Anda di halaman 1dari 4

Bulgis, B., & Alkam, R. B. (2017).

PEMANFAATAN AGREGAT ALAMI DAN AGREGAT BATU


PECAH SEBAGAI MATERIAL PERKERASAN PADA CAMPURAN ASPAL BETON. Makassar:
Universitas Muslim Indonesia.

Ratna Dwiyani Nawangsasi. (2010). Pengaruh Susut terhadap Kompatibilitas Dimensional


antara Beton Normal dan Repair Material dengan Bahan Tambah Polymer. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

Kristian, Joko. (2007). Analisa Biaya Operasional Alat Pemecah Batu (Stone Crusher).
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Michael Kevindie Setyawan, dkk. Perbandingan Karakteristik Agregat Kasar Pulau Jawa
dengan Agregat Luar Pulau Jawa Ditinjau dari Kekuatan Campuran Perkerasan Lentur.

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/13002/05.3%20bab%203.pdf.pdf?
sequence=7&isAllowed=y

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/406/05.3%20bab%203.pdf?
sequence=7&isAllowed=y

Kelebihan dari Penggunaan Agregat Kasar :


Agregat kasar sebagai bahan utama dari campuran mortar dan beton (70%) berdasarkan
volumenya merupakan komponen yang sangat penting sebagai penyokong kekuatan dan
keawetan material bangunan. Berbeda dengan agregat halus yang permukaannya licin, tekstur
permukaan agregrat kasar yang tajam dan bersudut mengakibatkan rongga udara pada
campuran mortar menjadi minim sehingga memberikan sifat interlocking yang lebih baik
dengan material lainnya. Sifat agregat yang mengikat dengan campuran bahan memberikan
ketahanan terhadap benturan maupun penyusutan.
Beberapa kelebihan dari penggunaan agregat kasar sebagai bahan utama campuran mortar
antara lain;
1. Menghasilkan beton yang kuat dan tahan lama dengan gradasi yang baik

Untuk menghasilkan beton yang padat agar ketahanan dan keawetannya baik, maka
diperlukan gradasi atau distribusi ukuran dan kekerasan agregat yang merata. Gradasi
agregat berdasarkan ukuran butirannya dapat dilakukan dengan proses saringan atau
pengayakan.

Ayakan BS. 882 Persentase berat yang lewat pada ayakan


(mm) Ukuran nominal agregat (mm)
4,8—38 4,8—19 4,8—9,6
38,0 95—100 100 100
19,0 37—70 95—100 100
9,6 10—40 30—60 50—85
4,8 0—5 0—10 0—10

Selain itu, agregat juga tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 10% sehingga
dapat
menghasilkan beton yang tidak mudah tembus air. Lumpur yang melekat pada agregat
berupa agregat yang memiliki diameter lebih dari 0,63 mm dan dapat diminimalisasi
dengan cara dicuci terlebih dahulu.

Agregat kasar yang permukaannya lebih tajam dan kasar dibandingkan dengan
agregat halus mengakibatkan agregat kasar dapat mengisi rongga-rongga udara lebih
rapat dibandingkan dengan agregat halus. Hal ini menyebabkan campuran beton
menjadi lebih padat sehingga beton memiliki durabilitas yang lebih tinggi.

2. Menghemat penggunaan Semen Portland

Menurut SNI S-04-1989-F, semen Portland merupakan bahan pengikat hidrolis yang
dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker, terutama terdiri dari silikat-silikat
kalsium yang bersifat hidrolis dan gips sebagai bahan pembantu. Semen hidraulis
yaitu semen yang akan mengeras bila bereaksi dengan air. Bahan utama pembentuk
semen Portland adalah kapur (CaO), silica (SiO3), alumina (Al2O3), sedikit magnesia
(MgO), dan terkadang sedikit alkali.

Bila butir-butir agregat mempunyai ukuran yang sama (seragam), maka volume pori
akan besar, sebaliknya bila ukuran butir-butirnya bervariasi seperti agregat kasar,
maka volume pori akan kecil. Hal ini karena butiran yang kecil mengisi pori antara
butiran yang lebih besar, sehingga pori-porinya menjadi sedikit, dengan kata lain
kepampatannya tinggi, maka dari itu, butiran agregat untuk pembuatan beton
diupayakan kepampatannya tinggi, karena volume porinya sedikit, sehingga hanya
membutuhkan bahan ikat yang lebih sedikit.

3. Mengurangi penyusutan dan pengerasan beton

Susut dapat diartikan sebagai mengecilnya volume beton akibat berkurangnya


kelembaban dan kadar air di dalam pori-pori beton akibat proses pengerasan.
Penyusutan dapat terjadi sebelum pencetakan pasta semen, seperti turunnya adukan
beton (Plastic Shrinkage), penguapan air dari pori-pori kapiler beton (Drying
Shrinkage), proses karbonisasi senyawa CO2 yang ada di udara dengan mineral
semen (Carbonation Shrinkage), dan proses hidrasi (Autogenous Shrinkage).

