Anda di halaman 1dari 87

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERDAYAAN SANTRI KADER


TUBERKULOSIS (TB) TERHADAP PERILAKU SANTRI
DALAM PENCEGAHAN TB DI PONDOK PESANTREN
GARUT JAWA BARAT

TESIS

RISMA PUSPITASARI
1506786913

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOK

JULI, 2017

Universitas Indonesia
i

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH PEMBERDAYAAN SANTRI KADER


TUBERKULOSIS (TB) TERHADAP PERILAKU SANTRI
DALAM PENCEGAHAN TB DI PONDOK PESANTREN
GARUT JAWA BARAT

TESIS

Diajukan sebagai salahsatu syarat memperoleh gelar


Magister Kesehatan Masyarakat

RISMA PUSPITASARI
1506786913

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOK

JULI, 2017

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Risma Puspitasari


NPM :1506786913

randarangan W
ranggal t..!:...J.*..*!1

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


HALAMAN PENGESAIIAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Risma Puspitasari


NPM ;1506786913
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis : Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader Tuberkulosis (TB)
Terhadap Perilaku Santri Dalam Pencegahan TB
di Pondok Pesantren Garxt Jawa Barat

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian per"syaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan Masyamkat pada Program Studi IImu Kesehatan
Masyarakat Fakultas I(esehatan Masyarakat, Universitas Indoncsia.

DEWANPENGUJI

Pembimbing : Dr. Drg. Ella Nurlaela Hadi, M. Kes

Peneuji : Renti Mahkot4 S. KM, M. Epid

Penguji : Dr. Drs. Tri lGiantq M. Kes

Penguji : Dr. Ir. Bambang Setiaji, M. Kes

,,14
Penguji : Dr. Asep Suralrman M. KM
-

di
Ditetapkan : Depok
Tanggal : 05 Juli 2017

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : Risma Puspitasari
NPM : 1506786913
Mahasiswa Program : Magister Ilmu KesehatanMasyarakat
Tahun Akademik : 2016/2017

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan


skripsi/tesis/disertasi saya yang berjudul :

PENGARUH PEMBERDAYAAN SANTRI KADER TUBERKULOSIS (TB)


TERHADAP PERILAKU SANTRI DALAM PENCEGAHAN TB DI
PONDOK PESANTREN GARUT JAWA BARAT

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Depok, 2017

(Materei 6000)

Risma Puspitasari

Universitas Indonesia
iv

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Risma Puspitasari
NPM : 1506786913
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Departemen : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis karya : Skripsi/Tesis/Disertasi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGARUH PEMBERDAYAAN SANTRI KADER TUBERKULOSIS (TB)


TERHADAP PERILAKU SANTRI DALAM PENCEGAHAN TB DI
PONDOK PESANTREN GARUT JAWA BARAT

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, danmemublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagaipenulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : …………………….
Yang menyatakan

( Risma Puspitasari )

Universitas Indonesia
v

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


ABSTRAK

Nama : Risma Puspitasari


Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader Tuberkulosis
(TB) Terhadap Perilaku Santri Dalam Pencegahan
TB di Pondok Pesantren Garut Jawa Barat

Secara global, insiden TB dunia pada tahun 2015 sebesar 10,4 juta kasus.
Indonesia berada di urutan kedua dari total kasus diseluruh dunia sebesar 10%,
setelah India. Prevalensi TB berdasarkan provinsi yang tertinggi adalah Jawa
Barat (0,7%). Padatnya tingkat hunian di pesantren dapat menimbulkan kondisi
rentan sehingga dianggap memicu banyaknya kasus TB. Pengendalian TB
berbasis masyarakat merupakan salah satu upaya promosi kesehatan dalam
penanggulangan TB. Penelitian ini bertujuan mengetahui dampak pemberdayaan
santri kader TB terhadap perilaku pencegahan TB di pondok pesantren Garut Jawa
Barat. Metode penelitian kuantitatif dengan desain kuasi eksperimen pada 230
santri sebagai sampel pada masing-masing kelompok intervensi dan kontrol.
Pengumpulan data dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pengumpulan data awal,
setelah itu dilakukan intervensi berupa pelatihan pada 30 santri yang terpilih
sebagai kader TB dengan melakukan penyuluhan dan kunjungan kamar 2 bulan
kemudian dilakukan pengumpulan data akhir. Analisis yang digunakan adalah uji
wilcoxon, mann-whitney dan uji regresi logistic ganda model faktor resiko. Hasil
penelitian membuktikan santri yang mendapat intervensi berpeluang memiliki
perilaku pencegahan baik hampir 3 kali (OR=2,90; 95%CI= 1,9-4,4)
dibandingkan dengan santri yang tidak mendapatkan intervensi setelah dikontrol
jenis kelamin santri.

.Kata Kunci : Pemberdayaan santri, pondok pesantren, perilaku pencegahan

Universitas Indonesia
vi

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


ABSTRACK

Name : Risma Puspitasari


Study Program : Public Health Sciences
Title : The Impact Of Empowering Student as Tuberculosis
(TB) Cadre Toward Student Behaviour In Tb
Prevention In Islamic Boarding School
Garut Jawa Barat

Abstract

Globally, the incidence of tb in 2015 amounted to 10.4 million cases. tb ranks in


the 2nd place of the total cases all over Indonesia by 10% after India. The highest
prevalence of TB by province is western Java (0.7%,). Tb incidence did not occur
only in the general population, but also arise in certain community such as islamic
boarding schools. The density of occupancy in Islamic boarding school can cause
vulnerable condition causing many cases of tb. Community-based TB control is
one of health promotion efforts in TB prevention. This study aims to determine
the impact of Empowerment of Tuberculosis (TB) Against Student Cadres
Behavior in TB Prevention at Islamic boarding school, Garut, West Java.
Quantitative research method with quasi experimental design on 230 students as
sample in each intervention and control group. Data collection was done 2 times,
that is initial data collection, after that do intervention in the form of training at 30
students selected as TB cadre by doing counseling and visit room 2 month later to
do final data collecting. The analysis used was wilcoxon test, mann-whitney and
multiple logistic regression test of risk factor model. The result of the research
shows that students who have intervention have a good prevention behavior
almost 3 times (OR = 2,90; 95% CI = 1,9-4,4) compared with students who do not
get intervention after separation of gender.

Keywords: Empowering students, Islamic boarding school, preventive behavior.

Universitas Indonesia
vii

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dalam rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian tentang “Pengaruh
Pemberdayaan Santri Kader Tuberkulosis (TB) Terhadap Perilaku Santri Dalam
Pencegahan TB di Pondok Pesantren Garut Jawa Barat”. Penulisan proposal
penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Magister Kesehatan Masyarakat Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai penyusunan tesis,sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada :
1) Ibu Dr. drg. Ella Nurlaela Hadi M.Kes, selaku Manager Pendidikan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia sekaligus dosen pembimbing
yang telah dengan sabar membimbing, memberikan masukan dan semangat
dalam penyusunan tesis ini.
2) Ibu Renti Mahkota S. KM, M. Epid selaku dosen penguji, yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan masukan bagi peneliti dalam
penyusunan tesis ini
3) Bapak Dr. H. Asep Surahman M.KM dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut
selaku pemilik data primer sekaligus penguji yang telah mengijinkan penulis
untuk melakukan analisis data lanjut serta memberikan arahan dan bimbingan
untuk penyelesaian tesis ini
4) Bapak Dr. Ir. Bambang Setiaji, S.KM, M. Kes dari Sesditjen Kesmas
Kementrian Kesehatan selaku penguji yang telah memberikan arahan dan
masukan untuk perbaikan tesis ini
5) Suami tercinta Ending Mordiansyah dan ananda tersayang Wildan Lovendra
atas doa, cinta dan kesabarannya untuk menyemangati demi selesainya
pendidikan ini
6) Orang tua tercinta dan keluarga atas dukungan, do’a semangat dalam
menyelesaikan pendidikan ini.

Universitas Indonesia
viii

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


7) Teman-teman seangkatan Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Tahun 2015.
8) Teman-teman di Depok serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang turut membantu peneliti dalam menyelesaikan pendidikan dan
tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan kritikan dan sarat yang bersifat membangun sangtlah diharapkan.
Harapan penulis semoga proposal tesis ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan
masukan bagi berbagai pihak.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga proposal tesis ini dapat membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, Juni 2017

Penulis

Universitas Indonesia
ix

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii


HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT.................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................... v
ABSTRACK ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR........................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3. Pertanyaan Penelitian....................................................................................... 6
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6
1.4.1. Tujuan Umum......................................................................................... 6
1.4.2. Tujuan khusus......................................................................................... 6
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 6
1.6. Ruang Lingkup Penelitian................................................................................ 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8


2.1 Tuberkulosis..................................................................................................... 8
2.1.1 Etiologi ................................................................................................... 8
2.1.2 Pathogenesis ........................................................................................... 8
2.1.3 Gejala Klinis dan Penegakan Diagnosa................................................ 11
2.1.4 Pencegahan Penularan dan Pengobatan TB.......................................... 11
2.1.5 Faktor Resiko terjadinya TB ................................................................ 14
2.1.6 Upaya Pegendalian Faktor Resiko TB ................................................. 16
2.1.7 Strategi Penemuan Pasien TB .............................................................. 18
2.2 Pemberdayaan ................................................................................................ 18
2.2.1 Pengendalian TB Berbasis Masyarakat ................................................ 19
2.2.2 Peran Serta Masyarakat dalam Program Penanggulangan TB ............ 19
2.2.3 Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi
Kemasyarakatan dalam Pengendalian TB. ........................................... 20

Universitas Indonesia
x

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


2.2.4 Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam
Pengendalian TB .................................................................................. 20
2.3 Pesantren ........................................................................................................ 21
2.3.1. Gambaran Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Santri ............................ 21
2.3.2. Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren)................................................. 22
2.4 Perilaku Kesehatan......................................................................................... 25
2.4.1 Perilaku Pencegahan............................................................................. 26
2.4.2 MODEL : PRECEDE-PROCEED ....................................................... 27
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan TB ........................ 29
2.6 Kerangka Teori Penelitian ............................................................................. 31

BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL...................................................................................... 33
3.1 Kerangka Konsep........................................................................................... 33
3.2 Definisi Operasional ...................................................................................... 34
3.3 Hipotesis ........................................................................................................ 34

BAB 4 METODE PENELITIAN....................................................................... 37


4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 37
4.2 Waktu Penelitian ............................................................................................ 38
4.3 Sumber dan Pengumpulan Data Penelitian .................................................... 38
4.4 Intervensi pemberdayaan Santri Kader TB.................................................... 39
4.5 Populasi dan Sampel ...................................................................................... 40
4.6 Manajemen Pengolahan Data Penelitian ....................................................... 41
4.7 Analisis Data .................................................................................................. 43
4.7.1 Analisis Univariat ................................................................................. 43
4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................................... 43
4.7.3 Analisis Multivariat .............................................................................. 43

BAB 5 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 44


5.1 Gambaran Umum dan Kependudukan Kabupaten Garut .............................. 44
5.1.1 Gambaran Umum Wilayah ................................................................... 44
5.1.2 Pertumbuhan Penduduk ........................................................................ 44
5.2 Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan ............................. 45
5.2.1 Gambaran Variabel Perancu................................................................. 47

Universitas Indonesia
xi

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


5.3 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku Pencegahan TB
........................................................................................................................ 49
5.4 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku Pencegahan
Setelah Dikontrol Variabel Perancu............................................................... 50
5.4.1 Hierarchically Well Formulated (HWF) Model.................................... 50
5.4.2. Uji Interaksi ......................................................................................... 51
5.4.2 Uji variabel Perancu.............................................................................. 52
5.4.3 Model Akhir.......................................................................................... 55

BAB 6 PEMBAHASAN ...................................................................................... 56


6.1 Keterbatasan Penelitian.................................................................................. 56
6.2 Gambaran Perilaku Pencegahan TB di Pesantren.......................................... 56
6.3 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku Pencegahan TB
di Pondok Pesantren Garut............................................................................. 59
6.4 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku Pencegahan TB
di Pondok Pesantren Garut Setelah dikontrol Variabel Perancu ................... 61

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 63


7.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 63
7.2 Saran................................................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 65

Universitas Indonesia
xii

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ..........................................................................34


Tabel 5.1 Distribusi Santri Menurut Skor Perilaku Pencegahan Sebelum
dan Sesudah Intervensi di Pondok Pesantren Garut, 2017 .................45
Tabel 5.2 Distribusi Santri Menurut Skor Pengetahuan dan sikap Sebelum
dan Sesudah Intervensi di Pondok Pesantren Garut, 2017.................46
Tabel 5.3 Distribusi Santri Menurut Variabel Perancu (Jenis Kelamin, Usia,
Pendidikan, Status Ekonomi, Pengetahuan tentang TB dan Sikap
terhadap TB) di Pondok Pesantren Garut, 2017.................................48
Tabel 5.4 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku
Pencegahan TB pada Kelompok Intervensi .......................................49
Tabel 5.5 Perbedaan Perilaku Pencegahan TB pada Kelompok Intervensi dan
Kelompok Kontrol..............................................................................49
Tabel 5.6 HWF Model........................................................................................50
Tabel 5.7 HWF Model Tanpa Interaksi antara Variabel Pemberdayaan Santri
dengan Sikap terhadap TB .................................................................51
Tabel 5.8 HWF Model Tanpa Interaksi antara Variabel Pemberdayaan Santri
dengan Jenis Kelamin.........................................................................51
Tabel 5.9 Golden Standard Model (Model Baku Emas)....................................52
Tabel 5.10 Model tanpa Variabel Status Ekonomi...............................................52
Tabel 5.11 Model tanpa Variabel Sikap terhadap TB ..........................................53
Tabel 5.12 Model Tanpa Variabel Pengetahuan tentang TB ...............................53
Tabel 5.13 Model Tanpa Variabel Umur .............................................................54
Tabel 5.14 Model Tanpa Variabel Pendidikan terhadap TB................................54
Tabel 5.15 Model Tanpa Variabel Jenis Kelamin................................................54
Tabel 5.16 Model Akhir .......................................................................................55

Universitas Indonesia
xiii

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Precede-Proceed....................................................................28


Gambar 2.2 Kerangka Teori.................................................................................32
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .............................................................................33
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian ...........................................................37

Universitas Indonesia
xiv

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Consent


Lampiran 2 Kuisioner
Lampiran 3 Analisi Univariat
Lampiran 4 Analisis Bivariat
Lampiran 5 Multivariat
Lampiran 6 Kaji etik

Universitas Indonesia
xv

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


DAFTAR SINGKATAN

SDG : Sustainable Development Goals


DOTS : Directly Observed Treatment, Shortcourse
UKBM : Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
BKPM : Balai Kesehatan Paru Masyarakat
ISTC : International Standard for Tuberculosis Care
AFB : acid-fast bacillus
BTA : Bakteri Tahan Asam
MOTT : Mycobacterium Other Than Tuberculosis
TCM : Tes Cepat Molekuler
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
OAT : Obat Anti TB
PMO : Pengawas Minum Obat
INH : Isoniazid
BCG : Bacille Calmette Guerin
ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPM : Public-Private Mix
PAL : Practical Approach to Lung health
Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren
TPB : Theory of Planned Behaviour
P3K : Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
PRECEDE : Predisposing, Enabling, Reinforcing Causes In
Educational Diagnosis ann Evaluation
PROCEED : Policy, Regulatory, and Organizational Constructs in
Educational and Environmental Developmen
LPP : Laju Pertumbuhan Penduduk
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
TB : Tuberkulosis
HWF : Hierarchically Well Formulated
CDC Prevention: Center for Control and Prevention

Universitas Indonesia
xvi

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan 1 dari 10 penyebab kematian tertinggi di
dunia dengan jumlah kematian sebesar 1,4 juta, ditambah 0,4 juta kematian TB
dengan HIV. Secara global, insiden TB dunia pada tahun 2016 mengalami
peningkatan sekitar 8% dibandingkan tahun 2015. Menurut Global Tuberculosis
Report tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus TB. Tahun 2015, jumlah penderita TB
pada laki-laki sebesar 5,9 juta, pada perempuan 3,5 juta dan 1 juta terdapat pada
anak-anak. Terdapat 6 negara yang memiliki kasus baru terbanyak dan
berkontribusi sebesar 60% dari seluruh kasus di dunia yakni India, Indonesia,
China, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan, dan Indonesia menempati urutan ke
2. (World Health Organization, 2016).
Laporan WHO tahun 2013, sekitar 75% pasien TB adalah kelompok yang
produktif secara ekonomi yaitu usia 15-50 tahun. Hal ini berdampak pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 20-30%. Selain merugikan
secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial,
seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kementerian Kesehatan,
2014).
Salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 adalah
menuntaskan epidemik TB. Directly Observed Treatment, Shortcourse (DOTS)
merupakan strategi yang direkomendasikan oleh WHO dalam pengendalian TB di
dunia. Srategi ini berfokus pada penemuan dan penyembuhan pasien. Strategi
DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yakni : 1) komitmen politis; 2) penemuan
kasus; 3) pengobatan yang standard; 4) sistem pengelolaan dan ketersediaan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) yang efektif dan sistem monitoring (Kementerian
Kesehatan, 2014).
Meskipun pengendalian TB dengan strategi DOTS telah diterapkan di
banyak negara sejak tahun 1995, akan tetapi beban masalah TB terus meningkat.
Beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya beban masalah TB antara lain
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kegagalan program TB, dampak

1 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


2

pandemi HIV, terjadi multidrug resistance/MDR (Kementerian Kesehatan, 2014).


