Anda di halaman 1dari 73

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
i

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN


A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI
BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN
HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 )

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh


Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret

Oleh :

PUTRI WIDIYASARI
E1106040

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

i
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )


ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN
A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI
BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN
HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 )

Disusun oleh :
PUTRI WIDIYASARI
E1106040

Disetujui untuk Dipertahankan


Dosen Pembimbing

BAMBANG SANTOSO, S.H., M. Hum


NIP. 131 863 797

ii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )


ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN
A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI
BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN
HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 )

Disusun oleh :
PUTRI WIDIYASARI
E1106040

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Jum’at
Tanggal : 16 Juli 2010

TIM PENGUJI

1. Edy Herdyanto, S.H., M.H : ( )

2. Kristiyadi, S.H., M.Hum : ( )

3. Bambang Santoso, S.H., M. Hum : ( )

MENGETAHUI
Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum


NIP. 19610930 198601 1 001

iii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
iv

MOTTO

dalam sgala perkara, Tuhan punya rencana, yang lebih besar dari semua
yang terpikirkan..
apapun yang Kau perbuat tak ada maksud jahat, semua Kau lakukan
untukku Tuhan..
ku tak akan menyerah pada apapun juga, sebelum ku coba smua yang
aku bisa, tetapi ku berserah kepada kehendakMu, hatiku percaya
Tuhan punya rencana..

Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga tetapi nyatakanlah dalam


segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan
ucapan syukur.
(Filipi 4:6)

Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang


sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong
engkau, Aku akan memegang engkau dengan tangan kananku yang
membawa kemenangan.
(Yesaya 41:10)

iv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
v

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini Penulis persembahkan kepada :


Tuhan Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamatku yang hidup
Papa Nuri, Mama Wheny dan Mbak Lytha tercinta
Nusa dan Bangsa
Almamaterku

v
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
(skripsi) dengan judul: “Analisis Yuridis Penggunaan Penafsiran A Contrario
Argumentum Oleh Hakim Untuk Menilai Berlakunya UU KPK dan
Implikasinya Terhadap Keabsahan Penyidikan Perkara Korupsi Pengadaan
Helikopter ( Studi Putusan MA Nomor Putusan Mahkamah Agung Nomor
1688/2000 )” ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir dari syarat
memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan skripsi ini pun penulis menyadari bahwa bukan semata-
mata hasil usaha penulis, namun juga atas dorongan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
yang telah memberikan ijin kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Edi Herdyanto, S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
4. Bapak Wasis Sugandha, S.H., M.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingan dan nasehatnya selama Penulis menuntut ilmu di Fakultas hukum
UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
kepada Penulis.
6. Bapak dan Ibu karyawan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu dan
mengarahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Papa dan Mama, terima kasih untuk pengertian, kesabaran, dana, doa dan
kasih sayangnya. Tuhan Yesus memberkati kalian semua. I love u!

vi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vii

8. My sista Arlita, Terima kasih untuk Support, dukungan dana dan doa dalam
penulis menyelesaikan tugas akhir ini, adek sayang kakak, muachh!
9. Ibu`, Mbah Putri, Alm. Eyang-eyang Kakung, dan seluruh keluarga besar
sastro genk dan keluarga cemara Soetihono Sugeng Terima kasih untuk
perhatian dan dukungan doa dalam penulis menyelesaikan skripsi ini. GBU
all.
10. Fajar Arista yang sabar menemani Penulis di saat berbagi suka dan duka,
selalu berkorban banyak waktu untuk menemani Penulis sampai Penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Makasih sayang..!!!
11. Sahabat-sahabat kampus tersayang Eka, Tyas, Dita, Ikha, Indri, Itut, Adit,
Ucup, Nasrul, Puput, Dewi, Reynaldi, Putri Ajeng, Yoga Stom dan yang
lainnya yang selalu memberikan warna yang ceria selama Penulis duduk di
bangku kuliah.
12. Semua anak-anak angkatan 06 FH UNS yang tidak dapat disebutkan satu
persatu makasih telah mengisi hari-hari kuliahku selama 4 tahun ini.
13. Si hitam yang menjadi sponsorship selama penulis kuliah sampai penulis
menyelesaikan skripsi ini dan lesy si gugug bauk yang udah menemani penulis
dirumah dan menjadi hiburan diwaktu jenuh, tnks yyaahh!
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Mengingat keterbatasan diri penulis, penulis sadar bahwa penulisan


hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya saran dan
kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Akhir kata penulis berharap semoga penulisan hukum ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk perkembangan hukum acara
pidana, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum

Surakarta, Maret 2010


Penulis

vii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO.................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
KATA PENGANTAR................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR............................................................... x
ABSTRAK................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian......................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian........................................................................ 6
E. Metode Penelitian......................................................................... 6
F. Sistematika Skripsi........................................................................ 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori....................................................................... 11
1. Tinjauan Umum Mengenai A Contrario Argumentum........... 11
a) Pengertian A Contrario Argumentum….......................... 11
2. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Korupsi.......................... 11
a) Pengertian Korupsi........................................................ 11
b) Tipe-tipe Korupsi.......................................................... 13
c) Bentuk-bentuk korupsi.................................................. 16
d) Ciri-ciri Korupsi........................................................... 17
e) Sebab-sebab Korupsi..................................................... 18
3. Tinjauan Mengenai KPK.................................................... 19
a) Visi Komisi Pemberantasan Korupsi.............................. 20
b) Misi Komisi Pemberantasan Korupsi.............................. 20

viii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ix

c) Peraturan Perundang-undangan terkait dengan KPK........ 20


B. Kerangka Pemikiran................................................................ 22
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum oleh
Hakim Untuk Menilai Berlakunya UU
KPK……………………………………………………….. 24
B. Implikasi Penggunaan Penafsiran Hukum A Contrario
Argumentum Oleh Hakim Mahkamah Agung Terhadap
Keabsahan Tindakan Penyidikan Oleh KPK Dalam
Perkara Korupsi Pengadaan
Helikopter…………………………………………………. 54
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan...................................................................... 58
B. Saran............................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
x

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1 Dana perlakuan khusus untuk Penerimaan Provinsi dan


Kabupaten/Kota………………………………………….. 34
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran .............................................. 22

x
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xi

ABSTRAK

PUTRI WIDIYASARI. E 1106040. ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN


PENAFSIRAN A CONTRARIO ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK
MENILAI BERLAKUNYA UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEABSAHAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN
HELIKOPTER ( STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1688K/2000 ). FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Proses
penyidikan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H.
Abdullah Puteh dengan penggunaan penafsiran a contrario argumentum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai
penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh hakim dalam menilai
berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan mengetahui secara jelas
mengenai implikasi penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum oleh
hakim Mahkamah Agung terhadap keabsahan tindakan penyidikan oleh KPK
dalam perkara korupsi pengadaan Helikopter.
Penelitian yang digunakan oleh penulis menggunakan jenis penelitian
normatif, tekhnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis
mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan
diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi.
Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan penafsiran
hukum a contrario argumentum oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No 30
Tahun 2002 tentang KPK sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa
Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang
tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal
tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.

xi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xii

ABSTRACT

Putri Widiyasari. E. 1106040. A JURIDICAL ANALYSIS USING A


CONTRARIO ARGUMENTUM INTERPRETATION BY THE JUDGE TO
ASSES THE ENACTMENT OF KPK ACT AND THE IMPLICATION TO
THE CASE INVESTIGATION LEGALITY OF HELICOPTER
PROCUREMENT CORRUPTION (A STUDY ON THE SUPREME
COURT’S DECISION NUMBER 1688K/2000). LAW FACULTY OF
SEBELAS MARET UNIVERSITY.
This research studies and answers the problem concerning the
Investigation Process of Helicopter Procurement Corruption Case with the
accused Ir. H. Abdullah Puteh by using a contrario argumentum interpretation.
This research aims to find out clearly the use of a contrario argumentum
law interpretation by the judge in assessing the enactment of Act No. 30 of 2002
about KPK and to find out clearly the implication of the use of a contrario
argumentum law interpretation by the Supreme Court’s judge to the legality of
investigation by KPK in the helicopter procurement corruption case.
This study belongs to normative research; technique of collecting data
used in this research was library study, the secondary data collection. The writer
collects the secondary data relating to the problem studied that categorized
consistent with the catalog.
Through the result of research, it can be concluded that the use of a
contrario argumentum law interpretation by the judge in assessing the Act No. 30
of 2002 about KPK is consistent with the Constitution Court’s decision that the
Tipikor (Corruption Criminal Action) Court has an authority to trial the case filed
by KPC the tempus delicti of which occurs before the enactment of KPK act , and
for that reason it means that KPC can investigate such corruption case.

