Anda di halaman 1dari 27

Pengertian, Tujuan, Manfaat, Syarat, Sikap, Teknik dan Tahapan

Komunikasi Terapeutik
MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Komunikasi Terapeutik

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Enjang AS, M.Ag.,M.Si
Dr. Encep Dulwahab, M.Si

Oleh :
Rifa Fitriannisa, S.Pd 2220130034

PROGRAM PASCASARJANA S2
PRODI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar
manusia. Komunikasi melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan
dengan orang lain dan dunia sekitarnya.Komunikasi berjalan karena manusia
membutuhkan satu dengan lainnya.

Dalam menyikapi beberapa masalah pada umat beragama khususnya dalam agama Islam,
Bimbingan dan Konseling Islam mempunyai peranan cukup penting. Karena kegiatan
Bimbingan dan Konseling Islam merupakan jenis keterampilan yang pada intinya mengajak,
membimbing, dan mengarahkan klien kembali kepada fitrah yang sesungguhnya seperti awal
tujuan diciptakan manusia (Subroto, Wulandari, & Suharni, n.d. 2017). Layanan ini menekankan
suatu pengertian dan hubungan yang sifatnya mendukung. Kesediaan konselor menjadi salah
satu faktor prnting untuk mengembangkan gaya terapeutik pribadi mereka, dalam situasi yang
sungguh-sungguh dan tidak tegang (Tirtawati, 2017). Dalam hal ini komunikasi terapeutik sangat
diperlukan dengan tujuan terciptanya suasana yang hangat dan kerjasama antara konselor-konseli
yang bermuara pada terpenuhinya kebutuhan masing-masing khususnya konseli. Komunikasi
terapeutik merupakan salah satu bentuk komunikasi yang berfungsi sebagai media tukar-
menukar informasi dan untuk penyembuhan.

Dalam bidang keilmuan khususnya Bimbingan dan Konseling Islam, proses komunikasi
antara konselor dengan konseli tidak bisa dihindari atau dipungkiri lagi. Karena dalam proses
layanan bimbingan dan konseling selalu melibatkan kontak langsung maupun tidak langsung
antar konselor-konseli yang memaksa mereka melakukan interaksi satu sama lain, interaksi
tersebut salah satunya berupa komunikasi. Membahas mengenai komunikasi itu sendiri, seorang
konselor harus mempunyai keterampilan dalam mengawali komunikasi atau memimpin
komunikasi dengan konseli (klien) yakni dengan pembicaraan yang membekas pada diri konseli
atau disebut juga dengan Al Hikmah, seperti dalam firman Allah Q.S. An Nisa ayat 63, yang
artinya “...... dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang berbekas pada jiwa
mereka” (Sopian, 2013). Hal di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian telaah
pustaka mengenai bagaimana terapi terapeutik dalam bimbingan dan konseling Islam..

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, tujuan, dan syarat komunikasi terapeutik ?
2. Bagaimana sikap, teknik dan tahapan komunikasi terapeutik ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Mengetahui pengertia, tujuan, dan syarat komunikasi terapeutik
2. Mengetahui sikap, teknik dan tahapan komunikasi terapeutik

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Proses dakwah Islam, jika dilihat


dari segi konteks atau levelnya,
merupakan
proses interaksi antara da’i dengan
mad’u baik secara kuantitatif
maupun kualitatif,
maka prosesnya terbagi pda enam
macam konteks, yaitu: (1) dakwah
nafsiyah, yaitu
proses interaksi antara da’i
dengan diri sendiri sebagai
mad’u-nya; (2) dakwah
fardhiyah, yaitu proses dakwah
seorang da’i terhadap seorang
mad’u dalam suasana
dialogis dan kontak langsung; (3)
dakwah fi’ah, yaitu proses dakwah
seorang da’i
3
terhadap sekelompok mad’u
secara tatap muka, dan dialogis
yang berlangsung
dalam bentuk kelompok kecil,
dan kelompok-kelompok mad’u
yang sudah
terorganisir, misalnya majelis
taklim, madrasah dan ma’had
(pesantren): (4) dakwah
hizbiyah, yaitu jam’iyah, yaitu
proses dakwah yang dilakukan
oleh da’I yang
mengidentifikasikan dirinya
dengan atribut suatu lembaga atau
organisasi dakwah
tertentu, kemudian mendakwahi
anggotanya atau orang lain di luar
anggota suatu

