TESIS
FAKULTAS PSIK O L O G I
PROGRAM PASCASARJANA
PRO G RA M STUDI PSIK O LO G I PR O FE SI
PEM INATAN PSIK O LO G I K LIN IS DEW ASA
D EPO K
JU L I 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
RANCANGAN INTERVENSI PEMULIHAN TRAUMA
BAGI PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI
KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUBUNGAN PACARAN
(Trauma Recovery Intervention Plan
fo r Female as Victims o f Sexual Violence in Courtship)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Psikologi Peminatan Klinis Dewasa
FAKULTAS PSIK O LO G I
PRO G RA M PASCASARJANA
PRO G RA M STUDI PSIK O LO G I PR O FE SI
PEM INATAN PSIK O LO G I KLIN IS DEWASA
D EPOK
JU L I 2010
DEWAN PENGUJI
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya secara sadar tanpa
paksaaan dari pihak mana pun.
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 13 Juli 2010
Dan teruntuk banyak pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
terim a kasih. Semoga Allah membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik.
Mudah-mudahan, saya selalu diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu
yang saya miliki. Mudah-mudahan, saya selalu bisa bersyukur.
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat empat tema utama yang
muncul dari partisipan sebagai dampak psikologis dari kekerasan seksual dalam
hubungan pacaran, yaitu masih dirasakannya simtom-simtom PTSD, konsep diri
negatif, permasalahan dalam relasi interpersonal berikutnya, dan traumatisasi
seksual. Atas alasan urgensi, maka untuk rancangan intervensi dipilih dua dari
empat area tersebut, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual.
Kata kunci :
Kekerasan seksual, dampak psikologis, simtom-simtom PTSD, konsep diri, relasi
interpersonal, traumatisasi seksual, pendekatan behavioral kognitif
Research was using qualitative approaches with intrinsic case study type.
Assessment done by depth-interview methods to the participants in five sessions.
Observational methods was also used as additional technique. Afterwards,
analysis being used was intercases analysis.
Result of the analysis showed that there was four main theme of the psychological
impacts of sexual violence in courtship experienced by participants, which are
PTSD symptoms, negative self concept, problems in interpersonal relationship,
and sexual traumatization. Therefore, researcher chose two o f them based on
urgency, which are PTSD symptoms and sexual traumatization.
Intervention plan made in module and was using behavioral cognitive approaches
suggested for trauma recovery. Behavioral techniques can be given for PTSD
symptoms area, while cognitive techniques can be given for sexual traumatization
area.
Kata kunci :
Sexual violence, psychological impacts, PTSD symptoms, self concept,
interpersonal relationship, sexual traumatization, behavioral cognitive approaches
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILM IA H .................. iv
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN..................................................................xil
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Penelitian......................................................................... 1
1. 2. Perumusan Masalah Penelitian.................................................................9
1. 2.1. Permasalahan Utama............................................................................. 9
1.2.1. Permasalahaan Turunan....................................................................... 10
1. 3. Tujuan Penelitian...................................................................................... 10
1.4. Signifikansi Penelitian...............................................................................11
1. 5. Isu Etis................................ ........................................................................ 11
1. 6. Cakupan Penelitian......................................................................................12
1. 7. Sistematika Penulisan.................................................................................. 12
2. 1. 1. Dimensi Seksualitas................................................................................. 14
2. 1.2. Sistem Nilai Seksual dan Makna Seks bagi Perempuan..........................16
2. 1.3. Faktor yang Mempengaruhi Seksualitas dan Perilaku Seksual...............17
2. 2. Kekerasan dalam Hubungan Pacaran.......................................................... 18
viii
ix
xii
Lampiran 1. Modul Intervensi Pemulihan Trauma Bagi Perempuan yang Pernah Mengalami
Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran
Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Cuplikan Verbatim
BABI
PENDAHULUAN
Bab pertama dari penelitian ini menguraikan tentang latar belakang penelitian,
perumusan masalah penelitian yang berupa pertanyaan-pertanyaan utama dan turunan,
tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitan, serta sistematika
penulisan.
Universitas Indonesia
bahwa dampak psikologis pasti dialami korban. Beberapa di antara hasil penelitian
menyatakan bahwa dua per tiga dari korban kekerasan seksual akan mengalami simtom-
simtom psikologis, dan seperempat di antaranya mengalami kesulitan yang lebih parah
(Berliner & Elliott, 1996; Kendall-Tacket et al, 1993; Wolfe & Birt, 1995 dalam
Wickham & West, 2002).
Sebelum membahas kekerasan seksual lebih lanjut, perlu adanya penjelasan
mengenai perbedaan antara beberapa kejahatan seksual yang seringkali membingungkan
masyarakat awam (O’Donohue, 1997). Salah satu bentuik kejahatan seksual selain
kekerasan adalah pemerkosaan, yang diartikan sebagai penetrasi vaginal atau anal oleh
seseorang terhadap orang lain tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan meskipun
dilakukan secara lembut (Koss & Harvey, 1991). Beberapa literatur menyebutkan bahwa
pemerkosaan merupakan bentuk ekstrim dari pelecehan seksual (Kelly, 1988).
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran
hingga menimbulkan reaksi negatif, seperti rasa malu, marah, tersinggung dan
sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan seksual (Welsh, 1999). Lebih
lanjut, Welsh (1999) menjelaskan bahwa rentang pelecehan seksual sangat luas, meliputi:
main mata, siulan nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan,
tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat
seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan
hubungan seksual, sampai dengan pemerkosaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai
payung besar dari kejahatan seksual (Rollins, 1996). Terdapat beberapa pandangan yang
berbeda dari masyarakat mengenai kekerasan seksual. Sebagian berpendapat bahwa
kekerasan seksual lebih banyak terjadi oleh pelaku yang tidak dikenal atau orang asing.
Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual lebih banyak
dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban, bahkan memiliki relasi personal
(Komnas Perempuan, 2002). Survei yang dilakukan oleh National Victim Center di tahun
1990 menunjukkan hasil bahwa 683.000 kasus perkosaan terjadi pada tahun tersebut dan
sebagian besar korban berusia di bawah 18 tahun. 22% di antara kasus perkosaan tersebut
pelakunya adalah orang tidak dikenal. Selebihnya, pelaku merupakan teman atau kerabat
Universitas Indonesia
yang dikenal (National Victim Center, 1992). Salah satu relasi personal yang bisa
memunculkan kekerasan seksual adalah hubungan pacaran (Llyod, 1991 dalam Rollins,
1996).
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga
CDomestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada
remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (Kekerasan
Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam
berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran
adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh
manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal
tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya
informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini (Zulfah, 2007).
Pada hubungan pacaran, umumnya kekerasan seksual diwamai oleh kekerasan
fsik dan psikologis (Komnas Perempuan, 2002). Hal tersebut karena untuk bisa
melakukan hubungan seksual yang tidak diinginkan korban, pelaku juga menggunakan
ancaman baik secara fisik maupun emosional. Kekerasan seksual dalam hubungan
pacaran seringkali diistilahkan dengan date rape. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
acquaintace rape dan date rape biasanya dilakukan oleh satu pelaku, namun serangan
umumnya terjadi berulang kali oleh pelaku yang sama tersebut (Koss, Dinero, Seibel, &
Cox, 1988 dalam Rollins, 1996; Alien, 2005). Hal ini terjadi karena pelaku adalah orang
yang dianggap dekat dengan korban dan memiliki kontak yang intens dengan korban, di
mana jenis kasus pemerkosaan inilah yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan
pemerkosaan oleh orang asing (Koss, Koss, & Woodruff, 1991 dalam Alien, 2005;
Komnas Perempuan, 2002).
Catatan Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta memperlihatkan bahwa
selain kekerasan terhadap istri, kekerasan di masa pacaran tampil menonjol dibandingkan
bentuk atau fenomena kekerasan lain (Komnas Perempuan, 2002). Selain yang telah
digolongkan dalam kekerasan di masa pacaran, ada pula kasus perkosaan yang dilakukan
oleh pacar, atau orang-orang yang telah dikenal dekat sang korban. Kehamilan tidak
dikehendaki juga banyak terjadi dalam masa pacaran. Rumah Sakit Bhayangkara di
Makassar yang telah membuka pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam menangani
Universitas Indonesia
masalah kekerasan terhadap perempuan mendapatkan bahwa dari tahun 2000-2001 ada 7
kasus KDP yang dilaporkan. (Kompas-online 4 Maret 2002). Sedangkan PKBI
Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47
kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20%
mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8%
lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi (Kompas, 20 Juli 2002 dalam
http://wvvw.bkkbn.go.id ).
Tidak hanya di Indonesia, di luar negeripun banyak terjadi kekerasan dalam
hubungan pacaran pada remaja. Salah satu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa dari 77 remaja sekolah menengah yang mengaku mengalami kekerasan saat
sedang berpacaran, 66% dari mereka mengaku bahwa selain mengalami kekerasan,
mereka juga melakukan kekerasan itu sendiri pada pasangan mereka (mutually violent
relationship). Remaja tersebut juga dilaporkan mengalami kekerasan dalam tingkat yang
berat, sehingga menderita luka-luka. Zulfah (2007) menulis mengenai sebuah diskusi
mengenai KDP, di mana para remaja putri melaporkan bahwa dalam 70% waktu pacaran
mereka, pasangannya melakukan pelecehan.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan konteks antara Indonesia dengan di luar
negeri. Pada budaya Timur yang masih menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk
diperbincangkan, kasus kekerasan cenderung menjadi isu yang lebih sensitif dan privat
(Poerwandari, 2008). Terlebih lagi jika pelakunya dekat dengan korban dan memiliki
reputasi yang baik di lingkungannya, maka korban umumnya akan memilih untuk tidak
mengekspos kekerasan yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2002).
Dengan demikian, banyak hasil penelitian yang mendukung bahwa perempuan
rentan terhadap tindak kekerasan yang justru dilakukan oleh orang-orang dekat, orang-
orang yang dipercaya, dan diyakini masyarakat melindungi, mengayomi, dan
mencintainya (Koss dan Harvey, 2000). Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk
seksual yang memiliki hasrat seksual (Bergen, 1998). Namun, perilaku seksual yang tidak
dikehendaki dapat berpengaruh buruk terhadap individu, di mana pandangan individu
terhadap hubungan seks bisa menjadi negatif karena adanya pemaksaan atau penyerangan
secara seksual (Rollins, 1996).
Universitas Indonesia
Dalam konteks kekerasan seksual, hal tersebut dapat menimbulkan dampak serius
pada korban, mengingat banyak individu yang tidak menyangka bahwa orang yang
dicintainya akan tega melakukan kejahatan kepadanya (Ayling & Ussher, 2008). Reaksi
psikologis yang muncul segera setelah individu mengalami kekerasan seksual di
antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas,
dan menarik diri (Balise dalam Kendal 1-Tackett, 2005). Reaksi traumatis yang terjadi
secara langsung setelah kekerasan terjadi dapat berlangsung selama beberapa minggu dan
biasanya mencapai puncaknya pada minggu ketiga (Davidson & Foa, 1991 dalam
Kendall-Tackett, 2005).
Dampak psikologis lainnya adalah perempuan korban kekerasan seringkali
merasakan harga dirinya rendah atau menurun, merasa bersalah, malu, mengalami
gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres pasca trauma, dan permasalahan seksual.
Reaksi traumatis ini dapat berlangsung selama 18 bulan lamanya atau bahkan lebih
(Resick, 1987 dalam Kendall-Tackett, 2005). Pada sebagian perempuan, masalah psikis
dalam bentuk reaksi traumatis bisa berlangsung selama beberapa tahun (Hanson, 1990
dalam Kendall-Tackett, 2005). Dalam jangka panjang, permasalahan yang umumnya
muncul pada perempuan korban kekerasan seksual adalah permasalahan seksual, di
antaranya menghindari seks, kurangnya minat terhadap seks, ketakutan akan seks
(Becker, Skinner, Abel, & Cichon, 1986).
Kekerasan seksual sangat berdampak terhadap bagaimana korban memandang
dunianya. Bagi beberapa perempuan, pengalaman kekerasan menimbulkan konflik antara
keyakinan yang sebelumnya dengan fakta-fakta yang muncul dari peristiwa kekerasan
(Koss & Harvey, 2000). Contohnya, jika sebelum peristiwa individu melihat dunia aman,
setelah peristiwa akan mulai mempertanyakan kayakinannya tersebut. Umumnya, korban
akan mengalami perubahan beliefs mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan
intimacy (Kendall-Tackett, 2005; Allen, 2005).
Dampak lainnya adalah dalam hal konsekuensi sosial. Perempuan yang menderita
kekerasan seksual sering mengalami stigma dan penolakan wajah oleh mitra, suami,
keluarga, dan masyarakat (LBH Apik, 2006). Tidak semua lingkungan menunjukkan
penerimaan yang baik terhadap korban kekerasan seksual atau pemerkosaan.
Pemerkosaan juga berdampak cukup signifikan dalam menurunnya kualitas dan kuantitas
Universitas Indonesia
hubungan intim (Mackey et al, 1002 dalam Kendal 1-Tackett, 2005), yang kemungkinan
besar juga berkaitan dengan permasalahan seksual dan rusaknya kepercayaan tehadap
lawan jenis. Dengan orang lain seperti teman, keluarga, atau pasangan, hubungan
individu juga bisa menjadi buruk karena adanya ketegangan dalam hubungan tersebut
pasca peristiwa (CrowelI & Burgess, 1996 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma kerap memunculkan perilaku
beresiko pasca kekerasan seksual sebagai efek emosional atau rentannya psikis korban
(Dallam dalam Kendall-Tackett, 2005). Hasil penelitian Lipschitz, Grilo, Fehon,
McGlashan, dan Southwick (2000, dalam Kendall-Tackett, 2005) menunjukkan bahwa
gangguan stres pasca trauma berkorelasi signifikan dengan penggunaan obat dan alkohol.
Perilaku beresiko umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping terhadap efek
viktimisasi yang tidak tertahankan (Bailón, Courbasson, & Smith, 2001 dalam Kendall-
Tackett, 2005). Perilaku beresiko dapat berupa penggunaan alkohol dan obat-obatan,
gangguan makan (binging andpurging), merokok, koitus dini, inaktivasi fisik, kekacauan
seksual (sexual promiscuity), dan perilaku seksual yang tidak terprediksi. Kesemua
perilaku tersebut sangat mungkin terjadi pada perempuan yang pernah mengalami
viktimisasi.
Rollins (1996) mengemukakan bahwa wanita yang mengalami kekerasan seksual
rentan terhadap gangguan stres pasca trauma dan psikopatologi. Simtom-simtom stres
pasca trauma meliputi mengalami kembali peristiwa, mimpi buruk, flashbacks,
menghindari pengingat dan pemikiran tentang peristiwa, mengurangi interaksi dengan
teman-teman, perasaan ingin menyendiri, emosi yang tertahan, gangguan tidur, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, perasaan bersalah, dan sangat merasa ketakutan
(Foa, Rothbaum, Riggs, & Murdock, 1991, dalam Rollins, 1996). Salah satu hasil
penelitian menunjukkan bahwa gangguan stres pasca trauma dialami oleh 94 % korban
pemerkosaan selama 12 hari setelah peristiwa, dan 46% setelah tiga bulan berlalu. Faktor
yang mempengaruhi keparahan dampak yang dialami korban adalah self-blame (Frazier,
1990 dalam Anderson, Taylor, & Herrmann, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa trauma merupakan salah
satu dampak psikologis yang cukup serius dialami korban, tidak hanya dalam jangka
waktu pendek tetapi juga bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan tidak bisa
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
afek, teknik untuk menantang keyakinan maladaptif, dan penyusunan modul intervensi
yang spesifik dengan sasaran lima area keyakinan, yaitu keamanan, kepercayaan,
kekuatan, harga diri, dan keintiman (Resick & Schnike,1992 dalam Kendall-Tackett,
2005).
Tokoh lain yaitu Gallo-Lopez (2000 dalam Wickham dan West, 2002)
mengajukan empat area yang sebaiknya difokuskan untuk terapi pada korban kekerasan
seksual, yang mencakup:
1. Memperlakukan individu dengan hak-haknya, dengan memberikan ruang
untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri mereka sendiri.
2. Menekankan pada traumatisasi seksual, stigmatisasi, perasaan dikhianati, dan
ketidakberdayaan, yang diharapkan bisa memperbaiki gambaran diri, fungsi
kognitif, dan ekspresi perasaan.
3. Membantu individu untuk memahami fungsi diri sesuai dengan usianya, rasa
percaya diri, dan harga diri.
4. Memberikan edukasi kepada lingkungan di sekitar individu agar dapat
berespon secara efektif terhadap kebutuhan individu.
Menurut Basile (dalam Kendall-Tackett, 2005), trauma akibat kekerasan seksual
melibatkan perasaan kehilangan power dan koneksi dengan orang lain, sehingga
pemulihan trauma pada korban harus didasari dengan konsep pemberdayaan
(empowermenf). Herman (1992) dalam bukunya Trauma and Recovery mengemukakan
bahwa terdapat tiga tahap dalam proses pemulihan trauma pada penyintas kekerasan
seksual, yakni:
1. Membangun rasa aman (.Establishing safety). Tahap ini melibatkan langkah-
langkah yang tujuannya adalah membuat individu merasa nyaman dan aman
menjalani kehidupan selanjutnya. Contoh sasaran dalam tahap ini adalah
mengajarkan individu untuk memilih lingkungan yang terjamin keamanannya,
mendorong individu untuk memperoleh kembali sense o f self-nya dan bahwa
dirinya memiliki kontrol terhadap hidupnya sendiri, serta manajemen stres.
2. Mengingat dan Berduka (Remembrance and Mouming). Pada tahap ini,
individu diperkenankan mengeluarkan semua cerita dan perasaannya
mengenai kekerasan seksual yang dialami, memaknainya, serta bersedih
Universitas Indonesia
Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan untuk menangani klien dengan
trauma akibat kekerasan seksual adalah cognitive processing therapy (CPT) (Raesick &
Schicke, 1993). Pada dasarnya, pendekatan kognitif behavioral juga dikembangkan
berdasarkan CPT. Teknik utama yang digunakan dalam CPT adalah restrukturisasi
pikiran, yang sasarannya adalah keyakinan atau pemikiran klien yang salah mengenai
dirinya sendiri. Oleh karena itu, CPT efektif diaplikasikan pada klien yang memiliki
kapasitas kognitif yang baik.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
pembahasan secara mendalam mengenai trauma yang dialami perempuan yang pernah
mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Pengalaman partisipan dilihat
berdasarkan aspek seksualitas yang menjadi dasar dari konstruksi sosial manusia sebagai
makhluk seksual (Rollins, 1996). Dampak psikologis secara keseluruhan yang tampak
dari partisipan juga akan menjadi pembahasan dengan fokus pada efek traumatis. Trauma
yang dialami partisipan diharapkan akan bisa ditangani dengan menggunakan intervensi
yang nantinya akan dirancang oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dan analisis
kasus.
Universitas Indonesia
1. 2. 2. Permasalahan Turunan
Untuk dapat menjawab pertanyaan utama, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan
yang terkait dengan implikasi dari kekerasan seksual yang dialami partisipan. Oleh
karena itu, berdasarkan permasalahan umum yang telah diajukan, maka terdapat beberapa
permasalahan turunan yang mencakup pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik, yang
juga diajukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Seperti apa konteks lingkungan di mana partisipan dibesarkan?
2. Perasaan-perasaan apa yang muncul saat partisipan mengalami kekerasan
seksual?
3. Dampak psikologis apa saja yang dialami setelah partisipan mengalami
kekerasan seksual?
4. Bagaimana trauma yang dirasakan partisipan terkait dengan kekerasan seksual
yang dialaminya?
5. Bagaimana pandangan partisipan mengenai seks?
6. Bagaimana pandangan partisipan mengenai dirinya sendiri, khususnya dalam
seksualitas?
1. 3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya:
1. Menemukenali keterkaitan antara konteks lingkungan di mana partisipan
dibesarkan dengan kekerasan seksual yang dialaminya.
2. Memahami dinamika psikologis partisipan terkait dengan kekerasan seksual
yang dialaminya, terutama perasaan-perasaan yang muncul.
3. Menemukenali permasalahan-permasalahan yang dialami partisipan sejak
terjadinya peristiwa sampai dengan saat ini sebagai dampak psikologis dari
kekerasan seksual.
Universitas Indonesia
1. 4. Signifikansi Penelitian
Adapun untuk selanjutnya, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memperkaya khasanah penelitian mengenai dampak psikologis, khususnya
trauma, pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual dalam hubungan
pacaran.
2. Menjadi referensi bagi penelitian dengan bidang kajian serupa.
3. Memberikan pendampingan psikologis kepada partisipan, terutama dalam hal
dukungan moriil agar partisipan semakin mampu menghadapi
permasalahannya.
4. Merancang intervensi yang bisa diberikan kepada partisipan untuk membantu
mengatasi trauma yang masih dirasakan hingga kini akibat kekerasan seksual
dalam hubungan pacaran.
1. 5. Isu Etis
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini merupakan hal yang cukup
sensitif untuk digali, mengingat para partisipan sebagai korban kekerasan seksual tidak
ingin kasusnya diketahui oleh orang lain. Mereka juga merasa bahwa seksualitas
merupakan hal yang tabu untuk diperbincangkan secara terbuka dengan orang lain. Oleh
karena itu, peneliti akan menyamarkan identitas partisipan dengan menggunakan nama
yang berbeda demi menjaga kerahasiaan identitas partisipan yang sebenarnya.
