanmu Telah memerintahkan (yang
sedemikian itu) kepadanya.
6. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan
bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan)
pekerjaan mereka,
7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,

31
niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

       

          

          

            

        


100. Al-Adiyat
1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,
2. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),
3. Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,
4. Maka ia menerbangkan debu,
5. Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih
kepada Tuhannya,
7. Dan Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri)
keingkarannya,
8. Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada
harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang
ada di dalam kubur,
10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
11.Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha mengetahui
keadaan mereka.

32
          

      

       

          

         

101. Al-Qari’ah
1. Hari kiamat,
2. Apakah hari kiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-
hamburkan.
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
7. Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (yaitu) api yang sangat panas.

        

          

33
        

      


102. Al-Takatsur
1. Bermegah-megahan Telah melalaikan kamu,
2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu),
4. Dan janganlah begitu, kelak kamu akan Mengetahui.
5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin,
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
7. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan
'ainul yaqin.
8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

         

      


103. Al-‘Ashr
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.

         

34
          

          

          
104. Al-Humazah
1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,
3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
4. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam Huthamah.
5. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?
6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
7. Yang (membakar) sampai ke hati.
8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

          

        

       


105. Al-Fiil
1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah
bertindak terhadap tentara bergajah?
2. Bukankah dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?
3. Dan dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-
bondong,

35
4. Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar,
5. Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan
(ulat).

       

        

   


106. Quraisy
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan
musim panas.
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah Ini
(Ka'bah).
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

       

        

        

     


107. Al-Ma’un
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

36
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya,
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

        

   


108. Al-Kautsar
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang
banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang
terputus.

         

           

         
109. Al-Kafirun
1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.
4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
Aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

         

37
         

  


110.An-Nashr
1. Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-
bondong,
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima
taubat.

           

        

      


111. Lahab
1. Binasalah kedua tangan abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan
binasa.
2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia
usahakan.
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

            

     

38
112. Al-Ikhlash
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

            

          

   


113. Al-Falaq
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
subuh,
2. Dari kejahatan makhluk-Nya,
3. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita,
4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus
pada buhul-buhul,
5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."

          

        

     


114. Al-Nas
1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan
menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.

39
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari
(golongan) jin dan manusia.
6. Dari (golongan) jin dan manusia.

40
WIRID DALAM ZIKIR

ISTIGHFAR
ASTAGFIRULLAAHAL AZHIM
Aku mohon ampun kepada Allah yang ‫الع ِظ ْي َم‬ ِ ‫أ‬
َ َ‫َستَ ْغف ُر اهلل‬
ْ
mahaagung
ALLADZI LAA ILAAHA ILLA HUWA
Yang tiada Tuhan selain Dia ‫الَّ ِذي الَ إِلهَ إالَّ ُه َو‬
HUWAL HAYYUL QAYYUM
Dia mahahidup dan mahamandiri ‫ْح ُّي الْ َقيُّ ْو ُم‬
َ ‫ُه َو ال‬
‫ت‬
ُ ‫ت َوَما أَخ َّْر‬ ُ ‫ِم َّما قَ َّد ْم‬
MIMMAA QADDAMTU WAMAA
AKHKHARTU
Atas kesalahanku yang lalu dan yang
belakangan
WAMAA A’LANTU WAMAA
ASRARTU ‫ت‬
ُ ‫َس َرْر‬
ْ ‫ت َوَما أ‬
ُ ‫وما أ ْعلَْن‬
َ
Atas kesalahanku yang nyata dan yang
tersembunyi
WAMAA ASRAFTU WAMAA ANTA
A’LAMU BIHII MINNI ‫ت أَ ْعلَ ُم‬
َ ْ‫ت َوَما أَن‬
ُ ْ‫َس َرف‬
ْ ‫َوَما أ‬
‫بِ ِه ِمنِّي‬
Atas kesalahanku yang berlebihan dan
kesalahan yang hanya Engkau yang lebih
mengetahuinya daripada aku.
ANTAL MUQADDIMU WA ANTAL
MUQADDIMU ‫ت ال ُْم َؤ ِّخ ُر‬
َ ْ‫ِّم َوأَن‬ َ ْ‫أَن‬
ُ ‫ت ال ُْم َقد‬
Engkaulah yang mengawali segala
sesuatu dan Engkau pula yang
menghirinya.
WA ANTA ‘ALAA KULLI SYAI’IN
QADIIR ‫ت َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍئ قَ ِديْ ر‬
َ ْ‫َواَن‬
Dan Engkaulah yang mahakuasa atas
segala sesuatu

