Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

PADA KLIEN “NY. R” DENGAN DIAGNOSA MEDIS ASMA

DI DESA SIDOREJO DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TUBAN

Oleh :

ADE WINDHIA L.
NIM. P27820517003

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN KAMPUS TUBAN
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Keperawatan dengan Judul Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Klien “Ny. R”
dengan Diagnosa medis Asma di Desa Sidorejo Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban. Telah
disahkan pada tanggal, …

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

DIDIK A. KHOLIDI Amd.Kep Wahyu Triningsih, S.Kep.,Ns.,M.Kep


NIP : 19701111 199403 1 009 NIP : 197609222005012002
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible dan bersifat progresif (Kemenkes RI, 2008). Sedangkan
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2016)
PPOK merupakan suatu penyakit dengan karakteristik yaitu keterbatasan saluran
napas. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas.
Prevalensi hasil Penelitian ini didapat dari Bold Study pada 12 negara di dunia
dengan jumlah sampel total sebesar 9425 responden yang telah dilakukan pemeriksaan
spirometri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala respirasi, status kesehatan serta
faktor risiko pajanan PPOK (Oemiati, 2013). PPOK di 12 negara Asia Tenggara
diperkirakan sebesar 6,3% dengan prevalensi maksimum ada di Negara Vietnam
(6,7%) dan RRC (6,5%). Menurut World Healty Organization (WHO), 600 juta orang
menderita PPOK di seluruh dunia, dan ini diperkirakan akan terus meningkat. Di
Indonesia, diperkirakan terdapat 4,8 juta (5,6%) penderita PPOK di tahun 2013 (JRI,
2007).
Merokok merupakan faktor resiko penyebab PPOK di samping faktor resiko
lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain – lainya (Riyanto, BS., 2007).
Gejala yang sering muncul sesak. Sesak napas terjadi akibat gangguan ventilasi
saluran pernapasan dan menurunnya kemampuan fungsi kerja otot-otot pernapasan.
PPOK menimbulkan berbagai tingkat gangguan antara lain batuk, nyeri dada, sesak
napas, terjadinya perubahan pola napas, perubahan postur tubuh (Kerja, Lepo,
&Kendari, 2017).
Gangguan tersebut menghambat ekspansi sangkar thoraks, meningkatkan
beban kerja otot pernapasan dan mengurangi kapasitas fungsional dengan adanya
hubungan yang saling tergantung antara sistem pernapasan dan muskuloskeletal,
berbagai teknik intervensi fisioterapi telah di sarankan untuk pengobatan gejala
PPOK. Tujuannya merupakan meningkatkan mobilitas struktur thoraks yang terlibat
dalam mekanisme pernapasan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Keluarga


1. Definisi Keluarga
Depkes (2010) dalam buku Widyanto (2014) mendefinisikan keluarga sebagai suatu
sistem sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang dihubungkan karena hubungan
darah, perkawinan, adopsi dan tinggal bersama untuk menciptakan satu budaya tertentu.
Menurut Freidman (2010) keluarga didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial kecil
yang terbuka yang terdiri atas suatu rangkaian bagian yang sangat saling bergantung dan
dipengaruhi baik oleh struktur internal maupun lingkungan eksternalnya.
Dalam Undang-Undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya (Widyanto, 2014).

2. Karakteristik Keluarga
Karakteristik keluarga menurut ADP Gusti (2013) adalah sebagai berikut :
a. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan
atau adopsi.
b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap
memperhatikan satu sama lain.
c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran
sosial : suami, istri, anak, kakak, dan adik.
d. Mempunyai tujuan yaitu menciptakan dan mempertahankan budaya dan
meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan social anggota.
3. Ciri-ciri Keluarga
Ciri-Ciri Keluarga Menurut Robert Mac Iver dan Charles Horton dikutip dari Setiadi
(2008), adalah sebagai berikut :
a. Merupakan hubungan perkawinan.
b. Berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan perkawinan yang
sengaja dibentuk atau dipelihara.
c. Mempunyai suatu system tata nama (Nomen Clatur) termasuk perhitungan garis
keturunan.
d. Mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggotanya berkaitan dengan
kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.
e. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga.
4. Tipe-tipe Keluarga
Menurut ADP Gusti (2013) menjelaskan tipe-tipe keluarga sebagai berikut :
1. Tipe Keluarga Tradisional
a. Keluarga inti (Nuclear family)
Adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari
keturunannya atau adopsi atau keduanya.
b. Keluarga besar (Extended family)
Adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai
hubungan darah (kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, dll).
c. Keluarga bentukan kembali (Dyadic family)
Adalah keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau
kehilangan pasangannya.
d. Orang tua tunggal (Single parent family)
Adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orangtua dengan anak-anak akibat
perceraian atau ditinggal pasangannya.
e. The single adult living alone
Adalah orang dewasa yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah.
f. The unmarried teenage mother
Adalah ibu dengan anak tanpa perkawinan.
g. Keluarga usila (Niddle age / Aging couple)
Adalah suami sebagai pencari uang, istri dirumah atau kedua-duanya bekerja atau
tinggal di rumah, anak-anaknya sudah meninggalkan rumah karena
sekolah/perkawinan/meniti karir.
2. Tipe Keluarga Non Tradisional
a. Commune family
Adalah satu keluarga tanpa pertalian darah yang hidup serumah.
b. Orangtua (ayah dan ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak hidup
bersama dalam satu rumah tangga.
c. Homoseksual
Adalah dua individu yang sejenis hidup dalam satu rumah tangga.

5. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (1998) dalam buku ADP Gusti (2013) secara umum fungsi
keluarga adalah sebagai berikut:
a. Fungsi afektif (the affective function), adalah fungsi keluarga yang utama
untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain.
b. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social
placement function), adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
c. Fungsi reproduksi (the reproductive function), adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
d. Fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilkan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
e. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function), yaitu
fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap
memiliki produktivitas tinggi.

6. Tugas Keluarga Dalam Kesehatan


Menurut Friedman (2010) dalam buku Widyanto (2014) adapun tugas
kesehatan keluarga, antara lain :
a. Mengenal masalah atau gangguan kesehatan keluarga
Orangtua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan yang
dialami anggota keluarganya terutama berkaitan dengan kesehatan. Alasannya
adalah ketika terjadi perubahan sekecil apapun yang dialami keluarga, maka
secara tidak langsung akan menjadi perhatian orangtua atau keluarga.
b. Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
bantuan yang tepat sesuai dengan masalah kesehatan yang menimpa keluarga.
c. Merawat anggota keluarga yang sakit
Tugas ini seringkali harus dilakukan keluarga untuk memberikan
perawatan lanjutan setelah memperoleh pelayanan kesehatan di institusi
pelayanan kesehatan. Tidak menutup kemungkinan juga ketika keluarga
memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan pertolongan pertama, maka
anggota keluarga yang sakit dapat sepenuhnya dirawat oleh keluarga sendiri.
d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga untuk mendayagunakan potensi
internal yang ada di lingkungan rumah untuk mempertahankan kesehatan atau
membantu proses perawatan anggota keluarga yang sakit. Tindakan
memodifikasi lingkungan memiliki cakupan yang luas sesuai dengan
pengetahuan keluarga mengenai kesehatan.
e. Menggunakan fasilitas kesehatan
Tugas ini merupakan bentuk upaya keluarga untuk mengatasi masalah
kesehatan anggota keluarganya dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada.
7. Peranan Keluarga
Dalam UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 5 menyebutkan “Setiap
orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan memeningkatkan
derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan”. Dari pasal di atas jelas
bahwa keluarga berkewajiban menciptakan dan memelihara kesehatan dalam
upaya meningkatkan tingkat derajat kesehatan yang optimal (Setiadi, 2008).
Berikut ini adalah pembagian peran formal dalam keluarga menurut Nasrul
Effendy (1998) yang dikutip dari Effendi (2009) :
a. Ayah
Ayah sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya berperan
sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman. Juga
sebagai kepala keluarga, sebagai kelompok social, serta anggota masyarakat
dan lingkungan.
b. Ibu
Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan untuk mengurus
rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan
salah satu anggota kelompok social, sebagai anggota masyarakat dan
lingkungan disamping dapat berperan pula sebagai pencari nafkah tambahan
keluarga.
c. Anak
Anak melaksanakan peran psikososial sesuai dengan tingkat
perkembangannya, baik fisik, mental, social dan spiritual.

8. Dukungan Sosial Keluarga


Menurut Friedman (1998) dikutip dari Setiadi (2008) dukungan sosial keluarga
adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial.
Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu :
a. Dukungan Instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis
dan konkrit.
b. Dukungan Informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor
dan diseminator (penyebar informasi).
c. Dukungan Penilaian (apprasial), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah
umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai
sumber dan validator identitas keluarga.
d. Dukungan Emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan
damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi.