Penyamaran nama ini dilakukan sejak menuliskan nama partisipan di transkrip,
mencantumkan identitas, hasil obervasi dan anamnesa, serta analisis kasus dan hingga
akhir penelitian. Hal ini dilakukan dan diberitahukan kepada partisipan agar mereka
merasa nyaman dan tidak merasa terancam saat berpartisipasi dalam penelitian sehingga
tidak takut identitasnya terbongkar.
Universitas Indonesia
Hal lain yang perlu untuk dijelaskan adalah bahwa peneliti hanya akan
menggunakan data penelitian dari para partisipan untuk tujuan penyusunan tesis ini saja
dan tidak akan digunakan untuk kepentingan lain, terlebih lagi yang memungkinkan
timbulnya kerugian bagi diri partisipan. Untuk menjamin kesemuanya itu, peneliti
memberikan informed consent kepada para partisipan sebelum mereka mulai
berpartisipasi dalam penelitian sebagai bentuk kesepakatan bersama antara peneliti
dengan partisipan.
1. 6. Cakupan Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada tema kekerasan seksual yang terjadi dalam
hubungan pacaran beserta dampak psikologis yang dialami korban, khususnya trauma.
Karakteristik partisipan penelitian adalah mereka yang berjenis kelamin wanita, berada
dalam tahap perkembangan dewasa muda (usia 20-40 tahun), pernah mengalami
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dalam jangka waktu lebih dari dua tahun, dan
masih merasakan dampak psikologis khususnya trauma akibat kejadian tersebut hingga
saat penelitian dilaksanakan.
1. 7. Sistematika Penulisan
Penelitian berbentuk rancangan ¡intervensi ini ini terdiri dari tujuh bab, yang
masing-masingnya akan diuraikan sebagai berikut.
Bab 1 Pendahuluan, berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah
penelitian (mencakup permasalahan umum dan permasalahan turunan), tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, serta sistematika penulisan dalam
laporan penelitian ini.
Bab 2 Kajian Teori, termasuk di dalamnya adalah teori mengenai kekerasan
seksual dan dampak psikologis yang ditimbulkannya, trauma, serta teori mengenai jenis
intervensi atau penanganan untuk para korban kekerasan seksual yang mengalami
trauma.
Bab 3 Metode Penelitian, berisikan data mengenai metodologi penelitian, di
antaranya tipe dan pendekatan penelitian, karakteristik partisipan penelitian, metode
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
KAJIAN TEORI
2 . 1 . 1 . Dimensi Seksualitas
a. Dimensi Sosiokultural
Dimensi sosiokultural merupakan dimensi yang melihat bagaimana
seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang
Universitas Indonesia
sebagai mahluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orang tua
tunjukan tentang tubuh dan tindakan mereka.
Universitas Indonesia
“pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena (O’Connor et al,
2004; Young & Meguire, 2003).
Tindak kekerasan dalam hubungan pacaran cukup sering terjadi, tetapi hampir
selalu keseriusan faktanya tidak diketahui oleh publik. Dengan berbagai cara, korban
dan pelaku akan menutupi fakta yang terjadi, dan bila terungkappun sering teijadi
secara tidak sengaja (Bergen, 1998; Young & Meguire, 2003)). Misalnya, saat korban
tidak dapat menyembunyikan luka-luka fisik yang dideritanya. Tindak kekerasan
tersebut sering disembunyikan dari siapapun, atau hanya diketahui oleh lingkungan
terbatas saja, seperti anggota keluarga, teman dekat, atau orang-orang lain, baik yang
memiliki latar belakang profesional atau tidak, yang dihubungi korban untuk
mencurahkan masalahnya (Komnas Perempuan, 2002). Jarang terjadi tindak
kekerasan di masa pacaran dilaporkan pada yang berwajib, apalagi dilanjutkan
perkaranya secara legal. Bila tak tahan menyimpan masalah, yang kadang terjadi
adalah korban meminta bantuan profesional, memanfaatkan rubrik konsultasi majalah,
atau mengadukan masalahnya ke lembaga yang memberikan bantuan konsultasi
(Komnas Perempuan, 2002).
Hanya dalam situasi yang sangat parah, dan fakta kekerasan tidak dapat
ditutupi lagi, korban terpaksa meminta bantuan tenaga kesehatan. Setelah mengalami
penganiayaan parah, sebagian korban juga melaporkan kejadian pada polisi. Hanya
sedikit kasus yang dilaporkan pada polisi, dan lebih sedikit lagi yang kemudian
ditindaklanjuti secara hukum. Sebagian pengaduan dicabut sendiri oleh korban
dengan alasan: malu kasusnya diketahui umum, proses hukum yang berbelit-belit,
kasihan pada pelaku, atau ingin menyelesaikan masalah secara damai, bahkan
terkadang pelaku melakukan berbagai langkah untuk menghambat proses
penyelesaian masalah secara legal (LBH Apik, 2006).
Kekerasan yang terjadi dalam relasi personal perempuan terdiri dari beberapa
jenis, yaitu serangan secara fisik, psikis atau mental, dan seksual, misalnya serangan
terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual. Ketiga jenis kekerasan tersebut
akan diuraikan satu persatu sebagai berikut.
2. 2 .1 . Fisik
Kekerasan fisik mencakup perilaku yang bertujuan untuk menyakiti
pasangan (Flynn, 1990). Contohnya adalah memukul, memukul, meninju,
menendang, menjambak, mencubit, mendorong, mencekik, menganiaya
Universitas Indonesia
2 . 2 . 2 . Emosional
Berbeda dengan kekerasan fisik, kekerasan emosional umumnya
bersifat terselubung. Kekerasan emosional dapat berupa cacian, makian,
umpatan, hinaan, menjadikan pasangan bahan olok-olok dan tertawaan, atau
menyebut pasangan dengan julukan yang menyakiti hati, cemburu berlebihan,
melarang dan membatasi aktivitas pasangan, melarang berdandan (untuk
perempuan), membatasi pasangan untuk bergaul, serta memeras (LBH Apik,
2006). Perilaku yang menunjukkan kekerasan emosional lainnya adalah
memarahi dan sengaja ribut dengan pasangan di depan umum. Bentuk
kekerasan ini banyak teijadi, namun tidak kelihatan dan jarang disadari,
termasuk oleh korbannya sendiri. Pada intinya, kekerasan emosional akan
menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman pada
korbannya (Young & Meguire, 2003).
2. 2.3. Seksual
Kekerasan seksual bisa muncul dalam bentuk rabaan, ciuman, sentuhan
yang tidak dikehendaki, pelecehan seksual, pemaksaan untuk melakukan
hubungan seks dengan berbagai alasan tanpa persetujuan, atau mengancam
dan menganiaya pasangan agar mau melakukan hubungan seks (LBH Apik,
2006). Hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan di masa pacaran
membawa banyak dampak psikologis. Korban mengalami guncangan karena
telah mengalami kekerasan dari orang terdekat, yang dicintainya, dan
dikiranya mencintainya (Komnas Perempuan, 2002). Mungkin korban merasa
dikhianati, jadi kehilangan kepercayaan kepada orang-orang terdekat.
Guncangan ini juga bisa berdampak pada gangguan seksual yang mungkin
akan dialami, misalnya ia menjadi takut dan muak akan seks.
Universitas Indonesia
2. 3. 1. Definisi
Sebagian pihak menggolongkan semua bentuk ketidakadilan seksual dan
manipulasi seksual dalam istilah ‘kekerasan seksual’. Untuk lebih jelasnya, perlu
dibedakan terlebih dahulu antara kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan
eksploitasi seksual. Hubungan seksual dapat digolongkan sebagai suka sama suka,
atau mau sama mau, bila (1) tidak ada relasi dominasi, di mana salah satu pihak
memiliki kekuasaan lebih besar yang membuatnya menjuadi pengendali; (2) sama-
sama diinginkan oleh pihak-pihak yang terlibat; (3) menyenangkan bagi pihak-pihak
yang terlibat (Poerwandari, 2008).
Sebagian ahli mengklasifikasikan pelecehan seksual sebagai bagian dari
kekerasan seksual (Welsh, 1999). O’Donohue (1997) mengemukakan bahwa
Universitas Indonesia
pelecehan seksual terjadi ketika seseorang direduksi dari kemanusiannya yang utuh
menjadi sekedar makhluk atau obyek seksual. Atau ketika ia direndahkan karena
karakteristik seksualnya yang tertentu. Misalnya ketika bentuk tubuhnya dikomentari,
ketika orang berkomentar kotor, ketika orang mengajak melakukan tindakan-tindakan
seksual tanpa dikehendaki korban. Termasuk pula di sini sentuhan-sentuhan yang
tidak diinginkan, ajakan-ajakan yang implicit atau eksplisit mengandung konsekuensi
tertentu bagi korban.
Lebih lanjut diuraikan Poerwandari (2008), ketika seseorang melancarkan
rayuan-rayuan tertentu, menjanjikan hal-hal tertentu, misalnya menyatakan jatuh
cinta, akan mengawini, akan bertanggung jawab, hubungan seksual satu kali saja tidak
akan menimbulkan kehamilan, dan seterusnya, dan dengan strategi-strategi tersebut ia
berhasil mempengaruhi korban untuk bersedia berhubungan seksual, ini merupakan
tindakan-tindakan manipulasi dan eksploitasi seksual. Dalam hal ini, korban
mengalami ketidakadilan seksual dan diperlakukan sekadar sebagai obyek seksual
oleh pasangannya.
Kekerasan seksual merupakan penyalahgunaan kekuasaan, menyerang yang
lemah dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan baik secara fisik maupun
emosional (Wickham & West, 2002). Kekerasan seksual teijadi ketika korban
sebenarnya tidak siap melakukan hubungan seksual baik secara mental maupun fisik,
oleh karena itu pelaku menggunakan ancaman atau paksaan (Michalski, 2005;
Anderson, Simpson-Taylor, & Hermann, 2004). Pada umumnya, kekerasan seksual
dilakukan oleh pelaku yang merasa memiliki dominansi atau kekuasaan yang lebih
tinggi dibandingkan korban. Kekerasan seksual memiliki efek jangka pendek dan
jangka panjang terhadap fungsi psikologis korban, di mana hasil penelitian
menunjukkan bahwa dua per tiga dari anak yang pernah mengalami kekerasan seksual
akan mengalami simtom-simtom psikologis, dan seperempat di antaranaya mengalami
kesulitan yang lebih parah (Berliner & Elliott, 1996; Kendall-Tacket et al, 1993;
Wolfe & Birt, 1995 dalam Wickham & West, 2002).
2. 3. 2. Date Rape
Kekerasan dalam hubungan pacaran juga sering diistilahkan dengan date rape
(Komnas Perempuan, 2002). Pemerkosaan didefinisikan sebagai penggunaan paksaan
atau ancaman oleh pelaku untuk melakukan hubungan seksual (penetrasi penis-
vagina) (Alexander et al, 1989). Penetrasi anal dan oral juga termasuk dalam lingkup
Universitas Indonesia
pemerkosaan, sehingga pemerkosaan bisa saja terjadi pada laki-laki. Termasuk juga
pemerkosaan apabila korban tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan kesediaan
untuk melakukan hubungan seksual akibat keterbelakangan mental, gangguan
emosional, atau intoksikasi (Koss, 1993 dalam Rollins, 1996). Pemerkosaan dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe (Koss & Harvey, 1991), yaitu:
1. Stranger rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dikenal
oleh korban, biasanya disertai dengan penyerangan terlebih dahulu
sebelum terjadi pemerkosaan.
2. Acquaintance rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban,
bisa merupakan teman, kolega, atau seseorang yang dianggap dekat oleh
korban (close relatives).
3. Date rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh teman kencan, pacar, atau
siapapun yang dipercaya oleh korban sebagai seseorang yang disayangi
atau dicintai.
4. Multiple rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari satu).
5. Marital rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, di mana
sang suami melakukan aktivitas seksual yang tidak dikehendaki oleh sang
istri.
sebagai sosok yang mampu melindungi, mengayomi, dan mencintainya (Uggen &
Blackstone, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa acquaintace rape dan date rape biasanya
dilakukan oleh satu pelaku, namun serangan umumnya teijadi berulang kali oleh
pelaku yang sama tersebut (Koss, Dinero, Seibel, & Cox, 1988 dalam Abrams, Viki,
dan Masser, 2004). ). Hal ini teijadi karena pelaku adalah orang yang dianggap dekat
dengan korban dan memiliki kontak yang intens dengan korban, di mana jenis kasus
pemerkosaan inilah yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan pemerkosaan oleh
orang asing (Koss, Koss, & Woodruff, 1991 dalam Rollins, 1996). Dengan demikian,
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran sangat mungkin teijadi dalam bentuk date
rape (Zulfah, 2002; Gultom, 2002).
Universitas Indonesia
muncul dari peristiwa kekerasan (Koss & Harvey, 1991). Contohnya, jika sebelum
peristiwa individu melihat dunia aman, setelah peristiwa akan mulai mempertanyakan
kayakinannya tersebut. Umumnya, korban akan mengalami perubahan beliefs
mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan intimacy (Kendall-Tackett, 2005).
Perempuan yang menderita kekerasan seksual sering mengalami stigma dan
penolakan wajah oleh mitra, suami, keluarga, dan masyarakat (LBH Apik, 2006).
Namun, pemberian stigma negatif tersebut umumnya tidak berlangsung lama dan
individu bisa dengan cepat kembali pada perannya sebagai pekerja, pelajar, ibu, atau
kekasih dalam suatu hubungan (Kendall-Tackett, 2005). Dalam hal ini, kualitas dan
kuantitas dukungan sosial yang diperoleh individu pasca kekerasan memiliki peran
yang penting dalam proses pemulihan.
Meskipun demikian, dukungan sosial yang positif sebenarnya tidak terlalu
membantu individu jika dibandingkan dengan reaksi sosial yang negatif yang terasa
lebih menyakitkan (Davis, Brickman, & Baker, 1991 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Tidak semua lingkungan menunjukkan penerimaan yang baik terhadap korban
kekerasan seksual atau pemerkosaan. Pemerkosaan juga berdampak cukup signifikan
dalam menurunnya kualitas dan kuantitas hubungan intim (Mackey et al, 1002 dalam
Kendall-Tackett, 2005), yang kemungkinan besar juga berkaitan dengan
permasalahan seksual dan rusaknya kepercayaan tehadap lawan jenis. Dengan orang
lain seperti teman, keluarga, atau pasangan, hubungan individu juga bisa menjadi
buruk karena adanya ketegangan dalam hubungan tersebut pasca peristiwa (Crowell
& Burgess, 1996 dalam Kendall-Tackett, 2005).
2. 5. Trauma
Pada subbab ini, trauma sebagai salah satu dampak psikologis dari kekerasan
seksual akan dibahas secara lebih mendalam. Trauma, meskipun bisa, sangat sulit
untuk dipulihkan bagi sebagian besar individu yang mengalami peristiwa traumatis
(Hay, 1984; Broman, 2003). Hal tersebut mengingat bahwa tema penelitian ini
Universitas Indonesia
berfokus pada trauma, sehingga diperlukan kajian teori yang lebih rinci mengenai
trauma pada korban kekerasan seksual.
U niversitas Indonesia
yang masih dihayati seringkai adalah kemarahan yang kuat. Kemarahan itu
dapat diarahkan pada pelaku, masyarakat yang dianggap tidak peduli bahkan
menyalahkan, polisi, pengadilan, atau laki-laki pada umumnya. Sesungguhnya
kemarahan itu merupakan tampilan luar dari berbagai penghayatan negatif lain
seperti rasa tak berdaya , rasa malu, keputusasaan. Karenanya, pendampingan
psikologis amat penting untuk membantu korban menjalani proses-proses
penyesuaian diri setelah perkosaan, untuk memungkinkannya tetap menjalani
hidup secara produktif dan bermakna. Bila korban memperoleh dukungan kuat
dari lingkungan terdekatnya untuk memulihkan diri, dan juga memiliki
karakteristik pribadi yang cukup tangguh, ia akan dapat melewati kesulitan
hidupnya dan beradaptasi dengan baik.
sesi. Teknik ini dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan distres yang berkaitan
dengan kejadian dalam jangka panjang pasca kejadian. Sementara itu, penekanan CPT
adalah pada ekspresi afek, di mana komponen eksposumya adalah menuliskan dan
membaca kembali detail kejadian. Komponen kognitif terdiri dari pelatihan untuk
mengidentifikasi pemikiran dan afek, teknik untuk menantang keyakinan maladaptive,
dan penyusunan modul yang spesifik dengan sasaran lima area keyakinan: safety,
trust, power, esteem, dan intimacy (Resick & Schnike,l 992).
Gallo-Lopez (2000 dalam Wickham dan West, 2002) mengajukan empat area
untuk terapi pada korban kekerasan seksual, yang mencakup:
1. Memperlakukan individu dengan hak-haknya, dengan memberikan ruang
untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri mereka sendiri.
2. Menekankan pada traumatic sexualization, stigmatization, betrayal, dan
powerlessness yang diharapkan bisa memperbaiki gambaran diri, fungsi
kognitif, dan ekspresi perasaan.
3. Membantu individu untuk memahami fungsi diri sesuai dengan usianya,
rasa percaya diri, dan harga diri.
4. Memberikan edukasi kepada lingkungan di sekitar individu agar dapat
berespon secara efektif terhadap kebutuhan individu.
Selain itu, dalam memberikan terapi, hal-hal yang perlu diperhatikan di
antaranya (Trowell, 1999: 114-15 dalam Wickham & West, 2002):
1. Isu kekerasan
2. Perpisahan, kehilangan, yang terjadi dalam waktu dekat
3. Isu masa kanak-kanak
4. Psikopatologi, seperti PTSD, perasaan depresi dan keinginan bunuh diri,
kecemasan dan serangan panik, gangguan attachment dan gangguan
perkembangan, gangguan makan
5. Rencana masa depan, rasa percaya diri, keberhargaan diri
6. Hubungan dengan keluarga dan lingkungan sosial.
Dalam Jongsma dan Peterson (2006), disebutkan target jangka panjang dari
intervensi terhadap simtom-simtom PTSD dan trauma seksual akibat kekerasan
seksual. Target jangka panjang dari intervensi terhadap simtom-simtom PTSD adalah:
1. Meminimalisir efek negatif dari simtom-simtom PTSD pada berbagai
aspek dalam keseharian individu.
2. Mengembalikan keberfungsian individu pada level sebelum terjadinya
peristiwa traumatis.
U niversitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
3. 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tipe
penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif relevan untuk studi mengenai relasi
sosial, yang mengacu pada fakta bahwa kehidupan merupakan sesuatu yang bersifat
plural atau majemuk (Flick, 1998). Dalam hal ini, penelitian kualitatif menggunakan
strategi induktif, di mana penelitian berangkat dari suatu konteks sosial, bukan dari
teori maupun pengujian.
Penelitian terhadap para perempuan yang pernah mengalami kekerasan
seksual ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena hal yang akan diperdalam
merupakan suatu proses yang menggambarkan individu secara menyeluruh berkaitan
dengan peristiwa yang dialaminya, khususnya mengenai dampak psikologis.
Informasi yang bersifat kualitatif menyediakan deskripsi yang kaya dan alasan yang
kuat untuk menjelaskan tingkah laku dan proses lingkungan pada setting lokal (Attig,
Attig, & Boonchalaksi, 1989).
Dengan demikian, studi kualitatif memungkinkan peneliti untuk mengetahui
bagaimana dinamika penghayatan dan dampak psikologis yang dirasakan partisipan
akibat kekerasan seksual yang telah menimpanya. Oleh karena itu, penelitian
kualitatif memerlukan kepekaan peneliti untuk mencatat, merekam, dan menangkap
detil-detik fakta yang diamati selama observasi serta kemampuan untuk merefleksikan
detil-detil fakta tersebut (Suwignyo, 2002).
3. 3. Karakteristik Partisipan
Partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah dua orang, dengan
karakteristik:
1. Beijenis kelamin wanita.
2. Berada dalam tahap perkembangan dewasa muda atau berusia antara 20
sampai dengan 40 tahun.
3. Pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dalam
jangka waktu 2 tahun.
4. M asih menampilkan simtom-simtom traumatis akibat peristiwa tersebut
hingga saat penelitian ini dilaksanakan.
Universitas Indonesia
3. 6. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu, yaitu:
1. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara yang digunakan merupakan moderately scheduled
interview, di mana peneliti telah memiliki daftar pertanyaan yang
sederhana. Keuntungan dari pedoman wawancara tipe ini adalah dari segi
fleksibilitas, di mana pewawancara dimungkinkan melakukan probing
yang dapat disesuaikan dengan partisipan dan situasi (Stewart & Cash,
2000).
2. Tape recorder
Alat ini dibutuhkan untuk merekam jalannya wawancara yang berlangsung
antara peneliti dengan partisipan. Rekaman ini pada dasarnya membantu
peneliti untuk menyusun transkrip wawancara, menghindari data yang
terlewatkan atau terlupakan, serta membantu peneliti dalam usaha
interpretasi data. Meskipun demikian, terdapat kemungkinan partisipan
tidak menghendaki pembicaraan tersebut direkam. Oleh karena itu,
diperlukan adanya consent terlebih dahulu.