Pada tahun 2014, WHO memperkirakan terdapat 1 juta kasus baru TB di
Indonesia, sehingga TB menjadi salah satu penyakit menular prioritas pemerintah
dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kesehatan tahun 2015-2019.
Target prevalensi TB dalam renstra tersebut yaitu 245 per 100.000 penduduk dan
persentase kabupaten/kota dengan angka keberhasilan pengobatan TB paru BTA
positif minimal 85% ditargetkan mencapai 90% (Kementerian Kesehatan, 2015a).
Hasil Riskesdas 2013, prevalensi TB Paru berdasarkan diagnosis sebesar
0,4% dari jumlah penduduk. Prevalensi tertinggi adalah Jawa Barat 0,7%, Papua
0,6% dan DKI Jakarta 0,6%. Prevalensi TB paru lebih tinggi pada laki-laki (0,4%)
dibandingkan pada perempuan (0,3%). Selain itu, untuk kelompok umur
prevalensi paru cenderung tinggi pada umur > 45 tahun. Prevalensi TB paru
menurut tingkat pendidikan cenderung meningkat pada pendidikan rendah, yaitu
0,5% tidak sekolah dan 0,2% tamat D1-D3/PT (Kementerian Kesehatan, 2013b)
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2015, terjadi peningkatan kasus
baru TB, dari 324.539 kasus pada tahun 2014 menjadi 330.910 kasus pada tahun
2015. Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah menyumbang 38% dari jumlah
seluruh kasus baru di Indonesia. Jumlah kasus baru berdasarkan jenis kelamin,
lebih banyak pada laki-laki sebesar 1,5 kali dibandingkan perempuan
(Kementerian Kesehatan, 2016b).
Penyakit TB merupakan penyakit infeksi menular yang sering dikaitkan
dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat serta adanya penyakit lain seperti
HIV dan AIDS. Kasus baru TB pada penderita HIV sebesar 1,2 juta pada tahun
2015. Pada tahun 2013 di Indonesia terjadi peningkatan kasus TB seiring dengan
peningkatan kasus HIV dan AIDS, dan sejalan pula dengan tingginya proporsi
rumah di daerah kumuh seperti di Provinsi Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat,Banten, Sumatra Utara, DKI Jakarta dan Papua (Kementerian Kesehatan,
2015b).
Hasil penelitian menunjukan kepadatan hunian, suhu ruangan, kelembaban
ruangan, jenis lantai rumah, kebiasaan membuang dahak di sembarang tempat
serta kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut mempengaruhi kejadian TB
paru. Orang yang memiliki kontak serumah dengan penderita TB berisiko 4 kali

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


3

untuk menderita TB dibandingkan dengan yang tidak punya kontak (Rukmini


2011). Di Lampung, penderita TB tinggal dengan kepadatan rumah yang lebih
tinggi, jumlah ventilasi yang kurang, dan sumber polusi dalam rumah yang lebih
banyak dibandingkan bukan penderita TB (Wardani, 2015).
Perilaku pencegahan menjadi penting sebagai upaya untuk memutus mata
rantai penularan penyakit TB. Penyebaran dan angka kesakitan serta kematian TB
di suatu wilayah dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap
pencegahan TB. Menurut Bloom dalam Notoatmodjo faktor yang mempengaruhi
status kesehatan yang pertama yakni faktor lingkungan, kedua faktor perilaku,
ketiga faktor pelayanan kesehatan dan keempat faktor keturunan (Notoatmodjo,
2012). Sedangkan untuk faktor perilaku menurut Green, dipengaruhi oleh faktor
predisposisi seperti pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin dan pendidikan
faktor pemungkin seperti lingkungan fisik, fasilitas dan sarana serta faktor
penguat seperti dukungan keluarga dan peraturan (Glanz, Rimer, & Viswanath,
2008). Hasil penelitian berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukan responden
yang berperilaku salah terhadap pencegahan TB mempunyai resiko terkena TB
1,64 kali dibanding responden yang berperilaku benar (Sukoco, 2011).
Upaya kesehatan dari pemerintah sudah menjangkau semua masyarakat
termasuk wilayah pesantren. Wujud dari upaya pemerintah dalam bidang
kesehatan di pesantren dengan dibentuknya Pos Kesehatan Pesantren (poskestren).
Kegiatan di Poskestren di selenggarakan oleh kader pesantren dengan bimbingan
teknis dari puskesmas dan sektor terkait. Poskestren merupakan salah satu Usaha
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) dengan ruang lingkup pelayanan
kesehatan dasar yang meliputi promotif, preventif, rehabilitatif dan kuratif serta
pemberdayaan santri sebagai kader kesehatan dan kader siaga bencana.
Terselenggaranya poskestren diharapkan dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta angka kesakitan santri menurun
(Kementerian Kesehatan, 2013a).
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kehidupan di pesantren yang padat
penghuni serta kebiasaan-kebiasaan santri yang dipengaruhi oleh faktor sosial,
budaya, serta lingkungan mempengaruhi perilaku kesehatan santri. Melakukan

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


4

aktivitas secara bersama-sama dan dalam jangka waktu yang lama sangat
berpotensi dalam penularan penyakit. Hasil penelitian di Jombang, didapatkan
bahwa kondisi yang tidak sehat maupun penyakit yang terjadi di pesantren
dipengaruhi oleh perilaku santri, seperti saling bergantian peralatan makan/minum
dan pakaian. Perilaku tersebut disebabkan karena adanya pandangan untuk
menunjukan rasa persaudaraan, kesetiakawanan dan kebersamaan di pesantren.
Jenis kelamin, pendidikan, sikap dan paparan informasi juga mempengaruhi
perilaku hidup bersih dan sehat santri di pesantren (Kiptiyah, 2005).
Berdasarkan hasil rapat koordinasi penanggulangan TB di pondok pesantren
Jawa Tengah, ada peningkatan jumlah santri BTA + yang diobati di Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Magelang sebesar 22% pada tahun 2013-
2014 (Balai Kesehatan Paru Masyarakat, 2015). Perilaku santri seperti kebiasaaan
meminum bekas kyiai dengan harapan mendapatkan berkah dari orang yang
dianggap tinggi ilmu agamanya juga merupakan faktor beresiko dalam penularan
TB. Selain itu padatnya tingkat hunian di pesantren dapat menimbulkan kondisi
rentan dan mempercepat proses penularan sehingga dianggap memicu banyaknya
kasus TB dan dikhawatirkan akan terjadinya wabah di wilayah atau di pesantren
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian sebuah asrama di China bahwa
di antara 258 siswa dan 15 guru terdapat 46 kasus aktif atau sekitar 17,8% (MA et
al., 2016).
Pengendalian TB berbasis masyarakat merupakan salah satu upaya promosi
kesehatan dalam kegiatan penanggulangan TB. Di Kabupaten Buleleng Bali,
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan aktifitas kader.
Kader yang memiliki pengetahuan tinggi berpotensi untuk aktif 18 kali dalam
pengendalian kasus TB dibanding yang berpengetahuan rendah (Wijaya, 2013).
Di Surabaya, pengetahuan kader dalam penemuan suspek TB meningkat dari
74,4% menjadi 98,9% setelah mendapat pelatihan (Wahyuni & Artanti, 2013).
Kabupaten Garut merupakan salah satu dari 27 kabupaten/kota yang berada
di wilayah Provinsi Jawa Barat. Penemuan kasus BTA+ pada tahun 2015 yakni
sebesar 56,5% masih dibawah target nasional dan provinsi yakni 70%. Hal ini
disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB,
tidak dilaksanakannya pemeriksaan kontak serumah, serta rendahnya komitmen

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


5

pihak swasta dalam penerapan pengobatan sesuai International Standard for


Tuberculosis Care (ISTC). Angka kesembuhan TB juga mengalami penurunan
dari 103 pada tahun 2013 menjadi 100 pada tahun 2015 (Dinas Kesehatan Kab.
Garut, 2015).
Pencegahan TB lebih baik dari pada pengobatan TB. Pengobatan TB
memakan waktu yang sangat lama (minimal 6 bulan) dan memiliki efek samping
obat. Ketidaknyamanan yang dirasakan pasien TB pada saat menjalani
pengobatan seperti mual, muntah, demam, sesak nafas, anemia, pusing, nyeri
sendi dan gangguan fungsi organ lainnya sehingga berpotensi terjadinya drop out
atau berhenti dari pengobatan TB. Hal ini menimbulkan masalah baru yakni
jumlah penderita TB sulit dikendalikan dan pasien dengan resistensi obat semakin
banyak. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan dana yang besar untuk
program pengobatan TB. Hal ini yang mendasari pentingnya perilaku pencegahan
TB.
Pada tahun 2016, Surahman melakukan pemberdayaan santri sebagai kader
TB di 3 pondok pesantren kabupaten Garut dan melihat dampaknya terhadap
aksesibilitas layanan TB di fasilitas kesehatan. Hasilnya menunjukan adanya
peningkatan proporsi aksesibilitas layanan TB di fasilitas kesehatan sebesar
41,4% pada kelompok intervensi. Namun demikian dampak pemberdayaan santri
terhadap perilaku pencegahan TB belum diketahui sehingga peneliti tertarik untuk
mengetahui dampak pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku pencegahan
TB di pondok pesantren kabupaten Garut.

1.2. Rumusan Masalah


Di Kabupaten Garut pada tahun 2015, penemuan kasus BTA+ sebesar
56,5% masih dibawah target nasional selain itu terjadi penurunan angka
kesembuhan pasien TB. Intervensi yang sudah dilakukan pada tahun 2016 berupa
pemberdayaan santri sebagai kader TB di 3 pondok pesantren Kabupaten Garut,
menunjukan adanya peningkatan akses pelayanan kesehatan (41,4%) bagi santri
yang terdeteksi menderita TB disamping terjadinya peningkatan penemuan TB
positif di pondok pesantren Garut. Namun demikian dampak intervensi terhadap
perilaku pencegahan TB belum diketahui.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


6

1.3. Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka pertanyaan penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Perilaku pencegahan TB di pondok pesantren.
2. Bagaimana pengaruh pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku
pencegahan TB di pondok pesantren Garut.
3. Bagaimana pengaruh pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku
pencegahan TB di pondok pesantren Garut setelah dikontrol dengan
pengetahuan santri tentang TB, umur, jenis kelamin dan sikap santri tentang
TB.

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui dampak pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku
pencegahan TB di pondok pesantren Garut Jawa Barat.
1.4.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui perilaku pencegahan TB di pondok pesantren Garut.
2. Mengetahui pengaruh pemberdayaan santri kader TB terhadap
perilaku pencegahan TB di pondok pesantren Garut.
3. Mengetahui pengaruh pemberdayaan santri kader TB terhadap
perilaku pencegahan TB di pondok pesantren Garut setelah dikontrol
dengan pengetahuan santri tentang TB, umur, jenis kelamin dan
sikap santri tentang TB.

1.5. Manfaat Penelitian


1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Garut
Sebagai bahan evaluasi program Poskestren khususnya di bidang
penanggulangan TB sehingga kedepannya dapat menjadi lebih baik
lagi.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


7

2. Bagi Pesantren
Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh warga pesantren
dalam upaya perilaku pencegahan penularan TB sehingga dapat
mengurangi kejadian TB di lingkungan pondok pesantren
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengalaman mengenai
penelitian khususnya mengenai pengaruh pemberdayaan santri kader
TB terhadap perilaku pencegahan TB di pesantren.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi, acuan, dan
perbandingan bagi peneliti lainnya yang mengambil tema pengaruh
pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan sehingga dapat
lebih berkembang.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberdayaan santri
kader TB terhadap perilaku pencegahan TB di pondok pesantren Garut Jawa
Barat. Penelitian ini merupakan analisis lanjut dengan menggunakan data dari
penelitian Surahman yakni “pengendalian TB berbasis masyarakat pemberdayaan
santri sebagai agen perubah di pondok pesantren Kabupaten Garut Jawa Barat
tahun 2016”. Penelitian ini dilakukan karena sebelumnya sudah ada
pemberdayaan santri kader TB terhadap akses pelayanan kesehatan, namun
dampak pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku pencegahan belum
diketahui. Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimen dan sampel penelitian
adalah santri di pondok pesantren Garut. Analisis data akan dilakukan pada bulan
Mei tahun 2017.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Etiologi
Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M.
Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan-asam (acid-fast bacillus
[AFB]). Infeksi TB melalui udara dan pada umumnya didapatkan dengan
inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus.
Droplet tersebut keluar saat berbicara, batuk, tertawa, bersin atau
menyanyi. Droplet nuclei terinfeksi kemudian dapat terhirup oleh orang
yang rentan (inang). Sebelum terjadi infeksi paru, organisme yang terhirup
harus melewati mekanisme pertahanan paru dan menembus jaringan paru
(Black and Hawk, 2014).
2.1.2 Pathogenesis
A. Kuman Penyebab TB
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis,
M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis
dan pengobatan TB (Kementerian Kesehatan, 2016a) . Secara umum
sifat kuman Mycobacterium tuberculosis sebagai berikut:
a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6
mikron.
b. Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl
Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop.
c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.

8 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


9

d. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam


jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
e. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra
violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar
kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu.
f. Kuman dapat bersifat dorman (Kementerian Kesehatan, 2016a)
B. Perjalanan Alamiah TB pada Manusia.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit.Tahapan tersebut
meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia
(Kementerian Kesehatan, 2014), sebagai berikut:
a. Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
• Jumlah kasus menular di masyarakat.
• Peluang kontak dengan kasus menular.
• Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
• Intensitas batuk sumber penularan.
• Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
• Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah
infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap
hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif
kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia. Penyebaran
melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
c. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
• Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup Lamanya waktu sejak
terinfeksi
• Usia seseorang yang terinfeksi

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


10

• Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya


tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
Aktif (sakit TB).
• Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%
diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang
dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula
d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TB:
• Akibat dari keterlambatan diagnosis
• Pengobatan tidak adekuat.
• Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta.
• Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV
positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh
TB.
C. Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang
mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila
seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang
infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis.
Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500 –
1.000.000 M.tuberculosis (Kementerian Kesehatan, 2016a).