2.2 Konsep Medis PPOK


2.2.1 Pengertian PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Desease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial,
bronkitis kronis, dan emfisema paru-paru. Sering juga penyakit-penyakit ini disebut
dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic Obstructive Lung Disease
(COLD). (Somantri, 2009).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang dicirikan oleh
keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran
udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respons inflamasi paru yang
abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan penyempitan
jalan napas, hipersekresi mukus, dan perubahan pada sistem pembuluh darah paru.
Penyakit lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis, dan asma yang sebelumnya
diklasifikasikan ke dalam jenis PPOK kini diklasifikasikan sebagai gangguan paru
kronis, meskipun gejala dapat tumpang tindih dengan PPOK yang lain (Brunner &
Suddarth, 2016).
2.2.2 Anatomi Fisiologi Pernapasan
Anatomi saluran pernapasan terdiri atas pernapasan bagian atas (rongga hidung,
sinus paranasal, dan faring), saluran pernapasan bagian bawah (laring, trakhea,
bronkhus, dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonar, arteriola
pilmonar, kapiler pulmonar, venula pulmonar, vena pulmonar, dan atrium kiri), paru
(paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura, dan otot-otot pernapasan
(Muttaqin,Arif. 2014).
1. Saluran Pernapasan Bagian Atas
1) Rongga Hidung
Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk menuju
rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal yang satu sama lainnya
dipisahkan oleh septum. Dinding rongga hidung dilapisi oleh mukosa
respirasi serta sel epitel batang, bersilia, dan berlapis semu. Mukosa tersebut
menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara yang masuk melalui
hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung yang berambut
dan berfungsi menyaring partikel-partikel asing berukuran besar agar tidak
masuk ke saluran pernapasan bagian bawah (Muttaqin, Arif. 2014).
2) Sinus Paranasal
Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mukus, membantu
pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis, dan membantu dalam
menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembab. Sinus paranasal
juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian posterior rongga hidung.
Wilayah pembau tersebut terdiri atas permukaan inferior palatum kibriform,
bagian superior septum nasal, dan bagian superior konka hidung. Reseptor di
dalam epitel pembau ini akan merasakan sensasi bau (Muttaqin, Arif. 2014).
3) Faring
Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar tengkorak dan
berakhir sampai persambungannya dengan esofagus dan batas tulang rawan
krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang dinamai berdasarjan letaknya,
yakni nasofaring (dibelakang hidung), orofaring (dibelakang mulut), dan
laringofaring (dibelakang laring) (Muttaqin, Arif. 2014)
2. Saluran pernapasan bagian bawah
1) Laring
Laring (tenggorok) terletak diantara faring dan trakhea. Berdasarkan letak
vertebra servikalis, laring berada diruas ke-4 atau ke-5 dan berakhir di
vertebra servikalis ruas ke-6. Laring disusun oleh 9 kartilago yang disatukan
oleh ligamen dan otot rangka pada tulang hioid di bagian atas dan trakhea di
bawahnya.
Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid, dan didepannya terdapat
benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun yang terlihat nyata pada
pria. Kartilago krikoid adalah kartilago berbentuk cincin yang terletak
dibawah kartilago tiroid. Di atas kartilago tiroid terdapat epiglotis, yang
berupa katup dan berfungsi membantu menutup laring saat menelan
makanan (Muttaqin, Arif. 2014).
2) Trakhea
Trakhea adalah sebuah tabung yang berdiameter 2,5 cm dengan panjang 11
cm. Trakhea terletak setelah laring dan memanjang ke bawah setara dengan
vertebra torakalis ke-5. Ujung trakhea bagian bawah bercabang menjadi dua
bronkhus (bronkhi) kanan dan kiri. Percabangan bronkhus kanan dan kiri
dikenal sebagai karina (carina). Trakhea tersusun oleh atas 16-20 kartilago
hialin berbentuk huruf C yang melekat pada dinding trakhea dan berfungsi
untuk melindungi jalan udara. Kartilago ini berfungsi untuk mencegah
terjadinya kolaps atau ekspansi berlebihan akibat perubahan tekanan udara
yang terjadi dalam sistem pernapasan (Muttaqin, Arif. 2014).
3) Bronkhus
Bronkhus mempunyai struktur serupa dengan trakhea. Bronkhus kiri dan
kanan tidak simetris. Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan arahnya
hampir vertikal dengan trakhea. Sebaliknya, bronkhus kiri lebih panjang,
lebih sempit, dan sudutnya pun lebih runcing. Bentuk anatomi yang khusus
ini memiliki implikasi klinis tersendiri seperti jika ada yang terinhalasi, maka
benda itu lebihmemungkinkan berada di bronkhus kanan dibandingkan
dengan bronkhus kiri karena arah dan lebarnya (Muttaqin, Arif. 2014).
4) Bronkhus Pulmonaris
Bronkhus pulmonaris bercabang dan beranting sangat banyak. Cabang utama
bronkhus memiliki struktur serupa trakhea. Dinding bronkhus dan cabang-
cabangnya epitelium batang, besilia, dan berlapis semu (Muttaqin, Arif.
2014).
5) Duktus alveolaris dan alveoli
Bronkhiolus respiratorius terbagi dan bercabang menjadi bebrapa duktus
alveolaris dan berakhir pada kantung udara berdinding tipis yang di sebut
alveoli. Bebrapa alveoli bergabung membentuk sakus alveolaris. Setiap paru
terdiri atas sekitar 150 juta alveoli (sakus alveolaris). Kepadatan sakus
alveolaris inilah yang memberi bentuk paru tampak seperti spons. Adanya
daya rekoil dari serat ini selama ekspirasi akan mengurangi ukuran alveoli
dan membantu mendorong udara agar keluar dari paru (Muttaqin, Arif.
2014).
6) Paru
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga thoraks. Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi
jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Paru kanan lebih besar dari
paru kiri. Selain itu, paru juga dibagi menjadi tiga lobus, satu lobus pada
paru kanan dan dua lobus pada paru kiri. Lobus-lobus tersebut dibagi
menjadi beberapa segmen, yaitu 10 segmen pada paru kanan dan 9 segmen
pada paru kiri (Muttaqin, Arif. 2014).
7) Pleura
Pleura merupakan kantung tertutup yang terbuat dari membran serosa
(masing-masing untuk setiap paru) yang didalamnya mengandung cairan
serosa. Paru terinvaginasi (tertekan dan masuk ke dalam) lapisan ini,
sehingga membentuk dua lapisan penutup. Satu bagian melekat kuat pada
paru dan bagian lainnya pada dinding rongga thoraks. Bagian pleura yang
melekat kuat pada paru disebut pleura viselaris dan lapisan paru yang
membatasi rongga thoraks disebut pleura parietalis (Muttaqin, Arif. 2014).
8) Otot-otot pernapasan
Otot-otot pernapasan merupakan sumber kekuatan untuk menghembuskan
udara. Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang
rusuk dan tulang dada) merupakan otot utama yang ikut berperan
meningkatkan volume paru. Pada saat istirahat, otot-otot pernapasan
mengalami relaksasi. Saat inspirasi, otot sternokleidomastoideus, otot
skalenes, otot pektoralis minor, otot serratus anterior, dan otot interkostalis
sebelah luar mengalami kontraksi sehingga menekan diafragma ke bawah
dan mengangkat rongga dada untuk membantu udara masuk ke dalam paru
(Muttaqin, Arif. 2014).
9) Mekanisme pertahanan sistem pernapasan
Mukus dalam sistem pernapasan mengandung imunoglobulin (terutama
IgA), PMN, interferon, dan antibodi spesifik. Refleks batuk mendorong
sekresi mukus ke atas. Makrofag alveolar merupakan pertahanan paling akhir
dan paling penting untuk melakukan fagositosis terhadap bakteri yang
masuk ke dalam alveoli. Saluran pernapasan bagian bawah dalam keadaan
normal adalah steril, mka adanya refleks menelan dan refleks muntah
mencegah masuknya zat asing, bakteri atau kotoran lainnya ke dalam trakhea
(Muttaqin, Arif. 2014).
2.2.3 faktor Risiko
1. Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis sebelum
usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk perkecualian yang jarang dari
pernyataan umum ini seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan
defisiensi bawaan dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini dapat
mengakibatkan seseorang mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20
tahun, yang berisiko menjadi semakin berat jika mereka merokok.
2. Asap Rokok
Kebiasaan merokok, saat ini dalah satu-satunya penyebab kausaal yaang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok
mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Namun tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK
secara klinis, karena faktor risiko genetik mempengaruhi setiap individu.
Perokok pasif dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan
PPOK, karena peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas.
3. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas terdapat di udara sekitar dapat menjadi
penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan
efek yang berbeda terhadap timbul dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah
mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
1) Polusi di Dalam Ruangan
1. Asap Rokok
2. Asap Dapur (kompor, kayu, arang, dll)
2) Polusi di Luar Ruangan
1. Gas Buang Kendaraan Bermotor
2. Debu Jalanan
3) Polusi di Tempat Kerja
1. Bahan Kimia
2. Zat Iritasi
3. Gas Beracun
4. Jenis Kelamin
Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK
masih belum jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa angka kesakitan dan
kematian akibat PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan,
terkait dengan bertambahnya jumlah perokok perempuan.
2.2.6 Etiologi
1) Emfisema
Emfisema adalah suatu pelebaran kantong udara kecil (alveoli) di paru-paru
disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan
alveoli yang berhubungan ke saluran napas kecil (bronkioli) memebentuk yang
kauat dan menjaga saluran pernapasan tetap terbuka. Pada emfiema, dinding
alveoli mengalami kerusakan sehingga bronkioli kehilangan struktur
penyangganya. Dengan demikian, ketika udara dikeluarkan, bronkioli akan
mengerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap. Tubuh
menghasilkan protein alfa-1-antitripsin yang berperan penting dalam mencegah
kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu penyakit keturunan yang
sangat jarang terjadi dimana seseorang tidak memiliki sedikit alfa-1-antitripsin
sehingga mempermudah terjadinya emfisema, terutama pada awal usia
pertengahan (terutama terjadi pada perokok). (Muttaqin, Arif. 2014)
2) Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis adalah batuk menahun yang menetap, yang disertai dengan
pembentukan dahak. Pada saluran napas kecil terjadi pembentukan jaringan
parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir, dan