3. A lat tulis
Yang termasuk di dalamnya adalah buku atau kertas, dan pulpen atau
pensil, untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari penjelasan
partisipan dan mencatat hasil observasi.
3. 7. Prosedur Penelitian
3. 7 .1 Tahap Persiapan
Pada tahap ini, peneliti mencari partisipan penelitian. Dari dua
partisipan yang direncanakan untuk berpartisipasi, kesemuanya yang
berinisiatif untuk menemui peneliti dan menyatakan bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Hal ini membuat peneliti tidak membutuhkan
waktu lama untuk menjalin rapport dengan mereka. Kemudian, setelah
memperoleh landasan penelitian, peneliti menyusun pedoman wawancara
Universitas Indonesia
yang dibuat dengan merujuk pada teori yang digunakan dan dioperasionalkan
dengan pertanyaan terbuka.
Langkah-langkah persiapan yang dilakukan peneliti kemudian di
antaranya:
1. Melakukan wawancara secara mendalam dan observasi secara cermat
terhadap partisipan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
2. Jika memungkinkan, melakukan wawancara terhadap significant
others dari partisipan sebagai data pendukung.
3. Mencari informasi dari berbagai sumber mengenai perempuan yang
mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dan bagaimana
dampaknya.
4. Menentukan kesimpulan mengenai ciri khas yang muncul dan
kebutuhan dari partisipan untuk penentuan rancangan intervensi dan
pendampingan psikologis.
3. 7. 2. T ah ap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, peneliti menanyakan kesediaan partisipan
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini baik secara lang su n g maupun melalui
telepon. Setelah mereka menyatakan kesediaan, peneliti dengan partisipan
membuat kesepakatan waktu untuk mengisi lembar informed consent dan
mengadakan wawancara yang sejak awal dijanjikan akan berlangsung kira-
kira selama tiga hingga lima sesi. Pengambilan data dilakukan mulai April
2010 hingga awal Juni 2010. Secara keseluruhan, wawancara dengan kedua
partisipan masing-masing berlangsung lima sesi dengan perincian waktu
sebagai berikut.
Berkenalan Ya Ya
Telepon Ya Ya
SMS Ya Ya
PELAKSANAAN Dian Tia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
itu, transkrip dilengkapi dengan catatan observasi selama proses wawancara. Tahap
ini berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Kemudian, pada setiap data
partisipan dituliskan identitas partisipan dengan menggunakan nama samaran untuk
menjaga kerahasiaan identitas partisipan sekaligus untuk mempermudah proses
pengolahan data.
Universitas Indonesia
banyak yaitu dua orang. Analisis dilakukan dengan cara menelaah secara individual
satu persatu aspek-aspek psikologis yang terdapat dalam diri partisipan terkait dengan
perisiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Selain itu, analisis juga mencakup
perbandingan antara kasus yang satu dengan yang lain dan dinamika yang teijadi di
antara aspek-aspek psikologis yang bersangkutan.
Universitas Indonesia
BAB 4
DATA DAN KESIMPULAN AWAL
Dalam bab ini, diuraikan mengenai data dari partisipan dan kesimpulan sementara dalam
bentuk analisis interkasus, dinamika trauma, serta dinamika dampak psikologis secara
keseluruhan yang dialami partisipan.
gengnya dan tidak pernah jalan berdua saja. Menurut Dian, selama SMA hubungannya
dengan Dani sebatas makan siang di sekolah atau pulang bersama naik angkutan umum.
Keluarga Dian dan Dani hanya mengetahui bahwa mereka berteman dekat karena Dian
masih dilarang berpacaran oleh orangtuanya.
Kondisi hubungan mereka dirasakan berubah oleh Dian semenjak Dani kuliah di
luar kota. Dian mengatakan bahwa jika pulang ke Bogor sekitar satu atau dua bulan
sekali, maka Dani akan mengajak Dian ke rumahnya dan menghabiskan waktu di sana
dengan alasan ingin melepas rindu. Rumah Dani sepi di siang hari karena kedua orangtua
dan kakaknya bekerja. Sementara itu, kakak laki-lakinya seringkali ada sepulang kuliah
tetapi jarang keluar kamar. Biasanya, Dani dan Dian hanya akan menonton TV di kamar
Dani sambil makan dan bercanda sampai sore lalu Dani mengantar Dian pulang.
Sebenarnya, Dian merasa tidak nyaman dan risih karena sering bermain di kamar laki-
laki, tetapi Dani meyakinkan dirinya bahwa hal tersebut tidak apa-apa. Beberapa bulan
selelahnya, Dani mulai berani mencium dan menyentuh tubuh Dian ketika mereka sedang
menonton TV. Dian selalu menolak tetapi Dani selalu pula berhasil merayunya.
Seringkali, Dian mengalah karena Dani memaksa walaupun Dian sudah mengatakan
bahwa ia tidak suka diperlakukan demikian.
Sampai suatu hari, Dani memintanya untuk melakukan hubungan seksual. Dian
menolak mentah-mentah dan bermaksud keluar dari kamar, namun Dani menahannya dan
berusaha pelan-pelan merayu Dian. Dian merasa sangat bingung. Di satu sisi, ia sangat
menyayangi Dani dan tidak ingin mengecewakannya. Di sisi lain, ia takut sekali dan
tidak mau melanggar perintah agama dan orangtuanya untuk tidak berzina. Ketika
akhirnya Dian tetap menolak, Dani tampak kesal dan mencengkeram baju Dian. Dian
berusaha mendorong Dani tetapi ia tidak cukup kuat, kemudian Dani mendorongnya
balik ke tempat tidur dengan paksa dan mengatakan jika Dian mencintainya maka Dian
tidak boleh menolak.
Dian mengaku tubuhnya amat gemetar, Dian tidak mampu berkata apa-apa
sedangkan Dani mulai melakukan penetrasi sambil terus menerus berkata bahwa Dian
akan tidak perlu takut, Dian akan merasakan nikmatnya karena mereka saling mencintai.
Universitas Indonesia
Dian memejamkan mata dan mencoba menikmati hubungan tersebut seperti yang
dikatakan Dani, namun yang terjadi Dian merasa sangat kesakitan kemudian ia menangis.
Melihat Dian menangis, Dani menghentikan kegiatannya dan tampak merasa bersalah.
Dani kemudian mengantar Dian pulang, tetapi Dian masih dalam keadaan shock dan
tidak sanggup bicara. Dian merasa sedih dan hancur karena dirinya sudah tidak suci lagi.
Selama beberapa hari kemudian, Dian merasakan nyeri di kemaluannya terutama saat
buang air kecil, bahkan ia kesulitan berjalan. Hal tersebut sangat menyiksa Dian dan
membuat Dian marah luar biasa kepada Dani. Meskipun ia merasa amat tertekan dan
ingin berbagi kesedihannya kepada orang lain, Dian tidak berani menceritakan peristiwa
tersebut kepada siapapun.
Setelah peristiwa tersebut, Dani maminta maaf dan memperlakukan Dian dengan
amat baik. Pada kepulangan Dani yang berikutnya, Dian tidak lagi mau diajak ke kamar
Dani. Namun ternyata, Dani lagi-lagi memaksa bahkan menyeret Dian ke kamarnya dan
kembali memaksa Dian untuk melakukan hubungan seksual. Untuk seterusnya, Dani
selalu memiliki alasan untuk membawa Dian ke rumahnya yang dan Dian tidak berani
menolak ataupun berteriak karena malu jika ketahuan orang lain. Apabila Dian menolak,
maka Dani akan memukulnya atau menendangnya sampai Dian terjatuh sehingga Dani
bisa menindihnya dan melakukan hubungan seksual dengan paksa. Jika sudah demikian,
barulah Dani akan berkata-kata manis dan lembut, sementara Dian hanya bisa pasrah dan
berusaha menikmati hubungan tersebut meskipun tidak kunjung berhasil. Setelah Dani
memuaskan hasratnya, Dian biasanya menangis dan Dani meminta maaf, tetapi kejadian
tersebut selalu berulang selama satu tahun lamanya. Sekali waktu, Dani pernah begitu
marah ketika Dian menolak berhubungan seks sehin gga mereka saling memukul dan
menendang satu sama lain sampai kaki Dian biru-biru.
Dian meminta Dani berjanji untuk menikahinya selulus kuliah dan Dani
mengiyakan. Dian selalu merasa dihantui perasaan takut, berdosa, dan merasa
hubungannya dengan Dani tidak wajar, tidak seperti teman-teman lainnya yang juga
memiliki pacar. Akhirnya, Dian memberanikan diri untuk bercerita mengenai hubungan
yang dijalaninya kepada Mia, sahabatnya, dan reaksi Mia adalah marah. Mia menyuruh
Universitas Indonesia
Dian segera memutuskan Dani karena hubungan tersebut tidak sehat. Mia mengatakan
bahwa jika Dani mencintainya maka Dani akan menjaganya, bukan memaksa dan
merusak dirinya. Dian menyadari bahwa Mia benar, tetapi Dian tidak berani memutuskan
Dani karena takut tidak bisa mendapatkan suami kelak, mengingat Dian sudah tidak
perawan. Namun, berkat dorongan Mia, Dian berjuang untuk lepas dari Dani. Meskipun
berat karena Dian masih mencintai Dani, Mia selalu mendukung Dian. Butuh waktu
setengah tahun sampai akhirnya Dani benar-benar menyerah mengejar Dian dan
hubungan merekapun putus di tahun 2005.
Menurut Dian, hingga saat ini, Dian masih sering terbayang-bayang dengan rasa
sakitnya berhubungan seksual. Dian tidak akan bisa melupakan debar jantungnya dan
kerasnya upayanya melindungi diri dari paksaan Dani. Dian juga mengaku jijik jika
mengingat pengalamannya dengan Dani dan ia akan berusaha menyingkirkan ingatan
tersebut. Dian mati-matian menghindari kontak dengan Dani, bahkan sahabat-sahabat
SMAnyapun sudah tahu bahwa Dian membenci Dani meskipun tidak tahu apa
masalahnya kecuali Mia. Dian merasa malu dan rendah diri karena dirinya sudah tidak
perawan lagi. Hal ini membuat Dian tidak ingin lagi menjalin hubungan pacaran dengan
lawan jenisnya. Namun, di sisi lain, Dian menjadi penasaran untuk mengetahui apakah
hubungan seksual memang menyakitkan.
Hal tersebut di atas membuat Dian menjadi sering ‘berpetualang’ dengan laki-
laki. Jika ada laki-laki yang mendekatinya, maka Dian akan menanggapinya sampai
mereka berhubungan seksual tetapi Dian menolak ketika diajak berpacaran serius.
Menurut Dian, laki-laki itu brengsek, buktinya semua menginginkan seks, sedangkan
komitmen selalu muncul setelah seks. Dari petualangannya, Dian mengaku tetap sulit
merasakan kenikmatan dan hasrat terhadap seks. Kebiasaan buruk Dian mulai berkurang
sejak Dian dekat dengan Wira, seorang laki-laki sederhana yang membuat Dian jatuh
hati. Wira sangat menghargai Dian dan tidak pernah menyentuh Dian secara fisik. Wira
juga bersikap lembut dan dewasa dalam menghadapi sifat Dian yang pemarah. Hal
tersebut membuat Dian mempercayai Wira dan setelah sekitar 3 bulan menjalin
hubungan pacaran, Dian akhirnya menceritakan masa lalunya kepada Wira. Meskipun
Universitas Indonesia
sempat kecewa, Wira tetap menerima Dian apa adanya bahkan mengajak Dian menikah.
Dian merasa bahagia dengan kehadiran Wira walaupun masih kerap dibayang-bayangi
pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan.
4 .1 .3 . Observasi
Dian adalah seorang wanita muda berusia 24 tahun yang memiliki postur tubuh
proporsional dengan tinggi sekitar 160 sentimeter dan berat sekitar 52 kilogram. Dian
berkulit kuning langsat dan berparas menarik, dengan bentuk wajah bulat dan lesung di
pipinya. Polesan make up di wajahnya tipis namun memberikan kesan segar. Dian
mengenakan jilbab dengan penampilan yang terbilang modis. Gaya berpakaiannya
cenderung formal dengan celana atau rok panjang berwana gelap dan blus berwarna
cerah. Jilbab yang dikenakan Dian tidak panjang tetapi juga tidak terlalu pendek. Dian
selalu menggunakan aksesoris, seperti belt, kalung panjang, cincin, atau gelang yang
membuat penampilannya secara keseluruhan selalu matching. Dian juga mengenakan tas
dan sepatu yang bermerk dan terkesan formal. Pada sebagian pertemuan, Dian
menggunakan lensa kontak berwarna coklat dan ungu sesuai dengan warna bajunya.
Dian merupakan seseorang yang murah senyum tetapi tidak banyak bicara. Pada
awal-awal pertemuan, ia cenderung menjawab pertanyaan yang ditanyakan peneliti saja
secara singkat dan jarang bercerita terlebih dahulu tanpa ditanya. Ekspresi wajah Dian
ramah tetapi sinar matanya cenderung sendu. Cara bicara dan segala gerak-geriknya
sangat terjaga dan terkesan formal. Dian tampak selalu berpikir baik-baik sebelum
memberikan jawabannya atas pertanyaan peneliti. Dian senang menyilangkan kakinya
selama wawancara dan sangat jarang mengubah posisi duduknya. Namun, setelah
berlangsungnya pertemuan ketiga dan seterusnya, Dian tampak lebih santai dan bisa
terbuka kepada peneliti dalam berbagai hal. Dian juga bisa lebih banyak tersenyum dan
sesekali tertawa atau bercanda. Secara keseluruhan, sikap Dian kooperatif terhadap
peneliti.
Ketika membicarakan mengenai hubungannya dengan Dani, ekspresi wajah Dian
berubah menjadi lebih tegang. Intonasi suaranya cenderung rendah dan pelan seperti
Universitas Indonesia
tidak ingin ada orang lain yang bisa mendengarkan percakapannya dengan peneliti. Ia
juga sering mengungkapkan kata-kata yang menunjukkan kebencian dan kemarahan
kepada pelaku, seperti ‘nggak pengen nginget-nginget si brengsek satu itu’ (dengan
ekspresi wajah dan intonasi suara marah). Bahkan, beberapa kali, Dian mengepalkan
tangannya atau meremas-remas kedua tangannya ketika menceritakan pengalamannya
tersebut. Dian juga sering menunduk dan termenung selama beberapa saat. Apabila
pembicaraan berlangsung seputar keluarga, maka Dian menanggapinya dengan riang
tetapi jawabannya tetap singkat tanpa banyak memberikan penjelasan. Namun, jika diajak
berbicara tentang kegiatannya, teman-temannya atau hubungan interpersonal yang
dijalaninya, maka ekspresi wajah Dian menjadi ceria dan intonasi suaranya sedikit
meninggi karena antusias.
4 .1 . 4. Ringkasan W awancara
Keiuarsa
Dian merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, Devi, yang berusia
21 tahun juga berjenis kelamin perempuan dan saat ini masih kuliah. Ayah Dian berusia
50 tahun, sedangkan ibunya berusia 48 tahun. Keduanya bersuku Sunda dan tinggal di
Bogor sejak menikah. Ayah Dian bekerja sebagai pegawai negeri, sementara ibunya
sebagai ibu rumah tangga. Sejak anak-anaknya masih balita, ayah dan ibu Dian merintis
usaha di bidang sandang untuk menyokong perekonomian keluarga. Secara finansial,
keluarga Dian hidup berkecukupan dan hampir tidak pernah kekurangan. Seiring
berjalannya waktu, usaha tersebut semakin berkembang besar sehingga ketika dewasa
Dian memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan Ekonomi agar bisa menunjang bisnis
keluarganya. Saat ini, mereka sudah memiliki sebuah butik resmi yang diurus langsung
oleh Dian, Devi, dan ibunya.
Dian dan Devi dibesarkan dalam keluarga yang religius. Orangtua Dian sangat
taat terhadap agama dan mendidik anak-anaknya dengan landasan syariat yang kuat.
Ayah Dian selalu menekankan pentingnya beribadah. Sejak berusia 2 atau 3 tahun, Dian
dan Devi mulai diajari shalat dan berpuasa. Ibunya juga mendaftarkan Dian dan Devi ke
Universitas Indonesia
TPA Islam di dekat rumahnya dan mengharuskan mereka mengaji atau datang ke masjid
setiap hari. Ketika usianya 5 tahun, mereka sudah terbiasa dengan shalat 5 waktu dan
puasa sebulan penuh saat Ramadhan. Memasuki bangku SD, Dian dan Devi
diperkenalkan dengan jilbab. Dian mulai mengenakan jilbab seperti ibunya di bangku
SMA, sedangkan Devi sudah mulai mengenakannya sejak masuk SMP. Ayah dan ibu
Dian juga mengajarkan pentingnya menjaga jarak antara perempuan dengan laki-laki,
sehingga Dian dan Devi tidak diperbolehkan berpacaran sebelum menikah. Mereka
sendiri memang tidak berpacaran sebelum menikah. Selain itu, orangtua Dian rajin
mendorong anak-anaknya untuk berprestasi di sekolah.
Dorongan orangtuanya menjadikan Dian sebagai anak yang alim dan tidak suka
membuat masalah. Dian juga dikenal sebagai siswa yang rajin dan pandai semasa
sekolahnya di bidang akademis. Dian hampir selalu menduduki rengking pertama di
kelasnya. Berbeda dengan adiknya yang justru kerap berprestasi di berbagai bidang non-
akademis seperti menari, menyanyi, dan olahraga. Dian selalu berhasil membanggakan
orangtuanya dengan kepandaiannya di berbagai pelajaran, termasuk pelajaran agama.
Seingat Dian, ia tidak pernah memperoleh nilai jelek dalam pelajaran. Jika Dian atau
Devi tidak berhasil memperoleh prestasi yang baik atau lalai dalam beribadah, maka
orangtuanya akan memberikan hukuman seperti disentil telinganya, dipukul bokong dan
tubuhnya, tidak diizinkan bermain keluar rumah, atau tidak diberikan uang jajan selama
beberapa waktu.
Di antara seluruh anggota keluarganya, Dian merasa paling dekat dengan Devi.
Meskipun demikian, tetap saja mereka memiliki minat yang berbeda sehingga tidak
terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Tetapi, Devi adalah adik dan teman yang
menyenangkan. Dian dan Devi merasa bisa saling mengerti satu sama lain, apalagi
mereka sama-sama menerima segala peraturan dari orangtuanya. Tak jarang, Dian dan
Devi saling menghibur jika salah satu di antara mereka dihukum karena shalatnya bolong
atau malas mengaji. Ayah Dian sebenarnya merupakan orang yang hangat dan bisa diajak
berdiskusi secara terbuka. Tetapi, Dian tetap merasakan ada jarak antara ia dengan
ayahnya. Terlebih lagi dengan ibunya, Dian samasekali tidak merasa dekat secara
Universitas Indonesia
emosional. Di mata Dian, ibunya adalah sosok yang keras dan terlalu sibuk dengan
urusannya sendiri. Meskipun hubungannya tidak mendalam, interaksinya dengan ibunya
berlangsung baik.
Universitas Indonesia
mencoba mengobrol dengan teman laki-laki tetapi tidak berani dilakukannya. Dian
berusaha mengalihkan keinginannya untuk bergaul dengan teman laki-laki dengan cara
belajar. Dian merasa bangga jika ia berhasil menjadi nomor satu dan iapun tentunya akan
mendapatkan pujian dari orangtuanya yang membuatnya senang. Secara keseluruhan,
prestasi akademis Dian sangat baik dan guru-guru menyukai Dian karena ia kalem, tidak
banyak bertingkah, dan pandai.
Memasuki bangku SMP, Dian memiliki teman baru yaitu Bimo, yang kelasnya
bersebelahan dengan dirinya dan Dian merasakan hal yang berbeda. Setiap bertemu atau
berpapasan dengan Bimo, Dian merasakan jantungnya berdebar-debar dan ia tidak ingin
melepaskan pandangannya dari temannya itu. Dian tidak mengerti perasaan apa yang
dialaminya, namun dari teman-temannya yang sudah mulai berpacaran Dian mengetahui
bahwa dirinya mulai merasa suka kepada Bimo. Dian sangat ketakutan akan ketahuan
orangtuanya sehingga ia menutup rapat-rapat perasaannya itu dan tidak pernah
membicarakannya dengan siapapun termasuk teman-teman satu gengnya. Padahal,
menurut salah satu temannya, Bimo juga menyukai Dian tetapi tidak berani mendekati
Dian karena sikapnya yang terkesan judes dan menghindari Bimo. Dian menyimpan
perasaannya terhadap Bimo sampai ia duduk di kelas tiga. Perasaan suka Dian tidak
berubah atau berkurang meskipun Bimo sudah pacaran dengan beberapa perempuan
teman-temannya di sekolah.
Karena Dian merupakan anak yang pandai, Dian menjadi satu-satunya siswa dari
SMP swasta tersebut yang berhasil mendapatkan tempat di SMU negeri yang cukup
populer di Bogor. Dian sempat merasa gugup membayangkan akan berpisah dari Bimo.
Karena alasan itu, suatu hari, Dian mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk nekat
menelepon Bimo. Bimo sangat kaget ketika mengangkat telepon dan mendengar suara
Dian, karena selama ini mereka hampir tidak pernah mengobrol kecuali jika ada
kepentingan pelajaran. Bimo menyambut telepon Dian dengan senang dan ingin
mengajak Dian bertemu di mal, tetapi Dian tidak mau. Dian hanya bertanya Bimo
melanjutkan sekolah di mana. Begitu Bimo menjawab bahwa ia sudah diterima di sebuah
SMA di Surabaya mengikuti ayahnya yang dinas, Dian langsung mengucapkan selamat,
Universitas Indonesia
salam perpisahan, kemudian menutup telepon. Dian ingat betapa sedihnya ia ketika itu.
Selama beberapa hari, Dian murung dan tidak ingin mencari kegiatan untuk mengisi
liburannya.
Universitas Indonesia
kegiatan non -akademis. Selain karena ingin mencoba suasana baru, Dian tertarik karena
melihat teman-temannya itu yang sangat serius menekuni hobinya masing-masing dan
mereka menemukan kepuasannya sendiri. Seperti Kiki yang pecinta alam dan sering naik
gunung bersama teman-teman eskur (kegiatan ekstrakurikuler sekolah) pecinta alam,
Yudi yang setiap minggu berlatih taekwondo di halaman sekolah, Kristin yang rajin
berlatih Paskibra, dan lain-lain. Karena bingung akan memilih kegiatan apa, akhirnya
Dian memilih kegiatan bola basket bersama Dani dan Mia. Dian merasa dirinya cukup
senang bermain basket. Kegiatan eskur yang sama membuat mereka bertiga semakin
dekat dan merasa cocok.
Seringnya mereka menghabskan waktu bersama membuat Dani menyukai Dian.
Seperti sebelumnya, Dian ketakutan dan tidak mau menerima teman laki-laki yang
mendekatinya karena takut ketahuan orangtuanya. Tetapi, Mia dan teman-teman yang
lain mendorong mereka berdua untuk segera meresmikan hubungan. Dian merasa bahwa
dirinya tidak menyukai Dani karena perasaannya terhadap Dani tidak seperti yang
dirasakannya terhadap Bimo. Akan tetapi, Dian menyadari bahwa Dani adalah teman
yang baik dan sikapnyapun baik sejauh ini. Setelah Dian berpikir panjang, akhirnya ia
bersedia menerima Dani sebagai pacar pertamanya. Teman-teman yang lain menyambut
kabar tersebut dengan senang karena keduanya dikenal baik dan pandai. Tetapi, Dian
meminta kepada Dani dan teman-temannya untuk menyembunyikan status pacaran
mereka.
Seperti yang telah diceritakan pada subbab sebelumnya, hubungan Dian dengan
Dani sebatas makan bersama atau pulang sekolah bersama, itupun dilakukan juga dengan
Mia dan teman-teman yang lain. Selebihnya, mereka sering mengerjakan PR bersama di
rumah Dian. Hal tersebut karena ibu Dian tidak mengizinkan Dian bermain di rumah
temannya, lebih baik teman-temannya yang datang ke rumah Dian. Dian mengatakan
bahwa tidak ada yang aneh dari hubungannya dengan Dani selama satu tahun pertama,
bahkan mereka seperti teman saja, hanya statusnya yang berbeda. Dani sangat perhatian
dan mau mengajari Dian beberapa pelajaran yang dikuasainya. Kedekatan tersebutlah
yang lama kelamaan menimbulkan perasaan sayang terhadap Dani di hati Dian.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sejak itu, Dian marah kepada Dani dan menghindari Dani. Tetapi, Dani meminta
maaf dan mengatakan menyesal telah menyakiti Dian. Karena perasaan sayangnya,
Dianpun memaafkan Dani. Sayangnya, kejadian tersebut berulang dan Dani selalu punya
alasan untuk membawa Dian ke kamarnya di mana ia bisa mamaksa Dian melakukan
hubungan seksual. Dan entah mengapa, Dian mudah sekali merasa percaya kepada Dani
sehingga lagi-lagi harus mengalami penyiksaan fisik sebelum akhirnya Dani melakukan
penetrasi. Jika sudah tidak sanggup melawan Dani, maka Dian pasrah dan hanya meminta
Dani berjanji untuk menikahinya setelah kuliahnya selesai. Setidaknya Dian tidak
berdosa lagi jika berhubungan seks setelah menikah, begitu pemikirannya.
Menurut Dian, perasaan cintanya terhadap Dani berkurang perlahan-lahan setiap
Dani memaksanya melakukan hubungan seksual. Dian juga merasa kecewa karena ia
mengira Dani akan menjaga dan melindunginya, namun kenyataannya berbanding
terbalik. Selain itu, Dian merasa bersalah karena tidak maksimal dalam melawan Dani
dan membiarkan Dani melakukan kekerasan kepadanya. Dian menjadi lebih sering
berdiam diri dan tidak banyak bersenang-senang dengan teman-temannya. Batinnya
begitu tertekan karena ingin menceritakan permasalahannya ini kepada seseorang, tetapi
Dian tidak berani dan merasa harga dirinya jatuh. Dian merasa dirinya sudah tidak
perawan lagi dan hal tersebut sangat memalukan. Dian juga mengaku selalu menangis
saat shalat dan memohon ampun yang sebesar-besarnya kepada Tuhan atas dosanya yang
begitu besar. Dian mengatakan bahwa dirinya mungkin sudah tidak punya muka lagi di
hadapan Tuhan.
Dian tidak sanggup membayangkan seandainya orangtuanya mengetahui kejadian
tersebut. Dian takut sekali akan dirajam atau dicambuk seperti yang diceritakan ayahnya
mengenai hukuman di masa Nabi untuk orang-orang yang berzina. Dian bahkan terpikir
untuk menemui seorang ustad atau kiyai untuk meyakinkan dirinya mengenai hukuman
tersebut. Perasaan takut Dian yang tidak terbendung membuatnya memberanikan diri
bercerita kepada Mia mengenai masalahnya. Mia sangat kaget dan marah mendengar
cerita Dian. Mia langsung menyuruh Dian untuk memutuskan hubungannya dengan Dani.
Dian merasa bimbang karena bagaimanapun, ia masih mencintai Dani. Selain itu, Dian
Universitas Indonesia
juga merasa takut kelak ia tidak akan pernah menikah karena tidak ada laki-laki yang
meu menikahi perempuan yang sudah tidak perawan. Tetapi, Mia meyakinkan Dian
bahwa hubungannya dengan Dani sudah tidak sehat dan dirinya terlalu berharga untuk
disakiti. Mia juga meyakinkan Dian bahwa ia akan selalu menemani Dian jika Dian butuh
tempat berbagi. Dia akhirnya merasa yakin dan berani untuk memutuskan hubungan
dengan Dani.
Dani tidak begitu saja setuju. Ia tidak menyangka Dian akan berani memutuskan
hubungan mereka. Dani langsung pulang ke Bogor dan mengejar Dian. Semua cara
ditempuhnya, mulai dai mendatangi rumah Dian, mengunjungi kampus Dian, menelepon
ponsel Dian tanpa henti dan mengirim pesan yang mengatakan bahwa dirinya menyesal
dan tidak ingin kehilangan Dian. Semula, Dian masih kerap tergoda untuk merespon
Dani. Namun, seiring berjalannya waktu, Dian semakin kuat dengan dorongan dari Mia
dan semakin berani pula menutup kontak dengan Dani. Justru Dian merasa ketakutan
karena Dani mencarinya dengan membabi buta. Orangtua Dian sempat merasa heran
mengapa Dian tidak mau menemui Dani, kemudian Mia membantu menjelaskan bahwa
Dian tidak suka dengan sikap Dani yang kurang ajar terhadapnya. Mendengar hal
tersebut, ayah dan ibu Dian marah dan membantu Dian untuk menghindar. Dian
membutuhkan waktu sekitar setengah tahun sebelum akhirnya Dani benar-benar
menyerah dalam mengejar Dian.
Universitas Indonesia
kebingungan dan penasaran, hingga terjerumus dalam hubungan yang tidak sehat dengan
banyak laki-laki.
Dian yang pada dasarnya memang menarik dan banyak disukai laki-laki, mulai
menanggapi laki-laki yang mendekatinya dan membiarkan mereka melakukan sentuhan
fisik sampai dengan hubungan seksual. Dalam pemikiran Dian, dirinya sudah tidak
perawan lagi sehingga tidak ada yang perlu dipertahankan. Dian akan membanding-
bandingkan sensasi ketika melakukan hubungan seks dengan para laki-laki tersebut.
Akan tetapi, jika diajak berpacaran apalagi menikah, Dian akan menghindar dan
meninggalkan laki-laki tersebut. Menurut Dian, ia selalu kesulitan memperoleh orgasme
walaupun ia menyukai sensasi berhubungan seks. Secara keseluruhan, Dian merasa tidak
terlalu mampu menikmati hubungan seksualnya secara optimal meskipun ia ingin.
M ia yang juga sempat diwawancara peneliti mengaku prihatin dengan kondisi
Dian, tetapi M ia berusaha memahami betapa hancurnya perasaan Dian setelah mengalami
hubungan yang buruk dengan Dani. Dian merasa gagal sebagai seorang perempuan
karena tidak bisa menjaga keperawanannya dan telah mengecewakan keluarganya. Dian
selalu marah-marah jika sedang teringat pengalamannya dengan Dani, atau bisa jadi
sebaliknya merasakan kesedihan dan kecemasan yang luar biasa. Dian akan berdiam diri,
tubuhnya gemetar, tidak bisa tidur, dan tidak berselera untuk makan setiap ia
membayangkan pemaksaan melakukan hubungan seks yang dilakukan Dani terhadapnya,
terutama nyeri yang dirasakan di kemaluannya. Dian juga sering diganggu mimpi buruk
dan selalu menghindari bertemu teman-teman SMA-nya kecuali Mia, padahal mereka
mendukung Dian.
Menurut Dian, kebiasaan buruknya dalam berpetualang seks mulai berkurang
sejak kehadiran Wira, seorang laki-laki rekan bisnisnya. Wira sangat sabar dan bisa
mengerti kondisi Dian. Dian yang semula ingin menggoda Wira untuk melakukan
hubungan seks ternyata tidak berhasil, dan Dian merasa tercengang bahwa masih ada
laki-laki yang sopan seperti Wira. Dengan lembut, Wira melakukan pendekatan kepada
Dian. Dian bersedia terbuka dan menceritakan semua pengalaman masa lalunya.
Meskipun kaget dan tidak menduga sebelumnya, Wira berjanji akan mendampingi Dian
Universitas Indonesia
asalkan Dian mau memperbaiki diri bersama-sama. Dian mengaku, Wira merupakan
sosok yang bisa menenangkan dirinya dan membuat pandangannya berubah mengenai
laki-laki dan hubungan seks. Dian merasa bahagia sejak Wira menjadi kekasihnya, tetapi
bayangan mengenai peristiwa buruknya bersama Dani belum bisa hilang dari ingatannya
dan masih kerap mengganggunya.
4 .2 .2 . Gambaran Kasus
Tia mengalami kekerasan seksual ketika menjalani hubungan dengan seorang
laki-laki tampan bernama Toni yang dikenalnya sejak di bangku SD. Mereka kemudian
bertemu kembali dan resmi berpacaran di tahun 2004. Tia menceritakan bahwa
hubungannya dengan Toni awalnya baik-baik saja, dan jarang bertengkar. Toni sangat
perhatian dan tampak sangat mencintai Tia. Dari beberapa hubungan yang pernah
dijalaninya, Tia mengatakan bahwa Toni adalah pria yang paling romantis dan bisa
membuat Tia merasa nyaman. Bahkan, karena keyakinannya terhadap sifat dan sikap
Toni yang baik, Tia membayangkan Toni adalah pria terakhir dalam hidupnya yang akan
menjadi suaminya. Setelah beberapa bulan menjalin hubungan, Tia mendengar desas-
desus bahwa Toni adalah seorang playboy yang suka mempermainkan wanita. Suatu hari,
Tia memberanikan diri bertanya kepada Toni mengenai kebenaran berita yang beredar.
Universitas Indonesia
Ketika itu, Toni langsung mengakui bahwa dirinya memang kerap melakukan hubungan
seksual dengan pacar-pacar sebelumnya. Meskipun sakit hati karena laki-laki yang
dicintainya ternyata pernah berhubungan seks dengan wanita lain, Tia tetap senang
dengan pengakuan Toni, karena itu berarti Toni jujur dan menganggap hubungan mereka
berbeda dengan sebelumnya.
Karena kampus Tia terletak tidak jauh dari rumah Toni, maka Tia sering bermain
ke sana sebelum atau setelah kuliah. Anggota keluarga Toni terbiasa dengan privasi
sehingga tidak masalah jika Tia masuk ke kamar Toni dan melakukan berbagai kegiatan
seperti mengerjakan tugas, menonton TV, atau sekedar beristirahat. Orangtua serta kakak
Tonipun sudha mengenal Tia dengan baik. Menginjak tahun kedua berpacaran, Tia
merasakan kejanggalan ketika Toni mulai berani menyentuh bagian-bagian pribadi dari
tubuhnya. Di satu sisi, Tia menyadari bahwa Toni mungkin akan memaksanya
melakukan hubungan seksual seperti wanita-wanita sebelumnya, di sisi lain Tia tidak
ingin kehilangan Toni. Tia sangat bimbang tetapi tidak berani menceritakan masalahnya
kepada siapapun.
Suatu hari, Toni memintanya untuk berhubungan seksual dan Tia sangat kaget.
Tia langsung menolak dan meninggalkan Toni pulang karena merasa kecewa. Setelah itu,
Toni meminta maaf dan merayu Tia untuk mau menemuinya. Namun, begitu Tia sudah
memaafkannya, Toni kembali memaksanya melakukan hubungan seks. Toni tidak
menyakitinya secara fisik, namun Toni sempat memaki-maki Tia karena tidak mau
memenuhi permintaannya. Merasa tertekan, Tia menangis dan memohon kepada Toni
untuk tidak melakukan penetrasi tetapi Toni tidak menggubris. Diakui Tia, ia merasa
kesakitan dan tidak menikmati hubungan seksual tersebut. Setelah kejadian tersebut, Tia
kembali menangis dan merasakan kebencian yang mendalam terhadap Toni. Tia merasa
keperawanan yang dijaganya selama ini telah direnggut oleh Toni. Toni meminta maaf
berulang-ulang dan mengatakan menyesal.
Lama kelamaan Tia merasa risih karena Toni semakin sering memaksanya
melakukan hubungan seksual. Tia selalu menolak dan berusaha menghindar dari situasi-
situasi di mana mereka hanya berdua saja. Tetapi, Toni terus meminta kepadanya dengan
Universitas Indonesia
alasan memiliki kebutuhan biologis dan berjanji akan menikahi Tia. Selain itu, Tia
seringkali tidak tahan karena lelah dicaci maki oleh Toni. Jika sedang marah, Toni
mengata-ngatai Tia bahkan sering mengucapkan kata-kata kotor dan binatang. Menurut
Tia, ia selalu merasa terpaksa ketika akhirnya mau melakukan hubungan seksual dengan
Toni. Selama satu tahun, Toni selalu memaksa Tia untuk melakukan hubungan seksual
dengan frekuensi sekitar sebulan sekali. Satu-satunya ketakutan Tia adalah kehilangan
Toni, karena Tia merasa sudah menyerahkan segala-galanya kepada Toni. Tia
sebenarnya merasa malu, rendah diri, dan kotor karena dirinya tidak suci lagi. Tia sendiri
merasa tidak akan ada pria yang mau menerimanya dengan kondisinya yang sudah tidak
perawan lagi. Oleh karena itu, Tia mempertahankan hubungannya dengan Toni dan
memberikan apa yang diminta Toni meskipun terpaksa asalkan Toni tidak
meninggalkannya.
Di tahun 2006, Tia hamil dan sangat stres karenanya, bahkan ia merasa hampir
gila karena depresi. Rasa malu dan rendah diri yang dialaminya sangat luar biasa. Tia
terus menerus menangis setiap hari, sampai akhirnya Toni mengajak Tia menggugurkan
kandungannya. Tia mengaku kaget karena ia mengira Toni akan menikahinya. Tetapi,
Toni mengatakan bahwa mereka masih kuliah, tidak mungkin diizinkan menikah, nanti
saja menikahnya setelah mereka berdua sama-sama bekerja. Demi menahan malu, lagi-
lagi Tia menuruti keinginan Toni. Sejak saat itu, Tia benar-benar tidak mau lagi
menerima ajakan Toni untuk melakukan hubungan seksual karena kapok. Tia mempunyai
firasat bahwa Toni akan meninggalkannya, tetapi Tia berusaha meyakinkan dirinya
bahwa Toni tidak akan tega melakukannya.
Sampai suatu ketika di tahun 2007, Toni memutuskan hubungannya dengan Tia
karena ia menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan mudahnya, seolah tanpa beban
apapun, Toni meninggalkan Tia. Tia mengaku sangat shock dan tidak terima, tetapi tidak
berusaha mengejar Toni. Tia mengaku energinya sudah habis dan perasaannya seolah
tumpul. Rasanya seperti ingin menjerit tetapi tidak ada tenaga, ingin menangis tetapi
tidak ada airmata yang keluar. Tia sangat terpukul dan merasa putus asa. Terlebih lagi,
Universitas Indonesia
Tia mendengar kabar dari teman-temannya bahwa Toni dan wanita tersebut juga sudah
lama menjalin hubungan serta sering pula melakukan hubungan seksual.
Hingga saat ini, perasaan benci Tia terhadap Toni masih mendalam. Jika
mengingat bagaimana Toni menghinanya dan memaksanya melakukan hubungan seks,
Tia menjadi sangat marah dan emosinya meledak-ledak. Tia juga masih sering bermimpi
buruk tentang Toni, dan merasa trauma akan nyeri penetrasi dan saat menggugurkan
kandungan. Selain itu, Tia mengaku masih memiliki ingatan-ingatan yang terbangkitkan
jika ia mengalami sesuatu yang berkaitan dengan Toni. Misalnya, Tia sampai sekarang
menghindari sebuah tempat wisata karena tempat tersebut mengingatkannya kepada Toni.
Tia juga akan merasa murung, sedih, dan benci yang bercampur aduk menjadi satu jika ia
mengingat tanggal-tanggal yang dilaluinya sekarang di mana tahun-tahun sebelumnya ia
tengah bersama Toni. Contohnya, setiap tanggal 19 April, Tia selalu bermimpi tentang
Toni karena tanggal tersebut merupakan tanggal resmi di mana mereka mulai berpacaran
di tahun 2004.
Satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara adalah Tito, pacarnya sekarang
yang juga mengenal Toni. Meskipun sudah mengetahui keadaan Tia, Tito tetap mencintai
Tia. Hal ini membuat Tia merasa dihargai dan diterima. Sebenarnya, hubungan Tia
dengan Tito berjalan cukup baik dan sehat. Tito juga mampu bersikap sabar dalam
menghadapi emosi Tia jika teringat peristiwa yang dialaminya dengan Toni. Tetapi, dari
sudut pandang Tia, menjalani hubungan baru bagaimanapun tidaklah mudah. Tia
merasakan ada yang berbeda dari dirinya sejak putus dari Toni. Meskipun Tito mencintai
Tia dengan sepenuh hati, di awal hubungan mereka rasanya hal itu tidak pernah cukup
bagi Tia.
Hal lain yang dirasakan Tia adalah pandangannya menjadi berubah terhadap
hubungan intim. Ia menganggap bahwa hubungan intim tidak perlu dijalani dengan kata-
kata manis dan berbagai rayuan yang dulunya terasa begitu indah. Tia menjadi orang
yang tegas, cuek, dan lebih mengutamakan bukti nyata dalam perilaku dibandingkan
basa-basi dalam berkomunikasi dengan pasangan. Hubungannya dengan Tito-pun
cenderung santai dan tidak mengekang. Tia juga merasa dirinya tidak sensitif. Jika terjadi
Universitas Indonesia
suatu hal buruk, maka Tia seolah tidak bisa merasakan sedih atau takut. Menurut Tia,
harga dirinya sudah hancur dan terkoyak-koyak oleh perilaku Toni dan sekarang ia yang
harus menanggungnya sendiri. Hal tersebut sudah yang paling buruk dialaminya sehingga
hal lain tidak lagi bisa membuatnya merasa sedih atau takut. Selain itu, sebagai wanita,
Tia sering merasa dirinya tidak lagi berharga. Saat ini, Tia merasa bahagia dengan Tito
tetapi tetap belum bisa melupakan pengalaman tidak menyenangkannya bersama Toni.
4. 2 .3 . Observasi
Tia merupakan seorang gadis dewasa berusia 25 tahun yang berpenampilan kasual
tetapi stylish. Tia memiliki postur tubuh mungil dengan tinggi badan sekitar 150
sentimeter dan berat badan 48 kilogram. Tia berkulit putih dan berparas menarik. Bentuk
wajahnya oval dengan beberapa bintik jerawat di pipinya yang putih. Wajahnya tampak
selalu segar meskipun tanpa riasan dengan raut wajah yang cenderung jutek. Tia juga
tidak banyak bicara jika tidak ditanya terlebih dahulu. Rambut Tia sepunggung dan
hampir selalu dikuncir atau dijepit. Tia selalu mengenakan celana jins dengan atasan
yang berbeda-beda, yaitu kaos atau blus yang cenderung berwarna gelap dan terkesan
modis. Pada sebagian pertemuan, Tia menggunakan kacamata minus berbingkai ungu dan
pada sebagian pertemuan lainnya, ia menggunakan lensa kontak berwarna coklat tua.