41
SHALAWAT

َ ‫ىَللاهََربَنَا‬
َ َ‫صَل‬
SHALALLAAHU RABBUNA
Ya Allah, Tuhan Kami, berilah
kesejahteraan
‘ALAAN NUURIL MUBIIN
Kepada cahaya yang nyata َ ‫ي‬ َ َ‫عَلَىَنهَ َورََاَ َلهب‬
‫أَحَدََاَ َلهصَطَفَى‬
AHMADAL MUSHTHAFAA
Ahmad (yang terpuji) orang pilihan

َ‫سَيَدََاَ َلهَرسَلَي‬
SAYYIDIL MURSALIIN
Penghulu bagi para rasul

َ‫َوعَلَىَاَلَهََ َوصَحَبَهََأَجَعَي‬
WA ‘ALA AALIHI WASHAHBIHI
AJMA’IIN
Dan kesejahteraan pula kepada keluarga
dan sahabatnya semuanya

ََ‫اتَاَلكََري‬
َ‫صَلَ َو ه‬
SHALAWAATUL KARIIM
Shalawat (kesejahteraan) yang Mulia

َ َ‫شَهََراَوََحَ َول‬
SYAHRA WA HAUlLA
Setiap bulan dan tahun
ALFA ALFIN ‘ALAA
Sebanyak beribu-ribu (shalawat) kepada ‫أَلَفََأَلَفََعَلَى‬
‫َر هَس َولََاَ َلهعَلَى‬
RASUULIL MU’ALLA
Rasul berderajat yang Tinggi

َ ‫َللاه‬
َ َ‫َللاهَي‬
َ َ‫ي‬
YAA ALLAAHU YAA ALLAAH
Ya Allah, Ya Allah

‫حَيََعَلَيَ هَم‬
َ‫يََََتََا ه‬
YAA FATTAAHU YAA ‘ALIIM
Wahai Tuhan Yang Maha Pembuka dan
Maha Mengetahui

َ ‫اَ َتَحََقهََلهَوبَنَا‬
IFTAH QULUUBANAA
Singkapkanlah hati kami

َ‫هَتهََوحََاَلعَ َارَي‬
FUTUUHAL ‘AARIFIINA
Seperti tersingkapnya hati orang-orang
yang makrifat pada-Mu

42
DOA

َ ِ‫ت َوب‬
‫ك‬ ُ ‫ك أَ ْسلَ ْم‬ َ َ‫الل ُه َّم ل‬
ALLAHUMMA LAKA ASLAMTU,
WABIKA AAMANTU,

،‫ت‬ُ ‫آم ْن‬


Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri,
kepada-Mu aku beriman, َ
‫ك‬َ ‫ َوإِلَْي‬،‫ت‬ُ ‫ك تَ َوَّك ْل‬َ ‫َو َعلَْي‬
WA’ALAIKA TAWAKKALTU,
WAILAIKA ANABTU, WABIKA
‫ت‬
ُ ‫اص ْم‬ َ ‫ك َخ‬ َ ِ‫ َوب‬،‫ت‬ ُ ‫أَنَ ْب‬
KHAASHAMTU
Kepada-Mu aku tawakal, kepada-Mu
kembali, dan kepada-Mu aku
melawan musuh-Mu.

َ ‫ك لَِو ْج ِه‬
‫ك‬ َ ‫ي َو ِّج ْهنِي بَِو ْج ِه‬
َ َ‫يَ َام ْوال‬
YAA MAULAANAA WAJJIHNAA
BIWAJHIKA LIWAJHIKA
Ya Allah, Pelindung kami, hadapkanlah
kami melalui sifat-Mu kepada zat wajah-
Mu

43
44

Anda mungkin juga menyukai