kontraksinpada otot polosnya, sehingga terjadi penyempitan. Dan jika terdapat
zat-zat iritan, akan menyebabkan pada alveoli tersebut. Jika peradangan ini
berlangsung lama, maka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan yang menetap.
Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan
menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak
jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Merokok akan mengakibatkan
kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu dengan cara merusak sel-
sel seperti rambut (silia) yang secara normal membawa lendir ke mulut dan
membantu mengeluarkan bahan-bahan beracun (Muttaqin, Arif. 2014).
2.2.5 Patofisiologi PPOK
PPOK adalah bronkitis kronis, dan emfisema (Somantri, 2009). Pada bronkitis
kronis dan bronkiolitis, penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak
menyumbat jalan napas (Muttaqin, Arif. 2014). Bronkitis timbul sebagai akibat dari
adanya paparan terhadap infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau).
Iritan akan memicu timbulnya respons inflamasi yang akan menyebabkan
vasodilatasi, kongesti, edema mukosa, dan bronkospasme.
Oleh karena mucocilliarydari paru mengalami kerusakan, maka peningkatan
kecenderungan untuk terserang infeksi, ketika infeksi timbul, kelnjar mukus akan
menjadi hipertrofi dan hyperplasia, sehingga produksi mukus akan meningkat.
Dinding bronkial meradang dan menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyak menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara berat.
Mukus yang kental dan pembesaran bronkus menyebabkan onstruksi jalan napas
terutama selama ekspirasi. Jalan napas mengalami kolaps, dan terperangkap pada
bagian distal paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan peningkatan alveolar, hipoksia,
dan asidosis. Klien akan mengalami kekurangan oksigen jaringan dan timbul rasio
ventilasi-perfusi abnormal, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat
juga meningkatkan nialai PaCO2 klien akan terlihat sianosis ketika mengalami
kondisi ini. Sebagai kompensasi dari hipoksemia, terjadilah polisitemia
(overproduksi eritrosit) (Muttaqin, arif. 2014).
Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi
akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang uadar
dalam paru. Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta
penurunan retribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien emfisema.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbondioksida mengalami keriusakan.
Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri
(hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Individu dengan emfisema
yang mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas
aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Dibutuhkan tekanan negative selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan
dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan keras otot-
otot pernapasan yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada
persendiannya dengan bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio
diameter AP : Transversal mengalami peningkatan (barrel chest) (Muttaqin, Arif.
2014).
PPOK dianggap sebagai yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan
lingkungan. Meroko, polusi udara, dan paparan ditempat kerja (terhadap batubara,
kapas, dan padi-padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang pada
terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun.
PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang
normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kelainan dengan kemajuan
lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan gejala
klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi simptomatik selama
tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia.
Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan pwningkatan usia, PPOK dapat
memperburuk perubahan fisiologis yang berkaitan dengan penuaan dan
mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya
pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oelh karena itu, terdapat
perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada pasien lansia dengan PPOK
(Muttaqin, Arif. 2014).
2.2.6 Manifestasi Klinis PPOK
Menurut Ganong (2011) dalam buku patofisiologi penyakit, manifestasi klinis
bronkitis kronis, dan emfisema meliputi :
1. Bronkitis Kronik
Manifestasi klinis bronkitis kronik terutama tejadi akibat proses obstruksi dan
peradangan saluran napas.
1) Batuk Produktif
Batuk bersifat produktif dengan sputum kental yang sering purulen akibat
peradangan yang terus menerus dan tingginya kemungkinan kolonisasi oleh
bakteri dan infeksi. Kekentalan sputum meningkat terutama akibat adanya DNA
bebas (berberat molekul tinggi dan sangat kental) dari sel- sel yang mengalami
lisis. Dengan meningkatnya peradangan dan jejas mukosa, hemoptisis dapat terjadi
tetapi biasanya sedikit. Sputum biasanya tidak berbau busuk, seperti yang terjadi
pada infeksi anaerob seperti abses. Batuk, yang sangat efektif untuk membersihkan
saluran napas, jauh kurang efektif akibat penyempitan kaliber saluran napas dan
peningkatan volume dan kekentalan sekresi.
2) Mengi
Penyempitan persisten saluran napas dan penyumbatan oleh mukus dapat
menyebabkan mengi lokal atau difus. Hal ini dapat berspons terhadap
bronkodilator dan mencerminkan komponen reversibel dan obstruksi.
3) Ronki Kasar Inspirasi dan Ekspirasi
Peningkatan produksi mukus, disertai gangguan fungsi ekskalator mukosilia,
menyebabkan penumpukan sekresi di saluran napas, meskipun terjadi peningkatan
batuk. Sisa sekresi ini terdengar jelas di saluran napas besar sewaktu bernapas
tenang atau batuk.
4) Pemeriksaan Jantung
Takikardia sering terjadi, terutama pada eksaserbasi bronkitis atau pada
hipoksemia. Jika hipoksemianya signifikan dan kronik, hipertensi pulmonal dapat
timbul ; pemeriksaan jantung memperlihatkan peningkatan bunyi penutupan katup
pulmonal (P2) atau peningkatan tekanan vena jugularis serta edema perifer akibat
gagal jantung kanan.
5) Pencitraan
Temuan radiografis thoraks yang tipikal adalah meningkatnya volume paru
dengan diafragma yang relatif tertekan yang konsisten dengan hiperinflasi.
Penebalan-penebalan linear sejajar yang sering ditemukan akibat penebalan
didinding bronkus. Ukuran jantung mungkin membesar, yang mengisyaratkan
bahwa jantung kanan mengalami kelebihan beban volume. Arteri-arteri pulmonal
sering menonjol dan konsisten dengan hipertensi pulmonal.
6) Uji Fungsi Paru
Obstruksi difus saluran napas dibuktikan dengan uji fungsi paru berupa
penurunan menyeluruh aliran dan volume ekspirasi. FEV 1, FCV, dan rasio
FEV1/FVC (FEV1%) semua menurun. Kurva aliran-volume ekspirasi
memperlihatkan penurunan substansial aliran udara. Sebagian pasien dapat
berespons terhadap bronkodilator. Pengukuran volume-volume paru
memperlihatkan peningkatan RV dan FRC, dan mencerminkan udara yang
terperangkap dalam paru akibat obstruksi difus saluran napas dan penutupan dini
saluran napas pada volume-volume paru yang besar.
7) Gas Darah Arteri
Ketidaksesuaian ventilasi perfusi seruing terjadi pada bronkitis kronik. A-a
∆PO2 meningkat dan hipoksemia sering dijumpai terutama karena banyaknya
daerah dengan rasio V/Q yang rendah (pirau fisiologis); hipoksemia saat istirahat
cenderung lebih berat ketimbang pada emfisema. Dengan meningkatnya obstruksi,
terjadi peningkatan PCO2(hiperkapnia) dan asidosis respiratorik, disertai alkalosis
metabolik kompensatorik.
8) Polisitemia
Hipoksemia kronik menyebabkan peningkatan hematokrit yang diperantarai
oleh eritropoietin. Pada hipoksia yang lebih berat dan berkepanjangan, hematokrit
dapat meningkat melebihi 50%.
1. Emfisema
Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non-peradangan berupa dispnea,
obstruksi progresif saluran napas yang ireversibel, dan gangguan pertukaran gas,
terutama saat berolah raga.
1) Bunyi Napas
Intensitas bunyi napas pada emfisema biasanya berkurang intensitasnya, yang
mencerminkan berkurangnya aliran udara, memanjangnya waktu ekspirasi, dan
hiperinflasi paru yang berat. Mengi, jika ada tidak terlalu jelas. Bunyi napas,
termasuk ronchi basah dan kering, jarang terdengar tanpa adanya proses lain
seperti infeksi.
2) Pemeriksaan Jantung
Mungkin terjadi takikardia seperti pada bronkitis kronik, khususnya pada
eksaserbasi atau hipoksemia. Hipertensi pulmonal adalah konsekuensi umum dari
obliterasi vaskular paru dan hipoksemia yang menyertainya. Pemeriksaan jantung
dapat memperlihatkan penutupan katup pulmonal yang mencolok (peningkatan P 2,
komponen pulmonal bunyi jantung kedua) atau peningkatan tekanan vena
jugularis serta edema perifer akibat gagal jantung kanan.
3) Pencitraan
Hiperinflasi sering terlihat, dengan diafragma yang mendatar dan pertambahan
garis tengah toraks anteroposterior. Kerusakan perenkim menyebabkan corakan
vaskular perifer paru yang berkurang, sering dengan pelebaran arteri pulmonalis
proksimal akibat hipertensi pulmonal sekunder. Kelainan kristik atau bulosa juga
dapat terlihat.
4) Uji Fungsi Paru
Kerusakan parenkim paru dan hilangnya recoilelastis merupakan kausa
mendasar kelainan yang ditemukan pada uji funsi paru. Hilangnya daya recoil
elastis di jaringan paru yang menunjang saluran napas menyebabkan peningkatan
kompresi dinamis saluran napas, terutama saat ekspirasi paksa; semua laju aliran
berkurang. Dengan kolapsnya saluran napas secara prematur, FEV 1, FVC, dan
rasio FEV1/FVC (FEV1%) semuanya menurun. Seperti pada bronkitis kronik dan
asma, kurva aliran-volume ekspirasi memperlihatkan penurunan substansial aliran.
Memanjangnya waktu ekspirasi, penutupan dini saluran napas, dan
terperangkapnya udara menyebabkan peningkatan RV dan FRC. TLC meningkat,
meskipun sebagian peningkatan kapasitas ini berasal dari gas yang terperangkap
unit-unit paru yang terisolasi atau sulit diakses, termasuk bula. DLCO umumnya
menurun seiring dengan bertambahnya luas emfisema, yang mencerminkan
kerusakan progresif alveolus dan jaringan kapilernya.
5) Gas Darah Arteri
Emfisema adalah penyakit dengan destruksi dinding alveolus. Berkurangnya
kapiler alveolus menciptakan daerah-daerah dengan ventilasi yang relatif tinggi
terhadap perfusinya. Biasanya, pasien dengan emfisema akan beradaptasi dengan
rasio V/Q yang tinggi dengan meningkatkan ventilasi minornya. Mereka dapat
mempertahankan kadar PO2 dan PCO2 yang mendekati normal, meskipun
penyakitnya sudah lanjut. Pemeriksaan gas darah arteri hampir selalu
memperlihatkan peningkatan A-a ∆PO2. Pada tingkat keparahan penyakit yang
lebih besar dandengan semakin berkurangnya perfusi kapiler, DLCO menurun,
yang menyebabkan desaturasi hemoglobin arteri yang semula hanya timbul saat
berolah raga tetapi akhirnya juga pada saat istirahat.
6) Polisitemia
Seperti pada bronkitis kronik, hipoksemia kronik sering berkaitan dengan
peningkatan hematokrit.