Cara duduknya cenderung formal dan ia tampak berusaha menjadi partisipan yang tidak
merepotkan peneliti.
Secara keseluruhan, sikap Tia kooperatif terhadap peneliti. Ia bersedia menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan peneliti dengan terbuka. Setelah menjalin rapport,
barulah Tia menunjukkan perilaku yang lebih apa adanya. Ternyata, Tia merupakan
orang yang cukup cerewet dan sebenarnya ceria. Tia mengakui bahwa ia hanya bisa
bersikap demikian kepada orang yang dianggapnya dekat. Dalam menjawab pertanyaan,
Tia cenderung to the point namun juga berusaha memberikan penjelasan dengan rinci dan
panjang lebar sehingga peneliti tidak perlu lagi banyak memberikan pertanyaan lebih
lanjut. Sikap tubuh Tia tenang dan tidak banyak mengalami perubahan selama
wawancara berlangsung, demikian pula dengan intonasi suara dan ekspresi wajahnya.
Universitas Indonesia
Sesekali, mata Tia menerawang dan melihat ke berbagai arah saat bicara, terutama saat
menceritakan pengalaman yang menyedihkan atau kurang menyenangkan. Tia juga
senang menggunakan gerakan tangannya untuk membantunya mendeskripsikan sesuatu.
Nada suara dan ekspresi wajah Tia menjadi sedikit berbeda ketika membicarakan
tentang peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Tia menunjukkan ekspresi wajah
yang cenderung malas-malasan dan seperti tidak terlalu tertarik membicarakan kejadian
tersebut. Meskipun demikian, ia terus bercerita bahkan seringkali sulit dihentikan. Pada
lain kesempatan, Tia justru tampak marah dengan nada suara yang meninggi dan mata
melotot saat menceritakan pengalamannya dengan pelaku. Pada beberapa kesempatan,
Tia juga memaki pelaku dengan kata-kata kasar seperti *bajingan\ ‘b ren g sek‘cowok
s i a l a n dan contoh-contoh lainnya. Namun, secara umum, Tia tetap menjawab semua
pertanyaan yang diajukan peneliti dengan baik dan lancar.
4. 2. 4. Ringkasan Wawancara
Keluarsa
Tia adalah seorang gadis berusia 25 tahun yang berasal dari suku Jawa. Saat ini,
Tia berdomisili di Jakarta bersama kedua orangtua dan adik-adiknya, tetapi sesekali Tia
bertolak ke kota Yogyakarta untuk mengurus kelengkapan administrasi kelulusannya
yang belum tuntas di sebuah universitas di kota tersebut. Belum lama ini, Tia baru saja
menyelesaikan pendidikan S2-nya di sebuah fakultas yang bidang studinya ilmu sosial,
oleh karena itu ia sedang giat-giatnya melamar pekerjaan. Meskipun Tia cukup betah
selama berkuliah di Yogyakarta, Tia tetap ingin memiliki pekerjaan di Jakarta dan
kembali tinggal bersama keluarganya setelah kurang lebih dua tahun menuntut ilmu di
kota lain.
Tia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adiknya berjenis kelamin
perempuan, masing-masing usianya 20 tahun dan 18 tahun dan saat ini keduanya masih
berkuliah SI. Orangtua Tia sebagai wiraswasta memiliki usaha sendiri di rumah yang
menjadi sumber penghasilan keluarga. Sebagai anak tertua, Tia merasa memiliki
tanggung jawab yang besar dalam menyokong keluarganya, khususnya dari segi
Universitas Indonesia
ekonomi. Tia juga menyadari bahwa ia memiliki posisi sebagai seorang kakak dan anak
pertama yang paling menjadi harapan keluarga sehingga Tia selalu mengusahakan yang
terbaik agar bisa menjadi panutan adik-adiknya dan kebanggaan orangtuanya.
Sebenarnya, Tia baru tinggal bersama keluarganya di Jakarta ketika ia berusia 16
tahun, yaitu di saat Tia memasuki bangku SMU. Sebelumnya, sejak lahir, Tia diasuh oleh
nenek dan kakeknya dari pihak ibu di Jember, yang merupakan daerah asal ayah dan
ibunya. Menurut Tia, hal tersebut dikarenakan ketika Tia lahir, kedua orangtua Tia belum
mapan secara ekonomi dan masih sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lainnya.
Oleh karena itu, nenek dan kakek Tia menyarankan agar Tia menetap di Jember sampai
kondisi pekerjaan orangtua Tia lebih stabil dan bisa menetap di satu kota agar Tia bisa
dibesarkan dengan baik. Dengan demikian, setelah Tia lahir, orangtuanya langsung
pindah untuk menjalani dinas ke Kalimantan, sedangkan Tia diasuh oleh sang nenek dan
kakek di Jember.
M asa Kecil
Seingat Tia, ia sejak kecil memang sudah mengetahui bahwa ia diasuh oleh kakek
dan neneknya karena orangtuanya bekerja di daerah lain, dan Tia tidak merasa
disingkirkan karenanya. Hal tersebut karena orangtua Tia selalu berusaha menjaga
komunikasi dengan Tia, baik melalui telepon maupun kunjungan. Hampir setiap hari ibu
Tia menelepon ke Jember dan mengajak Tia mengobrol atau sekedar menanyakan kabar
Tia. Tia yang masih kanak-kanak menganggap ibu dan ayahnya sedang pergi jauh saja
untuk bekerja, dan suatu hari nanti Tia pasti akan berkumpul kembali dengan mereka.
Setiap tahun, Tia memiliki kesempatan bertemu orangtuanya sebanyak dua kali, yaitu
ketika liburan sekolah akhir tahun di mana Tia yang diajak ke Jakarta, serta ketika Hari
Raya Idul Fitri di mana orangtua Tia-lah yang datang ke kampung halamannya.
Ketika Tia duduk di bangku SD, orangtua Tia akhirnya menetap di Jakarta dan
mengajak Tia untuk tinggal bersama mereka. Pada dasarnya, Tia sangat ingin menerima
ajakan tersebut. Bagaimanapun, Tia menyadari bahwa ia merupakan anak kandung ayah
dan ibunya sehingga sudah semestinya Tia tinggal bersama keluarganya. Terlebih lagi,
Universitas Indonesia
Tia sudah memiliki adik-adik dan ia sangat ingin berdekatan dengan adik-adiknya. Adik-
adik Tia sejak lahir langsung tinggal bersama orangtuanya karena mereka sudah menetap
di Jakarta. Sayangnya, nenek Tia tidak mengizinkan Tia untuk 'pulang’ ke rumah
orangtuanya. Nenek Tia mengatakan kepada orangtua Tia bahwa sebaiknya Tia
menyelesaikan SD-nya dulu baru pindah agar tidak menyulitkan proses kepindahan
sekolahnya. Tetapi, menurut dugaan Tia, neneknya bersikap demikian karena tidak ingin
Tia meninggalkannya. Jika Tia pindah ke Jakarta, maka nenek dan kakek akan tinggal
berdua saja dan mungkin sang nenek tidak mau sendirian dan merasa kesepian. Ketika
itu, orangtua Tia tidak berani melawan keinginan nenek Tia dan membiarkan Tia tinggal
di Jember. Tia juga tetap menikmati masa-masa sekolahnya di Jember karena teman-
temannya baik-baik dan sangat bisa menghiburnya sehingga Tia tidak pernah merasa
tertekan berjauhan dari keluarganya.
Ketika Tia akan lulus SD, orangtua Tia menagih janji sang nenek untuk
membawa Tia ke Jakarta. Tetapi, lagi-lagi nenek Tia tidak mengizinkannya dengan
alasan kasihan kepada Tia yang masih belum dewasa dan khawatir nantinya Tia akan
kesulitan beradaptasi di Jakarta. Nanti saja jika Tia lulus SMP, barulah Tia benar-benar
boleh dipindahkan ke Jakarta dan bersekolah SMA di Jakarta. Dan lagi-lagi, orangtua Tia
tidak berani membantah kata-kata nenek Tia. Padahal, adik-adik Tia juga sudah meminta
agar kakaknya tinggal bersama mereka. Namun, berbeda dengan masa SD-nya yang
dilaluinya dengan santai, saat menginjak usia remaja Tia mulai banyak berpikir tentang
dirinya dan keluarganya. Tia merasa bahwa ia sebaiknya memang pindah ke Jakarta
karena di sanalah keluarganya. Tia juga sering merasa rindu kepada adik-adiknya. Oleh
karena itu, Tia benar-benar menunggu saat-saat di mana ia akan lulus SMP dengan
gembira.
Sayangnya, meskipun nenek Tia mengatakan akan memberikan izin, sampai Tia
duduk di kelas 3 SMP, sang nenek tidak kunjung menunjukkan perilaku akan
membantunya untuk pindah ke Jakarta, sedangkan orangtua dan adik-adiknya terus
mendesaknya. Lama kelamaan, Tia mulai merasa kesal kepada neneknya yang terkesan
menghalang-halanginya untuk bertemu keluarganya dan bertekad akan mengurus sendiri
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menelepon ke rumah dan neneknya yang mengangkat telepon, lalu sebelum sempat
berbicara dengan Tia, temannya tersebut dimarahi habis-habisan oleh nenek Tia. Padahal,
temannya itu hanya ingin menyapa dan membicarakan pekerjaan rumah. Berkaitan
dengan pengalaman dengan neneknya tersebut, Tia merasa sedih dan kesal kepada
neneknya hingga saat ini. Jika diingat-ingat kembali, maka Tia merasa prihatin dengan
sikap neneknya terhadapnya itu.
Sosok Tia yang terkenal dengan berbagai kelebihannya memang membuat Tia
tidak kesulitan memperoleh penggemar. Sejak duduk di bangku SMP, Tia sudah mulai
menjalin hubungan pacaran dengan lawan jenisnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan
secara diam-diam tanpa sepengetahuan nenek dan kakeknya karena neneknya pasti akan
menghukum Tia jika mengetahui hal tersebut. Diakui Tia, ia merasa senang disukai oleh
laki-laki di sekitarnya. Selain itu, ia juga merasa senang memperoleh perhatian dan kasih
sayang dari pacarnya walaupun ia masih berusia sangat muda ketika itu dan belum begitu
mengerti arti pacaran yang sebenarnya. Hubungannya dengan pacar-pacarnya sebatas
bertemu di sekolah, mengobrol di telepon, makan bersama di kantin, atau pulang
bersama.
Pola A su h Oranetua
Kehidupan Tia mengalami banyak perubahan sejak Tia pindah ke Jakarta dan
tinggal di rumah keluarganya pada tahun 2000. Kondisi keuangan keluarga Tia
berkecukupan sehingga Tia tidak merasakan hidup susah di Jakarta seperti cerita teman-
temannya yang keluarganya juga pendatang di Jakarta tetapi kekurangan secara ekonomi.
Pola asuh orangtua Tia sangat berbeda dengan nenek dan kakek Tia. Di rumahnya, Tia
tidak pernah dihukum, dan merasa diberikan kebebasan untuk melakukan berbagai hal
yang disertai dengan keterbukaan dan tanggung jawab atas akibat dari sesuatu yang
dilakukannya. Contohnya, Tia diizinkan jalan-jalan ke mal hingga larut malam dan
diberikan uang jajan, asalkan pulangnya ia diantarkan oleh teman-temannya sampai di
depan rumah dan membuat rincian pengeluaran yang nantinya diserahkan kepada
orangtuanya. Ia melihat adik-adiknya yang masih kecilpun dididik demikian.
Universitas Indonesia
Semula, Tia merasa canggung dengan sikap orangtuanya dan kebiasaan baru yang
harus dijalaninya tersebut. Akan tetapi, Tia tak membutuhkan waktu lama untuk bisa
menyesuaikan diri dengan peraturan di rumahnya itu karena pada dasarnya Tia merasa
dirinya memang membutuhkan kebebasan berekspresi. Justru Tia bersyukur karena
orangtuanya mengimbanginya dengan mendidik Tia untuk bertanggung jawab atas
kebebasan yang mereka berikan. Ayahnya adalah sosok pria pekerja keras tetapi hangat,
suka bercanda, dan selalu memberikan contoh yang baik kepada Tia sebagai anak
pertama untuk bisa mengatur keluarga. Sedangkan ibunya, walaupun cerewet seperti
neneknya, ia merupakan orang yang menyenangkan dan amat perhatian kepada Tia dan
adik-adiknya. Menurut Tia, ayah dan ibunya adalah orangtua yang keren, yang enak
diajak berdiskusi dan melakukan pendekatan terhadap anak-anaknya sebagai teman,
sehingga anak-anaknyapun merasa nyaman untuk bersikap terbuka kepada mereka.
Prestasi Akadem is
Dalam hal akademis, seperti yang sudah disebutkan, Tia merupakan anak yang
berprestasi di sekolahnya. Sampai duduk di bangku SMP, Tia selalu memperoleh
peringkat yang baik di kelas dan memiliki prestasi di bidang lain, seperti menari
tradisional. Namun, ketika memasuki bangku SMA, secara umum prestasi Tia menurun.
Menurutnya, hal tersebut karena kepindahannya ke Jakarta dan ia menyadari bahwa
teman-teman di SMA-nya yang sebagian besar memang berasal dari SMP di Jakarta amat
pintar-pintar sehingga wajar jika ia tertinggal. Terlebih lagi, SMA yang dipilihkan
orangtuanya merupakan salah satu SMA negeri terfavorit di Jakarta Selatan. Tia mengaku
bahwa ia sempat merasa stres dan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya
tersebut. Menurut Tia, situasi belajar di Jakarta sangatlah kompetitif, berbeda dengan di
Jember. Beruntung, orangtua dan adik-adiknya selalu memberikan dukungan kepada Tia
selama masa penyesuaiannya di Jakarta.
Di masa SMA inilah, ketika di satu sisi prestasinya secara akademis mengalami
penurunan dibandingkan dengan masa sekolah sebelumnya, di sisi lain Tia
mengembangkan hubungan sosialnya lebih luas dan menemukan wadah untuk
Universitas Indonesia
menyalurkan hobi dan minatnya. Tia mulai mampu beradaptasi dengan lingkungan
Jakarta dan memiliki banyak teman dekat baru yang sangat ia sayangi. Tia juga aktif
terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler Paskibra dan sangat menikmati semua aktivitas di
komunitas tersebut. Tia merasakan keakraban dan solidaritas yang tinggi dengan teman-
temannya di Paskibra karena mereka semua mengalami masa-masa penggojlokan yang
sama sehingga merasa senasib dan sepenanggungan. Tia juga senang mengikuti kegiatan
yang diadakan teman-teman sekelasnya, seperti jalan-jalan, berkumpul, dan lain-lain.
Berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan banyak orang, Tia merasa yakin untuk
memilih jurusan IPS dan sudah tertarik dengan Ilmu Komunikasi sejak duduk di kelas 2
SMA.
Tia sempat merasakan kekecewaan yang mendalam ketika dirinya tidak berhasil
lolos UMPTN di tahun 2003. Menyadari kemampuannya yang tidak sehebat teman-
temannya yang lain yang bisa lolos UMPTN, tanpa menunggu lama-lama Tia kemudian
mendaftar di sebuah universitas swasta jurusan Ilmu Komunikasi. Tia bertekad akan
belajar dengan baik. Niatnya tersebut mengantarkannya menjadi mahasiswa berprestasi
sepanjang masa kuliahnya. Tia selalu memperoleh 1P yang tinggi, bahkan beberapa kali
ia mencapai angka 4,0, serta dikenal rajin dan tekun di kampusnya. Tia merasa senang
dan bangga karena ia berhasil meraih prestasi yang tinggi seperti ketika ia duduk di
bangku SD dan SMP.
Setelah lulus SI di tahun 2007, Tia kemudian bekerja di sebuah event organizer
yang cukup besar di Jakarta. Secara keseluruhan, Tia merasa senang dan betah bekerja di
perusahaan tersebut, terlepas dari persoalan-persoalan pribadi yang dihadapinya ketika
bekerja. Tia bukanlah karyawan yang bermasalah. Bahkan, karena ketekunannya, Tia
memperoleh kepercayaan yang besar dari atasannya untuk mengelola salah satu cabang
perusahaan dalam waktu kerja yang terbilang singkat. Setelah kira-kira setahun bekerja,
Tia kemudian memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2. Kota
Yogyakarta dipilihnya sebagai tempat menuntut ilmu atas pertimbangan biaya dan
kebersamaan dengan adiknya yang juga baru saja lolos UMPTN tahun 2007. Orangtua
Tiapun setuju Tia dan adiknya sama-sama kuliah S2 dan SI di Yogyakarta.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tia seringkali menangis sendirian dan tidak tahu harus berbuat apa untuk keluar dari
masalahnya tersebut.
Puncaknya adalah ketika akhirnya Tia hamil. Tia sangat shock dan ketakutan. Tia
mengira Ton i akan menikahinya, tetapi ternyata Toni malah mengarahkannya untuk
menggugurkan kandungannya. Sejak saat itu, Tia mulai berpikir secara logis bahwa Toni
adalah laki-laki yang kurang ajar dan tidak bisa menghargai dirinya. Sejak saat itu pula,
Tia tidak pernah lagi mengzinkan Toni untuk menyentuh tubuhnya. Jika Toni
memintanya untuk melakukan hubungan seksual, Tia dengan tegas menolaknya. Tia
menyadari bahwa perilakunya itu mungkin membuat Toni bosan kepadanya, tetapi Tia
sudah benar-benar kapok. Hamil di luar nikah dan menjalani aborsi membuat Tia trauma
dan tidak ingin mengalaminya untuk kedua kali.
Hingga suatu hari di tahun 2006, seperti dugaan Tia, Toni benar-benar
meninggalkannya dan mencari wanita lain. Sejujurnya, Tia sangat terpuruk, namun Tia
berusaha meyakinkan dirinya bahwa hidupnya tidak akan pernah tenang jika terus
bersama Toni. Ketika itu, Tia juga tengah senang-senangnya bekerja di sebuah EO,
sehingga Tia semakin merasa memiliki kekuatan akan bisa menjalani hidup setelah
ditinggalkan oleh Toni. Teman-temannya di kantorpun sangat suportif dan membantu Tia
untuk meredam kesedihannya. Meskipun demikian, tetap saja di dalam hatinya Tia sangat
membenci Toni dan tidak bisa melupakan kejadian yang menimpanya. Tia seringkali
membayangkan saat-saat di mana Toni memaksanya untuk berhubungan seksual hingga
kembali teringat rasa nyeri ketika melakukan aborsi, dan hal tersebut membuat Tia
menjadi marah dan dendam. Hingga saat ini, Tia tidak bisa menerima perlakuan Toni
terhadapnya.
Universitas Indonesia
hidup meskipun mereka tidak secara rinci mengetahui pengalaman Tia yang sebenarnya
dengan Toni. Tia juga menjadi cenderung menyalahkan dirinya sendiri jika sesuatu yang
buruk terjadi pada dirinya. Menurut Tia, dirinya sudah melakukan perbuatan hina dan
dosa sehingga Tuhan pasti marah padanya dan kemudian menjadi sering memberikan
hukuman kepadanya dalam bentuk musibah atau kesialan yang ia alami.
Tia merasakan adanya perubahan dalam dirinya setelah mengalami peristiwa
dengan Toni. Di satu sisi, Tia merasa dirinya sudah tidak menarik lagi karena
keperawanannya hilang dan ada bagian dari tubuhnya yang mengalami kerusakan secara
permanen, yaitu perut, tentu saja karena Tia pernah hamil. Di sisi lain, Tia menjadi lebih
hati-hati dalam berhubungan dengan lawan jenisnya dan bisa lebih tegas bertindak
kepada laki-laki yang bersikap kurang ajar kepadanya. Tia juga merasa ia lebih bisa
menyayangi dirinya sendiri dan berusaha merawat tubuhnya yang menurutnya sudah
rusak itu sebaik mungkin. Bahkan terkadang, sikap Tia berlebihan dalam
memperlakukan tubuhnya.
Universitas Indonesia
didukung oleh sahabat-sahabatnya yang lain. Barulah setelah beberapa waktu pacaran,
Dian mulai bisa menumbuhkan perasaan cintanya terhadap Dani.
Di keluarga Dian, seks merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Seks hanya
boleh dibicarakan dalam konteks pernikahan atau hubungan suami istri. Dengan
demikian, Dian memandang seks sebagai sesuatu yang amat sakral dan perempuan
haruslah menjaga dirinya untuk tidak melakukan hubungan seks setelah menikah. Dian
merasa bahwa hubungan seks dilakukan atas dasar cinta dan sebagai ekspresi kasih
sayang, sehingga tidak layak bagi seorang perempuan untuk melakukan hubungan seks
sebelum menikah. Dian merasa lebih banyak memperoleh pengetahuan tentang
seksualitas dari lingkungannya, seperti dari teman-teman perempuan, televisi, atau
internet. Walaupun terkadang ia merasa bingung dengan informasi yang diperolehnya,
seperti ketika menonton sinetron Dian melihat laki-laki dengan perempuan yang bukan
suami istri mengobrol berdua saja di sebuah kamar, Dian tidak pernah mempertanyakan
hal-hal yang dipelajarinya dari lingkungan kepada orangtuanya.
Sementara itu, Tia dibesarkan dalam dua keluarga yang berbeda, yaitu keluarga
neneknya dan setelah memasuki SMA barulah Tia diasuh oleh keluarga orangtuanya.