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


11

2.1.3 Gejala Klinis dan Penegakan Diagnosa


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat
dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronchitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung. (Kementerian Kesehatan, 2016a).
Hasil penelitian Rukmini 2011 dengan jenis penelitian observational
analitik berdasarkan data sekunder riskesdas tahun 2010, didapatkan
bahwa sebagian besar penderita TB tidak merasakan gejala TB.
Penetapan diagnosis TB berdasarkan 1) keluhan dan hasil anamnesis yang
disampaikan pasien serta wawancara rinci berdasarkan keluhan pasien; 2)
pemeriksaan laboratorium yang meliputi a) pemeriksaan bakteriologi; b)
pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB; c) Pemeriksaan Biakan 3)
pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan foto toraks dan
pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu. Untuk
menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap (Obat Anti TB) OAT
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat (Kementerian Kesehatan,
2016a).
2.1.4 Pencegahan Penularan dan Pengobatan TB
Insidensi kasus TB dapat di kurangi yakni dengan melakukan pencegahan
penularan TB. upaya pencegahan penularan penyakit TB kepada orang
sehat dapat dicegah apabila pasien TB menelan OAT secara lengkap dan
teratur. Pengobatan diberikan setiap hari untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien. Pada umumnya pengobatan
secara teratur, daya penularannya sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu. Namun pengobatan harus tetap dilanjutkan

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


12

hingga 6-8 minggu sesuai petunjuk dokter (Kementerian Kesehatan,


2016a).
Hasil penelitian berdasarkan data riskesdas tahun 2010 didapatkan bahwa.
karakteristik penderita TB berdasarkan kepatuhan berobat yakni : sebagian
besar berstatus sosial ekonomi tinggi, berpendidikan rendah, wirausaha,
kelompok umur 35-44 yahun, berjenis kelamin laki-laki dan berasal dari
desa. Hasi penelitian tersebut juga membuktikan ada hubungan antara
perilaku pencegahan TB dengan kepatuhan berobat (Sukoco, 2011). Di
Tanggerang, perilaku pencegahan yang selalu dilakukan oleh penderita TB
adalah meminum obat secara teratur. (Rahayu, 2015)
Pasien TB harus menutup mulut saat batuk atau bersin sesuai dengan etika
batuk, tidak membuang dahak di sembarang tempat, akan tetapi
membuang dahak pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan
menggunakan wadah/kaleng tertutup yang sudah di beri air sabun. Selain
itu, dahak juga bisa dibuang ke dalam lubang WC atau timbun ke dalam
tanah di tempat yang jauh dari keramaian (Kementerian Kesehatan,
2016a).
Menghindari penularan akibat kontak tanpa pelindung dapat mencegah dan
mengendalikan penyebaran pathogen dari pasien yang terinfeksi dengan
melakukan etika batuk, yakni menutup mulut dan hidung saat batuk/bersin,
menggunakan tisu, saputangan, masker linen atau masker bedah bila
tersedia sebagai pencegah dan pengendalian sumber untuk menahan secret
pernapasan dan membuangnya ketempat limbah, menggunakan masker
menghadapi orang yang batuk/bersin dan membersihkan tangan (WHO,
2007)
Di Ethiopia, perilaku pencegahan yang dilakukan masyarakat sebagian
besar adalah menutup mulut ketika batuk atau bersin (Tolossa, Medhin, &
Legesse, 2014)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dapat mencegah penularan
penyakit TB seperti makan-makanan bergizi, tidak merokok dan minuman
beralkohol, olahraga secara teratur serta istirahat yang cukup. Membuka
jendela setiap pagi, sehingga udara berjalan lancar dan sinar matahari

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


13

masuk kedalam ruangan atau rumah. Untuk menghilangkan kuman TB,


menjemur alat tidur sesering mungkin karena kuman TB mati oleh sinar
matahari (Kementerian Kesehatan, 2016a).
Tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien dan
memperbaiki produktifitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya
kematian karna TB dan dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya
kekambuhan TB, menurunkan penularan TB dan mencegah terjadinya
penularan TB resistensi obat. Prinsip pengobatan TB adalah dengan OAT
yang merupakan komponen terpenting dalam pengobatan. Pengobatan TB
merupakan salah satu upaya dalam mencegah penyebaran lebih lanjut
kuman TB (Kementerian Kesehatan, 2016a). Prinsip pengobatan TB
meliputi :
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai
selesai pengobatan
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
Tahap Pengobatan TB meliputi tahap awal dan tahap lanjutan, yakni :
a. Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan
pada tahap ini sangat efektif untuk menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien
baru dan harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada didalam tubuh

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


14

sehingga pasien dapat sembuh dan mencegaha terjadinya kekambuhan


(Kementerian Kesehatan, 2016a).
Hasil penelitian Tirtana pada tahun 2011 di Jawa Tengah didapatkan
bahwa, keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh keteraturan berobat dan
lama pengobatan. Ada hubungan yang signifikan antara peranan PMO
terhadap keberhasilan pengobatan (Firdaus, Widodo, & Purwanti, 2012)
2.1.5 Faktor Resiko terjadinya TB
Berdasarkan Permenkes No. 67 Tahun 2016, faktor Resiko terjadinya TB
adalah :
a. Kuman penyebab TB.
1) Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.
2) Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar
risiko terjadi penularan.
3) Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman,makin besar
risiko terjadi penularan.
b. Faktor individu yang bersangkutan
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi
sakit TB adalah:
1) Faktor usia dan jenis kelamin:
• Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia
dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.
• Menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih banyak
terkena TB dari pada wanita.
Berdasarkan hasil penelitian data riskesdas 2013, distribusi kasus
TB berdasarkan usia produktif paling banyak pada kelompok umur
21-30 tahun (Nurjana, 2015). Kejadian TB di Ketanggungan Jawa
Tengah, penderita TB lebih banyak laki-laki dari pada perempuan
(Fitriani, 2013). Di Uganda Barat Daya juga ditemukan bahwa laki-
laki lebih banyak terdiagnosis TB dibandingkan dengan perempuan
(Boum et al., 2014). Hasil penelitian di Bahu Malalayang Manado
didapatkan bahwa pasien yang berobat di puskesmas lebih banyak

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


15

laki-laki dibandingkan perempuan dan berusia produktif pada


kelompok umur 25-49 tahun (Sitohang & Pandelaki, B. L, 2013)
2) Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, koinfeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan immuno-
supressive, bilamana terinfeksi dengan M.tb, lebih mudah jatuh
sakit.
3) Perilaku:
• Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai
etika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan
• Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2
kali.
• Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan
cara pengobatan’
• Pengetahuan tentang TB
Di Ethiopia, sebagian masyarakat mengetahui bahwa penyakit TB
bisa disembuhkan, dapat dicegah dan menular. Ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan yang tinggi tentang TB dengan
pendapatan dan tingkat pendidikan (Tolossa et al., 2014)
Berdasarkan hasil penelitian Media di Tanah Datar Sumatra Barat,
bahwa kepedulian masyarakat terhadap penyakit TB masih kurang.
Mereka mengganggap batuk yang lebih dari 3 minggu bukan
penyakit yang serius sehingga mereka membiarkan batuk yang
dialaminya dan tidak segera melakukan pencarian pengobatan
(Media, 2011). Kebiasaan merokok dengan kejadian TB di
Ketapang Kalimantan Barat terdapat hubungan yang bermakna.
Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa risiko penyakit TB pada
orang yang merokok sebesar 2,5 kali dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok (Setiarni, Sutomo, & Hariyono, 2011)
4) Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


16

Penelitian di Wonogiri menyebutkan bahwa terdapat hubungan


yang signifikan antara status ekonomi dengan kejadian tuberkulosis
(Kurniasari, suhartono, & Cahyo, 2012).
c. Faktor lingkungan:
1) Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TB.
2) Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan
Di Gambia, faktor resiko TB tertinggi terjadi pada perokok dan
kepadatan lingkungan (Hill et al., 2006). Kepadatan lingkungan juga
merupakan faktor resiko tertinggi di Kampal, Uganda (Kirenga et al.,
2015). Hasil penelitian di Boyolali didapatkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara pencahayaan dengan kejadian TB paru.
Pencahayaan rumah < 60 lux pada responden beresiko untuk terinfeksi
TB sebesar 8 kali dibandingkan dengan responden yang pencahayaan
rumahnya ≥ 60 lux (Syafri, 2015).
d. Faktor Pendidikan
Hasil penelitian menggunakan data riskesdas 2013, faktor resiko TB
pada usia produktif (15-49) di Indonesia yang paling dominan adalah
pendidikan. (Nurjana, 2015). Data riskesdas pada tahun 2010 juga
membuktikan bahwa penderita TB lebih banyak terjadi pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah (Rukmini & Chatarina,
2011)
2.1.6 Upaya Pegendalian Faktor Resiko TB
Penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat dapat dikurangi bahkan di
eleminasi dengan pencegahan dan pengendalian risiko (Kementerian
Kesehatan, 2016a). Adapun upaya yang dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kuman Penyebab TB
1) Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan
pengobatan tetap tinggi
2) Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TB)
yang mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV, diabetes, dll.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


17

b. Pengendalian Faktor Risiko Individu


1) Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
makan makanan bergizi, dan tidak merokok
2) Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang dahak
bagi pasien TB
3) Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas nutrisi
bagi populasi terdampak TB
4) Pencegahan bagi populasi rentan
• Vaksinasi BCG bagi bayi baru lahir
• Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah lima tahun
• Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama 6 bulan dan
diulang setiap 3 tahun
• Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan indikasi klinis
lainnya seperti silikosis
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
1) Mengupayakan lingkungan sehat
2) Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat
d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
1) Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko tinggi
penularan TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan, tempat kerja,
institusi pendidikan berasrama, dan tempat lain yang teridentifikasi
berisiko.
2) Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil, belum
ada program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam
pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama.
Semua fasyankes yang memberi layanan TB harus menerapkan PPI
TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan
pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan
menderita TB

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


18

2.1.7 Strategi Penemuan Pasien TB


Permenkes N0 67 tahun 2016 mengatur tentang strategi penemuan pasien
TB yang bisa dilakukan secara pasif, intensif, aktif dan masif. Kegiatan
promosi yang aktif mendukung upaya penemuan pasien TB sehingga
semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dan intensif
Penemuan pasien di fasilitas kesehatan dengan jejaring layanan TB
melalui Public-Private Mix (PPM), dan kolaborasi berupa kegiatan
TB-HIV, TB-DM (Diabetes Mellitus), TB-Gizi, Pendekatan Praktis
Kesehatan paru (PAL = Practical Approach to Lung health),
ManajemenTerpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu
Dewasa Sakit (MTDS).
b. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif
Penemuan yang berbasis keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh
kader dari posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama. Kegiatan ini dapat berupa
• Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat
dengan pasien TB.
• Penemuan di tempat khusus: Lapas/Rutan, tempat kerja, asrama,
pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
• Penemuan di populasi berisiko: tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh (Kementerian Kesehatan, 2016a).

2.2 Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah pengambilan tindakan berdasarkan self efficacy yang
dimiliki seseorang dalam mengontrol kehidupan sosial, ekonomi dan politik untuk
memperbaiki kehidupannya (Israel, Checkoway, Schulz, & Zimmerman, 1994)
Hasil penelitian di India pada tahun 2006, di dapatkan ada perubahan
peningkatan aktifitas fisik dalam pencegahan penyakit diabetes dan penyakit
menular lainnya setelah dilakukan pemberdayaan masyarakat (Mohan et al., 2006)

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


19

2.2.1 Pengendalian TB Berbasis Masyarakat


Menurut Permenkes no 67 tahun 2016 pemberdayaan masyarakat
merupakan proses pemberian informasi secara terus menerus dan
berkesinambungan melalui komunikasi yang efektif, demonstrasi,
konseling dan bimbingan sehingga tercipta kesadaran, kemauan dan
kemampuan pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat mengenai TB.
Menurut WHO, kegiatan TB berbasis Masyarakat adalah mobilisasi
masyarakat dengan komunikasi yang efektif dan partisipasi diantara
anggota masyarakat sehingga timbul permintaan untuk pelayanan
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan perawatan. (Kementerian
Kesehatan, 2016a).
2.2.2 Peran Serta Masyarakat dalam Program Penanggulangan TB
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TB
dapat mendorong tercapainya target program. Masyarakat perlu terlibat
aktif dalam kegiatan sesuai dengan kondisi dan kemampuan, karena
Tuberkulosis dapat ditanggulangi bersama. Pelibatan secara aktif
masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan baik lintas
program dan lintas sektor diutamakan pada 4 area dalam program
Penanggulangan TB (Kementerian Kesehatan, 2016a), yaitu:
a. Penemuan orang terduga TB
Masyarakat baik secara individu, dalam keluarga, lingkungan
masyarakat maupun secara organisasi terlibat dalam penemuan orang
terduga TB dengan melakukan pengamatan dan mengenali orang yang
mempunyai gejala TB atau sangat rentan terhadap TB dan atau
menganjurkan/merujuknya untuk ke fasilitas kesehatan terdekat.;
b. Dukungan pengobatan TB
Peran masyarakat juga sangat penting dalam pengobatan pasien TB
yaitu memastikan pasien mendapatkan pengobatan sesuai standar, dan
memantau pengobatan sampai sembuh;
c. Pencegahan TB
Masyarakat juga dapat menyampaikan pesan kepada anggota
masyarakat lainnya tentang pencegahan penularan TB dan berperilaku

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


20

hidup bersih dan sehat serta bagaimana mengurangi faktor risiko yang
membantu penyebaran penyakit;
d. Mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi penanggulangan TB.
Peran masyarakat diharapkan dapat membantu mengatasi faktorfaktor
di luar masalah teknis medis TB namun sangat mempengaruhi atau
memperburuk keadaan yaitu kemiskinan, kondisi hidup yang buruk,
gizi buruk, hygiene dan sanitasi, serta kepadatan penduduk
Sumartini di Mataram, melakukan penelitian pada tahun 2014 melalui
edukasi dengan pendekatan Theory of Planned Behaviour (TPB).
Didapatkan hasil adanya hubungan signifikan antara pelatihan TB/DOTS
dengan peran kader kesehatan. Hasil penelitian Reviono 2013 bahwa desa
yang partisipasi masyarakatnya tinggi memiliki kemungkinan 7,5 kali
lebih besar dalam penemuan penderita TB daripada desa yang partisipasi
masyarakatnya rendah.
2.2.3 Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi
Kemasyarakatan dalam Pengendalian TB.
Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat
(Kementerian Kesehatan, 2016a), adalah:
a. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat
atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
b. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
c. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh
masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
2.2.4 Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam
Pengendalian TB
Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam
Program pengendalian TB (Kementerian Kesehatan, 2016a), antara lain:
a. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi
kemasyarakatan lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain
yang belum terlibat untuk dapat membantu dalam program
pengendalian TB.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


21

b. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan


lebih memahami situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan
masyarakat.
c. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau
masyarakat dengan populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex
komersial, pencandu narkoba, penduduk musiman dan masyarakat
miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas layanan kesehatan.
d. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana
layanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat secara
langsung
e. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan
informasi tentang TB kepada masyarakat
f. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk
mengaskses pelayanan TB dan membantu dalam sosial ekonomi
g. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada
pemerintah daerah setempat.

2.3 Pesantren
Dalam Peraturan Menteri Agama no 13 tahun 2014 tentang pendidikan
keagamaan Islam, pondok pesantren adalah : lembaga pendidikan keagamaan
Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menyelenggarakan satuan
pendidikan pesantren dan/atau secara terpadu menyelenggarakan jenis pendidikan
lainnya.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 1 tahun 2013 tentang Pedoman
Penyelenggaraaan dan Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren (poskestren), Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang berbasis masyarakat
baik sebagai satuan pendidikan dan atau sebagai wadah penyelenggara
pendidikan.
2.3.1. Gambaran Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Santri
Kegiatan santri yang padat di pondok pesantren dimulai dari terbitnya fajar
hingga tengah malam. Santri dituntut untuk dapat mengatur waktu dengan
sebaik-baiknya. Untuk menjaga dan memelihara kesehatan ketika kondisi

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


22

mulai menurun, santri mempertahankan dengan cara yang sederhana yaitu


beristirahat dan mencari pengobatan disekitar pondok pesantren
(Ikhawanudin, 2013)
Perilaku pemeliharaan kesehatan santri di pesantren Jombang pada
beberapa santri yakni jalan-jalan dipagi hari keluar dari pondok untuk
menghirup udara segar di pedesaan. Selain itu santri juga melakukan
kegiatan olahraga pada hari libur yaitu hari jumat. Perilaku kebersihan
kamar santri diatur sendiri oleh santri yang menghuni kamar tersebut.
Mereka menerapkan sistem piket kamar secara bergilir dan denda bagi
santri yang meletakan barangnya sendiri secara sembarangan (Kiptiyah,
2005)

2.3.2. Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren)


Poskestren adalah salah satu wujud Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) dilingkungan pondok pesantren dengan prinsip dari,
oleh dan untuk warga pondok pesantren yang mengutamakan pelayanan
promotif preventif,tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif
(Kemenkes, 2013)
a. Tujuan Poskestren
Menurut kemenkes 2013, tujuan poskestren adalah mewujudakan
kemandirian warga pondok pesantren dan masyarakat sekitar dalam
berperilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
b. Fungsi Poskestren
1) Sebagai Wadah Pemberdayaan Masyarakat dibidang Kesehatan,
dalam alih informasi, pengetahuan dan keterampilan, dari petugas
kepada warga pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya dan
antar sesame pondok pesantren dalam rangka meningkatkan
perilaku hidup sehat.
2) Sebagai wadah untuk mendekatkan pelayanan kesehatan dasar
kepada warga pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya.
3) Sebagai wadah pembelajaran tentang nilai dan ajaran agama Islam
dalam menghadapi permasalahan kesehatan (Kemenkes, 2013).