2.1.7 Komplikasi PPOK


MenurutSomantri (2009), ada beberapa komplikasi bagi penderita PPOK meliputi :
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO 2< 55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pleura. Pada tahap lanjut akan timbul
sianosis.
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO 2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul
antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan
rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara
akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
4. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berta juga
dapat mengalami masalah ini.
5. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak
berespons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.
2.2.7 Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan pada PPOK stabil :
1. Mengurangi gejala
a. Menghilangkan gejala
b. Memperbaiki toleransi latihan
c. Memperbaiki kualitas hidup
2. Mengurangi risiko
a. Mencegah progresitifitas penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Mengurangi kematian
Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi :
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyalit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbarasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2) Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3) Mencapai aktivitas optimal
4) Meningkatkan kualitas hidup
2. Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat
progesivitas penyakit. Selain berhenti merokok, penatalaksanaan non
farmakologis yang lain adalah rehabilitasi paru, latihan fisis dan vaksinasi
dapat dilihat pada tabel
Tabel terapi non farmakologis PPOK
Grup pasien Utama Direkomendasikan Tergantung pada
PPOK Pedoman setempat
A Berhenti merokok Aktivitas fisis Vaksinasi flu
(termasuk terapi Vaksinasi
Farmakologi) Pneumokokus
B-D Berhenti merokok Aktivitas fisis Vaksinasi flu
(termasuk terapi Vaksinasi
Farmakologi) Pneumokokus
Rehabilitasi paru
(Dikutip GOLD, 2016)
3. Obat-obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan dalam bentuk inhalasi. Saat pemberian terapi inhalasi sebaiknya tidak
menggunakan oksigen 100% karena pada pasien PPOK yang stimulasi napasnya terjadi
karena hipoksemia dapat terjadi depresi pernapasan.
Terapi inhalasi pada PPOK harus diperhatikan terutama saat menggunakan
nebulizer, disamping kombinasi jenis obat, juga perlu diperhatikan bentuk terapi
inhalasinya, alat bantu serta pemilihan sumber tenaga dari nebulizernya (tekanan aliran
oksigen atau kompresor). Pemilihan sumber tenaga terapi inhalasi harus berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah, karena pada PPOK sudah terjadi retensi CO 2 sebelum
pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer.
Penggunaan nebulizer tidak dianjurkan untuk jangka panjang. Obat
bronkodilator diberikan sebagai basis jika diperlukan atau regular untuk mencegah atau
mengurangi gejala. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat kerja lama (long acting). Kombinasi bronkodilator dari kelas
farmakologi berbeda dapat memperbaiki efikasi dan menurunkan risiko efek samping
dibandingkan dengan meningkatkan satu dosis bronkodilator. Pemakaian obat
nebulisasi tidak dianjurkan dicampur dengan NaCl atau obat nebulisasi lainnya karena
dapat mengurangi konsentrasi obat, memperlama waktu nebulisasi dan menambah
gejala seperti batuk.
4. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi selular dan mencegah kerusakan
sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat terapi oksigen :
1) Mengurangi sesak
2) Memperbaiki aktivitas
3) Mengurangi hipertensi pulmoner
4) Mengurangi vasokonstriksi
5) Mengurangi hematokrit
6) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
7) Meningkatkan kualitas hidup
5. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk menurunkan gejala, meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu :
1) Latihan fisis (untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi
oksigen).
2) Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan.
3) Latihan ketahanan (untuk peningkatan kapasitas kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen).
2.1.9 Pathway PPOK

Pencetus:
(Asthma, Bronkhitis kronis, Emfisema) PPOK

Obstruksi padapertukaran
Penumpukan lendir dan oksigen dan karbondioksida Jalan napas bronkial
sekresi yang sangat banyak terjadi akibat kerusakan menyempit dan membatasi
menyumbat jalan napas jumlah udara yang mengalir
dinding alveoli
ke dalam paru-paru

Gangguan pergerakan udara dari


dan keluar paru

Penurunan kemampuan batuk Peningkatan usaha dan frekuensi


efektif pernapasan, penggunaan otot bantu
pernapasan

Ketidakefektifan bersihan jalan Peningkatan kerja Respons sistemis dan


napas pernapasan, hipoksemia
secara reversibel psikologis
Resiko tinggi infeksi pernapasan
Keluhan sistemis,