Keterangan Tia menunjukkan bahwa ia mendapatkan pendidikan yang keras dari sang
nenek sehingga membuat Tia menghayati masa kecilnya sebagai masa penuh kekangan
dan peraturan. Sang nenek tidak mengajarkan norma-norma yang berkaitan dengan
seksualitas terhadap Tia. Hal ini dikarenakan nenek Tia masih menganggap seks
merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Oleh karena itu, Tia tahu bahwa ia tidak
boleh berpacaran, tetapi tidak mengerti mengapa neneknya marah jika ia berdekatan
dengan laki-laki. Bahkan, neneknya tidak banyak membantu memberikan penjelasan
kepadanya saat Tia mengalami menstruasi pertamanya.
Setelah pindah ke rumah orangtuanya, barulah Tia merasa lebih diperlakukan
secara demokratis. Orangtua Tia dengan pola asuh yang amat bertolak belakang dengan
sang nenek mendidik Tia untuk belajar bertanggung jawab dengan kebebasan yang
diberikan kepadanya. Dengan ibu atau ayahnya, Tia bisa membicarakan berbagai hal
tanpa merasa takut atau malu, termasuk mengenai seksualitas. Dengan cara tersebut,
Universitas Indonesia
orangtua Tia menanamkan nilai-nilai seksual yang baik terhadap Tia, termasuk mengenai
konsep keperawanan dan hubungan dengan lawan jenis, dan diterima dengan baik oleh
Tia. Orangtua Tia juga mengizinkan Tia untuk berpacaran asalkan Tia mengenalkannya
kepada orangtuanya dan bertanggung jawab atas apapun yang Tia lakukan dengan
pacarnya. Akan tetapi, dalam hal agama, orangtua Tia tidak terlalu banyak menerapkan
nilai-nilaia tertentu.
Pendekatan orangtuanya membuat Tia merasa bisa berekspresi dan tidak takut
berbuat kesalahan sejauh Tia bersedia mempertanggungjawabkan kesalahahannya.
Misalnya, ketika orangtuanya meminta Tia untuk masuk ke pergurua tinggi negeri tetapi
Tia gagal, maka orangtuanya tidak marah namun kemudian meminta Tia untuk mencapai
nilai yang tinggi di perguruan tinggi swasta sebagai bentuk kompensasi atas
kegagalannya memasuki perguruan tinggi negeri. Hal tersebut justru membuat Tia
termotivasi dan selalu mendapatkan IP yang tinggi di kampusnya karena ia tidak merasa
tertekan menjalaninya.
Berdasarkan keterangan kedua partisipan, dapat dilihat bahwa mereka dibesarkan
dalam konteks lingkungan yang terbilang berbeda. Dian menganggap hubungan dengan
lawan jenis dan seks sebagai hal yang tabu dan tidak pantas diperbincangkan, bahkan
membuatnya menjadi tidak mau berdekatan dengan laki-laki. Sedangkan Tia memandang
bahwa hubungan dengan lawan jenis merupakan hal yang harus dijalani dengan penuh
tanggung jawab. Orangtua Tia juga lebih memberikan kesempatan kepada Tia untuk
terbuka dan memperoleh penjelasan jika Tia mengalami kebingungan tentang seksualitas.
Menurut Pumawan (2004), keluarga dan pengasuhan orangtua memiliki peranan yang
penting dalam pembentukan seksualitas individu. Dalam hal ini, pendidikan di dalam
keluarga merupakan suatu konstruksi sosial dalam unit terkecil di masyarakat (Rollins,
1996). Hal ini sesuai dengan pengalaman kedua partisipan yang akhirnya membentuk
pandangan yang berbeda mengenai seksualitas karena pendidikan yang berbeda di dalam
keluarganya.
Meskipun demikian, Dian dan Tia memiliki pandangan yang kurang lebih sama
mengenai diri dan seksualitasnya. Keduanya merasa memiliki berbagai tuntutan sebagai
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kejadian traumatis, seperti melewati tempat wisata dulu bersama Toni atau teringat pada
tanggal-tanggal penting ketika mereka berpacaran.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa kedua partisipan merasakan
perasan-perasaan negatif sebagai reaksi psikologis pasca kekerasan seksual, di antaranya
shock, tidak percaya bahwa orang yang dicintainya telah melakukan perbuatan yang
menyakitkan, sedih, kecewa, dan marah. Keduanya juga diganggu mimpi buruk dan
bayangan-bayangan yang tidak bisa dihindari akan peristiwa yang membuat mereka
merasa bersalah dan ketakutan. Secara fisiologis, mereka merasakan kesakitan akibat
penetrasi yang dipaksakan yang menimbulkan nyeri di kemaluannya hingga beberapa
hari. Kesemua hal tersebut membuat mereka tidak mau menemui pelaku selama beberapa
waktu, karena dianggap mengingatkan mereka pada kejadian buruk dan membuat mereka
semakin merasa tidak nyaman.
Perbedaan antara Dian dan Tia adalah dalam hal perilaku. Dian menunjukkan
perilaku diam, tidak berminat menjalani kehidupan sehari-hari, low mood, sedangkan Tia
menunjukkan emosinya dengan lebih jelas melalui kemarahannya. Meskipun keduanya
sama-sama menghindari bertemu pelaku pasca kejadian, Tia lebih bisa mengekspresikan
kemarahannya kepada Toni melalui media lain seperti SMS. Sedangkan Dian benar-
benar tidak ingin menghubungi Dani sedikitpun dan merasakan emosi lebih ke arah sedih
dan kecewa.
Universitas Indonesia
memiliki andil dalam terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Dian masih sering
menyalahkan diri karena tidak bisa menjaga dirinya dengan baik sehingga
mengecewakan keluarganya. Hal ini juga membuat Dian merasa malu karena tidak ada
lagi yang bisa dipertahankan dari dirinya. Menurut Dian, setelah berkali-kali Dani
memaksanya melakukan hubungan seksual dan ia selalu gagal melawan, tidak ada lagi
gunanya mempertahankan diri dari laki-laki. Lagipula, Dian merasa bahwa ia sudah
kehilangan keperawanannya yang berarti segala-galanya.
Dalam memandang laki-laki dan hubungan intim, Dian juga merasakan ada
perubahan dalam dirinya. Sejak mengalami pemaksaan hubungan seksual dari Dani, Dian
menganggap bahwa laki-laki hanya menginginkan seks dari wanita. Padahal, Dian sudah
berusaha mati-matian menjaga keperawanannya. Oleh karena itu, Dian berpikir sudah
seharusnya perempuan hanya melakukan hubungan seks setelah menikah seperti yang
dikatakan orangtuanya. Orangtua Dian yang religius telah melarang Dian untuk
berpacaran sebelum menikah agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif, sehingga ketika
Dian nekat berpacaran dan mengalami hal buruk, Dian menjadi semakin menyalahkan
dirinya sendiri dan membenarkan alasan orangtuanya melarangnya pacaran. Hal tersebut
membuat Dian semakin terpuruk dan menganggap dirinya tidak berharga karena sudah
tidak perawan lagi. Di sisi lain, Dian mengalami kebingungan mengenai seks karena
pengalamannya yang begitu menyakitkan.
Pada kasus Tia, pengalaman Tia dengan kekerasan seksual semasa pacaran
membuatnya memiliki perasaan rendah diri, kotor, ^an malu akibat peristiwa yang
dialaminya. Menurut Tia, ia seharusnya mampu menjaga kepercayaan dan kebebasan
yang telah diberikan orangtuanya kepadanya. Oleh karena itu, ia merasa bersalah dan
selalu teringat pada dosa yang telah ia lakukan. Hal ini menandakan bahwa Tia memiliki
selfesteem yang buruk. Sampai saat ini, Tia merasa bahwa dirinya sudah tidak suci lagi
dan tidak pantas mendapatkan hal yang lebih baik. Di satu sisi, Tia menjadi orang yang
selalu bersyukur atas apapun kondisinya. Di sisi lain, Tia menjadi begitu pasrah dan
merasa bahwa jika ia mengalami hal buruk maka itu merupakan hukuman dari Tuhan atas
Universitas Indonesia
kesalahannya. Walaupun Toni memaksanya, Tia masih berpikir bahwa ia memiliki andil
dalam terjadinya hubungan seks tersebut.
Pandangan Tia mengalami perubahan dalam hal seks dan hubungan intim.
Pengalaman seks yang negatif membuatnya merasa bahwa seks adalah hal yang
mengerikan dan penuh paksaan, sedangkan sebelumnya Tia mengetahui bahwa hubungan
seks seharusnya membahagiakan. Hal tersebut membuat Tia tidak begitu tertarik lagi
akan seks, bahkan dengan Toni yang dicintainyapun ia merasa hubungan seksnya tidak
menyenangkan. Tia sangat jarang mengalami orgasme. Kalaupun ia bisa menikmati salah
satu di antara sekian banyak hubungan seksnya, Tia tetap merasa bersalah dan tidak bisa
menerima perlakuan Toni. Untuk menghindari perasaan-perasan negatif itu, hingga saat
ini, Tia merasa dirinya tidak terlalu suka membicarakan tentang seks dan sejenisnya,
bahkan cenderung menghindari seks.
Kepercayaannya terhadap sosok laki-laki juga luntur karena Tia menganggap
Toni sebagai orang yang sangat jahat dan tidak bertanggung jawab. Ketika Tia sampai
hamil, sebenarnya ia berani bersikap jujur kepada orangtuanya karena Tia dididik
demikian, dan Tia berani bertanggung jawab. Namun, sikap Toni yang menolak, justru
terus memanfaatkan ketakutan Tia untuk melakukan hubungan seks lagi, membuat Tia
muak dan melihat laki-laki sebagai sosok yang pengecut. Tia menganggap bahwa laki-
laki akan menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh apapun dari perempuan
sehingga ia kesulitan dalam memandang hubungan intim secara positif. Menurut Tia,
suatu hubungan intim tidak perlu dijalani secara serius karena akan menyakitkan atau
mengecewakan.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Dian dan Tia sama-sama merasa
harga dirinya rendah dan jatuh karena sudah diambil keperawanannya. Ketidakmampuan
melawan membuat mereka semakin merasa dirinya bersalah dan memiliki andil dalam
terjadinya pemaksaan hubungan seksual. Hal tersebut membuat pandangan mereka
berubah terhadap dirinya (di mana dirinya tidak berharga), hubungan seks (di mana seks
menjadi menyakitkan dan mengerikan), dan sosok laki-laki (di mana laki-laki yang
dicintainya sudah mengkhianatinya). Dian dan Tia sama-sama mengalami kebingungan
Universitas Indonesia
mengenai seks dan sosok laki-laki, tetapi dalam bentuk yang berbeda dan akan diuraikan
dalam subbab berikutnya.
4. 3. 4. Trauma
Dian merasakan trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Dian masih
kerap diganggu mimpi buruk dan kesulitan tidur setelahnya. Dian seringkali terlintas
tentang Dani di pikirannya dan hal tersebut membuatnya mual. Dian juga sering
merasakan tubuhnya gemetar dan lemas ketika teringat pengalamannya dipaksa
berhubungan seksual oleh Dani. Dian akan berusaha keras mengenyahkan pikirannya
tentang Dani karena merasa jijik jika mengingat bagaimana Dani dulu menyentuhnya.
Selain itu, Dian masih selalu menghindari hal-hal yang mengingatkannya kepada Dani,
seperti berkunjung ke sekolahnya, atau menemui teman-teman SMA-nya. Padahal,
teman-teman Dian sudah mencoba meyakinkan Dian bahwa mereka selalu mendukung
Dian. Kesemua simtom tersebut masih dirasakan Dian hingga kini dalam kadar yang
cukup mengganggu.
Implikasi trauma seksual yang muncul dalam kasus Dian adalah kebiasaannya
berganti-ganti pasangan seksual tanpa komitmen pacaran sejak lepas dari pelaku
kekerasan seksual. Seperti yang dikatakan Dian, ia penasaran apakah hubungan seksual
memang menyakitkan, sehingga ia berani mencoba berhubungan seks dengan berbagai
laki-laki untuk meyakinkan dirinya bahwa ia masih bisa menikmati hubungan seks. Hal
ini mengindikasikan adanya kebingungan dalam diri Dian mengenai seks. Dallam dalam
Kathleen dan Tackett (2005) mengemukakan bahwa fenomena yang terjadi pada Dian
dinamakan dengan kekacauan seksual atau sexual promiscuity. Pada perempuan yang
prom iscuous, ia mengalami konflik yang luar biasa mengenai hubungan seks dan tampil
dalam perilaku seks yang tidak biasa.
Pada kasus yang berbeda, Tia juga mengalami simtom-simtom traumatis yang
mencakup simtom-simtom PTSD, yaitu merasa mengalami kembali kejadian traumatis
atau terbangkitkannya lagi memori (intrusive memories), merasakan reaksi fisiologis jika
teringat pada kejadian (arousal), serta adanya perilaku atau pikiran menghindar dari hal-
Universitas Indonesia
hal yang mengingatkannya pada kejadian (avoidance). Sampai saat ini, Tia masih
merasakan simtom-simtom tersebut dan tidak mampu melupakan peristiwa kekerasan
seksual walaupun kejadian berlangsung sudah lama dan Tia sendiri saat ini sudah
memiliki pasangan.
Gejala lain yang tampak adalah adanya trauma seksual, di mana Tia menjadi
kurang berminat dalam hal seks dan menghayati seks sebagai sesuatu yang mengerikan
dan menyakitkan. Dalam hal ini, Tia menyadari bahwa dirinya tidak begitu menikmati
aktvitas seksualnya dengan pasangan dan cenderung menghindar, meskipun pacarnya
hanya ingin memeluk atau menciumnya. Trauma seksual muncul sebagai dampak jangka
panjang dari kekerasan seksual dalam bentuk perilaku seks yang atipikal dan terkadang
tidak disadari individu. Sama dengan yang dialami Dian, Tia juga mengalami
kebingungan dalam hal seks tetapi perbedaannya adalah pada Tia, konfliknya akan
hubungan seks muncul dalam bentuk inaktivasi seks.
Universitas Indonesia
Hal tersebut menjadikan Dian memandang seks sebagai hubungan yang sah-sah
saja dilakukan asalkan suka sama suka, tidak perlu dalam ikatan hubungan yang dekat
dan tidak perlu mempedulikan dosa atau etika. Oleh karena itu, Dian tidak mau menjalin
hubungan lagi dengan laki-laki karena takut akan didominansi dan dipaksa lagi
melakukan hubungan seks. Namun, pada aspek lain, Dian justru menganggap dirinya
boleh melakukan hubungan seks dengan siapapun karena ia sudah tidak perawan lagi dan
tidak akan ada laki-laki yang mau menerimanya sebagai calon istri. Dengan demikian,
persepsi Dian terhadap seksualitas secara keseluruhanpun berubah ke arah yang negatif
semenjak peristiwa kekerasan seksual terjadi.
Pada dasarnya, Tia memandang dirinya sangat kotor dan menjadi makhluk
berdosa di hadapan Tuhan. Ia masih sering menyalahkan dirinya sendiri dan tidak bisa
menerima bahwa peristiwa tersebut telah terjadi. Bahkan terkadang, Tia merasa sulit
untuk memaafkan dirinya sendiri karena membiarkan peristiwa tersebut terjadi. Namun,
nilai-nilai yang ditanamkan orangtuanya membuat Tia berpikir bahwa apapun yang
terjadi pada dirinya itu merupakan konsekuensi atas perbuatannya sehingga Tia justru
merasa termotivasi untuk menjadikan kehidupannya lebih baik. Walaupun demikian, di
sisi lain ia kerap mengembangkan pemikiran bahwa dirinya dihukum Tuhan apabila ia
mengalami kejadian buruk.
Menurut Tia, dalam hubungan intim selanjutnya, ia merasa lebih santai dan tidak
tertekan dalam menjalaninya, termasuk dalam hal seks di mana tia diam-diam memang
menghindar. Pengertian dari pasangannya membuatnya tidak tertekan dalam menjalani
hubungan, tetapi Tia merasa bahwa dirinya menjadi tidak ingin mencintai seseorang
terlalu dalam. Selain karena takut dikecewakan, ia juga merasa bahwa kekerasan seksual
bisa terjadi padanya karena ia terlalu mencintai pacarnya sehingga tidak melawan
meskipun diperlakukan kasar dan tidak baik.
Berdasarkan keterangan kedua partisipan, maka dapat disimpulkan bahwa
pandangan partisipan mengenai dirinya sendiri, seks, dan seksualitas mengalami
perubahan ke arah negatif. Ketidakberdayaan diri dan ketidakmampuan mereka untuk
melawan pelaku membuat mereka merasa bersalah, sedangkan hilangnya keperawanan
Universitas Indonesia
membuat mereka merasa tidak berharga sebagai perempuan. Sementara itu, konsep
seksualitas yang mereka miliki dengan kenyataan yang terjadi sangat bertolak belakang,
di mana mereka mengalami sendiri bahwa hubungan seksual tidak menyenangkan. Hal
tersebut membuat mereka mengalami kebingunga akan seks dan tampil dalam bentuk
perilaku seks yang tidak wajar.
Reaksi Psikologis Pasca Shock dan tidak menyangka akan Shock dan tidak menyangka akan
Kekerasan Seksual mengalami kekerasan dari orang mengalami kekerasan dari orang
yang dicintai yang dicintai
Nyeri di kemaluan, gangguan Nyeri di kemaluan
tidur dan makan Marah
Sedih Sedih
Kecewa Kecewa
Marah Perasaan benci
Perasaan jijik Emosi meledak-ledak
Hilang mood dan energi rendah Terbayang peristiwa dan tidak
Terbayang peristiwa dan tidak mampu mengendalikan ingatan
mampu mengendalikan ingatan yang muncul
yang muncul Mimpi buruk
Mimpi buruk Menghindar dari pelaku fl
Universitas Indonesia
Pandangan mengenai Memandang diri sendiri secara Memandang diri sendiri secara
Diri, Seks, dan negatif negatif
Seksualitas Seks menjadi bebas dilakukan Seks tidak perlu dilakukan
asalkan suka sama suka dan karena menyakitkan
tidak perlu dipikirkan
dampaknya karena sudah tidak
perawan
Universitas Indonesia
i Menarik dengan kasar | Orang terdekat pada saat itu Harus menjaga diri
: Mendorong : Kekasih Harus menjaga keperawanan
: Memukul tubuh : Sahabat Harus menahan hasrat seks
: Menampar wajah i Kakak/orang yang lebih tua Harus bersikap lembut
■Menyeret : Dicintai Lemah secara fisik
• Mengumpat : Kuat Disalahkan
: Mengata-ngatai : Melindungi Dicap buruk oleh masyarakat
1 Memarahi : Patut dihormati Mudah merasa malu
: Memaksakan penetrasi ; Bertanggung jawab Menanggung perbuatannya sendiri
: Memaksakan orgasme : Diharapkan menjadi suami Tidak boleh melawan laki-laki/suami
m e n i m b u l k a n
(setelah kejadian)
: Memori buruk : Hilang kepercayaan i Sense o f selfyang buruk
: Menangis : Hilang rasa aman : Selfesteem yang rendah
i Perasaan marah, benci, sedih j Ambivalensi dalam hubungan j Menyalahkan diri sendiri
: Lemas, jantung berdebar, mual : Takut dimanfaatkan ; Tidak memaafkan diri sendiri
i Menghindar : Takut berkomitmen : Tidak bisa menerima kejadian
s e b a g a i
Simtom-simtom stres pasca Konflik dalam relasi Konsep diri yang negatif
trau m a interpersonal
Traumatisasi seksual
Universitas Indonesia
1. Simtom-simtom PTSD
Meskipun kekerasan seksual telah terjadi cukup lama, yakni lebih dari 5 tahun
yang lalu, hingga saat ini kedua partisipan masih mengalami simtom-simtom yang
tergolong dalam Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Sementara itu, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada umumnya, simtom-simtom PTSD dialami dalam jangka waktu
beberapa minggu sampai dengan 18 bulan lamanya atau lebih, hanya sebagian kecil saja
yang mengalaminya hingga beberapa tahun (Davidson & Foa, 1991; Resick, 1987;
Hanson, 1990 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Pernyataan tersebut mendukung fakta bahwa kedua partisipan ternyata belum
berhasil mengatasi simtom-simtom PTSD walaupun peristiwa traumatis sudah lama
terjadi. Simtom-simtom PTSD yang dimaksud adalah memori yang masih mengganggu
terkait dengan pengalaman kekerasan seksual (intrusive memories), reaksi fisiologis yang
sulit dikendalikan jika teringat pada pengalaman kekerasan seksual (arousal), serta
pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman
kekerasan seksual (avoidance).
Universitas Indonesia
3. Relasi Interpersonal
Berkaitan dengan poin sebelumnya, pandangan yang negatif terhadap dirinya
sendiri menyebabkan partisipan menjadi kurang percaya diri bahkan mengalami
kecemasan dalam menjalani hubungan selanjutnya, khususnya hubungan interpersonal
dengan lawan jenis (Mackey et al, 2002 dalam Kendall-Tackett, 2005). Padahal, menjalin
relasi interpersonal yang bermakna merupakan salah satu tugas perkembangan pada usia
partisipan yang tergolong tahap dewasa muda (Papalia et al, 2004). Saat ini, kedua
partisipan memang telah memiliki pasangan dan merencanakan untuk menikah, namun
secara mental mereka merasa belum siap untuk menjalin relasi interpersonal yang lebih
serius untuk ke jenjang berikutnya.