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


23

c. Manfaat Poskestren
1) Bagi pondok pesantren
• Tersedianya layanan dan akses kesehatan dasar.
• Penyebaran informasi kesehatan.
• Pengembangan dan perluasan kerja saran pondok pesantren
dengan instansi terkait.
• Terpeliharanya sarana sanitasi lingkungan.
2) Bagi Warga Pondok Pesantren dan Masyarakat Sekitarnya
• Memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi.
pengetahuan dan pelayanan kesehatan dasar.
• Memperoleh bantuan secara professional dalam pemecahan
masalah kesebatan.
• Mendapat infomasi awal tentang kesehatan.
• Dapat mewujudkan kondisi kesehatan yang lebih baik bagi
warga pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya.
3) Bagi Kader Poskestren
• Mendapatkan informasi lebih awal tentang kesehatan.
• Dapat mewujudkan aktualisasi dirinya untuk membantu warga
pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya dalam
menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di lingkungannya.
4) Bagi Puskesmas
• Dapat mengoptimalkan fungsi puskesmas sebagai pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat
pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan kesehatan strata
pertama.
• Dapat memfasilitasi warga pondok pesantren dan masyarakat
sekitarnya dalam pemecahan masalah kesehatan sesuai kondisi
setempat.
• Meningkatkan efisiensi waktu, tenaga dan dana melalui
pemberian pelayanan kesehatan secara terpadu

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


24

5) Bagi Sektor Lain


• Dapat memfasilitasi warga pondok pesantren dan masyarakat
sekitarnya dalam pemecahan masalah sektor terkait.
• Meningkatkan efisiensi melalui pemberian pelayanan secara
terpadu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
sektor (Kemenkes, 2013).
d. Kegiatan Poskestren
Pelayanan yang disediakan oleh poskestren adalaha pelayanan
kesehatan dasar, yang meliputi promotif,preventif, rehabilitative dan
kuratif (Kemenkes, 2013). Pelayanan tersebut diatas secara rinci
sebagai berikut :
1) Upaya Promotif, antara lain:
• konseling kesehatan;
• penyuluhan kesehatan, antara lain: PHBS, penyehatan
lingkungan, gizi, kesehatan reproduksi, kesehatan jiwa dan
NAPZA, penyakit menular dan tidak menular, serta TOGA;
• olahraga teratur; dan
• lomba lingkungan bersih dan sehat, mading, poster
2) Upaya Preventif, antara lain:
• pemeriksaan kesehatan berkala;
• penjaringan kesehatan santri;
• imunisasi;
• kesehatan lingkungan dan kebersihan diri;
• pemberantasan nyamuk dan sarangnya;
• penyediaan dan pemanfaatan air bersih ;
• deteksi dini gangguan jiwa dan NAPZA
3) Upaya Kuratif
Upaya kuratif d apat dilak ukan oleh Poskestren dalam bentuk
merujuk ke fas ilitas pelayanan kesehatan terdekat atau kunjungan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dari puskesmas . Selain itu
upaya kuratif yang dapat dilakukan oleh Poskestren antara lain

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


25

melakukan pertolongan pertama pada penyakit ringan dan


menyediakan kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan)
4) Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif dilakukan oleh Poskestren untuk menindak
lanjuti penanganan pasien pasca perawatan di puskesmas/ rumah
sakit
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudin dan Arifin di pesantren salafi di
Sukabumi, didapatkan hasil bahwa poskestren dalam sosialisasi sanitasi
dan lingkungan berkaitan dengan inovasi, waktu, saluran dan sistem
sosial memberikan perubahan perilaku santri untuk menjaga kesehatan
dan kebersihan lingkungan sekitar.

2.4 Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan merupakan upaya individu dalam pemeliharaan,
pemulihan dan peningkatan kesehatan. (Sharma, M & Romas, J.A, 2012)
Perilaku kesehatan mengacu pada tindakan individu, kelompok dan
organisasi serta faktor penentu yang berkorelasi dan konsekuensi termasuk
didalamnya perubahan sosial, pengembangan kebijakan dan pelaksanaan,
meningkatkan keterampilan dan kualitas hidup. (Parkerson et al, 1993 dalam
Glanz 2008)
Kategori perilaku kesehatan menurut Kasl dan Cobb dalam Glanz (2008)
berdasarkan 3 kategori :
a. Perilaku kesehatan preventif : tindakan yang dilakukan oleh individu yang
percaya pada dirinya sendiri untuk sehat dan bisa mencegah penyakit
b. Perilaku sakit : tindakan yang dilakukan oleh individu yang menganggap
dirinya sakit dalam menentukan keadaan kesehatannya dan menemukan
pengobatan yang tepat
c. Perilaku sick-role : tindakan yang dilakukan oleh individu merasa dirinya
sakit, untuk mendapatkan pengobatan dari ahli terapi atau pelayanan kesehatan
yang tepat.
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan adalah suatu
respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


26

dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman
serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah tindakan atau usaha-usaha seseorang
untuk menjaga serta meningkatkannya kesehatannya agar terhindar dari
penyakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3
aspek:
1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit serta
pemulihan kesehatan bila telah sembuh dari penyakit
2) Perilaku peningkatan kesehatan apabila seseorang dalam keadaan sehat
3) Perilaku gizi (makanan) dan minuman
b. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan
atau perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Tindakan atau
perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari
pengobatan keluar negeri
c. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang (organisme)
merespons lingkungan terhadap stimulus yang diterima, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi
kesehatannya. Misalnya, bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum,
tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah dan sebagainya.
2.4.1 Perilaku Pencegahan
Leavels dan Clark dalam Romauli et al (2009) mendefinisikan pencegahan
adalah segala kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
dilakukan untuk mencegah masalah kesehatan atau penyakit. Pencegahan
penyakit atau masalah kesehatan berkaitan dengan perilaku.
Five level of prevention dari leavels dan Clark dalam Notoatmodjo (2010)
yakni :
a. Promosi Kesehatan (health promotion)
b. Perlindungan Khusus (specific protection)

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


27

c. Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt


treatment)
d. Membatasi atau mengurangi kecacatan (disability limitation)
e. Pemulihan (rehabilitatation)
Pencegahan penyakit atau masalah kesehatan sesungguhnya berada pada
prepatogenesis yakni : promosi kesehatan dan perlindungan khusus.
Pendidikan kesehatan, faktor genetik atau lingkungan yang mungkin
berpengaruh terhadap penyakit merupakan bagian dari promosi kesehatan.
Perlindungan khusus contohnya imunisasi dan vaksin Pencegahan
sekunder bisa terjadi pada periode awal dan patogenensis yakni, diagnose
dini dan pengobatan segera. Periode selanjutnya kontrol penyakit yaitu
untuk membatasi atau mengurangi kecacatan dan pemulihan yakni,
tindakan pencegahan akibat komplikasi penyakit yang bisa diminimalkan.
2.4.2 MODEL : PRECEDE-PROCEED
Preced-proceed adalah model perencanaan yang digunakan untuk berbagai
masalah kesehatan. Kerangka model ini dikembangkan oleh Green (1974).
Dalam kerangka ini perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor individu
dan faktor lingkungan. PRECEDE (Predisposing, Enabling, Reinforcing
Causes In Educational Diagnosis ann Evaluation) merupakan serangkaian
perencanaan yang menghasilkan informasi sabagai dasar dalam
pengambilan keputusan berikutnya. Fase-fase yang masuk dalam
PRECEDE adalah : social assessment, epidemiologic assessment,
behaviorl and environmental assessment, educational and ecological
assessment, dan administrative policy assessment (Glanz, 2008).
PROCEED (Policy, Regulatory, and Organizational Constructs in
Educational and Environmental Developmen) merupakan tahap
implementasi berdasarkan penilaian tahap di awal (PRECEDE). Fase-fase
yang masuk dalam komponen ini adalah : implementation, process
evaluation, impact evaluation dan outcome evaluation (Glanz, 2008).
Menurut Green dan Kreuter dalam Glanz, et al (2008), fakto-faktor yang
dapat mempengaruhi perilaku yang merupakan bagian dari kerangka
PRECEDE yaitu :

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


28

a. Faktor predisposisi (Predisposing Factors), yaitu dasar terhadap


perubahan perilaku, yang memberikan alasan dan motivasi untuk
berperilaku, seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan
karakteristik demografi seperti umur dan jenis kelamin.
b. Faktor penguat (Reinforcing Factors), reward atau insentif yang
menjamin keberlangsungan perilaku seperti : dukungan keluarga,
dukungan guru, dukungan petugas kesehatan dan peraturan
c. Faktor pemungkin (Enabling Factors), yaitu keterampilan dan
sumberdaya untuk berperilaku seperti fasilitas pelayanan kesehatan dan
ketersediaan sarana dan prasarana

Gambar 2.1 Model PRECEDE-PROCEED


Sumber : Glanz et al (2008), Health Behaviour and Health Education p; 410

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


29

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan TB


a. Umur
Umur merupakan faktor resiko individu terjadinya TB selain jenis
kelamin. Di Jambi, Responden yang berumur 15-30 tahun, memiliki
perilaku pencegahan TB yang buruk dibanding responden yang berumur
31-60 tahun (Indra, 2007). Hasil penelitian fitriani (2014) di Brebes ada
hubungan antara umur dengan kejadian TB (Fitriani, 2013). Berdasarkan
data riskesdas 2010, kelompok umur usia produktif (15-34) tahun
memiliki resiko terkena TB lebih tinggi dibanding kelompok umur 55-74
tahun dan ada hubungan bermakna antara umur dengan kejadian TB di
Indonesia (Fitriani, 2013).
b. Jenis kelamin
Jenis Kelamin merupakan faktor resiko individu dalam terjadinya TB.
Kasus BTA+ (Kementerian Kesehatan, 2016a). Prevalensi TB di dunia
pada laki-laki lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan perempuan
(World Health Organization, 2016). Di Cina, wanita lebih memilih untuk
mencari sendiri informasi tentang TB dibandingkan laki-laki. Sebaliknya
setelah terjadi gejala batuk berkepanjangan perempuan akan segera
melakukan pencarian perawatan kesehatan dibandingkan laki-laki
(Wang, Fei, Shen, & Xu, 2008). Di Taiwan pada studi observasional
prospektif (tahun 2007-2009) di 6 rumah sakit, perbandingan prevalensi
TB pada laki-laki 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan perempuan
(Feng et al., 2012). Penelitian Rokhmah tahun 2013 di rumah sakit
Jember, penemuan pasien TB perempuan lebih tinggi dari laki-laki akan
tetapi sebaliknya terjadi pada diagnosa BTA+ dan pengobatan laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan (Rokhmah, 2013). Hasil penelitian
Dotulang di Wori Sumatra Utara (2015), terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkolosis (Dotulong,
Sapulete, & Kandou, 2015). Hasil penelitian Indra tahun 2007 di Jambi,
bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan memiliki perilaku
pencegahan TB lebih tinggi dari pada responden laki-laki. Namun, di

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


30

Naorobi (Kenya) perilaku pencegahan TB lebih tinggi responden laki-


laki dibandingkan dengan responden perempuan (Mohamud. F, 2014)
c. Status Ekonomi
Status ekonomi ekonomi merupakan faktor individu terjadinya TB serta
berhubungan dengan pekerjaan dan pendapatan atau pengeluaran
keluarga. Hasil penelitian Mohamud. F (2014) di Naorobi Negara Kenya,
responden yang bekerja memiliki perilaku pencegahan TB lebih baik
dibandingkan dengan responden yang tidak bekerja. Penelitian Rukmini
(2011) berdasarkan data riskesdas, penderita TB adalah sebagian besar
yang berpengeluaran rendah. Penelitian. Di Wonogiri, ada hubungan
status ekonomi dengan kejadian TB paru (Kurniasari et al., 2012)
d. Pendidikan
Penelitian Tobing tahun 2009 di Medan, didapatkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pencegahan
potensi penularan TB paru (Tobing, 2009)
e. Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian Sulistiyana dan Susanti di Cirebon (2017)
pada keluarga pasien TB, terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan keluarga pasien TB dengan upaya pencegahan TB. Hal ini
menunjukan semakin tinggi pengetahuan keluarga pasien TB maka akan
semakin baik pula upaya yang akan dilakukan dalam pencegahan TB
(Sulistiyana & Susanti, 2017). Sementara itu di kota Shinile Ethiopia,
sebagian besar masyarakat mengetahui pengetahuan dasar tentang TB,
yakni gejala, cara penularannya dan tindakan pencegahannya.
Pengetahuan dasar masyarakat tentang TB yang tinggi berimplikasi
dalam pengendalian TB didaerah tertentu dimana hal ini bisa mengurangi
diagnosis, keterlambatan pengobatan dan penyebaran penyakit (Tolossa
et al., 2014). Hasil penelitian Hamidi (2010) di Salatiga, menunjukan
bahwa anak dengan ibu yang berpengetahuan rendah tentang pencegahan
penyakit TB beresiko 8 kali untuk terkena TB paru dibandingkan anak
dengan ibu yang memiliki pengetahuan yang tinggi.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


31

f. Sikap
Sikap merupakan bagian dari perilaku yang berperan dalam faktor resiko
TB. Hasil penelitian Hamidi di Salatiga (2010) didapatkan anak yang
mempunyai ibu dengan sikap negatif terhadap pencegahan TB beresiko
13 kali terkena TB dibandingkan anak yang memiliki ibu bersikap
positif. Sikap TB juga menghasilkan stigma yang negatif di Kroasia
dimana orang yang berpendidikan tinggi 2 kali merasa lebih malu
menderita TB dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah.
Selain itu sebanyak 39.9% masyarakat merasa tidak nyaman apabila
berada dekat dengan pasien TB (Jurcev-Savicević, 2011). Penelitian
Fibriana di Gresik tahun 2011 menunjukan sikap keluarga tentang
pencegahan TB sebagian besar negatif dan ada hubungan antara sikap
dengan perilaku keluarga tentang pencegahan penyakit TB (Fibriana,
2011).

2.6 Kerangka Teori Penelitian


Menuruti kerangka Green perilaku pencegahan TB di pondok pesantren
Garut dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, jenis kelamin,
umur dan status ekonomi), faktor penguat (dukungan keluarga, dukungan
guru/ustadz, sangsi/peraturan di pesantren dan peran petugas kesehatan) serta
faktor pemungkin (fasilitas di poskestren). Selain itu faktor lingkungan yang
mempengaruhi perilaku pencegahan TB adalah kepadatan hunian, ventilasi
ruangan dan pencahayaan di pesantren.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


32

Faktor predisposisi :
- Umur
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Status ekonomi
- Pengetahuan
- Sikap
-

Faktor penguat :
- Dukungan keluarga
Pemberdayaan - Dukungan guru/ustadz Perilaku Pencegahan TB
Santri - Peran petugas kesehatan
- Sangsi/peraturan dari
pesantren
-

Lingkungan :
Faktor pemungkin : - Kepadatan hunian di
- Fasilitas di poskestren pesantren
- Ventilasi ruangan
- pencahayaan

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Pada penelitian ini kerangka konsep berdasarkan kajian teori dan literatur
yang mengacu pada model Green, kerangka konsep disesuaikan dengan
ketersediaan data yang ada dan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh
pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku santri dalam pencegahan TB.
variabel-variabel lain pada kerangka teori Green dan beberapa hasil penelitian
dianggap sebagai variabel perancu yang mempengaruhi pemberdayaan santri
kader TB terhadap perilaku pencegahan. Adapun variabel perancu yang akan di
teliti adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi, pengetahuan
tentang TB dan sikap terhadap TB.