Gangguan pertukaran Kelemahan, dan

gas

Gagguan pemenuhan
ADL

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan PPOK


Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan praktik keperawatan
langsung pada klien ataau pasien diberbagai tatanan pelayanan kesehatan yang
pelaksanaannya berdasarkaan kaidah profesi keperawatan dan merupakan ini praktik
keperawatan. Kaidah profesi keperawatan yang bersifat humanistik sesuai dengan kebutuhan
objektif klien (Zaidin, Ali. 2010).
Proses keperawatan adalah metode pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan
secara sistematis, teratur, dan berkelanjutan untuk membantu klien mengatasi masalah
keperawatan yang dihadapinya melalui serangkaian intervensi berdasarkan ilmu dan kiat
keperawatan. Proses keperawatan bersifat ilmiah, yakni melekat pada pohon ilmu (body of
knowledge) keperawatan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan keperawatan
(rasional, profesional, etis, dapat dibuktikan kebenarannya). Dalam proses keperawatan
terdapat 5 tahapan, yaitu sebagai berikut :
1. Pengkajian, yaitu mengkaji keadaan klien pada saat pertemuan pertama dan
memperbaiki atau memperbarui untuk pertemuan berikutnya guna mendapatkan
diagnosis keperawatan yang tepat.
2. Diagnosa, yaitu menentukan diagnosa keperawatan yang tepat, yang disusun dalam
urutan prioritas.
3. Perencanaan keperawatan, yaitu menentukan langkah pemecahan masalah atau
diagnosa keperawatan, yang memuat tujuan rencana tindakan dan rencana penilaian.
4. Implementasi, yaitu melaksanakan tindakan keperawatan yang telah direncanakan.
5. Evaluasi, penilaian hasil dan proses yang telah dicapai.
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan langkah awal dalam asuhan keperawatan melalui pendekatan
proses keperawatan. Oleh karena itu pengkajian ini mempunyai peran yang sangat penting
dalam penentuan diagnosis keperawatan yang tepat, perencanaan tindakan keperawatan,
pelaksanaan tindakan, dan penilaian keperawatan. Pengkajian merupakan rentetan pemikiran
dan pelaksanaan yang ditujukan untuk pengumpulan data/informasi, analisis data, dan
penentuan permasalahan/diagnosis keperawatan. Pengkajian keperawatan merupakan fase
pengumpulan data dari proses keperawatan (Zaidin, Ali. 2010).
1. Identifikasi Pasien
Nama : sebagai identitas pasien
Umur : penderita PPOK paling banyak terjadi pada usia 45-65 tahun
(Somantri, 2009).
Jenis Kelamin : PPOK sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
(Somantri, 2009)
Agama : untuk mengetahui kepercayaan yang dianut pasien yang akan
mempengaruhi terhahadap pelayanan kesehatan.
Suku atau Bangsa : beberapa budaya dari suku akan mempengaruhi adanya PPOK.
Diagnosa medis : bronkitis kronik adalah diagnosis pada sekitar 75% kasus dan
emfisema pada sisanya.
No. Register : untuk mengetahui nomor pendaftaran pasien.
Tanggal MRS : untuk mengetahui kapan pasien masuk rumah
sakit.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma bronkial adalah dispnea
(bisa sampai berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk dan mengi (pada beberapa kasus
lebih banyak paroksimal). Sedangkan pada bronkhitis kronik keluhan utamanya yaitu
batuk persisten, produksi sputum seperti warna kopi, dispnea dalam beberapa keadaan,
wheezing pada saat ekspirasi, sering mengalami infeksi pada sistem respirasi
(Somantri, 2009). Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan
(onset) yang membahayakan (Muttaqin, Arif. 2014).
3. Riwayat sakit dan Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada riwayat penyakit sekarang harus dilakukan anamnesis teratur dan terarah
tentang kemungkinan penyskit ysng diderita. Untuk membantu pasien dalam
mengemukakan masalah atau keluhan secara lengkap, maka perawat dianjurkan
analisis PQRST, yaitu:
1. P (Provoking Incident)
Menilai apakah ada peristiwa yang menjadi faktor timbulnya sesak napas.
2. Q (Quality or Quantity)
Perlu ditanyakan keadaan sesak napas, kelitas sesak napas pasien juga
berbeda-beda. Masalah batuk pasien yang perlu mendapat perhatian adalah berapa
lama batuk diderita, apakah batuk disertai sputum yang purulen, dan bagaaimaan
kualitas dari sputum yang keluar (Muttaqin, Arif.2014).
3. R (Region)
Perlu ditanyakan daerah mana yang tersa berat saat pasien bernapas. Apakah
rasa sakit yang dikeluhkan dapat reda, apakah rasa sakitnya menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit itu terjadi (Muttaqin, Arif. 2014).
4. S (severity/scale)
Seberapa besar rasa sesak napas atau keluhan utama yang dirasakan pasien.
Apakah gejala atau keluhan tersebut mempengaruhi kegiatan normal atau tidur
(Muttaqin, Arif. 2014).
5. T (Time)
Kapan keluhan lebih sering muncul, berapa lama biasanya keluhan muncul
atau berlangsung, dan apakah keadaannya bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari (Muttaqin, Arif. 2014).
2) Riwayat penyakit Dahulu
Pada klien PPOK biasanya mempunyai riwayat merokok, riwayat batuk kronis,
riwayat asma pada saat anak-anak (Muttaqin, Arif. 2014).
Menurut Somantri (2009) perawat perlu menanyakan tentang riwayat penyakit
pernapasan pasien. Secara umum pertanyaan yang dapat dilakukan pada pasien
adalah sebagai berikut :
1. Riwayat Merokok
2. Batuk atau produksi sputum selama beberapa hari ± 3 bulan dalam 1 tahun dan
paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Penelitian terakhir didapatkan bahwa anak dari orang tua perokok dapat
menderita penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat serta prevalensi terhadap
gangguan pernapasan kronik lebih tinggi. Selain itu, pasien yang tidak merokok
tetapi tinggal dengan perokok (perokok pasif) mengalami peningkatan kadar karbon
monoksida darah. Dari keterangan tersebut untuk penyakit familial dalam hal ini
bronkhitis kronik mungkin berkaitan dengan polusi udara rumah, dan bukan penyakit
yang diturunkan (Somantri, 2009).
4. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : keadaan umum pada pasien dengan gangguan sistem
pernapasan dapat dilakukan selintas pandang dengan menilai keadaan fisik tiap
bagian tubuh.
2) Kesadaran : tingkat kesadaran perlu dikaji, sebelumnya diperlukan pemeriksaan
GCS (Glasglow Coma Scale) untuk menentukan apakah pasien berada dalam
keadaan composmentis, somnolen, atau koma (Muttaqin, Arif. 2014).
3) Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital merupakan bagian awal dari pemeriksaan fisik. Pengaturan
posisi atau menggerakkan klien selama pemeriksaan akan mengganggu hasil
pengukuran yang akurat. Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi suhu, nadi,
pernapasan, dan tekanan darah.
4) Tinggi dan Berat Badan
Kedua hal ini menggambarkan kesehatan umum seseorang. Berat badan sering
diukur pada skrining kesehatan dan kunjungan ke dokter. Keduanya juga rutin
diperiksa saat klien masuk ke pelayanan kesehatan. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk mengkaji pertumbuhan dan perkembangan seseorang.
5) Sistem Pernapasan
a) Inspeksi
Pada klien dengan PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas (sternokleidomastoid). Pada
saat inspeksi, biasanya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada berrel
chestakibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, bernapas dengan
bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif. Pada
tahap lanjut, dispnea terjadi pada saat beraktivitas bahkan pada aktivitas
kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif
dengan sputum purlen disertai dengan demam mengindikasikan adanya tanda
pertama inspeksi pernapasan.
b) Palpasi
Pada paslpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c) Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronchi dan wheezing sesuai tingkat
keparahan obstruktif pada bronkhiolus.
6) Sistem kardiovaskuler
a) Jantung : kaji fungsi jantung melalui toraks anterior. Suara jantung terjadi
sehubungan proses fisiologis pada siklus jantung.
7) Sistem pencernaan
Periksa adanya bising usus. Bising usus biasanya 5-35 kali per menit
8) Sistem penginderaan
a) Mata : ketajaman mata, lapang pandaang, konjungtiva, warna sklera.
b) Hidung : perhatikan bentuk, ukuran, kulit, warna, dan adanya deformitas atau
inflamasi.
c) Telinga : yang perlu dikaji adalah integritas struktur telinga dan ketajaman
pendengaran.
d) Mulut : pada bibir adakah sianosis, mukosa oral, gusi, dan gigi. Gigi dan
dasar mulut.
e) Kulit
- Warna : warna kulit bervariasi pada bagian tubuh dan orang tertentu, namun
umumnya warna kulit tidak berbeda jauh pada seluruh tubuh.
- Kelembapan : hidrasi kulit dan membran mukosa menggambarkan
keseimbangan cairan tubuh, perubahan lingkungan kulit, dan regulasi suhu
tubuh.
- Suhu : suhu kulit dipengaruhi oleh jumlah darah yang bersirkulasi di dermis.
Peningkatan atau penurunan suhu tubuh mengindikasikan peningkatan atau
penurunan aliran darah.
- Tekstur : karakter permukaan kulit dan persepsi tentang bagian dalamnya
merupakan tekstur kulit. Tentukan apakah kulit tersebut halus atau kasar,
tipis atau tebal, kencang atau elastis, dan mengalami indurasi (pengerasan)
atau lembut, dengan mengelusnya halus dengan ibu jari.
9) Sistem Persyarafan
Sistem ini berperan pada banyak fungsi, termasuk inisiasi dan koordinasi
gerakan, stimulus sensorik, organisasi proses pikir, pengendalian bicara, dan
penyimpanan memori.
10) Sistem Muskuloskeletal
Pemeriksaan ini berfokus pada penentuan rentang gerak sendi, tonus dan
kekuatan otot, dan kondisi sendi dan otot.
11) Sistem integumen
- Warna : warna kulit bervariasi pada bagian tubuh dan orang tertentu, namun
umumnya warna kulit tidak berbeda jauh pada seluruh tubuh.
- Kelembapan : hidrasi kulit dan membran mukosa menggambarkan
keseimbangan cairan tubuh, perubahan lingkungan kulit, dan regulasi suhu
tubuh.
- Suhu : suhu kulit dipengaruhi oleh jumlah darah yang bersirkulasi di
dermis. Peningkatan atau penurunan suhu tubuh mengindikasikan
peningkatan atau penurunan aliran darah.
- Tekstur : karakter permukaan kulit dan persepsi tentang bagian dalamnya
merupakan tekstur kulit. Tentukan apakah kulit tersebut halus atau kasar,
tipis atau tebal, kencang atau elastis, dan mengalami indurasi (pengerasan)
atau lembut, dengan mengelusnya halus dengan ibu jari.
- Turgor : kulit yang normal akan kehilangan elastisitasnya seiring usia.
Normalnya, kulit mudah terangkat dan langsung kembali ke posisi awalnya.
Sedangkan kulit yang tetap tercubit maka menandakan turgor yang buruk.
12) Sistem Perkemihan
Pengukuran volume output urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor ada tidaknya oliguria, karena
hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
13) Sistem Reproduksi
Pada wanita adakah keputihan, vaginitis atau penyakit kelamin lainnya. Pada pria
lakukan inspeksi apakah ada bagian yang abnormal.
14) Sistem Endokrin
Lakukan perkusi di posteriornpada sudut kostovertebral di garis skapular. Jika
ginjal klien mengalami radang, klien akan merasakan nyeri perkusi.
5. Pemeriksaan Penunjang
1) Pengukuran Fungsi Paru
(1) Kapasitas inspirasi menurun
(2) Volume residu : emningkat pada emfisema, bronkhitis, dan asma.
(3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit obstruksi kronis
(4) FCV awal normal → menurun pada bronkhitis dan asma
(5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emfisema)
2) Analisa gas darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH normal,
asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
3) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia sekunder
(2) Jumlah darah merah meningkat
(3) Eosinofil dan total IgE serum meningkat
(4) Pulse oksimetri → SaO2 oksigenasi menurun
(5) Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik
4) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran. Kuman yang biasa
ditemukan adalah streptococcus pneumoniae, hemophylus influenzae, dan
moraxella catarrhalis.
5) Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area
paru. Pada emfisema paru didapatkan daifragma dengan letak yang rendah dan
mendatar, ruang udara retrosternal > (foto lateral), jantung tampak bergantung,
memanjang dan menyempit.
6) Pemeriksaan Bronkhogram
Menunjukkan dilatasi bronkhus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkhokontriksi,
akumulasi sekret jalan napas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan
sekresi.
3. Gangguan ADL berhubungan dengankelemahan fisik umum dan keletihan.
4. Risiko tinggi infeksi pernapasan (pneumonia) berhubungan dengan akumulasi
sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.

2.2.3 Perencanaan Keperawatan PPOK


Tujuan utama bagi klien mencakup perbaikan dalam pertukaran gas, pencapaian
bersihan jalan napas, kemandirian dalam aktivitas perawatan diri, perbaikan dalam
kemampuan koping, kepatuhan pada program terapeutik dan perawatan dirumah
(Muttaqin, Arif. 2014).
Diagnosa 1 : ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
bronkhokontriksi, akumulasi sekret jalan napas.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi jalan napas kembali efektif
ditandai dengan berkurangnya kuantitas dan viskositas sputum untuk memperbaiki
ventilasi paru dan pertukaran gas.
Kriteria Hasil : Dapat menyatakan dan mendemonstrasikan batuk efektif, tidak ada suara
napas tambahan, wheezing (-), dan pernapasan klien normal (16-20x/menit).
Intervensi :
1) Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum.
Rasional : karakteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi
2) Atur posisi semi fowler.
Rasional : meningkatkan ekspansi dada
3) Ajarkan cara batuk efektif.
Rasional : batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran dari
sekret yang melekat di jalan napas.

4) Bantu klien latihan napas dalam.


Rasional : ventilasi maksimal membuka jalan napas dan meningkatkaan gerakan
sekret ke dalam jalan naapas besar untuk dikeluarkan.
5) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan.
Rasional : hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan
pembersihan jalan napas.
6) Lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada.
Rasional : postural drainase dengan perkusi dan vibrasi menggunakan bantuan gaya
gravitasi untuk membentu menaikkan sekresi sehingga dapat dikeluarkan atau diisap
dengan mudah.
7) Kolaborasi pemberian obat.
Bronkodilator nebulizer (via inhalasi) dengan golongan terbulatine 0,25 mg,
fenoterol HBr 0,1% solution, orciprenaline sulfur 0,75 mg, agen mukolitik dan
ekspektoran, kortikosteroid.
Rasional : pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area bronkhus
yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi. Agen mukolitik
menurunkan kekentalan dan pelengketan sekret paru untuk memudahkan
pembersihan. Agen ekspektoran akan memudahkan sekret lepas dari pelengketan
dari jalan napas. Kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia
dan menurunkan inflamasi akibat edema mukosa dan dinding bronkhus (Muttaqin,
Arif. 2014).
Diagnosa 2 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan retensi CO 2, peningkatan
sekresi.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi pertukaran gas membaik.
Kriteria Hasil : frekuensi napas 16-20x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan warna
kulit normal, tidak ada dispnea dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji ketidakefektifan jalan napas.
Rasional : bronkhospasme dideteksi ketika terdengar mengi saat diauskultasi dengan
stetoskop. Peningkatan pembentukan mukus sejalan dengan penurunan aksi
mukosiliaris menunjang penurunan lebih lanjut diameter bronkhi dan mengakibatkan
penurunan aliran udara serta penurunan pertukaran gas, yang diperburuk oleh
kehilangan daya elastisitas paru.
2) Kolaborasi untuk pemberian bronkodilator secara aerosol.
Rasional : terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga mudah untuk
dibuang. Bronkodilator yang dihirup sering ditambahkan ke dalam nebulizer untuk
memberikan aksi bronkodilator langsung pada jaalan napas, dengan demikian
memperbaiki pertukaran gas.
3) Lakukan fisioterapi dada.
Rasional : setelah inhalasi bronkodilator nebulizer, klien disarankan untuk meminum
air putih untuk lebih mengencerkan sekresi.

4) Kolaborasi untuk pemantauan analisis gas arteri.


Rasional : sebagai bahan evaluasi setelah melakukan intervensi.
5) Kolaborasi pemberian oksigen via nasal.
Rasional : oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia (Muttaqin, Arif. 2014).
Diagnosa 3 : Gangguan ADL berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.
Tujuan : infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan untuk memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal.
Kriteria Hasil : frekuensi napas 16-20x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan
kemempuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Rasional : menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya.
2) Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan.
Rasional : klien mengalami penurunan toleransi terhadap olahraga pada periode yang
pasti dalam satu hari.
3) Ajarkan latihan otot-otot pernapasan.
Rasional : setelah klien mempelajari pernapasan diafragmatik, suatu program
pelatihan otot-otot pernapasan dapat diberikan untuk membantu menguatkan otot-
otot yang digunakan dalam bernapas (Muttaqin, Arif. 2014).
Diagnosa 4 : Risiko tinggi pernapasan (pneumonia) berhubungan dengan akumulasi
sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
Tujuan : infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan untuk memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal.
Kriteria Hasil : frekuensi napas 16-20x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan batuk klien.
Rasional : batuk yang berkaitan dengan infeksi bronkhial memulai siklus yang ganas
dengan trauma dan kerusakan pada paru lebih lanjut, kemajuan gejala, peningkatan
bronkhospasme, dan peningkatan lebih lanjut terhadap kerentanan infeksi bronkhial.
2) Monitor adanya perubahan yang mengarah pada tanda-tanda infeksi pernapasan.
Rasional : klien diinstruksikan untuk melaporkan dengan segera jika sputum
mengalami perubahan warna, karena pengeluaran sputum purulen atau perubahan
karakter, warna, atau jumlah adalah tanda dari infeksi.
3) Ajarkan latihan bernapas dan training pernapasan.
Rasional : sebagian besar klien dengan PPOK bernapas dalaam dari dada bagian atas
dengan cara yang cepat dan tidak efesien. Jenis bernapas dengan dada atas ini dapat
diubah menjadi bernapas diafragmatik dengan latihan (Muttaqin, Arif. 2014).
2.2.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang
lebih baik dan menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Fase implementasi ini dimulai
ketika perawat menempatkan intervensi tertentu ke dalam tindakan dan mengumpulkan
umpan balik mengenai efeknya. Umpan balik kembali muncul dalam bentuk observasi dan
komunikasi, serta memberi data untuk mengevaluasi hasil intervensi keperawatan (Evania,
nadia. 2013).
2.2.5 Evaluasi
Secara prosedural, evaluasi berada di tahap terakhir proses keperawatan, tetapi
sejatinya, evaluasi berlangsung terus menerus tanpa henti dari awal sampai akhir. Tahap
evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien
dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan
klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam
menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, serta untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan (Evania, Nadia.
2013).
BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN PPOK

3.1 Keperawatan
Pengkajian Keperawatan keluarga, meliputi komponen pengkajian yaitu:
A. Data Umum :
1) Identitas Kepala Keluarga
Nama kepala keluarga, umur, alamat, dan telepon jika ada, pekerjaan dan pendidikan
kepala keluarga. Komposisi keluarga terdiri atas nama atau inisial, jenis kelamin,
umur, hubungan dengan keluarga, pendidikan, status imunisasi, dan genogram dalam
tiga generasi (Gusti, 2013).
2) Tipe Keluarga
Tipe keluarga besar berisiko terhadap klien yang menderita Enfisema. Hal ini karena
kurangnya dukungan dari seluruh anggota keluarga dan dapat mengakibatkan
terjadinya peningkatan stress lingkungan yang dapat berisiko terjadinya kurang
pengetahuan pada klien PPOK (Gusti, 2013).
3) Suku bangsa (etnis)
Mengkaji asal suku bangsa kelurga tersebut serta mengidentifikasi budaya suku bangs
bangsa tersebut terkait dengan kesehatan (Muhtadi, 2012).
4) Agama
Penderita Engisema yang berpegang teguh terhadap agamanya akan memiliki jiwa
yang tabah dan tidak mudah putus asa. Kemauan untuk melakukan kontrol penyakit
enfisema dapat dipengaruhi oleh kepercayaan penderita enfisema dimana penderita
enfisema yang memiliki kepercayaan yang kuat akan lebih patuh terhadap anjuran dan
larangan, sehingga dapat mencegah terjadinya kurang pengetahuan pada penderita
PPOK ( Ardiansyah, 2013).
5) Status Sosial Ekonomi Keluarga
Pendapatan yang rendah disertai dengan pengeluaran yang tinggi, yang tidak sesuai
dengan pendapatan yang didapat, dapat menjadi stress lingkungan yang merupakan
salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kurang pengetahuan pada klien PPOK
(Ardiansyah,2013).
6) Aktivitas Rekreasi
Akivitas rekreasi atau hiburan seperti menonton TV, berjalan-jalan dapat mengurangi
pikiran yang stress pada klien enfisema. Dibandingkan dengan klien yang tidak
melakukan aktivitas rekreasi seperti menonton TV, berjalan-jalan lebih berisiko tinggi
terjadinya stress pada klien PPOK (Setiadi, 2008).
B. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
1) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Tahap perkembangan keluarga ditentukan oleh anak tertua dari keluarga inti. Karena
pada tahap ini perlu ditingkatkan komunikasi kaum dewasa muda dengan orang tua,
perlunya perhatian dalam gaya hidup antara lain, kebiasaan minum alkohol, merokok,
makanan. Yang apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian dapat menjadi faktor
risiko terjadinya kekambuhan pada klien PPOK (Ali, 2010).

2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi


Menjelaskan mengenai tugas perkembangan keluarga serta kendala-kendala mengapa
tugas perkembangan tersebut belum terpenuhi. Bila terdapat kebutuhan anggota
keluarga yang belum terpenuhi karena kurang informasi dapat menjadi resiko kurang
pengetahuan pada klien PPOK (Ali, 2010).

3) Riwayat keluarga inti


Penyakit yang pernah dialami oleh keluarga, banyak penyakit menurun dalam
keluarga seperti asma. Gaya hidup klien, misalnya : minum alkohol atau narkoba,
kebiasaan merokok, gaya hidup seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya kurang
pengetahuan pada klien PPOK (Ardiansyah, 2013).

4) Riwayat keluarga sebelumnya


Pada keluarga terdapat keluarga yang memiliki keturunan PPOK. Selain itu, pada
penderita PPOK yang tidak menjalani gaya hidup sehat seperti mengurangi konsumsi
garam, menghindari konsumsi alkohol karena kurang pengetahuan dapat
mengakibatkan terjadinya penyakit komplikasi yang serius (Muttaqin, 2009).

C. Lingkungan
1) Karakteristik rumah
Luas rumah yang sempit, rumah yang kotor, perabot rumah tangga yang tidak tertata
rapi, kondisi rumah yang kurang memadai, ini dapat menunjukkan kondisi sosial
ekonomi yang rendah. Hal ini dapat memicu terjadinya kurang pengetahuan pada klien
enfisema dengan faktor stress lingkungan (Ali, 2009).
2) Karakteristik tetangga dan komunitas
Lingkungan rumah yang bersih dan tertata rapi dapat mengurangi stress lingkungan,
serta tingginya masyarakat dalam mengkonsumsi makanan mengandung garam seperti
penduduk yang bermukim disekitar pantai, dapat beresiko terjadinya kurang
pengetahuan pada klien PPOK (Ali, 2012).
3) Mobilitas geografis keluarga
Menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga berpindah tempat, bila daerah tersebut
berada didaerah berpolusi tinggi dapat memicu terjadinya penyakit PPOK (Muttaqin,
2009).
4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Keluarga bersama membicarakan masalah yang sedang dialami, dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya stress yang dapat mengakibatkan PPOK. Interaksi dengan
masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana hiburan pada klien PPOK akibat stress
lingkungan (L Jhonson, 2010).
5) Sistem pendukung keluarga
Sumber dukungan dari anggota keluarga dan fasilitas-fasilitas sosial atau dukungan
masyarakat setempat serta jaminan pemeliharaan kesehatan yang dimiliki keluarga
untuk meningkatkan upaya kesehatan (Askes, BPJS, Jamsostek, Jamkesmas, SPM)
dapat mengurangi kurang pengetahuan pada klien PPOK karena mendapatkan
pengobatan yang tepat (Gusti, 2013).
D. Struktur Keluarga
1) Pola komunikasi keluarga
Komunikasi yang baik dan saling terbuka antar keluarga, membicarakan dan
memecahkan masalah keluarga secara bersama-sama dapat mengurangi stress yang
dapat mengakibatkan kurang pengetahuan pada klien PPOK (Setiadi, 2008).
2) Struktur kekuatan keluarga
Keluarga yang tidak mampu mengendalikan dan mempengaruhi gaya hidup sehat
penderita PPOK, sehingga penderita PPOK tetap melakukan gaya hidup yang tidak
sehat seperti merokok dan minum-minuman beralkohol dapat mengakibatkan kurang
pengetahuan pada penderita PPOK (L Jhonson, 2010).
3) Struktur peran
Peran dalam keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan peran yang seharusnya
dilakukan dapat mengurangi stress yang dialami sehingga dapat menurunkan risiko
kurang pengetahuan pada klien PPOK (Ali, 2010).
4) Nilai atau norma keluarga
Menerapkan nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat, tidak minum alkohol yang
memabukkan, tidak mengkonsumsi narkoba, dan tidak merokok, ini dapat
menghindarkan terjadinya kurang pengetahuan pada klien PPOK (Gusti, 2013).
E. Fungsi Keluarga
1) Fungsi afektif
Keluarga pada penderita PPOK yang saling mendukung dalam proses penyembuhan,
memperhatikan apa yang sebaiknya dikonsumsi oleh penderita PPOK serta
memberikan kondisi lingkungan yang baik dapat mencegah terjadinya kurang
pengetahuan pada klien PPOK (Gusti, 2013).
2) Fungsi sosialisasi
Interaksi yang baik dalam keluarga dapat mendukung proses penyembuhan PPOK
agar tidak terjadi. Patuh terhadap norma serta disiplin pada anjuran yang diberikan
untuk mencegah terjadinya kurang pengetahuan pada klien PPOK (Gusti, 2013).
3) Fungsi perawatan kesehatan
Pengetahuan keluarga mengenai sehat-sakit, kesanggupan keluarga melakukan
pemenuhan tugas perawatan keluarga menurut Widyanto (2014) ada 5 tugas keluarga
di bidang kesehatan yaitu:
a. Mengenal masalah kesehatan
Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah PPOK dengan kurang
pengetahuan, yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga mengetahui fakta-
fakta dari masalah PPOK yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, faktor
penyebab serta persepsi keluarga terhadap PPOK dengan kurang pengetahuan.
b. Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Yang perlu di kaji:
1) Kemampuan keluarga memahami masalah PPOK dengan kurang pengetahuan
2) Masalah PPOK dengan kurang pengetahuan yang dirasakan keluarga
3) Keluarga merasa menyerah terhadap masalah PPOK
4) Keluarga merasa takut akan penyakit PPOK
5) Keluarga memiliki sikap negative terhadap PPOK dengan kurang pengetahuan
6) Keluarga dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang ada
7) Keluarga kurang percaya terhadap kesehatan yang ada
8) Keluarga dapat informasi yang salah terhadap tindakan dalam mengatasi
PPOK dengan kurang pengetahuan
c. Merawat keluarga yang mengalami PPOK dengan kurang pengetahuan
1) Keluarga mengetahui sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan
untuk menanggulangi penyakit PPOK dengan kurang pengetahuan
2) Keluarga mempunyai sumber daya dan fasilitas yang diperlukan untuk
perawatan penyakit PPOK dengan kurang pengetahuan
3) Ketrampilan keluarga mengenai macam perawatan yang diperlukan untuk
penyakit PPOK dengan kurang pengetahuan memadai
4) Pengetahuan keluarga dalam upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit PPOK dengan kurang pengetahuan
d. Memelihara lingkungan rumah yang sehat
Keluarga mengetahui sumber-sumber yang dimiliki keluarga, keuntungan atau
manfaat pemeliharaan lingkungan, mengetahui pentingnya hygiene sanitasi dan
kekompakan antar anggota keluarga yang dapat mencegah terjadinya kurang
pengetahuan pada klien PPOK.
e. Menggunakan fasilitas/pelayanan kesehatan dimasyarakat
1) Pengetahuan keluarga tentang keberadaan fasilitas kesehatan yang dapat
dijangkau
2) Pemahaman keluarga tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari fasilitas
kesehatan
3) Tingkat kepercayaan keluarga terhadap petugas dan fasilitas yang ada
4) Keluarga mempunyai pengalaman yang kurang baik terhadap petugas
kesehatan.
4) Fungsi reproduksi
Penggunaan kontrasepsi hormonal seperti KB suntik dan pil dapat meningkatkan
tekanan darah, hal ini juga dapat mengakibatkan pada penderita PPOK (Setiadi, 2008).
5) Fungsi ekonomi
Apabila kebutuhan sandang, pangan dan papan belum terpenuhi dengan baik serta
kebutuhan yang dikeluarkan melebihi pendapatan yang didapatkan ini dapat memicu
terjadinya stress yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah pada penderita
PPOK karena sulit dalam mengatasi faktor pencetusnya (Muttaqin, 2009).
F. Stress dan Koping Keluarga
1) Stressor jangka pendek dan panjang
Stressor jangka pendek yaitu yang dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian
dalam waktu ± 6 bulan dan jangka panjang yaitu yang memerlukan penyelesaian lebih
dari 6 bulan. Dengan memberikan obat pada penderita PPOK dan menjaga
mempertahankan gaya hidup sehat pada klien PPOK untuk mencegah kurang
pengetahuan (Muhlisin, 2012).
2) Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi atau stressor
Keluarga berespon terhadap situasi atau stressor, seperti membicarakan bersama
masalah yang ada untuk mencari pemecahan dan menyerahkannya pada Tuhan serta
keluarga menganjurkan untuk meminum obat pada penderita PPOK (Gusti, 2013).

3) Strategi koping yang digunakan


Bila koping keluarga tidak efektif terhadap stressor, dengan tidak membicarakan
masalah berat yang sedang dialami akan menyebabkan stress yang berkepanjangan
yang dapat memicu tekanan darah tinggi pada penderita PPOK (Muttaqin, 2009).
4) Strategi adaptasi disfungsional
Setiap ada masalah dicari pemecahan dengan didiskusikan bersama keluarga dapat
mengurangi terjadinya kurang pengetahuan pada penderita PPOK (Gusti, 2013).
G. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga tidak berbeda jauh dengan
pemeriksaan fisik pada klien di klinik atau rumah sakit yang meliputi pemeriksaan fisik head
to toe dan pemeriksaan penunjang (Gusti, 2013).
a) Keadaan umum
a. Kesadaran : compos mentis, apatis, somnolen, sopor, koma (Muttaqin, 2009).
b. Tanda-tanda vital
(1) Nadi : frekuensi nadi mulai 50 kali per menit sampai dengan lebih dari 100
kali per menit setelah latihan (Muttaqin, 2009).
(2) Tekanan darah : pada pria berusia < 45 tahun ≥ 130/90 mmHg, pria berusia >
45 tahun > 145/95 mmHg, pada wanita ≥ 160/95 mmHg (Udjianti, 2011).
(3) Suhu tubuh : temperature normal berkisar dari 36,6 °C-37,2°C, pada cuaca
panas dapat naik sampai 0,5°C (Muttaqin, 2009).
(4) Respiration Rate : sifatnya abdominal, wanita lebih cepat sedikit. (Muttaqin,
2009).
1) Pemeriksaan Fisik Head To Toe
1) Wajah : bentuk muka, bulat, lonjong, ekspresi tampak gelisah dan kesakitan
(Muttaqin, 2009).
2) Mata : konjungtiva pucat (anemia), sclera kuning (icterus) hipertensi dengan
komplikasi gagal jantung kanan dan penyakit hati, tampak abu-abu ditepi kornea
bila ada penyakit jantung koroner, funduskopi yaitu pemeriksaan fundus mata
dengan optalmoskop untuk menilai kondisi pembuluh darah retina pada klien
PPOK (Muttaqin, 2009).
3) Hidung : bentuk simetris, kebersihan hidung, lender hidung/secret hidung
(Udjianti, 2011)
4) Telinga : bentuk simetris, terdapat serumen atau tidak (Udjianti, 2011)
5) Dada
a) Inspeksi : secara inspeksi untuk melihat seberapa jauh kelainan yang terjadi
pada klien PPOK. Adanya satu sisi cembung pada pemeriksaan inspeksi
dapat mengindikasikan adanya masalah didalam rongga thorak karena
terdapat penimbunan air, nanah, udara dirongga pleura, aneurisme aorta,
pembesaran jantung serta abses hati yang merupakan komplikasi PPOK.
Apabila adanya sisi cekung bisa disebabkan karena kolaps hiperinflasi
dengan peninggian diameter AP, gerakan diafragma minimal
(Muttaqin, 2009).
b) Palpasi : nyeri tekan, terjadi pembengkakan, menonjol lepas atau dekat
dengan dasar dapat terjadi pada klien hipertensi, denyut meningkat bila ada
kenaikan curah jantung (Muttaqin, 2009).
c) Perkusi : pada klien PPOK terdapat suara hypertimpani
d) Auskultasi : pada klien hipertensi didapatkan bunyi jantung pertama
menunjukkan sistole ventrikel, bunyi jantung kedua nadanya sedikit rendah
menandai adanya akhir sistole (Muttaqin, 2009).
6) Genetalia : daerah suprapubik harus diperiksa terhadap adanya massa oval dan
diperkusi terhadap adanya pekak yang menunjukkan kandung kemih penuh
(Muttaqin, 2009).
7) Kulit dan Ekstremitas
a) Inspeksi : adakah sianosis (biru) menunjukkan adanya penyakit jantung
(Muttaqin, 2009).
b) Palpasi : lembaba, akral hangat (Muttaqin, 2009).

H. Harapan Keluarga
Keluarga berharap enfisema tidak terjadi lagi pada klien PPOK. Pencegahan kurang
pengetahuan pada klien PPOK dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat PPOK di
masyarakat (L Jhonson, 2010).

3.2 Analisa Data


Pada analisis data, kegiatan yang dilakukan yaitu menetapkan masalah kesehatan
keluarga yang diangkat dari lima tugas keluarga (Gusti, 2013), yaitu :
1) Mengenal masalah kesehatan keluarga
2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
4) Mempertahankan suasana rumah yang sehat
5) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
3.3 Prioritas Masalah
Tabel 3.1 Skala Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan Keluarga

Kriteria Bobot
1) Sifat masalah 1
Skala : Ancaman kesehatan 2
Tidak /kurang sehat 3
Krisis 1

2) Kemungkinan masalah dapat di ubah 2


Skala : Dengan mudah 2
Hanya sebagian 1
Tidak dapat 0

3) Potensi masalah untuk dicegah 1


Skala : Tinggi 3
Cukup 2
Rendah 1
4) Menonjolnya masalah 1
Skala : Masalah berat harus ditangani 2
Masalah tidak perlu segera ditangani 1
Masalah tidak dirasakan 0

Skoring :

1. Tentukan skor setiap kritera


2. Skor dibagi dengan angka tertinggi dan dikalikan bobot
skor
x Bobot
angka tertinggi

3. Jumlah skor untuk semua kriteria, dengan skor tertinggi adalah 5, sama dengan
seluruh bobot (Ali, 2010)

Anda mungkin juga menyukai