Beberapa perubahan yang terjadi pada beliefs pasca kekerasan seksual adalah
berkaitan dengan keamanan, kekuatan, dan kepercayaan dalam hubungan intim, di mana
para korban cenderung menghindari relasi interpersonal karena merasa tidak aman, tidak
Universitas Indonesia
ingin lagi didominansi, dan tidak mudah percaya pada pasangan (Basile dalam Kendall-
Tackett, 2005). Meskipun para partisipan mencintai pasangannya, mereka merasa belum
mantap bahwa pasangan akan memahami pengalaman masa lalu mereka. Selain itu,
mereka juga masih merasa terganggu dengan simtom-simtom PTSD yang
mengingatkannya pada kejadian traumatis dan belum mampu menghilangkan ketakutan-
ketakutan akan beberapa hal. Di antaranya adalah ketakutan terhadap penerimaan calon
suami atas kondisi partisipan, ketakutan terhadap seks yang menyakitkan, dan ketakutan
terhadap komitmen.
4. Traumatisasi Seksual
Browne dan Finkelhor (1986 dalam Wickham & West, 2002) mengindetifikasi
permasalahan jangka panjang yang muncul akibat kekerasan seksual, salah satunya
adalah traumatisasi seksual atau yang diistilahkan dengan traumatic sexualization. Dalam
hal ini, individu mengembangkan perilaku seksual yang atipikal sebagai remaja atau
orang dewasa dengan adanya penghayatan yang cenderung negatif mengenai seks. Hal
tersebut bisa terjadi karena individu menginternalisasi pengalaman kekerasan sebagai
model dalam menjalani hubungan (Edgeworth & Carr, 2000 dalam Wickham & West,
2002 ).
Setelah mengalami peristiwa traumatis, individu akan berusaha mencari cara
untuk meredakan kecemasan atau emosi negatifnya (Copeland & Harris, 2000). Pada
korban kekerasan seksual, ditemukan bahwa gejala traumatisasi nyata yang kerap teijadi
di antaranya adalah dengan melakukan perilaku beresiko termasuk yang beresiko tinggi,
seperti menggunakan obat-obatan atau alkohol, gangguan makan, inaktivasi fisik, serta
adanya kekacauan seksual (Kilpatrick, Aciemo, Resnick, Saunders, & Best, 1997 dalam
Kendall & Tackett, 2005).
Pada kedua partisipan, ditemukan gejala traumatisasi seksual yang berbeda.
Setelah mengalami kekerasan seksual, salah satu partisipan menunjukkan kecenderungan
inaktivasi fisik atau energi yang rendah dalam kesehariannya dan menurunnya minat
terhadap seks akibat pengalaman negatifnya dengan seks (low interest o f sex). Sedangkan
Universitas Indonesia
partisipan yang lain menampilkan hal yang sebaliknya, yaitu tingkat aktivitas yang tinggi
untuk seks sehingga kemudian mengalami kekacauan seksual, di mana ia sering berganti-
ganti pasangan seks karena tidak menemukan cara lain untuk mengatasi perasaan-
perasaan negatifnya pasca kekerasan seksual (sexual promiscuity) (Dallam dalam
Kendal 1-Tackett, 2005).
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, para partisipan mengalami dampak
psikologis yang cukup kompleks pasca peristiwa kekerasan seksual. Sebagai reaksi segera,
keduanya merasa shock dan tidak menyangka bahwa orang yang dicintainya melakukan tindakan
yang menyakiti dirinya. Dalam beberapa hari pasca kejadian, mereka merasa dihantui oleh
pengalaman buruk dan merasa kesulitan mengenyahkan ingatan tersebut dengan cara apapun.
Selain itu, secara fisiologis, mereka juga merasakan keluhan somatik dan debar jantung yang
tidak menentu saat teringat kejadian. Hal ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan
ketakutan sehingga cenderung menghindar dari pelaku dan segala hal yang mengingatkannya
pada kejadian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua partisipan mengalami simtom-
simtom PTSD yang belum tertangani hingga saat ini.
Reaksi psikologis segera ini kemudian diikuti dengan perasaan malu, rendah diri, dan
menyalahkan diri sendiri yang akhirnya menyebabkan partisipan memandang buruk terhadap
dirinya sendiri. Pandangan yang negatif ini kemudian menurunkan minat mereka terhadap relasi
interpersonal sebagai konsekuensi yang sifatnya lebih luas dibandingkan personal. Kalaupun
menjalani, mereka dibayangi ketakutan-ketakutan mengenai seks dan penerimaan pasangan.
Kebingungan yang dialami akhirnya menjadikan para partisipan mengalami dampak yang
diistilahkan dengan traumatisasi seksual, di mana me^ka mengembangkan perilaku seks yang
atipikal.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya, terdapat hubungan di antara empat
area yang akan menjadi sasaran dalam rancangan intervensi. Keterkaitan di antara empat area
yang bersangkutan dapat dijelaskan melalui ilustrasi berikut.
Universitas Indonesia
\/
v U
Dampak Psikologis
Jangka Panjang
Universitas Indonesia
Dengan menelaah ilustrasi tersebut serta pembahasan satu persatu tentang keempat area
sasaran intervensi, maka peneliti akan memfokuskan rancangan intervensi untuk dua di antara
empat area, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa simtom-simtom PTSD sebenarnya diidentifikasi sebagai dampak psikologis
segera dari kekerasan seksual (Basile dalam Kendall-Tackett, 2005). Dengan demikian, jika
sampai bertahun-tahun setelah peristiwa traumatis partisipan belum mampu mengatasinya,
kemungkinan dikarenakan mereka tidak memahami atau menemukan cara yang efektif untuk
mengatasinya.
Traumatisasi seksual dipilih untuk menjadi fokus intervensi berdasarkan pemikiran
bahwa area ini merupakan dampak jangka panjang dari kekerasan seksual (Browne & Finkelhor,
1986 dalam Wickham & West, 2005). Traumatisasi seksual mencakup perilaku seksual atipikal
yang terbentuk dari penghayatan yang cenderung negatif akan diri dan terhadap seks. Oleh
karena itu, dengan tercapainya modifikasi pada aspek ini, diharapkan partisipan dengan
sendirinya akan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi kesulitan di area-area yang lain.
Universitas Indonesia
BAB 5
RANCANGAN INTERVENSI
Dari keempat area tersebut, kemudian secara lebih spesifik peneliti menentukan dua area
yang akan menjadi fokus pada rancangan intervensi ini, yaitu simtom-simtom PTSD dan
traum atisasi seksual. Selain untuk lebih menajamkan sasaran intervensi pada rancangan,
penentuan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada
Bab IV. Oleh karena itu, rancangan intervensi ini secara keseluruhan bertujuan untuk pemulihan
trauma pada para perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan
pacaran dan diharapkan dapat diaplikasikan oleh para psikolog pada umumnya untuk kasus-
kasus serupa.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Simtom-simtom Memori yang Bermimpi buruk setidaknya Self-inventory: Berkurangnya memori yang
PTSD mengganggu sekali dalam satu bulan CRIES-13 mengganggu
Universitas Indonesia
Teknik Bernafas
Merasa mual
Universitas Indonesia
Pikiran dan Tidak mau melewati tempat- Psikoedukasi: Bersedia dan mampu melewati
perilaku tempat tertentu meskipun Mengapa pikiran dan tempat-tempat yang ditakuti
menghindar menimbulkan kerugian atau perilaku menghindar
merepotkan muncul Bersedia dan mampu menemui
orang-orang yang semula
Tidak mau menemui orang- Desensitisasi sistematis dihindari
orang tertentu meskipun
menimbulkan kerugian atau Eksposur in vivo Mampu menghadapi rasa takut
merepotkan dalam tingkatan yang lebih
tinggi dari sebelum intervensi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Perilaku seks Pemahaman yang tidak tepat Teknik Konfrontasi Berkurangnya perilaku seks
atipikal mengenai hubungan seks atipikal
Restrukturisasi Pikiran
Anggapan bahwa perilaku seks Pemahaman mengenai
atipikal merupakan hal yang Teknik distancing seksualitas meningkat
wajar terjadi sebagai salah satu
emotion-focused coping
Perubahan derajat minat style dan pemberian
terhadap seks (menjadi rendah contoh
atau menjadi berlebihan)
Psikoedukasi:
Seksualitas, proses
biologis dan reproduksi,
dampak seks bebas dan
HIV-AIDS
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel di atas memberikan deskripsi mengenai kesembilan sesi yang akan dilaksanakan
dalam intervensi. Secara lebih rinci, sesi 1 mencakup perkenalan dan pembahasan mengenai
reaksi stres pasca trauma dan pengalaman kekerasan seksual, sesi 2 membahas tentang reaksi-
reaksi emosional dan fisiologis yang muncul jika teringat pada peristiwa serta teknik untuk
meredamnya, sesi 3 membahas tentang memori atau bayangan yang masih mengganggu, dan sesi
4 membahas tentang avoidance. Keempat sesi pertama merupakan bagian dari area simtom-
simtom PTS D, sehingga diberikan lebih awal dengan harapan apabila klien sudah mampu
menerapkan upaya-upaya efektif untuk meredam reaksi stres pasca trauma-nya, maka ia menjadi
lebih siap untuk mengikuti sesi traumatisasi seksual. Keempat sesi berikutnya bisa dikatakan
lebih menenangkan untuk dijalani klien karena proses yang panjang di awal sesi ditujukan untuk
kesejahteraan psikologis klien dan tidak secara langsung mengarahkan pembahasan pada isu
yang mungkin masih terasa menakutkan bagi mereka.
Universitas Indonesia
Atas alasan yang sama, maka secara lebih rinci, sesi mengenai reaksi fisiologis dan
emosional negatif sengaja diberikan pertama kali dengan tujuan membekali klien dengan
persiapan fisiologis dan emosional. Dengan demikian, klien memiliki perasaan mampu untuk
menghadapi traumanya dan merasa nyaman untuk berlanjut ke sesi berikutnya yang lebih
mendalam.
Universitas Indonesia
BAB 6
DISKUSI
Universitas Indonesia
terapis dapat mengoptimalkan efektivitas sesi sehingga intervensi menjadi tepat guna dan tepat
sasaran.
Berdasarkan hasil analisis kasus dan karakteristik partisipan, peneliti melihat bahwa
keberhasilan intervensi akan didukung oleh hal-hal berikut:
1. Rapport yang terjalin dengan baik antara pemeriksa dengan klien.
Mengingat kasus kekerasan seksual bersifat sensitif dan umumnya para korban tidak
ingin terlalu terbuka mengenai pengalamannya dengan orang lain, maka rapport
menjadi hal yang amat penting dalam sebuah proses konseling untuk mennumbuhkan
rasa percaya klien terhadap pemeriksa (Stewart & Cash, 2000). Pada awal sesi, Dian
dan Tia sangat tampak berhati-hati dalam memberikan penjelasan, namun setelah
pertemuan kedua mereka baru bisa bersikap santai dan lepas, di mana rapport antara
peneliti dengan partisipan sudah terjalin dengan baik. Dengan demikian, intervensi
yang diberikan bisa diterima secara baik oleh klien karena adanya rasa kepercayaan
yang terbangun.
2. A tm osfir ruangan yang kondusif untuk melangsungkan intervensi.
Berkaitan dengan poin sebelumnya, klien dengan kasus kekerasan seksual biasanya
membutuhkan privasi yang tinggi sehingga kondisi tempat pemberian intervensi perlu
ditinjau agar membuat klien merasa aman dan nyaman menjalani sesi. Menilik
karakteristik kepribadian Dian dan Tia yang cenderung tertutup dan sulit
mempercayai orang lain, serta mudah terdistraksi dengan kehadiran orang lain, maka
poin ini menjadi penting untuk diperhatikan. Hal ini juga bisa jadi berlaku bagi klien
yang akan diikutsertakan dalam intervensi sejauh memiliki karakteristik yang tidak
jauh berbeda dengan partisipan.
3. Tingkat pendidikan partisipan yang memadai untuk diberikan intervensi behavioral-
kognitif.
Pendekatan behavioral kognitif membutuhkan kemampuan logis dan penalaran yang
cukup baik dari partisipan (Rollins, 1996). Hal ini karena dalam intervensi behavioral
kognitif, banyak dilakukan Oleh karena itu, tingkat pendidikan kedua partisipan yang
lulusan sarjana dan master dapat mendukung berhasilnya intervensi ini. Resick dan
Schicke (1993) juga mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang memadai dapat
Universitas Indonesia
Dalam memberikan intervensi kepada korban kekerasan seksual, Trowell (1999 dalam
Wickham & West, 2002) mengajukan enam hal yang perlu diperhatikan oleh terapis agar tidak
mengganggu jalannya intervensi, yaitu:
1. Isu kekerasan.
Terapis harus peka dan mampudengan reaksi-reaksi dari klien terkait dengan
pembahasan yang telah dilakukan. Meskipun mereka menyetujui untuk mengikuti
intervensi, mereka sangat mungkin merasaka ketidaknyamanan dengan pengalaman
masa lalu yang terus menerus dibicarakan.
2. Isu masa kanak-kanak.
Isu ini menjadi perhatian terapis, terutama jika intervensi dilakukan dengan
pendekatan psikoanalisa, di mana terapis sebaiknya melakukan penggalian atas isu
masa kanak-kanak klien dengan memperhatikan kesediaan klien. Meskipun intervensi
dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan behavioral kognitif, ada baiknya
jika terapis tetap menaruh perhatian pada isu masa kanak-kanak, apalagi jika terdapat
informasi khas mengenai klien di masa kanak-kanaknya.
3. Perpisahan, kehilangan, yang terjadi dalam waktu dekat
Universitas Indonesia
Perasaan rendah diri sebagai salah satu dampak dari kekerasan seksual bisa jadi
kembali muncul dan menguat intensitas serta frekuensinya dalam periode berduka.
Untuk itu, apabila klien belum lama mengalami perpisahan atau kehilangan yang
signifikan dan masih berada dalam periode berduka, maka terapis perlu untuk
memberikan perhatian lebih.
4. Psikopatologi, seperti PTSD, perasaan depresi dan keinginan bunuh diri, kecemasan
dan serangan panik, gangguan attachment dan gangguan perkembangan, gangguan
makan
Terapis harus bisa menemukan psikopatologi yang teijadi pada klien dan berhati-hati
dalam menyinggungnya, terutama dalam konseling, agar tidak membuat klien
semakin tenggelam dalam perasaan-perasaan negatifnya. Dalam intervensi, hal ini
juga perlu diperhatikan agar kesejahteraan psikologis klien tidak menjadi terganggu
selama berjalannya intervensi.
5. Rencana masa depan, rasa percaya diri, keberhargaan diri
Terapis juga perlu mempertimbangkan kepercayaan diri klien dalam mengikuti sesi
dan berperan dalam menumbuhkannya. Klien dengan rasa percaya diri dan
keberhargaan diri yang rendah akan kesulitan bersikap optimis terhadap sesi dan
menerima informasi dengan baik. Secara jangka panjang, kesulitan dalam area ini
juga dapat mempengaruhi keberhasilan klien dalam pencapaian masa depan dan
keseluruhan kehidupannya.
6. Hubungan dengan keluarga dan lingkungan sosial
Dukungan sosial merupakan salah satu hal yang penting bagi klien. Namun, apabila
klien memiliki hubungan yang kurang optimal dengan lingkungannya, maka terapis
perlu memperhatikan cara-cara membicarakan hal tersebut agar klien merasa tetap
berpotensi untuk pulih dan tidak dituntut oleh terapis untuk memiliki dukungan sosial
yang baik. Pendekatan personal yang baik dari terapis juga dapat menumbuhkan rasa
percaya klien terhadap intervensi dan rasa keberhargaan diri bahwa ia masih memiliki
dukungan sosial.
6. 4. Temuan Lain
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
7. 1. 1. Gambaran Partisipan
Penelitian ini melibatkan dua partisipan, yang diberi nama samaran Dian dan Tia,
yang berusia 24 dan 25 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara
mendalam dan observasi dalam wawancara. Wawancara dilakukan sebanyak masing-
masing lima kali untuk masing-masing partisipan. Kedua partisipan mengalami kekerasan
seksual oleh pacarnya pada enam dan empat tahun yang lalu. Dian mengalami kekerasan
seksual disertai kekerasan fisik yang cukup intens, sedangkan Tia mengalami kekerasan
seksual yang diwarnai dengan kekerasan emosional. Saat ini, kedua partisipan telah
menjalani kehidupan dengan kondisi diri yang secara keseluruhan Jebih baik karena telah
berhasil memutuskan hubungan dengan pelaku dengan melewati perjuangan yang cukup
berat. Bahkan, saat ini masing-masing mereka telah berusaha menjalin hubungan intim
dengan laki-laki yang baru.
Meskipun demikian, mereka masih mengalami beberapa keluhan terkait dengan
peristiwa kekerasan yang pernah dialaminya, di antaranya mengalami mimpi buruk dan
bayangan akan peristiwa kekerasan, reaksi fisiologis yang tidak mengenakkan jika
teringat pada peristiwa kekerasan, adanya pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal
yang mengingatkan pada kekerasan, perasaan malu, berdosa, rendah diri, takut untuk
menjalani hubungan pacaran selanjutnya, belum mampu melupakan peristiwa, serta
munculnya perilaku dan pandangan yang berbeda mengenai diri sendiri dan seks setelah
terjadinya peristiwa kekerasan seksual. Salah satu perilaku seks yang menonjol pada
kedua partisipan tetapi berbeda pada masing-masingnya adalah berkurangnya minat
terhadap seks, dan sebaliknya pada partisipan yang lain justru menunjukkan adanya
kebingungan terhadap seks yang menyebabkan partisipan menunjukkan minat yang
terlalu besar untuk seks.
Universitas Indonesia
7. 1. 2. Analisis Kasus
Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa kedua partisipan mengalami
trauma yang cukup dalam akibat kekerasan seksual sehingga dalam kesehariannya
menghadapi kesulitan dalam empat area. Keempat area ini yang akan menjadi sasaran
dalam intervensi, yaitu:
1. Simtom-simtom PTSD
Simtom-simtom PTSD muncul dalam bentuk memori, bayangan, atau mimpi
akan kejadian traumatis yang sering terbangkitkan, reaksi fisiologis dan
emosional negatif yang muncul bila teringat pada kejadian traumatis, serta
perilaku dan pikiran menghindar dari hal-hal yang mengingatkan pada
kejadian traumatis.
2. Konsep diri sebagai perempuan
Mencakup pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, kurangnya rasa
keberhargaan diri, adanya anggapan bahwa dirinya tidak utuh dan tidak lagi
sempurna sebagai seorang perempuan karena gagal mempertahankan
keperawanan, adanya perilaku menyalahkan diri sendiri, serta sulitnya
menerima kejadian tersebut dan memaafkan diri sendiri.
3. Relasi interpersonal
Kedua partisipan menunjukkan ketakutan dan kecemasan akan hubungan
intim yang selanjutnya karena memiliki pandangan yang negatif terhadap seks
dan laki-laki. Area ini menjadi penting karena saat ini, mereka berada dalam
hubungan intim yang baru setelah periode kekerasan seksual, sehingga timbul
konflik antara kebutuhan intimacy dan ketakutan akan pengalaman masa lalu
yang negatif.
4. Traumatisasi seksual
Traumatisasi seksual muncul dalam bentuk perilaku seks atipikal dan tidak
disadari oleh partisipan sebagai sesuatu hal yang tidak biasa. Perilaku seks
atipikal dapat berupa minat yang rendah atau tinggi terhadap seks, di mana
Universitas Indonesia
7. 1. 3. Rancangan Intervensi
Rancangan intervensi yang disusun menyasar pada dua area dari empat area yang
diajukan berdasarkan hasil analisis kasus, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi
seksual. Hal ini ditentukan berdasarkan pertimbangan urgensi dan spesifikasi area sasaran
intervensi. Untuk simtom-simtom PTSD, pendekatan terapi yang digunakan adalah
teknik-teknik behavioral, sedangkan untuk traumatisasi seksual menggunakan teknik-
teknik dalam pendekatan terapi kognitif.
7. 2. Saran
Sehubungan dengan adanya berbagai keterbatasan dalam penelitian dan penyusunan
rancangan intervensi bagi perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual ini, maka
peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya:
1. Teori mengenai trauma akibat kekerasan seksual, khususnya date rape, diperdalam
agar menjadi lebih spesifik dalam mengarahkan simtom-simtom mana yang akan
menjadi sasaran intervensi,
2. Menggunakan literatur terbaru dan memperbanyak landasan teoritis mengenai
seksualitas di masyarakat Indonesia agar bisa dijadikan perbandingan dengan kasus
yang diteliti,
3. Jumlah partisipan ditambah untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
mengenai trauma pada individu.
4. Menambahkan metode observasi mumi sebagai metode pengambilan data mengingat
simtom-simtom yang ditelliti umumnya dapat tampak dalam kehidupan sehari-hari
partisipan.
5. Memilih rancangan intervensi dengan formula yang lebih spesifik (bukan eklektik)
agar psikoterapi lebih tepat sasaran.
Universitas Indonesia
Mengingat bahwa tipe penelitian ini adalah case study dengan kasus yang terbilang unik,
pada dasarnya akan lebih menarik jika penelitian dapat dilakukan dengan melibatkan aspek
kepribadian dan konteks pola asuh secara lebih mendalam. Hal ini agar peneliti dapat
memperoleh pemahaman yang lebih komprehensifn.