Variabel Independen Variabel Dependent

Pemberdayaan santri kader TB Perilaku pencegahan TB

1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan
4. Status ekonomi
5. Pengetahuan tentang TB
6. Sikap terhadap TB
Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

33 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


34

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

NO Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1 Perilaku Pernyataan santri yang disampaikan terkait Kuesioner, wawancara Skor Perilaku Interval
pencegahan TB tindakan santri agar tidak tertular dan (pertanyaan no b6, (bivariat)
menularkan TB meliputi membersihkan b7, b8, b9, b10,
kamar, etika batuk dan cara membuang b11, b12,) 0= Perilaku buruk apabila Ordinal
dahak. jawaban < median (multivariat)
1= Perilaku baik apabila
jawaban ≥ median
Variabel Independen
Pemberdayaan Status pondok pesantren terkait ada Kuisioner wawancara 0 = tidak Ordinal
santri kader TB tidaknya santri yang dilatih menjadi kader (pertanyaan no p2) 1 = ya
TB di pesantren.
Variable Perancu
1 Pengetahuan pernyataan santri tentang TB meliputi Kuesioner wawancara 0 = pengetahuan rendah Ordinal
penyebab dan gejala TB (pertanyaan no apabila skor < 70%
b1:a,b,c,d,e,f,g,h,i,j 1= pengetahuan tinggi
dan Apabila skor ≥ 70%
b2:a,b,c,d,e,f,g,h,i)
(Arikunto, 2006)
2 Sikap Perilaku tertutup santri terhadap TB Kuesioner wawancara 0 = negatif Ordinal
meliputi kekhawatiran tertular TB, (pertanyaan no b3, (jawaban ≥ median)
menganjurkan berobat ke fasilitas b4, b5) 1 = positif
kesehatan dan merahasiakan penderita. (jawaban < median)

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


35

NO Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
3 Jenis kelamin Pernyataan santri sebagai laki-laki atau Kuisioner observasi 0=Laki-laki Nominal
perempuan (pertanyaan no p5) 1=Perempuan

4 Umur Pernyataan santri berdasarkan ulang tahun Kuisioner wawancara 0 = ≥ 15 tahun Ordinal
terakhir. ( pertanyaan no a2) 1 = < 15 tahun

Berdasarkan usia produktif


(Kemenkes, 2011)
Pendidikan Pernyataan santri tentang tentang Kuisioner wawancara 0 = rendah Ordinal
pendidikan formal terakhir yang telah ( pertanyaan no a4) (tidak tamat SD, Tamat SD,
ditamatkan dan mendapatkan ijazah Tamat SMP)
1= tinggi
(tamat SMA/perguruan
tinggi)

5. Status Ekonomi Pernyataan santri mengenai kondisi Kuesioner, Wawancara 0 = kaya Ordinal
kelayakan kehidupan keluarga santri yang (pertanyaan no c1, 1 = menengah
digambarkan dalam kepemilikan pakaian di c2, c3, c4, c5, c6) 2= miskin
dalam keluarga, jenis lantai rumah,
kepemilikan barang elektronik, alat analisis Principle
transportasi, dan ternak serta status Component Analyisis
kepemilikan rumah (PCA)
(Rutstein & Johnson, 2004)

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


36

3.3 Hipotesis
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh
pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku pencegahan TB santri setelah
dikontrol oleh pengetahuan dan sikap tentang TB, umur, jenis kelamin dan status
ekonomi.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Studi yang dilakukan merupakan analisis lanjut data yang diperoleh dari
hasil penelitian Surahman, mengenai pemberdayaan santri kader TB terhadap
aksesibilitas layanan TB di fasilitas kesehatan pada tahun 2016. Analisis lanjut
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan santri terhadap perilaku
pencegahan santri di pondok pesantren Kabupaten Garut. Desain yang digunakan
pada analisis ini adalah kuasi eksperimen non equivalent control group design
Skema dasar rancangan penelitian eksperimen yang digunakan adalah sebagai
berikut :

O1 X O2 (Kelompok Intervensi) ∆1= O2- O1

O3 O4 (Kelompok Kontrol) ∆2= O4- O3


Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

Keterangan Gambar :
O1 : Perilaku pencegahan TB sebelum Intervensi pada pada kelompok intervensi.
O2 : Perilaku pencegahan TB sesudah intervensi pada kelompok intervensi.
O3 : Pengukuran pertama perilaku pencegahan TB pada pada kelompok kontrol.
O4 : Pengukuran kedua perilaku pencegahan TB pada pada kelompok kontrol.
X : Perlakuan intervensi berupa pemberdayaan santri sebagai kader TB dengan
melakukan kegiatan berupa : Penyuluhan, penjaringan suspek TB,
melaksanakan rujukan suspek ke fasilitas layanan kesehatan dan PMO.
∆1 : Perbedaan perilaku pencegahan TB sebelum dan setelah intervensi pada
kelompok intervensi.

37 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


38

∆2 : perbedaan perilaku pencegahan TB pada pengukuran pertama dan pada


pengukuran ke dua.

4.2 Waktu Penelitian


Analisis lanjut dilakukan pada bulan Mei 2016. Penelitian Pemberdayaan
Santri Sebagai Agen Perubah di Pondok Pesantren Kabupaten Garut Jawa Barat
Tahun 2016 yang dilakukan sebagai sumber data dalam penelitian ini dilakukan
selama 8 bulan (Februari hingga Oktober 2016).

4.3 Sumber dan Pengumpulan Data Penelitian


Sumber data pada analisis lanjut ini adalah data sekunder dari hasil
penelitian Surahman, mengenai pemberdayaan santri kader TB terhadap
aksesibilitas layanan TB di fasilitas kesehatan pada tahun 2016. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik wawancara kepada santri dengan menggunakan
kuisioner untuk mendapatkan data umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir,
pengetahuan tentang TB, sikap terhadap TB, perilaku pencegahan TB, serta status
ekonomi. Metode pengisian kuisioner dilakukan oleh 7 orang enumerator yang
berasal dari alumni Sekolah Tinggi Kesehatan (StiKes) Garut yang sebelumnya
telah mengikuti pelatihan selama 2 hari. Penelitian berlangsung selama bulan
Februari sampai Oktober 2016.
Pengumpulan data dilakukan sebanyak 2 kali yakni pengumpulan data awal
(baseline) pada bulan Februari di 3 pondok pesantren intervensi yang berjumlah
230 santri dan 3 pondok pesantren kontrol yang berjumlah 230 santri. Selanjutnya
dilakukan intervensi selama 6 bulan yakni bulan Februari sampai dengan Agustus
2016 pada santri di 3 pondok pesantren intervensi. Pengumpulan data akhir
(endline) dilakukan 2 bulan setelah intervensi yakni pada bulan Oktober 2016
pada santri di 3 pondok pesantren intervensi dan santri di 3 pondok pesantren
kontrol. Sebelum data dikumpulkan terlebih dahulu dilakukan uji coba kuisioner
yang dilakukan di pondok pesantren yang berbeda tapi dalam kecamatan yang
sama.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


39

4.4 Intervensi pemberdayaan Santri Kader TB


Pemilihan santri sebagai kader TB dilakukan melalui proses perekrutan
terbuka bagi seluruh santri pondok pesantren. Santri kemudian dilatih tentang TB
mengenai materi, praktek dan pembahasan program penanggulangan TB nasional
di daerah, peran komunitas dalam penanggulangan TB dan program
penanggulangan TB berbasis masyarakat yang dilakukan selama 3 hari. Jumlah
santri yang berperan sebagai kader TB di pondok pesantren sebanyak 30 orang
yang dihitung berdasarkan kebutuhan pelaksanaan intervensi. Tenaga fasilitator
dalam pelatihan santri kader TB yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Aisyiyah Kabupaten Garut dan Dinas Kesehatan kabupaten Garut. Pelaksanaan
kegiatan Intervensi berlangsung selama 6 bulan mulai bulan Februari sampai
dengan Agustus 2016. Kader santri tersebut kemudian melakukan kegiatan
intervensi santri kader TB meliputi :
1) Penyampaian informasi/penyuluhan tentang TB
Materi yang disampaikan meliputi : pengertian umum dan penyebab TB, gejala
dan tanda TB, cara penularan TB, resiko terkena TB, cara pencegahan, cara
mengetahui seseorang terkena TB, resiko dan efek samping OAT, peran PMO
dan gaya hidup sehat tanpa TB. Media yang digunakan berupa modul, lembar
balik dan leaflet. Dilakukan selama 45 menit, minimal 1 minggu sekali
sasarannya adalah santri pondok pesantren. Kegiatan ini dilaksanakan selama 6
bulan.
2) Kunjungan ke asrama/kamar
Media yang digunakan berupa log book, dilakukan sekitar 10-15 menit,
minimal 2 kali seminggu pada setiap asrama. Sasarannya adalah santri pondok
pesantren tujuannya untuk menjaring santri suspek TB berdasarkan tanda dan
gejala TB selama 6 bulan.
3) Melaksanakan rujukan
Media yang digunakan berupa kartu rujukan, dilakukan selama 6 bulan kepada
setiap santri yang terdeteksi gejala TB.
4) Pengawas Minum Obat (PMO) media yang digunakan adalah formulir TB 01,
dilakukan selama 6 bulan, frekuensinya 1 minggu sekali selama masa intensif
dan lanjutan kepada setiap santri yang positif TB.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


40

4.5 Populasi dan Sampel


Populasi pada penelitian Pemberdayaan Santri Sebagai Agen Perubah di
Pondok Pesantren Kabupaten Garut Jawa Barat Tahun 2016 adalah seluruh santri
yang berada di Kecamatan Limbangan Kabupaten Garut. Pemilihan pondok
pesantren intervensi dan kontrol masing-masing sebanyak 3 pondok pesantren
dilakukan secara purposive dengan pertimbangan : secara administratif kelompok
intervensi maupun kontrol berada di Kecamatan Limbangan, yang merupakan
Kecamatan tertinggi dalam penemuan kasus baru (CDR) dalam 2 tahun terakhir di
Kabupaten Garut. Semua pesantren di Kecamatan tersebut termasuk dalam
klasifikasi pondok pesantren Salafiah (tradisional) dan Khalafiah (modern), dan
merupakan kecamatan dengan jumlah pondok pesantren terbanyak, serta daerah
dengan temuan kasus TB aktif terbanyak pada pesantren intervensi maupun
kontrol.
Pada analisis lanjut, populasi penelitian adalah seluruh santri yang berada di
Kecamatan Limbangan Kabupaten Garut yang menjadi responden penelitian
Pemberdayaan Santri Sebagai Agen Perubah di Pondok Pesantren Kabupaten
Garut Jawa Barat Tahun 2016 oleh Surahman. Besar sampel dihitung dihitung
berdasarkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda proporsi dari Lemeshow
dengan rumus dan hasil penelitian sebagai berikut :

(
n = Z1 – √2[P(1-P)] + Z1- √(1-P1) + P2 (1-P2))
2
x Deff
X deff
(P1-P2)2
Keterangan:
n : Jumlah sampel yang dibutuhkan.
Z1-α : Nilai skor pada interval kepercayaan 95%, besarnya 1,96.
Z1-β : Kekuatan uji = 90%, besarnya 1,645.
P1 : Proporsi perilaku pencegahan TB sebelum intervensi = 0,5
(Tobing, 2009).
P2 : Proporsi perilaku pencegahan TB sesudah intervensi = 0,75
Deff : design effect = 2.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


41

Berdasarkan penghitungan sampel diatas diperoleh n sampel 79 untuk setiap


kelompok sehingga jumlah sampel adalah 158 dengan design effect adalah 2.
Selanjutnya untuk mengantisipasi terjadinya drop out jumlah sampel ditambah
10% sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 174 santri untuk kelompok
intervensi dan 174 santri untuk kelompok kontrol atau sampel secara keseluruhan
sebanyak 348 santri. Jumlah sampel pada penelitian Surahman adalah 230 pada
masing-masing kelompok atau 460 santri dan akan digunakan seluruhnya pada
penelitian ini yang merupakan analisis lanjut dari penelitian tersebut.
Kriteria Inklusi dalam analisis lanjut adalah santri yang tinggal dan menetap
selama penelitian, menginap atau tinggal di pesantren dan bersedia menjadi
responden dari awal sampai selesai pengumpulan data. Kriteria ekslusi adalah
santri yang menderita TB.

4.6 Manajemen Pengolahan Data Penelitian


Data sekunder diperoleh dari hasil penelitian Surahman yang dilakukan
pada tahun 2016, akan diolah melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan Data
Data diperiksa berdasarkan kelengkapan, kejelasan, dan kesesuaian dengan
variabel yang akan diteliti kemudian responden diseleksi berdasarkan kriteria
inklusi yang telah ditetapkan.
2) Koding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf. Data diberi skor untuk
dilakukan pengkodingan ulang sesuai dengan kebutuhan analisis sehingga
mempermudah dalam pelaksanaan analisis data.
3) Pembersihan Data
Data dipastikan telah lengkap dan benar-benar bersih dari kesalahan. Jika
satu responden banyak kesalahan (10%), maka data responden tersebut akan
dikeluarkan dari analisis. Namun apabila satu responden kesalahannya <10%
maka data tersebut akan tetap di masukan dalam analisis.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


42

4) Skoring
Setelah dilakukan pembersihan data, maka dilakukan scoring pada variabel
independen yakni perilaku pencegahan dan beberapa variabel perancu yakni
pengetahuan, sikap dan status ekonomi.
a. Skor perilaku pencegahan
Perilaku pencegahan santri diukur menggunakan kuisioner b6-b12, skor 1
jika jawaban spontan atau benar dan skor 0 jika jawaban salah atau tidak
tahu. Total skor perilaku pencegahan dengan menjumlahkan jawaban ya.
Karena distribusi data tidak normal maka menggunakan cut off poin
median (4). Jika jawaban < 4 maka dikategorikan perilaku pencegahan
buruk dan jika ≥ 4 maka perilaku pencegahan dikategorikan baik
b. Skor Pengetahuan
Pengetahuan santri diukur menggunakan kuisioner b1 (a-j) b2(a-i), skor 1
jika jawaban spontan atau benar dan skor 0 jika jawaban salah atau tidak
tahu. Totar skor pengetahuan dengan menjumlahkan skor jawaban ya.
Jika skor < 70% maka pengetahuan dikategorikan rendah dan jika skor ≥
maka pengetahuan dikategorikan tinggi.
c. Skor Sikap
Sikap santri diukur menggunakan kuisioner 63-b5. Skor 1 jika jawaban
benar dan skor 0 jika menjawab salah atau tidak tahu. Total skor sikap
dengan menjumlahkan jawaban ya. Karena distribusi data tidak normal
maka menggunakan cut off poin median (3). Jika jawaban < 3 maka
dikategorikan sikap negatif terhadap TB dan jika jawaban ≥ maka
dikategorikan sikap positif.
d. Skor Status ekonomi
Status ekonomi menggunakan analisis (Principle Component Analyisis
(PCA) yakni skoring indeks untuk kepemilikan barang rumah tangga.
Skor yang dihasilkan dikelompokan berdasarkan kuantil masing-masing
20%. Hasil akhir didapatkan lima kelompok yaitu sangat miskin, miskin,
menengah, kaya dan sangat kaya. Dari lima kuantil ini dikelompokan lagi
menjadi 3 yakni, (sangat miskin dan miskin) miskin, menengah dan kaya
(sangat kaya menjadi kaya).

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


43

4.7 Analisis Data


Pada dasarnya, analisis data dilakukan untuk membuktikan kebenaran
hipotesis yang dibuat. Sehingga tujuan penelitian untuk mengetahui dampak
pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku pencegahan TB di Pondok
pesantren Garut dapat diketahui.
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dipergunakan untuk melihat deskripsi dari masing-
masing variabel penelitian yang diukur. Hasil analisis univariat
ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dengan ukuran proporsi atau
presentase pada variabel kategorik. Pada variabel numerik akan
ditampilkan dalam bentuk distribusi ukuran tengah dan sebarannya
(Hastono, 2016).
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dipergunakan untuk melihat pengaruh pemberdayaan
santri kader TB terhadap perilaku pencegahan TB. Dilakukan uji wilcoxon
dengan cara melihat perbedaan skor perilaku pencegahan TB sebelum dan
setelah intervensi pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Dan uji manwhitney untuk melihat perbandingan perilaku pencegahan
pada kelompon intervensi dan kelompok kontrol.
4.7.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat dipergunakan untuk melihat/mengetahui pengaruh
pemberdayaan santri kader TB terhadap perilaku pencegahan TB setelah
dikontrol oleh variabel perancu (umur, jenis kelamin, pendidikan, status
ekonomi, pengetahuan dan sikap) dan akan dilakukan uji regresi logistik
ganda karena regrasi linier ganda tidak dapat dilakukan mengingat
persyaratan tidak dapat dipenuhi. Untuk maksud tersebut maka variabel
perilaku pencegahan TB di kategorikan menjadi 2 yaitu perilaku baik dan
buruk dengan cut off poin median.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum dan Kependudukan Kabupaten Garut


5.1.1 Gambaran Umum Wilayah
Secara geografis Kabupaten Garut terletak di sebelah selatan Propinsi Jawa
Barat. Luas wilayah kabupaten Garut 3.065,19 Km2 yang terletak diantara
6° 56’49” - 7°45’00” Lintang Selatan dan 107°25’8” - 108°7’30” Bujur
Timur dengan batas wilayah sebagai berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Sumedang
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur
Secara administratif Kabupaten Garut terdiri dari 42 kecamatan yang
membawahi 421 desa dan 21 kelurahan. Kawasan Utara merupakan daerah
yang sebagian besar dataran rendah sedangkan kawasan Selatan daerah
bukit, pegunungan dan daerah pantai.
5.1.2 Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu
wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan dengan waktu
sebelumnya. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) berguna untuk
memperkirakan jumlah penduduk dimasa yang akan datang. Jumlah
penduduk Kabupaten Garut tahun 2015 adalah 2.548.723 jiwa dengan
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.284.817 jiwa (50,4%) dan jumlah
penduduk perempuan sebanyak 1.263.906 jiwa (49.6%). Analisa data
berdasarkan seks ratio di Kabupaten Garut tahun 2015 menunjukan angka
102 artinya bahwa setiap 100 orang perempuan terdapat 102 orang laki-laki.

44 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


45

5.2 Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan


Variabel perilaku pencegahan terdiri dari 8 pertanyaan dengan skor
minimal 0 dan skor maksimal adalah 7. Berikut ini distribusi santri menurut skor
perilaku pencegahan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok yang dapat
dilihat pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Distribusi Santri Menurut Skor Perilaku Pencegahan Sebelum dan
Sesudah Intervensi di Pondok Pesantren Garut, 2017
Intervensi Kontrol

Perilaku Pencegahan Mean SD Min– Mak Mean SD Min– Mak

- Pre intervensi 3,47 1,52 0-7 3,18 1,50 0-6


- Post intervensi 3,95 1,35 0-7 3,24 1,48 0-6

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui nilai rata-rata perilaku pencegahan dari 230
santri pada kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi sebesar 3,47
sedangkan setelah intervensi meningkat menjadi 3,95. Pada kelompok kontrol,
nilai rata-rata perilaku pencegahan sebelum diintervensi adalah 3,18 dan setelah
diintervensi menjadi 3,24. Perilaku pencegahan santri yang paling banyak
dilakukan sebelum intervensi adalah membersihkan kamar/kobong yakni 190
santri (82,6%) dan perilaku pencegahan yang paling sedikit dilakukan adalah
menutup mulut dan hidung apabila ada teman atau orang yang sedang menderita
batuk yakni sebesar 25 santri (10,9%). Setelah di intervensi, perilaku
membersihkan kamar/kobong mengalami peningkatan menjadi 196 santri (85,2%)
dan kebiasaan menutup mulut dan hidung apabila ada teman teman atau orang
yang menderita batuk secara proporsi meningkat menjadi 11,7% santri.
Pada kelompok kontrol perilaku pencegahan yang paling tinggi adalah
membersihkan kamar/kobong yakni sebesar 70,9% dan perilaku pencegahan yang
paling sedikit dilakukan adalah menutup mulut dan hidung apabila ada teman atau
orang yang sedang menderita batuk yakni sebesar 28 santri (12,2%).
Perilaku merokok merupakan faktor individu yang meningkatkan risiko
terinfeksi TB. Sebanyak 175 santri (38%) pernah merokok dan lebih dari separuh
(62%) adalah santri laki-laki. Sebanyak 111 santri (24%) masih merokok pada
saat penelitian berlangsung. 21 santri (12%) merokok paling banyak 1 batang
perharinya dan 2 santri (1,1%) merokok rata-rata perhari sebanyak 15 batang.
Santri mulai merokok paling banyak diumur 10 tahun yakni 38 santri (21,7%).

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


46

Hanya 1 orang santri (0,6%) yang mulai merokok pada umur 21 tahun. Perilaku
merokok sebelum dan sesudah dilakukan intervensi tidak menunjukan ada
peningkatan.
Tabel 5.2 Distribusi Santri Menurut Skor Pengetahuan dan sikap Sebelum
dan Sesudah Intervensi di Pondok Pesantren Garut, 2017

Intervensi Kontrol

Variabel Mean SD Min– Mak Mean SD Min– Mak

Pengetahuan santri
tentang TB
- Pre intervensi 9,53 3,26 1-19 9,86 3,26 0-3
- Post intervensi 11,25 2,99 3-19 9,67 2,72 0-3
Sikap santri
terhadap TB
- Pre intervensi 2,39 0,76 0-3 2,53 0,69 0-3
- Post intervensi 2,72 0,60 0-3 2,60 0,67 0-3

Pada tabel 5.2 diketahui nilai rata-rata pengetahuan santri tentang TB


sebelum di intervensi pada kelompok intervensi sebesar 9,53 sedangkan setelah
diintervensi meningkat menjadi 11,25. Pada kelompok kontrol, nilai rata-rata
pengetahuan santri 9,86 dan setelah diintervensi menjadi 9,67. sikap santri
terhadap TB pada kelompok intervensi dari 230 santri sebelum intervensi sebesar
2,39 sedangkan setelah intervensi meningkat menjadi 2,72. Pada kelompok
kontrol, sikap santri tentang TB sebesar 2,53 dan setelah diintervensi menjadi
2,600.
Pengetahuan santri tentang TB yang paling banyak diketahui sebelum
intervensi adalah penyakit TB bukan disebabkan oleh guna-guna yakni 153 santri
(66,5%) dan pengetahuan santri tentang TB yang paling sedikit diketahui adalah
keringat malam tanpa aktifitas merupakan gejala dan tanda penyakit TB yakni 74
santri (32,2%). Setelah di intervensi, pengetahuan santri mengenai penyakit TB
bukan disebabkan oleh guna-guna meningkat menjadi 154 santri (67,0%) dan
pengetahuan tentang TB mengenai keringat malam tanpa aktifitas merupakan
gejala dan tanda penyakit TB meningkat menjadi 151 santri (65,7%).
Pada sikap, menganjurkan penderita dengan gejala TB untuk berobat ke
fasilitas kesehatan merupakan sikap santri yang paling positif yakni 202 santri

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


47

(87,8%). Setelah di intervensi, menganjurkan penderita dengan gejala TB untuk


berobat ke fasilitas kesehatan mengalami peningkatan menjadi 217 santri (94,3%).
Pada kelompok kontrol pengetahuan yang paling tinggi adalah penyakit TB
bukan disebabkan oleh guna-guna yakni 173 santri (75,2%) dan pengetahuan
santri tentang TB yang paling sedikit diketahui adalah keringat malam tanpa
aktifitas merupakan gejala dan tanda penyakit TB yakni 82 santri (35,7%). Untuk
sikap terhadap TB yang paling positif adalah merasa khawatir untuk tertular
ketika dalam keluarga atau teman di pondok pesantren ada yang menderita gejala
dan tanda TB yakni 205 santri (89,1%)
Untuk kepentingan analisis selanjutnya variabel pengetahuan santri tentang
TB dan sikap santri terhadap TB dikategorikan menjadi 2 yakni pengetahuan
tinggi jika ≥70% benar dan rendah jika <70% benar serta sikap positif dan
negative, dengan menggunakan cut off poin median (3). Uji normalitas data
menggunakan kolmogorof smirnov dengan p-value=0,000 atau p-value <0,005
5.2.1 Gambaran Variabel Perancu
Variabel perancu dalam penelitian ini adalah, usia, jenis kelamin
pendidikan, status ekonomi, pengetahuan tentang TB dan sikap terhadap
TB. Berikut ini gambaran variabel perancu yang dapat dilihat pada tabel
5.3
Hasil penelitian diketahui rata – rata santri berusia 16 tahun, usia yang
paling muda 12 tahun (4,1%) dan paling tua berusia 27 tahun (0,2%) dan
lebih dari separuh santri (67%) berusia 15 tahun keatas. Jenis kelamin
santri sebagian besar (52%) adalah laki-laki, dan sebagian kecil (48%)
perempuan
.Lebih dari separuh (53%) santi berpendidikan tinggi (pendidikan di atas
SMP), diantaranya tamat SMP 196 santri (42,6%) tamat SMA 47 santri
(10,2%) dan tamat dari perguruan tinggi 1 santri (0,2%). Pada 216 santri
yang berpendidikan rendah (47%), diantaranya tidak tamat SD 4 santri
(0,9%) dan tamat SD 212 santri (46,1%). Mengenai status ekonomi,
proporsi santri sama banyak antara yang miskin, menengah dan miskin.
Paling banyak pada status ekonomi miskin yaitu 158 santri (34%),

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


48

sedangkan untuk status ekonomi menengah dan kaya masing-masing 155


santri (34%) dan 147 (32%).
Tabel 5.3 Distribusi Santri Menurut Variabel Perancu (Jenis Kelamin,
Usia, Pendidikan, Status Ekonomi, Pengetahuan tentang TB dan
Sikap terhadap TB) di Pondok Pesantren Garut, 2017

Variabel n %

Usia
- < 15 Tahun 152 33
- ≥ 15 Tahun 308 67
Jenis Kelamin
- Laki-laki 239 52
- Perempuan 221 48
Pendidikan
- Rendah 216 47
- Tinggi 244 53
Status ekonomi
- Miskin 158 34
- Menengah 155 34
- Kaya 147 32
Pengetahuan tentang TB
- Rendah 380 83
- Tinggi 80 17
Sikap terhadap TB
- Negatif 192 42
- Positif 268 58

Penelitian mengenai pengetahuan santri tentang TB diukur dengan 2


pertanyaan. Pertanyaan pertama mengenai penyebab TB terdiri dari 10 sub
pertanyaan dan pertanyaan ke 2 mengenai gejala dan tanda penyakit TB
terdiri dari 9 sub pertanyaan. Hasil penelitian ini menemukan terdapat
perbedaan pengetahuan tentang TB yang cukup tinggi antar santri, yakni
santri yang berpengetahuan rendah sebesar 380 santri (83%) sedangkan
yang berpengetahuan tinggi yakni 80 santri (17%). Sebagian besar santri
(83,7%) mengetahui batuk darah merupaka tanda dan gejala penyakit TB,
namun hanya 178 santri (38,7%) yang mengetahui demam/meriang
merupakan tanda dan gejala penyakit TB.
Sikap santri terhadap TB diukur dengan 3 pertanyaan. Sebagian besar
santri (92%) bersikap khawatir untuk tertular jika ada temana atau
keluarag di pondok pesantren yang menderita TB. Namun masih ada 79

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


49

santri (17,2%) yang memilih untuk merahasiakan apabila ada keluarga


atau teman di pondok pesantren yang menderita gejala dan tanda TB.

5.3 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku


Pencegahan TB
Pemberdayaan santri kader TB merupakan bentuk intervensi yang
dilakukan pada penelitian ini. Pengaruh pemberdayaan santri kader TB terhadap
perilaku pencegahan TB dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5.4 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku
Pencegahan TB pada Kelompok Intervensi

Variabel n Mean selisih mean nilai p

Perilaku Pencegahan pada


kelompok intervensi
- Pre intervensi 230 3,47 0,45 0,000
- Post intervensi 230 3,95

Hasil analisis dengan menggunakan wilcoxon test menunjukan dari 230


santri yang melakukan perilaku pencegahan terlihat bahwa nilai rata-rata santri
sebelum intervensi adalah 3,47 dan setelah dilakukan intervensi diperoleh
peningkatan nilai rata-rata perilaku pencegahan menjadi 3,95. Secara statistik ada
perbedaan yang signifikan antara rata-rata perilaku pencegahan santri sebelum dan
sesudah intervensi dengan p-value = 0,000 atau p-value <0,05.

Tabel 5.5 Perbedaan Perilaku Pencegahan TB pada Kelompok Intervensi


dan Kelompok Kontrol

Variabel n mean selisih mean nilai p

Selisih Perilaku Pencegahan


- intervensi 230 0,47 0,42 0,000
- kontrol 230 0,05

Hasil analisis dengan menggunakan mann-whitney test menunjukan dari


230 santri yang melakukan perilaku pencegahan terlihat bahwa selisih nilai rata-
rata perilaku santri pada kelompok intervensi adalah 0,47 dan selisih nilai rata-rata
pada kelompok kontrol adalah 0,05. Sehingga ada perbedaan nilai rata-rata
perilaku pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebesar 0,42. Secara

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


50

statistik perbedaan tersebut signifikan (p=0,000). Untuk kepentingan analisis


selanjutnya perilaku pencegahan dikategorikan menjadi 2 yakni perilaku
pencegahan buruk dan perilaku pencegahan baik, dengan menggunakan cut off
poin median (4) karena data tidak berdistribusi normal.

5.4 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku


Pencegahan Setelah Dikontrol Variabel Perancu
Setelah dilakukan analisis bivariat, selanjutnya dilakukan analisis
multivariat. Analisis yang digunakan yakni regresi logistik ganda model faktor
resiko. Pemodelan ini memasukan variabel independent dan seluruh variabel
perancu yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independent
dengan variabel dependent setelah dikontrol dengan varaibel perancu .
5.4.1 Hierarchically Well Formulated (HWF) Model
Pembuatan HWF memasukan semua variabel perancu dan interaksi
kedalam model. Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara
variabel independent dengan variabel perancu dan variabel perancu pada
hubungan variabel independent (pemberdayaan santri kader TB) dengan variabel
dependent (perilaku pencegahan TB). Variabel awal yang dianggap berinteraksi
dengan pemberdayaan santri yakni jenis kelamin, pengetahuan tentang TB, dan
sikap terhadap TB.
Tabel 5.6 HWF Model

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,745 1,261 0,311 - 5,105


Jenis Kelamin 0,027 1,932 1,078 - 3,461
Umur 0,036 0,529 0,292 - 0,960
Pendidikan 0,003 2,383 1,357 - 4,183
Status ekonomi 0,503 0,922 0,728 - 1,168
Pengetahuan tentang TB 0,715 0,877 0,432 - 1,778
Sikap terhadap TB 0,354 0,765 0,434 - 1,348
Pemberdayaan santri*
jenis kelamin 0,207 2,022 0,677 - 6,040
Pemberdayaan santri*
pengetahuan tentang TB 0,402 1,463 0,600 - 3,567
Pemberdayaan santri*
Sikap terhadap TB 0,597 1,242 0,556 - 2,770

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


51

5.4.2. Uji Interaksi


Hasil analisis pada tabel 5.4 menunjukan interaksi antara pemberdayaan
santri dengan jenis kelamin, pengetahuan tentang TB dan sikap terhadap TB
mempunyai nilai p>0,005 sehingga akan dikeluarkan dari model dimulai dari
yang mempunyai nilai terbesar yaitu interaksi antara pemberdayaan santri dengan
sikap terhadap TB (p=0,597)
Tabel 5.7 HWF Model Tanpa Interaksi antara Variabel Pemberdayaan
Santri dengan Sikap terhadap TB

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,632 1,391 0,360 - 5,366


Jenis Kelamin 0,030 1,900 1,065 - 3,389
Umur 0,034 0,525 0,290 - 0,952
Pendidikan 0,002 2,412 1,376 - 4,228
Status ekonomi 0,520 0,925 0,730 - 1,172
Pengetahuan tentang TB 0,722 0,880 0,432 - 1,782
Sikap terhadap TB 0,433 0,852 0,571 - 1,272
Pemberdayaan santri*
jenis kelamin 0,380 1,488 0,612 - 3,617
Pemberdayaan santri*
pengetahuan tentang TB 0,201 2,040 0,684 - 6,087

Langkah berikutnya yaitu mengeluarkan interaksi antara pemberdayaan


santri dengan jenis kelamin (p=0,380) seperti yang terlihat pada tabel 5.7
Tabel 5.8 HWF Model Tanpa Interaksi antara Variabel Pemberdayaan
Santri dengan Jenis Kelamin

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,458 0,529 - 3,952


Jenis Kelamin 0,000 2,259 1,461 - 3,492
Umur 0,032 0,522 0,288 - 0,947
Pendidikan 0,002 2,388 1,362 - 4,187
Status ekonomi 0,534 0,928 0,732 - 1,175
Pengetahuan tentang TB 0,801 0,913 0,451 - 1,850
Sikap terhadap TB 0,405 0,844 0,566 - 1,258
Pemberdayaan santri*
Pengetahuan tentang TB 0,214 1,997 0,671 - 5,941

Langkah selanjutnya adalah mengeluarkan interaksi antara pemberdayaan


santri dengan pengetahuan tentang TB (p=0,214). Kesimpulan yang didapat dari

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


52

pemodelan ini adalah tidak ada interaksi antara variabel independen dengan
variabel perancu sehingga didapatkan golden standard model atau model baku
emas pada tabel 5.9

Tabel 5.9 Golden Standard Model (Model Baku Emas)

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,793 1,810 - 4,308


Jenis Kelamin 0,000 2,337 1,516 - 3,602
Umur 0,034 0,526 0,290 - 0,952
Pendidikan 0,003 2,362 1,349 - 4,135
Status ekonomi 0,567 0,933 0,737 - 1,182
Pengetahuan tentang TB 0,430 1,234 0,733 - 2,078
Sikap terhadap TB 0,451 0,858 0,576 - 1,278

5.4.2 Uji variabel Perancu


Langkah selanjutnya adalah melakukan uji variabel perancu dengan cara
melihat perbedaan nilai OR untuk variabel utama dengan dikeluarkannya variabel
kandidat perancu. Bila perubahannya >10% maka variabel tersebut dinyatakan
sebagai variabel perancu dan tetap harus ada di dalam model.
Tahap pertama akan dikeluarkan variabel yang memiliki nilai p tertinggi yaitu
status ekonomi (0,567) dan setelah dikeluarkan dari model hasilnya dapat dilihat
pada tabel 5.10
Tabel 5.10 Model tanpa Variabel Status Ekonomi

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,824 1,833 - 4,349


Jenis Kelamin 0,000 2,327 1,510 - 3,585
Umur 0,030 0,519 0,287 - 0,939
Pendidikan 0,002 2,385 1,364 - 4,173
Pengetahuan tentang TB 0,440 1,228 0,729 - 2,067
Sikap terhadap TB 0,466 0,863 0,580 - 1,284

Berdasarkan Tabel 5.10, setelah variabel status ekonomi dikeluarkan terlihat nilai
OR variabel pemberdayaan santri menjadi 2,824. Perubahan OR variabel
pemberdayaan santri sebesar (2,824-2,793)/2,793= 1,10%. Karena perubahan OR
<10%, maka variabel status ekonomi bukan variabel perancu dan harus

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


53

dikeluarkan dari permodelan. Langkah selanjutnya mengeluarkan variabel sikap


terhadap TB, setelah dikeluarkan hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.11