4
organisasi tersebut; (5) dakwah
ummah, yaitu seorang da’I
mendakwahi orang
banyak melalui media mimbar atau
media massa baik cetak atau
elektronik dalam
suasana monologis, dalam suasana
bertatap muka atau tidak bertatap
muka; dan
(6) dakwah syu’ubiyah qabailiyah,
seorang da’i yang beridentitas etnis
dan budaya
atau bangsa yang berbeda dengan
dirinya (Enjang & Aliyuddin,
2009: 51)
Proses dakwah Islam, jika dilihat
dari segi konteks atau levelnya,
merupakan

5
proses interaksi antara da’i dengan
mad’u baik secara kuantitatif
maupun kualitatif,
maka prosesnya terbagi pda enam
macam konteks, yaitu: (1) dakwah
nafsiyah, yaitu
proses interaksi antara da’i
dengan diri sendiri sebagai
mad’u-nya; (2) dakwah
fardhiyah, yaitu proses dakwah
seorang da’i terhadap seorang
mad’u dalam suasana
dialogis dan kontak langsung; (3)
dakwah fi’ah, yaitu proses dakwah
seorang da’i
terhadap sekelompok mad’u
secara tatap muka, dan dialogis
yang berlangsung

6
dalam bentuk kelompok kecil,
dan kelompok-kelompok mad’u
yang sudah
terorganisir, misalnya majelis
taklim, madrasah dan ma’had
(pesantren): (4) dakwah
hizbiyah, yaitu jam’iyah, yaitu
proses dakwah yang dilakukan
oleh da’I yang
mengidentifikasikan dirinya
dengan atribut suatu lembaga atau
organisasi dakwah
tertentu, kemudian mendakwahi
anggotanya atau orang lain di luar
anggota suatu
organisasi tersebut; (5) dakwah
ummah, yaitu seorang da’I
mendakwahi orang

7
banyak melalui media mimbar atau
media massa baik cetak atau
elektronik dalam
suasana monologis, dalam suasana
bertatap muka atau tidak bertatap
muka; dan
(6) dakwah syu’ubiyah qabailiyah,
seorang da’i yang beridentitas etnis
dan budaya
atau bangsa yang berbeda dengan
dirinya (Enjang & Aliyuddin,
2009: 51)
Proses dakwah Islam, jika dilihat
dari segi konteks atau levelnya,
merupakan
proses interaksi antara da’i dengan
mad’u baik secara kuantitatif
maupun kualitatif,

8
maka prosesnya terbagi pda enam
macam konteks, yaitu: (1) dakwah
nafsiyah, yaitu
proses interaksi antara da’i
dengan diri sendiri sebagai
mad’u-nya; (2) dakwah
fardhiyah, yaitu proses dakwah
seorang da’i terhadap seorang
mad’u dalam suasana
dialogis dan kontak langsung; (3)
dakwah fi’ah, yaitu proses dakwah
seorang da’i
terhadap sekelompok mad’u
secara tatap muka, dan dialogis
yang berlangsung
dalam bentuk kelompok kecil,
dan kelompok-kelompok mad’u
yang sudah

9
terorganisir, misalnya majelis
taklim, madrasah dan ma’had
(pesantren): (4) dakwah
hizbiyah, yaitu jam’iyah, yaitu
proses dakwah yang dilakukan
oleh da’I yang
mengidentifikasikan dirinya
dengan atribut suatu lembaga atau
organisasi dakwah
tertentu, kemudian mendakwahi
anggotanya atau orang lain di luar
anggota suatu
organisasi tersebut; (5) dakwah
ummah, yaitu seorang da’I
mendakwahi orang
banyak melalui media mimbar atau
media massa baik cetak atau
elektronik dalam

10
suasana monologis, dalam suasana
bertatap muka atau tidak bertatap
muka; dan
(6) dakwah syu’ubiyah qabailiyah,
seorang da’i yang beridentitas etnis
dan budaya
atau bangsa yang berbeda dengan
dirinya (Enjang & Aliyuddin,
2009: 51)
Komunikasi
Halimatus
47
ditambah dengan metode
khitabah (ceramah) dan
presentasi umum dihadapan
masyarakat. Adapun cara
dakwahnya dengan menggunakan
pendekatan targhib

11
dan tarhib (upaya persuasive
dengan menarik minat kepada hal
yang baik dengan
pahala dan menakuti terhadap
hal yang tidak baik dengan
azab).(Ibrahim al-
Jayusyiy, 1999 dalam Thoifah,
2015: 59)
Proses dakwah Islam, jika dilihat
dari segi konteks atau levelnya,
merupakan
proses interaksi antara da’i dengan
mad’u baik secara kuantitatif
maupun kualitatif,
maka prosesnya terbagi pda enam
macam konteks, yaitu: (1) dakwah
nafsiyah, yaitu
proses interaksi antara da’i
dengan diri sendiri sebagai
mad’u-nya; (2) dakwah
12
fardhiyah, yaitu proses dakwah
seorang da’i terhadap seorang
mad’u dalam suasana
dialogis dan kontak langsung; (3)
dakwah fi’ah, yaitu proses dakwah
seorang da’i
terhadap sekelompok mad’u
secara tatap muka, dan dialogis
yang berlangsung
dalam bentuk kelompok kecil,
dan kelompok-kelompok mad’u
yang sudah
terorganisir, misalnya majelis
taklim, madrasah dan ma’had
(pesantren): (4) dakwah
hizbiyah, yaitu jam’iyah, yaitu
proses dakwah yang dilakukan
oleh da’I yang

13
mengidentifikasikan dirinya
dengan atribut suatu lembaga atau
organisasi dakwah
tertentu, kemudian mendakwahi
anggotanya atau orang lain di luar
anggota suatu
organisasi tersebut; (5) dakwah
ummah, yaitu seorang da’I
mendakwahi orang
banyak melalui media mimbar atau
media massa baik cetak atau
elektronik dalam
suasana monologis, dalam suasana
bertatap muka atau tidak bertatap
muka; dan
(6) dakwah syu’ubiyah qabailiyah,
seorang da’i yang beridentitas etnis
dan budaya

14
atau bangsa yang berbeda dengan
dirinya (Enjang & Aliyuddin,
2009: 51)
Komunikasi
Halimatus
47
ditambah dengan metode
khitabah (ceramah) dan
presentasi umum dihadapan
masyarakat. Adapun cara
dakwahnya dengan menggunakan
pendekatan targhib
dan tarhib (upaya persuasive
dengan menarik minat kepada hal
yang baik dengan
pahala dan menakuti terhadap
hal yang tidak baik dengan
azab).(Ibrahim al-
Jayusyiy, 1999 dalam Thoifah,
2015: 59)
15
Proses dakwah Islam, jika dilihat
dari segi konteks atau levelnya,
merupakan
proses interaksi antara da’i dengan
mad’u baik secara kuantitatif
maupun kualitatif,
maka prosesnya terbagi pda enam
macam konteks, yaitu: (1) dakwah
nafsiyah, yaitu
proses interaksi antara da’i
dengan diri sendiri sebagai
mad’u-nya; (2) dakwah
fardhiyah, yaitu proses dakwah
seorang da’i terhadap seorang
mad’u dalam suasana
dialogis dan kontak langsung; (3)
dakwah fi’ah, yaitu proses dakwah
seorang da’i

16
terhadap sekelompok mad’u
secara tatap muka, dan dialogis
yang berlangsung
dalam bentuk kelompok kecil,
dan kelompok-kelompok mad’u
yang sudah
terorganisir, misalnya majelis
taklim, madrasah dan ma’had
(pesantren): (4) dakwah
hizbiyah, yaitu jam’iyah, yaitu
proses dakwah yang dilakukan
oleh da’I yang
mengidentifikasikan dirinya
dengan atribut suatu lembaga atau
organisasi dakwah
tertentu, kemudian mendakwahi
anggotanya atau orang lain di luar
anggota suatu

17
organisasi tersebut; (5) dakwah
ummah, yaitu seorang da’I
mendakwahi orang
banyak melalui media mimbar atau
media massa baik cetak atau
elektronik dalam
suasana monologis, dalam suasana
bertatap muka atau tidak bertatap
muka; dan
(6) dakwah syu’ubiyah qabailiyah,
seorang da’i yang beridentitas etnis
dan budaya
atau bangsa yang berbeda dengan
dirinya (Enjang & Aliyuddin,
2009: 51)
Kata Menurut Burce dkk. dalam Sinaulan (2012) komunikasi adalah suatu proses
pengiriman dan penerimaan pesan. Proses tersebut terdiri dari lima elemen, yaitu
komunikator, pesan, media, penerima dan umpan balik. Stuart G.W (Khaeriyah, Sujarwo,
& Supriyadi, 2013) menekankan bahwa hakikat dari komunikasi itu sendiri merupakan
suatu hubungan yang dapat menimbulkan perubahan sikap dan tingkah laku serta
kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang terlibat dalam
komunikasi. Oleh karena itu kesamaan suatu bahasa, kesamaan simbol, kesamaan arti
sangat mempengaruhi informasi tersebut, sehingga bisa diterima dan dikomunikasikan
(Khaeriyah dkk., 2013). Sedangkan istilah “terapeutik” menurut Subandi (Nazirman, 2015)
berasal dari bahasa Inggris yaitu Therapy yang artinya mengobati, menyembuhkan atau
merawat. Terapeutik dengan psikoterapi mempunyai makna yang hampir sama, yakni

18
perlakuan terhadap orang cacat menggunakan metodemetode psikologis untuk mengatasi
perilaku yang tidak mampu menyesuaikan diri atau suatu prosedur yang ekpresif
digunakan untuk menghindari cacat perilaku dan masalah-masalah penyesuaian diri.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa terapeutik merupakan suatu pengobatan dan
perawatan terhadap seseorang yang mengalami gangguan psikisnya dengan bertujuan
untuk memulihkan kondisi psikis melalui metode psikologis, sehingga individu mampu
mengembangkan dan menyesuaikan diri dalam masalah psikisnya (Nazirman, 2015).
Dalam ilmu komunikasi keperawatan, untuk mengantisipasi kemungkinan pertentangan
pemaknaan antara perawat dan pasien, maka dikembangkan suatu konsep komunikasi yang
dikenal sebagai komunikasi terapeutik, yakni komunikasi yang dilakukan oleh perawat dan
tenaga kesehatan lain yang direncanakan dan berfokus pada kesembuhan konseli (Sinaulan,
2012). Menurut Purwanto (Siregar, 2016), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar dan bertujuan untuk terapi. Komunikasi terapeutik memiliki
lima tahap yaitu prainteraksi, perkenalan, orientasi, kerja dan fase terminasi (Siti, Lestari,
& Novitasari, 2013). Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi
profesional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien. Seorang penolong baik
dokter maupun paramedis atau konselor dapat membantu pasien mengatasi masalah yang
dihadapinya melalui komunikasi (Siregar, 2016). Dan umumnya komunikasi ini hanya
digunakan dalam dunia keperawatan. Akan tetapi lambat laun komunikasi ini mulai
berkembang dan banyak digunakan ada disiplin ilmu terapan lain seperti psikoterapi dan
bimbingan dan konseling.

B. Tujuan Komunikasi Terapeutik

a. Membangun hubungan terapeutik perawat dan pasien.


b. Mengidentifikasi kekhawatiran yang menjadi perhatian utama pasien.
c. Menilai persepsi pasien ketika ada masalah terkait dengan kondisinya,
termasuk persepsi pasien mengenai tindakan dari orang-orang yang terlibat, serta
bagaimana perasaan pasien tentang situasi, orang lain, dan dirinya sendiri
dalam kondisi tersebut.
d. Memfasilitasi luapan emosional dari pasien.
e. Mengajari pasien dan orang-orang terdekatnya (keluarga) tentang keterampilan
perawatan diri yang diperlukan.
f. Mengenali kebutuhan pasien
g. Menerapkan intervensi yang dirancang untuk memenuhikebutuhan pasien.

19
h. Membimbing pasien dalam mengidentifikasi rencana tindakanuntuk menghasilkan
resolusi yang memuaskan dan dapat diterimasecara sosial

C. Manfaat Komunikasi Terapeutik


Manfaat komunikasi terapeutik (Christina, dkk dalam Damayanti, 2010:12) adalah :
1. Mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan pasien melalui
hubungan perawat – pasien.
2. Mengindentifikasi, mengungkapkan perasaan, dan mengkaji masalah dan
mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat.

D. Syarat Komunikasi Terapeutik


Stuart dan Sundeen (dalam Christina, dkk., 2003) seperti yang dikutip oleh Damaiyanti
mengatakan ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi terapeutik efektif:
1. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi maupun
penerima pesan.
2. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum memberikan sarana, informasi maupun masukan. Persyaratan-persyaratan
untuk komunikasi terapeutik ini dibutuhkan untuk membentuk hubungan perawat-
klien sehingga klien memungkinkan untuk mengimplementasikan proses
keperawatan. Komunikasi terapeutik ini akan efektif bila melalui penggunaan dan
latihan yang sering (Damaiyanti, 2008).

Menurut Johnson sebagaimana dikutip oleh Ariani, dalam komunikasi terapeutik


perawat memerlukan kemmapuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup
ketrampilan intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku
“caring” atau kasih sayang/cinta. Syarat-syarat tersebut meliputi:
1. Kredibilitas adalah pengakuan komunikan terhadap keberadaan komunikator.
2. Konteks adalah situasi dan kondisi relevan dengan keadaan si penerima pesan.
3. Isi adalah merupakan materi yang akan disampaikan oleh komunikator.
4. Kejelasan adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator dan dapat diterima
oleh penerima.
5. Kontinuitas dan konsistensi. f. Saluran adalah yang digunakan untuk komunikasi
yang sesuai dan memungkinkan penerimaan yang baik oleh penerima.
6. Kemampuan komunikasi adalah materi dan teknik penyampaian pesan di
sesuaikan dengan si penerima (Ariani, 2018).

E. Sikap Komunikasi Terapeutik


Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi
komunikasi terapeutik menurut Egan, yaitu :
a. Berhadapan Arti dari posisi ini adalah saya siap untuk anda.
b. Mempertahankan kontak mata Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai pasien dan menyatakan keinnginan untuk tetap berkomunikasi.
c. Membungkuk kearah pasien Posisi ini menunjukan keinginan untuk menyatakan
atau mendengarkan sesuatu.
d. Memperlihatkan sikap terbuka Tidak melipat kaki atau tangan menunjukan
keterbukaan untuk berkomunkasi dan siap membantu.
e. Tetap rileks Tetap dapat mengendalikan keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang
kurang menyenangkan. (Egan dalam Damayanti, 2010 :14).

20
F. Teknik dan Tahapan Komunikasi Terapeutik
Setiap Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan tehnik
berkomunikasi yang berbeda pula. Tehnik komunikasi berikut ini, treutama
penggunaan referensi dari Shives (1994), Stuart & Sundeen (1950) Wilson dan Kneisl
(1920), yaitu:
1. Mendengarkan dengan penuh perhatianBerusaha mendengarkan klien
menyampaikan pesan non-verbal bahwaperawat perhatian terhadap kebutuhan dan
masalah klien. Mendengarkandengan penuh perhatian merupakan upaya untuk
mengerti seluruh pesanverbal dan non-verbal
2. MemfokuskanMetode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan
pembicaraansehingga lebih spesifik dan dimengerti. Perawat tidak
seharusnyamemutus pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah
yangpenting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru.
3. Menyampaikan hasil observasiPerawat perlu memberikan umpan balik
kepada klien denganmenyatakan hasil pengamatannya, sehingga dapat
diketahui apakahpesan diterima dengan benar. Perawat menguraikan
kesan yangditimbulkan oleh syarat non-verbal klien. Menyampaikan
hasilpengamatan perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih
jelastanpa harus bertambah memfokuskan atau mengklarifikasi pesan.
4. Menawarkan informasiTambahan informasi ini memungkinkan penghayatan
yang lebih baikbagi klien terhadap keadaanya. Memberikan tambahan
informasimerupakan pendidikan kesehatan bagi klien. Selain ini akan
menambahrasa percaya klien terhadap perawat. Apabila ada informasi yang
ditutupioleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat
tidakboleh memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan informasi,tetapi
memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
5. Diam. Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien
untukmengorganisir pikirannya. Penggunaan metode diam
memrlukanketrampilan dan ketetapan waktu, jika tidak maka akan
menimbulkanperasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk
berkomunikasiterhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan
memproses informasi. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi
terhadapdirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses
informasi.Diam terutama berguna pada saat klien harus mengambil keputusan.
6. Meringkas. Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah
dikomunikasikansecara singkat. Metode ono bermanfaat untuk membantu topik
yang telahdibahas sebelum meneruskan pada pembicaraan berikutnya.
Meringkaspembicaraan membantu perawat mengulang aspek penting
dalaminteraksinya, sehingga dapat melanjutkan pembicaraan dengan
topikyang berkaitan.
7. Memberikan penghargaanMemberi salam pada klien dengan menyebut
namanya, menunjukkankesadaran tentang perubahan yang terjadi
menghargai klien sebagaimanusia seutuhnya yang mempunyai hak dan
tanggung jawab atasdirinya sendiri sebagai individu. Penghargaan tersebut
jangan sampaimenjadi beban baginya, dalam arti kata jangan sampai klien
berusahakeras dan melakukan segalanya demi mendapatkan pujian
ataupersetujuan atas perbuatannya.
8. Menawarkan diriKlien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal
denganorang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya

21
dimengerti.Seringkali perawat hanya menawarkan kehadirannya, rasa tertarik,
tehnikkomunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.
9. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan.Memberi
kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam memilih topikpembicaraan.
Biarkan klien yang merasa ragu-ragu dan tidak pastitentang perannanya
dalam interakasi ini perawat dapat menstimulasinyauntuk mengambil inisiatif
dan merasakan bahwa ia diharapkan untukmembuka pembicaraan.
10. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraanTehnik ini menganjurkan klien
untuk mengarahkan hampir seluruhpembicaraan yang mengindikasikan bahwa
klien sedang mengikuti apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang
akan dibicarakanselanjutnya. Perawat lebih berusaha untuk menafsirkan
dari padamengarahkan diskusi/pembicaraan.
11. Menempatkan kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klienuntuk
melihatnya dalam suatu perspektif.Kelanjutan dari suatu kejadian secara teratur
akan menolong perawat danklien untuk melihatnya dalam suatu perspektif.
Kelanjutan dari suatukejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien
untuk melihatkejadian berikutnya sebagai akibat kejadian yang pertama.
12. Menganjurkan klien unutk menguraikan persepsinyaApabila perawat ingin
mengerti klien, maka ia harus melihat segalasesungguhnya dari
perspektif klien. Klien harus merasa bebas untukmenguraikan persepsinya
kepada perawat. Ketika menceritakanpengalamannya, perawat harus waspada
akan timbulnya gejala ansietas.
13. RefleksiRefleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan dan menerima
idedan perasaanya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila
klienbertanya apa yang harus ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan

Adapun Tahapan dari Komunikasi Terapeutik Dilansir dari buku principles and
exercise of Psychiatric Nursing (1998) karyaStuart dan Sundeen, memaparkan
bahwa komunikasi terapeutik terdiri dariempat tahap. Tahap-tahap tersebut yaitu:
1. Tahap pre-interaksiTahap ini merupakan tahap persiapan perawat
sebelum bertemu danberkomunikasi dengan pasien. Perawat perlu menilai
dirinya seberapakemampuan yang dimilikinya dalam menjalankan komunikasi
terapeutik.
2. Tahap orientasi atau perkenalanTahap ini dimulasi saat perawat dan
pasien bertemu untuk pertamakalinya. Perawat berkenalan dengan pasien.
Tugas perawat pada tahap iniuntuk membangun hubungan saling percaya dengan
pasien.
3. Tahap kerja. Tahap ini merupakan inti dari proses komunikasi terapeutik
yangdilakukan perawat kepada pasien. Perawat dituntut mampu
memberikandukungan dan bantuan kepada pasien.
4. Tahap terminasi. Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses
komunikasi terapeutik.Perawat dan pasien diharapkan meninjau kembali
proses yang telahdilalui dan dicapai.

22
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik pada dasarnya
merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu keperawatan yang bertujuan untuk menciptakan
kerjasama antar keduanya yakni perawat dan medis, serta berfokuskan pada penyembuhan
pasiennya. Kemudian selaras dengan perkembangan zaman, istilah tersebut mulai berkembang
diberbagai ilmu atau disiplin ilmu seperti, psikoterapi, bimbingan dan konseling, dan lain
sebagainya yang sekiranya membutuhkan komunikasi tersebut. Layanan Bimbingan dan
konseling sendiri merupakan layanan yang memungkinkan melakukan interaksi satu sama lain
yakni antara konselor dan konseli. Seorang konselor dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling

23
Islam harus melakukan mediasi dan berkomunikasi dengan baik terhadap konselinya. Kita tahu
bahwa pentingnya sebuah komunikasi dalam pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. Karena
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memahami dan mengerti apa yang ada dalam pikiran
serta diri orang lain adalah dengan berkomunikasi.
Komunikasi diperlukan untuk menciptakan hubungan di antara konselor dan konseli,
untuk mengenal kebutuhan konseli dan untuk menentukan rencana tindakan dan kerja sama di
antara keduanya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut yang bertujuan untuk pemulihan, maka
komunikasi yang terjadi pada konselor inilah yang disebut komunikasi terapeutik. Komunikasi
terapeutik pada prinsipnya merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan.
Untuk dapat menjalankan proses komunikasi terapeutik secara efektif, konselor perlu menguasai
teknik-teknik komunikasi. Dalam aktualisasinya, komunikasi terapeutik digunakan konselor
untuk menanamkan kepercayaan di diri konseli dan menciptakan hubungan yang dekat antar
keduanya agar bisa saling terbuka diri dalam penanganan masalah yang kemudian tujuan yang
hendak dicapai bisa terlaksana dengan maksimal.

24
DAFTAR PUSTKA

Aini, N. (2017). Konselor dalam Tinjauan Public Relations (Studi Komunikasi Terapeutik
Konselor dan Korban Kasus Pelecehan Seksual Anak di Lembaga Perlindungan Anak
Jatim). Undergraduate Thesis. Digital Library: UIN Sunan Ampel. Ali, M. (2016). Makna
Komunikasi Konseling (Analisis Wawancara Konseling dari Berbagai Pendekatan
Konseling). Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial. Vol 13 No 1
https://doi.org/10.21154/dialogia.v13i1.290.
Arifin, I. Z. (2012). Bimbingan dan Konseling Islam untuk Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit.
Jurnal Ilmu Dakwah. Vol 6 No 1. https://doi.org/10.15575/idajhs.v6i1.332.
Asnidar. (2010). Peran Konselor dalam Memberikan Bimbingan Agama Islam terhadap
Narapidana di lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Anak Pekanbaru. (Skripsi) UIN Suska
Riau.
Benu, S. M., & Kuswanti, I. (2016). Pengetahuan Bidan tentang Komunikasi Terapeutik dalam
Praktik Kebidanan. Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu.”
Budianto, T., & Supriyanti, E. (2010). Hubungan antara Persepsi Klien tentang Kemampuan
Perawat dalam Melaksanakan Komunikasi Terapaeutik dengan Kepuasan Klien di Ruang
Umar Rumah Sakit Roemani Semarang. J. Ilmu dan Tek. Kesehatan (JITK). vol 1 No. 2.
https://doi.org/10.33666/jitk.v1i2.24.
Dahlan, Z. (2017). Peningkatan Kualitas Kompetensi Guru BK sebagai Konselor di Sekolah
dalam Menghadapi Tantangan Global. Jurnal Al- Irsyad. vol 7 No. 1.
Darmawan, I. (2009). Hubungan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik dengan Kepuasan Klien
dalam Mendapatkan Pelayanan Keperawatan di Instalasi Gawat Darurat
11

25

Anda mungkin juga menyukai