Terkait dengan metode penelitian, pada penelitian ini, peneliti masih menggunakan
metode observasi dalam wawancara sebagai metode pengambilan data tambahan, bukan
observasi murni maupun observasi sebagai metode pengambilan data utama. Ada baiknya jika
penelitian berikutnya mengusahakan lebih jauh agar dapat melakukan observasi mumi terhadap
partisipan untuk memperoleh data yang akurat dan dapat diricek kembali antara hasil wawancara
dengan hasil observasi. Dengan demikian, penggunaan metode observasi dengan behavioral
checklist atau instrumen sejenis akan semakin memperkuat data yang diperoleh melalui metode
wawancara.
Sebagai saran praktis, hasil penelitian dan rancangan intervensi ini diharapkan dapat
digunakan oleh para psikolog yang menangani kasus kekerasan seksual dalam memahami
dinamika psikis yang terjadi pada klien dan menerapkan intervensi yang sesuai dengan
kebutuhan klien dengan menjadikan rancangan intervensi ini sebagai benchmark.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Allen, Jon G. (2005). Coping With Trauma: Hope Through Understanding. 2nd edition.
Washington DC: American Psychiatric Publishing, Inc.
Attig, B. Y., Attig, G. A., & Boonchaiaksi, W. (1989). A Field Manual on Selected
Qualitative Research Methods. Nakhon Pathom: Institute for Population and
Social Research Mahidol University.
Bergen, Raquel Kennedy. (1998). Issues In Intimate Violence. Thousand Oaks: Sage
Publications, Inc.
Copeland, Maty Ellen & Harris, Maxine. (2000). A Gentle, Step-by-Step Guide Healing
The Trauma o f Abuse: A Women’s Workbook. Oakland: New Harbinger
Publications.
Flick, U. (1998). An Introduction to Qualitative Research. California: Sage Publications
Inc.
Hay, Louise L. (1984). You Can Heal Your Life. Santa Monica: Hay House, Inc.
Jongsma, Arthur E. & Peterson, L. Mark. (2006). The Complete Adult Psychotherapy:
Treatment Planner. 4th edition. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Kelly, Liz. (1988). Surviving Sexual Violence. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Kendal 1-Tackett, Kathleen A. (2005). Handbook o f Women, Stress, and Trauma:
Psychosocial Stress Series. New York: Brunner-Routledge.
Ker/inger, F. N. & Lee, H. B. (2000). Foundations o f Behavioral Research. 4th edition.
Orlando: Harcourt College Publishers.
Komisi Nasional Perempuan. (2002). Peta Kefarasm: Pengalaman Perempuan
Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan.
Koss, Mary P. & Harvey, Mary R. (1991). The Rape Victim: Clinical and Community
Interventions. 2nd edition. Newbury Park: Sage Publications, Inc.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Artikel:
http://gideonidea.wordpress.com/category/sekilat-info. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://gkpi.org/index.php. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual, diunduh pada 22 Maret 2010.
http://northemstory.blogspot.com/20I0/02/kekerasan-dalam-pacaran.html. Diunduh pada
10 Juni 2010.
http://psikologi-online.com. Diunduh pada 10 Juni 2010.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemulihan Trauma
Bagi Perempuan yang Pernah Mengalami
Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran
“ OF COURSEILOVE MYSELF1”
TA RG ET S E S I
1. Terapis dan klien saling mengenal dan menjalin rapport yang baik
2. Klien memahami tujuan diberikannya intervensi terhadapnya
3. Terapis menjelaskan dan menormalisasi reaksi negatif yang umumnya muncul
4. Terapis melatihkan teknik sederhana untuk mengatasi reaksi negatif yang umumnya
muncul
5. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah
A K TIV ITA S
Perkenalan dan Rapport
Terapis memperkenalkan diri, kemudian bergantian dengan klien. Untuk menjalin
rapport, terapis dapat melakukan anamnesa secara singkat untuk membuat klien merasa
nyaman, dihargai, dan pada akhirnya bersedia untuk terbuka. Terapis juga menjelaskan tujuan
dari pertemuan yang akan diadakan selama delapan sesi, dengan menekankan pentingnya
keikutsertaan klien dalam intervensi. Terapis memberikan gambaran secara keseluruhan
mengenai sesi yang akan dijalani dan memberikan penguatan kepada klien untuk menjalani
sesi secara utuh.
M enaisi C R IE S -1 3
Inventori ini diberikan kepada klien sebagai alat bantu identifikasi simtom-simtom PTSD.
Setelah berkenalan, terapis mengajak klien untuk mengisi inventori tersebut untuk kemudian
didiskusikan. C R IE S-1 3 dipilih dengan pertimbangan bahwa inventori tersebut banyak
digunakan untuk mengases simtom-simtom PTSD, terlebih dengan karakteristik klien yang
kapasitas kognitifnya baik, diasumsikan mereka tidak akan kesulitan mengisi. Dengan demikian,
selain untuk menjalin rapport secara lebih mendalam, terapis juga dapat memperoleh gambaran
umum mengenai simtom-simtom PTSD yang dialami klien.
Below is a list o f c o m m e n ts m ade by people after stressful life Event Please tick each item showing how
frequently th ese c o m m e n ts w ere true for you during thepast seven days. If they did not occur during that time
please tick the ‘n o t at all* b ox.
N a m e :..................................................................................... Date:
P slko e d u kasi: R e aksi Neaatif vana Umumnva Muncul Pasca Peristiwa Traumatis
Terapis memberikan contoh kasus mengenai seseorang yang mengalami peristiwa
traumatis dan mengalami gejala-gejala yang tidak biasa. Terapis memberikan penjelasan
bahwa reaksi negatif yang muncul pasca peristiwa traumatis merupakan hal yang wajar terjadi
karena adanya trauma atau benturan yang membuat seseorang kaget dan akhirnya merasakan
reaksi negatif. Hal tersebut dinamakan dengan reaksi stres pasca trauma. Kemudian, terapis
mengajak klien untuk mendiskusikan mengapa peristiwa tersebut menjadi sulit untuk dilupakan.
Mungkin penyebabnya adalah karena menimbulkan perasaan ketidakberdayaan, terlalu
menyakitkan, dan lain-lain.
Pada aktivitas ini, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang buruk, tetapi kita akan
belajar menggunakan imajinasi kita untuk menciptakan perasaan senang dan positif
Saya akan meminta Anda untuk membayangkan suatu tempat yang dapat membuat Anda
merasa tenang dan bahagia. Tempat ini bisa merupakan tempat nyata yang Anda ketahui
atau bisa ju g a berupa khayalan Anda saja.
Sekarang, tutup mata dan coba bernapas dengan teratur. Tarik napas dalam-dalam.
Bayangkan sebuah tempat yang membuat Anda merasa tenang... Bayangkan Anda
sedang berada di tempat tersebut... Anda bisa melihatnya? Dalam bayangan tersebut,
silakan Anda perhatikan keadaan selatar. Apa yang Anda lihat? Apa yang ada di dekat
Anda? Lihat detail dari objek/benda tersebut. Perhatikan yvama-wamanya. Bayangkan
diri Anda yang berusaha menggapai objek/benda tersebut. Bagaimana rasanya?
Sekarang, lihat ke arah lain. Apa saja yang ada di sekitar Anda? Apa yang terlihat di
kejauhan sana? Perhatikan berbagai warna dan bentuk yang ada di lingkungan tempat
tersebut. Tempat ini merupakan tempat yang spesial bagi Anda. Anda bisa
membayangkan apa saja yang Anda mau mengenai tempat tersebut. Saat Anda sedang
berada di tempat ini, Anda merasa tenang dan damai.
Setelah berlatih, terapis menanyakan kepada klien bagaimana perasaan klien. Terapis
berupaya memberi penguatan kepada klien.
TARGET SESI
1. Terapis mengulas tugas rumah yang diberikan pada sesi sebelumnya
2. Terapis memberikan edukasi mengenai reaksi fisiologi dan emosi negatif
3. Terapis mengajarkan keterampilan: teknik relaksasi
4. Terapis mengajarkan keterampilan: teknik bernafas
5. Terapis memperkenalkan teknik distancing kepada klien
6. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah
A K T IV IT A S
M engulas T u g a s Rum ah
Tu gas rumah yang lalu adalah berlatih teknik imagery, tanyakan bagaimana itu terjadi.
Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai kapan saat
yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien. Apakah teknik ini bisa dipakai pada saat
situasi terasa sulit atau ketika pikiran buruk itu datang? Apakah klien mencoba
mempraktekkannya sebelum tidur?
Latihan R e la k s a si
Terapis dapat mengajarkan teknik relaksasi progresif sebagai sateh satu cara untuk
meredakan ketegangan klien ketika teringat pada peristiwa traumatis. Terapis bisa memulai
dengan mengatakan,
Teknik berikutnya yang akan saya ajarkan adalah teknik bernapas. Bernapas menjadi
penting selama relaksasi. Terkadang, saat kita merasa takut, kita akan bernapas
dengan cepat hingga akhirnya membuat Anda mulai merasa tidak bisa bernapas.
Teknik D istancina
Individu akan memberikan reaksi yang berbeda-beda untuk mengatasi stress. Upaya
untuk mengatasi stress ini disebut sebagai coping. Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino,
2006) mendefinisikan coping sebagai upaya mengelola tuntutan internal maupun eksternal dari
situasi, yang melampaui kemampuan individu untuk memenuhinya. Coping merupakan sebuah
proses dimana seseorang berusaha untuk menghadapi kesenjangan antara harapan dan
ketersediaan yang ada. Dengan kata lain, coping merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh
seseorang dalam menghadapi stress yang dialaminya dan cara-cara ini dapat berbeda-beda.
Berdasarkan fungsinya, secara general, strategi coping dapat dibedakan ke dalam dua
jenis, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping
adatah upaya untuk melakukan perubahan konstruktif terhadap kondisi yang stressful, dengan
cara mengurangi tuntutan dari situasi atau menambah sumber daya untuk memenuhi tuntutan
dari situasi tersebut, sedangkan Emotion-focused coping adalah usaha untuk meregulasi emosi
yang timbul akibat dari kondisi yang stressful, melalui pendekatan perilaku maupun kognitif
(Sarafino, 2002). Dalam kasus ini, emotion-focused coping dapat digunakan klien untuk
meredam emosi negatif.
Salah satu contohnya adalah dengan teknik distancing. Distancing adalah upaya untuk
membuat jarak antara diri dengan situasi yang stressful. Misalnya, berusaha untuk tidak terlalu
menganggap serius, tidak mau memikirkan situasi stressful terlalu dalam, menghindari
masalah, atau melibatkan diri dalam aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan situasi stressful,
dengan tujuan untuk mengurangi perasaan stress. Terapis dapat memberikan contoh kepada
klien, misalnya ketika klien merasa sedih, maka ia bisa mencari kegiatan distancing, seperti
TARGET SESI
1. Terapis mengulas tugas rumah yang diberikan pada sesi sebelumnya
2. Terapis memberikan penjelasan mengenai memori yang mengganggu (intrusive
memories) sebagai salah satu simtom stres pasca trauma dan dampak yang terjadi
akibat peristiwa traumatis
3. Klien memahami mengapa ia mengalami gejala intrusive memories
4. Terapis melatihkan teknik sederhana untuk mengatasi atau meredam intrusive
memories, yaitu teknik imagery screen.
5. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah
A K T IV IT A S
M enaulas T u a a s Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah berlatih teknik safe place, tanyakan bagaimana itu terjadi.
Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai kapan saat
yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien. Apakah teknik ini bisa dipakai pada saat
situasi terasa sulit atau ketika pikiran buruk itu datang? Apakah klien mencoba
mempraktekkannya sebelum tidur?
Terapis menjelaskan bahwa klien memiliki kuasa penuh atas bayangan yang dialaminya
dan bisa melakukan banyak hal untuk membuat bayangan buruknya reda.
TARGET SESI
1. Terapis mengulas tugas rumah yang diberikan pada sesi sebelumnya
2. Terapis memberikan edukasi mengenai perilaku menghindar
3. Terapis mengajarkan keterampilan: keterpaparan imajinasi
4. Terapis mengajarkan keterampilan: beragam tingkat keterpaparan secara in vivo
5. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah
A K T IV IT A S
M enaulas T u a a s Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah berlatih kemampuan relaksasi, tanyakan bagaimana itu
terjadi. Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai kapan
saat yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien. Apakah teknik ini bisa dipakai pada
saat situasi terasa sulit atau ketika pikiran buruk itu datang? Apakah klien mencoba
mempraktekkannya sebelum tidur?
Pertama, mari kita bicarakan hal-hal yang terkadang membuat kita merasa takut. Ketika
kita takut terhadap sesuatu, kita merasa takut di dalam diri dan tubuh menjadi gugup
dan gemetar. Lalu kita mencoba untuk meninggalkan hal-hal yang kita takuti itu. Hal ini
kita sebut dengan menghindar. Contohnya orang yang takut terhadap laba-laba, anjing
atau ketinggian, mereka akan mencoba untuk menjauhi hal-hal itu. Apakah ada dari
kalian yang mengalami hal seperti itu? Atau kalian mengetahui seseorang yang
mengalami hal seperti itu?
Kita akan mencoba menghadapi hal-hal yang mengingatkan Anda pada kenangan yang
buruk. Kita akan belajar menghadapinya, setahap demi setahap dan menggunakan
keahlian yang sudah kita pelajari untuk membantu kita, seperti teknik relaksasi. Hal
pertama yang akan kita lakukan adalah membuat dañar mengenai ingatan-ingatan apa
atau kegiatan-kegiatan apa yang kalian hindari saat ini.
Ketika sedang menghadapi rasa takut, Anda harus mampu mengatakan seberapa takut
Anda. Membayangkan tangga akan membantu Anda. Pada bagian bawah terdapat
angka "1" yang menandakan kalian tidak takut sama sekali dan merasa rileks. Sedang
tingkat paling atas termometer menandakan tingkat ketakutan Anda yang paling besar.
Sekarang hal kedua yang yang akan membantu Anda menghadapi rasa takut Anda
adalah menyiapkan pernyataan yang akan Anda ucapkan ketika merasa takut. Kira-kira
apa yang akan Anda katakan ke diri sendiri untuk membantu menghadapi rasa takut?
E k s p o s u r tmaiinasi
Klien diminta mengkonfrontasi ketakutannya dalam imajinasi terlebih dahulu, hal ini
dilakukan agar klien dapat mengurangi ketakutannya secara gradual. Klien diminta membagi
ketakutannya menjadi langkah-langkah dalam bentuk tangga, di mana tangga paling bawah
Sekarang, cobalah membuat tingkatan seperti tangga tentang hal-hal yang membuat
Anda merasa stres atau takut Ingat, situasi yang paling mudah dihadapi diletakkan di
anak tangga paling bawah, dan saya ingin Anda pelan-pelan melangkah ke anak tangga
berikutnya, semakin ke atas. Hal apa yang kira-kira akan berada di anak tangga paling
bawah yang paling mudah Anda hadapi dan tidak membuat Anda hanya sedikit
ketakutan.
Kemudian, terapis meminta klien untuk memilih salah satu situasi ketakutan di salah
satu anak tangga yang memiliki intensitas ketakutan rendah hingga sedang. Minta klien untuk
memejamkan mata dan mengulang relaksasi hingga ia terlihat cukup nyaman. Jika sudah,
minta ia membayangkan situasi takut yang ia pilih, memperhatikan tingkat ketakutannya, fokus
kepada pernafasan dan relaksasi, hingga tingkat ketakutannya menurun. Jika hal tersebut
sudah dilakukan, minta feedback dari klien dan puji dia karena telah berani menghadapi
ketakutannya secara perlahan. Terapis dapat mengulangi langkah ini untuk setiap anak tangga
yang dibuat klien.
Latihan C o o in a S e lf Statements
Terapis menjelaskan bahwa klien memerlukan coping self statements sebagai penguat
mereka dalam mengahadapi hal-hal yang ditakuti. Contoh self-statements yang dapat
digunakan adalah seperti berikut:
Aku bisa
Hal tersebut tidak dapat menyakitiku
Aku tahu akan dapat mengatasinya
Aku akan melawan rasa takutku
Rasa takutku akan segera hilang
- Aku punya kehendak menentukan hidupku
TA RG ET SESI
1. Mengulas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2. Klien mampu menghargai dirinya sendiri
3. Klien menyadari bahwa kehilangan keperawanan bukan berarti kehilangan segalanya
4. Klien menyadari kualitas-kualitas positif yang ada di dirinya
5. Klien mengerjakan tugas rumah yang diberikan
A K T IV IT A S
M engulas T u g a s Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah berlatih menaiki tangga ketakutan, tanyakan bagaimana
itu terjadi. Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai
kapan saat yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien.
TARG ET SESI
1. Mengulas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2. Memperbaiki mindset atau framework klien mengenai seks
3. Klien menyadari bahwa perilaku seksnya perlu diperbaiki
4. Klien memiliki minat yang wajar terhadap seks
5. Klien mengurangi perilaku beresiko terkait dengan seks
A K T IV IT A S
M engulas T u a a s Rum ah
Tugas rumah yang lalu adalah membuat catatan kecil (semacam diary). Ajak klien untuk
membahas apa saja yang terjadi dan bantu klien untuk mengenali pola perasaan dan
pemikirannya.
Psikoedukasi: Seksualitas Perempuan. Reproduksi, dan Dampak Seks vana Tidak Aman
Terapis memberikan penjelasan mengenai seksualitas perempuan dan
kompleksitasnya, proses biologis yang terjadi pada manusia, khususnya mengenai reproduksi
dan bahayanya melakukan hubungan seks yang tidak aman. Implikasinya juga bisa dikaitkan
dengan HIV-AIDS sebagai akibat dari perilaku seks bebas atau tidak aman.
TA RG ET SESI
1. Mengulas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2. Klien mampu menerima peristiwa buruk sebagai bagian dari masa lalunya
3. Klien mampu mengambil hikmah dari kejadian buruk yang menimpanya
4. Klien mampu memaafkan dirinya sendiri
5. Klien mampu melihat dirinya sebagai penyintas, bukan korban
A K T IV IT A S
M enaulas Tu aas Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah membuat catatan kecil (semacam diary). Ajak klien untuk
membahas apa saja yang terjadi dan bantu klien untuk mengenali pola perasaan dan
pemikirannya.
TA RG ET SESI
1. Terapis melakukan review mengenai seluruh sesi yang dijalani
2. Terapis mengevaluasi kemajuan klien
3. Terapis menterminasi sesi
A K T IV IT A S
R eview
Terapis memberikan penjelasan mengenai sesi-sesi yang sudah dijalani dan bagaimana
kemajuan klien dalam menjalani keseluruhan sesi tersebut. Terapis juga dapat memberikan
dorongan, pujian, atau reinforcement atas usaha klien dalam menjalani sesi secara baik dan
optimal.
E v a lu a si
Terapis meminta klien untuk melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, yaitu hal-hal
apa yang sudah ia capai sebagai bentuk kemajuan ke arah yang positif. Klien juga
diperkenankan untuk menyampaikan harapan-harapannya di masa depan terkait dengan
intervensi yang sudah diberikan.
Te rm in a sl
Terapis menyatakan bahwa sesi telah selesai. Klien diperbolehkan mengajukan
pertanyaan. Jika akan dilakukan re-contracting, maka klien dan terapis membuat kesepakatan
baru.
TA RG ET SESI
1. Significant others memahami dinamika psikologis yang terjadi pada klien pasca
peristiwa traumatis
2. Significant others mengetahui tujuan pemberian intervensi terhadap klien
3. Significant others mengetahui langkah-langkah pendampingan psikologis yang baik
untuk klien
4. Significant others membantu memantau kemajuan klien selama sesi
A K TIV ITA S
Perkenalan dan Rapport
Terapis memperkenalkan diri dan menjalin rapport dengan significant others. Terapis
menjelaskan tujuan pertemuan dengan significant others dan menekankan pentingnya peran
serta dukungan significant others dalam proses pemulihan klien. Terapis memberikan
gambaran secara keseluruhan mengenai sesi yang akan dijalani oleh klien. Kemudian, terapis
juga meminta kesediaan significant others untuk mendukung intervensi pemulihan trauma pada
klien dengan cara memberikan support terhadap klien yang cara-caranya akan dilatihkan pada
sesi ini.
E v a lu a s i K e m a iu a n K lie n se la m a S e s i
Terapis meminta kesediaan significant others untuk terlibat dalam intervensi terhadap
klien dengan cara memantau kemajuan klien dari sesi ke sesi, misalnya dengan turut
memperhatikan bagaim ana klien berlatih teknik-teknik yang sudah diajarkan di rumah.
Significant others juga dapat ikut berlatih teknik-teknik tersebut bersama klien agar tercipta
su asan a yang menyenangkan dan terbuka di antara mereka. Dengan demikian, klien merasa
memperoleh dukungan dari orang-orang terdekatnya.
Nam a Lengkap
Je n is Kelam in
Alam at Lengkap
Tem pat & Tan ggal Lahir (Umur)
Statu s Pernikahan
Suku B a n gsa :
A gam a
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
D engan ini saya menyatakan kesediaan saya untuk mengikuti asesmen mengenai
kekerasan seksu al dalam hubungan pacaran yang pemah saya alami, yang diberikan kepada
saya. D engan demikian, saya bersedia mengikuti segala prosedur yang diperlukan untuk
Kepentingan asesm en ini.
Tertanda,