Tabel 5.11 Model tanpa Variabel Sikap terhadap TB

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,861 1,860 - 4,400


Jenis Kelamin 0,000 2,298 1,494 - 3,535
Umur 0,032 0,522 0,289 - 0,945
pendidikan 0,002 2,367 1,354 - 4,137
Pengetahuan tentang TB 0,450 1,222 0,726 - 2,058

Pada tabel 5.11 terlihat setelah varaibel sikap terhadap TB dikeluarkan


terjadi perubahan OR variabel pemberdayaan santri sebesar (2,861-2,793)/2,793=
2,43%. Oleh karena perubahan OR <10%, maka variabel sikap terhadap TB bukan
variabel perancu dan harus dikeluarkan dari permodelan. Langkah selanjutnya
mengeluarkan variabel pengetahuan tentang TB, dan setelah dikeluarkan hasilnya
dapat dilihat pada tabel 5.12

Tabel 5.12 Model Tanpa Variabel Pengetahuan tentang TB

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,836 1,847 - 4,354


Jenis Kelamin 0,000 2,274 1,482 - 3,491
Umur 0,034 0,529 0,293 - 0,954
pendidikan 0,002 2,373 1,358 - 4,146

Tabel 5.12 menunjukan setelah variabel pengetahuan tentang TB dikeluarkan dari


model terlihat perubahan OR dari variabel pemberdayaan santri sebesar menjadi
2,836. Besar perubahannya adalah (2,836-2,793)/2,793= 1,53% dan karena
perubahan OR <10%, maka variabel pengetahuan tentang TB bukan variabel
perancu dan harus dikeluarkan dari permodelan. Langkah selanjutnya
mengeluarkan variabel umur, setelah dikeluarkan hasilnya dapat dilihat pada tabel
5.13

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


54

Tabel 5.13 Model Tanpa Variabel Umur

Variabel P OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,964 1,937 - 4,535


Jenis Kelamin 0,000 2,381 1,557 - 3,642
Pendidikan 0,026 1,548 1,052 - 2,276

Pada tabel 5.13, terlihat setelah variabel umur dikeluarkan dari model perubahan
OR variabel pemberdayaan santri sebesar (2,964-2,793)/2,793= 6,12%. Oleh
karena perubahan OR <10%, maka variabel umur bukan variabel perancu dan
harus dikeluarkan dari permodelan. Langkah selanjutnya mengeluarkan variabel
pendidikan, setelah dikeluarkan hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.14
Tabel 5.14 Model Tanpa Variabel Pendidikan terhadap TB

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,904 1,903 - 4,431


Jenis Kelamin 0,000 2,419 1,585 - 3,694

Tabel 5.14 menunjukkan setelah variabel pendidikan terhadap TB dikeluarkan


dari model terlihat perubahan OR dari variabel pemberdayaan santri sebesar
(2,904-2,793)/2,793= 3,97%. Oleh karena perubahan OR <10%, maka variabel
pendidikan terhadap TB bukan variabel perancu dan harus dikeluarkan dari
permodelan. Langakah selanjutnya mengeluarkan variabel jenis kelamin, setelah
dikeluarkan hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.15
Tabel 5.15 Model Tanpa Variabel Jenis Kelamin

Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,081 1,431 - 3,028

Berdasarkan Tabel 5.15, setelah variabel jenis kelamin dikeluarkan terlihat


perubahan OR variabel utama pemberdayaan santri sebesar (2,081-2,793)/2,793=
25%. Dengan demikian variabel jenis kelamin merupakan variabel perancu, dan
variabel jenis kelamin harus tetap dimasukan dalam model.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


55

5.4.3 Model Akhir


Setelah melalui analisis penilaian interaksi dan variabel perancu, model akhir
yang terbentuk adalah model tanpa ada interaksi antara variabel pemberdayaan
santri dengan variabel perancu sedangkan variabel perancunya adalah jenis
kelamin seperti yang terlihat pada tabel 5.16
Tabel 5.16 Model Akhir
Variabel Nilai p OR CI 95%

Pemberdayaan santri 0,000 2,904 1,903 - 4,431


Jenis Kelamin 0,000 2,419 1,585 - 3,694

Hasil analisis menunjukan bahwa pemberdayaan santri kader TB mempengaruhi


perilaku santri dalam pencegahan TB. Santri yang mendapat intervensi berupa
pemberdayaan santri yang kemudian diberi penyuluhan tentang TB, kunjungan ke
asrama/kamar, melaksanakan rujukan dan sebagai PMO dari santri yang
menderita TB, berpeluang untuk memiliki perilaku baik dalam pencegahan TB 2,9
kali dibanding santri yang tidak mendapat intervensi setelah dikontrol dengan
jenis kelamin santri.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini menggunakan data sekunder pemberdayaan santri kader TB
terhadap aksesibilitas layanan TB di fasilitas kesehatan pada tahun 2016 oleh
karena itu pada umumnya data sekunder memiliki keterbatasan terkait variabel
yang dianalisis karena hanya terbatas pada variabel yang tersedia di dalam
kuisioner dan disesuaikan dengan kerangka teori penelitian.
Bias Informasi yang mungkin terjadi pada penelitian ini disebabkan
responden memiliki keterbatasan dalam mengingat paparan tentang TB yang
pernah dialaminya atau terjadinya bias recall.
Desain penelitian yakni kuasi eksperimen yang bertujuan untuk melihat
dampak pemberdayaan santri terhadap perilaku santri dalam pencegahan TB dapat
menjelaskan hubungan sebab akibat merupakan kekuatan dari penelitian ini.
Selain itu hasil penelitian ini dapat menginformasikan kepada masyarakat
mengenai perilaku santri dalam pencegahan TB di pesantren

6.2 Gambaran Perilaku Pencegahan TB di Pesantren


Perilaku pencegahan merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu
dalam upaya pencegahan penyakit. Di pondok pesantren Garut perilaku
pencegahan santri menunjukan ada peningkatan nilai rata-rata sesudah dilakukan
intervensi. Perilaku pencegahan yang paling banyak dilakukan santri adalah
membersihkan kamar/kobong. Perilaku membersihkan kamar tidak hanya
mencegah penyakit TB saja akan tetapi mencegah penyakit yang berhubungan
dengan sanitasi atau kebersihan lingkungan seperti diare, dan penyakit kulit.
Kebersihan kamar merupakan tanggung jawab dari masing-masing santri, karena
kamar harus dibersihkan setiap hari oleh sebab itu dibuat jadwal piket santri untuk
membersihkan kamar. Selain itu adanya lurah santri atau santri senior yang
ditunjuk oleh ketua pondok pesantren yang bertanggung jawab terhadap
pengawasan kebersihan kamar. Menurut Green (2005), selain faktor predisposing
dan pemungkin perilaku juga terbentuk karena adanya faktor penguat dalam hal

56 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


57

ini peran santri senior yang bertanggung jawab untuk mengawasi kebersihan
kamar.
Perilaku pencegahan yang paling sedikit dilakukan santri adalah kebiasaan
menutup mulut dan hidung apabila ada teman atau orang yang sedang menderita
batuk yakni sebesar (11,5%) dan setelah diintervensi mengalami peningkatan.
Sumber penularan TB adalah pasien TB yang mengandung kuman dalam
dahaknya dan dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak.
Sekali batuk, kuman yang dihasilkan sekitar 3500 dan apabila bersin
menghasilkan 4500-1000000 kuman M.tuberculosis (Kementerian Kesehatan,
2016a). Menurut WHO (2007) penyakit yang ditularkan melalui droplet besar
dan/atau droplet nuclei, oleh semua orang yang memperlihatkan gejala infeksi
pernafasan harus menerapkan etika batuk.
Orang yang tidak menutup mulutnya saat batuk beresiko menularkan
penyakit TB 12,3 kali ke orang lain (Suarni, 2009). Salah satu kebiasan penderita
TB adalah sering tidak menutup mulut saat batuk sehingga dapat menularkan TB
pada orang-orang yang sehat disekitarnya (Manalu, 2010). Untuk itu informasi
mengenai etika batuk perlu disampaikan secara rutin, misalnya melalui kegiatan-
kegiatan atau pertemuan rutin di pondok pesantren. Selain itu, pesan-pesan
tersebut juga bisa disampaikan melaui poster yang ditempel di tempat-tempat
strategis yang sering di akses santri seperti di kelas dan ruang makan.
Perilaku pencegahan yang paling tinggi peningkatannya setelah diintervensi
adalah biasa menjemur kasur atau alas tidur minimal satu minggu sekali.
Menjemur alat tidur sesering menyebabkan kuman TB mati oleh sinar matahari
(Kementerian Kesehatan, 2016a)
Pemberdayaan santri kader TB juga berpengaruh terhadap pengetahuan
tentang TB, karena pengetahuan santri tentang penyebab TB karena guna-guna
menurun setelah mendapat penyuluhan dari santri kader TB. Pengetahuan paling
sedikit diketahui adalah keringat malam tanpa aktifitas merupakan gejala dan
tanda penyakit TB dan setelah diintervensi meningkat 12%. Sebagian besar santri
memiliki pengetahuan yang rendah tentang TB. Green menyebutkan pengetahuan
merupakan hasil tahu yang ditangkap oleh panca indra. Akses informasi tentang
TB jarang didapat oleh santri karena kehidupan di pesantren dibatasi untuk

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


58

memperoleh informasi kesehatan dari luar kecuali untuk kegiatan-kegiatan yang


diselenggarakan dari pondok pesantren atau bekerjasama dengan dinas kesehatan
setempat.
Sikap santri menganjurkan penderita dengan gejala TB untuk berobat ke
fasilitas kesehatan merupakan sikap santri yang paling positif dan setelah
diintervensi mengalami peningkatan yang signifikan. Sebagian santri memiliki
sikap positif tentang TB. Nilai-nilai yang tertanam di pondok pesantren dengan
rasa kebersamaan dan kesetiakawan yang dirasakan membentuk sikap santri untuk
lebih peduli apabila ada teman atau saudara yang menderita sakit. Hal ini sejalan
dengan penelitian Kiptiyah (2005) bahwa Interaksi sosial yang terbangun antara
santri didasari oleh keberadaan mereka dalam satu almamamater, berasal dari
daerah yang sama, tidur dalam kamar yang sama, dan belajar dikelas yang sama
sehingga komunikasi intensif yang terjalin dengan suasana kekerabatan, hubungan
yang harmonis saling menghormati dan menyayangi diantara sesama santri.
Sebesar 29,1% santri mempunyai sikap untuk merahasiakan jika dalam
keluarga atau teman di pondok pesantren ada yang menderita gejala dan tanda TB
namun sikap ini berubah dan setelah diintervensi tinggal 17,2%. Santri yang tetap
memilih pendapat yang sama merupakan sikap santri yang paling negatif terhadap
TB. Masih adanya santri yang memilih untuk merahasiakan anggota keluarga atau
teman di pondok pesantren ada yang menderita gejala dan tanda TB karena
khawatir akan dampak sosial yaitu dikucilkan atau terjadinya diskriminasi pada
teman atau saudaranya tersebut, selain itu apabila ada santri yang menderita TB
maka pihak pesantren akan mengembalikan santri tersebut ke rumahnya untuk
mengantisipasi terjadinya penularan TB di pesantren. Sikap yang salah
tersebutnya hendaknya di rubah karena apabila santri yang mederita gejala dan
tanda TB tidak segra ditindak lanjuti dikhawatirkan apabila positif TB dapat
menularkan ke warga pesantren lainnya dan berpotensi untuk terjadinya wabah
TB di pesantren. Hasil penelitian pada siswa di Palmerston New Zealand
menyebutkan dari hasil investigasi didapatkan 5 siswa positif TB, dan 15 siswa
terdeteksi memiliki gejala dan tanda TB. Dari 1828 siswa diagnosis TB, 235
terdiagnosis menderita infeksi TB laten. Hal ini disebabkan diagnosa yang
tertunda sehingga terjadinya penyebaran TB yang luas (Calder et al., 2008).

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


59

Center for Control and Prevention (CDC prevention) menyebutkan infeksi


TB latent adalah keadaan seseorang yang terdapat bakteri TB ditubuhnya akan
tetapi tidak memiliki gejala dan tanda TB. Pada umumnya orang yang menghirup
bakteri TB akan terinfeksi TB namun imun tubuhnya bisa melawan bakteri
tersebut, akan tetapi jika tidak segera diobati serta daya tahan tubuhnya lemah,
bakteri akan menjadi aktif dan menyebabkan penyakit TB. Infeksi TB latent
biasanya terdeteksi dari hasil skin test atau blood test

6.3 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku


Pencegahan TB di Pondok Pesantren Garut
Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat pengaruh antara pemberdayaan
santri kader TB terhadap perilaku pencegahan di pondok pesantren Garut Jawa
Barat. Kegiatan intervensi santri kader TB di Pondok pesantren Garut meliputi
penyampaian informasi/penyuluhan TB, kunjungan ke asrama/kamar,
melaksanakan rujukan santri yang mengalami gejala dan tanda TB ke puskesmas
dan PMO bagi santri penderita TB yang dilakukan secara rutin selama 6 bulan.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian di Iran bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan pada perilaku pencegahan TB sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi (Kesmati, Gholami, & Kazeminejad, 2015). Hal ini menunjukan bahwa
penyuluhan oleh santri kader TB dan kunjungan kekamar secara rutin mampu
mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku santri dalam mencegah TB.
Pemberdayaan santri kader TB merupakan bagian dari pengendalian TB
berbasis masyarakat. Tercapainya target program TB didorong oleh peran serta
masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TB (Kementrian
Kesehatan, 2016a). Hasil penelitian di Myanmar didapatkan pengendalian TB
berbasis masyarakat berhasil mendeteksi kasus TB pada populasi yang rentan dan
sulit dijangkau dengan ditemukan kasus baru TB sebesar 34% dan hampir semua
(98%) berhasil diobati (Soe et al., 2017).
Hasil penelitian ini membuktikan Intervensi yang melibatkan masyarakat
dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah masyarakat secara tidak
langsung juga bisa menjalin hubungan baru dan memperkuat hubungan sosial
yang sudah ada di masyarakat. Intervensi yang digunakan bertujuan untuk

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


60

meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya,


meningkatkan peran masyarakat dalam membuat keputusan yang berimplikasi
penting bagi kehidupan masyarakat dan dapat menyelesaikan masalah secara
spesifik (Glanz et al., 2008).
Perilaku pencegahan TB didasari adanya peningkatan pengetahun dan sikap
santri tentang TB. Di Nigeria Intervensi yang dilakukan 10 orang relawan yang
berasal dari masyarakat terbukti dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap
masyarakat secara signifikan mengenai TB sehingga intervensi TB berbasis
masyarakat dapat berpotensi dalam mengurangi kejadian TB (Balogun et al.,
2015).
Intervensi yang dilakukan dengan melakukan pemberdayaan santri
pesantren untuk menjadi kader TB lebih mudah diterima dikalangan pesantren
karena pemberi informasi dalam hal ini adalah kader santri, merupakan bagian
dari komunitas mereka yaitu pesantren sehingga santri merasa lebih nyaman untuk
menerima informasi dan menindak lanjuti pesan kesehatan yang disampaikan.
Peran dan fungsi kader sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program
kesehatan. Penelitian Noor dengan metode sistematik review untuk wilayah
Amerika Serikat, antara tahun 1990 – 2012 menyebutkan peran kader kesehataan
memberikan dampak positif. Selain itu kader kesehatan membantu pasien
mengatasi hambatan terhadap perawatan kesehatan, pengelolaan penyakit kronis
karena memberikan pendidikan kesehatan yang sesuai secara budaya, adanya
dukungan sosial yang berkelanjutan melalui kunjungan rumah dan tindak lanjut
penanggulangan penyakit kronis pada suatu populasi ras dan etnis minoritas
(Noor, 2012).
Selain itu, adanya pengaruh pemberdayaan santri kader TB terhadap
perilaku pencegahan TB pada santri di pesantren Kab. Garut karena pemberian
informasi yang dilakukan menggunakan metode komunikasi yang tepat sehingga
informasi yang disampaikan lebih mudah diterima. Salah satu agenda aksi
pemberdayaan masyarakat pada konfrensi global promosi kesehatan ke-7 di
Nairobi menyebutkan penggunaan teknologi dan metode komunikasi yang tepat
menghasilkan kemudahan masyarakat dalam menerima informasi kesehatan dan

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


61

memberikan manfaat bagi masyarakat sehingga masyarakat ikut terlibat dalam


menciptakan kondisi kesehatan yang merata (Fawcett et al., 2010)

6.4 Pengaruh Pemberdayaan Santri Kader TB terhadap Perilaku


Pencegahan TB di Pondok Pesantren Garut Setelah dikontrol Variabel
Perancu
Jenis kelamin santri merupakan variabel perancu pada hubungan
pemberdayaan santri dengan perilaku pencegahan TB. Hasil penelitian ini Sejalan
dengan penelitian Rukmini bahwa jenis kelamin merupakan faktor resiko yang
berpengaruh terhadap kejadian TB. Jenis kelamin merupakan faktor resiko
individu dalam terjadinya kasus TB BTA+ (Kementerian Kesehatan, 2016a).
Kejadian TB merupakan dampak dari perilaku pencegahan TB yang rendah. Hasil
ini sejalan dengan kejadian TB di dunia bahwa jumlah penderita TB hampir 2 kali
lipat lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan.
Pemberdayan santri kader TB yang dilakukan di pondok pesantren Garut
membuktikan adanya pengaruh jenis kelamin santri terhadap perilaku pencegahan.
Hasil analisis crosstab antara perilaku pencegahan TB dengan jenis kelamin
didapatkan bahwa proporsi perilaku pencegahan TB lebih tinggi perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan budaya yang ada di
Indonesia bahwa perempuan dari kecil terbiasa untuk bersih-bersih dirumah
sehingga kebiasaan ini terbawa sampai di pesantren. Hasil penelitian ini sejalan
dengan dengan penelitian di pondok pesantren Sukabumi didapatkan santri
perempuan yang berperilaku positif terhadap PHBS lebih tinggi dibandingkan
dengan santri laki-laki (Hidayat, 2011). PHBS merupakan salah satu tindakan
yang dapat mencegah penularan TB. Selain itu Perempuan lebih peduli akan
kesehatan dirinya dibandingkan laki-laki, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
Wang, Fei, Shen dan XU (2008) di Cina, bahwa setelah mengalami gejala TB
yaitu batuk berkepanjangan perempuan akan segera melakukan pencarian
perawatan kesehatan dibandingkan laki-laki.
Kebiasaan merokok juga merupakan salah satu faktor resiko buruknya
perilaku pencegahan TB pada laki-laki. Hasil penelitian di Cina membuktikan

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


62

bahwa orang yang pernah merokok beresiko menderita infeksi TB latent 1,34 kali
dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok (Zhang et al., 2017)
Peran kader santri laki-laki dan perempuan dalam memberikan penyuluhan
serta melakukan kunjungan kekamar kemungkinan juga mempengaruhi dalam
penerimaan informasi kader. Santri perempuan yang secara umum lebih peduli
dengan kesehatan sehingga lebih mudah menerima informasi kesehatan
dibandingkan dengan santri laki-laki yang cenderung kurang peduli. Selain itu
berhubungan juga dengan konsep sehat sakit dimana perempuan lebih sensitif
pada rasa sakit dan lebih mudah untuk mencari tahu atau menerima informasi
kesehatan.
Faktor umur dan pendidikan santri di pondok pesantren Garut relatif sama
atau homogen sehingga tidak mempengaruhi pemberdayaan santri maupun
perilaku pencegahan TB atau bukan variabel perancu dalam hubungan
pemberdayaan santri perilaku pencegahan TB.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
1. Nilai rata–rata perilaku pencegahan santri mengalami peningkatan. Pada
kelompok intervensi, nilai rata-rata pre test sebesar 3,47 dan post test
3,95. Pada kelompok kontrol, nilai rata-rata pre test 3,18 dan nilai rata-rata
post test 3,24.
2. Pemberdayaan santri kader TB mempengaruhi perilaku santri dalam
pencegahan TB, santri yang mendapat intervensi berpeluang memiliki
perilaku baik dalam pencegahan TB hampir tiga kali dibandingkan yang
tidak mendapatkan intervensi setelah dikontrol oleh jenis kelamin santri.
7.2 Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan
a. Diharapkan program pemberdayaan santri kader TB di pondok
pesantren bisa di terapkan ke semua pondok pesantren di Kabupaten
Garut.
2. Bagi Pesantren
a. diharapkan pemberdayaan santri tidak hanya untuk penyakit TB saja,
akan tetapi pemberdayaan santri juga bisa diterapkan terhadap
pemberdayaan santri pada kesehatan secara umum
b. diharapkan adanya regenerasi kader sehingga pemberdayaan santri
bisa terus berlanjut
c. diharapkan adanya edukasi kesehatan berbasis gender dimana untuk
santri laki-laki metode penyuluhan yang digunakan bisa menstimulus
santri laki-laki untuk peduli akan kesehatan misalnya dengan media
yang menarik atau diskusi efektif
d. diharapkan sasaran kegiatan pemberdayaan santri kader TB tidak
ditujukan kepada santri saja tetapi kepada seluruh warga

63 Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


64

e. pondok pesantren sehingga pencegahan TB bisa lebih komprehensif


f. diharapkan penerapakan Kawasan Tanpa asap Rokok dilingkungan
Pesantren
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. melanjutkan kembali penelitian dengan menggunakan pendekatan mix
methode agar hasil penelitian lebih komprehensif.

Universitas Indonesia

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


65

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT.


Rineka Cipta

Ariawan, I. (1998). Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan :


Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Indonesia

Black, J.M ; dan Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Medikal


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. PT Salemba Emban patri

Balai Kesehatan Paru Masyarakat. (2015). PENANGGULANGAN TB di


PONDOK PESANTREN.

Balogun, M., Sekoni, A., Meloni, S. T., Odukoya, O., Onajole, A., Longe-Peters,
O., … Kanki, P. J. (2015). Trained community volunteers improve
tuberculosis knowledge and attitudes among adults in a periurban community
in southwest Nigeria. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene,
92(3), 625–632. https://doi.org/10.4269/ajtmh.14-0527

Boum, Y. 2nd, Atwine, D., Orikiriza, P., Assimwe, J., Page, A.-L., Mwanga-
Amumpaire, J., & Bonnet, M. (2014). Male Gender is Independently
Associated with Pulmonary Tuberculosis among Sputum and Non-Sputum
Producers People with Presumptive Tuberculosis in Southwestern Uganda.
BMC Infectious Diseases, 14, 638. https://doi.org/10.1186/s12879-014-0638-
5

Calder, L., Rivers, J., Hayhurst, M., Brown, J., Forde, A., Gllagher, L., &
O’Connor, P. (2008). A school and community outbreak of tuberculosis in
Palmerston North, New Zealand. The New Zealand Medical Journal,
121(1278), 50–61.

Dinas Kesehatan Kab. Garut. (2015). Profil Kesehatan Kab. Garut Tahun 2015.

Dotulong, J. F. J., Sapulete, M. R., & Kandou, G. D. (2015). Hubungan faktor


risiko umur, jenis kelamin dan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit
TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori, 57–65.

Fawcett, S., Abeykoon, P., Arora, M., Dobe, M., Galloway-Gilliam, L., Liburd,
L., & Munodawafa, D. (2010). Constructing an action agenda for community
empowerment at the 7th Global Conference on Health Promotion in Nairobi.
Global Health Promotion, 17(4), 52–56.
https://doi.org/10.1177/1757975910383933
Feng, J. Y., Huang, S. F., Ting, W. Y., Chen, Y. C., Lin, Y. Y., Huang, R. M., …
Su, W. J. (2012). Gender differences in treatment outcomes of tuberculosis
patients in Taiwan: A prospective observational study. Clinical Microbiology

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


66

and Infection, 18(9). https://doi.org/10.1111/j.1469-0691.2012.03931.x

Fibriana, L. P. (2011). Hubungan antara sikap dengan perilaku keluarga tentang


pencegahan penyakit menular tuberkolosis. Jurnal Keperawatan, 1(1), 1–9.

Firdaus, K. M. Z., Widodo, A., & Purwanti, O. S. (2012). Pengaruh Peranan


Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan Pengobatan Tb Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Baki Sukoharjo.

Fitriani, E. (2013). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Tuberkulosis Paru, 1(1), 2–5.

Glanz, K., Rimer, B., & Viswanath, K. (2008). Theory of reasoned action, theory
of planned behavior and the integrated behavioral model. Health behavior
and health education (FourthEdit).
https://doi.org/http://hdl.handle.net/2027/spo.10381607.0007.102
Hidayat, T. (2011). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecamatan
Cisaat Kabupaten Sukabumi Tahun 2011 Skripsi.

Hill, P. C., Sillah, D. J., Donkor, S. A., Otu, J., Adegbola, R. A., & Lienhardt, C.
(2006). Risk factors for pulmonary tuberculosis: a clinic-based case control
study in The Gambia. BMC Public Health, 6, 156.
https://doi.org/10.1186/1471-2458-6-156

Ikhawanudin, A. (2013). Periaku Kesehatan Santri (Studi Deskriptif Perilaku


Pemeliharaan Kesehatan, Pencarian, dan Penggunaan Sistem Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan Lingkungan di ondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah
Surabaya), (2), 1–2.

Indra. (2007). Persepsi Petugas Rumah Sakit tentang TB Paru dan Perilaku
Pencegahan TB Paru di RSUD Muara Bungo. Universitas Gadjah Mada.
Israel, B. A., Checkoway, B., Schulz, A., & Zimmerman, M. (1994). Health
Education and Community Empowerment : Conceptualizing and Measuring
Perceptions of Individual , Organizational , and Community Control, 149–
170.

Jurcev-Savicević, A. (2011). Attitudes towards tuberculosis and sources of


tuberculosis-related information: study on patients in outpatient settings in
Split, Croatia. Acta Clinica Croatica, 50(1), 37–43.

Kemenkes. (2011). Buku Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan


Kesehatan 2011-2014 (Vol. 1).
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Kementerian Kesehatan. (2013a). Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan


Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Jakarta.

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


67

Kementerian Kesehatan. (2013b). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.


Laporan Nasional 2013. https://doi.org/1 Desember 2013

Kementerian Kesehatan. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Katalog Dalam Terbitan : Kementerian Kesehatan Nasional . Jakarta.

Kementerian Kesehatan. (2015a). Rencana Strategis Kementrian kesehatan Tahun


2015-2019. Jakarta. https://doi.org/351.077 Ind r

Kementerian Kesehatan. (2015b). Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh.


Infodatin. https://doi.org/24442-7659

Kementerian Kesehatan. (2016a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan. (2016b). Profil Kesehatan Indonesia 2015.
https://doi.org/351.077 Ind

Kesmati, M., Gholami, K., & Kazeminejad, S. R. (2015). Zahedan Journal of


Research in Medical Sciences, 60–62.

Kiptiyah, S. (2005). Pesantren dan kesehatan: Studi antropologi mengenai


kebudayaan pesantren, manajemen dan perilaku kesehatan santri di Pondok
Pesantren Putri Walisongo Jombang. Universitas Indonesia.

Kirenga, B. J., Ssengooba, W., Muwonge, C., Nakiyingi, L., Kyaligonza, S.,
Kasozi, S., … Okwera, A. (2015). Tuberculosis risk factors among
tuberculosis patients in Kampala, Uganda: implications for tuberculosis
control. BMC Public Health, 15, 13. https://doi.org/10.1186/s12889-015-
1376-3

Kurniasari, R. A. S., suhartono, suhartono, & Cahyo, K. (2012). Faktor Risiko


Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11(2), 198–204. Retrieved from
http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/mkmi/article/view/5396

MA, M. J., Yang, Y., Wang, H.-B., Zhu, Y.-F., Fang, L.-Q., & An, X.-P. (2016).
Transmissibility of Tuberculosis among School Contacts: An Outbreak
Investigation in a Boarding Middle School, China. HHS Public Acces, 148–
155. https://doi.org/10.1016/j.meegid.2015.03.001.Transmissibility
Manalu, H. . (2010). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), 1340–1346.
Retrieved from http://www.mysciencework.com/publication/file/1495417

Media, Y. (2011). Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit


Tuberkulosis (Tb) Paru Di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar
Propinsi Sumatera Barat. Media Litbang Kesehatan, 21(3), 82–88.

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


68

Mohan, V., Shanthirani, C. S., Deepa, M., Datta, M., Williams, O. D., & Deepa,
R. (2006). Community empowerment--a successful model for prevention of
non-communicable diseases in India--the Chennai Urban Population Study
(CUPS-17). The Journal of the Association of Physicians of India,
54(November 2006), 858–862.

Noor, H. H. (2012). CORE Scholar Role and Effectiveness of Community Health


Workers Among Underserved US Populations. Retrieved from
http://corescholar.libraries.wright.edu/mph%5Cnhttp://corescholar.libraries.
wright.edu/mph

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Nurjana, M. A. (2015). Faktor Risiko Terjadinya Tubercolosis Paru Usia


Produktif (15-49 Tahun) di Indonesia. Media Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan, 25(3), 163–170.

Rahayu, A. F. (2015). Hubungan Faktor Predisposisi dan Penguat pada


Penderita TB (Tuberkulosis) terhadap Perilaku Pencegahan Penularan TB
di Wilayah Kerja Puskesmas Baja Kota Tanggerang Tahun 2014.
Universitas Indonesia.

Rokhmah, D. (2013). Artikel Penelitian Gender dan Penyakit Tuberkulosis :


Implikasinya Terhadap Akses Layanan Kesehatan Masyarakat Miskin yang
Rendah Gender and Tuberculosis : the Implication to Low Health Care
Access for the. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(10), 447–452.

Rukmini, & Chatarina, U. W. (2011). Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap


Kejadian TB Paru Dewasa di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14 no. 4, 320–331.

Rutstein, S. O., & Johnson, K. (2004). The DHS Wealth Index. DHS Comparative
Reports No. 6, 1–71. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Setiarni, S. M., Sutomo, A. H., & Hariyono, W. (2011). Hubungan antara Tingkat
Pengetahuan, Status Ekonomi dan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa di Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-
Tuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Jurnal KESMAS UAD, 5(3),
162–332. https://doi.org/10.1007/s11606-009-1143-1

Sitohang, R. ., & Pandelaki, B. L, A. J. (2013). Gambaran penderita Tuberkulosis


Paru yang Berobat Menggunakan DOTS di Puskesmas Bahu Malalayang I
Periode Januari-desember 2012. Jurnal Kedokteran Dan Tropik.

Soe, K. T., Saw, S., van Griensven, J., Zhou, S., Win, L., Chinnakali, P., … Aung,
S. T. (2017). International non-governmental organizations’ provision of
community-based tuberculosis care for hard-to-reach populations in
Myanmar, 2013–2014. Infectious Diseases of Poverty, 6(1), 69.

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


69

https://doi.org/10.1186/s40249-017-0285-3

Suarni, H. (2009). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penderita


Penyakit TB Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok
Bulan Oktober Tahun 2008-April Tahun 2009.

Sukoco, N. E. W. (2011). Hubungan antara perilaku pencegahan dan kepatuhan


berobat penderita tb di indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan,
14(1), 68–74.

Sulistiyana, C. S., & Susanti, S. (2017). Hubungan Pengetahuan dan Sikap


Keluarga Pasien Tuberkulosis Paru dengan Upaya Pencegahan Penyakit
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kesunean dan Pegambiran
Kota Cirebon Jawa Barat Latar Belakang Tuberkulosis ( TB ) paru adalah
penyakit menular.

Syafri, A. K. (2015). Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian


Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tobing, T. . (2009). Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah


terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru pada Keluarga di
Kabupaten Tapanuli Utara. Universitas Sumatra Utara
.
Tolossa, D., Medhin, G., & Legesse, M. (2014). Community knowledge, attitude,
and practices towards tuberculosis in Shinile town, Somali regional state,
eastern Ethiopia: a cross-sectional study. BMC Public Health, 14, 804.
https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-804

Wahyuni, C. U., & Artanti, K. D. (2013). Pelatihan Kader Kesehatan untuk


Penemuan Penderita Suspek Tuberkulosis. Kesmas: Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, 8(2), 85–90.
Wang, J., Fei, Y., Shen, H., & Xu, B. (2008). Gender difference in knowledge of
tuberculosis and associated health-care seeking behaviors: a cross-sectional
study in a rural area of China. BMC Public Health, 8(1), 354.
https://doi.org/10.1186/1471-2458-8-354

Wardani, D. W. S. R. (2015). Determinan Kondisi Rumah Penderita Tuberkulosis


Paru di Kota Bandar Lampung Housing Conditions Determinants of
Tuberculosis Patients In Bandar Lampung Municipality. Jurnal Kedokteran
Unila, 2013(9), 5–9.

WHO. (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (


ISPA ) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Pedoman Interim WHO. Retrieved from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69707/14/WHO_CDS_EPR_2007.6
_ind.pdf

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.


70

World Health Organization. (2016). Global and Regional burden of Tuberculosis.


Annual Report.

Zhang, H., Xin, H., Li, X., Li, H., Li, M., Lu, W., … Gao, L. (2017). A dose-
response relationship of smoking with tuberculosis infection: A cross-
sectional study among 21008 rural residents in China. PLoS ONE, 12(4), 1–
14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0175183

Pengaruh pemberdayaan..., Risma Puspitasari, FKM UI, 2017.

Anda mungkin juga menyukai