Beton dengan modulus elastisitas tinggi dan permukaan kasar akan lebih dapat
menahan proses susut. Sifat fisis dari agregat yang memperkuat pasta semen dan
memperkecil rongga udara membuat agregat dapat menahan proses susut. Semakin
banyak jumlah agregat dalam adukan beton, maka proses penyusutan pada beton itu
sendiri akan terminimalisasi.

Kekurangan dari Penggunaan Agregat Kasar:

1) Biaya produksi alat pemecah batu yang relatif mahal

Karena agregat kasar merupakan hasil dari proses integrasi batuan kerikil alami yang
berasal dari proses alam maupun mekanis, maka agregat memerlukan peralatan
produksi agregrat atau alat pemecah batu (Stone Crushing Plant).

Susunan bagian atau komponen peralatan alat pemecah batu dapat dibedakan menjadi
beberapa bagian:

1. Feeder (tempat batu yang akan di pecah)


2. Pemecah batu (Crusher)
3. Ban berjalan (yang akan membawa batu setelah dipecah dari pemecah ke saringan
atau screen)
4. Ban berjalan (Stock Pile Conveyor) yang akan membawa agregat hasil dari
saringan ke timbunan atau stock pile)
Proses pemecahan batu sendiri dimulai dari wheel feeder atau dump truck dengan cara
disaring sebelum masuk ke atas feeder untuk memisahkan batuan kecil dan yang lebih
besar. Dari feeder, batu-batu tersebut lalu masuk ke dalam pemecah batu atau crusher
yang kemudian ditampung di ban berjalan atau conveyor. Batu-batu yang sudah pecah
lalu dibawa ke komponen saringan atau screen untuk ditimbun atau dikumpulkan
berdasarkan ukuran.
Dengan kombinasi alat berat yang beragam untuk melakukan produksi, maka alat
pemecah batu membutuhkan biaya produksi yang relatif mahal. Setiap jenis alat
membutuhkan biaya berkisar Rp75.000,00—Rp350.000,00/jam dan biaya kombinasi
alat berat dapat mencapai Rp15.000.000,00/hari (Joko Kristian, 2007). Kapasitas
produksi tiga unit mesin crusher sendiri dapat menghasilkan agregat kasar sebanyak
120 m3/jam dengan biaya sewa mesin crusher sebesar kurang lebih Rp23.000,00/m3.
Biaya pemakaian solar dapat sebanyak 22 liter/jam.
Selain biaya operasional yang mahal, alat pemecah batu sendiri juga harus dirawat
secara rutin agar kinerjanya tetap maksimal dengan nilai ekonomis yang tetap tinggi
dengan pengawasan langsung dari manusia sehingga dibutuhkan juga biaya
perawatan. Hal ini membuktikan bahwa produksi agregat kasar yang harus melewati
tahap pemecahan menguras biaya dan tenaga yang lebih besar daripada agregat halus
yang tidak perlu melewati tahap pemecahan terlebih dahulu.

2) Perbandingan kualitas yang tidak merata di skala nasional

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Michael Kevindie Setyawan, dkk dengan
menggunakan standar spesifikasi Laston WC dan agregat kasar berdasarkan SNI
8198:2015, tentang perbandingan karakteristik agregat kasar di Pulau Jawa dengan di
luar Pulau Jawa, didapatkan hasil bahwa agregat kasar di Pulau Jawa (Kota Pandaan
dan Pacitan sebagai pembanding) memenuhi standar, sementara agregat kasar yang
diproduksi di luar Pulau Jawa (Bali dan Kalimantan sebagai pembanding) tidak
memenuhi spesifikasi MQ, pelelehan, VIM, dan VFA.

Sifat Campuran Standar Uji Laston WC


Jumlah tumbukan per bidang ASTM D6926-10 75
Rasio abu terhadap aspal AASHTO M323 0,6—1,2
Rongga dalam campuran (VIM), % AASHTO M323 3,0—5,0
Rongga dalam mineral agregat (VMA), % AASHTO M323 Min. 15
Rongga terisi aspal (VFB), % AASHTO M323 Min. 65
Stabilitas Marshall, kg ASTM D6927-06 Min. 800
Pelelehan, mm dan ASTM D6681- 2—4
07a
Tensile Strength Ratio (TSR) pada VIM 7% SNI 6753:2008 Min. 80
0,5, %
Rongga dalamc ampuran pada kepadatan BS 598 Part 104 Min. 2
mental (refusal), %
Tabel Persyaratan Sifat-Sifat Campuran Laston WC
Kualitas produksi material yang tidak merata membuat agregat kasar yang
terspesifikasi harus didistribusi ke daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Distribusi ini
membutuhkan biaya transportasi yang relatif mahal dengan pertimbangan durasi
waktu sebelum proses konstruksi dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai