Anda di halaman 1dari 161

UNIVERSITAS INDONESIA

RANCANGAN INTERVENSI PEMULIHAN TRAUMA


BAGI PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI
KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUBUNGAN PACARAN
(Trauma Recovery Intervention Plan
fo r Female as Victims o f Sexual Violence in Courtship)

TESIS

ANGESTY PUTRI AGENG


0806437140

FAKULTAS PSIK O L O G I
PROGRAM PASCASARJANA
PRO G RA M STUDI PSIK O LO G I PR O FE SI
PEM INATAN PSIK O LO G I K LIN IS DEW ASA
D EPO K
JU L I 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
RANCANGAN INTERVENSI PEMULIHAN TRAUMA
BAGI PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI
KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUBUNGAN PACARAN
(Trauma Recovery Intervention Plan
fo r Female as Victims o f Sexual Violence in Courtship)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Psikologi Peminatan Klinis Dewasa

ANGESTY PUTRI AGENG


0806437140

FAKULTAS PSIK O LO G I
PRO G RA M PASCASARJANA
PRO G RA M STUDI PSIK O LO G I PR O FE SI
PEM INATAN PSIK O LO G I KLIN IS DEWASA
D EPOK
JU L I 2010

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis penulis yang beijudul


“R ancangan Intervensi Pem ulihan T ra u m a Bagi P erem puan yang P ern ah
M engalam i K ekerasan Seksual dalam H ubungan P acaran ” adalah hasil kerja
penulis sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari karya orang lain. Adapun
bagian-bagian tertentu yang penulis kutip dari hasil karya orang lain, telah
dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam hasil karya
ini, penulis bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Depok, Juli 2010

Angesty Putri Ageng


(NPM. 08064371640)

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama : Angesty Putri Ageng
NPM :0806437140
Program Studi : Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa
Judul Tesis : Rancangan Intervensi Pemulihan Trauma Bagi
Perempuan yang Pernah Mengalami Kekerasan
Seksual dalam Hubungan Pacaran

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Psikologi pada Program Studi Psikologi Profesi Peminatan Klinis
Dewasa Universitas Indonesia pada hari Selasa tanggal 13 Juli 2010.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M. Hum


NIP. 19630702 199103 2 001
Nathanael E. J. S., M. Psi
NIP. 0808050301
Penguji : Dra. Fivi Nurwianti, M. Si
NIP. 0800300005

ok, 13 Juli 2010


Ketua Program Pascasarjana has Psikologi UI

Dra. Dharmayati U. L. MA., PhD Oilman Dahlan Mansoer., M.Org.Psy.


Pf 19490403 197603 1 002
NIP. 19510327 197603 2 001

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan di


bawah in i:

Nama : Angesty Putri Ageng


NPM : 0806437140
Program Studi: Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa
Departemen : -
Fakultas : Psikologi
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif ( Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang beijudul:

“Rancangan Intervensi Pemulihan Trauma Bagi Perempuan yang Pernah


Mengalami Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran”

beserta instrumen /desain/perangkat ( jika ada ). Berdasarkan Persetujuan Hak


Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia Berhak menyimpan,
mengalihkan bentuk, mengalihmediakan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (
data base ) , merawat, serta mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik
Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya secara sadar tanpa
paksaaan dari pihak mana pun.

Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 13 Juli 2010

Yang membuat pernyataan,

(Angesty Putri Ageng)

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


UCAPAN TERIMA KASIH

Begitu banyak pihak yang sangat berperan mendukung saya dalam


penyelesaian tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Allah SWT, Sang Maha Pencipta, Maha Menjadikan Segalanya. Terima kasih
atas kehidupan saya yang begitu indah.
2. Dr. E. Kristi Poerwandari, M. Hum, selaku pem bimbing tesis yang sangat
peduli dan menjadi panutan saya. Bantuan beliau sungguh tak ternilai.
3. Nathanael Sumampouw, M. Psi, selaku pembimbing tesis berikutnya yang
telah memberikan banyak masukan dan pembelajaran berharga bagi saya.
4. H. Hendrik E. Ahmad, S. E. dan Hj. dr. Yulifa Inggitya, orangtua yang amat
saya hormati dan sayangi, yang setia mendoakan saya di setiap shalatnya.
5. Bayu Wirakusuma, S. E., pengisi relung hati dan pelipur lara saya, yang kasih
sayangnya begitu dalam dan berarti bagi kehidupan saya.
6. Christie Achja, S. Psi, Kris Mayana, S. E., Cecilia Christianti, M. Ikom, Anne
Restu, M. Psi, Risna Rizania, M. Psi, sahabat-sahabat yang telah mencurahkan
perhatian dan dukungan tiada henti.
7. Rizki Mustika, adik tersayang yang sudah mengerahkan tenaganya untuk
membantu saya, calon S. Psi dan M. Psi yang berbakat.
8. “Dian” dan “Tia”, kedua partisipan penelitian saya yang kini menjadi sahabat
saya, terima kasih sudah berperan besar bagi terwujudnya cita-cita saya.
9. Seluruh teman-teman seperjuangan di KLD 14, terim a kasih telah saling
mendukung, saya senang memiliki rekan sejawat yang hebat seperti kalian.
10. Seluruh staf Klinis, terima kasih banyak karena telah menjadikan saya mampu
mencapai cita-cita besar saya.

Dan teruntuk banyak pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
terim a kasih. Semoga Allah membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik.
Mudah-mudahan, saya selalu diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu
yang saya miliki. Mudah-mudahan, saya selalu bisa bersyukur.

Depok, Juli 2010


Angesty Putri Ageng

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


ABSTRAK

Nama : Angesty Putri Ageng

Program Studi : Psikologi Klinis Dewasa


Judul : Rancangan Intervensi Pemulihan Trauma Bagi
Perempuan yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual
dalam Hubungan Pacaran

Penelitian ini disusun dengan tujuan memahami dinamika dampak psikologis,


khususnya trauma, pada perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual
dalam hubungan pacaran untuk kemudian dibuatkan rancangan intervensi yang
dapat diaplikasikan pada klien dengan kasus serupa. Partisipan beijumlah dua
perempuan berusia 24 dan 25 tahun.

Pendekatan penelitian adalah kualitatif tipe studi kasus intrinsik. Asesmen


dilakukan dengan teknik wawancara mendalam sebanyak lima pertemuan dan
observasi sebagai teknik pendukung, Analisis dilakukan secara interkasus.

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat empat tema utama yang
muncul dari partisipan sebagai dampak psikologis dari kekerasan seksual dalam
hubungan pacaran, yaitu masih dirasakannya simtom-simtom PTSD, konsep diri
negatif, permasalahan dalam relasi interpersonal berikutnya, dan traumatisasi
seksual. Atas alasan urgensi, maka untuk rancangan intervensi dipilih dua dari
empat area tersebut, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual.

Rancangan intervensi berbentuk modul dan menggunakan pendekatan behavioral


kognitif untuk pemulihan trauma. Teknik-teknik behavioral diberikan untuk area
simtom-simtom PTSD, sedangkan teknik-teknik kognitif diberikan untuk area
traumatisasi seksual.

Kata kunci :
Kekerasan seksual, dampak psikologis, simtom-simtom PTSD, konsep diri, relasi
interpersonal, traumatisasi seksual, pendekatan behavioral kognitif

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


ABSTRACT

Name : Angesty Putri Ageng

Study Program : Clinical Adult Psychology


Title : Trauma Recovery Intervention Plan for Female as Victims
o f Sexual Violence in Courtship

Purpose of this research was to understand the dynamic process of psychological


impacts, especially trauma, which happened to female who had experienced
sexual violence in courtship. Therefore, researcher made an intervention plan that
can be applied into similar cases. Participants of this research was two female
aged 24 and 25 years old.

Research was using qualitative approaches with intrinsic case study type.
Assessment done by depth-interview methods to the participants in five sessions.
Observational methods was also used as additional technique. Afterwards,
analysis being used was intercases analysis.

Result of the analysis showed that there was four main theme of the psychological
impacts of sexual violence in courtship experienced by participants, which are
PTSD symptoms, negative self concept, problems in interpersonal relationship,
and sexual traumatization. Therefore, researcher chose two o f them based on
urgency, which are PTSD symptoms and sexual traumatization.

Intervention plan made in module and was using behavioral cognitive approaches
suggested for trauma recovery. Behavioral techniques can be given for PTSD
symptoms area, while cognitive techniques can be given for sexual traumatization
area.

Kata kunci :
Sexual violence, psychological impacts, PTSD symptoms, self concept,
interpersonal relationship, sexual traumatization, behavioral cognitive approaches

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILM IA H .................. iv
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN..................................................................xil
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Penelitian......................................................................... 1
1. 2. Perumusan Masalah Penelitian.................................................................9
1. 2.1. Permasalahan Utama............................................................................. 9
1.2.1. Permasalahaan Turunan....................................................................... 10
1. 3. Tujuan Penelitian...................................................................................... 10
1.4. Signifikansi Penelitian...............................................................................11
1. 5. Isu Etis................................ ........................................................................ 11
1. 6. Cakupan Penelitian......................................................................................12
1. 7. Sistematika Penulisan.................................................................................. 12

BAB 2. KAJIAN TEO R I................................................................................. 14


2. 1. Seksualitas Perempuan................................................................................ 14

2. 1. 1. Dimensi Seksualitas................................................................................. 14
2. 1.2. Sistem Nilai Seksual dan Makna Seks bagi Perempuan..........................16
2. 1.3. Faktor yang Mempengaruhi Seksualitas dan Perilaku Seksual...............17
2. 2. Kekerasan dalam Hubungan Pacaran.......................................................... 18

viii

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


2. 2. 1. Fisik......................................................................................................... 19
2. 2. 2. Emosional............................................................................................... 20
2. 2. 2. Seksual.....................................................................................................20
2. 3. Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran............................................21
2. 3. 1. Definisi..................................................................................................... 21
2. 3. 2. Date R ape................................................................................................22
2. 4. Dampak Psikologis Kekerasan Seksual......................................................20
2. 3. Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran............................................ 21
2. 3.1. Definisi..................................................................................................... 21
2. 3. 2. Date R ape................................................................................................ 22
2. 4. Dampak Psikologis Kekerasan Seksual...................................................... 24
2. 4. 1. Reaksi Traumatis.....................................................................................24
2. 4. 2. Perubahan dalam Beliefs dan Pandangan Terhadap Lingkungan........ 25
2. 4. 3. Trauma Seksual dan Perilaku Beresiko Tinggi.......................................26
2. 5. Trauma..........................................................................................................27
2. 5. 1. Trauma Akibat Kekerasan Seksual......................................................... 27
2. 5. 2. Tahapan yang Dilalui Korban Kekerasan Seksual................................. 29
2. 6. Penanganan Trauma Akibat Kekerasan Seksual........................................ 31
BAB 3. METODE PENELITIAN.....................................................................35
3. 1. Pendekatan Penelitian................................................................................. 35
3. 2. Tipe Penelitian.............................................................................................36
3. 3. Karakteristik Partisipan............................................................................... 36
3. 4. Metode Sampling........................................................................................ 37
3. 5. Metode Pengumpulan Data......................................................................... 37
3. 6. Instrumen Penelitian....................................................................................38
3. 7. Prosedur Penelitian......................................................................................38
3. 7. 1. Tahap Persiapan.......................................................................................38

ix

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


3. 7. 2. Tahap Pelaksanaan..................................................................................39
3. 7. 3. Tahap Pencatatan dan Pengaturan Data.................................................40
3. 8. Proses Analisis Data................................................................................... 41
3. 9. Penyusunan Rancangan Intervensi........................................................... 42
BAB 4. DATA DAN KESIMPULAN AWAL................................................ 43
4. 1. Data Partisipan 1: DIAN............................................................................. 43
4. 1.1. Identitas....................................................................................................43
4. 1. 2. Gambaran Kasus..................................................................................... 43
4. 1.3. Observasi................................................................................................ 47
4. 1.4. Ringkasan Wawancara............................................................................48
4. 2. Data Partisipan 2: TIA................................................................................ 58
4. 1.1. Identitas ........................................................................... 58
4. 1. 2. Gambaran Kasus..................................................................................... 58
4. 1.3. Observasi.................................................................................................62
4. 1.4. Ringkasan Wawancara.............................................................................63
4. 3. Analisis Kasus..............................................................................................73
4. 3.1. Konteks Lingkungan dan Pembentukan Seksualitas............................. 73
4. 3.2. Reaksi Psikologis Pasca Kekerasan Seksual......................................... 76
4. 3. 3. Dampak Psikologis Jangka Panjang....................................................... 78
4. 3. 4. Trauma..................................................................................................... 81
4. 3. 5. Pandangan Mengenai Diri, Seks, dan Seksualitas..................................82
4. 4. Dinamika Trauma Akibat Kekerasan Seksual pada Partisipan................. 84
4. 5. Penentuan Sasaran Intervensi......................................................................87
BAB 5. RANCANGAN INTERVENSI........................................................... 93
5. 1. Area Sasaran Intervensi............................................................................... 93
5. 2. Metode Intervensi........................................................................................94
5. 3. Desain Rancangan Intervensi.......................................................................95

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


5. 4. Rincian Kegiatan Intervensi.........................................................................99
BAB 6. DISKUSI................................................................................................102
6. 1. Kontribusi Karakteristik Kepribadian dan Pola Asuh Partisipan terhadap
Kondisi Psikologis Pasca Trauma
102
6. 2. Keterkaitan Antara Keempat Area Intervensi............................................ 103
6. 3. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Intervensi......................... 104
6. 4. Temuan Lain................................................................................................ 106
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................108
7. 1. Kesimpulan.................................................................................................. 108
7. 1. 1. Gambaran Partisipan............................................................................... 108
7. 1.2. Analisis Kasus.......................................................................................... 109
7. 1.3. Rancangan Intervensi.............................................................................. 110
7. 2. Saran............................................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 112
LAMPIRAN

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel 3. 1. Rincian Waktu Wawancara............................................................. 39


Tabel 3.2. Prosedur Penelitian.......................................................................... 41
Tabel 4. 1. Perbandingan Kasus Dian dan T ia ................................................... 84
Tabel 4. 2. Dinamika Trauma............................................................................. 86
Bagan 4. 3. Dinamika Dampak Psikologis Kekerasan Seksual......................... 91
Tabel 4. 2. Dinamika Trauma............................................................................. 86
Tabel 4. 2. Dinamika Trauma............................................................................. 86
Tabel 5. 1. Desain Rancangan Intervensi........................................................... 95
Tabel 5. 2. Rangkuman Sesi..............................................................................100

xii

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Modul Intervensi Pemulihan Trauma Bagi Perempuan yang Pernah Mengalami
Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran
Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Cuplikan Verbatim

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


1

BABI
PENDAHULUAN

Bab pertama dari penelitian ini menguraikan tentang latar belakang penelitian,
perumusan masalah penelitian yang berupa pertanyaan-pertanyaan utama dan turunan,
tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitan, serta sistematika
penulisan.

1.1. Latar Belakang Penelitian


Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin marak terjadi. Kita
dapat melihat beritanya melalui berbagai media seperti koran, televisi, radio, dan
sebagainya. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam beberapa bentuk, di
antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikologis, deprivasi ekonomi, diskriminasi,
serangan seksual, kekerasan seksual, intimidasi berbasis gender, dan perdagangan
perempuan (Komnas Perempuan, 2002). Kekerasan fisik terjadi berupa tamparan,
pemukulan, penyekapan, sedangkan kekerasan psikologis misalnya berupa makian,
penghinaan secara verbal, cacan, dan umumnya berlangsung dalam relasi personal
(Poerwandari, 2008). Kekerasan deprivasi ekonomi dapat berupa perempuan tidak diberi
nafkah dan dilarang bekerja, hampir serupa dengan diskriminasi. Contohnya adalah
orangtua menyuruh anak perempuan tidak bersekolah sedangkan anak laki-laki
bersekolah.
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam beberapa dekade terakhir
mulai menjadi perhatian peneliti (Rollins, 1996). Hal ini karena kekerasan seksual
dirasakan memiliki dampak psikologis yang besar terhadap korban (Copeland & Harris,
2000). Kekerasan seksual adalah perilaku seksual yang dipaksakan kepada korban yang
secara emosional, kematangan, dan kognitif lebih rendah dibandingkan pelaku, sehingga
hubungan yang terjadi dilandasi oleh posisi dominan dan kekuasaan dari pelaku
(Wickham & West, 2002). Kekerasan seksual memiliki efek jangka pendek dan jangka
panjang terhadap fungsi psikologis korban. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


2

bahwa dampak psikologis pasti dialami korban. Beberapa di antara hasil penelitian
menyatakan bahwa dua per tiga dari korban kekerasan seksual akan mengalami simtom-
simtom psikologis, dan seperempat di antaranya mengalami kesulitan yang lebih parah
(Berliner & Elliott, 1996; Kendall-Tacket et al, 1993; Wolfe & Birt, 1995 dalam
Wickham & West, 2002).
Sebelum membahas kekerasan seksual lebih lanjut, perlu adanya penjelasan
mengenai perbedaan antara beberapa kejahatan seksual yang seringkali membingungkan
masyarakat awam (O’Donohue, 1997). Salah satu bentuik kejahatan seksual selain
kekerasan adalah pemerkosaan, yang diartikan sebagai penetrasi vaginal atau anal oleh
seseorang terhadap orang lain tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan meskipun
dilakukan secara lembut (Koss & Harvey, 1991). Beberapa literatur menyebutkan bahwa
pemerkosaan merupakan bentuk ekstrim dari pelecehan seksual (Kelly, 1988).
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran
hingga menimbulkan reaksi negatif, seperti rasa malu, marah, tersinggung dan
sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan seksual (Welsh, 1999). Lebih
lanjut, Welsh (1999) menjelaskan bahwa rentang pelecehan seksual sangat luas, meliputi:
main mata, siulan nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan,
tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat
seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan
hubungan seksual, sampai dengan pemerkosaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai
payung besar dari kejahatan seksual (Rollins, 1996). Terdapat beberapa pandangan yang
berbeda dari masyarakat mengenai kekerasan seksual. Sebagian berpendapat bahwa
kekerasan seksual lebih banyak terjadi oleh pelaku yang tidak dikenal atau orang asing.
Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual lebih banyak
dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban, bahkan memiliki relasi personal
(Komnas Perempuan, 2002). Survei yang dilakukan oleh National Victim Center di tahun
1990 menunjukkan hasil bahwa 683.000 kasus perkosaan terjadi pada tahun tersebut dan
sebagian besar korban berusia di bawah 18 tahun. 22% di antara kasus perkosaan tersebut
pelakunya adalah orang tidak dikenal. Selebihnya, pelaku merupakan teman atau kerabat

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


3

yang dikenal (National Victim Center, 1992). Salah satu relasi personal yang bisa
memunculkan kekerasan seksual adalah hubungan pacaran (Llyod, 1991 dalam Rollins,
1996).
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga
CDomestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada
remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (Kekerasan
Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam
berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran
adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh
manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal
tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya
informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini (Zulfah, 2007).
Pada hubungan pacaran, umumnya kekerasan seksual diwamai oleh kekerasan
fsik dan psikologis (Komnas Perempuan, 2002). Hal tersebut karena untuk bisa
melakukan hubungan seksual yang tidak diinginkan korban, pelaku juga menggunakan
ancaman baik secara fisik maupun emosional. Kekerasan seksual dalam hubungan
pacaran seringkali diistilahkan dengan date rape. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
acquaintace rape dan date rape biasanya dilakukan oleh satu pelaku, namun serangan
umumnya terjadi berulang kali oleh pelaku yang sama tersebut (Koss, Dinero, Seibel, &
Cox, 1988 dalam Rollins, 1996; Alien, 2005). Hal ini terjadi karena pelaku adalah orang
yang dianggap dekat dengan korban dan memiliki kontak yang intens dengan korban, di
mana jenis kasus pemerkosaan inilah yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan
pemerkosaan oleh orang asing (Koss, Koss, & Woodruff, 1991 dalam Alien, 2005;
Komnas Perempuan, 2002).
Catatan Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta memperlihatkan bahwa
selain kekerasan terhadap istri, kekerasan di masa pacaran tampil menonjol dibandingkan
bentuk atau fenomena kekerasan lain (Komnas Perempuan, 2002). Selain yang telah
digolongkan dalam kekerasan di masa pacaran, ada pula kasus perkosaan yang dilakukan
oleh pacar, atau orang-orang yang telah dikenal dekat sang korban. Kehamilan tidak
dikehendaki juga banyak terjadi dalam masa pacaran. Rumah Sakit Bhayangkara di
Makassar yang telah membuka pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam menangani

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


4

masalah kekerasan terhadap perempuan mendapatkan bahwa dari tahun 2000-2001 ada 7
kasus KDP yang dilaporkan. (Kompas-online 4 Maret 2002). Sedangkan PKBI
Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47
kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20%
mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8%
lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi (Kompas, 20 Juli 2002 dalam
http://wvvw.bkkbn.go.id ).
Tidak hanya di Indonesia, di luar negeripun banyak terjadi kekerasan dalam
hubungan pacaran pada remaja. Salah satu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa dari 77 remaja sekolah menengah yang mengaku mengalami kekerasan saat
sedang berpacaran, 66% dari mereka mengaku bahwa selain mengalami kekerasan,
mereka juga melakukan kekerasan itu sendiri pada pasangan mereka (mutually violent
relationship). Remaja tersebut juga dilaporkan mengalami kekerasan dalam tingkat yang
berat, sehingga menderita luka-luka. Zulfah (2007) menulis mengenai sebuah diskusi
mengenai KDP, di mana para remaja putri melaporkan bahwa dalam 70% waktu pacaran
mereka, pasangannya melakukan pelecehan.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan konteks antara Indonesia dengan di luar
negeri. Pada budaya Timur yang masih menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk
diperbincangkan, kasus kekerasan cenderung menjadi isu yang lebih sensitif dan privat
(Poerwandari, 2008). Terlebih lagi jika pelakunya dekat dengan korban dan memiliki
reputasi yang baik di lingkungannya, maka korban umumnya akan memilih untuk tidak
mengekspos kekerasan yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2002).
Dengan demikian, banyak hasil penelitian yang mendukung bahwa perempuan
rentan terhadap tindak kekerasan yang justru dilakukan oleh orang-orang dekat, orang-
orang yang dipercaya, dan diyakini masyarakat melindungi, mengayomi, dan
mencintainya (Koss dan Harvey, 2000). Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk
seksual yang memiliki hasrat seksual (Bergen, 1998). Namun, perilaku seksual yang tidak
dikehendaki dapat berpengaruh buruk terhadap individu, di mana pandangan individu
terhadap hubungan seks bisa menjadi negatif karena adanya pemaksaan atau penyerangan
secara seksual (Rollins, 1996).

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


5

Dalam konteks kekerasan seksual, hal tersebut dapat menimbulkan dampak serius
pada korban, mengingat banyak individu yang tidak menyangka bahwa orang yang
dicintainya akan tega melakukan kejahatan kepadanya (Ayling & Ussher, 2008). Reaksi
psikologis yang muncul segera setelah individu mengalami kekerasan seksual di
antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas,
dan menarik diri (Balise dalam Kendal 1-Tackett, 2005). Reaksi traumatis yang terjadi
secara langsung setelah kekerasan terjadi dapat berlangsung selama beberapa minggu dan
biasanya mencapai puncaknya pada minggu ketiga (Davidson & Foa, 1991 dalam
Kendall-Tackett, 2005).
Dampak psikologis lainnya adalah perempuan korban kekerasan seringkali
merasakan harga dirinya rendah atau menurun, merasa bersalah, malu, mengalami
gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres pasca trauma, dan permasalahan seksual.
Reaksi traumatis ini dapat berlangsung selama 18 bulan lamanya atau bahkan lebih
(Resick, 1987 dalam Kendall-Tackett, 2005). Pada sebagian perempuan, masalah psikis
dalam bentuk reaksi traumatis bisa berlangsung selama beberapa tahun (Hanson, 1990
dalam Kendall-Tackett, 2005). Dalam jangka panjang, permasalahan yang umumnya
muncul pada perempuan korban kekerasan seksual adalah permasalahan seksual, di
antaranya menghindari seks, kurangnya minat terhadap seks, ketakutan akan seks
(Becker, Skinner, Abel, & Cichon, 1986).
Kekerasan seksual sangat berdampak terhadap bagaimana korban memandang
dunianya. Bagi beberapa perempuan, pengalaman kekerasan menimbulkan konflik antara
keyakinan yang sebelumnya dengan fakta-fakta yang muncul dari peristiwa kekerasan
(Koss & Harvey, 2000). Contohnya, jika sebelum peristiwa individu melihat dunia aman,
setelah peristiwa akan mulai mempertanyakan kayakinannya tersebut. Umumnya, korban
akan mengalami perubahan beliefs mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan
intimacy (Kendall-Tackett, 2005; Allen, 2005).
Dampak lainnya adalah dalam hal konsekuensi sosial. Perempuan yang menderita
kekerasan seksual sering mengalami stigma dan penolakan wajah oleh mitra, suami,
keluarga, dan masyarakat (LBH Apik, 2006). Tidak semua lingkungan menunjukkan
penerimaan yang baik terhadap korban kekerasan seksual atau pemerkosaan.
Pemerkosaan juga berdampak cukup signifikan dalam menurunnya kualitas dan kuantitas

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


6

hubungan intim (Mackey et al, 1002 dalam Kendal 1-Tackett, 2005), yang kemungkinan
besar juga berkaitan dengan permasalahan seksual dan rusaknya kepercayaan tehadap
lawan jenis. Dengan orang lain seperti teman, keluarga, atau pasangan, hubungan
individu juga bisa menjadi buruk karena adanya ketegangan dalam hubungan tersebut
pasca peristiwa (CrowelI & Burgess, 1996 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma kerap memunculkan perilaku
beresiko pasca kekerasan seksual sebagai efek emosional atau rentannya psikis korban
(Dallam dalam Kendall-Tackett, 2005). Hasil penelitian Lipschitz, Grilo, Fehon,
McGlashan, dan Southwick (2000, dalam Kendall-Tackett, 2005) menunjukkan bahwa
gangguan stres pasca trauma berkorelasi signifikan dengan penggunaan obat dan alkohol.
Perilaku beresiko umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping terhadap efek
viktimisasi yang tidak tertahankan (Bailón, Courbasson, & Smith, 2001 dalam Kendall-
Tackett, 2005). Perilaku beresiko dapat berupa penggunaan alkohol dan obat-obatan,
gangguan makan (binging andpurging), merokok, koitus dini, inaktivasi fisik, kekacauan
seksual (sexual promiscuity), dan perilaku seksual yang tidak terprediksi. Kesemua
perilaku tersebut sangat mungkin terjadi pada perempuan yang pernah mengalami
viktimisasi.
Rollins (1996) mengemukakan bahwa wanita yang mengalami kekerasan seksual
rentan terhadap gangguan stres pasca trauma dan psikopatologi. Simtom-simtom stres
pasca trauma meliputi mengalami kembali peristiwa, mimpi buruk, flashbacks,
menghindari pengingat dan pemikiran tentang peristiwa, mengurangi interaksi dengan
teman-teman, perasaan ingin menyendiri, emosi yang tertahan, gangguan tidur, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, perasaan bersalah, dan sangat merasa ketakutan
(Foa, Rothbaum, Riggs, & Murdock, 1991, dalam Rollins, 1996). Salah satu hasil
penelitian menunjukkan bahwa gangguan stres pasca trauma dialami oleh 94 % korban
pemerkosaan selama 12 hari setelah peristiwa, dan 46% setelah tiga bulan berlalu. Faktor
yang mempengaruhi keparahan dampak yang dialami korban adalah self-blame (Frazier,
1990 dalam Anderson, Taylor, & Herrmann, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa trauma merupakan salah
satu dampak psikologis yang cukup serius dialami korban, tidak hanya dalam jangka
waktu pendek tetapi juga bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan tidak bisa

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


7

diprediksi. Dalam jangka panjang, kekerasan seksual berdampak traumatis terhadap


korban dalam hal kepercayaan terhadap pasangan, beliefs yang salah mengenai seks dan
hubungan intim, serta perilaku beresiko yang bisa memperburuk keadaan psikis korban.
Browne dan Finkelhor (1986 dalam Wickham & West, 2002). Masih menurut sumber
yang sama, korban juga bisa mengalami traumatisasi seksual, yang berimplikasi pada
perilaku seks atipikal. Traumatisasi seksual dapat tampak dari berkurangnya minat
terhadap seks atau sebaliknya, korban mengalami kekacauan seksual setelah mengalami
kekerasan (Dallam dalam Kendall-Tackett, 2005).
Penanganan trauma pada korban kekerasan seksual bisa dilakukan dengan
beberapa cara. Sebagian perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual
mengembangkan strategi copirtg yang diyakininya bisa mengurangi atau meredam
perasaan-perasaan negatif (Rollins, 1996). Beberapa cara yang umumnya dilakukan
adalah secara verbal seperti menangis, berteriak-teriak, serta secara non verbal seperti
berjalan-jalan atau berdiam diri di kamar dan tidak mau bergaul dengan orang lain di luar
rumah (Kelly, 1988). Psikoterapi bisa diberikan dengan pendekatan kognitif yaitu
cognitive reappraisals yang tujuan utamanya adalah meredefinisikan pemerkosaan
sebagai kejadian yang bukan salah mereka, dan membantu korban untuk berpikir positif
(Rollins, 1996). Terapi, khususnya terapi behavioral kognitif (CBT) atau terapi proses
kognitif yang dikembangkan untuk mengurangi simtom-simtom stres pascatrauma pada
korban pemerkosaan juga bisa menjadi efektif dengan formula yang tepat bagi korban
(Foa et al., 1991; Resick & Schnike, 1992 dalam Rollins, 1996).
Dua pendekatan behavioral kognitif yang juga efektif diaplikasikan pada korban
adalah stress inoculation techniques (SIT) dan prolonged exposure (PE) (Foa et al. 1991
dalam Rollins, 1996). Termasuk dalam pendekatan SIT adalah latihan bernafas, relaksasi
otot, penghentian pemikiran obsesif, yang efektif bagi simtom yang tampak. PE bisa
dilakukan dengan cara korban menceritakan kejadian yang dialaminya dan direkam,
kemudian ia mendengarkannya kembali selama beberapa sesi. Teknik ini dapat
mengurangi kecemasan, depresi, dan distres yang berkaitan dengan kejadian dalam
jangka panjang pasca kejadian. Sementara itu, penekanan CPT adalah pada ekspresi afek,
di mana komponen eksposumya adalah menuliskan dan membaca kembali detail
kejadian. Komponen kognitif terdiri dari pelatihan untuk mengidentifikasi pemikiran dan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


s

afek, teknik untuk menantang keyakinan maladaptif, dan penyusunan modul intervensi
yang spesifik dengan sasaran lima area keyakinan, yaitu keamanan, kepercayaan,
kekuatan, harga diri, dan keintiman (Resick & Schnike,1992 dalam Kendall-Tackett,
2005).
Tokoh lain yaitu Gallo-Lopez (2000 dalam Wickham dan West, 2002)
mengajukan empat area yang sebaiknya difokuskan untuk terapi pada korban kekerasan
seksual, yang mencakup:
1. Memperlakukan individu dengan hak-haknya, dengan memberikan ruang
untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri mereka sendiri.
2. Menekankan pada traumatisasi seksual, stigmatisasi, perasaan dikhianati, dan
ketidakberdayaan, yang diharapkan bisa memperbaiki gambaran diri, fungsi
kognitif, dan ekspresi perasaan.
3. Membantu individu untuk memahami fungsi diri sesuai dengan usianya, rasa
percaya diri, dan harga diri.
4. Memberikan edukasi kepada lingkungan di sekitar individu agar dapat
berespon secara efektif terhadap kebutuhan individu.
Menurut Basile (dalam Kendall-Tackett, 2005), trauma akibat kekerasan seksual
melibatkan perasaan kehilangan power dan koneksi dengan orang lain, sehingga
pemulihan trauma pada korban harus didasari dengan konsep pemberdayaan
(empowermenf). Herman (1992) dalam bukunya Trauma and Recovery mengemukakan
bahwa terdapat tiga tahap dalam proses pemulihan trauma pada penyintas kekerasan
seksual, yakni:
1. Membangun rasa aman (.Establishing safety). Tahap ini melibatkan langkah-
langkah yang tujuannya adalah membuat individu merasa nyaman dan aman
menjalani kehidupan selanjutnya. Contoh sasaran dalam tahap ini adalah
mengajarkan individu untuk memilih lingkungan yang terjamin keamanannya,
mendorong individu untuk memperoleh kembali sense o f self-nya dan bahwa
dirinya memiliki kontrol terhadap hidupnya sendiri, serta manajemen stres.
2. Mengingat dan Berduka (Remembrance and Mouming). Pada tahap ini,
individu diperkenankan mengeluarkan semua cerita dan perasaannya
mengenai kekerasan seksual yang dialami, memaknainya, serta bersedih

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


9

sebebasnya (grieves the experiences). Setelah mengenali dan memahami apa


yang terjadi pada dirinya dan melepaskan bebannya, individu diarahkan untuk
bisa mengelola perasaan-perasaan negatif.
3. Rekoneksi. Tahap ini bertujuan untuk memberikan makna baru dalam diri
partisipan setelah ia mengembangkan beliefs yang salah akibat kekerasan
seksual. Individu juga membangun hubungan-hubungan baru serta
menciptakan diri dan masa depan yang baru. Herman percaya bahwa
pemulihan trauma pada penyintas sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan
orang lain yang suportif, sehingga diperlukan peran significant others dalam
proses recovery.

Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan untuk menangani klien dengan
trauma akibat kekerasan seksual adalah cognitive processing therapy (CPT) (Raesick &
Schicke, 1993). Pada dasarnya, pendekatan kognitif behavioral juga dikembangkan
berdasarkan CPT. Teknik utama yang digunakan dalam CPT adalah restrukturisasi
pikiran, yang sasarannya adalah keyakinan atau pemikiran klien yang salah mengenai
dirinya sendiri. Oleh karena itu, CPT efektif diaplikasikan pada klien yang memiliki
kapasitas kognitif yang baik.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
pembahasan secara mendalam mengenai trauma yang dialami perempuan yang pernah
mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Pengalaman partisipan dilihat
berdasarkan aspek seksualitas yang menjadi dasar dari konstruksi sosial manusia sebagai
makhluk seksual (Rollins, 1996). Dampak psikologis secara keseluruhan yang tampak
dari partisipan juga akan menjadi pembahasan dengan fokus pada efek traumatis. Trauma
yang dialami partisipan diharapkan akan bisa ditangani dengan menggunakan intervensi
yang nantinya akan dirancang oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dan analisis
kasus.

1.2. Perumusan Masalah Penelitian


1.2.1. Permasalahan Utama
Permasalahan umum yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


10

”Bagaimana pendekatan behavioral kognitif dapat diaplikasikan pada rancangan


intervensi untuk perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual dalam
hubungan pacaran?"

1. 2. 2. Permasalahan Turunan
Untuk dapat menjawab pertanyaan utama, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan
yang terkait dengan implikasi dari kekerasan seksual yang dialami partisipan. Oleh
karena itu, berdasarkan permasalahan umum yang telah diajukan, maka terdapat beberapa
permasalahan turunan yang mencakup pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik, yang
juga diajukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Seperti apa konteks lingkungan di mana partisipan dibesarkan?
2. Perasaan-perasaan apa yang muncul saat partisipan mengalami kekerasan
seksual?
3. Dampak psikologis apa saja yang dialami setelah partisipan mengalami
kekerasan seksual?
4. Bagaimana trauma yang dirasakan partisipan terkait dengan kekerasan seksual
yang dialaminya?
5. Bagaimana pandangan partisipan mengenai seks?
6. Bagaimana pandangan partisipan mengenai dirinya sendiri, khususnya dalam
seksualitas?

1. 3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya:
1. Menemukenali keterkaitan antara konteks lingkungan di mana partisipan
dibesarkan dengan kekerasan seksual yang dialaminya.
2. Memahami dinamika psikologis partisipan terkait dengan kekerasan seksual
yang dialaminya, terutama perasaan-perasaan yang muncul.
3. Menemukenali permasalahan-permasalahan yang dialami partisipan sejak
terjadinya peristiwa sampai dengan saat ini sebagai dampak psikologis dari
kekerasan seksual.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


11

4. Mengetahui sejauh mana partisipan mengalami trauma sebagai salah satu


dampak psikologis dari kekerasan seksual.
5. Mengetahui pandangan partisipan sebagai korban kekerasan seksual mengenai
seks dan seksualitas.

1. 4. Signifikansi Penelitian
Adapun untuk selanjutnya, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memperkaya khasanah penelitian mengenai dampak psikologis, khususnya
trauma, pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual dalam hubungan
pacaran.
2. Menjadi referensi bagi penelitian dengan bidang kajian serupa.
3. Memberikan pendampingan psikologis kepada partisipan, terutama dalam hal
dukungan moriil agar partisipan semakin mampu menghadapi
permasalahannya.
4. Merancang intervensi yang bisa diberikan kepada partisipan untuk membantu
mengatasi trauma yang masih dirasakan hingga kini akibat kekerasan seksual
dalam hubungan pacaran.

1. 5. Isu Etis
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini merupakan hal yang cukup
sensitif untuk digali, mengingat para partisipan sebagai korban kekerasan seksual tidak
ingin kasusnya diketahui oleh orang lain. Mereka juga merasa bahwa seksualitas
merupakan hal yang tabu untuk diperbincangkan secara terbuka dengan orang lain. Oleh
karena itu, peneliti akan menyamarkan identitas partisipan dengan menggunakan nama
yang berbeda demi menjaga kerahasiaan identitas partisipan yang sebenarnya.
Penyamaran nama ini dilakukan sejak menuliskan nama partisipan di transkrip,
mencantumkan identitas, hasil obervasi dan anamnesa, serta analisis kasus dan hingga
akhir penelitian. Hal ini dilakukan dan diberitahukan kepada partisipan agar mereka
merasa nyaman dan tidak merasa terancam saat berpartisipasi dalam penelitian sehingga
tidak takut identitasnya terbongkar.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


12

Hal lain yang perlu untuk dijelaskan adalah bahwa peneliti hanya akan
menggunakan data penelitian dari para partisipan untuk tujuan penyusunan tesis ini saja
dan tidak akan digunakan untuk kepentingan lain, terlebih lagi yang memungkinkan
timbulnya kerugian bagi diri partisipan. Untuk menjamin kesemuanya itu, peneliti
memberikan informed consent kepada para partisipan sebelum mereka mulai
berpartisipasi dalam penelitian sebagai bentuk kesepakatan bersama antara peneliti
dengan partisipan.

1. 6. Cakupan Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada tema kekerasan seksual yang terjadi dalam
hubungan pacaran beserta dampak psikologis yang dialami korban, khususnya trauma.
Karakteristik partisipan penelitian adalah mereka yang berjenis kelamin wanita, berada
dalam tahap perkembangan dewasa muda (usia 20-40 tahun), pernah mengalami
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dalam jangka waktu lebih dari dua tahun, dan
masih merasakan dampak psikologis khususnya trauma akibat kejadian tersebut hingga
saat penelitian dilaksanakan.

1. 7. Sistematika Penulisan
Penelitian berbentuk rancangan ¡intervensi ini ini terdiri dari tujuh bab, yang
masing-masingnya akan diuraikan sebagai berikut.
Bab 1 Pendahuluan, berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah
penelitian (mencakup permasalahan umum dan permasalahan turunan), tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, serta sistematika penulisan dalam
laporan penelitian ini.
Bab 2 Kajian Teori, termasuk di dalamnya adalah teori mengenai kekerasan
seksual dan dampak psikologis yang ditimbulkannya, trauma, serta teori mengenai jenis
intervensi atau penanganan untuk para korban kekerasan seksual yang mengalami
trauma.
Bab 3 Metode Penelitian, berisikan data mengenai metodologi penelitian, di
antaranya tipe dan pendekatan penelitian, karakteristik partisipan penelitian, metode

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


13

sampling, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, prosedur/tahapan penelitian,


proses analisis data, serta proses perancangan intervensi.
Bab 4 Data dan Kesimpulan Awal, yang mencakup seluruh data mengenai
partisipan penelitian yang memenuhi karakteristik dan telah diambil datanya. Termasuk
di dalamnya adalah identitas, gambaran kasus, observasi, serta anamnesa. Kemudian, bab
ini juga menguraikan Kesimpulan Awal mengenai partisipan berupa analisis kasus dan
dinamika kasus, serta penyimpulan mengenai sasaran intervensi berdasarkan karakteristik
kasus.
Bab 5 Rancangan Intervensi, berisikan alasan penentuan target modifikasi,
metode yang digunakan, kondisi pre intervensi dan post intervensi, rangkaian kegiatan
intervensi yang akan diberikan kepada partisipan yang disusun berdasarkan data dan
kesimpulan awal serta analisis kasus.
Bab 6 Diskusi, mencakup temuan penelitian di luar kerangka teori yang sudah
dibuat, dan juga mengenai faktor-faktor yang mendukung atau menghambat keberhasilan
intervensi.
Dan yang terakhir adalah Bab 7 Kesimpulan dan Saran yang memuat kesimpulan
secara keseluruhan mengenai penelitian ini dan saran yang bisa diajukan terkait dengan
penelitian ini.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


14

BAB 2
KAJIAN TEORI

Bab ini menjelaskan tentang landasan teoritis yang digunakan dalam


penelitian dan penyusunan rancangan intervensi, di antaranya adalah teori mengenai
seksualitas perempuan, kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan pacaran,
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran, dampak psikologis yang dialami korban
kekerasan seksual, trauma, dan teori mengenai intervensi yang digunakan untuk
penanganan trauma pada korban kekerasan seksual.

2.1. Seksualitas Perempuan


Seksualitas memiliki arti yang luas, meliputi bagaimana seseorang merasa
tentang dirinya dan bagaimana mengkomunikasikan perasaan itu terhadap orang lain
melalui tindakan seperti, sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, atau melalui perilaku
yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan
kata (Zahid, 1990 dalam Pumawan, 2004). Raharjo (1999 dalam Potter & Peny,
2005) menjelaskan bahwa seksualitas merupakan konsep, konstruksi sosial terhadap
nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks. Senada dengan itu, Rollins
(1996) dan Peplau (2003) menyatakan bahwa seksualitas selain yang telah disebutkan
juga mencakup konsep-konsep yang menekankan pada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan sebagai makhluk seksual.
Pembahasan mengenai seksualitas diperlukan untuk melihat bagaimana
pembentukannya pada individu dan sejauh mana konteks lingkungan berpengaruh
dalam konstruksi peran individu sebagai makhluk seksual. Aspek-aspek seksualitas
perempuan juga dapat menjelaskan bagaimana individu satu dengan yang lainnya bisa
menunjukkan respon yang berbeda-beda dalam menghadapi stimulus seksual, dalam
hal ini kekerasan, yang menjadi tema dalam penelitian ini.

2 . 1 . 1 . Dimensi Seksualitas
a. Dimensi Sosiokultural
Dimensi sosiokultural merupakan dimensi yang melihat bagaimana
seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


15

menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan sosial, serta


bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.
Masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai dan
sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan
ekspresi seksual anggotanya. Misalnya bagi bangsa timur, melakukan
hubungan intim (senggama) di luar nikah merupakan aib walaupun sekarang
mulai memudar, akan tetapi bagi masyarakat Barat hal tersebut merupakan hal
yang wajar dan biasa teijadi (Pumawan, 2004).
b. Dimensi Agama dan Etik
Seksualitas berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Jika
keputusan seksual yang dibuat individu melawati batas kode etik, maka akan
menimbulkan konflik internal, seperti perasaan bersalah, berdosa dan lain-lain.
Meskipun agama memegang peranan penting, keputusan seksual pada
akhirnya diserahkan pada individu, sehingga sering timbul pelanggaran etik
atau agama. Seperti yang dikemukakan Denney & Quadagno (1992) bahwa
seseorang dapat menyatakan pada publik bahwa ia meyakini sistem sosial
tertentu tetapi berperilaku berbeda secara pribadi.
Michael et al (1994 dalam Purnawan, 2004) membagi sikap dan
keyakinan individu tentang seksualitas menjadi tiga kategori:
1) Tradisional keyakinan keagamaan selalu dijadikan pedoman
bagi perilaku seksual
2) Relasional : -> keyakinan seks merupakan wujud dari hubungan
saling mencintai, tetapi tidak harus dalam ikatan pernikahan
3) Rekreasional: keyakinan seks tidak ada kaitannya dengan cinta
c. Dimensi biologis
Dimensi biologis merupakan dimensi yang berkaitan dengan anatomi
dan fungsional organ reproduksi, termasuk di dalamnya bagaimana individu
menjaga kesehatan reproduksi dan menjalankan fungsi organ reproduksi
secara optimal.
d. Dimensi psikologis
Seksualitas mengandung perilaku yang dipelajari sejak dini dalam
kehidupannya melalui pengamatan terhadap perilaku orang tuanya. Untuk
itulah orang tua memiliki pengaruh secara signifikan terhadap seksualitas
anak-anaknya. Seringkali bagaimana seseorang memandang diri mereka
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


16

sebagai mahluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orang tua
tunjukan tentang tubuh dan tindakan mereka.

2 .1 . 2. Sistem Nilai Seksual dan M akna Seks Bagi Perem puan


Sistem nilai seksual merupakan keyakinan pribadi dan keinginan yang
berkaitan dengan seksualitas (Pumawan, 2004). Sistem nilai seksual dibentuk
sepanjang peijalanan hidup individu. Pengalaman yang berkaitan dengan seks
dapat membuat individu lebih mudah untuk berhadapan dengan masalah
seksual dalam lingkungan atau sebaliknya dapat pula menghambat individu
dalam mengekspresikannya. Seperti pada lingkungan keluarga yang sistem
nilainya ketat dan tidak memperkenankan seks menjadi hal yang dibicarakan,
maka individu menjadi tertutup dan tidak terbiasa mencari informasi yang
diperlukan mengenai seksualitas.
Perempuan membentuk sistem nilai seksual berdasarkan norma-norma
yang ditanamkan kepadanya dari lingkungan. Sayangnya, tidak semua norma
bersifat standar. Salah satunya adalah istilah standar ganda (<double standard)
yang hingga saat ini masih berkembang di masyarakat (Rollins, 1996). Standar
ganda menyatakan bahwa hubungan seks di luar nikah sah-sah saja dilakukan
oleh laki-laki, tidak demikian halnya dengan perempuan. Perempuan dituntut
untuk menahan hasrat seksualnya, sedangkan hasrat seksual laki-laki dianggap
lebih menjadi prioritas. Perbedaan standar ini membuat perempuan
kebanyakan mengalami kesulitan dalam menginternalisasi nilai-nilai budaya
dan sosial yang normatif.
Daniluk (1993 dalam Rollins, 1996) menunjukkan hasil penelitiannya
yaitu bahwa para perempuan yang pengalaman seksnya positif memaknai seks
dalam tiga kategori, yaitu sebagai ekspresi seksual dalam relasi personal,
perwujudan dari mutualisme, dan kesenangan emosional bersama pasangan.
Sementara itu, kekerasan seksual (termasuk di dalamnya inses, pemerkosaan,
pelecehan seksual, dan kekerasan verbal dan fisik) yang pernah dialami
perempuan menyebabkannya mengembangkan pemaknaan yang negatif
terhadap seks, yaitu bahwa seks merupakan hal yang menakutkan dan
membuatnya merasa bersalah.
Dengan demikian, makna seks bagi perempuan berbeda dengan laki-
laki (Sasongko, 2009), di mana sebagian besar laki-laki menganggap seks
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


17

sebagai kesenangan dan hal yang dilakukan untuk menyenangkan pasangan


(pleasure). Sementara itu, seperti yang telah dijelaskan, bagi perempuan seks
makna seks bisa bervariasi. Penelitian Laumann, et al (1994 dalam Rollins,
1996) menemukan bahwa alasan utama perempuan melakukan hubungan seks
adalah karena perasaan cinta dan afeksi terhadap pasangannya meskipun
terdapat paksaan.
Hal tersebut membuat hubungan seksual, khususnya hubungan seksual
pertama, kerap dipersepsi sebagai menyakitkan dan tidak menyenangkan,
bahkan menimbulkan rasa nyeri yang berkepanjangan (Ayling & Ussher,
2008). Masih menurut sumber yang sama, dalam kadar yang lebih parah,
sebagian perempuan merasa kesulitan atau samasekali tidak bisa menikmati
hubungan seksual yang berikutnya meskipun ia mencintai pasangannya karena
kesakitan yang dirasakan pada pertama kali penetrasi.

2 .1 .3 . Faktor yang Mempengaruhi Seksualitas dan Perilaku Seksual


Faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas antara lain:
1. Faktor fisik. Individu dapat mengalami penurunan keinginan
seksual karena alasan fisik, karena bagamanapun aktivitas seks bisa
menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan. Kondisi fisik dapat berupa
penyakit, keletihan, medikasi maupun citra tubuh. Citra tubuh yang buruk
dapat menyebabkan seseorang kehilangan minat atau berubah pandangan
terhadap seks.
2. Faktor Hubungan. Masalah dalam berhubungan (kemesraan,
kedekatan) dapat mempengaruhi individu untuk melakukan aktivitas seksual.
Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan pasangan dalam
berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku seksual yang dapat diterima
dan menyenangkan.
3. Faktor Gaya Hidup. Gaya hidup di sini meliputi
penyalahgunaan zat dalam aktivitas seks yang bisa menimbukan gairah palsu,
ketersediaan waktu untuk mencurahkan perasaan dalam berhubungan, dan
penentuan waktu yang tepat untuk aktivitas seks. Individu yang tidak
mengetahui bagaimana mengatur waktu antara bekeija dengan aktivitas
seksual, akan merasa kalau aktivitas seks merupakan beban baginya.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


18

4. Faktor Harga Diri. Jika harga-diri seksual tidak dipelihara


dengan mengembangkan perasaan yang kuat tentang diri dan dengan
mempelajari keterampilan seksual, aktivitas seksual mungkin menyebabkan
perasaan negatif atau tekanan. Harga diri seksual dapat terganggu oleh
beberapa hal antara lain: perkosaan, inses, penganiayaan fisik/emosi,
ketidakadekuatan pendidikan seks, pengaharapan pribadi atau kultural yang
tidak realistik.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual,


menurut Pumawan (2004) yang dikutip dari berbagai sumber terdiri dari faktor
internal dan eksternal. Faktor internal mencakup tingkat perkembangan
seksual, pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, serta motivasi. Di sisi
lain, faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah keluarga,
pergaulan, dan media massa.

2 .1 . K ekerasan dalam H ubungan Pacaran


Kekerasan dalam hubungan pacaran, atau yang sering diistilahkan dengan
KDP, merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan terhadap perempuan
(Komnas Perempuan, 2002). Sedangkan definisi kekerasan terhadap perempuan itu
sendiri, menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994
pasal 1, adalah “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.”
Walaupun KDP termasuk dalam kekerasan terhadap perempuan, sebenarnya
kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra
pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya (Flynn, 1990;
Llyod, 1991). Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki,
karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan
antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas (Weber, 2010).
Ketidakadilan dalam hal gender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari,
bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut,
pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


19

“pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena (O’Connor et al,
2004; Young & Meguire, 2003).
Tindak kekerasan dalam hubungan pacaran cukup sering terjadi, tetapi hampir
selalu keseriusan faktanya tidak diketahui oleh publik. Dengan berbagai cara, korban
dan pelaku akan menutupi fakta yang terjadi, dan bila terungkappun sering teijadi
secara tidak sengaja (Bergen, 1998; Young & Meguire, 2003)). Misalnya, saat korban
tidak dapat menyembunyikan luka-luka fisik yang dideritanya. Tindak kekerasan
tersebut sering disembunyikan dari siapapun, atau hanya diketahui oleh lingkungan
terbatas saja, seperti anggota keluarga, teman dekat, atau orang-orang lain, baik yang
memiliki latar belakang profesional atau tidak, yang dihubungi korban untuk
mencurahkan masalahnya (Komnas Perempuan, 2002). Jarang terjadi tindak
kekerasan di masa pacaran dilaporkan pada yang berwajib, apalagi dilanjutkan
perkaranya secara legal. Bila tak tahan menyimpan masalah, yang kadang terjadi
adalah korban meminta bantuan profesional, memanfaatkan rubrik konsultasi majalah,
atau mengadukan masalahnya ke lembaga yang memberikan bantuan konsultasi
(Komnas Perempuan, 2002).
Hanya dalam situasi yang sangat parah, dan fakta kekerasan tidak dapat
ditutupi lagi, korban terpaksa meminta bantuan tenaga kesehatan. Setelah mengalami
penganiayaan parah, sebagian korban juga melaporkan kejadian pada polisi. Hanya
sedikit kasus yang dilaporkan pada polisi, dan lebih sedikit lagi yang kemudian
ditindaklanjuti secara hukum. Sebagian pengaduan dicabut sendiri oleh korban
dengan alasan: malu kasusnya diketahui umum, proses hukum yang berbelit-belit,
kasihan pada pelaku, atau ingin menyelesaikan masalah secara damai, bahkan
terkadang pelaku melakukan berbagai langkah untuk menghambat proses
penyelesaian masalah secara legal (LBH Apik, 2006).
Kekerasan yang terjadi dalam relasi personal perempuan terdiri dari beberapa
jenis, yaitu serangan secara fisik, psikis atau mental, dan seksual, misalnya serangan
terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual. Ketiga jenis kekerasan tersebut
akan diuraikan satu persatu sebagai berikut.

2. 2 .1 . Fisik
Kekerasan fisik mencakup perilaku yang bertujuan untuk menyakiti
pasangan (Flynn, 1990). Contohnya adalah memukul, memukul, meninju,
menendang, menjambak, mencubit, mendorong, mencekik, menganiaya
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


20

bagian tubuh, menyundut dengan rokok, , memaksa pasangan untuk pergi ke


tempat yang membahayakan keselamatan dirinya. Perilaku pasangan yang
demikian sudah sepatutnya diwaspadai oleh perempuan dan ditindaklanjuti
sebelum teijadi hal-hal yang lebih buruk. Di Indonesia, sebagian kasus-kasus
kekerasan dalam pacaran yang awalnya berupa penganiayaan fisik berakhir
tragis dengan pembunuhan (LBH Apik, 2006).

2 . 2 . 2 . Emosional
Berbeda dengan kekerasan fisik, kekerasan emosional umumnya
bersifat terselubung. Kekerasan emosional dapat berupa cacian, makian,
umpatan, hinaan, menjadikan pasangan bahan olok-olok dan tertawaan, atau
menyebut pasangan dengan julukan yang menyakiti hati, cemburu berlebihan,
melarang dan membatasi aktivitas pasangan, melarang berdandan (untuk
perempuan), membatasi pasangan untuk bergaul, serta memeras (LBH Apik,
2006). Perilaku yang menunjukkan kekerasan emosional lainnya adalah
memarahi dan sengaja ribut dengan pasangan di depan umum. Bentuk
kekerasan ini banyak teijadi, namun tidak kelihatan dan jarang disadari,
termasuk oleh korbannya sendiri. Pada intinya, kekerasan emosional akan
menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman pada
korbannya (Young & Meguire, 2003).

2. 2.3. Seksual
Kekerasan seksual bisa muncul dalam bentuk rabaan, ciuman, sentuhan
yang tidak dikehendaki, pelecehan seksual, pemaksaan untuk melakukan
hubungan seks dengan berbagai alasan tanpa persetujuan, atau mengancam
dan menganiaya pasangan agar mau melakukan hubungan seks (LBH Apik,
2006). Hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan di masa pacaran
membawa banyak dampak psikologis. Korban mengalami guncangan karena
telah mengalami kekerasan dari orang terdekat, yang dicintainya, dan
dikiranya mencintainya (Komnas Perempuan, 2002). Mungkin korban merasa
dikhianati, jadi kehilangan kepercayaan kepada orang-orang terdekat.
Guncangan ini juga bisa berdampak pada gangguan seksual yang mungkin
akan dialami, misalnya ia menjadi takut dan muak akan seks.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


21

Mengingat fokus dari penelitian ini adalah kekerasan seksual dalam


hubungan pacaran, maka tema ini akan dibahas secara lebih mendalam pada
subbab selanjutnya.

2.3. Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran


Rentetan viktimisasi yang terjadi pada perempuan, tidak jarang dimulai
dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dikenal, entah fisik, emosional,
ataupun seksual, termasuk pacar. Bila suatu bentuk kekerasan telah terjadi, stigma
sosial dan penghayatan psikologis sebagai korban, menempatkan perempuan pada
posisi rentan. Kerentanan korban memudahkannya terjerat dalam bentuk-bentuk
kekerasan lain (Komnas Perempuan, 2002). Kekerasan seksual merupakan bentuk
kekerasan yang sering berdampak sangat traumatik, dan mengubah keseluruhan hidup
individu. Situasinya sedemikian kompleks karena melibatkan semua aspek sosial
budaya, sekaligus internalisasi nilai-nilai dalam bentuk respon psikologis yang
menyulitkan korban keluar dari situasi hidupnya.
Selain kondisi sosial-budaya-legal yang tidak berpihak pada perempuan
korban, satu hal yang juga sangat menyulitkan perempuan keluar dari hubungan yang
diwarnai kekerasan, adalah telah tertanam kuatnya nilai-nilai yang merendahkan dan
diskriminatif terhadap perempuan. Akibatnya, perempuan korban mengembangkan
kepercayaan diri dan konsep diri yang amat rendah. Perempuan korban sering merasa
kekerasan yang terjadi memang pantas dialami karena ia bukan perempuan baik-baik,
kotor, dan berdosa.

2. 3. 1. Definisi
Sebagian pihak menggolongkan semua bentuk ketidakadilan seksual dan
manipulasi seksual dalam istilah ‘kekerasan seksual’. Untuk lebih jelasnya, perlu
dibedakan terlebih dahulu antara kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan
eksploitasi seksual. Hubungan seksual dapat digolongkan sebagai suka sama suka,
atau mau sama mau, bila (1) tidak ada relasi dominasi, di mana salah satu pihak
memiliki kekuasaan lebih besar yang membuatnya menjuadi pengendali; (2) sama-
sama diinginkan oleh pihak-pihak yang terlibat; (3) menyenangkan bagi pihak-pihak
yang terlibat (Poerwandari, 2008).
Sebagian ahli mengklasifikasikan pelecehan seksual sebagai bagian dari
kekerasan seksual (Welsh, 1999). O’Donohue (1997) mengemukakan bahwa
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


22

pelecehan seksual terjadi ketika seseorang direduksi dari kemanusiannya yang utuh
menjadi sekedar makhluk atau obyek seksual. Atau ketika ia direndahkan karena
karakteristik seksualnya yang tertentu. Misalnya ketika bentuk tubuhnya dikomentari,
ketika orang berkomentar kotor, ketika orang mengajak melakukan tindakan-tindakan
seksual tanpa dikehendaki korban. Termasuk pula di sini sentuhan-sentuhan yang
tidak diinginkan, ajakan-ajakan yang implicit atau eksplisit mengandung konsekuensi
tertentu bagi korban.
Lebih lanjut diuraikan Poerwandari (2008), ketika seseorang melancarkan
rayuan-rayuan tertentu, menjanjikan hal-hal tertentu, misalnya menyatakan jatuh
cinta, akan mengawini, akan bertanggung jawab, hubungan seksual satu kali saja tidak
akan menimbulkan kehamilan, dan seterusnya, dan dengan strategi-strategi tersebut ia
berhasil mempengaruhi korban untuk bersedia berhubungan seksual, ini merupakan
tindakan-tindakan manipulasi dan eksploitasi seksual. Dalam hal ini, korban
mengalami ketidakadilan seksual dan diperlakukan sekadar sebagai obyek seksual
oleh pasangannya.
Kekerasan seksual merupakan penyalahgunaan kekuasaan, menyerang yang
lemah dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan baik secara fisik maupun
emosional (Wickham & West, 2002). Kekerasan seksual teijadi ketika korban
sebenarnya tidak siap melakukan hubungan seksual baik secara mental maupun fisik,
oleh karena itu pelaku menggunakan ancaman atau paksaan (Michalski, 2005;
Anderson, Simpson-Taylor, & Hermann, 2004). Pada umumnya, kekerasan seksual
dilakukan oleh pelaku yang merasa memiliki dominansi atau kekuasaan yang lebih
tinggi dibandingkan korban. Kekerasan seksual memiliki efek jangka pendek dan
jangka panjang terhadap fungsi psikologis korban, di mana hasil penelitian
menunjukkan bahwa dua per tiga dari anak yang pernah mengalami kekerasan seksual
akan mengalami simtom-simtom psikologis, dan seperempat di antaranaya mengalami
kesulitan yang lebih parah (Berliner & Elliott, 1996; Kendall-Tacket et al, 1993;
Wolfe & Birt, 1995 dalam Wickham & West, 2002).

2. 3. 2. Date Rape
Kekerasan dalam hubungan pacaran juga sering diistilahkan dengan date rape
(Komnas Perempuan, 2002). Pemerkosaan didefinisikan sebagai penggunaan paksaan
atau ancaman oleh pelaku untuk melakukan hubungan seksual (penetrasi penis-
vagina) (Alexander et al, 1989). Penetrasi anal dan oral juga termasuk dalam lingkup
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


23

pemerkosaan, sehingga pemerkosaan bisa saja terjadi pada laki-laki. Termasuk juga
pemerkosaan apabila korban tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan kesediaan
untuk melakukan hubungan seksual akibat keterbelakangan mental, gangguan
emosional, atau intoksikasi (Koss, 1993 dalam Rollins, 1996). Pemerkosaan dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe (Koss & Harvey, 1991), yaitu:
1. Stranger rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dikenal
oleh korban, biasanya disertai dengan penyerangan terlebih dahulu
sebelum terjadi pemerkosaan.
2. Acquaintance rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban,
bisa merupakan teman, kolega, atau seseorang yang dianggap dekat oleh
korban (close relatives).
3. Date rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh teman kencan, pacar, atau
siapapun yang dipercaya oleh korban sebagai seseorang yang disayangi
atau dicintai.
4. Multiple rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari satu).
5. Marital rape
Adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, di mana
sang suami melakukan aktivitas seksual yang tidak dikehendaki oleh sang
istri.

Kekerasan dalam hubungan pacaran, termasuk di dalamnya kekerasan seksual,


yang sering diistilahkan dengan date rape. Catatan Rifka Annisa Women’s Crisis
Center Yogyakarta memperlihatkan bahwa selain kekerasan terhadap istri, kekerasan
dalam hubungan pacaran tampil menonjol dibandingkan bentuk atau fenomena
kekerasan lain (Komnas Perempuan, 2002). Selain yang telah digolongkan dalam
kekerasan dalam hubungan pacaran, terdapat pula kasus perkosaan yang dilakukan
oleh pacar, atau orang-orang yang telah dikenal dekat sang korban. Kehamilan tidak
dikehendaki juga banyak terjadi dalam hubungan pacaran. Uraian tersebut dapat
menjelaskan bahwa perempuan rentan terhadap tindak kekerasan yang justru
dilakukan oleh orang-orang dekat, orang-orang yang dipercaya, dan biasanya diyakini
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


24

sebagai sosok yang mampu melindungi, mengayomi, dan mencintainya (Uggen &
Blackstone, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa acquaintace rape dan date rape biasanya
dilakukan oleh satu pelaku, namun serangan umumnya teijadi berulang kali oleh
pelaku yang sama tersebut (Koss, Dinero, Seibel, & Cox, 1988 dalam Abrams, Viki,
dan Masser, 2004). ). Hal ini teijadi karena pelaku adalah orang yang dianggap dekat
dengan korban dan memiliki kontak yang intens dengan korban, di mana jenis kasus
pemerkosaan inilah yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan pemerkosaan oleh
orang asing (Koss, Koss, & Woodruff, 1991 dalam Rollins, 1996). Dengan demikian,
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran sangat mungkin teijadi dalam bentuk date
rape (Zulfah, 2002; Gultom, 2002).

2. 4. D am pak Psikologis K ekerasan Seksual


2. 4 .1 . Reaksi T raum atis
Reaksi psikologis yang muncul segera setelah individu mengalami kekerasan
seksual di antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan,
bingung, cemas, dan menarik diri (Balise dalam Kendall-Tackett, 2005). Individu juga
umumnya mengalami ketakutan akan mengalami kembali hal yang sama, dan merasa
cemas dalam menceritakan pengalamannya kepada orang lain (Kilpatrick et al, 1992
dalam Kendall-Tacket, 2005). Reaksi traumatis segera setelah kekerasan dapat
berlangsung selama beberapa minggu dan biasanya mencapai puncaknya pada
minggu ketiga (Davidson & Foa, 1991 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Mengikuti reaksi inisial, perempuan seringkali merasakan harga dirinya
rendah atau menurun, merasa bersalah, malu, mengalami gangguan tidur, simtom-
simtom gangguan stres pasca trauma, dan permasalahan seksual (Chibnall, Wolf, &
Duckro, 1998; Kendal-Tackett, 2005). Reaksi traumatis ini dapat berlangsung selama
18 bulan lamanya atau bahkan lebih (Resick, 1987 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Pada sebagian perempuan, masalah psikis dalam bentuk reaksi traumatis bisa
berlangsung selama beberapa tahun (Hanson, 1990 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Dalam jangka panjang, permasalahan yang umumnya muncul pada perempuan korban
kekerasan seksual adalah permasalahan seksual, di antaranya menghindari seks,
kurangnya minat terhadap seks, ketakutan akan seks (Becker, Skinner, Abel, &
Cichon, 1986 dalam Kendall-Tackett, 2005).

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


25

Menurut Wickham dan West (2002), simtom-simtom traumatis segera yang


biasanya kerap muncul pada individu setelah mengalami kekerasan seksual di
antaranya:
1. Keluhan somatik dan perhatian yang berlebihan pada tubuh
2. Gangguan tidur
3. Penurunan performa di sekolah
4. Ketakutan atau kecemasan yang berlebihan dan perasaan tidak berdaya
5. Depresi, termasuk di dalamnya:
■ Level energi yang rendah atau mudah lelah
■ Selera makan yang buruk atau makan secara berlebihan, yang
mengarah pada naik atau turunnya berat badan.
■ Insomnia atau hipersomnia
■ Konsentrasi yang rendah
■ Perasaan bahwa dirinya tidak memiliki harapan dalam hidupnya
■ Emosi yang tumpul
■ Mudah merasa terganggu dan tersakiti
■ Mengisolasi diri dari keluarga dan teman-teman, lebih sering
menghabiskan waktu sendiri
■ Menangis dan penuh airmata setiap saat
■ Menunjukkan perilaku menghukum diri sendiri, atau keterlibatan
dalam aktivitas yang berbahaya dan mengundang bahaya
■ Penggunaan obat atau alkohol
■ Ide untuk bunuh diri dan percobaan bunuh diri
6. Kemarahan
7. Memunculkan perilaku agresif
8. Regresi, di mana individu menunjukkan perilaku yang biasanya
ditunjukkan oleh individu yang usianya lebih muda untuk membuatnya
merasa lebih aman.
9. S e lf esteem yang rendah dan sense o f se lf yang buruk

2. 4. 2. Perubahan dalam Beliefs dan Pandangan terhadap Lingkungan


Kekerasan seksual dangat berdampak terhadap bagaimana korban memandang
dunianya (Feehan et al, 2001). Bagi beberapa perempuan, pengalaman kekerasan
menimbulkan konflik antara keyakinan yang sebelumnya dengan fakta-fakta yang
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


26

muncul dari peristiwa kekerasan (Koss & Harvey, 1991). Contohnya, jika sebelum
peristiwa individu melihat dunia aman, setelah peristiwa akan mulai mempertanyakan
kayakinannya tersebut. Umumnya, korban akan mengalami perubahan beliefs
mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan intimacy (Kendall-Tackett, 2005).
Perempuan yang menderita kekerasan seksual sering mengalami stigma dan
penolakan wajah oleh mitra, suami, keluarga, dan masyarakat (LBH Apik, 2006).
Namun, pemberian stigma negatif tersebut umumnya tidak berlangsung lama dan
individu bisa dengan cepat kembali pada perannya sebagai pekerja, pelajar, ibu, atau
kekasih dalam suatu hubungan (Kendall-Tackett, 2005). Dalam hal ini, kualitas dan
kuantitas dukungan sosial yang diperoleh individu pasca kekerasan memiliki peran
yang penting dalam proses pemulihan.
Meskipun demikian, dukungan sosial yang positif sebenarnya tidak terlalu
membantu individu jika dibandingkan dengan reaksi sosial yang negatif yang terasa
lebih menyakitkan (Davis, Brickman, & Baker, 1991 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Tidak semua lingkungan menunjukkan penerimaan yang baik terhadap korban
kekerasan seksual atau pemerkosaan. Pemerkosaan juga berdampak cukup signifikan
dalam menurunnya kualitas dan kuantitas hubungan intim (Mackey et al, 1002 dalam
Kendall-Tackett, 2005), yang kemungkinan besar juga berkaitan dengan
permasalahan seksual dan rusaknya kepercayaan tehadap lawan jenis. Dengan orang
lain seperti teman, keluarga, atau pasangan, hubungan individu juga bisa menjadi
buruk karena adanya ketegangan dalam hubungan tersebut pasca peristiwa (Crowell
& Burgess, 1996 dalam Kendall-Tackett, 2005).

2. 4 .3 . Trauma Seksual dan Perilaku Beresiko Tinggi


Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma kerap memunculkan perilaku
beresiko pasca kekerasan seksual sebagai efek emosional atau rentannya psikis korban
(Dallam dalam Kendall-Tackett, 2005). Hasil penelitian Lipschitz, Grilo, Fehon,
McGlashan, dan Southwick (2000, dalam Kendall-Tackett, 2005) menunjukkan
bahwa gangguan stres pasca trauma berkorelasi signifikan dengan penggunaan obat
dan alkohol. Perilaku beresiko umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping
terhadap efek viktimisasi yang tidak tertahankan (Ballon, Courbasson, & Smith, 2001
dalam Kendall-Tackett, 2005; Flynn, 1990).
Selanjutnya, Dallam membuat daftar perilaku beresiko yang sering ditemukan
pada perempuan dengan riwayat viktimisasi. Perilaku yang dimaksud adalah
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


27

penggunaan alkohol dan obat-obatan, gangguan makan (binging and purging),


merokok, koitus dini, physical inactivity, sexual promiscuity, dan perilaku seksual
yang tidak terprediksi. Kesemua perilaku tersebut sangat mungkin terjadi pada
perempuan yang pernah mengalami viktimisasi.

Browne dan Finkelhor (1986 dalam Wickham dan West, 2002)


mengidentifikasi masalah-masalah jangka panjang yang munculnya disebabkan oleh
kekerasan seksual, yaitu:
1. Traumatic sexualization -> individu mungkin mengembangkan perilaku
seksual yang atipikal sebagai remaja dan orang dewasa.
2. Stigmatization -> individu mungkin merasa ‘buruk’, menyalahkan diri
sendiri karena menyusahkan keluarga, harga diri individu mengalami
penurunan, sebagian yang lain bisa melakukan tindakan menyakiti diri
sendiri, penggunaan obat terlarang, bahkan bunuh diri.
3. Betrayal individu sulit menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa,
serta memiliki kecurigaan yang berlebihan kepada orang lain.
4. Powerlessness individu merasa tidak berdaya, depresi, dan
menunjukkan perilaku yang mengarah kepada bunuh diri.

Selain dampak yang telah dikemukakan di atas, pengalaman kekerasan juga


bisa saja diinternalisasi oleh korban sebagai model dalam menjalani hubungan.
Individu yang merasa disakiti akan melihat seks sebagai sesuatu yang menyakitkan
sehingga minatnya berkurang terhadap seks, atau sebaliknya mengalami kebingungan
akan makna seks (Browne & Finkelhor, 1996 dalam Wickham & West, 2002).
Individu mungkin juga kelak akan menjadi penyerang ketika melihat adanya peluang
untuk menunjukkan power kepada orang yang lebih lemah (Edgeworth & Carr, 2000:
19-20 dalam Wickham & West, 2002).

2. 5. Trauma
Pada subbab ini, trauma sebagai salah satu dampak psikologis dari kekerasan
seksual akan dibahas secara lebih mendalam. Trauma, meskipun bisa, sangat sulit
untuk dipulihkan bagi sebagian besar individu yang mengalami peristiwa traumatis
(Hay, 1984; Broman, 2003). Hal tersebut mengingat bahwa tema penelitian ini

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


28

berfokus pada trauma, sehingga diperlukan kajian teori yang lebih rinci mengenai
trauma pada korban kekerasan seksual.

2. 5.1. Trauma Akibat Kekerasan Seksual


Meskipun kekerasan seksual, khususnya dalam bentuk pemerkosaan,
oleh kerabat atau orang yang dikenal jarang dilaporkan ke kepolisian, pada
dasarnya korban tetap mengalami simtom-simtom gangguan stres pasca
kejadian, yang diistilahkan dengan rape trauma (Broman, 2003). Tidak hanya
itu, umumnya, korban akan disalahkan oleh orang lain, terutama dalam kasus
acquaintance rape dan date rape (Viki, Abrams, & Masser, 2004). Hal
tersebut karena terdapat ambiguitas dalam proses terjadinya pemerkosaan.
Orang akan mengalami keraguan apakah korban sejak awal memberikan akses
kepada pelaku, apakah korban membiarkan saja saat pelaku menciumnya, dan
seterusnya (Pollard, 1992 dalam Viki, Abrams, & Masser, 2004). Hal ini
membuat pelaku terkesan tidak terlalu bersalah, padahal bisa jadi alasan-
alasan semacam itu menjadi rasionalisasi bagi pelaku (Kleinke & Meyer, 1990
dalam Rollins, 1996).
Lebih lanjut diutarakan Rollins (1996), wanita yang mengalami
kekerasan seksual rentan terhadap gangguan stres pasca trauma dan
psikopatologi. Simtom-simtom stres pasca trauma meliputi mengalami
kembali peristiwa, mimpi buruk, flashbacks, menghindari pengingat dan
pemikiran tentang peristiwa, mengurangi interaksi dengan teman-teman,
perasaan ingin menyendiri, emosi yang tertahan, gangguan tidur, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, perasaan bersalah, dan sangat merasa
ketakutan (Foa, Rothbaum, Riggs, & Murdock, 1991, dalam Rollins, 1996).
Gangguan stres pasca trauma dialami oleh 94 % korban pemerkosaan selama
12 hari setelah peristiwa, dan 46% setelah tiga bulan berlalu. Faktor yang
mempengaruhi keparahan dampak yang dialami korban adalah self-blame
(Frazier, 1990 dalam Anderson, Taylor, & Herrmann, 2004; Rosenbloom &
Williams, 1999).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma dapat dibedakan ke
dalam tiga golongan (Smith, Dygerov, & Yule, 2008), yaitu:
1. Intrusive memories -> munculnya bayangan-bayangan yang tidak
diinginkan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis,
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


29

terkadang sangat jelas sehingga membuat individu ketakutan dan


tidak berdaya.
2. Arousal rekasi fisiologis yang muncul apabila teringat pada
kejadian traumatis, yang membuat individu teijaga dan kesulitan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Avoidance perilaku atau pemikiran individu untuk menghindari
hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis.

2. 5. 2. T ahapan yang Dilalui K orban K ekerasan Seksual


Koss dan Harvey (1991) mengemukakan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan seksual, khususnya dalam bentuk pemerkosaan, akan
melalui beberapa tahapan psikis setelah terjadinya peristiwa tersebut. Tahapan
yang sama juga dijelaskan oleh Poerwandari (2008) secara lebih singkat
sebagai berikut.
Fase antisipatoris. Ini tidak dialami semua kasus, karena ada individu
yang tanpa antisipasi apapun tiba-tiba masuk ke dalam suatu serangan seksual
yang samasekali tidak diduga sebelumnya. Meski begitu, dalam beberapa
kasus, ada korban yang sudah merasa tidak nyaman, merasa ada hal-hal yang
berbahaya yang mengitarinya sebelum perkosaan teijadi. Misalnya ketika
berjalan sendiri di malam hari, berdua dengan seorang lelaki yang semula
bersikap sopan, tiba-tiba mulai berbicara jorok atau menye ntuh dan meraba-
raba.
Fase saat dan segera setelah kekerasan seksual. Yang umumnya
dihayati adalah ketakutan sangat intens akan mengalami luka fisik serius dan
kematian. Akibatnya, korban kesulitan mengintegrasi dan mengorganisasi
pikirannya. Ia mengalami kepanikan dan tidak mampu menilai situasi dengan
baik, apalagi berespon dengan baik. Tidak jarang, respon fisiologis juga
menyulitkan kemampuan berpikir jernih, seperti seketika merasa mual atau
lemas. Ketika kejadian berlalu dan korban mulai dapat menata kembali
pikiran, mengingat kembali apa yang terjadi dan bagaimana ia bertingkah
laku, tak jarang korban akan menghayati perasaan menyalahkan diri yang
sangat kuat. Ia menyesali dirinya yang dianggap tidak mampu mengambil
kendali dan mengatasi kekerasan yang dialaminya secara baik dan benar.

U niversitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


30

Dalam hal tampilan ekspresi, segera setelah kejadian, dipengaruhi oleh


kepribadian dan berbagai latar belakang pribadi lain, ada korban yang
ekspresif menunjukkan ketakutan, kekagetan, dan kecemasannya dengan cara
menangis, gemetar, atau sangat gelisah. Tetapi ada juga korban yang mampu
menutupi emosi yang sebenarnya dengan perilaku yang terkendali. Yang
tampil seolah terkendali ini belum tentu berada dalam kondisi psikologis yang
lebih baik. Mungkin proses belajar sebelumnya menyebabkannya mengambil
sikap demikian, dan bukan tidak mungkin sesungguhnya ia sangat terluka,
atau akan menampilkan gangguan-gangguan respon yang tertunda.
Respon-respon fisik dan ketubuhan mencakup efek langsung dari
trauma fisik, seperti luka-luka, perih, bengkak, patah sendi, dan sebagainya.
Ketegangan-ketegangan otot akibat peristiwa dapat muncul dalam bentuk sakit
kepala, kelemahan yang sangat, dan gangguan pola tidur. Mungkin juga
terjadi gangguan perut seperti mual, muntah-muntah, tidak nafsu makan, diare,
tidak mampu mengecap rasa. Gangguan dan sakit terkait dengan alat kelamin
dan system pembuangan juga sering terjadi, misalnya perasaan panas dan
terbakar saat bang air kecil, perih, infeksi, perdarahan, atau nyeri.
Fase menengah. Ini adalah fase beberapa minggu sampai waktu yang
berbeda-beda untuk korban yang berbeda-beda. Gejala-gejala pasca trauma
masih dihayati, misalnya takut sendirian,mimpi-mimpi buruk, didera ingatan-
ingatan akan .kejadian, yang kadang seperti film yang berputar-putar sendiri
tanpa bisa dikendalikan. Ada pula depresi, perasaan kotor, terasing, tak
berdaya, gangguan-gangguan seksual dan gangguan-gangguan fisik. Korban
juga mencoba kembali pada kehidupan yang biasa dijalani, tidak jarang
melakukan langkah-langkah perubahan dengan maksud memperoleh perasaan
lebih aman. Misalnya dengan pindah rumah, mengganti nomor telepon, atau
kembali tinggal dengan orangtua. Pada masa ini, kadang-kadang respon
pengingkaran akan terjadi. Korban menjalani kehidupan seperti biasa, namun
dengan perasaan kosong dan mekanis, dan ia tidak mau mengingat-ingat, atau
dingatkan, akan apa yang terjadi. Hal ini berarti sesungguhnya individu belum
dapat mengolah rasa ‘berduka’nya dengan baik, namun menjadi bagian dari
proses yang wajar dalam pemulihan.
Fase jangka panjang m enuju resolusi. Ini adalah fase jangka
panjang, fase seumur hidup setelah perkosaan. Selain gejala-gejala yang ada,
U niversitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


31

yang masih dihayati seringkai adalah kemarahan yang kuat. Kemarahan itu
dapat diarahkan pada pelaku, masyarakat yang dianggap tidak peduli bahkan
menyalahkan, polisi, pengadilan, atau laki-laki pada umumnya. Sesungguhnya
kemarahan itu merupakan tampilan luar dari berbagai penghayatan negatif lain
seperti rasa tak berdaya , rasa malu, keputusasaan. Karenanya, pendampingan
psikologis amat penting untuk membantu korban menjalani proses-proses
penyesuaian diri setelah perkosaan, untuk memungkinkannya tetap menjalani
hidup secara produktif dan bermakna. Bila korban memperoleh dukungan kuat
dari lingkungan terdekatnya untuk memulihkan diri, dan juga memiliki
karakteristik pribadi yang cukup tangguh, ia akan dapat melewati kesulitan
hidupnya dan beradaptasi dengan baik.

2. 6. Penanganan T raum a A kibat K ekerasan Seksual


Sebagian perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual
mengembangkan coping strategies yang diyakininya bisa mengurangi atau meredam
perasaan-perasaan negatif (Rollins, 1996). Beberapa cara yang umumnya dilakukan
adalah secara verbal seperti menangis, berteriak-teriak, serta secara non verbal seperti
berjalan-jalan atau berdiam diri di kamar dan tidak mau bergaul dengan orang lain di
luar rumah (Kelly, 1988).
Konseling dan pendampingan psikologis penting bagi para korban kekerasan
seksual yang mengalami trauma, tetapi perlu juga psikoterapi. Psikoterapi bisa
diberikan dengan pendekatan cognitive reappraisals yang tujuan utamanya adalah
meredefinisikan pemerkosaan sebagai kejadian yang bukan salah mereka, dan
membantu korban untuk berpikir positif (Rollins, 1996). Terapi, khususnya terapi
behavioral kognitif (CBT) atau terapi proses kognitif yang dikembangkan untuk
mengurangi simtom-simtom stres pascatrauma pada korban pemerkosaan juga bisa
menjadi efektif dengan formula yang tepat bagi korban (Foa et al., 1991; Resick &
Schnike, 1992).
Dua pendekatan behavioral kognitif yang juga efektif diaplikasikan pada
korban adalah stress inoculation techniques (SIT) dan prolonged exposure (PE) (Foa
et al. 1991 dalam Rollins, 1996). Termasuk dalam pendekatan SIT adalah latihan
bernafas, relaksasi otot, penghentian pemikiran obsesif, yang efektif bagi simtom
yang tampak. PE bisa dilakukan dengan cara korban menceritakan kejadian yang
dialaminya dan direkam, kemudian ia mendengarkannya kembali selama beberapa
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


32

sesi. Teknik ini dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan distres yang berkaitan
dengan kejadian dalam jangka panjang pasca kejadian. Sementara itu, penekanan CPT
adalah pada ekspresi afek, di mana komponen eksposumya adalah menuliskan dan
membaca kembali detail kejadian. Komponen kognitif terdiri dari pelatihan untuk
mengidentifikasi pemikiran dan afek, teknik untuk menantang keyakinan maladaptive,
dan penyusunan modul yang spesifik dengan sasaran lima area keyakinan: safety,
trust, power, esteem, dan intimacy (Resick & Schnike,l 992).
Gallo-Lopez (2000 dalam Wickham dan West, 2002) mengajukan empat area
untuk terapi pada korban kekerasan seksual, yang mencakup:
1. Memperlakukan individu dengan hak-haknya, dengan memberikan ruang
untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri mereka sendiri.
2. Menekankan pada traumatic sexualization, stigmatization, betrayal, dan
powerlessness yang diharapkan bisa memperbaiki gambaran diri, fungsi
kognitif, dan ekspresi perasaan.
3. Membantu individu untuk memahami fungsi diri sesuai dengan usianya,
rasa percaya diri, dan harga diri.
4. Memberikan edukasi kepada lingkungan di sekitar individu agar dapat
berespon secara efektif terhadap kebutuhan individu.
Selain itu, dalam memberikan terapi, hal-hal yang perlu diperhatikan di
antaranya (Trowell, 1999: 114-15 dalam Wickham & West, 2002):
1. Isu kekerasan
2. Perpisahan, kehilangan, yang terjadi dalam waktu dekat
3. Isu masa kanak-kanak
4. Psikopatologi, seperti PTSD, perasaan depresi dan keinginan bunuh diri,
kecemasan dan serangan panik, gangguan attachment dan gangguan
perkembangan, gangguan makan
5. Rencana masa depan, rasa percaya diri, keberhargaan diri
6. Hubungan dengan keluarga dan lingkungan sosial.

Secara kontekstual, individu sebaiknya tinggal di lingkungan yang melindungi


dan memberikan rasa aman, serta tidak memungkinkan anak untuk mengalami
kekerasan. Selain itu, individu sebaiknya mengakui bahwa dirinya telah mengalami
kekerasan, dan keluarga memperoleh konseling agar bisa mendampingi individu
dengan baik.
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


33

Menurut Basile (dalam Kendall-Tackett, 2005), trauma akibat kekerasan


seksual melibatkan perasaan kehilangan power dan koneksi dengan orang lain,
sehingga pemulihan trauma pada korban harus didasari dengan konsep pemberdayaan
(empowerment). Herman (1992) dalam bukunya Trauma and Recovery
mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap dalam proses pemulihan trauma pada
penyintas kekerasan seksual, yakni:
1. Establishing safety. Tahap ini melibatkan langkah-langkah yang tujuannya
adalah membuat individu merasa nyaman dan aman menjalani kehidupan
selanjutnya. Contoh sasaran dalam tahap ini adalah mengajarkan individu
untuk memilih lingkungan yang terjamin keamanannya, mendorong
individu untuk memperoleh kembali sense o f self-nya. dan bahwa dirinya
memiliki kontrol terhadap hidupnya sendiri, serta manajemen stres.
2. Remembrance and Mourning. Pada tahap ini, individu diperkenankan
mengeluarkan semua cerita dan perasaannya mengenai kekerasan seksual
yang dialami, memaknainya, serta bersedih sebebasnya (grieves the
experiences). Setelah mengenali dan memahami apa yang teijadi pada
dirinya dan melepaskan bebannya, individu diarahkan untuk bisa
mengelola perasaan-perasaan negatif yang menjadi dampak kekerasan
seksual.
3. Reconnection. Tahap ini bertujuan untuk memberikan makna baru dalam
diri partisipan setelah ia mengembangkan beliefs yang salah akibat
kekerasan seksual. Individu juga membangun hubungan-hubungan baru
serta menciptakan diri dan masa depan yang baru. Herman percaya bahwa
pemulihan trauma pada penyintas sangat dipengaruhi oleh hubungan
dengan orang lain yang suportif, sehingga diperlukan peran significant
others dalam proses recovery.

Dalam Jongsma dan Peterson (2006), disebutkan target jangka panjang dari
intervensi terhadap simtom-simtom PTSD dan trauma seksual akibat kekerasan
seksual. Target jangka panjang dari intervensi terhadap simtom-simtom PTSD adalah:
1. Meminimalisir efek negatif dari simtom-simtom PTSD pada berbagai
aspek dalam keseharian individu.
2. Mengembalikan keberfungsian individu pada level sebelum terjadinya
peristiwa traumatis.
U niversitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


34

3. M enarik kem bali ingatan akan peristiw a traumatis tanpa m enjadi


tenggelam dengan perasaan dan pem ikiran negatif.
Sementara itu, taget jangka panjang dari intervensi terhadap trauma seksual
akibat kekerasan seksual adalah:
1. M em ulai proses pem ulihan dengan menyadari kondisi diri saat ini dan
m engem bangkan pengertian terhadap diri sendiri serta m engendalikan
perasaan diri sendiri.
2. M enghentikan perilaku destruktif atau atipikal sebagai jalan pintas
m engatasi dampak n eg a tif yang dialam i dan m enggantikannya dengan
perilaku yang m engutam akan kesehatan dan hidup yang bertanggung
jaw ab.
3. M engenali dan m enerim a peristiw a kekerasan seksual yang pernah
dialam inya dan m engem bangkan pem ikiran bahwa dirinya bukan korban
m elainkan penyintas yang telah berhasil m elew ati m asa-m asa sulit pasca
peristiw a traumatis.

Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan untuk m enangani klien


dengan trauma akibat kekerasan seksual adalah c o g n itiv e p r o c e s s in g th e r a p y (CPT)
(R aesick & Schicke, 1993). Pada dasarnya, pendekatan k o g n itif behavioral ju ga
dikem bangkan berdasarkan CPT. Teknik utama yan g digunakan dalam C PT adalah
restrukturisasi pikiran, yang sasarannya adalah keyakinan atau pem ikiran klien yang
salah m engenai dirinya sendiri. O leh karena itu, C PT e fe k tif diaplikasikan pada klien
yang m em iliki kapasitas k o g n itif yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan m enyusun rancangan intervensi yang
bersifat eklektik terhadap perm asalahan penelitian yan g diangkat. Peneliti
m enyim pulkan berdasarkan literatur bahw a pendekatan yang sekiranya sesuai untuk
m enangani sim tom -sim tom trauma, perubahan b e lie fs , dan traumatisasi seksual pada
korban adalah pensdekatan behavioral kognitif. Hal ini juga berdasarkan
pertimbangan bahwa partisipan m em iliki tingkat pendidikan yang tinggi sehingga
pendekatan tersebut menjadi m ungkin untuk diaplikasikan.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


35

BAB 3
METODE PENELITIAN

Bab 3 menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian


penyusunan rancangan intervensi ini. Subbab-subbab yang tercantum pada bab ini di
antaranya mengenai pendekatan penelitian, tipe penelitian, karakteristik partisipan
penelitian, metode sampling, metode pengumpulan data, instrumen penelitian,
prosedur penelitian (yang terdiri dari tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan
hingga pengaturan data), proses analisis data, dan terakhir penyusunan rancangan
intervensi.

3. 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tipe
penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif relevan untuk studi mengenai relasi
sosial, yang mengacu pada fakta bahwa kehidupan merupakan sesuatu yang bersifat
plural atau majemuk (Flick, 1998). Dalam hal ini, penelitian kualitatif menggunakan
strategi induktif, di mana penelitian berangkat dari suatu konteks sosial, bukan dari
teori maupun pengujian.
Penelitian terhadap para perempuan yang pernah mengalami kekerasan
seksual ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena hal yang akan diperdalam
merupakan suatu proses yang menggambarkan individu secara menyeluruh berkaitan
dengan peristiwa yang dialaminya, khususnya mengenai dampak psikologis.
Informasi yang bersifat kualitatif menyediakan deskripsi yang kaya dan alasan yang
kuat untuk menjelaskan tingkah laku dan proses lingkungan pada setting lokal (Attig,
Attig, & Boonchalaksi, 1989).
Dengan demikian, studi kualitatif memungkinkan peneliti untuk mengetahui
bagaimana dinamika penghayatan dan dampak psikologis yang dirasakan partisipan
akibat kekerasan seksual yang telah menimpanya. Oleh karena itu, penelitian
kualitatif memerlukan kepekaan peneliti untuk mencatat, merekam, dan menangkap
detil-detik fakta yang diamati selama observasi serta kemampuan untuk merefleksikan
detil-detil fakta tersebut (Suwignyo, 2002).

U niversitas Indon esia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


36

3.2. Tipe Penelitian


Tipe penelitian kualitatif ini tergolong ke dalam case study, di mana kasus
merupakan fenomena khusus yang hadir dalam konteks yang terbatasi, meski batas-
batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 2005).
Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman yang utuh
dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai dimensi dan fakta dari kasus khusus
tersebut.
Studi kasus pada penelitian ini tergolong ke dalam tipe studi kasus intrinsik, di
mana penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus
khusus, dalam hal ini peneliti tertarik pada bagaimana dinamika psikologis yang
teijadi pada para perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual hingga pada
dampak yang dirasakannya. Studi kasus intrinsik dilakukan untuk memahami secara
utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep
atau teori, ataupun tanpa upaya menggeneralisasi (Poerwandari, 2005).

3. 3. Karakteristik Partisipan
Partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah dua orang, dengan
karakteristik:
1. Beijenis kelamin wanita.
2. Berada dalam tahap perkembangan dewasa muda atau berusia antara 20
sampai dengan 40 tahun.
3. Pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dalam
jangka waktu 2 tahun.
4. M asih menampilkan simtom-simtom traumatis akibat peristiwa tersebut
hingga saat penelitian ini dilaksanakan.

Karakteristik di atas ditentukan berdasarkan hasil survei karakteristik


demografis di Amerika terhadap korban yang mendukung bahwa kekerasan seksual
paling banyak teijadi pada kelompok wanita berusia 20-24 tahun (Bachman, 1994
dalam Rollins, 1996). Dengan demikian, diharapkan kriteria tersebut juga dapat
dijadikan dasar untuk membandingkan kasus yang serupa di Indonesia. Sedangkan
karakteristik dampak ditentukan dengan tujuan agar peneliti dapat menentukan
intervensi yang sesuai.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


37

Partisipan yang berada dalam tahap perkembangan dewasa muda dipilih


berdasarkan pemikiran bahwa pada tahap tersebut individu tengah menghadapi tugas
perkembangan intimacy, di mana ia dituntut untuk mengembangkan hubungan
interpersonal yang bermakna (Papalia, et al, 2004). Pengalaman traumatis dalam
bentuk kekerasan seksual dengan dampak yang belum terselesaikan diasumsikan
dapat menghambat individu dalam memenuhi tugas perkembangannya, sehingga
diperlukan intervensi untuk menangani permasalahan tersebut.
Partisipan penelitian ini diberi nama samara Dian dan T!a yang berusia 24
tahun dan 25 tahun. Dian adalah seorang wiraswasta lulusan SI jurusan Ekonomi,
sedangkan Tia baru saja menyelesaikan pendidikan S2 jurusan Komunikasi.
Keduanya mengalami kekerasan seksual oleh mantan pacarnya ketika mereka berusia
19 tahun dan 21 tahun. Hingga saat ini, Dian dan Tia masih merasakan dampak
psikologis akibat kekerasan yang dilakukan oleh mantan pacar mereka meskipun
mereka sudah menjalin hubungan intim yang baru.

3. 4. M etode Sam pling


M enurut Flick (1998), strategi sampling yang tepat untuk penelitian ini adalah
sampling groups o f cases, di mana penelitilah yang menentukan kriteria atau
karakteristik partisipan penelitian, lalu menentukan terdapat pada kelompok mana
kriteria tersebut. Dengan kata lain, peneliti mencari partisipan penelitian yang sesuai
dengan kebutuhan penelitian. Klasifikasi lain menggolongkan penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling, di mana peneliti membuat suatu
karakteristik yang hanya bisa ditujukan kepada orang-orang tertentu saja dan dipilih
oleh peneliti demi mendapatkan sampel yang representatif untuk penelitian (Kerlinger
& Lee, 2000).

3. 5. M etode Pengum pulan Data


D ata yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode-metode
yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap partisipan dalam
masing-masing lima pertemuan yang akan diuraikan dalam subbab
berikutnya.
2. Observasi
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


38

Untuk melengkapi data wawancara, peneliti melakukan observasi terhadap


partisipan yang dilakukan ketika wawancara dengan partisipan
berlangsung.

3. 6. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu, yaitu:
1. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara yang digunakan merupakan moderately scheduled
interview, di mana peneliti telah memiliki daftar pertanyaan yang
sederhana. Keuntungan dari pedoman wawancara tipe ini adalah dari segi
fleksibilitas, di mana pewawancara dimungkinkan melakukan probing
yang dapat disesuaikan dengan partisipan dan situasi (Stewart & Cash,
2000).
2. Tape recorder
Alat ini dibutuhkan untuk merekam jalannya wawancara yang berlangsung
antara peneliti dengan partisipan. Rekaman ini pada dasarnya membantu
peneliti untuk menyusun transkrip wawancara, menghindari data yang
terlewatkan atau terlupakan, serta membantu peneliti dalam usaha
interpretasi data. Meskipun demikian, terdapat kemungkinan partisipan
tidak menghendaki pembicaraan tersebut direkam. Oleh karena itu,
diperlukan adanya consent terlebih dahulu.
3. A lat tulis
Yang termasuk di dalamnya adalah buku atau kertas, dan pulpen atau
pensil, untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari penjelasan
partisipan dan mencatat hasil observasi.

3. 7. Prosedur Penelitian
3. 7 .1 Tahap Persiapan
Pada tahap ini, peneliti mencari partisipan penelitian. Dari dua
partisipan yang direncanakan untuk berpartisipasi, kesemuanya yang
berinisiatif untuk menemui peneliti dan menyatakan bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Hal ini membuat peneliti tidak membutuhkan
waktu lama untuk menjalin rapport dengan mereka. Kemudian, setelah
memperoleh landasan penelitian, peneliti menyusun pedoman wawancara
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


¡L
39

yang dibuat dengan merujuk pada teori yang digunakan dan dioperasionalkan
dengan pertanyaan terbuka.
Langkah-langkah persiapan yang dilakukan peneliti kemudian di
antaranya:
1. Melakukan wawancara secara mendalam dan observasi secara cermat
terhadap partisipan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
2. Jika memungkinkan, melakukan wawancara terhadap significant
others dari partisipan sebagai data pendukung.
3. Mencari informasi dari berbagai sumber mengenai perempuan yang
mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dan bagaimana
dampaknya.
4. Menentukan kesimpulan mengenai ciri khas yang muncul dan
kebutuhan dari partisipan untuk penentuan rancangan intervensi dan
pendampingan psikologis.

3. 7. 2. T ah ap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, peneliti menanyakan kesediaan partisipan
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini baik secara lang su n g maupun melalui
telepon. Setelah mereka menyatakan kesediaan, peneliti dengan partisipan
membuat kesepakatan waktu untuk mengisi lembar informed consent dan
mengadakan wawancara yang sejak awal dijanjikan akan berlangsung kira-
kira selama tiga hingga lima sesi. Pengambilan data dilakukan mulai April
2010 hingga awal Juni 2010. Secara keseluruhan, wawancara dengan kedua
partisipan masing-masing berlangsung lima sesi dengan perincian waktu
sebagai berikut.

Tabel 3.1. Rincian Waktu Wawancara

TAHAP NAMA (samaran)


PERSIAPAN Dian Tia

Berkenalan Ya Ya
Telepon Ya Ya
SMS Ya Ya
PELAKSANAAN Dian Tia

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


40

Pertemuan 1 1 jam 1 jam


Pertemuan 2 1jam 1 jam
Pertemuan 3 1 iam 1jam
Pertemuan 4 1 iam 1 jam
Pertemuan 5 1 jam 1 jam
TOTAL WAKTU 5 jam 5 jam

Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyiapkan alat penelitian yaitu


tape recorder, kaset rekaman, baterai, dan alat tulis. Peneliti memeriksa semua
peralatan tersebut terlebih dahulu agar dapat berfungsi dengan baik. Pada waktu yang
telah ditentukan, peneliti menemui partisipan di tempat yang telah disepakati.
Wawancara awal dilakukan untuk memastikan apakah partisipan memenuhi
karakteristik sampel yang diminta dalam penelitian ini. Oleh karena itu, pertemuan
awal kebanyakan diisi dengan percakapan mengenai kehidupan sehari-hari partisipan,
anamnesa, serta sebagian kecil peristiwa kekerasan seksual yang dialami partisipan.
Baru pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, peneliti mulai mewawancara partisipan
dengan lebih mendalam mengenai peristiwa tersebut dan memberikan pertanyaan
wawancara berdasarkan pedoman.
Banyaknya pertemuan yang dilakukan peneliti untuk mewawancarai tiap
partisipan adalah lima kali, sedangkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk setiap
kali wawancara adalah sekitar 1 jam. Pada tahap ini, selain melakukan wawancara
terhadap partisipan, peneliti juga sekaligus melakukan perbaikan pedoman umum
wawancara yang digunakan untuk melakukan serta melengkapi proses pengambilan
data berikutnya.
Kesulitan yang dialami peneliti sebenarnya tidak terlalu banyak, karena kedua
partisipan cukup terbuka dan bersedia mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.
Mereka juga bersedia untuk diwawancara beberapa kali, meskipun konsekuensinya
mereka harus membagi waktu untuk menemui peneliti sambil tetap menjalankan
aktivitasnya sehari-hari. Dari lima pertemuan dengan masing-masing partisipan,
sebagian besar di antaranya dilakukan dalam beberapa hari yang berturutan
sehubungan dengan ketersediaan waktu dari partisipan.

3. 7. 3 Tahap Pencatatan dan Pengaturan Data


Pada tahap ini, peneliti membuat transkrip verbatim hasil wawancara dari
partisipan serta membuat detail anamnesa atau riwayat kehidupan partisipan. Setelah

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


41

itu, transkrip dilengkapi dengan catatan observasi selama proses wawancara. Tahap
ini berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Kemudian, pada setiap data
partisipan dituliskan identitas partisipan dengan menggunakan nama samaran untuk
menjaga kerahasiaan identitas partisipan sekaligus untuk mempermudah proses
pengolahan data.

Tabel 3. 2. Prosedur Penelitian


TAHAP KETERANGAN
Persiapan * Mencari partisipan penelitian
berdasarkan karakteristik yang telah
ditentukan
■ Berkenalan dan rapport
■ Menyusun draft pertanyaan
wawancara
■ Menyiapkan alat bantu wawancara
■ Rangkaian penyusunan j anj i dengan
partisipan penelitian
Pelaksanaan ■ Pelaksanaan wawancara (lima
pertemuan untuk setiap subyek)
Pencatatan dan Pengaturan Data ■ Pembuatan verbatim hasil
wawancara
■ Pemadatan fakta dan tema dari hasil
wawancara
■ Analisis intrakasus
■ Analisis interkasus
■ Penarikan kesimpulan
Penyusunan Rancangan Intervensi ■ Pemilihan intervensi yang sesuai
berdasarkan tema yang muncul dari
analisis
■ Penyusunan rangkaian kegiatan yang
akan dilakukan secara rinci untuk
intervensi

3. 8. Proses Analisis Data


Setelah data yang diperoleh dari wawancara terkumpul, dilakukan analisis
awal untuk memadatkan fakta-fakta. Dengan demikian, tema-tema utama akan
ditemukan. Kemudian, dengan menggunakan teori-dari-dasar, dilakukan analisis
terhadap data secara mendalam. Menurut Poerwandari (2005), jika fokusnya
kedalaman, maka sebaiknya dilakuan analisis kasus satu demi satu terlebih dahulu,
barulah kemudian dilakukan analisis antar kasus.
Peneliti melakukan analisis intrakasus dan analisis interkasus secara
bersamaan dengan pertimbangan bahwa partisipan dalam penelitian ini tidak terlalu

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


i
42

banyak yaitu dua orang. Analisis dilakukan dengan cara menelaah secara individual
satu persatu aspek-aspek psikologis yang terdapat dalam diri partisipan terkait dengan
perisiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Selain itu, analisis juga mencakup
perbandingan antara kasus yang satu dengan yang lain dan dinamika yang teijadi di
antara aspek-aspek psikologis yang bersangkutan.

3. 9. Penyusunan Rancangan Intervensi


Setelah peneliti menemukan tema-tema utama yang muncul dari partisipan
sebagai dampak psikologis khususnya trauma yang dialaminya pasca peristiwa
kekerasan seksual, peneliti menelaah bagaimana dinamika teijadinya dampak
psikologis tersebut pada partisipan. Selanjutnya, peneliti akan menentukan target
modifikasi berdasarkan tema dan dinamika yang khas pada partisipan tersebut.
Kemudian, peneliti mencari treatment atau pendekatan yang dapat dilakukan sebagai
intervensi bagi partisipan.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


43

BAB 4
DATA DAN KESIMPULAN AWAL

Dalam bab ini, diuraikan mengenai data dari partisipan dan kesimpulan sementara dalam
bentuk analisis interkasus, dinamika trauma, serta dinamika dampak psikologis secara
keseluruhan yang dialami partisipan.

4 . 1. Data Partisipan 1: DIAN


4 . 1 .1 . Identitas
Inisial Nama Lengkap DV
Jenis Kelamin Perempuan
Domisili Bogor
Suku Bangsa Sunda
Agama Islam
Pendidikan Terakhir SI
Pekerjaan Wiraswasta
Waktu Pengambilan Data 21 Mei, 28 Mei, 1 Juni, 7 Juni, 11 Juni 2010

4.1. 2. Gambaran Kasus


Dian mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya, Dani, ketika usianya 20 tahun
dan sedang duduk di bangku kuliah. Dian berpacaran dengan Dani sejak SMA kelas 2
yaitu tahun 2002, tetapi setelah lulus SMA di tahun 2003 mereka melanjutkan pendidikan
ke kota yang berbeda. Dian berkuliah di sebuah universitas swasta di Bogor, sedangkan
Dani berkuliah di sebuah universitas negeri di Jawa Tengah. Sejak itu, mereka menjalani
hubungan jarak jauh dan bertemu paling banyak satu bulan sekali ketika Dani libur. Dian
tidak pernah mengunjungi Dani ke kotanya. Sebelum berpacaran, Dian dan Dani memang
telah bersahabat dalam satu kelompok yang terdiri dari tujuh orang. Oleh karena itu,
meskipun sudah berpacaran, Dian dan Dani selalu pergi bersama teman-teman satu
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


44

gengnya dan tidak pernah jalan berdua saja. Menurut Dian, selama SMA hubungannya
dengan Dani sebatas makan siang di sekolah atau pulang bersama naik angkutan umum.
Keluarga Dian dan Dani hanya mengetahui bahwa mereka berteman dekat karena Dian
masih dilarang berpacaran oleh orangtuanya.
Kondisi hubungan mereka dirasakan berubah oleh Dian semenjak Dani kuliah di
luar kota. Dian mengatakan bahwa jika pulang ke Bogor sekitar satu atau dua bulan
sekali, maka Dani akan mengajak Dian ke rumahnya dan menghabiskan waktu di sana
dengan alasan ingin melepas rindu. Rumah Dani sepi di siang hari karena kedua orangtua
dan kakaknya bekerja. Sementara itu, kakak laki-lakinya seringkali ada sepulang kuliah
tetapi jarang keluar kamar. Biasanya, Dani dan Dian hanya akan menonton TV di kamar
Dani sambil makan dan bercanda sampai sore lalu Dani mengantar Dian pulang.
Sebenarnya, Dian merasa tidak nyaman dan risih karena sering bermain di kamar laki-
laki, tetapi Dani meyakinkan dirinya bahwa hal tersebut tidak apa-apa. Beberapa bulan
selelahnya, Dani mulai berani mencium dan menyentuh tubuh Dian ketika mereka sedang
menonton TV. Dian selalu menolak tetapi Dani selalu pula berhasil merayunya.
Seringkali, Dian mengalah karena Dani memaksa walaupun Dian sudah mengatakan
bahwa ia tidak suka diperlakukan demikian.
Sampai suatu hari, Dani memintanya untuk melakukan hubungan seksual. Dian
menolak mentah-mentah dan bermaksud keluar dari kamar, namun Dani menahannya dan
berusaha pelan-pelan merayu Dian. Dian merasa sangat bingung. Di satu sisi, ia sangat
menyayangi Dani dan tidak ingin mengecewakannya. Di sisi lain, ia takut sekali dan
tidak mau melanggar perintah agama dan orangtuanya untuk tidak berzina. Ketika
akhirnya Dian tetap menolak, Dani tampak kesal dan mencengkeram baju Dian. Dian
berusaha mendorong Dani tetapi ia tidak cukup kuat, kemudian Dani mendorongnya
balik ke tempat tidur dengan paksa dan mengatakan jika Dian mencintainya maka Dian
tidak boleh menolak.
Dian mengaku tubuhnya amat gemetar, Dian tidak mampu berkata apa-apa
sedangkan Dani mulai melakukan penetrasi sambil terus menerus berkata bahwa Dian
akan tidak perlu takut, Dian akan merasakan nikmatnya karena mereka saling mencintai.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


L.
45

Dian memejamkan mata dan mencoba menikmati hubungan tersebut seperti yang
dikatakan Dani, namun yang terjadi Dian merasa sangat kesakitan kemudian ia menangis.
Melihat Dian menangis, Dani menghentikan kegiatannya dan tampak merasa bersalah.
Dani kemudian mengantar Dian pulang, tetapi Dian masih dalam keadaan shock dan
tidak sanggup bicara. Dian merasa sedih dan hancur karena dirinya sudah tidak suci lagi.
Selama beberapa hari kemudian, Dian merasakan nyeri di kemaluannya terutama saat
buang air kecil, bahkan ia kesulitan berjalan. Hal tersebut sangat menyiksa Dian dan
membuat Dian marah luar biasa kepada Dani. Meskipun ia merasa amat tertekan dan
ingin berbagi kesedihannya kepada orang lain, Dian tidak berani menceritakan peristiwa
tersebut kepada siapapun.
Setelah peristiwa tersebut, Dani maminta maaf dan memperlakukan Dian dengan
amat baik. Pada kepulangan Dani yang berikutnya, Dian tidak lagi mau diajak ke kamar
Dani. Namun ternyata, Dani lagi-lagi memaksa bahkan menyeret Dian ke kamarnya dan
kembali memaksa Dian untuk melakukan hubungan seksual. Untuk seterusnya, Dani
selalu memiliki alasan untuk membawa Dian ke rumahnya yang dan Dian tidak berani
menolak ataupun berteriak karena malu jika ketahuan orang lain. Apabila Dian menolak,
maka Dani akan memukulnya atau menendangnya sampai Dian terjatuh sehingga Dani
bisa menindihnya dan melakukan hubungan seksual dengan paksa. Jika sudah demikian,
barulah Dani akan berkata-kata manis dan lembut, sementara Dian hanya bisa pasrah dan
berusaha menikmati hubungan tersebut meskipun tidak kunjung berhasil. Setelah Dani
memuaskan hasratnya, Dian biasanya menangis dan Dani meminta maaf, tetapi kejadian
tersebut selalu berulang selama satu tahun lamanya. Sekali waktu, Dani pernah begitu
marah ketika Dian menolak berhubungan seks sehin gga mereka saling memukul dan
menendang satu sama lain sampai kaki Dian biru-biru.
Dian meminta Dani berjanji untuk menikahinya selulus kuliah dan Dani
mengiyakan. Dian selalu merasa dihantui perasaan takut, berdosa, dan merasa
hubungannya dengan Dani tidak wajar, tidak seperti teman-teman lainnya yang juga
memiliki pacar. Akhirnya, Dian memberanikan diri untuk bercerita mengenai hubungan
yang dijalaninya kepada Mia, sahabatnya, dan reaksi Mia adalah marah. Mia menyuruh

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


L
46

Dian segera memutuskan Dani karena hubungan tersebut tidak sehat. Mia mengatakan
bahwa jika Dani mencintainya maka Dani akan menjaganya, bukan memaksa dan
merusak dirinya. Dian menyadari bahwa Mia benar, tetapi Dian tidak berani memutuskan
Dani karena takut tidak bisa mendapatkan suami kelak, mengingat Dian sudah tidak
perawan. Namun, berkat dorongan Mia, Dian berjuang untuk lepas dari Dani. Meskipun
berat karena Dian masih mencintai Dani, Mia selalu mendukung Dian. Butuh waktu
setengah tahun sampai akhirnya Dani benar-benar menyerah mengejar Dian dan
hubungan merekapun putus di tahun 2005.
Menurut Dian, hingga saat ini, Dian masih sering terbayang-bayang dengan rasa
sakitnya berhubungan seksual. Dian tidak akan bisa melupakan debar jantungnya dan
kerasnya upayanya melindungi diri dari paksaan Dani. Dian juga mengaku jijik jika
mengingat pengalamannya dengan Dani dan ia akan berusaha menyingkirkan ingatan
tersebut. Dian mati-matian menghindari kontak dengan Dani, bahkan sahabat-sahabat
SMAnyapun sudah tahu bahwa Dian membenci Dani meskipun tidak tahu apa
masalahnya kecuali Mia. Dian merasa malu dan rendah diri karena dirinya sudah tidak
perawan lagi. Hal ini membuat Dian tidak ingin lagi menjalin hubungan pacaran dengan
lawan jenisnya. Namun, di sisi lain, Dian menjadi penasaran untuk mengetahui apakah
hubungan seksual memang menyakitkan.
Hal tersebut di atas membuat Dian menjadi sering ‘berpetualang’ dengan laki-
laki. Jika ada laki-laki yang mendekatinya, maka Dian akan menanggapinya sampai
mereka berhubungan seksual tetapi Dian menolak ketika diajak berpacaran serius.
Menurut Dian, laki-laki itu brengsek, buktinya semua menginginkan seks, sedangkan
komitmen selalu muncul setelah seks. Dari petualangannya, Dian mengaku tetap sulit
merasakan kenikmatan dan hasrat terhadap seks. Kebiasaan buruk Dian mulai berkurang
sejak Dian dekat dengan Wira, seorang laki-laki sederhana yang membuat Dian jatuh
hati. Wira sangat menghargai Dian dan tidak pernah menyentuh Dian secara fisik. Wira
juga bersikap lembut dan dewasa dalam menghadapi sifat Dian yang pemarah. Hal
tersebut membuat Dian mempercayai Wira dan setelah sekitar 3 bulan menjalin
hubungan pacaran, Dian akhirnya menceritakan masa lalunya kepada Wira. Meskipun

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010



d
47

sempat kecewa, Wira tetap menerima Dian apa adanya bahkan mengajak Dian menikah.
Dian merasa bahagia dengan kehadiran Wira walaupun masih kerap dibayang-bayangi
pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan.

4 .1 .3 . Observasi
Dian adalah seorang wanita muda berusia 24 tahun yang memiliki postur tubuh
proporsional dengan tinggi sekitar 160 sentimeter dan berat sekitar 52 kilogram. Dian
berkulit kuning langsat dan berparas menarik, dengan bentuk wajah bulat dan lesung di
pipinya. Polesan make up di wajahnya tipis namun memberikan kesan segar. Dian
mengenakan jilbab dengan penampilan yang terbilang modis. Gaya berpakaiannya
cenderung formal dengan celana atau rok panjang berwana gelap dan blus berwarna
cerah. Jilbab yang dikenakan Dian tidak panjang tetapi juga tidak terlalu pendek. Dian
selalu menggunakan aksesoris, seperti belt, kalung panjang, cincin, atau gelang yang
membuat penampilannya secara keseluruhan selalu matching. Dian juga mengenakan tas
dan sepatu yang bermerk dan terkesan formal. Pada sebagian pertemuan, Dian
menggunakan lensa kontak berwarna coklat dan ungu sesuai dengan warna bajunya.
Dian merupakan seseorang yang murah senyum tetapi tidak banyak bicara. Pada
awal-awal pertemuan, ia cenderung menjawab pertanyaan yang ditanyakan peneliti saja
secara singkat dan jarang bercerita terlebih dahulu tanpa ditanya. Ekspresi wajah Dian
ramah tetapi sinar matanya cenderung sendu. Cara bicara dan segala gerak-geriknya
sangat terjaga dan terkesan formal. Dian tampak selalu berpikir baik-baik sebelum
memberikan jawabannya atas pertanyaan peneliti. Dian senang menyilangkan kakinya
selama wawancara dan sangat jarang mengubah posisi duduknya. Namun, setelah
berlangsungnya pertemuan ketiga dan seterusnya, Dian tampak lebih santai dan bisa
terbuka kepada peneliti dalam berbagai hal. Dian juga bisa lebih banyak tersenyum dan
sesekali tertawa atau bercanda. Secara keseluruhan, sikap Dian kooperatif terhadap
peneliti.
Ketika membicarakan mengenai hubungannya dengan Dani, ekspresi wajah Dian
berubah menjadi lebih tegang. Intonasi suaranya cenderung rendah dan pelan seperti

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


48

tidak ingin ada orang lain yang bisa mendengarkan percakapannya dengan peneliti. Ia
juga sering mengungkapkan kata-kata yang menunjukkan kebencian dan kemarahan
kepada pelaku, seperti ‘nggak pengen nginget-nginget si brengsek satu itu’ (dengan
ekspresi wajah dan intonasi suara marah). Bahkan, beberapa kali, Dian mengepalkan
tangannya atau meremas-remas kedua tangannya ketika menceritakan pengalamannya
tersebut. Dian juga sering menunduk dan termenung selama beberapa saat. Apabila
pembicaraan berlangsung seputar keluarga, maka Dian menanggapinya dengan riang
tetapi jawabannya tetap singkat tanpa banyak memberikan penjelasan. Namun, jika diajak
berbicara tentang kegiatannya, teman-temannya atau hubungan interpersonal yang
dijalaninya, maka ekspresi wajah Dian menjadi ceria dan intonasi suaranya sedikit
meninggi karena antusias.

4 .1 . 4. Ringkasan W awancara
Keiuarsa
Dian merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, Devi, yang berusia
21 tahun juga berjenis kelamin perempuan dan saat ini masih kuliah. Ayah Dian berusia
50 tahun, sedangkan ibunya berusia 48 tahun. Keduanya bersuku Sunda dan tinggal di
Bogor sejak menikah. Ayah Dian bekerja sebagai pegawai negeri, sementara ibunya
sebagai ibu rumah tangga. Sejak anak-anaknya masih balita, ayah dan ibu Dian merintis
usaha di bidang sandang untuk menyokong perekonomian keluarga. Secara finansial,
keluarga Dian hidup berkecukupan dan hampir tidak pernah kekurangan. Seiring
berjalannya waktu, usaha tersebut semakin berkembang besar sehingga ketika dewasa
Dian memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan Ekonomi agar bisa menunjang bisnis
keluarganya. Saat ini, mereka sudah memiliki sebuah butik resmi yang diurus langsung
oleh Dian, Devi, dan ibunya.
Dian dan Devi dibesarkan dalam keluarga yang religius. Orangtua Dian sangat
taat terhadap agama dan mendidik anak-anaknya dengan landasan syariat yang kuat.
Ayah Dian selalu menekankan pentingnya beribadah. Sejak berusia 2 atau 3 tahun, Dian
dan Devi mulai diajari shalat dan berpuasa. Ibunya juga mendaftarkan Dian dan Devi ke

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


49

TPA Islam di dekat rumahnya dan mengharuskan mereka mengaji atau datang ke masjid
setiap hari. Ketika usianya 5 tahun, mereka sudah terbiasa dengan shalat 5 waktu dan
puasa sebulan penuh saat Ramadhan. Memasuki bangku SD, Dian dan Devi
diperkenalkan dengan jilbab. Dian mulai mengenakan jilbab seperti ibunya di bangku
SMA, sedangkan Devi sudah mulai mengenakannya sejak masuk SMP. Ayah dan ibu
Dian juga mengajarkan pentingnya menjaga jarak antara perempuan dengan laki-laki,
sehingga Dian dan Devi tidak diperbolehkan berpacaran sebelum menikah. Mereka
sendiri memang tidak berpacaran sebelum menikah. Selain itu, orangtua Dian rajin
mendorong anak-anaknya untuk berprestasi di sekolah.
Dorongan orangtuanya menjadikan Dian sebagai anak yang alim dan tidak suka
membuat masalah. Dian juga dikenal sebagai siswa yang rajin dan pandai semasa
sekolahnya di bidang akademis. Dian hampir selalu menduduki rengking pertama di
kelasnya. Berbeda dengan adiknya yang justru kerap berprestasi di berbagai bidang non-
akademis seperti menari, menyanyi, dan olahraga. Dian selalu berhasil membanggakan
orangtuanya dengan kepandaiannya di berbagai pelajaran, termasuk pelajaran agama.
Seingat Dian, ia tidak pernah memperoleh nilai jelek dalam pelajaran. Jika Dian atau
Devi tidak berhasil memperoleh prestasi yang baik atau lalai dalam beribadah, maka
orangtuanya akan memberikan hukuman seperti disentil telinganya, dipukul bokong dan
tubuhnya, tidak diizinkan bermain keluar rumah, atau tidak diberikan uang jajan selama
beberapa waktu.
Di antara seluruh anggota keluarganya, Dian merasa paling dekat dengan Devi.
Meskipun demikian, tetap saja mereka memiliki minat yang berbeda sehingga tidak
terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Tetapi, Devi adalah adik dan teman yang
menyenangkan. Dian dan Devi merasa bisa saling mengerti satu sama lain, apalagi
mereka sama-sama menerima segala peraturan dari orangtuanya. Tak jarang, Dian dan
Devi saling menghibur jika salah satu di antara mereka dihukum karena shalatnya bolong
atau malas mengaji. Ayah Dian sebenarnya merupakan orang yang hangat dan bisa diajak
berdiskusi secara terbuka. Tetapi, Dian tetap merasakan ada jarak antara ia dengan
ayahnya. Terlebih lagi dengan ibunya, Dian samasekali tidak merasa dekat secara

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


50

emosional. Di mata Dian, ibunya adalah sosok yang keras dan terlalu sibuk dengan
urusannya sendiri. Meskipun hubungannya tidak mendalam, interaksinya dengan ibunya
berlangsung baik.

Sekolah dan Hubunsan deneatt Lawan Jenis


Kenangan masa kecil yang diingat Dian adalah ketika ia dan Devi menjalani hari-
hari di TPA. Menurut Dian, ia sangat senang karena banyak memiliki teman dan kenalan
baru. Hal yang membuat Dian heran adalah, ibu guru mengajinya tidak marah jika
melihat Dian bermain dengan teman laki-laki, bahkan seringkali ibu guru ikut bermain
kejar-kejaran atau petak umpet. Sedangkan, orangtua Dian melarang keras Dian dan Devi
untuk bermain dengan tetangga laki-laki. Di TK, Dian pernah merasa sangat malu dan
sedih karena diledek teman-temannya. Pada saat itu, Dian disukai oleh teman laki-lakinya
sehingga teman-teman yang lain mengolok-olok mereka. Dian sangat ketakutan jika
orangtuanya tahu dan setiap hari ia menghindar dari teman-teman yang mengejeknya.
Menginjak bangku SD, Dian beberapa kali mengalami hal yang sama, yaitu
ditaksir oleh teman laki-laki dan ia merasa ketakutan. Karena parasnya yang menarik,
sebenarnya wajar jika banyak teman laki-laki yang menyukainya dan hal tersebut
bukanlah salah Dian. Tetapi, Dian merasa pada saat itu orangtuanya akan memarahinya
karena telah membuat anak laki-laki ingin mendekatinya. Oleh karena itu, Dian lebih
banyak diam dan tidak menanggapi candaan teman-teman berjenis kelamin laki-laki.
Terkadang, jika dikirimi surat, Dian langsung membuangnya tanpa membacanya terlebih
dahulu. Hal tersebut yang membuat Dian lebih banyak memiliki teman perempuan,
sangat banyak, dibandingkan teman laki-laki. Dengan sesama perempuan, Dian sangat
terbuka, ceria, dan bisa menjadi teman yang menyenangkan. Namun, di dekat teman laki-
laki, Dian akan diam seribu bahasa.
Sikap Dian tampaknya justru semakin membuat banyak teman laki-lakinya
penasaran. Di kelas 3 SD, Dian sampai 4 kali menerima surat cinta dari teman sekelasnya
tetapi lagi-lagi tidak digubrisnya. Selain bermain dengan teman-teman perempuan, Dian
sibuk sekali mengikuti lomba cerdas cermat antar sekolah. Dian sebenarnya ingin

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


51

mencoba mengobrol dengan teman laki-laki tetapi tidak berani dilakukannya. Dian
berusaha mengalihkan keinginannya untuk bergaul dengan teman laki-laki dengan cara
belajar. Dian merasa bangga jika ia berhasil menjadi nomor satu dan iapun tentunya akan
mendapatkan pujian dari orangtuanya yang membuatnya senang. Secara keseluruhan,
prestasi akademis Dian sangat baik dan guru-guru menyukai Dian karena ia kalem, tidak
banyak bertingkah, dan pandai.
Memasuki bangku SMP, Dian memiliki teman baru yaitu Bimo, yang kelasnya
bersebelahan dengan dirinya dan Dian merasakan hal yang berbeda. Setiap bertemu atau
berpapasan dengan Bimo, Dian merasakan jantungnya berdebar-debar dan ia tidak ingin
melepaskan pandangannya dari temannya itu. Dian tidak mengerti perasaan apa yang
dialaminya, namun dari teman-temannya yang sudah mulai berpacaran Dian mengetahui
bahwa dirinya mulai merasa suka kepada Bimo. Dian sangat ketakutan akan ketahuan
orangtuanya sehingga ia menutup rapat-rapat perasaannya itu dan tidak pernah
membicarakannya dengan siapapun termasuk teman-teman satu gengnya. Padahal,
menurut salah satu temannya, Bimo juga menyukai Dian tetapi tidak berani mendekati
Dian karena sikapnya yang terkesan judes dan menghindari Bimo. Dian menyimpan
perasaannya terhadap Bimo sampai ia duduk di kelas tiga. Perasaan suka Dian tidak
berubah atau berkurang meskipun Bimo sudah pacaran dengan beberapa perempuan
teman-temannya di sekolah.
Karena Dian merupakan anak yang pandai, Dian menjadi satu-satunya siswa dari
SMP swasta tersebut yang berhasil mendapatkan tempat di SMU negeri yang cukup
populer di Bogor. Dian sempat merasa gugup membayangkan akan berpisah dari Bimo.
Karena alasan itu, suatu hari, Dian mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk nekat
menelepon Bimo. Bimo sangat kaget ketika mengangkat telepon dan mendengar suara
Dian, karena selama ini mereka hampir tidak pernah mengobrol kecuali jika ada
kepentingan pelajaran. Bimo menyambut telepon Dian dengan senang dan ingin
mengajak Dian bertemu di mal, tetapi Dian tidak mau. Dian hanya bertanya Bimo
melanjutkan sekolah di mana. Begitu Bimo menjawab bahwa ia sudah diterima di sebuah
SMA di Surabaya mengikuti ayahnya yang dinas, Dian langsung mengucapkan selamat,

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


52

salam perpisahan, kemudian menutup telepon. Dian ingat betapa sedihnya ia ketika itu.
Selama beberapa hari, Dian murung dan tidak ingin mencari kegiatan untuk mengisi
liburannya.

M asa Remaia dan Pacar Pertama


Masa SMA Dian dirasakannya cukup menyenangkan. Awalnya, Dian merasa
tidak percaya diri karena ia tidak memiliki teman di sekolah barunya. Selain itu, Dian
merasa janggal dengan budaya di sekolah negeri yang berbeda sekali dengan sekolah
swasta Islam. Beruntung, Dian berkenalan dengan teman-teman yang baik-baik yang
berasal dari berbagai sekolah. Pada masa ini, Dian mau tidak mau mulai belajar bergaul
dengan teman laki-laki, karena tidak seperti di sekolah Islam yang jarak antara murid
perempuan dengan laki-laki memang dijaga, di sekolah negeri semua murid bercampur
baur satu sama lain. Dian semula grogi, tetapi ia merasa senang karena ia mulai bisa
memiliki teman laki-laki. Dari perkenalan itu, lama-lama mereka menjalin kedekatan
yang lebih mendalam dan menyatakan diri sebagai satupeergroup yang terdiri dari tujuh
orang. Di antara ketujuh orang tersebut, Dian merasa paling nyaman berteman dengan
Mia dan Dani.
Ayah dan ibu Dian selalu memantau perkembangan Dian di sekolah. Melihat
bahwa teman-teman Dian bersikap baik, temasuk yang laki-laki, mereka tampaknya
mengendurkan larangannya untuk Dian tidak boleh berdekatan dengan laki-laki. Selain
itu, ayah Dian mengatakan bahwa Dian sudah remaja sehingga Dian harus belajar untuk
bergaul dengan baik dan sehat. Secara akademis, prestasi Dian tidak sebaik ketika SD
dan SMP karena SMA tersebut merupakan SMA unggulan. Dian mengaku sulit sekali
menyaingi kepandaian teman-temannya. Prestasi Dian yang paling tinggi semasa SMA
adalah meraih rengking 3. Dian tidak pemah lagi meraih peringkat pertama di kelas.
Meskipun begitu, Dian merasa bangga karena ia satu-satunya siswa yang berhasil
menembus masuk ke SMA negeri.
Dian yang sejak kecil tidak memiliki minat yang besar di bidang non-akademis,
sejak bergaul dengan teman-teman SMAnya menjadi tertarik untuk mengikuti berbagai

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


53

kegiatan non -akademis. Selain karena ingin mencoba suasana baru, Dian tertarik karena
melihat teman-temannya itu yang sangat serius menekuni hobinya masing-masing dan
mereka menemukan kepuasannya sendiri. Seperti Kiki yang pecinta alam dan sering naik
gunung bersama teman-teman eskur (kegiatan ekstrakurikuler sekolah) pecinta alam,
Yudi yang setiap minggu berlatih taekwondo di halaman sekolah, Kristin yang rajin
berlatih Paskibra, dan lain-lain. Karena bingung akan memilih kegiatan apa, akhirnya
Dian memilih kegiatan bola basket bersama Dani dan Mia. Dian merasa dirinya cukup
senang bermain basket. Kegiatan eskur yang sama membuat mereka bertiga semakin
dekat dan merasa cocok.
Seringnya mereka menghabskan waktu bersama membuat Dani menyukai Dian.
Seperti sebelumnya, Dian ketakutan dan tidak mau menerima teman laki-laki yang
mendekatinya karena takut ketahuan orangtuanya. Tetapi, Mia dan teman-teman yang
lain mendorong mereka berdua untuk segera meresmikan hubungan. Dian merasa bahwa
dirinya tidak menyukai Dani karena perasaannya terhadap Dani tidak seperti yang
dirasakannya terhadap Bimo. Akan tetapi, Dian menyadari bahwa Dani adalah teman
yang baik dan sikapnyapun baik sejauh ini. Setelah Dian berpikir panjang, akhirnya ia
bersedia menerima Dani sebagai pacar pertamanya. Teman-teman yang lain menyambut
kabar tersebut dengan senang karena keduanya dikenal baik dan pandai. Tetapi, Dian
meminta kepada Dani dan teman-temannya untuk menyembunyikan status pacaran
mereka.
Seperti yang telah diceritakan pada subbab sebelumnya, hubungan Dian dengan
Dani sebatas makan bersama atau pulang sekolah bersama, itupun dilakukan juga dengan
Mia dan teman-teman yang lain. Selebihnya, mereka sering mengerjakan PR bersama di
rumah Dian. Hal tersebut karena ibu Dian tidak mengizinkan Dian bermain di rumah
temannya, lebih baik teman-temannya yang datang ke rumah Dian. Dian mengatakan
bahwa tidak ada yang aneh dari hubungannya dengan Dani selama satu tahun pertama,
bahkan mereka seperti teman saja, hanya statusnya yang berbeda. Dani sangat perhatian
dan mau mengajari Dian beberapa pelajaran yang dikuasainya. Kedekatan tersebutlah
yang lama kelamaan menimbulkan perasaan sayang terhadap Dani di hati Dian.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


54

Menjelang EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) dan SPMB


(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di tahun 2003, Dian, Dani, Mia, dan teman-
temannya yang lain berjuang keras belajar untuk bisa lulus dengan nilai baik dan merebut
bangku di perguruan tinggi negeri. Dian yang berniat ingin mengembangkan bisnis
keluarganya mengincar jurusan Ekonomi dengan pilihan pertama di Jakarta dan pilihan
kedua di Bandung. Dian berhasil lulus dengan NEM yang cukup tinggi di sekolah. Dian
juga berhasil tembus SPMB namun di pilihan kedua. Ayah dan ibu Dian tidak
memberikan izin untuk Dian tinggal sendiri di kota lain. Dengan sangat terpaksa, Dian
merelakan bangkunya di universitas negeri demi menurut kepada orangtuanya. Dian
mengaku sedih karena ia ingin sekali kuliah di universitas negeri dan merasa iri kepada
teman-temannya yang diizinkan kuliah di luar kota. Kemudian, ayah Dian mendaftarkan
Dian di sebuah universitas swasta di Bogor. Dengan prestasi Dian yang gemilang, tentu
tidak sulit baginya untuk diterima di universitas tersebut. Dian mengaku sampai sekarang
kerap merasa malu dengan almamaternya itu. Sementara itu, Dani lolos SPMB sehingga
mau tidak mau, Dani harus pindah ke Jawa Tengah untuk melanjutkan pendidikannya.

Kekerasan Seksual dalam Hubuman Pacaran


Sejak saat itu, Dian dan Dani menjalani hubungan jarak jauh. Dani pulang ke
Bogor setiap satu atau dua bulan sekali, dan sudah pasti ketika libur semester. Dian
sendiri tidak pernah berani mengunjungi Dani di Jawa Tengah. Selanjutnya yang terjadi
dalam hubungan mereka adalah yang sudah diuraikan di subbab sebelumnya, di mana
sikap Dani mulai berubah. Dengan alasan melepas rindu, Dani sering memaksa Dian
melakukan hubungan seksual bahkan sampai melakukan kekerasan fisik. Dian mengaku
selalu berupaya untuk menolak, tetapi ia tidak mampu melawan karena Dani jauh lebih
kuat darinya dan Dian menjadi pasrah membiarkan Dani melakukan apa yang
diinginkannya. Perasaan Dian ketika pertama kali Dani melakukan penetrasi adalah
sangat ketakutan, tubuhnya gemetar dan tidak bisa berkata-kata. Dian juga menangis
kesakitan dan nyeri di kemaluannya tidak hilang hingga beberapa hari.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


55

Sejak itu, Dian marah kepada Dani dan menghindari Dani. Tetapi, Dani meminta
maaf dan mengatakan menyesal telah menyakiti Dian. Karena perasaan sayangnya,
Dianpun memaafkan Dani. Sayangnya, kejadian tersebut berulang dan Dani selalu punya
alasan untuk membawa Dian ke kamarnya di mana ia bisa mamaksa Dian melakukan
hubungan seksual. Dan entah mengapa, Dian mudah sekali merasa percaya kepada Dani
sehingga lagi-lagi harus mengalami penyiksaan fisik sebelum akhirnya Dani melakukan
penetrasi. Jika sudah tidak sanggup melawan Dani, maka Dian pasrah dan hanya meminta
Dani berjanji untuk menikahinya setelah kuliahnya selesai. Setidaknya Dian tidak
berdosa lagi jika berhubungan seks setelah menikah, begitu pemikirannya.
Menurut Dian, perasaan cintanya terhadap Dani berkurang perlahan-lahan setiap
Dani memaksanya melakukan hubungan seksual. Dian juga merasa kecewa karena ia
mengira Dani akan menjaga dan melindunginya, namun kenyataannya berbanding
terbalik. Selain itu, Dian merasa bersalah karena tidak maksimal dalam melawan Dani
dan membiarkan Dani melakukan kekerasan kepadanya. Dian menjadi lebih sering
berdiam diri dan tidak banyak bersenang-senang dengan teman-temannya. Batinnya
begitu tertekan karena ingin menceritakan permasalahannya ini kepada seseorang, tetapi
Dian tidak berani dan merasa harga dirinya jatuh. Dian merasa dirinya sudah tidak
perawan lagi dan hal tersebut sangat memalukan. Dian juga mengaku selalu menangis
saat shalat dan memohon ampun yang sebesar-besarnya kepada Tuhan atas dosanya yang
begitu besar. Dian mengatakan bahwa dirinya mungkin sudah tidak punya muka lagi di
hadapan Tuhan.
Dian tidak sanggup membayangkan seandainya orangtuanya mengetahui kejadian
tersebut. Dian takut sekali akan dirajam atau dicambuk seperti yang diceritakan ayahnya
mengenai hukuman di masa Nabi untuk orang-orang yang berzina. Dian bahkan terpikir
untuk menemui seorang ustad atau kiyai untuk meyakinkan dirinya mengenai hukuman
tersebut. Perasaan takut Dian yang tidak terbendung membuatnya memberanikan diri
bercerita kepada Mia mengenai masalahnya. Mia sangat kaget dan marah mendengar
cerita Dian. Mia langsung menyuruh Dian untuk memutuskan hubungannya dengan Dani.
Dian merasa bimbang karena bagaimanapun, ia masih mencintai Dani. Selain itu, Dian

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


56

juga merasa takut kelak ia tidak akan pernah menikah karena tidak ada laki-laki yang
meu menikahi perempuan yang sudah tidak perawan. Tetapi, Mia meyakinkan Dian
bahwa hubungannya dengan Dani sudah tidak sehat dan dirinya terlalu berharga untuk
disakiti. Mia juga meyakinkan Dian bahwa ia akan selalu menemani Dian jika Dian butuh
tempat berbagi. Dia akhirnya merasa yakin dan berani untuk memutuskan hubungan
dengan Dani.
Dani tidak begitu saja setuju. Ia tidak menyangka Dian akan berani memutuskan
hubungan mereka. Dani langsung pulang ke Bogor dan mengejar Dian. Semua cara
ditempuhnya, mulai dai mendatangi rumah Dian, mengunjungi kampus Dian, menelepon
ponsel Dian tanpa henti dan mengirim pesan yang mengatakan bahwa dirinya menyesal
dan tidak ingin kehilangan Dian. Semula, Dian masih kerap tergoda untuk merespon
Dani. Namun, seiring berjalannya waktu, Dian semakin kuat dengan dorongan dari Mia
dan semakin berani pula menutup kontak dengan Dani. Justru Dian merasa ketakutan
karena Dani mencarinya dengan membabi buta. Orangtua Dian sempat merasa heran
mengapa Dian tidak mau menemui Dani, kemudian Mia membantu menjelaskan bahwa
Dian tidak suka dengan sikap Dani yang kurang ajar terhadapnya. Mendengar hal
tersebut, ayah dan ibu Dian marah dan membantu Dian untuk menghindar. Dian
membutuhkan waktu sekitar setengah tahun sebelum akhirnya Dani benar-benar
menyerah dalam mengejar Dian.

Pasca Kekerasan Seksual


Dian merasakan kelegaan yang luar biasa setelah lepas dari Dani meskipun berat
dan hatinya sedih karena harus kehilangan seseorang yang ia sayangi. Perlahan-lahan,
Dian belajar untuk melupakan Dani. Dian merasa kapok menjalani hubungan lagi dan
membenarkan orangtuanya yang melarangnya pacaran. Namun, pengalaman negatifnya
dengan seks membuat diri Dian mempertanyakan apakah hubungan seks memang
menyakitkan, jika ya mengapa pasangan lain bisa menikmatinya bahkan sampai kakek-
nenek dan memiliki banyak anak. Pemikiran tersebut membuat Dian mengalami

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


57

kebingungan dan penasaran, hingga terjerumus dalam hubungan yang tidak sehat dengan
banyak laki-laki.
Dian yang pada dasarnya memang menarik dan banyak disukai laki-laki, mulai
menanggapi laki-laki yang mendekatinya dan membiarkan mereka melakukan sentuhan
fisik sampai dengan hubungan seksual. Dalam pemikiran Dian, dirinya sudah tidak
perawan lagi sehingga tidak ada yang perlu dipertahankan. Dian akan membanding-
bandingkan sensasi ketika melakukan hubungan seks dengan para laki-laki tersebut.
Akan tetapi, jika diajak berpacaran apalagi menikah, Dian akan menghindar dan
meninggalkan laki-laki tersebut. Menurut Dian, ia selalu kesulitan memperoleh orgasme
walaupun ia menyukai sensasi berhubungan seks. Secara keseluruhan, Dian merasa tidak
terlalu mampu menikmati hubungan seksualnya secara optimal meskipun ia ingin.
M ia yang juga sempat diwawancara peneliti mengaku prihatin dengan kondisi
Dian, tetapi M ia berusaha memahami betapa hancurnya perasaan Dian setelah mengalami
hubungan yang buruk dengan Dani. Dian merasa gagal sebagai seorang perempuan
karena tidak bisa menjaga keperawanannya dan telah mengecewakan keluarganya. Dian
selalu marah-marah jika sedang teringat pengalamannya dengan Dani, atau bisa jadi
sebaliknya merasakan kesedihan dan kecemasan yang luar biasa. Dian akan berdiam diri,
tubuhnya gemetar, tidak bisa tidur, dan tidak berselera untuk makan setiap ia
membayangkan pemaksaan melakukan hubungan seks yang dilakukan Dani terhadapnya,
terutama nyeri yang dirasakan di kemaluannya. Dian juga sering diganggu mimpi buruk
dan selalu menghindari bertemu teman-teman SMA-nya kecuali Mia, padahal mereka
mendukung Dian.
Menurut Dian, kebiasaan buruknya dalam berpetualang seks mulai berkurang
sejak kehadiran Wira, seorang laki-laki rekan bisnisnya. Wira sangat sabar dan bisa
mengerti kondisi Dian. Dian yang semula ingin menggoda Wira untuk melakukan
hubungan seks ternyata tidak berhasil, dan Dian merasa tercengang bahwa masih ada
laki-laki yang sopan seperti Wira. Dengan lembut, Wira melakukan pendekatan kepada
Dian. Dian bersedia terbuka dan menceritakan semua pengalaman masa lalunya.
Meskipun kaget dan tidak menduga sebelumnya, Wira berjanji akan mendampingi Dian

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


58

asalkan Dian mau memperbaiki diri bersama-sama. Dian mengaku, Wira merupakan
sosok yang bisa menenangkan dirinya dan membuat pandangannya berubah mengenai
laki-laki dan hubungan seks. Dian merasa bahagia sejak Wira menjadi kekasihnya, tetapi
bayangan mengenai peristiwa buruknya bersama Dani belum bisa hilang dari ingatannya
dan masih kerap mengganggunya.

4 .2 . Data Partisipan 2: TIA


4. 2. 1. Identitas
Inisial Nama Lengkap CT
Jenis Kelamin Perempuan
Domisili Jakarta
Suku Bangsa Jawa
Agama Islam
Pendidikan Terakhir S2
Pekerjaan Belum Bekerja
Waktu Pengambilan Data 18 April, 4 Mei, 5 Mei, 6 Mei, 1 Juni 2010

4 .2 .2 . Gambaran Kasus
Tia mengalami kekerasan seksual ketika menjalani hubungan dengan seorang
laki-laki tampan bernama Toni yang dikenalnya sejak di bangku SD. Mereka kemudian
bertemu kembali dan resmi berpacaran di tahun 2004. Tia menceritakan bahwa
hubungannya dengan Toni awalnya baik-baik saja, dan jarang bertengkar. Toni sangat
perhatian dan tampak sangat mencintai Tia. Dari beberapa hubungan yang pernah
dijalaninya, Tia mengatakan bahwa Toni adalah pria yang paling romantis dan bisa
membuat Tia merasa nyaman. Bahkan, karena keyakinannya terhadap sifat dan sikap
Toni yang baik, Tia membayangkan Toni adalah pria terakhir dalam hidupnya yang akan
menjadi suaminya. Setelah beberapa bulan menjalin hubungan, Tia mendengar desas-
desus bahwa Toni adalah seorang playboy yang suka mempermainkan wanita. Suatu hari,
Tia memberanikan diri bertanya kepada Toni mengenai kebenaran berita yang beredar.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


59

Ketika itu, Toni langsung mengakui bahwa dirinya memang kerap melakukan hubungan
seksual dengan pacar-pacar sebelumnya. Meskipun sakit hati karena laki-laki yang
dicintainya ternyata pernah berhubungan seks dengan wanita lain, Tia tetap senang
dengan pengakuan Toni, karena itu berarti Toni jujur dan menganggap hubungan mereka
berbeda dengan sebelumnya.
Karena kampus Tia terletak tidak jauh dari rumah Toni, maka Tia sering bermain
ke sana sebelum atau setelah kuliah. Anggota keluarga Toni terbiasa dengan privasi
sehingga tidak masalah jika Tia masuk ke kamar Toni dan melakukan berbagai kegiatan
seperti mengerjakan tugas, menonton TV, atau sekedar beristirahat. Orangtua serta kakak
Tonipun sudha mengenal Tia dengan baik. Menginjak tahun kedua berpacaran, Tia
merasakan kejanggalan ketika Toni mulai berani menyentuh bagian-bagian pribadi dari
tubuhnya. Di satu sisi, Tia menyadari bahwa Toni mungkin akan memaksanya
melakukan hubungan seksual seperti wanita-wanita sebelumnya, di sisi lain Tia tidak
ingin kehilangan Toni. Tia sangat bimbang tetapi tidak berani menceritakan masalahnya
kepada siapapun.
Suatu hari, Toni memintanya untuk berhubungan seksual dan Tia sangat kaget.
Tia langsung menolak dan meninggalkan Toni pulang karena merasa kecewa. Setelah itu,
Toni meminta maaf dan merayu Tia untuk mau menemuinya. Namun, begitu Tia sudah
memaafkannya, Toni kembali memaksanya melakukan hubungan seks. Toni tidak
menyakitinya secara fisik, namun Toni sempat memaki-maki Tia karena tidak mau
memenuhi permintaannya. Merasa tertekan, Tia menangis dan memohon kepada Toni
untuk tidak melakukan penetrasi tetapi Toni tidak menggubris. Diakui Tia, ia merasa
kesakitan dan tidak menikmati hubungan seksual tersebut. Setelah kejadian tersebut, Tia
kembali menangis dan merasakan kebencian yang mendalam terhadap Toni. Tia merasa
keperawanan yang dijaganya selama ini telah direnggut oleh Toni. Toni meminta maaf
berulang-ulang dan mengatakan menyesal.
Lama kelamaan Tia merasa risih karena Toni semakin sering memaksanya
melakukan hubungan seksual. Tia selalu menolak dan berusaha menghindar dari situasi-
situasi di mana mereka hanya berdua saja. Tetapi, Toni terus meminta kepadanya dengan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


60

alasan memiliki kebutuhan biologis dan berjanji akan menikahi Tia. Selain itu, Tia
seringkali tidak tahan karena lelah dicaci maki oleh Toni. Jika sedang marah, Toni
mengata-ngatai Tia bahkan sering mengucapkan kata-kata kotor dan binatang. Menurut
Tia, ia selalu merasa terpaksa ketika akhirnya mau melakukan hubungan seksual dengan
Toni. Selama satu tahun, Toni selalu memaksa Tia untuk melakukan hubungan seksual
dengan frekuensi sekitar sebulan sekali. Satu-satunya ketakutan Tia adalah kehilangan
Toni, karena Tia merasa sudah menyerahkan segala-galanya kepada Toni. Tia
sebenarnya merasa malu, rendah diri, dan kotor karena dirinya tidak suci lagi. Tia sendiri
merasa tidak akan ada pria yang mau menerimanya dengan kondisinya yang sudah tidak
perawan lagi. Oleh karena itu, Tia mempertahankan hubungannya dengan Toni dan
memberikan apa yang diminta Toni meskipun terpaksa asalkan Toni tidak
meninggalkannya.
Di tahun 2006, Tia hamil dan sangat stres karenanya, bahkan ia merasa hampir
gila karena depresi. Rasa malu dan rendah diri yang dialaminya sangat luar biasa. Tia
terus menerus menangis setiap hari, sampai akhirnya Toni mengajak Tia menggugurkan
kandungannya. Tia mengaku kaget karena ia mengira Toni akan menikahinya. Tetapi,
Toni mengatakan bahwa mereka masih kuliah, tidak mungkin diizinkan menikah, nanti
saja menikahnya setelah mereka berdua sama-sama bekerja. Demi menahan malu, lagi-
lagi Tia menuruti keinginan Toni. Sejak saat itu, Tia benar-benar tidak mau lagi
menerima ajakan Toni untuk melakukan hubungan seksual karena kapok. Tia mempunyai
firasat bahwa Toni akan meninggalkannya, tetapi Tia berusaha meyakinkan dirinya
bahwa Toni tidak akan tega melakukannya.
Sampai suatu ketika di tahun 2007, Toni memutuskan hubungannya dengan Tia
karena ia menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan mudahnya, seolah tanpa beban
apapun, Toni meninggalkan Tia. Tia mengaku sangat shock dan tidak terima, tetapi tidak
berusaha mengejar Toni. Tia mengaku energinya sudah habis dan perasaannya seolah
tumpul. Rasanya seperti ingin menjerit tetapi tidak ada tenaga, ingin menangis tetapi
tidak ada airmata yang keluar. Tia sangat terpukul dan merasa putus asa. Terlebih lagi,

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


61

Tia mendengar kabar dari teman-temannya bahwa Toni dan wanita tersebut juga sudah
lama menjalin hubungan serta sering pula melakukan hubungan seksual.
Hingga saat ini, perasaan benci Tia terhadap Toni masih mendalam. Jika
mengingat bagaimana Toni menghinanya dan memaksanya melakukan hubungan seks,
Tia menjadi sangat marah dan emosinya meledak-ledak. Tia juga masih sering bermimpi
buruk tentang Toni, dan merasa trauma akan nyeri penetrasi dan saat menggugurkan
kandungan. Selain itu, Tia mengaku masih memiliki ingatan-ingatan yang terbangkitkan
jika ia mengalami sesuatu yang berkaitan dengan Toni. Misalnya, Tia sampai sekarang
menghindari sebuah tempat wisata karena tempat tersebut mengingatkannya kepada Toni.
Tia juga akan merasa murung, sedih, dan benci yang bercampur aduk menjadi satu jika ia
mengingat tanggal-tanggal yang dilaluinya sekarang di mana tahun-tahun sebelumnya ia
tengah bersama Toni. Contohnya, setiap tanggal 19 April, Tia selalu bermimpi tentang
Toni karena tanggal tersebut merupakan tanggal resmi di mana mereka mulai berpacaran
di tahun 2004.
Satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara adalah Tito, pacarnya sekarang
yang juga mengenal Toni. Meskipun sudah mengetahui keadaan Tia, Tito tetap mencintai
Tia. Hal ini membuat Tia merasa dihargai dan diterima. Sebenarnya, hubungan Tia
dengan Tito berjalan cukup baik dan sehat. Tito juga mampu bersikap sabar dalam
menghadapi emosi Tia jika teringat peristiwa yang dialaminya dengan Toni. Tetapi, dari
sudut pandang Tia, menjalani hubungan baru bagaimanapun tidaklah mudah. Tia
merasakan ada yang berbeda dari dirinya sejak putus dari Toni. Meskipun Tito mencintai
Tia dengan sepenuh hati, di awal hubungan mereka rasanya hal itu tidak pernah cukup
bagi Tia.
Hal lain yang dirasakan Tia adalah pandangannya menjadi berubah terhadap
hubungan intim. Ia menganggap bahwa hubungan intim tidak perlu dijalani dengan kata-
kata manis dan berbagai rayuan yang dulunya terasa begitu indah. Tia menjadi orang
yang tegas, cuek, dan lebih mengutamakan bukti nyata dalam perilaku dibandingkan
basa-basi dalam berkomunikasi dengan pasangan. Hubungannya dengan Tito-pun
cenderung santai dan tidak mengekang. Tia juga merasa dirinya tidak sensitif. Jika terjadi

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


62

suatu hal buruk, maka Tia seolah tidak bisa merasakan sedih atau takut. Menurut Tia,
harga dirinya sudah hancur dan terkoyak-koyak oleh perilaku Toni dan sekarang ia yang
harus menanggungnya sendiri. Hal tersebut sudah yang paling buruk dialaminya sehingga
hal lain tidak lagi bisa membuatnya merasa sedih atau takut. Selain itu, sebagai wanita,
Tia sering merasa dirinya tidak lagi berharga. Saat ini, Tia merasa bahagia dengan Tito
tetapi tetap belum bisa melupakan pengalaman tidak menyenangkannya bersama Toni.

4. 2 .3 . Observasi
Tia merupakan seorang gadis dewasa berusia 25 tahun yang berpenampilan kasual
tetapi stylish. Tia memiliki postur tubuh mungil dengan tinggi badan sekitar 150
sentimeter dan berat badan 48 kilogram. Tia berkulit putih dan berparas menarik. Bentuk
wajahnya oval dengan beberapa bintik jerawat di pipinya yang putih. Wajahnya tampak
selalu segar meskipun tanpa riasan dengan raut wajah yang cenderung jutek. Tia juga
tidak banyak bicara jika tidak ditanya terlebih dahulu. Rambut Tia sepunggung dan
hampir selalu dikuncir atau dijepit. Tia selalu mengenakan celana jins dengan atasan
yang berbeda-beda, yaitu kaos atau blus yang cenderung berwarna gelap dan terkesan
modis. Pada sebagian pertemuan, Tia menggunakan kacamata minus berbingkai ungu dan
pada sebagian pertemuan lainnya, ia menggunakan lensa kontak berwarna coklat tua.
Cara duduknya cenderung formal dan ia tampak berusaha menjadi partisipan yang tidak
merepotkan peneliti.
Secara keseluruhan, sikap Tia kooperatif terhadap peneliti. Ia bersedia menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan peneliti dengan terbuka. Setelah menjalin rapport,
barulah Tia menunjukkan perilaku yang lebih apa adanya. Ternyata, Tia merupakan
orang yang cukup cerewet dan sebenarnya ceria. Tia mengakui bahwa ia hanya bisa
bersikap demikian kepada orang yang dianggapnya dekat. Dalam menjawab pertanyaan,
Tia cenderung to the point namun juga berusaha memberikan penjelasan dengan rinci dan
panjang lebar sehingga peneliti tidak perlu lagi banyak memberikan pertanyaan lebih
lanjut. Sikap tubuh Tia tenang dan tidak banyak mengalami perubahan selama
wawancara berlangsung, demikian pula dengan intonasi suara dan ekspresi wajahnya.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


63

Sesekali, mata Tia menerawang dan melihat ke berbagai arah saat bicara, terutama saat
menceritakan pengalaman yang menyedihkan atau kurang menyenangkan. Tia juga
senang menggunakan gerakan tangannya untuk membantunya mendeskripsikan sesuatu.
Nada suara dan ekspresi wajah Tia menjadi sedikit berbeda ketika membicarakan
tentang peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Tia menunjukkan ekspresi wajah
yang cenderung malas-malasan dan seperti tidak terlalu tertarik membicarakan kejadian
tersebut. Meskipun demikian, ia terus bercerita bahkan seringkali sulit dihentikan. Pada
lain kesempatan, Tia justru tampak marah dengan nada suara yang meninggi dan mata
melotot saat menceritakan pengalamannya dengan pelaku. Pada beberapa kesempatan,
Tia juga memaki pelaku dengan kata-kata kasar seperti *bajingan\ ‘b ren g sek‘cowok
s i a l a n dan contoh-contoh lainnya. Namun, secara umum, Tia tetap menjawab semua
pertanyaan yang diajukan peneliti dengan baik dan lancar.

4. 2. 4. Ringkasan Wawancara
Keluarsa
Tia adalah seorang gadis berusia 25 tahun yang berasal dari suku Jawa. Saat ini,
Tia berdomisili di Jakarta bersama kedua orangtua dan adik-adiknya, tetapi sesekali Tia
bertolak ke kota Yogyakarta untuk mengurus kelengkapan administrasi kelulusannya
yang belum tuntas di sebuah universitas di kota tersebut. Belum lama ini, Tia baru saja
menyelesaikan pendidikan S2-nya di sebuah fakultas yang bidang studinya ilmu sosial,
oleh karena itu ia sedang giat-giatnya melamar pekerjaan. Meskipun Tia cukup betah
selama berkuliah di Yogyakarta, Tia tetap ingin memiliki pekerjaan di Jakarta dan
kembali tinggal bersama keluarganya setelah kurang lebih dua tahun menuntut ilmu di
kota lain.
Tia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adiknya berjenis kelamin
perempuan, masing-masing usianya 20 tahun dan 18 tahun dan saat ini keduanya masih
berkuliah SI. Orangtua Tia sebagai wiraswasta memiliki usaha sendiri di rumah yang
menjadi sumber penghasilan keluarga. Sebagai anak tertua, Tia merasa memiliki
tanggung jawab yang besar dalam menyokong keluarganya, khususnya dari segi

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


64

ekonomi. Tia juga menyadari bahwa ia memiliki posisi sebagai seorang kakak dan anak
pertama yang paling menjadi harapan keluarga sehingga Tia selalu mengusahakan yang
terbaik agar bisa menjadi panutan adik-adiknya dan kebanggaan orangtuanya.
Sebenarnya, Tia baru tinggal bersama keluarganya di Jakarta ketika ia berusia 16
tahun, yaitu di saat Tia memasuki bangku SMU. Sebelumnya, sejak lahir, Tia diasuh oleh
nenek dan kakeknya dari pihak ibu di Jember, yang merupakan daerah asal ayah dan
ibunya. Menurut Tia, hal tersebut dikarenakan ketika Tia lahir, kedua orangtua Tia belum
mapan secara ekonomi dan masih sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lainnya.
Oleh karena itu, nenek dan kakek Tia menyarankan agar Tia menetap di Jember sampai
kondisi pekerjaan orangtua Tia lebih stabil dan bisa menetap di satu kota agar Tia bisa
dibesarkan dengan baik. Dengan demikian, setelah Tia lahir, orangtuanya langsung
pindah untuk menjalani dinas ke Kalimantan, sedangkan Tia diasuh oleh sang nenek dan
kakek di Jember.

M asa Kecil
Seingat Tia, ia sejak kecil memang sudah mengetahui bahwa ia diasuh oleh kakek
dan neneknya karena orangtuanya bekerja di daerah lain, dan Tia tidak merasa
disingkirkan karenanya. Hal tersebut karena orangtua Tia selalu berusaha menjaga
komunikasi dengan Tia, baik melalui telepon maupun kunjungan. Hampir setiap hari ibu
Tia menelepon ke Jember dan mengajak Tia mengobrol atau sekedar menanyakan kabar
Tia. Tia yang masih kanak-kanak menganggap ibu dan ayahnya sedang pergi jauh saja
untuk bekerja, dan suatu hari nanti Tia pasti akan berkumpul kembali dengan mereka.
Setiap tahun, Tia memiliki kesempatan bertemu orangtuanya sebanyak dua kali, yaitu
ketika liburan sekolah akhir tahun di mana Tia yang diajak ke Jakarta, serta ketika Hari
Raya Idul Fitri di mana orangtua Tia-lah yang datang ke kampung halamannya.
Ketika Tia duduk di bangku SD, orangtua Tia akhirnya menetap di Jakarta dan
mengajak Tia untuk tinggal bersama mereka. Pada dasarnya, Tia sangat ingin menerima
ajakan tersebut. Bagaimanapun, Tia menyadari bahwa ia merupakan anak kandung ayah
dan ibunya sehingga sudah semestinya Tia tinggal bersama keluarganya. Terlebih lagi,

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


65

Tia sudah memiliki adik-adik dan ia sangat ingin berdekatan dengan adik-adiknya. Adik-
adik Tia sejak lahir langsung tinggal bersama orangtuanya karena mereka sudah menetap
di Jakarta. Sayangnya, nenek Tia tidak mengizinkan Tia untuk 'pulang’ ke rumah
orangtuanya. Nenek Tia mengatakan kepada orangtua Tia bahwa sebaiknya Tia
menyelesaikan SD-nya dulu baru pindah agar tidak menyulitkan proses kepindahan
sekolahnya. Tetapi, menurut dugaan Tia, neneknya bersikap demikian karena tidak ingin
Tia meninggalkannya. Jika Tia pindah ke Jakarta, maka nenek dan kakek akan tinggal
berdua saja dan mungkin sang nenek tidak mau sendirian dan merasa kesepian. Ketika
itu, orangtua Tia tidak berani melawan keinginan nenek Tia dan membiarkan Tia tinggal
di Jember. Tia juga tetap menikmati masa-masa sekolahnya di Jember karena teman-
temannya baik-baik dan sangat bisa menghiburnya sehingga Tia tidak pernah merasa
tertekan berjauhan dari keluarganya.
Ketika Tia akan lulus SD, orangtua Tia menagih janji sang nenek untuk
membawa Tia ke Jakarta. Tetapi, lagi-lagi nenek Tia tidak mengizinkannya dengan
alasan kasihan kepada Tia yang masih belum dewasa dan khawatir nantinya Tia akan
kesulitan beradaptasi di Jakarta. Nanti saja jika Tia lulus SMP, barulah Tia benar-benar
boleh dipindahkan ke Jakarta dan bersekolah SMA di Jakarta. Dan lagi-lagi, orangtua Tia
tidak berani membantah kata-kata nenek Tia. Padahal, adik-adik Tia juga sudah meminta
agar kakaknya tinggal bersama mereka. Namun, berbeda dengan masa SD-nya yang
dilaluinya dengan santai, saat menginjak usia remaja Tia mulai banyak berpikir tentang
dirinya dan keluarganya. Tia merasa bahwa ia sebaiknya memang pindah ke Jakarta
karena di sanalah keluarganya. Tia juga sering merasa rindu kepada adik-adiknya. Oleh
karena itu, Tia benar-benar menunggu saat-saat di mana ia akan lulus SMP dengan
gembira.
Sayangnya, meskipun nenek Tia mengatakan akan memberikan izin, sampai Tia
duduk di kelas 3 SMP, sang nenek tidak kunjung menunjukkan perilaku akan
membantunya untuk pindah ke Jakarta, sedangkan orangtua dan adik-adiknya terus
mendesaknya. Lama kelamaan, Tia mulai merasa kesal kepada neneknya yang terkesan
menghalang-halanginya untuk bertemu keluarganya dan bertekad akan mengurus sendiri

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


66

kepindahannya ke Jakarta, termasuk mengurus surat dari sekolah hingga dinas


pendidikan setempat. Dalam proses tersebut, Tia dibantu oleh sang kakek dan neneknya
samasekali tidak membantunya. Kakeknya ternyata justru mendukung keinginan Tia,
namun selama ini kakeknya tidak ingin bertengkar dengan neneknya sehingga ia lebih
banyak diam dan mengalah saja. Hal tersebut semakin membuat keputusan Tia bulat
untuk meninggalkan neneknya dan ia tidak sabar untuk pergi ke Jakarta. Akhirnya, pada
liburan akhir sekolah setelah Ujian Nasional SMP, Tia benar-benar pulang ke rumah
keluarganya. Tia merasa sangat senang dan bersemangat untuk memulai kehidupan baru
di Jakarta.

Pola A suh Nenek


Menurut Tia, pada dasarnya ia cukup senang tinggal di Jember, meskipun di mata
Tia sang nenek merupakan sosok yang cerewet dan galak. Tia memiliki banyak sekali
teman baik di rumah maupun di sekolah, dan tidak kesulitan sedikitpun dalam bergaul.
Tia merupakan gadis yang populer di lingkungannya karena ia sangat pandai dan ceria.
Dengan teman-teman perempuannya, Tia sangat ramah dan selalu menjaga hubungan
baik. Wajahnya yang menarik juga membuatnya selalu disukai oleh teman-teman laki-
lakinya. Tia juga tergolong anak yang pintar di kelas dan berprestasi di berbagai mata
pelajaran sehingga ia disayangi oleh guru-gurunya. Semua kelebihan yang dimilikinya
membuat Tia menjadi anak yang percaya diri dan menikmati masa sekolahnya.
Terlepas dari keceriaan Tia di luar rumah, sebenarnya sang nenek di rumah
seringkali menghukumnya karena terlalu sering bermain dengan teman perempuan dan
terlalu dini mulai berhubungan dengan teman laki-laki. Neneknya memang memiliki
banyak aturan yang harus dipatuhi Tia, suka atau tidak suka. Hukuman dari neneknya
bervariasi, mulai dari sekedar dimarahi, dicubit, dipukul, hingga dikunci di dalam
ruangan atau kamar mandi. Tia mengatakan pada saat-saat seperti itu, kakeknya yang
berperan dan berusaha melindunginya, tetapi tetap saja nenek Tia yang selalu
memaksakan kehendaknya dan sang kakek akhirnya hanya bisa menolong dengan
menghibur Tia setelah Tia menjalani hukuman. Pernah suatu kali, teman laki-laki Tia

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


67

menelepon ke rumah dan neneknya yang mengangkat telepon, lalu sebelum sempat
berbicara dengan Tia, temannya tersebut dimarahi habis-habisan oleh nenek Tia. Padahal,
temannya itu hanya ingin menyapa dan membicarakan pekerjaan rumah. Berkaitan
dengan pengalaman dengan neneknya tersebut, Tia merasa sedih dan kesal kepada
neneknya hingga saat ini. Jika diingat-ingat kembali, maka Tia merasa prihatin dengan
sikap neneknya terhadapnya itu.
Sosok Tia yang terkenal dengan berbagai kelebihannya memang membuat Tia
tidak kesulitan memperoleh penggemar. Sejak duduk di bangku SMP, Tia sudah mulai
menjalin hubungan pacaran dengan lawan jenisnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan
secara diam-diam tanpa sepengetahuan nenek dan kakeknya karena neneknya pasti akan
menghukum Tia jika mengetahui hal tersebut. Diakui Tia, ia merasa senang disukai oleh
laki-laki di sekitarnya. Selain itu, ia juga merasa senang memperoleh perhatian dan kasih
sayang dari pacarnya walaupun ia masih berusia sangat muda ketika itu dan belum begitu
mengerti arti pacaran yang sebenarnya. Hubungannya dengan pacar-pacarnya sebatas
bertemu di sekolah, mengobrol di telepon, makan bersama di kantin, atau pulang
bersama.

Pola A su h Oranetua
Kehidupan Tia mengalami banyak perubahan sejak Tia pindah ke Jakarta dan
tinggal di rumah keluarganya pada tahun 2000. Kondisi keuangan keluarga Tia
berkecukupan sehingga Tia tidak merasakan hidup susah di Jakarta seperti cerita teman-
temannya yang keluarganya juga pendatang di Jakarta tetapi kekurangan secara ekonomi.
Pola asuh orangtua Tia sangat berbeda dengan nenek dan kakek Tia. Di rumahnya, Tia
tidak pernah dihukum, dan merasa diberikan kebebasan untuk melakukan berbagai hal
yang disertai dengan keterbukaan dan tanggung jawab atas akibat dari sesuatu yang
dilakukannya. Contohnya, Tia diizinkan jalan-jalan ke mal hingga larut malam dan
diberikan uang jajan, asalkan pulangnya ia diantarkan oleh teman-temannya sampai di
depan rumah dan membuat rincian pengeluaran yang nantinya diserahkan kepada
orangtuanya. Ia melihat adik-adiknya yang masih kecilpun dididik demikian.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


68

Semula, Tia merasa canggung dengan sikap orangtuanya dan kebiasaan baru yang
harus dijalaninya tersebut. Akan tetapi, Tia tak membutuhkan waktu lama untuk bisa
menyesuaikan diri dengan peraturan di rumahnya itu karena pada dasarnya Tia merasa
dirinya memang membutuhkan kebebasan berekspresi. Justru Tia bersyukur karena
orangtuanya mengimbanginya dengan mendidik Tia untuk bertanggung jawab atas
kebebasan yang mereka berikan. Ayahnya adalah sosok pria pekerja keras tetapi hangat,
suka bercanda, dan selalu memberikan contoh yang baik kepada Tia sebagai anak
pertama untuk bisa mengatur keluarga. Sedangkan ibunya, walaupun cerewet seperti
neneknya, ia merupakan orang yang menyenangkan dan amat perhatian kepada Tia dan
adik-adiknya. Menurut Tia, ayah dan ibunya adalah orangtua yang keren, yang enak
diajak berdiskusi dan melakukan pendekatan terhadap anak-anaknya sebagai teman,
sehingga anak-anaknyapun merasa nyaman untuk bersikap terbuka kepada mereka.

Prestasi Akadem is
Dalam hal akademis, seperti yang sudah disebutkan, Tia merupakan anak yang
berprestasi di sekolahnya. Sampai duduk di bangku SMP, Tia selalu memperoleh
peringkat yang baik di kelas dan memiliki prestasi di bidang lain, seperti menari
tradisional. Namun, ketika memasuki bangku SMA, secara umum prestasi Tia menurun.
Menurutnya, hal tersebut karena kepindahannya ke Jakarta dan ia menyadari bahwa
teman-teman di SMA-nya yang sebagian besar memang berasal dari SMP di Jakarta amat
pintar-pintar sehingga wajar jika ia tertinggal. Terlebih lagi, SMA yang dipilihkan
orangtuanya merupakan salah satu SMA negeri terfavorit di Jakarta Selatan. Tia mengaku
bahwa ia sempat merasa stres dan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya
tersebut. Menurut Tia, situasi belajar di Jakarta sangatlah kompetitif, berbeda dengan di
Jember. Beruntung, orangtua dan adik-adiknya selalu memberikan dukungan kepada Tia
selama masa penyesuaiannya di Jakarta.
Di masa SMA inilah, ketika di satu sisi prestasinya secara akademis mengalami
penurunan dibandingkan dengan masa sekolah sebelumnya, di sisi lain Tia
mengembangkan hubungan sosialnya lebih luas dan menemukan wadah untuk

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


69

menyalurkan hobi dan minatnya. Tia mulai mampu beradaptasi dengan lingkungan
Jakarta dan memiliki banyak teman dekat baru yang sangat ia sayangi. Tia juga aktif
terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler Paskibra dan sangat menikmati semua aktivitas di
komunitas tersebut. Tia merasakan keakraban dan solidaritas yang tinggi dengan teman-
temannya di Paskibra karena mereka semua mengalami masa-masa penggojlokan yang
sama sehingga merasa senasib dan sepenanggungan. Tia juga senang mengikuti kegiatan
yang diadakan teman-teman sekelasnya, seperti jalan-jalan, berkumpul, dan lain-lain.
Berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan banyak orang, Tia merasa yakin untuk
memilih jurusan IPS dan sudah tertarik dengan Ilmu Komunikasi sejak duduk di kelas 2
SMA.
Tia sempat merasakan kekecewaan yang mendalam ketika dirinya tidak berhasil
lolos UMPTN di tahun 2003. Menyadari kemampuannya yang tidak sehebat teman-
temannya yang lain yang bisa lolos UMPTN, tanpa menunggu lama-lama Tia kemudian
mendaftar di sebuah universitas swasta jurusan Ilmu Komunikasi. Tia bertekad akan
belajar dengan baik. Niatnya tersebut mengantarkannya menjadi mahasiswa berprestasi
sepanjang masa kuliahnya. Tia selalu memperoleh 1P yang tinggi, bahkan beberapa kali
ia mencapai angka 4,0, serta dikenal rajin dan tekun di kampusnya. Tia merasa senang
dan bangga karena ia berhasil meraih prestasi yang tinggi seperti ketika ia duduk di
bangku SD dan SMP.
Setelah lulus SI di tahun 2007, Tia kemudian bekerja di sebuah event organizer
yang cukup besar di Jakarta. Secara keseluruhan, Tia merasa senang dan betah bekerja di
perusahaan tersebut, terlepas dari persoalan-persoalan pribadi yang dihadapinya ketika
bekerja. Tia bukanlah karyawan yang bermasalah. Bahkan, karena ketekunannya, Tia
memperoleh kepercayaan yang besar dari atasannya untuk mengelola salah satu cabang
perusahaan dalam waktu kerja yang terbilang singkat. Setelah kira-kira setahun bekerja,
Tia kemudian memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2. Kota
Yogyakarta dipilihnya sebagai tempat menuntut ilmu atas pertimbangan biaya dan
kebersamaan dengan adiknya yang juga baru saja lolos UMPTN tahun 2007. Orangtua
Tiapun setuju Tia dan adiknya sama-sama kuliah S2 dan SI di Yogyakarta.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


70

H ubunsan denean Lawan Jenis


Dalam hal hubungan dengan lawan jenis, Tia juga merasakan adanya perbedaan
dalam menjalaninya setelah berada di Jakarta. Orangtua Tia membolehkan Tia untuk
memiliki pacar asalkan Tia mampu bersikap selektif dan sang pacar dikenalkan kepada
keluarganya secara baik-baik. Dengan adanya kebebasan tersebut, Tia malah menjadi
berhati-hati dalam mengambil keputusan karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya.
Meskipun banyak teman laki-laki yang mendekatinya, Tia tidak gegabah menerima setiap
laki-laki yang ingin menjadi pacarnya. Tia biasanya akan meminta pendapat keluarganya
dan sahabat-sahabatnya sebelum memutuskan. Selama beberapa kali menjalin hubungan
dengan laki-laki, hanya sebagian kecil hubungan yang dianggapnya serius, meskipun
semua pacarnya selalu diperkenalkan kepada orangtuanya.
Tia merasa bahwa dirinya memiliki sifat yang sensitif dan mudah terpancing
emosinya. Oleh karena itu, tidak banyak orang yang dianggap dekat dan dipercaya oleh
Tia. Tia hanya mengakui beberapa orang saja sebagai sahabatnya yang benar-benar
mengenal dirinya secara keseluruhan. Selebihnya, Tia dikenal ramah, ceria, dan tidak
suka membuat masalah dengan orang lain. Hal tersebut karena Tia memang tidak akan
membuka dirinya kepada orang yang tidak dia percayai dan selalu berusaha menampilkan
sikap yang baik di depan orang lain. Selain itu, Tia juga sebenarnya cuek. Ia tidak ingin
ikut campur dengan urusan orang lain dan tidak ingin juga urusannya dicampuri oleh
orang lain tanpa seizinnya.
Hubungan pacaran yang paling meninggalkan kesan bagi Tia adalah hubungannya
dengan Toni. Sebenarnya, Toni sudah pernah dikenalnya ketika Tia dan Toni sama-sama
duduk di bangku SD di Jember. Tetapi, mereka kehilangan kontak dan baru kembali
bertemu di Jakarta pada tahun 2004. Tia mengaku amat terpesona dengan Toni yang
tampan, pandai, kaya, dan memiliki segala kelebihan yang diinginkan banyak wanita.
Ditambah lagi karena merasa saling nyambung sebagai sesama asal Jember, Tia dan Toni
kemudian berpacaran. Kisah hubungan Toni dan Tia telah diuraikan pada subbagian
sebelumnya.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


71

Kekerasan Seksual dalam Hubunean Pacaran


Tia yang semula menganggap Toni begitu hebat, mulai berubah pandangan
semenjak Toni memintanya untuk mau berhubungan seksual dengannya. Tia merasa Toni
menghina dirinya dan tidak menghargai keyakinannya untuk tidak berhubungan seksual
sebelum menikah. Tetapi, Toni selalu berdalih keinginannya itu didasari atas cinta. Di
satu sisi, Tia tidak ingin melakukannya karena Tia menyadari norma dan nilai-nilai yang
dianutnya, sedangkan di sisi lain, Tia merasa dirinya mencintai Toni dan tidak tega jika
harus menolak permintaannya. Akhirnya, Tia memberikan apa yang diminta Toni dengan
amat sangat terpaksa.
Tia mengaku, ketika pertama kali Toni menyentuhnya, Tia menangis sangat lama
dan sempat tidak bisa tidur selama beberapa hari. Bahkan, ia menghindari bertemu Toni
selama sekitar sebulan lamanya karena ketakutan. Namun, karena Toni bersikap sabar
dan lembut dalam menghadapi Tia yang emosional, Tia akhirnya luluh dan bersedia
menemui Toni lagi. Ketika itu, Tia sudah memiliki firasat bahwa Toni pasti akan
memaksanya lagi, tetapi Tia sudah pasrah karena merasa tidak ada lagi yang patut
dipertahankan dari dirinya. Kalaupun ia menolak, Toni mengancam akan
meninggalkannya sehingga Tia merasa semakin ketakutan dan tidak berani lagi menolak
permintaan Toni.
Selama satu tahun semenjak Toni memaksanya untuk berhubungan seksual
seksual, kurang lebih totalnya sebanyak delapan kali, Tia selalu merasa dirinya dipaksa,
dirayu, bahkan terkadang diancam oleh Toni. Tia merasakan kejanggalan dengan
hubungannya tersebut, tetapi Tia malu untuk menceritakan pengalamannya kepada
siapapun, terlebih lagi kepada orangtuanya. Selama itu pula, Tia hampir setiap hari
merasa tidak tenang, terbayang-bayang perbuatan buruknya sendiri, dan sering diganggu
oleh mimpi buruk mengenai dosa yang telah dilakukannya. Selain itu, tia juga merasa
dirinya benar-benar dilecehkan dan tidak dianggap sebagai ‘wanita’ oleh Toni tetapi ia
tidak bisa mengungkapkannya kepada Toni karena takut ditinggalkan. Sebagai seorang
perempuan, Tia merasa dirinya kotor dan tidak bisa dimaafkan oleh laki-laki manapun.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


72

Tia seringkali menangis sendirian dan tidak tahu harus berbuat apa untuk keluar dari
masalahnya tersebut.
Puncaknya adalah ketika akhirnya Tia hamil. Tia sangat shock dan ketakutan. Tia
mengira Ton i akan menikahinya, tetapi ternyata Toni malah mengarahkannya untuk
menggugurkan kandungannya. Sejak saat itu, Tia mulai berpikir secara logis bahwa Toni
adalah laki-laki yang kurang ajar dan tidak bisa menghargai dirinya. Sejak saat itu pula,
Tia tidak pernah lagi mengzinkan Toni untuk menyentuh tubuhnya. Jika Toni
memintanya untuk melakukan hubungan seksual, Tia dengan tegas menolaknya. Tia
menyadari bahwa perilakunya itu mungkin membuat Toni bosan kepadanya, tetapi Tia
sudah benar-benar kapok. Hamil di luar nikah dan menjalani aborsi membuat Tia trauma
dan tidak ingin mengalaminya untuk kedua kali.
Hingga suatu hari di tahun 2006, seperti dugaan Tia, Toni benar-benar
meninggalkannya dan mencari wanita lain. Sejujurnya, Tia sangat terpuruk, namun Tia
berusaha meyakinkan dirinya bahwa hidupnya tidak akan pernah tenang jika terus
bersama Toni. Ketika itu, Tia juga tengah senang-senangnya bekerja di sebuah EO,
sehingga Tia semakin merasa memiliki kekuatan akan bisa menjalani hidup setelah
ditinggalkan oleh Toni. Teman-temannya di kantorpun sangat suportif dan membantu Tia
untuk meredam kesedihannya. Meskipun demikian, tetap saja di dalam hatinya Tia sangat
membenci Toni dan tidak bisa melupakan kejadian yang menimpanya. Tia seringkali
membayangkan saat-saat di mana Toni memaksanya untuk berhubungan seksual hingga
kembali teringat rasa nyeri ketika melakukan aborsi, dan hal tersebut membuat Tia
menjadi marah dan dendam. Hingga saat ini, Tia tidak bisa menerima perlakuan Toni
terhadapnya.

Pasca Kekerasan Seksual


Tia seringkali menangis jika mengingat betapa bodohnya dirinya yang telah
terjerat oleh rayuan Toni. Perasaan bersalah yang menderanya sempat membuatnya ingin
menyakiti dirinya sendiri, namun Tia mengurungkan niatnya itu. Tia merasa
mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya untuk bertahan dan melanjutkan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


73

hidup meskipun mereka tidak secara rinci mengetahui pengalaman Tia yang sebenarnya
dengan Toni. Tia juga menjadi cenderung menyalahkan dirinya sendiri jika sesuatu yang
buruk terjadi pada dirinya. Menurut Tia, dirinya sudah melakukan perbuatan hina dan
dosa sehingga Tuhan pasti marah padanya dan kemudian menjadi sering memberikan
hukuman kepadanya dalam bentuk musibah atau kesialan yang ia alami.
Tia merasakan adanya perubahan dalam dirinya setelah mengalami peristiwa
dengan Toni. Di satu sisi, Tia merasa dirinya sudah tidak menarik lagi karena
keperawanannya hilang dan ada bagian dari tubuhnya yang mengalami kerusakan secara
permanen, yaitu perut, tentu saja karena Tia pernah hamil. Di sisi lain, Tia menjadi lebih
hati-hati dalam berhubungan dengan lawan jenisnya dan bisa lebih tegas bertindak
kepada laki-laki yang bersikap kurang ajar kepadanya. Tia juga merasa ia lebih bisa
menyayangi dirinya sendiri dan berusaha merawat tubuhnya yang menurutnya sudah
rusak itu sebaik mungkin. Bahkan terkadang, sikap Tia berlebihan dalam
memperlakukan tubuhnya.

4.3. Analisis Interkasus


Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang. Oleh karena itu, analisis
dilakukan terhadap kedua kasus secara langsung. Hasil analisis akan digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan penentuan rancangan intervensi.

4.3. 1. Konteks Lingkungan dan Pembentukan Seksualitas


Pada partisipan pertama yaitu Dian, budaya keluarga amat memberikan pengaruh
terhadapnya. Dian dibesarkan oleh orangtua yang sangat religius dan menekankan
pentingnya menjaga hubungan antara perempuan dengan laki-laki. Sejak kecil, Dian
dilarang berteman dekat dengan laki-laki dan menginjak usia remaja dilarang berpacaran.
Oleh karena itu, Dian menganggap teman laki-laki tidak perlu ditanggapi dan ia lebih
banyak memiliki teman perempuan. Hal tersebut membuat Dian selalu ketakutan jika ada
teman laki-laki yang menyukai atau mendekatinya. Dian akhirnya mau menerima Dani
sebagai pacarnya hanya karena sebelumnya Dani memang teman dekatnya, serta

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


74

didukung oleh sahabat-sahabatnya yang lain. Barulah setelah beberapa waktu pacaran,
Dian mulai bisa menumbuhkan perasaan cintanya terhadap Dani.
Di keluarga Dian, seks merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Seks hanya
boleh dibicarakan dalam konteks pernikahan atau hubungan suami istri. Dengan
demikian, Dian memandang seks sebagai sesuatu yang amat sakral dan perempuan
haruslah menjaga dirinya untuk tidak melakukan hubungan seks setelah menikah. Dian
merasa bahwa hubungan seks dilakukan atas dasar cinta dan sebagai ekspresi kasih
sayang, sehingga tidak layak bagi seorang perempuan untuk melakukan hubungan seks
sebelum menikah. Dian merasa lebih banyak memperoleh pengetahuan tentang
seksualitas dari lingkungannya, seperti dari teman-teman perempuan, televisi, atau
internet. Walaupun terkadang ia merasa bingung dengan informasi yang diperolehnya,
seperti ketika menonton sinetron Dian melihat laki-laki dengan perempuan yang bukan
suami istri mengobrol berdua saja di sebuah kamar, Dian tidak pernah mempertanyakan
hal-hal yang dipelajarinya dari lingkungan kepada orangtuanya.
Sementara itu, Tia dibesarkan dalam dua keluarga yang berbeda, yaitu keluarga
neneknya dan setelah memasuki SMA barulah Tia diasuh oleh keluarga orangtuanya.
Keterangan Tia menunjukkan bahwa ia mendapatkan pendidikan yang keras dari sang
nenek sehingga membuat Tia menghayati masa kecilnya sebagai masa penuh kekangan
dan peraturan. Sang nenek tidak mengajarkan norma-norma yang berkaitan dengan
seksualitas terhadap Tia. Hal ini dikarenakan nenek Tia masih menganggap seks
merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Oleh karena itu, Tia tahu bahwa ia tidak
boleh berpacaran, tetapi tidak mengerti mengapa neneknya marah jika ia berdekatan
dengan laki-laki. Bahkan, neneknya tidak banyak membantu memberikan penjelasan
kepadanya saat Tia mengalami menstruasi pertamanya.
Setelah pindah ke rumah orangtuanya, barulah Tia merasa lebih diperlakukan
secara demokratis. Orangtua Tia dengan pola asuh yang amat bertolak belakang dengan
sang nenek mendidik Tia untuk belajar bertanggung jawab dengan kebebasan yang
diberikan kepadanya. Dengan ibu atau ayahnya, Tia bisa membicarakan berbagai hal
tanpa merasa takut atau malu, termasuk mengenai seksualitas. Dengan cara tersebut,

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


75

orangtua Tia menanamkan nilai-nilai seksual yang baik terhadap Tia, termasuk mengenai
konsep keperawanan dan hubungan dengan lawan jenis, dan diterima dengan baik oleh
Tia. Orangtua Tia juga mengizinkan Tia untuk berpacaran asalkan Tia mengenalkannya
kepada orangtuanya dan bertanggung jawab atas apapun yang Tia lakukan dengan
pacarnya. Akan tetapi, dalam hal agama, orangtua Tia tidak terlalu banyak menerapkan
nilai-nilaia tertentu.
Pendekatan orangtuanya membuat Tia merasa bisa berekspresi dan tidak takut
berbuat kesalahan sejauh Tia bersedia mempertanggungjawabkan kesalahahannya.
Misalnya, ketika orangtuanya meminta Tia untuk masuk ke pergurua tinggi negeri tetapi
Tia gagal, maka orangtuanya tidak marah namun kemudian meminta Tia untuk mencapai
nilai yang tinggi di perguruan tinggi swasta sebagai bentuk kompensasi atas
kegagalannya memasuki perguruan tinggi negeri. Hal tersebut justru membuat Tia
termotivasi dan selalu mendapatkan IP yang tinggi di kampusnya karena ia tidak merasa
tertekan menjalaninya.
Berdasarkan keterangan kedua partisipan, dapat dilihat bahwa mereka dibesarkan
dalam konteks lingkungan yang terbilang berbeda. Dian menganggap hubungan dengan
lawan jenis dan seks sebagai hal yang tabu dan tidak pantas diperbincangkan, bahkan
membuatnya menjadi tidak mau berdekatan dengan laki-laki. Sedangkan Tia memandang
bahwa hubungan dengan lawan jenis merupakan hal yang harus dijalani dengan penuh
tanggung jawab. Orangtua Tia juga lebih memberikan kesempatan kepada Tia untuk
terbuka dan memperoleh penjelasan jika Tia mengalami kebingungan tentang seksualitas.
Menurut Pumawan (2004), keluarga dan pengasuhan orangtua memiliki peranan yang
penting dalam pembentukan seksualitas individu. Dalam hal ini, pendidikan di dalam
keluarga merupakan suatu konstruksi sosial dalam unit terkecil di masyarakat (Rollins,
1996). Hal ini sesuai dengan pengalaman kedua partisipan yang akhirnya membentuk
pandangan yang berbeda mengenai seksualitas karena pendidikan yang berbeda di dalam
keluarganya.
Meskipun demikian, Dian dan Tia memiliki pandangan yang kurang lebih sama
mengenai diri dan seksualitasnya. Keduanya merasa memiliki berbagai tuntutan sebagai

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


76

perempuan, di antaranya harus menjaga diri, harus mempertahankan kehormatan, tidak


boleh berzina, dipandang suci oleh masyakarat dan tidak bisa lepas dari stigma
masyarakat, sekaligus di sisi lain menghormati sosok laki-laki sebagai calon pemimpin
rumah tangganya kelak.

4.3. 2. Reaksi Psikologis Pasca Kekerasan Seksual


Peneliti memberikan istilah ‘reaksi psikologis pasca kekerasan seksual’ untuk
menunjukkan reaksi secara keseluruhan yang dialami oleh partisipan segera setelah ia
mengalami kekerasan seksual. Termasuk di dalamnya adalah perasaan-perasaan, simtom-
simtom, dan lain-lain. Kasus Dian tampak lebih menonjol dalam aspek ini karena Dian
merasakan reaksi tidak hanya secara psikologis tetapi juga fisik. Oleh sebab ia merasakan
kesakitan yang luar biasa setelah dipaksa melakukan hubungan seksual oleh pacarnya,
Dian menangis dan tidak mampu menyembunyikan perasaan ketakutannya di hadapan
Dani. Dian terus menangis selama beberapa jam, terlebih lagi ketika buang air kecil ia
merasakan kemaluannya nyeri. Sejak Dani memaksakan penetrasi hingga Dani hendak
mengantar Dian pulang, Dian merasa tubuhnya gemetar hebat dan jantungnya berdebar
tidak menentu. Bahkan, ketika pertama kali penetrasi, Dian merasa hampir pingsan
karena shock, terlalu shock-nya hingga ia tidak bisa berkata apa-apa. Setelah Dian berada
di rumah dan mulai merasa aman, Dian mulai merasakan sakit hati kepada Dani yang
telah melakukan perbuatan keji kepadanya. Oleh karena itu, selama beberapa minggu,
Dian samasekali tidak mau menemui Dani. Ia kecewa dan sangat sedih karena merasa
seharusnya Dani melindunginya dan bukannya menyakitinya.
Selama beberapa hari pasca kejadian, Dian merasakan dirinya selalu cemas dan
tidak bisa tenang. Dian mengalami kesulitan tidur dan kehilangan selera makan. Setiap
memejamkan mata, Dian kembali terbayang saat-saat di mana Dani memaksakan
penetrasi terhadapnya. Karena merasa tidak sanggup mengatasi perasaan negatifnya,
Dian tidak masuk kuliah selama dua hari. Menurut Dian, bayangan tentang peristiwa itu
selalu menghantui pikirannya sehingga membuatnya tidak kuat melakukan aktivitas
seperti biasanya. Dian juga merasa berdosa atas peristiwa yang dialaminya, namun ia

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


77

berusaha menepisnya dengan meyakinkan diri bahwa ia sudah berupaya melawan


meskipun tidak maksimal.
Sementara itu, pada kasus Tia, ketika pertama kali dipaksa melakukan hubungan
seksual oleh Toni, pacarnya, Tia merasa sangat shock dan tidak percaya bahwa ia telah
kehilangan keperawanannya. Terlebih lagi, pelakunya adalah seseorang yang sangat ia
cintai. Tia merasa marah dan sangat kecewa kepada Toni yang telah memaksanya
melakukan hubungan seksual. Selain itu, secara fisik, ia merasa kesakitan pada
kemaluannya akibat penetrasi yang dilakukan secara paksa dan samasekali tidak
merasakan kenikmatan dari hubungan seks tersebut. Tia juga merasa sedih dan tidak
berdaya sehingga membuatnya menangis tanpa henti beberapa saat setelah kejadian.
Yang menonjol dalam perilaku adalah Tia menjadi begitu pemarah dan seringkali marah
tanpa sebab.
Hal lain yang dialami Tia adalah merasa berdosa karena telah melakukan
perbuatan yang dilarang agama meskipun tanpa kehendaknya dan tidak bisa
mengenyahkan ingatan yang tidak menyenangkan mengenai kejadian. Dalam beberapa
hari setelahnya, Tia selalu diganggu mimpi buruk dan bayangan-bayangan yang
membuatnya tidak nyaman. Selain itu, Tia juga merasakan debar jantung yang tidak
menentu apabila teringat pada kejadian dan merasakan kecemasan yang mendalam.
Simtom-simtom yang tidak mengenakkan tersebut membuat Tia menghindari Toni
selama beberapa minggu sebelum akhirnya bersedia bertemu kembali walaupun tidak
bisa benar-benar melupakan peristiwa kekerasan.
Meskipun kejadian tersebut sudah lama berlangsung, Tia masih merasakan reaksi-
reaksi tersebut hingga saat ini dalam kadar yang lebih ringan. Tia tidak lagi diganggu
mimpi buruk, namun di pikirannya masih sering terlintas bayangan-bayangan ketika Toni
memaksakan penetrasi kepadanya atau ketika Toni memaki-makinya dengan kata-kata
kotor. Bayangan-bayangan semacam itu biasanya membuat Tia cemas dan jantungnya
berdebar-debar. Tak jarang, Tia merasa mual dan eneg. Biasanya, perasaan-perasaan
tersebut kembali muncul ketika Tia bertemu dengan cues yang mengingatkannya pada

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


78

kejadian traumatis, seperti melewati tempat wisata dulu bersama Toni atau teringat pada
tanggal-tanggal penting ketika mereka berpacaran.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa kedua partisipan merasakan
perasan-perasaan negatif sebagai reaksi psikologis pasca kekerasan seksual, di antaranya
shock, tidak percaya bahwa orang yang dicintainya telah melakukan perbuatan yang
menyakitkan, sedih, kecewa, dan marah. Keduanya juga diganggu mimpi buruk dan
bayangan-bayangan yang tidak bisa dihindari akan peristiwa yang membuat mereka
merasa bersalah dan ketakutan. Secara fisiologis, mereka merasakan kesakitan akibat
penetrasi yang dipaksakan yang menimbulkan nyeri di kemaluannya hingga beberapa
hari. Kesemua hal tersebut membuat mereka tidak mau menemui pelaku selama beberapa
waktu, karena dianggap mengingatkan mereka pada kejadian buruk dan membuat mereka
semakin merasa tidak nyaman.
Perbedaan antara Dian dan Tia adalah dalam hal perilaku. Dian menunjukkan
perilaku diam, tidak berminat menjalani kehidupan sehari-hari, low mood, sedangkan Tia
menunjukkan emosinya dengan lebih jelas melalui kemarahannya. Meskipun keduanya
sama-sama menghindari bertemu pelaku pasca kejadian, Tia lebih bisa mengekspresikan
kemarahannya kepada Toni melalui media lain seperti SMS. Sedangkan Dian benar-
benar tidak ingin menghubungi Dani sedikitpun dan merasakan emosi lebih ke arah sedih
dan kecewa.

4. 3. 3. Dampak Psikologis Jangka Panjang


Mengingat peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh Dian dan Tia sudah
berlangsung beberapa tahun yang lalu, maka perlu dilihat dampak psikologis yang masih
dirasakan oleh keduanya hingga saat ini. Dampak tersebut bisa disadari atau tidak
disadari oleh partisipan, akan tetapi secara keseluruhan partisipan merasakan terjadinya
banyak perubahan pada dirinya antara sebelum dan setelah menjalani hubungan yang
penuh kekerasan.
Dian masih sangat merasakan dampak dari kekerasan seksual yang dialaminya
selama berpacaran dengan Dani sampai saat ini. Dian merasa dirinya tidak berharga dan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


79

memiliki andil dalam terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Dian masih sering
menyalahkan diri karena tidak bisa menjaga dirinya dengan baik sehingga
mengecewakan keluarganya. Hal ini juga membuat Dian merasa malu karena tidak ada
lagi yang bisa dipertahankan dari dirinya. Menurut Dian, setelah berkali-kali Dani
memaksanya melakukan hubungan seksual dan ia selalu gagal melawan, tidak ada lagi
gunanya mempertahankan diri dari laki-laki. Lagipula, Dian merasa bahwa ia sudah
kehilangan keperawanannya yang berarti segala-galanya.
Dalam memandang laki-laki dan hubungan intim, Dian juga merasakan ada
perubahan dalam dirinya. Sejak mengalami pemaksaan hubungan seksual dari Dani, Dian
menganggap bahwa laki-laki hanya menginginkan seks dari wanita. Padahal, Dian sudah
berusaha mati-matian menjaga keperawanannya. Oleh karena itu, Dian berpikir sudah
seharusnya perempuan hanya melakukan hubungan seks setelah menikah seperti yang
dikatakan orangtuanya. Orangtua Dian yang religius telah melarang Dian untuk
berpacaran sebelum menikah agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif, sehingga ketika
Dian nekat berpacaran dan mengalami hal buruk, Dian menjadi semakin menyalahkan
dirinya sendiri dan membenarkan alasan orangtuanya melarangnya pacaran. Hal tersebut
membuat Dian semakin terpuruk dan menganggap dirinya tidak berharga karena sudah
tidak perawan lagi. Di sisi lain, Dian mengalami kebingungan mengenai seks karena
pengalamannya yang begitu menyakitkan.
Pada kasus Tia, pengalaman Tia dengan kekerasan seksual semasa pacaran
membuatnya memiliki perasaan rendah diri, kotor, ^an malu akibat peristiwa yang
dialaminya. Menurut Tia, ia seharusnya mampu menjaga kepercayaan dan kebebasan
yang telah diberikan orangtuanya kepadanya. Oleh karena itu, ia merasa bersalah dan
selalu teringat pada dosa yang telah ia lakukan. Hal ini menandakan bahwa Tia memiliki
selfesteem yang buruk. Sampai saat ini, Tia merasa bahwa dirinya sudah tidak suci lagi
dan tidak pantas mendapatkan hal yang lebih baik. Di satu sisi, Tia menjadi orang yang
selalu bersyukur atas apapun kondisinya. Di sisi lain, Tia menjadi begitu pasrah dan
merasa bahwa jika ia mengalami hal buruk maka itu merupakan hukuman dari Tuhan atas

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


80

kesalahannya. Walaupun Toni memaksanya, Tia masih berpikir bahwa ia memiliki andil
dalam terjadinya hubungan seks tersebut.
Pandangan Tia mengalami perubahan dalam hal seks dan hubungan intim.
Pengalaman seks yang negatif membuatnya merasa bahwa seks adalah hal yang
mengerikan dan penuh paksaan, sedangkan sebelumnya Tia mengetahui bahwa hubungan
seks seharusnya membahagiakan. Hal tersebut membuat Tia tidak begitu tertarik lagi
akan seks, bahkan dengan Toni yang dicintainyapun ia merasa hubungan seksnya tidak
menyenangkan. Tia sangat jarang mengalami orgasme. Kalaupun ia bisa menikmati salah
satu di antara sekian banyak hubungan seksnya, Tia tetap merasa bersalah dan tidak bisa
menerima perlakuan Toni. Untuk menghindari perasaan-perasan negatif itu, hingga saat
ini, Tia merasa dirinya tidak terlalu suka membicarakan tentang seks dan sejenisnya,
bahkan cenderung menghindari seks.
Kepercayaannya terhadap sosok laki-laki juga luntur karena Tia menganggap
Toni sebagai orang yang sangat jahat dan tidak bertanggung jawab. Ketika Tia sampai
hamil, sebenarnya ia berani bersikap jujur kepada orangtuanya karena Tia dididik
demikian, dan Tia berani bertanggung jawab. Namun, sikap Toni yang menolak, justru
terus memanfaatkan ketakutan Tia untuk melakukan hubungan seks lagi, membuat Tia
muak dan melihat laki-laki sebagai sosok yang pengecut. Tia menganggap bahwa laki-
laki akan menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh apapun dari perempuan
sehingga ia kesulitan dalam memandang hubungan intim secara positif. Menurut Tia,
suatu hubungan intim tidak perlu dijalani secara serius karena akan menyakitkan atau
mengecewakan.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Dian dan Tia sama-sama merasa
harga dirinya rendah dan jatuh karena sudah diambil keperawanannya. Ketidakmampuan
melawan membuat mereka semakin merasa dirinya bersalah dan memiliki andil dalam
terjadinya pemaksaan hubungan seksual. Hal tersebut membuat pandangan mereka
berubah terhadap dirinya (di mana dirinya tidak berharga), hubungan seks (di mana seks
menjadi menyakitkan dan mengerikan), dan sosok laki-laki (di mana laki-laki yang
dicintainya sudah mengkhianatinya). Dian dan Tia sama-sama mengalami kebingungan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


81

mengenai seks dan sosok laki-laki, tetapi dalam bentuk yang berbeda dan akan diuraikan
dalam subbab berikutnya.

4. 3. 4. Trauma
Dian merasakan trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Dian masih
kerap diganggu mimpi buruk dan kesulitan tidur setelahnya. Dian seringkali terlintas
tentang Dani di pikirannya dan hal tersebut membuatnya mual. Dian juga sering
merasakan tubuhnya gemetar dan lemas ketika teringat pengalamannya dipaksa
berhubungan seksual oleh Dani. Dian akan berusaha keras mengenyahkan pikirannya
tentang Dani karena merasa jijik jika mengingat bagaimana Dani dulu menyentuhnya.
Selain itu, Dian masih selalu menghindari hal-hal yang mengingatkannya kepada Dani,
seperti berkunjung ke sekolahnya, atau menemui teman-teman SMA-nya. Padahal,
teman-teman Dian sudah mencoba meyakinkan Dian bahwa mereka selalu mendukung
Dian. Kesemua simtom tersebut masih dirasakan Dian hingga kini dalam kadar yang
cukup mengganggu.
Implikasi trauma seksual yang muncul dalam kasus Dian adalah kebiasaannya
berganti-ganti pasangan seksual tanpa komitmen pacaran sejak lepas dari pelaku
kekerasan seksual. Seperti yang dikatakan Dian, ia penasaran apakah hubungan seksual
memang menyakitkan, sehingga ia berani mencoba berhubungan seks dengan berbagai
laki-laki untuk meyakinkan dirinya bahwa ia masih bisa menikmati hubungan seks. Hal
ini mengindikasikan adanya kebingungan dalam diri Dian mengenai seks. Dallam dalam
Kathleen dan Tackett (2005) mengemukakan bahwa fenomena yang terjadi pada Dian
dinamakan dengan kekacauan seksual atau sexual promiscuity. Pada perempuan yang
prom iscuous, ia mengalami konflik yang luar biasa mengenai hubungan seks dan tampil
dalam perilaku seks yang tidak biasa.
Pada kasus yang berbeda, Tia juga mengalami simtom-simtom traumatis yang
mencakup simtom-simtom PTSD, yaitu merasa mengalami kembali kejadian traumatis
atau terbangkitkannya lagi memori (intrusive memories), merasakan reaksi fisiologis jika
teringat pada kejadian (arousal), serta adanya perilaku atau pikiran menghindar dari hal-

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


82

hal yang mengingatkannya pada kejadian (avoidance). Sampai saat ini, Tia masih
merasakan simtom-simtom tersebut dan tidak mampu melupakan peristiwa kekerasan
seksual walaupun kejadian berlangsung sudah lama dan Tia sendiri saat ini sudah
memiliki pasangan.
Gejala lain yang tampak adalah adanya trauma seksual, di mana Tia menjadi
kurang berminat dalam hal seks dan menghayati seks sebagai sesuatu yang mengerikan
dan menyakitkan. Dalam hal ini, Tia menyadari bahwa dirinya tidak begitu menikmati
aktvitas seksualnya dengan pasangan dan cenderung menghindar, meskipun pacarnya
hanya ingin memeluk atau menciumnya. Trauma seksual muncul sebagai dampak jangka
panjang dari kekerasan seksual dalam bentuk perilaku seks yang atipikal dan terkadang
tidak disadari individu. Sama dengan yang dialami Dian, Tia juga mengalami
kebingungan dalam hal seks tetapi perbedaannya adalah pada Tia, konfliknya akan
hubungan seks muncul dalam bentuk inaktivasi seks.

4.3. 5. Pandangan Mengenai Diri, Seks, dan Seksualitas


Sebenarnya, poin ini secara terpisah telah dibahas dalam subbab-subbab
sebelumnya. Tetapi, peneliti membuat subbab lain untuk memperjelas penekanan dalam
hal pandangan partisipan terhadap dirinya sendiri, hubungan seks, dan seksualitas.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan mengenai persepsi personal partisipan
mengenai peristiwa kekerasan yang dialaminya.
Secara keseluruhan, Dian memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya di
mana ia menganggap dirinya telah kotor, tidak suci, tidaJt perawan, bahkan bodoh dan
hina karena tidak mampu melawan laki-laki yang memaksanya berhubungan seksual.
Dian juga menyalahkan dirinya sendiri karena telah berani melanggar perintah Tuhan dan
orangtuanya untuk tidak mendekati zina. Sedangkan, Dian dididik untuk menjaga
hubungan dengan laki-laki dan taat pada agama. Pandangan negatif ini membuat Dian
tidak bisa menghargai dirinya sendiri sehingga merasa tidak ada lagi hal yang perlu
dijaga dari dirinya.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


83

Hal tersebut menjadikan Dian memandang seks sebagai hubungan yang sah-sah
saja dilakukan asalkan suka sama suka, tidak perlu dalam ikatan hubungan yang dekat
dan tidak perlu mempedulikan dosa atau etika. Oleh karena itu, Dian tidak mau menjalin
hubungan lagi dengan laki-laki karena takut akan didominansi dan dipaksa lagi
melakukan hubungan seks. Namun, pada aspek lain, Dian justru menganggap dirinya
boleh melakukan hubungan seks dengan siapapun karena ia sudah tidak perawan lagi dan
tidak akan ada laki-laki yang mau menerimanya sebagai calon istri. Dengan demikian,
persepsi Dian terhadap seksualitas secara keseluruhanpun berubah ke arah yang negatif
semenjak peristiwa kekerasan seksual terjadi.
Pada dasarnya, Tia memandang dirinya sangat kotor dan menjadi makhluk
berdosa di hadapan Tuhan. Ia masih sering menyalahkan dirinya sendiri dan tidak bisa
menerima bahwa peristiwa tersebut telah terjadi. Bahkan terkadang, Tia merasa sulit
untuk memaafkan dirinya sendiri karena membiarkan peristiwa tersebut terjadi. Namun,
nilai-nilai yang ditanamkan orangtuanya membuat Tia berpikir bahwa apapun yang
terjadi pada dirinya itu merupakan konsekuensi atas perbuatannya sehingga Tia justru
merasa termotivasi untuk menjadikan kehidupannya lebih baik. Walaupun demikian, di
sisi lain ia kerap mengembangkan pemikiran bahwa dirinya dihukum Tuhan apabila ia
mengalami kejadian buruk.
Menurut Tia, dalam hubungan intim selanjutnya, ia merasa lebih santai dan tidak
tertekan dalam menjalaninya, termasuk dalam hal seks di mana tia diam-diam memang
menghindar. Pengertian dari pasangannya membuatnya tidak tertekan dalam menjalani
hubungan, tetapi Tia merasa bahwa dirinya menjadi tidak ingin mencintai seseorang
terlalu dalam. Selain karena takut dikecewakan, ia juga merasa bahwa kekerasan seksual
bisa terjadi padanya karena ia terlalu mencintai pacarnya sehingga tidak melawan
meskipun diperlakukan kasar dan tidak baik.
Berdasarkan keterangan kedua partisipan, maka dapat disimpulkan bahwa
pandangan partisipan mengenai dirinya sendiri, seks, dan seksualitas mengalami
perubahan ke arah negatif. Ketidakberdayaan diri dan ketidakmampuan mereka untuk
melawan pelaku membuat mereka merasa bersalah, sedangkan hilangnya keperawanan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


84

membuat mereka merasa tidak berharga sebagai perempuan. Sementara itu, konsep
seksualitas yang mereka miliki dengan kenyataan yang terjadi sangat bertolak belakang,
di mana mereka mengalami sendiri bahwa hubungan seksual tidak menyenangkan. Hal
tersebut membuat mereka mengalami kebingunga akan seks dan tampil dalam bentuk
perilaku seks yang tidak wajar.

4. 4. Dinamika Trauma Akibat Kekerasan Seksual pada Partisipan


Berdasarkan analisis kasus, maka peneliti membuat kesimpulan yang mencakup
perbedaan dan persamaan di antara kedua partisipan terkait dengan dampak psikologis
khususnya trauma yang dialaminya, yang akan diuraikan dalam tabel berikut.

Tabel 4. 1. Perbandingan Kasus Dian dan Tia


Aspek-aspek DIAN TIA
Konteks Lingkungan dan Pola asuh ketat dan religius Pola asuh demokratis
Pembentukan Seksualitas Orangtua tertutup dan menjadi Orangtua terbuka dan
sosok yang ditakuti memberikan akses komunikasi
Dilarang berteman dengan laki- Hubungan dengan lawan jenis
laki atau pacaran diperbolehkan
Konsep keperawanan sangat Konsep keperawanan penting
penting Perempuan harus menjaga diri
Perempuan harus menjaga diri baik-baik
baik-baik

Reaksi Psikologis Pasca Shock dan tidak menyangka akan Shock dan tidak menyangka akan
Kekerasan Seksual mengalami kekerasan dari orang mengalami kekerasan dari orang
yang dicintai yang dicintai
Nyeri di kemaluan, gangguan Nyeri di kemaluan
tidur dan makan Marah
Sedih Sedih
Kecewa Kecewa
Marah Perasaan benci
Perasaan jijik Emosi meledak-ledak
Hilang mood dan energi rendah Terbayang peristiwa dan tidak
Terbayang peristiwa dan tidak mampu mengendalikan ingatan
mampu mengendalikan ingatan yang muncul
yang muncul Mimpi buruk
Mimpi buruk Menghindar dari pelaku fl

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


85

Menghindar dari pelaku

Dampak Psikologis Sulit melupakan kejadian Sulit melupakan kejadian


Jangka Panjang meskipun sudah berusaha meskipun sudah berusaha
Harga diri rendah Harga diri rendah
Sel/ blame Sel/blame
Merasa bodoh, hina, berdosa Merasa berdosa
Memandang buruk terhadap Memandang buruk terhadap
laki-laki dan bingung mengenai sosok laki-laki tetapi
seks membutuhkan afeksi

Reaksi Trauma Kekacauan seksual Kekacauan seksual


dalam bentuk berganti-ganti dalam bentuk inaktivasi seks dan
pasangan seks tanpa mau menjalani komitmen dengan
berkomitmen sesantai mungkin

Pandangan mengenai Memandang diri sendiri secara Memandang diri sendiri secara
Diri, Seks, dan negatif negatif
Seksualitas Seks menjadi bebas dilakukan Seks tidak perlu dilakukan
asalkan suka sama suka dan karena menyakitkan
tidak perlu dipikirkan
dampaknya karena sudah tidak
perawan

Hasil analisis kasus menunjukkan bahwa kedua partisipan menampilkan simtom-simtom


stres pasca trauma, mengindikasikan adanya perubahan pandangan terhadap diri dan relasi
interpersonal serta terbentuknya perilaku seks yang tidak biasa dalam kelanjutan hidupnya.
Kesemua dampak tersebut muncul akibat pengalaman yang sama yaitu kekerasan seksual dan
kekerasan lain yang juga terjadi dalam hubungan pacaran yang mereka jalani, akan tetapi
terdapat beberapa poin perbedaan dalam bentuk tindakan, figur pelaku, serta konsep diri masing-
masing partisipan. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun
aspek-aspek yang terlibat dalam peristiwa traumatis masing-masing partisipan berbeda, dampak
psikologis yang tampil dapat ditelaah melalui tinjauan teoritis yang sama. Dinamika trauma dan
dampak psikologis yang dialami partisipan digambarkan melalui tabel berikut. Tabel
menggunakan garis putus-putus untuk menggambarkan adanya saling keterkaitan antara aspek
satu dengan yang lain.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


86

Tabel 4. 2.Dinamika Trauma


ASPEK-ASPEK YANG TERLIBAT DALAM PERISTIWA TRAUMATIS
(sebelum dan saat kejadian)

Perilaku Kekerasan Figur Pelaku Pandangan terhadap Diri


sebagai Perempuan

i Menarik dengan kasar | Orang terdekat pada saat itu Harus menjaga diri
: Mendorong : Kekasih Harus menjaga keperawanan
: Memukul tubuh : Sahabat Harus menahan hasrat seks
: Menampar wajah i Kakak/orang yang lebih tua Harus bersikap lembut
■Menyeret : Dicintai Lemah secara fisik
• Mengumpat : Kuat Disalahkan
: Mengata-ngatai : Melindungi Dicap buruk oleh masyarakat
1 Memarahi : Patut dihormati Mudah merasa malu
: Memaksakan penetrasi ; Bertanggung jawab Menanggung perbuatannya sendiri
: Memaksakan orgasme : Diharapkan menjadi suami Tidak boleh melawan laki-laki/suami
m e n i m b u l k a n
(setelah kejadian)
: Memori buruk : Hilang kepercayaan i Sense o f selfyang buruk
: Menangis : Hilang rasa aman : Selfesteem yang rendah
i Perasaan marah, benci, sedih j Ambivalensi dalam hubungan j Menyalahkan diri sendiri
: Lemas, jantung berdebar, mual : Takut dimanfaatkan ; Tidak memaafkan diri sendiri
i Menghindar : Takut berkomitmen : Tidak bisa menerima kejadian
s e b a g a i

Simtom-simtom stres pasca Konflik dalam relasi Konsep diri yang negatif
trau m a interpersonal

DAMPAK SEGERA DAMPAK JANGKA MENENGAH DAN PANJANG,


yang apabila perilaku bertahan akan menjadi

Traumatisasi seksual

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


87

4.5. Penentuan Sasaran Intervensi


Hasil analisis intrakasus pada subbab sebelumnya menunjukkan bahwa para partisipan
memiliki beberapa ciri yang khas terkait dengan keadaan dirinya pasca peristiwa kekerasan
seksual yang pernah dialami. Meskipun ciri tersebut tampil dalam kadar yang berbeda, kedua
partisipan sama-sama mengalami dampak psikologis yang kurang lebih serupa dan dapat ditelaah
melalui tinjauan teoritis yang ada. Dengan demikian, intervensi akan dirancang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan partisipan. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa kedua
partisipan mengalami dampak kekerasan seksual sebagai berikut:

1. Simtom-simtom PTSD
Meskipun kekerasan seksual telah terjadi cukup lama, yakni lebih dari 5 tahun
yang lalu, hingga saat ini kedua partisipan masih mengalami simtom-simtom yang
tergolong dalam Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Sementara itu, hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada umumnya, simtom-simtom PTSD dialami dalam jangka waktu
beberapa minggu sampai dengan 18 bulan lamanya atau lebih, hanya sebagian kecil saja
yang mengalaminya hingga beberapa tahun (Davidson & Foa, 1991; Resick, 1987;
Hanson, 1990 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Pernyataan tersebut mendukung fakta bahwa kedua partisipan ternyata belum
berhasil mengatasi simtom-simtom PTSD walaupun peristiwa traumatis sudah lama
terjadi. Simtom-simtom PTSD yang dimaksud adalah memori yang masih mengganggu
terkait dengan pengalaman kekerasan seksual (intrusive memories), reaksi fisiologis yang
sulit dikendalikan jika teringat pada pengalaman kekerasan seksual (arousal), serta
pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman
kekerasan seksual (avoidance).

2. Konsep Diri sebagai Perempuan


Salah satu dampak psikologis jangka panjang yang dialami para korban kekerasan
seksual adalah cara pandang terhadap diri sendiri yang cenderung negatif (Copeland &
Harris, 2000). Pandangan tersebut muncul terutama karena merasa dirinya sudah kotor,

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


88

tidak suci, gagal mempertahankan keperawanan, atau mengecewakan orang-orang yang


dicintainya. Selain itu, mereka juga memiliki pikiran dan perilaku menyalahkan diri atas
kejadian yang sudah dialami, mengingat pelaku kekerasan seksual adalah orang yang
dikenalnya bahkan merupakan pasangannya, sehingga seharusnya mereka lebih mampu
menjaga diri (Viki, Abrams, & Masser, 2004). Hal ini juga dialami oleh kedua partisipan,
yang akhirnya berdampak pula pada munculnya perilaku self blame sehingga mereka
mengalami kesulitan untuk menyayangi dan menerima diri mereka sendiri setelah
mengalami kekerasam seksual (Koss & Harvey, 2000).
Dengan kata lain, mereka umumnya akan memiliki self esteem yang rendah dan
sense o f se lf yang buruk (Wickham & West, 2002). Simtom-simtom psikologis yang
belum tertangani (termasuk salah satunya dalam bentuk simtom PTSD) semakin
memperburuk kondisi psikis partisipan, di mana mereka semakin merasa bahwa dirinya
tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya dan akhirnya membuat
pandangan mereka semakin negatif pula terhadap diri mereka sendiri Frazier, 1990 dalam
Kendal 1-Tackett, 2005).

3. Relasi Interpersonal
Berkaitan dengan poin sebelumnya, pandangan yang negatif terhadap dirinya
sendiri menyebabkan partisipan menjadi kurang percaya diri bahkan mengalami
kecemasan dalam menjalani hubungan selanjutnya, khususnya hubungan interpersonal
dengan lawan jenis (Mackey et al, 2002 dalam Kendall-Tackett, 2005). Padahal, menjalin
relasi interpersonal yang bermakna merupakan salah satu tugas perkembangan pada usia
partisipan yang tergolong tahap dewasa muda (Papalia et al, 2004). Saat ini, kedua
partisipan memang telah memiliki pasangan dan merencanakan untuk menikah, namun
secara mental mereka merasa belum siap untuk menjalin relasi interpersonal yang lebih
serius untuk ke jenjang berikutnya.
Beberapa perubahan yang terjadi pada beliefs pasca kekerasan seksual adalah
berkaitan dengan keamanan, kekuatan, dan kepercayaan dalam hubungan intim, di mana
para korban cenderung menghindari relasi interpersonal karena merasa tidak aman, tidak

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


89

ingin lagi didominansi, dan tidak mudah percaya pada pasangan (Basile dalam Kendall-
Tackett, 2005). Meskipun para partisipan mencintai pasangannya, mereka merasa belum
mantap bahwa pasangan akan memahami pengalaman masa lalu mereka. Selain itu,
mereka juga masih merasa terganggu dengan simtom-simtom PTSD yang
mengingatkannya pada kejadian traumatis dan belum mampu menghilangkan ketakutan-
ketakutan akan beberapa hal. Di antaranya adalah ketakutan terhadap penerimaan calon
suami atas kondisi partisipan, ketakutan terhadap seks yang menyakitkan, dan ketakutan
terhadap komitmen.

4. Traumatisasi Seksual
Browne dan Finkelhor (1986 dalam Wickham & West, 2002) mengindetifikasi
permasalahan jangka panjang yang muncul akibat kekerasan seksual, salah satunya
adalah traumatisasi seksual atau yang diistilahkan dengan traumatic sexualization. Dalam
hal ini, individu mengembangkan perilaku seksual yang atipikal sebagai remaja atau
orang dewasa dengan adanya penghayatan yang cenderung negatif mengenai seks. Hal
tersebut bisa terjadi karena individu menginternalisasi pengalaman kekerasan sebagai
model dalam menjalani hubungan (Edgeworth & Carr, 2000 dalam Wickham & West,
2002 ).
Setelah mengalami peristiwa traumatis, individu akan berusaha mencari cara
untuk meredakan kecemasan atau emosi negatifnya (Copeland & Harris, 2000). Pada
korban kekerasan seksual, ditemukan bahwa gejala traumatisasi nyata yang kerap teijadi
di antaranya adalah dengan melakukan perilaku beresiko termasuk yang beresiko tinggi,
seperti menggunakan obat-obatan atau alkohol, gangguan makan, inaktivasi fisik, serta
adanya kekacauan seksual (Kilpatrick, Aciemo, Resnick, Saunders, & Best, 1997 dalam
Kendall & Tackett, 2005).
Pada kedua partisipan, ditemukan gejala traumatisasi seksual yang berbeda.
Setelah mengalami kekerasan seksual, salah satu partisipan menunjukkan kecenderungan
inaktivasi fisik atau energi yang rendah dalam kesehariannya dan menurunnya minat
terhadap seks akibat pengalaman negatifnya dengan seks (low interest o f sex). Sedangkan

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


90

partisipan yang lain menampilkan hal yang sebaliknya, yaitu tingkat aktivitas yang tinggi
untuk seks sehingga kemudian mengalami kekacauan seksual, di mana ia sering berganti-
ganti pasangan seks karena tidak menemukan cara lain untuk mengatasi perasaan-
perasaan negatifnya pasca kekerasan seksual (sexual promiscuity) (Dallam dalam
Kendal 1-Tackett, 2005).

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, para partisipan mengalami dampak
psikologis yang cukup kompleks pasca peristiwa kekerasan seksual. Sebagai reaksi segera,
keduanya merasa shock dan tidak menyangka bahwa orang yang dicintainya melakukan tindakan
yang menyakiti dirinya. Dalam beberapa hari pasca kejadian, mereka merasa dihantui oleh
pengalaman buruk dan merasa kesulitan mengenyahkan ingatan tersebut dengan cara apapun.
Selain itu, secara fisiologis, mereka juga merasakan keluhan somatik dan debar jantung yang
tidak menentu saat teringat kejadian. Hal ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan
ketakutan sehingga cenderung menghindar dari pelaku dan segala hal yang mengingatkannya
pada kejadian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua partisipan mengalami simtom-
simtom PTSD yang belum tertangani hingga saat ini.
Reaksi psikologis segera ini kemudian diikuti dengan perasaan malu, rendah diri, dan
menyalahkan diri sendiri yang akhirnya menyebabkan partisipan memandang buruk terhadap
dirinya sendiri. Pandangan yang negatif ini kemudian menurunkan minat mereka terhadap relasi
interpersonal sebagai konsekuensi yang sifatnya lebih luas dibandingkan personal. Kalaupun
menjalani, mereka dibayangi ketakutan-ketakutan mengenai seks dan penerimaan pasangan.
Kebingungan yang dialami akhirnya menjadikan para partisipan mengalami dampak yang
diistilahkan dengan traumatisasi seksual, di mana me^ka mengembangkan perilaku seks yang
atipikal.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya, terdapat hubungan di antara empat
area yang akan menjadi sasaran dalam rancangan intervensi. Keterkaitan di antara empat area
yang bersangkutan dapat dijelaskan melalui ilustrasi berikut.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


91

Bagan 4. 3. Dinamika Dampak Psikologis yang Dialami Partisipan

Pengalaman Kekerasan Seksual

\/

Dampak Psikologis Segera

v U
Dampak Psikologis
Jangka Panjang

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


92

Dengan menelaah ilustrasi tersebut serta pembahasan satu persatu tentang keempat area
sasaran intervensi, maka peneliti akan memfokuskan rancangan intervensi untuk dua di antara
empat area, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa simtom-simtom PTSD sebenarnya diidentifikasi sebagai dampak psikologis
segera dari kekerasan seksual (Basile dalam Kendall-Tackett, 2005). Dengan demikian, jika
sampai bertahun-tahun setelah peristiwa traumatis partisipan belum mampu mengatasinya,
kemungkinan dikarenakan mereka tidak memahami atau menemukan cara yang efektif untuk
mengatasinya.
Traumatisasi seksual dipilih untuk menjadi fokus intervensi berdasarkan pemikiran
bahwa area ini merupakan dampak jangka panjang dari kekerasan seksual (Browne & Finkelhor,
1986 dalam Wickham & West, 2005). Traumatisasi seksual mencakup perilaku seksual atipikal
yang terbentuk dari penghayatan yang cenderung negatif akan diri dan terhadap seks. Oleh
karena itu, dengan tercapainya modifikasi pada aspek ini, diharapkan partisipan dengan
sendirinya akan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi kesulitan di area-area yang lain.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


93

BAB 5
RANCANGAN INTERVENSI

5.1. Area Sasaran Intervensi


Hasil analisis kasus pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa para partisipan memiliki
beberapa ciri yang khas terkait dengan keadaan dirinya pasca peristiwa kekerasan seksual yang
pernah dialami. Meskipun ciri tersebut tampil dalam kadar yang berbeda, kedua partisipan sama-
sama mengalami dampak psikologis yang kurang lebih serupa dan dapat ditelaah melalui
tinjauan teoritis yang ada, khususnya berkaitan dengan trauma pasca peristiwa kekerasan
seksual. Dengan demikian, intervensi akan dirancang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan
partisipan, di mana kesemua ciri yang tampil pada partisipan dapat dikelompokkan ke dalam
empat area intervensi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka rancangan intervensi untuk partisipan akan
mencakup area-area:
1. Simtom-simtom Post Traumatic Stress Disorder
2. Konsep diri sebagai perempuan
3. Relasi interpersonal
4. Traumatisasi seksual

Dari keempat area tersebut, kemudian secara lebih spesifik peneliti menentukan dua area
yang akan menjadi fokus pada rancangan intervensi ini, yaitu simtom-simtom PTSD dan
traum atisasi seksual. Selain untuk lebih menajamkan sasaran intervensi pada rancangan,
penentuan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada
Bab IV. Oleh karena itu, rancangan intervensi ini secara keseluruhan bertujuan untuk pemulihan
trauma pada para perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan
pacaran dan diharapkan dapat diaplikasikan oleh para psikolog pada umumnya untuk kasus-
kasus serupa.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


94

5.2. Metode Intervensi


Mengingat kasus kekerasan seksual termasuk ke dalam isu yang cenderung bersifat
sensitif dan kebanyakan korban tidak ingin membicarakannya secara terbuka, maka peneliti
memilih individual treatment sebagai model utama penanganan dalam penyusunan rancangan
intervensi. Penanganan secara individual dipilih dengan tujuan untuk menciptakan rasa aman dan
memancing sikap terbuka dari klien yang dapat mendukung keberhasilan intervensi. Penanganan
akan dilakukan melalui penerapan latihan teknik-teknik yang dapat diterapkan klien untuk
meredam reaksi traumatis yang masih muncul, psikoedukasi, dan konseling.
Rancangan intervensi ini menggunakan pendekatan eklektik, yang merupakan gabungan
dari pendekatan kognitif dan pendekatan behavioral. Seperti yang dikemukakan Rollins (1996),
pendekatan behavioral kognitif efektif digunakan dalam menangani simtom-simtom PTSD.
Teknik-teknik yang dapat digunakan adalah stress inoculation therapy, relaksasi progresif, dan
restrukturisasi proses kognitif. Beberapa literatur lain mengajukan teknik imagery dan coping
self statements sebagai teknik yang efektif dalam menangani stres pasca trauma, khususnya
untuk mengatasi intrusive memories (Smith, Dygerov, & Yule, 2008). Sedangkan traumatisasi
seksual dapat diatasi dengan menggali riwayat masa lalu individu dan merefleksikan
pengalamannya melalui talk therapy (Jongsma & Peterson, 2006). Klien juga dapat diarahkan
untuk melakukan refleksi diri (Wickham & West, 2002).
Secara lebih spesifik, cognitive processing therapy efektif untuk merestrukturisasi pikiran
para korban mengenai kejadian yang dialaminya (Rollins, 1996). Rcsick dan Schnike (1993)
mendukung pernyataan tersebut dengan memberikan model untuk pelaksanaan sesi cognitive
processing therapy (CPT) bagi para korban kekerasan seksual. Pada dasarnya, teknik ini dapat
berhasil apabila didukung dengan kapasitas kognitif yang baik dari klien sehingga klien dapat
melakukan penalaran logis dengan baik dan membuat kesimpulan secara tepat. Berdasarkan
pertimbangan bahwa kedua partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan dan
kapasitas kognitif yang memadai, maka peneliti memilih untuk menyusun rancangan intervensi
dengan pendekatan eklektik yang terdiri dari cognitive processing therapy (Resick & Schnike,
1993) dan pendekatan behavioral kognitif untuk mengatasi reaksi stres pasca trauma (Smith,
Dygerov, & Yule, 2008).

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


95

5.3. Desain Rancangan Intervensi


Tabel 5.1. Desain Rancangan Intervensi

AREA YANG ASPEK- INDIKATOR TEKNIK INDIKATOR


DIINTERVENSI ASPEK PRE-INTERVENSI POST-INTERVENSI
SASARAN

Simtom-simtom Memori yang Bermimpi buruk setidaknya Self-inventory: Berkurangnya memori yang
PTSD mengganggu sekali dalam satu bulan CRIES-13 mengganggu

Terlintas bayangan kejadian Psikoedukasi: Penerapan upaya yang efektif


setidaknya sekali dalam Mengapa memori yang untuk mengenyahkan mimpi
beberapa hari mengganggu muncul dan bayangan akan peristiwa
traumatis
Tidak mampu mengenyahkan Teknik Safe Place
mimpi dan bayangan meskipun
sudah berusaha secara
Teknik Imagery Screen
maksimal

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


' Reaksi Gangguan tidur Psikoedukasi: Berkurangnya reaksi fisiologis
fisiologis Mengapa reaksi negatif
negatif Gangguan makan fisiologis negatif
muncul Penerapan upaya yang efektif
untuk meredakan reaksi
Jantung berdebar-debar
Teknik Relaksasi fisiologis negatif
Progresif
Merasa lemas

Teknik Bernafas
Merasa mual

Reaksi Menangis Psikoedukasi: Berkurangnya reaksi emosional


emosional Mengapa reaksi yang berlebihan
negatif emosional negatif
Merasa marah
muncul Pengenalan pola emosi diri dan
Merasa benci menerapkan upaya yang efektif
Konseling: untuk meredakan emosi negatif
Merasa sedih Pengenalan Emosi Diri

Merasa jijik Teknik distancing


sebagai emotion-focused
coping style

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


97

Pikiran dan Tidak mau melewati tempat- Psikoedukasi: Bersedia dan mampu melewati
perilaku tempat tertentu meskipun Mengapa pikiran dan tempat-tempat yang ditakuti
menghindar menimbulkan kerugian atau perilaku menghindar
merepotkan muncul Bersedia dan mampu menemui
orang-orang yang semula
Tidak mau menemui orang- Desensitisasi sistematis dihindari
orang tertentu meskipun
menimbulkan kerugian atau Eksposur in vivo Mampu menghadapi rasa takut
merepotkan dalam tingkatan yang lebih
tinggi dari sebelum intervensi

Mampu me-recall ingatan


tentang peristiwa traumatis
tanpa tenggelam dalam
perasaan negatif

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Traumatisasi Self blame Anggapan bahwa kekerasan Psikoedukasi: Pemahaman mengenai kondisi
Seksual seksual terjadi karena Dampak kekerasan diri meningkat
kesalahan dirinya seksual, khususnya
berkaitan dengan Berkurangnya perasaan
Perasaan rendah dan hina traumatisasi seksual bersalah
karena sudah tidak suci atau
tidak perawan Counter Statements

Ketidakmampuan untuk Restrukturisasi Pikiran


menjalani hubungan intim
selanjutnya karena diri sebagai
perempuan sudah tidak utuh
lagi

Perasaan kotor bahwa tidak ada


lagi yang perlu dipertahankan
dari dirinya

Anggapan bahwa dirinya tidak


berharga

Kebingungan mengenai seks


dan hubungan intim

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


99

Perilaku seks Pemahaman yang tidak tepat Teknik Konfrontasi Berkurangnya perilaku seks
atipikal mengenai hubungan seks atipikal
Restrukturisasi Pikiran
Anggapan bahwa perilaku seks Pemahaman mengenai
atipikal merupakan hal yang Teknik distancing seksualitas meningkat
wajar terjadi sebagai salah satu
emotion-focused coping
Perubahan derajat minat style dan pemberian
terhadap seks (menjadi rendah contoh
atau menjadi berlebihan)
Psikoedukasi:
Seksualitas, proses
biologis dan reproduksi,
dampak seks bebas dan
HIV-AIDS

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Penerimaan Pemahaman yang tidak tepat Psikoedukasi: Penerimaan terhadap diri
diri mengenai hubungan pacaran Pacaran Sehat meningkat

Ketidakmampuan menerima Self-disclosure: Kemampuan untuk memaafkan


masa lalunya Bukti keberhasilan dan diri
prestasi
Belum mampu mengambil
hikmah dari peristiwa negatif Konseling:
di masa lalu Identifikasi stuck points
Makna hidup
Tidak memaafkan diri sendiri

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


101

5.4. Rincian K egiatan Intervensi


Berdasarkan desain garis besar yang diajukan pada subbab sebelumnya, peneliti
menyusun rancangan intervensi yang disesuaikan dengan kebutuhan para partisipan. Area
pertama yang menjadi sasaran intervensi adalah simtom-simtom PTSD, yang nantinya akan
dipecah lagi menjadi empat aspek, yaitu memori yang mengganggu, reaksi fisiologis negatif,
reaksi emosional negatif, serta pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal yang
mengingatkan pada peristiwa traumatis. Sedangkan area kedua yang menjadi sasaran intervensi
adalah traum atisasi seksual, yang terdiri dari aspek-aspek self blame, perilaku seks atipikal,
dan penerim aan diri.
Peneliti menetapkan bahwa intervensi dapat dilakukan oleh psikolog atau terapis yang
memahami isu kekerasan seksual, dan berlangsung sebanyak sembilan sesi, yang terdiri dari
delapan sesi individual dan satu sesi dengan significatif others apabila memungkinkan dan
klien bersedia untuk mendatangkan salah satu orang terdekatnya yang ia percayai. Satu sesi
untuk significant others ini merupakan sesi alternatif dan bisa saja tidak dilakukan. Peneliti
menyarankan bahwa sesi untuk significant others dilaksanakan di awal atau setidaknya di
tengah-tengah seluruh sesi individual, dengan pertimbangan agar significant others dapat turut
memantau kemajuan sesi dan memberikan dukungan kepada klien selama mengikuti sesi.
Namun, tidak menjadi masalah apabila sesi ini tidak bisa dilaksanakan dan tidak akan
mengganggu sesi yang lain.
Literatur menunjukkan bahwa intervensi pemulihan trauma sebaiknya dilakukan dengan
jeda waktu satu minggu antar sesinya (Smith, Dygerov, & Yule, 2008). Hal ini disebabkan klien
memerlukan waktu untuk mengendapkan intisari dari sesi dan mengerjakan tugas-tugas rumah
yang diberikan, dan satu minggu dianggap cukup ideal untuk kepentingan tersebut. Atas
pertimbangan yang telah dijelaskan, maka peneliti juga menetapkan bahwa sesi intervensi ini
akan dilakukan setiap satu minggu sekali. Dengan demikian, para praktisi dapat memberikan
intervensi ini kepada klien dalam waktu dua bulan secara keseluruhan. Sementara itu,
berdasarkan pertimbangan tercapainya target sesi, maka sesi akan dilaksanakan dalam waktu
kurang lebih dua jam untuk satu pertemuan. Setiap sesi diberi nama sesuai dengan tema yang
menjadi pembahasan utama dalam sesi yang bersangkutan.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


102

Tabel 5.2. Rangkuman Sesi

Sesi 1 Aku dan Peristiwa yang Menyebabkan Trauma +120 menit


Sesi 2 Aku dan Reaksi-reaksi Negatif ± 120 menit
Sesi 3 Aku dan Memori yang Mengganggu + 120 menit
Sesi 4 Aku dan Usaha untuk Menghindar ± 120 menit
Sesi 5 Aku Tidak Bersalah... +120 menit
Sesi 6 Aku dan Seksualitas +120 menit
Sesi 7 O f course I love myself. ± 120 menit
Sesi 8 Review dan Terminasi +120 menit
Sesi Alternatif Optimalisasi Pendampingan Psikologis + 120 menit
(significant others)

9 SESI TOTAL +18 jam

Tabel di atas memberikan deskripsi mengenai kesembilan sesi yang akan dilaksanakan
dalam intervensi. Secara lebih rinci, sesi 1 mencakup perkenalan dan pembahasan mengenai
reaksi stres pasca trauma dan pengalaman kekerasan seksual, sesi 2 membahas tentang reaksi-
reaksi emosional dan fisiologis yang muncul jika teringat pada peristiwa serta teknik untuk
meredamnya, sesi 3 membahas tentang memori atau bayangan yang masih mengganggu, dan sesi
4 membahas tentang avoidance. Keempat sesi pertama merupakan bagian dari area simtom-
simtom PTS D, sehingga diberikan lebih awal dengan harapan apabila klien sudah mampu
menerapkan upaya-upaya efektif untuk meredam reaksi stres pasca trauma-nya, maka ia menjadi
lebih siap untuk mengikuti sesi traumatisasi seksual. Keempat sesi berikutnya bisa dikatakan
lebih menenangkan untuk dijalani klien karena proses yang panjang di awal sesi ditujukan untuk
kesejahteraan psikologis klien dan tidak secara langsung mengarahkan pembahasan pada isu
yang mungkin masih terasa menakutkan bagi mereka.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


103

Atas alasan yang sama, maka secara lebih rinci, sesi mengenai reaksi fisiologis dan
emosional negatif sengaja diberikan pertama kali dengan tujuan membekali klien dengan
persiapan fisiologis dan emosional. Dengan demikian, klien memiliki perasaan mampu untuk
menghadapi traumanya dan merasa nyaman untuk berlanjut ke sesi berikutnya yang lebih
mendalam.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


102

BAB 6
DISKUSI

6. 1. Kontribusi Karakteristik Kepribadian dan Pola Asuh Partisipan terhadap Kondisi


Psikologis Pasca Trauma
Peneliti menarik kesimpulan bahwa meskipun mereka mengalami peristiwa traumatis
yang serupa, pada dasarnya Dian dan Tia adalah dua individu dengan karakteristik kepribadian
yang unik masing-masingnya. Mereka memiliki keluarga yang karakteristiknya berbeda dan
diasuh dengan didikan yang berbeda pula, sehingga akhirnya membentuk keduanya menjadi
pribadi dengan pola coping yang dapat dikatakan berbeda dalam merespon pengalaman
kekerasan seksual.
Dian yang diasuh dalam keluarga religius dan menganggap seks sebagai dosa dan hal
yang tabu untuk dibahas, secara umum memiliki cara pandang yang kaku dan cenderung sulit
menerima informasi baru. Terlebih lagi, orangtuanya amat tertutup dan tidak memberikan akses
komunikasi sehingga Dian tidak memiliki alternatif untuk mengembangkan pemikirannya
kecuali yang ditanamkan oleh orangtuanya. Hal tersebut membuat Dian menjadi shock ketika
mengalami peristiwa yang tidak pernah diduga olehnya dan mengalami efek traumatis yang
dahsyat dalam bentuk kemarahan terhadap pelaku dan dirinya sendiri. Konflik inilah yang
menyebabkan Dian menjadi jauh lebih promiscous dibandingkan Tia. Dian kurang memiliki
pengetahuan mengenai strategi coping yang efektif sehingga ia berusaha meredam
kemarahannya dengan cara yang ekstrim.
Sementara itu, Tia yang diasuh secara demokratis memiliki cara pandang yang fleksibel
dan terbuka. Ia mampu mengutarakan pemikirannya kepada orang lain karena orangtuanya
mengajarkannya demikian, sehingga ia juga mampu menerima masukan dari orang lain dengan
baik. Hal ini membuat Tia lebih terlihat mudah diarahkan karena ia sudah memahami sendiri apa
yang terjadi pada dirinya. Penerimaan Tia juga tampak lebih baik dibandingkan Dian karena ia
mengetahui bahwa masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki diri dan memperoleh
dukungan dari orang-orang yang dicintainya.
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


103

6. 2. Keterkaitan Antara Keempat Area Intervensi


Diskusi pada pengujian penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang
kompleks dari area-area intervensi yang disimpulkan, yaitu simtom-simtom PTSD, konsep diri
negatif, relasi interpersonal, serta traumatisasi seksual. Dalam bab 4 dijelaskan mengenai hal
tersebut dan bagaimana akhirnya dipilih dua area saja sebagai sasaran intervensi, akan tetapi
kemudian peneliti menarik kesimpulan baru bahwa keempat area tersebut selalu saling
mempengaruhi satu sama lain, sehingga ketika kita membicarakan salah satu area maka secara
tidak langsung akan beririsan dengan area yang lain. Hal tersebutlah yang terjadi pada rancangan
intervensi ini, di mana ternyata intervensi terhadap dua area juga dapat memberikan efek positif
pada dua area lainnya. Dengan demikian, sebenarnya intervensi bisa saja tetap dilakukan
terhadap seluruh area.
Berkaitan dengan area relasi interpersonal, juga ditemukan bahwa terdapat isu yang lebih
bisa menjadi titik tekan, yaitu intimacy dan komitmen heteroseksual. Hal ini mengingat bahwa
kedua partisipan sebenarnya mampu menjalin relasi interpersonal, namun kualitas keintimannya
masih perlu diperhatikan dan salah satu indikatornya adalah komitmen. Terlebih lagi pada
masyarakat Indonesia, menjalani hubungan heteroseksual dengan komitmen merupakan suatu
fase yang umumnya diharapkan berjalan dengan lancar.
Masih mengenai relasi interpersonal, dalam intervensi juga perlu ditekankan tentang
hubungan pacaran yang membuat individu merasa nyaman. Dari kedua partisipan tampak bahwa
pasangan mereka saat ini merupakan orang yang sangat pengertian, tidak terbburu-buru dalam
pendekatan dengan berusaha menjadi teman bicara yang baik, dan bersedia menerima mereka
apa adanya. Hal tersebut ternyata sangat membantu Dian dan Tia untuk membangun
kepercayaannya kepada laki-laki.

6.3. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Intervensi


Mengingat bahwa rancangan intervensi ini belum dilaksanakan, peneliti membuat
kesimpulan mengenai hal-hal yang sekiranya dapat mendukung keberhasilan intervensi
pemulihan trauma ini pada partisipan dengan karakteristik yang serupa. Dengan demikian,

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


104

terapis dapat mengoptimalkan efektivitas sesi sehingga intervensi menjadi tepat guna dan tepat
sasaran.
Berdasarkan hasil analisis kasus dan karakteristik partisipan, peneliti melihat bahwa
keberhasilan intervensi akan didukung oleh hal-hal berikut:
1. Rapport yang terjalin dengan baik antara pemeriksa dengan klien.
Mengingat kasus kekerasan seksual bersifat sensitif dan umumnya para korban tidak
ingin terlalu terbuka mengenai pengalamannya dengan orang lain, maka rapport
menjadi hal yang amat penting dalam sebuah proses konseling untuk mennumbuhkan
rasa percaya klien terhadap pemeriksa (Stewart & Cash, 2000). Pada awal sesi, Dian
dan Tia sangat tampak berhati-hati dalam memberikan penjelasan, namun setelah
pertemuan kedua mereka baru bisa bersikap santai dan lepas, di mana rapport antara
peneliti dengan partisipan sudah terjalin dengan baik. Dengan demikian, intervensi
yang diberikan bisa diterima secara baik oleh klien karena adanya rasa kepercayaan
yang terbangun.
2. A tm osfir ruangan yang kondusif untuk melangsungkan intervensi.
Berkaitan dengan poin sebelumnya, klien dengan kasus kekerasan seksual biasanya
membutuhkan privasi yang tinggi sehingga kondisi tempat pemberian intervensi perlu
ditinjau agar membuat klien merasa aman dan nyaman menjalani sesi. Menilik
karakteristik kepribadian Dian dan Tia yang cenderung tertutup dan sulit
mempercayai orang lain, serta mudah terdistraksi dengan kehadiran orang lain, maka
poin ini menjadi penting untuk diperhatikan. Hal ini juga bisa jadi berlaku bagi klien
yang akan diikutsertakan dalam intervensi sejauh memiliki karakteristik yang tidak
jauh berbeda dengan partisipan.
3. Tingkat pendidikan partisipan yang memadai untuk diberikan intervensi behavioral-
kognitif.
Pendekatan behavioral kognitif membutuhkan kemampuan logis dan penalaran yang
cukup baik dari partisipan (Rollins, 1996). Hal ini karena dalam intervensi behavioral
kognitif, banyak dilakukan Oleh karena itu, tingkat pendidikan kedua partisipan yang
lulusan sarjana dan master dapat mendukung berhasilnya intervensi ini. Resick dan
Schicke (1993) juga mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang memadai dapat
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


105

memperlancar proses pemberian intervensi karena sesuai dengan penerimaan kognitif


klien.
4. Keterlibatan significant others dalam intervensi baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Terdapat orang-orang yang memiliki peranan penting dalam kehidupan partisipan dan
dirasakan oleh mereka sebagai pihak yang menjadi sumber motivasi. Seperti yang
dirasakan Dian terhadap sahabatnya, Nia, atau yang dirasakan Tia terhadap Tito,
pacarnya, sebagai tempat berkeluh kesah. Intervensi diperkirakan dapat beijalan
dengan lebih baik apabila dalam sekali waktu klien didampingi oleh significant
others-nya sehingga orang tersebut bisa memberikan dukungan langsung yang efektif
kepada mereka. Oleh karena itu, jika memungkinkan, peneliti menyarankan untuk
mengadakan satu sesi untuk signficant others agar pendampingan psikologis terhadap
klien menjadi optimal.

Dalam memberikan intervensi kepada korban kekerasan seksual, Trowell (1999 dalam
Wickham & West, 2002) mengajukan enam hal yang perlu diperhatikan oleh terapis agar tidak
mengganggu jalannya intervensi, yaitu:
1. Isu kekerasan.
Terapis harus peka dan mampudengan reaksi-reaksi dari klien terkait dengan
pembahasan yang telah dilakukan. Meskipun mereka menyetujui untuk mengikuti
intervensi, mereka sangat mungkin merasaka ketidaknyamanan dengan pengalaman
masa lalu yang terus menerus dibicarakan.
2. Isu masa kanak-kanak.
Isu ini menjadi perhatian terapis, terutama jika intervensi dilakukan dengan
pendekatan psikoanalisa, di mana terapis sebaiknya melakukan penggalian atas isu
masa kanak-kanak klien dengan memperhatikan kesediaan klien. Meskipun intervensi
dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan behavioral kognitif, ada baiknya
jika terapis tetap menaruh perhatian pada isu masa kanak-kanak, apalagi jika terdapat
informasi khas mengenai klien di masa kanak-kanaknya.
3. Perpisahan, kehilangan, yang terjadi dalam waktu dekat
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


106

Perasaan rendah diri sebagai salah satu dampak dari kekerasan seksual bisa jadi
kembali muncul dan menguat intensitas serta frekuensinya dalam periode berduka.
Untuk itu, apabila klien belum lama mengalami perpisahan atau kehilangan yang
signifikan dan masih berada dalam periode berduka, maka terapis perlu untuk
memberikan perhatian lebih.
4. Psikopatologi, seperti PTSD, perasaan depresi dan keinginan bunuh diri, kecemasan
dan serangan panik, gangguan attachment dan gangguan perkembangan, gangguan
makan
Terapis harus bisa menemukan psikopatologi yang teijadi pada klien dan berhati-hati
dalam menyinggungnya, terutama dalam konseling, agar tidak membuat klien
semakin tenggelam dalam perasaan-perasaan negatifnya. Dalam intervensi, hal ini
juga perlu diperhatikan agar kesejahteraan psikologis klien tidak menjadi terganggu
selama berjalannya intervensi.
5. Rencana masa depan, rasa percaya diri, keberhargaan diri
Terapis juga perlu mempertimbangkan kepercayaan diri klien dalam mengikuti sesi
dan berperan dalam menumbuhkannya. Klien dengan rasa percaya diri dan
keberhargaan diri yang rendah akan kesulitan bersikap optimis terhadap sesi dan
menerima informasi dengan baik. Secara jangka panjang, kesulitan dalam area ini
juga dapat mempengaruhi keberhasilan klien dalam pencapaian masa depan dan
keseluruhan kehidupannya.
6. Hubungan dengan keluarga dan lingkungan sosial
Dukungan sosial merupakan salah satu hal yang penting bagi klien. Namun, apabila
klien memiliki hubungan yang kurang optimal dengan lingkungannya, maka terapis
perlu memperhatikan cara-cara membicarakan hal tersebut agar klien merasa tetap
berpotensi untuk pulih dan tidak dituntut oleh terapis untuk memiliki dukungan sosial
yang baik. Pendekatan personal yang baik dari terapis juga dapat menumbuhkan rasa
percaya klien terhadap intervensi dan rasa keberhargaan diri bahwa ia masih memiliki
dukungan sosial.

6. 4. Temuan Lain
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Seperti yang telah d ¡kemukakan pada bab 3, kedua partisipan merupakan orang yang baru
dikenal peneliti secara lebih mendalam walaupun sebelumnya sudah pernah saling mengenal.
Namun, peneliti menyimpulkan bahwa kedatangan kedua partisipan atas keinginannya sendiri
membuat mereka lebih mudah bersikap terbuka dan berbagi informasi yang diperlukan dalam
asesmen. Hal ini secara tidak langsung memperlancar jalannya pengambilan data dan
penyusunan rancangan intervensi.
Secara keseluruhan, peneliti tidak menemui kesulitan yang berarti dalam pengambilan
data. Akan tetaipi, peneliti melihat bahwa kedua partisipan pada dasarnya merupakan seseorang
yang tampil baik dalam kehidupannya sehari-hari. Saat penelitian ini dilaksanakan, kedua
partisipan tidak menunjukkan simtom-simtom psikologis yang dimunculkan dari asesmen secara
perilaku nyata, bahkan cenderung tampil sebagai individu yang aktif, ceria, dan seolah tidak
memiliki pengalaman hidup yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku yang ditampilkan
kedua partisipan dalam kesehariannya belum tentu menggambarkan kondisi psikologis mereka
yang sesungguhnya.
Hal lain yang ditemukan adalah bahwa kedua partisipan tidak menceritakan peristiwa
yang dialaminya tersebut kepada banyak orang meskipun peristiwa kekerasan telah begitu lama
berlalu. Dian dan Tia hanya menceritakan pengalaman mereka secara terbuka kepada salah satu
sahabat, pacar, dan peneliti. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa isu kekerasan seksual
memang masih menjadi isu yang sangat privat dan tidak begitu saja mudah dibicarakan secara
terbuka kepada orang lain.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


108

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
7. 1. 1. Gambaran Partisipan
Penelitian ini melibatkan dua partisipan, yang diberi nama samaran Dian dan Tia,
yang berusia 24 dan 25 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara
mendalam dan observasi dalam wawancara. Wawancara dilakukan sebanyak masing-
masing lima kali untuk masing-masing partisipan. Kedua partisipan mengalami kekerasan
seksual oleh pacarnya pada enam dan empat tahun yang lalu. Dian mengalami kekerasan
seksual disertai kekerasan fisik yang cukup intens, sedangkan Tia mengalami kekerasan
seksual yang diwarnai dengan kekerasan emosional. Saat ini, kedua partisipan telah
menjalani kehidupan dengan kondisi diri yang secara keseluruhan Jebih baik karena telah
berhasil memutuskan hubungan dengan pelaku dengan melewati perjuangan yang cukup
berat. Bahkan, saat ini masing-masing mereka telah berusaha menjalin hubungan intim
dengan laki-laki yang baru.
Meskipun demikian, mereka masih mengalami beberapa keluhan terkait dengan
peristiwa kekerasan yang pernah dialaminya, di antaranya mengalami mimpi buruk dan
bayangan akan peristiwa kekerasan, reaksi fisiologis yang tidak mengenakkan jika
teringat pada peristiwa kekerasan, adanya pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal
yang mengingatkan pada kekerasan, perasaan malu, berdosa, rendah diri, takut untuk
menjalani hubungan pacaran selanjutnya, belum mampu melupakan peristiwa, serta
munculnya perilaku dan pandangan yang berbeda mengenai diri sendiri dan seks setelah
terjadinya peristiwa kekerasan seksual. Salah satu perilaku seks yang menonjol pada
kedua partisipan tetapi berbeda pada masing-masingnya adalah berkurangnya minat
terhadap seks, dan sebaliknya pada partisipan yang lain justru menunjukkan adanya
kebingungan terhadap seks yang menyebabkan partisipan menunjukkan minat yang
terlalu besar untuk seks.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


109

7. 1. 2. Analisis Kasus
Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa kedua partisipan mengalami
trauma yang cukup dalam akibat kekerasan seksual sehingga dalam kesehariannya
menghadapi kesulitan dalam empat area. Keempat area ini yang akan menjadi sasaran
dalam intervensi, yaitu:
1. Simtom-simtom PTSD
Simtom-simtom PTSD muncul dalam bentuk memori, bayangan, atau mimpi
akan kejadian traumatis yang sering terbangkitkan, reaksi fisiologis dan
emosional negatif yang muncul bila teringat pada kejadian traumatis, serta
perilaku dan pikiran menghindar dari hal-hal yang mengingatkan pada
kejadian traumatis.
2. Konsep diri sebagai perempuan
Mencakup pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, kurangnya rasa
keberhargaan diri, adanya anggapan bahwa dirinya tidak utuh dan tidak lagi
sempurna sebagai seorang perempuan karena gagal mempertahankan
keperawanan, adanya perilaku menyalahkan diri sendiri, serta sulitnya
menerima kejadian tersebut dan memaafkan diri sendiri.
3. Relasi interpersonal
Kedua partisipan menunjukkan ketakutan dan kecemasan akan hubungan
intim yang selanjutnya karena memiliki pandangan yang negatif terhadap seks
dan laki-laki. Area ini menjadi penting karena saat ini, mereka berada dalam
hubungan intim yang baru setelah periode kekerasan seksual, sehingga timbul
konflik antara kebutuhan intimacy dan ketakutan akan pengalaman masa lalu
yang negatif.
4. Traumatisasi seksual
Traumatisasi seksual muncul dalam bentuk perilaku seks atipikal dan tidak
disadari oleh partisipan sebagai sesuatu hal yang tidak biasa. Perilaku seks
atipikal dapat berupa minat yang rendah atau tinggi terhadap seks, di mana

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


110

salah satu partisipan menunjukkan berkurangnya minat terhadap seks,


sedangkan partisipan yang lain sebaliknya.

7. 1. 3. Rancangan Intervensi
Rancangan intervensi yang disusun menyasar pada dua area dari empat area yang
diajukan berdasarkan hasil analisis kasus, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi
seksual. Hal ini ditentukan berdasarkan pertimbangan urgensi dan spesifikasi area sasaran
intervensi. Untuk simtom-simtom PTSD, pendekatan terapi yang digunakan adalah
teknik-teknik behavioral, sedangkan untuk traumatisasi seksual menggunakan teknik-
teknik dalam pendekatan terapi kognitif.

7. 2. Saran
Sehubungan dengan adanya berbagai keterbatasan dalam penelitian dan penyusunan
rancangan intervensi bagi perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual ini, maka
peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya:
1. Teori mengenai trauma akibat kekerasan seksual, khususnya date rape, diperdalam
agar menjadi lebih spesifik dalam mengarahkan simtom-simtom mana yang akan
menjadi sasaran intervensi,
2. Menggunakan literatur terbaru dan memperbanyak landasan teoritis mengenai
seksualitas di masyarakat Indonesia agar bisa dijadikan perbandingan dengan kasus
yang diteliti,
3. Jumlah partisipan ditambah untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
mengenai trauma pada individu.
4. Menambahkan metode observasi mumi sebagai metode pengambilan data mengingat
simtom-simtom yang ditelliti umumnya dapat tampak dalam kehidupan sehari-hari
partisipan.
5. Memilih rancangan intervensi dengan formula yang lebih spesifik (bukan eklektik)
agar psikoterapi lebih tepat sasaran.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Ill

Mengingat bahwa tipe penelitian ini adalah case study dengan kasus yang terbilang unik,
pada dasarnya akan lebih menarik jika penelitian dapat dilakukan dengan melibatkan aspek
kepribadian dan konteks pola asuh secara lebih mendalam. Hal ini agar peneliti dapat
memperoleh pemahaman yang lebih komprehensifn.
Terkait dengan metode penelitian, pada penelitian ini, peneliti masih menggunakan
metode observasi dalam wawancara sebagai metode pengambilan data tambahan, bukan
observasi murni maupun observasi sebagai metode pengambilan data utama. Ada baiknya jika
penelitian berikutnya mengusahakan lebih jauh agar dapat melakukan observasi mumi terhadap
partisipan untuk memperoleh data yang akurat dan dapat diricek kembali antara hasil wawancara
dengan hasil observasi. Dengan demikian, penggunaan metode observasi dengan behavioral
checklist atau instrumen sejenis akan semakin memperkuat data yang diperoleh melalui metode
wawancara.
Sebagai saran praktis, hasil penelitian dan rancangan intervensi ini diharapkan dapat
digunakan oleh para psikolog yang menangani kasus kekerasan seksual dalam memahami
dinamika psikis yang terjadi pada klien dan menerapkan intervensi yang sesuai dengan
kebutuhan klien dengan menjadikan rancangan intervensi ini sebagai benchmark.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


112

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Allen, Jon G. (2005). Coping With Trauma: Hope Through Understanding. 2nd edition.
Washington DC: American Psychiatric Publishing, Inc.
Attig, B. Y., Attig, G. A., & Boonchaiaksi, W. (1989). A Field Manual on Selected
Qualitative Research Methods. Nakhon Pathom: Institute for Population and
Social Research Mahidol University.
Bergen, Raquel Kennedy. (1998). Issues In Intimate Violence. Thousand Oaks: Sage
Publications, Inc.
Copeland, Maty Ellen & Harris, Maxine. (2000). A Gentle, Step-by-Step Guide Healing
The Trauma o f Abuse: A Women’s Workbook. Oakland: New Harbinger
Publications.
Flick, U. (1998). An Introduction to Qualitative Research. California: Sage Publications
Inc.
Hay, Louise L. (1984). You Can Heal Your Life. Santa Monica: Hay House, Inc.
Jongsma, Arthur E. & Peterson, L. Mark. (2006). The Complete Adult Psychotherapy:
Treatment Planner. 4th edition. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Kelly, Liz. (1988). Surviving Sexual Violence. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Kendal 1-Tackett, Kathleen A. (2005). Handbook o f Women, Stress, and Trauma:
Psychosocial Stress Series. New York: Brunner-Routledge.
Ker/inger, F. N. & Lee, H. B. (2000). Foundations o f Behavioral Research. 4th edition.
Orlando: Harcourt College Publishers.
Komisi Nasional Perempuan. (2002). Peta Kefarasm: Pengalaman Perempuan
Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan.
Koss, Mary P. & Harvey, Mary R. (1991). The Rape Victim: Clinical and Community
Interventions. 2nd edition. Newbury Park: Sage Publications, Inc.

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


113

O’Donohue, William. (1997). Sexual Harrassment: Theory, Research, and Treatment.


Massachusetts: Aliyn & Bacon.
Poerwandari, Elizabeth K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Edisi Ketiga. Jakarta: LPSP3 UI.
Poerwandari, Kristi. (2008). Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi KDRT dan
Kekerasan Seksual: Panduan dalam Bentuk Tanya Jawab. Jakarta: Program Studi
Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Papalia, Diane E., Olds, S. E., & Feldman, R. D. (2001). Human Development. 8th
edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Potter, A. & Perry, D. (2005) .Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktek. Alih Bahasa, Yasmin Asih. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Purnawan, I. (2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak
Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UGM.
Resick, Patricia A. & Schnicke, Monica K. (1993). Cognitive Processing Therapy fo r
Rape Victims: A Treatment Manual. Newbury Park: Sage Publications, Inc.
Rollins, Joan H. (1996). Women’s Minds Women’s Bodies: The Psychology o f Women in
a Biosocial Context. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Rosenbloom, Dena & Williams, Mary Beth. (1999). Life After Trauma: A Workbookfo r
Healing. New York: The Guilford Press.
Sasongko, S. S. (2009). Konsep dan Teori Gender. Jakarta: BKkbN.
Stewart, J. C. & Cash, B. W. (2000). Interviewing. Boston: McGraw Hill.
Suwignyo, A. (2002). Penelitian Kualitiatff. Yogyakarta: Faku/tas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
Wickham & West. (2002). Therapeutic Work for Child Sexual Abuse. Thousand Oaks:
Sage Publications, Inc.

Jurnal dan Publikasi Ilmiah:

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


114

Alexander, J.G., M. D. Chesnay, E. Marshall, A. R. Campbell, S. Johnson, dan R.


Wrightf. (1989). “Research Note: Parallel Reactions in Rape Victims and Rape
Researchers”. Violence and Victims, 4, hal. 57-62.
Anderson, V. N., D. Simpson-Taylor, dan D. J. Herrmann. (2004). “Gender, Age, and
Rape-Supportive Rules 1”. Sex Roles, 50, hal.77-90.
Anonymous. (2010). “Healing Rape Survivors in the Congo”. Academic Research
Library, hal. 27.
Ay ling, K. dan J. M. Ussher. (2008). ““If Sex Hurt, Am I Still a Woman?” the Subjective
Experience of Vulvodynia in Hetero-Sexual Women”.2008. Arch Sex Behav, 37,
hal. 294-304.
Broman, C. L. (2003). “Sexuality Attitudes: The Impact of Trauma”. The Journal of Sex
Research, 40, hal. 351-357.
http://www.jstor.org/stabIe/3813337 Accessed: 28/05/2010 06:20
Chibnall, J. T., A. Wolf, dan P. N. Duckro. (1998). “A National Survey of the Sexual
Trauma Experiences of Catholic Nuns”. Review of Religious Research, 40, hal.
142-167.
http://www.jstor.org/stable/3512299 Accessed: 28/05/2010 06:50
Feehan, M., S. Nada-Raja, J. A. Martin dan J. D. Langley. (2001). “The Prevalence and
Correlates of Psychological Distress Following Physical and Sexual Assault in a
Young Adult Cohort”.V iolence and Victims, 16, hal. 49-63.
Flynn, C. P. (1990). “Relationship Violence by Women: Issues and Implications”. Family
Relations, 39, hal. 194-198.
http://www.jstor.org/stable/585723 Accessed: 20/05/2010 07:35
Jurnal Perempuan. (2002). “Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan”. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan
Lloyd, S. A. (1991). “The Darkside of Courtship: Violence and Sexual Exploitation”.
Family Relations, 40, hal. 14-20.
http://www.jstor.org/stable/585653 Accessed: 20/05/2010 07:34
Michalski, J. H. (2005). “Explaining Intimate Partner Violence: The Sociological
Limitations of Victimization Studies”. Sociological Forum, 20, hal. 613-640
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


115

http://www.jstor.org/stable/4540918 Accessed: 20/05/2010 07:33


O’Connor, M., B. A. Gutek, M. Stockdale, T. M. Geer, dan R. Melançon. (2004).
“Explaining Sexual Harassment Judgments: Looking beyond Gender of the
Rater”. Law and Human Behavior, 28, hal. 69-95.
http://www.jstor.org/stable/4141729 Accessed: 20/05/2010 07:28
Peplau, L. A. (2003). “Human Sexuality: How Do Men and Women Differ?”. Current
Directions in Psychological Science, 12, hal. 37-40
http://www.jstor.org/stable/20182831 Accessed: 28/05/2010 06:53
Smith, P., Dygerov, A. & Yule, William. (2008). “Children and Disaster: Teaching
Recovery Techniques”. Bergen: Children and War Foundation.
Uggen, C. dan A. Blackstone. (2004). “Sexual Harassment as a Gendered Expression of
Power”. American Sociological Review, 69, hal. 64-92.
http://www.jstor.org/stable/3593075 Accessed: 20/05/2010 07:29
Viki, G. T., D. Abrahams, dan B. Masser. (2004). “Evaluating Stranger and Acquaintance
Rape: The Role of Benevolent Sexism in Perpetrator Blame and Recommended
Sentence Length”. Law and Human Behavior, 28, hal. 295-303.
Weber, B. R. (2010). “Anxious Empowerment”. Academic Research Library, hal 57-58.
Welsh, Sandy. (1999). “Gender and Sexual Harassment”. Annual Review of Sociology,
25, hal. 169-190.
http://www.jstor.org/stable/223502 Accessed: 20/05/2010 07:28
Young, S. L. dan K. C. Meguire. (2003). “Talking About Sexual Violence”. Woman and
Language, 26, hal. 40-52.

Artikel:
http://gideonidea.wordpress.com/category/sekilat-info. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://gkpi.org/index.php. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual, diunduh pada 22 Maret 2010.
http://northemstory.blogspot.com/20I0/02/kekerasan-dalam-pacaran.html. Diunduh pada
10 Juni 2010.
http://psikologi-online.com. Diunduh pada 10 Juni 2010.
Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


116

http://rathikumara.blogspot.com. Diunduh pada 10 Juni 2010.


http://rifka-annisa.or.id. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://transIate.googIeusercontent.com/translate_c?hHd&langpair=en|id&u=http://www.
who.int/en/&rurl=translate.goog!e.com&twu=l&usg=ALkJrhgI8MJ-
ts0irXfl ihzfmicR2t-01g. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://translate.google.com/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wi
ki/Main_Page&rurl==translate.google.co.id. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://translate.google.co.id. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgeiy/kekerasan.html. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://www.benih.net/lifestyle/kenali-kekerasan-dalam-pacaran-secara-dini.html.
Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://www.kesrepro.info/?q=node/279, diunduh pada 22 Maret 2010.
http://www.kesrepro.info. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://www.lbh-apik.or.id/fact-52%20dating%20vIc.htm. Diunduh pada 10 Juni 2010.
http://www.resep.web.id/seputar-sex/jarang-ngeseks-rentan-kekerasan-seksual.htm.
Diunduh pada 10 Juni 2010.
http ://www.y uda 13.co.cc/2010/02/berbagai-risiko-pacaran-di-usia-belia.htmJ. Diunduh
pada 10 Juni 2010.
Gultom, 2002. “Korban Kekerasan tak Perlu Takut Lagi” Kompas 4 Maret 2002.
Diunduh pada 10 Juni 2010. (http://kompas-online.co.id)
Zulfah. 2002. “Pengaruh Sebaya hingga Kekerasan” Kompas, 20 Juli 2002. Diunduh
pada 10 Juni 2010. (http://www.bkkbn.eo.id)

Universitas Indonesia

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Modul Intervensi

Pemulihan Trauma
Bagi Perempuan yang Pernah Mengalami
Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran

“ OF COURSEILOVE MYSELF1”

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 1: AKU DAN PERISTIWA YANG MENYEBABKAN TRAUMA

TA RG ET S E S I
1. Terapis dan klien saling mengenal dan menjalin rapport yang baik
2. Klien memahami tujuan diberikannya intervensi terhadapnya
3. Terapis menjelaskan dan menormalisasi reaksi negatif yang umumnya muncul
4. Terapis melatihkan teknik sederhana untuk mengatasi reaksi negatif yang umumnya
muncul
5. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah

A K TIV ITA S
Perkenalan dan Rapport
Terapis memperkenalkan diri, kemudian bergantian dengan klien. Untuk menjalin
rapport, terapis dapat melakukan anamnesa secara singkat untuk membuat klien merasa
nyaman, dihargai, dan pada akhirnya bersedia untuk terbuka. Terapis juga menjelaskan tujuan
dari pertemuan yang akan diadakan selama delapan sesi, dengan menekankan pentingnya
keikutsertaan klien dalam intervensi. Terapis memberikan gambaran secara keseluruhan
mengenai sesi yang akan dijalani dan memberikan penguatan kepada klien untuk menjalani
sesi secara utuh.

M enaisi C R IE S -1 3
Inventori ini diberikan kepada klien sebagai alat bantu identifikasi simtom-simtom PTSD.
Setelah berkenalan, terapis mengajak klien untuk mengisi inventori tersebut untuk kemudian
didiskusikan. C R IE S-1 3 dipilih dengan pertimbangan bahwa inventori tersebut banyak
digunakan untuk mengases simtom-simtom PTSD, terlebih dengan karakteristik klien yang
kapasitas kognitifnya baik, diasumsikan mereka tidak akan kesulitan mengisi. Dengan demikian,
selain untuk menjalin rapport secara lebih mendalam, terapis juga dapat memperoleh gambaran
umum mengenai simtom-simtom PTSD yang dialami klien.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


CRIES-13

Below is a list o f c o m m e n ts m ade by people after stressful life Event Please tick each item showing how
frequently th ese c o m m e n ts w ere true for you during thepast seven days. If they did not occur during that time
please tick the ‘n o t at all* b ox.

N a m e :..................................................................................... Date:

N o t at Rarely Some­ Often


all times

D o y o u think about it even w hen you


d o n ’t m ean to? [ 1 [ ] [ ] [ 1

^ D o you try to rem ove it from your


m em ory [ ] [ ] [ ] [ ]

D o yo u have difficulties paying attention


[ 1 [ ] [ ] [ ]
or con cen tratin g

D o y o u have w aves o f strong feelings


[ ] [ ] [ ] [ 1
ab ou t it

D o y o u startle m ore easily or feel more


5. n ervou s than you did before it [ ] [ ] [ ]
happened?

D o y ou stay away from reminders o f it


(e.g. places o r situations) [ ] [ 1 [ 1 [ ]

7. D o yo u try n o t talk about it [ ] [ ] [ J [ ]

8. D o pictures about it pop into your mind? [ ] [ 1 [ ] [ ]

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


D o oth er tilings keep making you think
9. [ 1 [ ] [ 1 [ ]
a b ou t it?

10. D o y ou try n o t to think about it? [ 1 I ] [ 1 I1

11. D o you g et easily irritable [ 1 I1 [ 1 [ 1

A re y o u alert and watchful even when


12. [ ] [ ] [ 1 [ ]
there is n o ob viou s need to be?

13. D o you have sleep problems? [ 1 [ 1 [ 1 [ 1

© Children and W ar Foundation, 1998

P slko e d u kasi: R e aksi Neaatif vana Umumnva Muncul Pasca Peristiwa Traumatis
Terapis memberikan contoh kasus mengenai seseorang yang mengalami peristiwa
traumatis dan mengalami gejala-gejala yang tidak biasa. Terapis memberikan penjelasan
bahwa reaksi negatif yang muncul pasca peristiwa traumatis merupakan hal yang wajar terjadi
karena adanya trauma atau benturan yang membuat seseorang kaget dan akhirnya merasakan
reaksi negatif. Hal tersebut dinamakan dengan reaksi stres pasca trauma. Kemudian, terapis
mengajak klien untuk mendiskusikan mengapa peristiwa tersebut menjadi sulit untuk dilupakan.
Mungkin penyebabnya adalah karena menimbulkan perasaan ketidakberdayaan, terlalu
menyakitkan, dan lain-lain.

Pertanyaan S k a la dan Normalisasi


Untuk membantu klien mengidentifikasi sejauh mana masalah yang terjadi pada dirinya
mengganggunya, terapis perlu melakukan scaling question, yang terkait dengan persepsi klien
mengenai keadaan dirinya saat ini. Klien diminta untuk menentukan ia berda di posisi mana
dalam skala 1-10 untuk reaksi stres pasca trauma yang ia alami. Pertanyaan yang dapat
diajukan misalnya,

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Saya m em inta tolong kepada Anda untuk menempatkan perasaan-perasaan negatifAnda
sekarang pada angka 1-10. Jika demikian, maka di angka berapa atau posisi mana kira-
kira Anda berada?

Latihan Teknik Safe Place


Setelah mengetahui bagaimana klien memandang kondisi stres dirinya sendiri, terapis
dapat melatihkan teknik safe place untuk membantu klien meredam perasaan-perasan
negatifnya. Salah satu alternatif melatihkan teknik safe place adalah terapis berkata-kata
sebagai berikut.

Pada aktivitas ini, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang buruk, tetapi kita akan
belajar menggunakan imajinasi kita untuk menciptakan perasaan senang dan positif
Saya akan meminta Anda untuk membayangkan suatu tempat yang dapat membuat Anda
merasa tenang dan bahagia. Tempat ini bisa merupakan tempat nyata yang Anda ketahui
atau bisa ju g a berupa khayalan Anda saja.
Sekarang, tutup mata dan coba bernapas dengan teratur. Tarik napas dalam-dalam.
Bayangkan sebuah tempat yang membuat Anda merasa tenang... Bayangkan Anda
sedang berada di tempat tersebut... Anda bisa melihatnya? Dalam bayangan tersebut,
silakan Anda perhatikan keadaan selatar. Apa yang Anda lihat? Apa yang ada di dekat
Anda? Lihat detail dari objek/benda tersebut. Perhatikan yvama-wamanya. Bayangkan
diri Anda yang berusaha menggapai objek/benda tersebut. Bagaimana rasanya?

Sekarang, lihat ke arah lain. Apa saja yang ada di sekitar Anda? Apa yang terlihat di
kejauhan sana? Perhatikan berbagai warna dan bentuk yang ada di lingkungan tempat
tersebut. Tempat ini merupakan tempat yang spesial bagi Anda. Anda bisa
membayangkan apa saja yang Anda mau mengenai tempat tersebut. Saat Anda sedang
berada di tempat ini, Anda merasa tenang dan damai.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Bayangkan Anda bertelanjang kaki. Apa yang Anda rasakan saat menyentuh
lantai/tanah/dasar? Berjalanlah di sekitar tempat tersebut. Perhatikan apa saja yang ada
di sana. Perhatikan dengan seksama bentuk dan bagaimana rasanya saat Anda
menyentuh objek/benda tersebut? Apa yang Anda dengar? Apakah suara angin,, burung.,
atau m ungkin ombak? Dapatkah Anda merasakan hangatnya matahari di kulit Anda?
Bau apa yang Anda cium? Mungkin bau bunga, hawa sejuk, atau rumput basah? Di
tem pat spesial ini, Anda bisa melihat apa saja yang Anda inginkan. Bayangkan diri Anda
ya n g m enyentuh dan mencium baunya. Bayangkan Anda mendengar suara-suara yang
menenangkan. Anda merasa tenang dan bahagia.
Sekali lagi, perhatikan kondisi selatar bayangan Anda sekali lagi. Perhatikan dengan
baik. Ingat, bahwa ini merupakan tempat spesial bagi Anda. Tempat ini akan selalu ada.
A nda dapat membayangkan diri Anda berada disini kapan saja, saat Anda ingin merasa
lebih tenang dan bahagia. Ingat, Anda bisa kembali kapan saja. Sekarang, Anda bersiap-
siap untuk meninggalkan tempat spesial tersebut. Saat Anda membuka mata, Anda akan
m erasa lebih tenang dan bahagia.

Setelah berlatih, terapis menanyakan kepada klien bagaimana perasaan klien. Terapis
berupaya memberi penguatan kepada klien.

Pem berian T u a a s Rum ah


Terapis kemudian memastikan bahwa klien sudah bisa menemukan safeplace-nya dan
mencoba kembali untuk membuat klien benar-benar merasa yakin akan safe p/ace-nya. Sesi
ditutup dengan pemberian tugas rumah yaitu menerapkan teknik safe place yang sudah
diajarkan.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 2: AKU DAN REAKSI-REAKSI NEGATIF

TARGET SESI
1. Terapis mengulas tugas rumah yang diberikan pada sesi sebelumnya
2. Terapis memberikan edukasi mengenai reaksi fisiologi dan emosi negatif
3. Terapis mengajarkan keterampilan: teknik relaksasi
4. Terapis mengajarkan keterampilan: teknik bernafas
5. Terapis memperkenalkan teknik distancing kepada klien
6. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah

A K T IV IT A S
M engulas T u g a s Rum ah
Tu gas rumah yang lalu adalah berlatih teknik imagery, tanyakan bagaimana itu terjadi.
Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai kapan saat
yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien. Apakah teknik ini bisa dipakai pada saat
situasi terasa sulit atau ketika pikiran buruk itu datang? Apakah klien mencoba
mempraktekkannya sebelum tidur?

P sik o e d u k a si: M engapa Reaksi Fisiologis dan Emosional Neaatif Muncul?


Terapis memberikan penjelasan mengenai reaksi-reaksi fisiologis dan emosional yang
umumnya muncul jika klien teringat pada peristiwa traumatis, seperti menangis, merasa sedih
atau marah, gemetar, tubuh lemas, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang
wajar pasca kejadian traumatis, akan tetapi klien perlu belajar mengatasinya dengan teknik-
teknik tertentu agar tidak mengganggu kehidupannya sehari-hari.

Latihan R e la k s a si
Terapis dapat mengajarkan teknik relaksasi progresif sebagai sateh satu cara untuk
meredakan ketegangan klien ketika teringat pada peristiwa traumatis. Terapis bisa memulai
dengan mengatakan,

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Selain dengan membayangkan tempat spesial dan teknik film, sekarang saya akan
mengajarkan teknik lainnya yang juga bisa digunakan untuk menenangkan diri. Dari
beberapa cara yang akan saya ajarkan ini, Anda bisa menentukan, cara mana yang
lebih efektif untuk Anda.
Sekarang, kita akan mencoba melakukan relaksasi. Pertama-tama, saya akan
memberikan contoh. Saya minta Anda untuk memperhatikan dan meniru gerakan saya.
Kita akan menegangkan dan melemaskan beberapa bagian otot, dan saya minta Anda
untuk memperhatikan perbedaan rasanya, saat otot tersebut ditegangkan dan
dilem askan.
Atur p o sisi senyaman mungkin. Bernapas dengan teratur dan tenang. Pertama,
pusatkan perhatian pada bagian lengan. Posisikan tangan seperti ini (lengan menempel
di samping badan dan melakukan gerakan seperti sedang mengangkat beban). Lalu
tegangkan.. Tegangkan., rasakan ketegangannya pada bagian lengan. Rasakan
kerasnya. Tahan. Sekarang lemaskan dan lepaskan. Bagus.
Sekarang otot leher dan bahu. Angkat bahu Anda ke atas seperti ini. Rasakan
ketegangan di sekeliling bahu dan leher. Tahan. Rasakan ketegangannya. Tahan... dan
lepaskan. Sekarang jatuhkan kepala sampai dagu menyentuh dada seperti ini. Putar
kepala ke satu sisi secara perlahan hingga kembali ke posisi semula. Ulangi dengan
arah yang berlawana. Bagus. Sekarang angkat kepala Anda. Terasa perbedaannya?
Sekarang kaki. Luruskan kaki ke depan seperti ini. Tegangkan kaki sekuat mungkin.
Tahan. Rasakan kaki Anda menjadi keras. Tahan. Dan lemaskan. Bagus.
Baiklah, setelah Anda semua mengetahui gerakan-gerakan yang akan kita lakukan,
latihan relaksasi akan kita mulai sekarang. Atur posisi Anda senyaman mungkin. Tarik
napas dalam-dalam, perlahan, dan teratur. Sekarang, pejamkan mata. Rasakan napas
Anda. Setiap hembusan napas, Anda akan merasa sedikit lebih tenang. Bernapaslah
dengan teratur dan rasakan badan menjadi lemas dan tenang.
Sekarang kita akan mulai menegangkan dan melemaskan otot lengan. Tekuk lengan
dan tahan posisinya seperti yang sudah kita lakukan sebelumnya. Lalu tegangkan.
Rasakan ketegangan pada oto lengan tersebut. Rasakan betapa tidak nyamannya kita
saat sedang menegangkan otot. Tahan... dan lepaskan. Lemas.. Lemas.. Rasakan
perbedaannya antara otot yang tegang dan lemas.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Sekarang leher dan bahu. Angkat bahu Anda ke atas. Rasakan ketegangan di sekeliling
bahu dan leher. Tahan. Rasakan ketegangannya. Tahan., dan lemaskan., lemas..
Sekarang jatuhkan kepala sampai dagu menyentuh dada Anda. Putar kepala ke satu
sisi secara perlahan hingga kembali ke depan. Kemudian putar ke arah berlawanan.
Angkat kepala Anda. Rasakan bagaimana ketegangan meninggalkan leher dan bahu
Anda. Anda merasa tenang dan santai.
Sekarang, angkat kedua kaki Anda, luruskan dan tahan. Tegangkan.. Rasakan
ketegangan di kaki kaki Anda. Rasakan ketegangan itu semakin kuat. Tahan... dan
lem askan. Lem as.. Tenang.. Semua ketegangan hilang dari kaki Anda. Bemataslah
dengan dengan teratur dan Anda merasa ringan., tenang., tenang., rileks., dan aman..
Sekarang, tubuh Anda menjadi rileks. Bemafaslah dengan teratur. Setiap hemnbusan
nafas, Anda merasa semakin relaks. Ketegangan hilang dari tubuh Anda. Anda merasa
ringan dan relaks., dan relaks., dan hangat.. Bemafaslah dengan teratur., bagus..
ringan., hangat., relaks.. Pikirkan lengan Anda., dan ketegangan hilang dari lengan., dan
leher Anda.. Rasakan penasakan relaks tersebut. Kaki terasa ringan dan relaks.. Kaki
m enjadi tenang dan relaks.
Anda merasa relaks., dan relaks.. Pertahankan perasaan ini beberapa saat. Setiap
hembusan nafas, katakan RELAKS pada diri sendiri. Rasakan ketenangan dan
perasaan relaks. Saat Anda siap, buka mata secara perlahan. Pertahankan posisi Anda.
Rasakan bagaimana rasanya.. Relaks.. Bagus..
Setelah latihan selesai, terapis dapat menanyakan kepada klien bagaimana
perasaannya dan mendorong klien untuk menerapkannya ketika ia merasakan
ketidaknyamanan secara fisik dan emosi akibat bayangan peristiwa traumatis.

Latihan B ern afas


Terapis memberikan penjelasan mengenai teknik berikutnya yaitu teknik bernafas,
dengan mengatakan,

Teknik berikutnya yang akan saya ajarkan adalah teknik bernapas. Bernapas menjadi
penting selama relaksasi. Terkadang, saat kita merasa takut, kita akan bernapas
dengan cepat hingga akhirnya membuat Anda mulai merasa tidak bisa bernapas.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Sekarang kita akan belajar cara bernapas yang dapat membantu mengatasi sesak
napas dan membantu kita untuk relaks.
(Sambil diperagakan)
Letakkan satu tangan pada bagian perut, tepat di bawah ulu hati. Dan tangan satunya
lagi pada bagian dada. Rasakan bagaimana otot Anda terasa seperti bergelombang
saat menarik dan menghembuskan napas. Rasakan bagaimana otot perut Anda yang
bergerak, bukan dada. Relaks.. Relaks.. Katakan RELAKS pada diri Anda saat
menghembuskan napas. Relaks.. Relaks.. Bagus.

Teknik D istancina
Individu akan memberikan reaksi yang berbeda-beda untuk mengatasi stress. Upaya
untuk mengatasi stress ini disebut sebagai coping. Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino,
2006) mendefinisikan coping sebagai upaya mengelola tuntutan internal maupun eksternal dari
situasi, yang melampaui kemampuan individu untuk memenuhinya. Coping merupakan sebuah
proses dimana seseorang berusaha untuk menghadapi kesenjangan antara harapan dan
ketersediaan yang ada. Dengan kata lain, coping merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh
seseorang dalam menghadapi stress yang dialaminya dan cara-cara ini dapat berbeda-beda.
Berdasarkan fungsinya, secara general, strategi coping dapat dibedakan ke dalam dua
jenis, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping
adatah upaya untuk melakukan perubahan konstruktif terhadap kondisi yang stressful, dengan
cara mengurangi tuntutan dari situasi atau menambah sumber daya untuk memenuhi tuntutan
dari situasi tersebut, sedangkan Emotion-focused coping adalah usaha untuk meregulasi emosi
yang timbul akibat dari kondisi yang stressful, melalui pendekatan perilaku maupun kognitif
(Sarafino, 2002). Dalam kasus ini, emotion-focused coping dapat digunakan klien untuk
meredam emosi negatif.
Salah satu contohnya adalah dengan teknik distancing. Distancing adalah upaya untuk
membuat jarak antara diri dengan situasi yang stressful. Misalnya, berusaha untuk tidak terlalu
menganggap serius, tidak mau memikirkan situasi stressful terlalu dalam, menghindari
masalah, atau melibatkan diri dalam aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan situasi stressful,
dengan tujuan untuk mengurangi perasaan stress. Terapis dapat memberikan contoh kepada
klien, misalnya ketika klien merasa sedih, maka ia bisa mencari kegiatan distancing, seperti

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


melukis, menggambar, atau mendengarkan musik, dan lain sebagainya yang bisa membuatnya
merasa nyaman.

Pem berian T u a a s Rumah


Terapis meminta klien untuk menerapkan teknik relaksasi progresif dan teknik bernafas
di rumah. Terapis juga mengarahkan klien untuk menerapkan teknik tersebut ketika dirinya
merasakan kecemasan akibat bayangan peristiwa traumatis.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 3: AKU DAN MEMORI YANG MENGGANGGU

TARGET SESI
1. Terapis mengulas tugas rumah yang diberikan pada sesi sebelumnya
2. Terapis memberikan penjelasan mengenai memori yang mengganggu (intrusive
memories) sebagai salah satu simtom stres pasca trauma dan dampak yang terjadi
akibat peristiwa traumatis
3. Klien memahami mengapa ia mengalami gejala intrusive memories
4. Terapis melatihkan teknik sederhana untuk mengatasi atau meredam intrusive
memories, yaitu teknik imagery screen.
5. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah

A K T IV IT A S
M enaulas T u a a s Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah berlatih teknik safe place, tanyakan bagaimana itu terjadi.
Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai kapan saat
yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien. Apakah teknik ini bisa dipakai pada saat
situasi terasa sulit atau ketika pikiran buruk itu datang? Apakah klien mencoba
mempraktekkannya sebelum tidur?

P siko e d u ka si: Mengapa Memori vana M enoaanOUUM ^S^^


Terapis memberikan penjelasan mengena/ intrusive memOFf&S
jika klien teringat pada peristiwa traumatis dank lien merasa tidak bisa mengenyahkan
bayangan tersebut meskipun SUCteh Ha» tersebut merupakan wajar, akan tetapi klien
perlu mengatasinya atau meredamnya denQ$W tertim* m&k mengganggu
kehidupannya sehari-hari.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Latihan Teknik /maaerv Screen
Dalam teknik ini, klien diajarkan untuk membayangkan kejadian buruknya dalam sebuah
layar televisi atau bioskop.
Sekarang, kita akan belajar sebuah teknik untuk mengubah bayangan buruk yang Anda
alami, yang seringkaii muncul tanpa bisa Anda perkirakan. Untuk itu, Anda harus
membayangkan kembali gambaran peristiwa itu secara jelas. Ingat, anda memiliki
kontrol terhadap ingatan Anda sendiri, dan kalau Anda merasa tidak nyaman, Anda bisa
kembali ke safe place Anda dulu.
Biarkan mata Anda terbuka. Bayangkan Anda sedang menonton televisi di dinding di
depan Anda itu. Buat gambar yang bagus di layar tersebut Sekarang, cobalah lihat
bayangan peristiwa buruk Anda dalam layar tersebut. Bisakah Anda melakukannya?
Bagus.
Apakah Anda bisa melihat gambar tersebut dalam wama hitam dan putih? Bagus...
Cobalah ubah gambar tersebut menjadi wama hitam dan putih... Bagus... Apakah
gambarnya bergerak seperti dalam film? Bayangkan Anda menggunankan remote untuk
menyetop gambar. Stop! Lalu jalankan lagi. Cobalah me-rewind gambar dan melihat
gambar diputar secara terbalik ke belakang. Bisakah Anda melakukannya? Bagus...
Sekarang, mainkan gambar seperti biasa tetapi pelan-pelan, kemudian percepat. Ganti
lagi warnanya. Perhatikan bahwa film tersebut memudar dan semakin kabur gambarnya.
Sekarang, bayangkan Anda memencet tombol untuk mematikan layar.
Apa yang terjadi?

Terapis menjelaskan bahwa klien memiliki kuasa penuh atas bayangan yang dialaminya
dan bisa melakukan banyak hal untuk membuat bayangan buruknya reda.

Pem berian T u a a s Rumah


Terapis kemudian memastikan bahwa klien sudah bisa mempraktekkan teknik imagery
screen dan mencoba kembali untuk membuat klien benar-benar merasa nyaman saat
melakukannya. Sesi ditutup dengan pemberian tugas rumah yaitu menerapkan teknik imagery
screen yang sudah diajarkan.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 4: AKU DAN USAHA UNTUK MENGHINDAR

TARGET SESI
1. Terapis mengulas tugas rumah yang diberikan pada sesi sebelumnya
2. Terapis memberikan edukasi mengenai perilaku menghindar
3. Terapis mengajarkan keterampilan: keterpaparan imajinasi
4. Terapis mengajarkan keterampilan: beragam tingkat keterpaparan secara in vivo
5. Klien berlatih teknik yang sudah diajarkan di rumah

A K T IV IT A S
M enaulas T u a a s Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah berlatih kemampuan relaksasi, tanyakan bagaimana itu
terjadi. Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai kapan
saat yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien. Apakah teknik ini bisa dipakai pada
saat situasi terasa sulit atau ketika pikiran buruk itu datang? Apakah klien mencoba
mempraktekkannya sebelum tidur?

P siko e d u ka si: Mengapa Pikiran dan Perilaku Menghindar Muncul?


Terapis memberikan penjelasan mengenai pikiran dan perilaku menghindar yang
umumnya muncul jika klien menemui hal-hal yang mengingatkannya pada peristiwa traumatis,
seperti tempat-tempat atau orang-orang tertentu. Hal tersebut merupakan wajar, akan tetapi
klien perlu mengatasinya atau meredamnya dengan teknik-teknik tertentu agar tidak
mengganggu kehidupannya sehari-hari.

M engenalkan Tingkat Keterpaparan


Sesi ini cukup sulit k a re n a melibatkan ingatan traumatis dan mengkonfrontasinya. Inilah
salah satu pada dua sesi sebelumnya kimn diamkan teknik relaksasi. Tujuannya untuk
mengajarkan dan mempersiapkan klien untuk dlfoiwa ke fr&t&tpaparan dan in
vivo keterpaparan dengan orang lain yang dipercaya. Namun Ingat, terkadang kiien tidak mau

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


membicarakan mengenai hal yang terjadi karena terlalu menyakitkan, mereka tidak mampu
mengungkapkan dengan kata-kata untuk mengekpresikan apa yang mereka rasakan, perasaan
dan emosi yang disangkal, perasaan bersalah dan bingung, takut jika tidak didengarkan, takut
kehilangan kontrol, membutuhkan waktu untuk membangun kepercayaan, merasa tidak butuh
untuk bicara, atau mereka telah cukup berbicara, merasakan apa yang orang lain telah
bicarakan.

Pertama, mari kita bicarakan hal-hal yang terkadang membuat kita merasa takut. Ketika
kita takut terhadap sesuatu, kita merasa takut di dalam diri dan tubuh menjadi gugup
dan gemetar. Lalu kita mencoba untuk meninggalkan hal-hal yang kita takuti itu. Hal ini
kita sebut dengan menghindar. Contohnya orang yang takut terhadap laba-laba, anjing
atau ketinggian, mereka akan mencoba untuk menjauhi hal-hal itu. Apakah ada dari
kalian yang mengalami hal seperti itu? Atau kalian mengetahui seseorang yang
mengalami hal seperti itu?
Kita akan mencoba menghadapi hal-hal yang mengingatkan Anda pada kenangan yang
buruk. Kita akan belajar menghadapinya, setahap demi setahap dan menggunakan
keahlian yang sudah kita pelajari untuk membantu kita, seperti teknik relaksasi. Hal
pertama yang akan kita lakukan adalah membuat dañar mengenai ingatan-ingatan apa
atau kegiatan-kegiatan apa yang kalian hindari saat ini.
Ketika sedang menghadapi rasa takut, Anda harus mampu mengatakan seberapa takut
Anda. Membayangkan tangga akan membantu Anda. Pada bagian bawah terdapat
angka "1" yang menandakan kalian tidak takut sama sekali dan merasa rileks. Sedang
tingkat paling atas termometer menandakan tingkat ketakutan Anda yang paling besar.
Sekarang hal kedua yang yang akan membantu Anda menghadapi rasa takut Anda
adalah menyiapkan pernyataan yang akan Anda ucapkan ketika merasa takut. Kira-kira
apa yang akan Anda katakan ke diri sendiri untuk membantu menghadapi rasa takut?

E k s p o s u r tmaiinasi
Klien diminta mengkonfrontasi ketakutannya dalam imajinasi terlebih dahulu, hal ini
dilakukan agar klien dapat mengurangi ketakutannya secara gradual. Klien diminta membagi
ketakutannya menjadi langkah-langkah dalam bentuk tangga, di mana tangga paling bawah

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


merupakan contoh situasi ketakutan yang paling ringan dan bertahap beranjak ke tangga atas
yang menandakan ketakutan yang lebih besar atau intens. Usahakan intensitas ketakutan antar
anak tangga tidak terlalu jauh.

Sekarang, cobalah membuat tingkatan seperti tangga tentang hal-hal yang membuat
Anda merasa stres atau takut Ingat, situasi yang paling mudah dihadapi diletakkan di
anak tangga paling bawah, dan saya ingin Anda pelan-pelan melangkah ke anak tangga
berikutnya, semakin ke atas. Hal apa yang kira-kira akan berada di anak tangga paling
bawah yang paling mudah Anda hadapi dan tidak membuat Anda hanya sedikit
ketakutan.

Kemudian, terapis meminta klien untuk memilih salah satu situasi ketakutan di salah
satu anak tangga yang memiliki intensitas ketakutan rendah hingga sedang. Minta klien untuk
memejamkan mata dan mengulang relaksasi hingga ia terlihat cukup nyaman. Jika sudah,
minta ia membayangkan situasi takut yang ia pilih, memperhatikan tingkat ketakutannya, fokus
kepada pernafasan dan relaksasi, hingga tingkat ketakutannya menurun. Jika hal tersebut
sudah dilakukan, minta feedback dari klien dan puji dia karena telah berani menghadapi
ketakutannya secara perlahan. Terapis dapat mengulangi langkah ini untuk setiap anak tangga
yang dibuat klien.

Latihan C o o in a S e lf Statements
Terapis menjelaskan bahwa klien memerlukan coping self statements sebagai penguat
mereka dalam mengahadapi hal-hal yang ditakuti. Contoh self-statements yang dapat
digunakan adalah seperti berikut:
Aku bisa
Hal tersebut tidak dapat menyakitiku
Aku tahu akan dapat mengatasinya
Aku akan melawan rasa takutku
Rasa takutku akan segera hilang
- Aku punya kehendak menentukan hidupku

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Pem berian Tuaas Rumah
Terapis meminta klien untuk berlatih menaiki tangga ketakutan dan menerapkan coping
se lf statements di rumah. Klien juga diarahkan untuk membuat dan menaiki tangga ketakutan
untuk situasi yang berbeda-beda.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 5: AKU TIDAK BERSALAH..

TA RG ET SESI
1. Mengulas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2. Klien mampu menghargai dirinya sendiri
3. Klien menyadari bahwa kehilangan keperawanan bukan berarti kehilangan segalanya
4. Klien menyadari kualitas-kualitas positif yang ada di dirinya
5. Klien mengerjakan tugas rumah yang diberikan

A K T IV IT A S
M engulas T u g a s Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah berlatih menaiki tangga ketakutan, tanyakan bagaimana
itu terjadi. Terapis meminta klien untuk memberikan komentarnya, dan tanyakan mengenai
kapan saat yang tepat untuk mempraktekkannya menurut klien.

P slko ed u kasi: Dampak Psikologis Kekerasan Seksual. Khususnva Traumatisasi Seksual


Terapis memberikan penjelasan mengenai definisi, jenis, serta dampak dari kekerasan
seksual, serta kaitan antara peristiwa yang pernah dialami dengan kondisi diri klien saat ini.
Perubahan pandangan mengenai diri sendiri cenderung mengarah ke negatif akibat peristiwa
tersebut dan klien harus belajar mengubah kembali pandangannya, serta adanya traumatisasi
seksual dalam bentuk bervariasi.

C o u n te r Statem ents dan Restrukturisasi Pikiran


Terapis melakukan countering terhadap pemikiran-pemikiran yang salah dari klien
mengenai dirinya sendiri. Beberapa kalimat yang bisa digunakan di antaranya:
- Apakah kenyataannya Anda memang seperti yang Anda pikirkan?
- Apakah Anda mengalami kesulitan dalam bekerja atau berprestasi?
Apakah orang-orang di sekitar Anda mendukung Anda?
Kualitas positif apa saja yang Anda miliki?

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


Refleksi Diri
Terapis membantu klien untuk membuat daftar mengenai kualitas-kualitas positif yang
dimiliki klien sehingga klien mampu mengembangkan rasa keberhargaan diri yang baru dan
lebih kuat.

Pem berian T u a a s Rumah


Terapis meminta klien untuk menuliskan perasaannya setiap hari pada sebuah catatan
kecil. Hal ini berguna untuk membantu klien mengenali pola-pola perasaan dan pemikirannya
sendiri.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 6: AKU DAN SEKSUALITAS

TARG ET SESI
1. Mengulas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2. Memperbaiki mindset atau framework klien mengenai seks
3. Klien menyadari bahwa perilaku seksnya perlu diperbaiki
4. Klien memiliki minat yang wajar terhadap seks
5. Klien mengurangi perilaku beresiko terkait dengan seks

A K T IV IT A S
M engulas T u a a s Rum ah
Tugas rumah yang lalu adalah membuat catatan kecil (semacam diary). Ajak klien untuk
membahas apa saja yang terjadi dan bantu klien untuk mengenali pola perasaan dan
pemikirannya.

T e k n ik K o n fro n tasi dan Restrukturisasi Pikiran


Terapis melakukan countering terhadap pemikiran-pemikiran yang salah dari klien
mengenai perilaku seks beresiko. Terapis juga perlu meluruskan pemikiran-pemikiran klien
dengan cara konfrontasi, mengingat karakteristik klien yang cukup terbuka dengan masukan
baru dan bersedia memperbaiki dirinya.

A p lik a si T e k n ik D istancina: Clav Therapv


Terapis mengajarkan cara-cara yang sehat untuk mengalihkan perasaan atau pemikiran
negatif klien, yaitu dengan menerapkan emotion-focused coping yang aplikatif bagi klien. Salah
satu teknik emotion-focused coping yang cukup baik dan mudah untuk dipelajari ketika
seseorang sedang menghadapi masalah adalah teknik distancing, di mana seseorang yang
sedang menghadapi masalah akan mencoba untuk mengambil jarak terhadap masalahnya
terlebih dahulu sebelum ia berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Teknik

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


distancing sendiri terbilang cukup mudah untuk dilakukan karena dapat dilakukan dengan
banyak cara. Membuat kerajinan tangan menggunakan clay merupakan salah satu contoh
distancing yang dapat dilakukan oleh banyak orang. Dengan membuat sesuatu dari clay,
seseorang dapat menarik dirinya sejenak dari permasalahan yang ia hadapi karena fokusnya
akan teralih kepada kerajinan yang ia buat dari clay tersebut. Perasaan yang lebih positif juga
bisa didapatkan oleh seseorang dengan mengerjakan clay karena munculnya perasaan seperti
puas dan senang. Terapis dapat menyediakan clay dan mengajak klien merasakan secara
langsung bermain clay selama beberapa menit.

Psikoedukasi: Seksualitas Perempuan. Reproduksi, dan Dampak Seks vana Tidak Aman
Terapis memberikan penjelasan mengenai seksualitas perempuan dan
kompleksitasnya, proses biologis yang terjadi pada manusia, khususnya mengenai reproduksi
dan bahayanya melakukan hubungan seks yang tidak aman. Implikasinya juga bisa dikaitkan
dengan HIV-AIDS sebagai akibat dari perilaku seks bebas atau tidak aman.

Pem berian T u a a s Rumah


Terapis meminta klien untuk menuliskan perasaannya setiap hari pada sebuah catatan
kecil. Hal ini berguna untuk membantu klien mengenali pola-pola perasaan dan pemikirannya
sendiri.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 7: OF COURSEILOVE MYSELR

TA RG ET SESI
1. Mengulas tugas rumah yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2. Klien mampu menerima peristiwa buruk sebagai bagian dari masa lalunya
3. Klien mampu mengambil hikmah dari kejadian buruk yang menimpanya
4. Klien mampu memaafkan dirinya sendiri
5. Klien mampu melihat dirinya sebagai penyintas, bukan korban

A K T IV IT A S
M enaulas Tu aas Rumah
Tugas rumah yang lalu adalah membuat catatan kecil (semacam diary). Ajak klien untuk
membahas apa saja yang terjadi dan bantu klien untuk mengenali pola perasaan dan
pemikirannya.

K o n se lin g: Identifikasi Stu ck Points


Terapis mengajak klien untuk melakukan refleksi mengenai hal-hal sulit yang pemah
dilaluinya dan bagaimana caranya mengatasi kesulitan tersebut. Dari pengalaman klien sendiri,
dibantu oleh panduan terapis, klien akan bisa menarik kesimpulan bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalahnya dan memberikan bukti bahwa ia bisa bertahan
hingga saat ini.

S e lf-D is c lo s u re : Bukti K e b e r h a s ila n d a n Prestasi


Terapis mengajak klien u n tu * &&&&&&, « T e ^ e n a i kejadian yang telah dialaminya dan
bagaimana selama ini ia mampu bertaVl&ft r&r&pis mefetk&tem eountering
terhadap pemikiran klien yang salah dan memberkan har-ftai bsafr
dilakuan klien. Terapis dapat membuat kesimpulan bahwa klien memiliki potensi baik
dan ia mampu melewati proses pemulihan hingga tuntas.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


P siko ed u kasi: PacaranSehat
Hal penting yang juga perlu diberikan kepada klien adalah mengenai hubungan pacaran
yang sehat, mengingat pengalaman klien dengan kekerasan seksual di masa pacaran bisa jadi
mengacaukan pandangannya mengenai pacaran. Terapis dapat memberikan informasi
mengenai indikator-indikator dari hubungan pacaran yang sehat dan tidak sehat serta melatih
klien mengenali tanda-tanda atau gejala-gejalanya.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


SESI 8: REVIEW DAN TERMINASI

TA RG ET SESI
1. Terapis melakukan review mengenai seluruh sesi yang dijalani
2. Terapis mengevaluasi kemajuan klien
3. Terapis menterminasi sesi

A K T IV IT A S
R eview
Terapis memberikan penjelasan mengenai sesi-sesi yang sudah dijalani dan bagaimana
kemajuan klien dalam menjalani keseluruhan sesi tersebut. Terapis juga dapat memberikan
dorongan, pujian, atau reinforcement atas usaha klien dalam menjalani sesi secara baik dan
optimal.

E v a lu a si
Terapis meminta klien untuk melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, yaitu hal-hal
apa yang sudah ia capai sebagai bentuk kemajuan ke arah yang positif. Klien juga
diperkenankan untuk menyampaikan harapan-harapannya di masa depan terkait dengan
intervensi yang sudah diberikan.

Te rm in a sl
Terapis menyatakan bahwa sesi telah selesai. Klien diperbolehkan mengajukan
pertanyaan. Jika akan dilakukan re-contracting, maka klien dan terapis membuat kesepakatan
baru.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


S E SI UNTUK SIGNIFICANT OTHERS:
OPTIM ALISASI PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS TERHADAP KLIEN

TA RG ET SESI
1. Significant others memahami dinamika psikologis yang terjadi pada klien pasca
peristiwa traumatis
2. Significant others mengetahui tujuan pemberian intervensi terhadap klien
3. Significant others mengetahui langkah-langkah pendampingan psikologis yang baik
untuk klien
4. Significant others membantu memantau kemajuan klien selama sesi

A K TIV ITA S
Perkenalan dan Rapport
Terapis memperkenalkan diri dan menjalin rapport dengan significant others. Terapis
menjelaskan tujuan pertemuan dengan significant others dan menekankan pentingnya peran
serta dukungan significant others dalam proses pemulihan klien. Terapis memberikan
gambaran secara keseluruhan mengenai sesi yang akan dijalani oleh klien. Kemudian, terapis
juga meminta kesediaan significant others untuk mendukung intervensi pemulihan trauma pada
klien dengan cara memberikan support terhadap klien yang cara-caranya akan dilatihkan pada
sesi ini.

Psikoedukasl mengenai Trauma Pasca Kekerasan Seksual


Pada segmen ini, terapis memberikan penjelasan secara sederhana mengenai trauma
yang dialami oleh klien dan berbagai dampak psikologis yang mungkin sebagiannya masih
dirasakan klien hingga saat ini. Terapis juga memberikan penjelasan bahwa faktor lingkungan
dan dukungan orang-orang terdekat merupakan hal yang penting untuk membantu klien
mengatasi reaksi stres pasca trauma, dan oleh sebab itu mereka diikutsertakan dalam
intervensi.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


L a tih a n N o rm a lisa si dan Strategi S e lfH e lp
Terapis mengajak significant others untuk mengenali reaksi-reaksi klien yang
diakibatkan oleh peristiwa traumatis. Misalnya bermimpi buruk, mudah menangis, tidak mau
melewati tempat-tempat tertentu, gemetar jika digandeng, kesulitan berkonsentrasi, sering
mem bodoh-bodohi diri sendiri, dan sebagainya. Kemudian, terapis memberikan penjelasan
m engenai norm alisasi dan bagaimana cara melakukannya terhadap klien ketika klien
m enunjukkan gejala-gejala di atas.
C ara-cara lain yang dapat dilakukan significant others dalam mendampingi klien ketika
reaksi negatifnya muncul adalah:
1. Mengajak Berbicara dan Mendengarkan
Pem ikiran bahwa mengajak klien berbicara mengenai peristiwa buruk yang pemah
dilaluinya merupakan suatu kesalahan. Berbicara mengenai apa yang terjadi di
m asa lalu dan kekhawatiran akan m asa depan dengan seseorang yang dipercaya
akan membuat klien lebih menyadari apa yang terjadi sesungguhnya dan membuat
mereka lega karena telah mengeluarkan sebagian bebannya.
Untuk itu, significant others perlu mengembangkan kemampuan mendengarkan
yang baik. Caranya adalah dengan bersikap empati, pengertian, hangat dan
perhatian, m enanggapi pembicaraan dengan serius, menawarkan bantuan, serta
membiarkan klien berbicara apapun yang ia inginkan.
2. M engajak Berkegiatan yang Menyenangkan
Significant others dapat membantu mengalihkan perasaan negatif klien dengan cara
m engajak mereka melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama-sama, seperti
menonton, berjalan-jalan, berolahraga, dan lain-lain. Sebaiknya, kegiatan dilakukan
bersam a-sam a dan klien tidak sendirian.
3. Memberikan Sentuhan dan Kenyamanan Fisik
Meskipun terdapat nilai budaya yang berbeda-beda mengenai sentuhan fisik, secara
teoritis setuhan fisik dapat memberikan kenyamanan dan mengurangi ketegangan,
kecem asan, dan perasaan depresif. Terlebih lagi di budaya Timur yang tidak
terbiasa dengan sentuhan fisik antara perempuan dengan laki-laki sebelum menikah,
m aka terapis harus memperhatikan aspek mi. Namun, secara umum, sentuhan fisik

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


dapat berupa usapan atau belaian di pundak atau punggung ketika klien sedang
berbicara atau menangis.
4. M enenangkan Diri Sendiri
Tidak selam anya significant others bisa menjadi sosok malaikat yang selalu baik dan
tanpa cela. Ketika mereka merasa tidak mampu menghadapi klien dan simtomnya,
m ereka disarankan untuk menenangkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum kembali
m enghadapi klien. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah relaksasi, bertemu
dengan teman-teman, mengerjakan hobi, bercanda atau menonton acara lucu,
menolong orang lain yang memerlukan bantuan praktis, merencanakan liburan,
m enyusun rencana m asa depan, berusaha mengambil hikmah dari kejadian tidak
m enyenangkan, dan berdoa atau beribadah.

E v a lu a s i K e m a iu a n K lie n se la m a S e s i
Terapis meminta kesediaan significant others untuk terlibat dalam intervensi terhadap
klien dengan cara memantau kemajuan klien dari sesi ke sesi, misalnya dengan turut
memperhatikan bagaim ana klien berlatih teknik-teknik yang sudah diajarkan di rumah.
Significant others juga dapat ikut berlatih teknik-teknik tersebut bersama klien agar tercipta
su asan a yang menyenangkan dan terbuka di antara mereka. Dengan demikian, klien merasa
memperoleh dukungan dari orang-orang terdekatnya.

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN
(INFORMED CONSENTl

Nam a Lengkap
Je n is Kelam in
Alam at Lengkap
Tem pat & Tan ggal Lahir (Umur)
Statu s Pernikahan
Suku B a n gsa :
A gam a
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan

D engan ini saya menyatakan kesediaan saya untuk mengikuti asesmen mengenai
kekerasan seksu al dalam hubungan pacaran yang pemah saya alami, yang diberikan kepada
saya. D engan demikian, saya bersedia mengikuti segala prosedur yang diperlukan untuk
Kepentingan asesm en ini.

Tertanda,

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010


CUPLIKAN VERBATIM
PARTISIPAN: DIAN

A : “Kalo boleh diceritain, seperti apa perubahan sikapnya?”


D : “Ya, kan kita lama gak ketemu, nanti kalo dia pulang, alasan dia aku kangen, aku kangen,
ayo kita main di rumah, kalo di rumah kan enak, sambil nonton TV, sambil macem-macem,
ya istilahnya nyantai, nah saya tadinya janggal, soalnya saya tidak biasa bermain di rumah
laki-laki, ada sih kakaknya di rumahnya, tapi tidak terlalu sering keluar kamar.”
A : “Kalo gitu, gimana tuh terusannya?”
D : “Ya... Saya agak jijik sih nginget-ngingetnya.”
A : “Masih berat mungkin ya, Mbak Dian keberatan untuk ngomong? Kalo keberatan nggak
papa kita nggak usah lanjutin dulu, atau gimana?”
D : “Nggak, nggak papa, lanjutin aja.”
A : “Nggak papa ya..pelan-pelan aja, saya juga bisa paham, jadi berat buat Mbak Dian, ikutin
aja, pelan-pelan aja, senyamannya Mbak
D : “Oke... Hmm, jadi dia mulai meminta saya untuk melakukan h u b u n g ah ^,^^K ^» .say a
ketakutan, saya berusaha untuk berontak, dia, sepertinya tidak menerima, malah marah,
pertamanya dia marah, terus saya menolak, dia sudah berani juga pegang-pegang saya,
tadinya nggak, cuma cium, saya masih berpikir, ya sudah, biarlah nggak papa deh, itu kan
cuma dicium aja, tapi lama-lama dia beneran minta berhubungan.”
A : “Oh, dia langsung mengarah ke situ?”
D : “Iya, tapi waktu dia minta itu, saya langsung menolak mentah-mentah, enak aja, nggak mau!
Nggak, nggak nggak, nggak, saya tidak mau, saya tidak mau, tapi ya itu..dianya marah, dan
saya ditarik, saya ditarik, dan diseret ke kamarnya, kalo dirumahnya tidak ada orang siang-
siang orang tuanya sedang bekerja, kecuali kakaknya, itu saya diseret ke kamar dia, setelah
itu, ya, saya tidak bisa berbuat apa-apa, ya dia mendorong, nindih, buka baju, terus dia
berusaha masukin...”

Rancangan intervensi..., Agesty Putri Ageng, FPSI UI, 2010

Anda mungkin juga menyukai