xii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia


merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia
menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang
Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia,
misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk
menciptakan suasana yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa
dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk
menjamin hak–hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri.
Hukum bisa juga dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk
menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah
laku dan karena itu pula hukum berupa norma ( Satjipto Raharjo, 1982:14 ).
Hukum juga berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana
hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum
tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum
sebagai ideology oleh suatu Negara adalah bahwa hukum mengikat setiap
tindakan yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia, maka hukum juga
wajib memberikan timbal balik terhadap Negara yang menerimanya sebagai
ideology, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-
kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Sebagaimana diketahui bersama, pendiri Republik ini mengamanatkan
melalui pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa tujuan bernegara
adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Setelah 64 tahun bangsa

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

Indonesia telah merdeka, pembangunan demi pembangunan dilaksanakan


namun cita-cita menjadikan masyarakat yang adil dan makmur tersebut hingga
kini “belum” terwujud. Dan salah satu yang menjadi permasalahan besar yang
tidak kunjung tuntas di Indonesia adalah korupsi.
Korupsi merupakan extra ordinary crimes yang merupakan kejahatan
luar biasa. Sebagai suatu kejahatan yang luar biasa, maka seharusnya korupsi
ditangani secara luar biasa juga. Namun yang sering terjadi justru korupsi
tidak ditangani dengan cara yang sangat luar biasa. Hal ini terlihat dari masih
buruknya kualitas penguasaan aparat penegak hukum terhadap masalah yang
berkenaan dengan korupsi.
TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menyatakan
bahwa rekomendasi arah kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan
lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas Korupsi, kolusi dan Nepotisme serta berbagai peraturan
perundang-undangan.
Sebagai salah satu contoh kasus korupsi di Indonesia yang cukup
menyita perhatian publik adalah kasus Ir. H. Abdullah Puteh, M. Si, Gubernur
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang melakukan pembelian helikopter
Model MI-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082 untuk digunakan
oleh Gubernur dalam melaksanakan tugas-tugas Gubernur maupun Bupati-
Bupati dan berkunjung ke daerah-daerah di wilayah konflik di NAD.
Pembelian menggunakan Dana Alokasi Umum untuk setiap kabupaten /
kotamadya yang telah disetujui oleh DPRD kabupaten.
Ditinjau dari sudut keperdataannya, maka yang bertindak sebagai
Pembeli adalah H. Abdullah Puteh, Para Bupati / Walikota dan DPRD yang
telah memberikan persetujuannya. Puteh telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat 1
juncto Pasal 18 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dengan putusan tersebut, Pengadilan Ad Hoc TPK berhasil
membuktikan bahwa Puteh terbukti melawan hukum dengan tidak melakukan
tender dalam pengadaan helikopter Mi-2. Tindakan itu bertentangan dengan
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Di samping itu, Puteh melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menempatkan dana
pembelian helikopter di rekening pribadinya dan menguntungkan pihak lain.
Akibat perbuatan itu, negara dirugikan miliaran rupiah. Sebenarnya, kasus
Puteh belum berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde). Artinya, kalau Puteh
melakukan upaya hukum, masih terbuka kemungkinan munculnya perbedaan
pandangan antara mayoritas hakim di tingkat pertama dan hasil di tingkat
banding serta kasasi.
Kemungkinan itu dapat terjadi karena putusan Puteh bersalah atau
tidak merupakan pendirian seluruh majelis hakim. Dalam penyelesaian kasus
Puteh, dua orang hakim berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan putusan
mayoritas hakim. Sebagai kasus perdana yang ditangani oleh Pengadilan Ad
Hoc TPK, kasus Puteh termasuk kasus yang menyita perhatian banyak
kalangan, terutama yang peduli terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Sebagai sebuah pengadilan ad hoc, penyelesaian kasus Puteh akan
memberikan penilaian tersendiri apakah institusi ini dapat memenuhi harapan
sebagai salah satu lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan
korupsi. Perhatian ekstra dari masyarakat menjadi masuk akal karena
pengadilan umum (yang selama ini menangani kasus korupsi) dinilai
mengecewakan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Dari pengalaman
selama ini, dengan argumentasi hukum yang sulit dimengerti, pengadilan
umum sering membebaskan pelaku korupsi. Meski putusan Pengadilan Ad
Hoc TPK menyatakan bahwa Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi, banyak kalangan masih merasa waswas
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

dengan putusan itu. Dengan berpijak pada putusan MK, kedua hakim yang
mengajukan dissenting opinion (yaitu ketua majelis hakim Kresna Menon dan
hakim anggota Gusrizal) berpendirian bahwa KPK tidak berwenang
menyelidiki kasus korupsi itu karena tempus delicti-nya terjadi sebelum
Undang-Undang KPK disahkan. MK menegaskan bahwa Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku ke
depan (prospective), yaitu sejak UU KPK diundangkan pada 27 Desember
2002. Dengan argumentasi itu, pertimbangan hukum MK menegaskan bahwa
UU KPK hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus
delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara
argumentum a contrario, UU KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana
yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan.
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin
mengkaji lebih lanjut dalam prespektif yuridis mengenai penggunaan
penafsiran a contrario argumentum dalam manilai berlakunya UU KPK
beserta akibat hukum yang ditimbulkan, dalam sebuah penulisan hukum yang
berjudul :
” ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN PENAFSIRAN A CONTRARIO
ARGUMENTUM OLEH HAKIM UNTUK MENILAI BERLAKUNYA
UU KPK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEABSAHAN
PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER (
STUDI PUTUSAN MA NOMOR PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1688K/2000 ) “
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan di muka, maka penulis
menentukan permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah penggunaan penafsiran hukum a contrario argumentum
oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang
KPK?
b. Apakah implikasi penggunaan penafsiran hukum a contrario
argumentum oleh hakim Mahkamah Agung terhadap keabsahan tindakan
penyidikan oleh KPK dalam perkara korupsi pengadaan Helikopter?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui secara jelas mengenai penggunaan penafsiran hukum a
contrario argumentum oleh hakim dalam menilai berlakunya UU No
30 Tahun 2002 tentang KPK.
b. Mengetahui secara jelas mengenai implikasi penggunaan penafsiran
hukum a contrario argumentum oleh hakim Mahkamah Agung
terhadap keabsahan tindakan penyidikan oleh KPK dalam perkara
korupsi pengadaan Helikopter.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan, wawasan
pengetahuan peneliti di bidang hukum acara pidana, khususnya yang
berhubungan dengan penggunaan penafsiran a contrario argumentum
oleh hakim dan implikasinya terhadap keabsahan penyidikan perkara
korupsi pengadaan helikopter.
b. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama dalam penyusunan
skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajad sarjana (S1)
di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan kontribusi
terhadap pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan
hukum acara pidana mengenai penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi.
Bagi perguruan tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk menambah
khazanah kekayaan literature di bidang pidana korupsi. Sedangkan bagi
peneliti, dapat digunakan untuk memperluas wawasan dan pengalamannya
di bidang ilmu hukum.
2. Manfaat Praktis
Hasil penalitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi
(termasuk penegak hukum) maupun para pengambil kebijakan sebagai
bahan masukan guna memperbaharui peraturan perundang-undangan
sehingga implementasi dan penerapannya dapat berjalan lebih baik. Selain
itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam
penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.

E. Metode Penelitian
Metode yang diperlukan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada
kuantitas / banyaknya data. Jadi dalam penelitian hukum normatif,
peneliti tidak perlu mencari data langsung ke lapangan, sehingga cukup
dengan mengumpulkan data-data sekunder dan mengkonstruksikan
dalam suatu rangkaian hasil penelitian.
Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis.
Disebut deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh
gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

diteliti. Melalui pemaparan data hasil pengamatan / wawancara tanpa


diadakan pengujian hipotesis.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan
menggunakan pendekatan penelitian yang menggunakan metode
penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada.
3. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan
oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-
bahan kepustakaan, terdiri dari literature, dokumen-dokumen, peraturan
perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan
sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang
diteliti.
4. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian hukum
normatif sumber data sekunder. Yang dimaksud sumber data sekunder
adalah bahan bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-
buku, laporan, arsip dan literature yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini
meliputi :
a. Bahan Hukum Primer
1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
korupsi
3) UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
4) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
5) Putusan No 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

b. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data sekunder
dari bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini
yakni terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum,
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, Koran,
makalah dan majalah.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan bahan
dari internet.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis
mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah
yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi.
Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan,
dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan
permasalahan penelitian. Data sekunder ini penulis dapat dari peraturan
peundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta
pengumpulan data melalui media internet.
6. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan logika
deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam
penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari
penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta
dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait,
kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk
menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik
kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya
dapat diketahui apakah implikasi penggunaan penafsiran a contrario
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

argumentum oleh hakim untuk menilai berlakunya UU KPK dalam


penyidikan perkara korupsi pengadaan Helikopter Abdullah Puteh.
Menurut Philips M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter
Mahmud, metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan
premis mayor ( pernyataan bersifat umum ). Kemudian diajukan premis
minor ( bersifat khusus ), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu
kesimpulan atau conclusion ( Peter Mahmud Marzuki, 2006:47 ). Di
dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis
mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta
hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat
Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk
menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang
bersifat individual ( Johnny Ibrahim, 2008:249 ).

F. Sistematika Skripsi
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatu uraian
mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan
terperinci disusun dalam pembabagan, sehingga dapat memberikan suatu
gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis tiap-tiap bab mempunyai
hubungan satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan.
Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang hal-
hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan pendahulauan yang berisikan tentang latar
belakang masalah diangkatnya topic dan permasalahan
di dalam penulisan hukum, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan hukum.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang
melandasi penelitian serta mendukung di dalam
memecahkan masalah yang di angkat dalam penulisan
hukum ini yaitu tinjauan umum mengenai a contrario
argumentum, tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan,
yaitu mengenai analisis peenggunaan penafsiran a
contrario argumentum terhadap Putusan MA No
1688k/2000 dalam kasus korupsi Pengadaan Helikopter.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan
pembahasan yang telah di uraikan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Mengenai A Contrario Argumentum
a) Pengertian A Contratio Argumentum
A contrario argumentum ( a contrario ), merupakan cara
penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim
dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa
konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur
dalam undang-undang. Hakim mengatakan “ peraturan ini saya
terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara
kebalikannya”. Jadi, pada a contrario titik berat diletakkan pada
ketidak-samaan peristiwanya.
Scolten sebagaimana dikutip oleh Liza Erwina S.H.,M.Hum
dalam Penemuan Hukum Oleh Hakim di Fakultas Hukum Jurusan
Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa tidak
hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-undang secara
analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum a
contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undang-undang tersebut
berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan
menjalankan Undang-undang secara Argumentum a contrario
membawa hasil yang negatif.

2. Tinjauan mengenai Tindak Pidana Korupsi


a) Pengertian Korupsi
Pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian, secara
umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi
atau kelompok tertentu.

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Menurut Andi Hamzah kata korupsi berasal dari bahasa latin


Corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu
berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris:
corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie
(korruptie). Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun
sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan.
Menurut UN’s Global Programme against Corruption korupsi
didefinisikan sebagai: abuse of power for private gain and include
thereby both the public and private sector. Although perceived
differently from from country to country, corruption tends to include
the following behaviors: conflict of interest embezzlement, fraud,
bribery, political corruption, nepotism, secretarisme and extortion (
United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, data
elektronik, bisa dilihat di http://www. Undcp.org.) Dalam Lebanon
Anti –Corruption Initiate Report 1999, korupsi diartikan sebagai
sebagai the behaviour of private individuals or public officials who
deviate from set responsibilities and use their position of power
inorder to serve private ends and secure private gains (UNDCP).
Menurut World Bank dan Transparency International, korupsi
adalah the use of one’s public position for illegitimate private gains,
abuse of power and personal gain, however, can occur in both the
public and private domains and often in collusion with individuals
from both sector. Sedangkan menurut Lilik Mulyadi (2000), UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebenarnya tidak mencantumkan definisi korupsi secara langsung
Korupsi berasal dari bahasa latin”Corruptio” atau Corruptus”
yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris
“Corruption”, bahasa Belanda “korruptie” yang berarti penyuapan,
perusakan moral, perbuatan tak beres dalam jawatan, pemalsuan dan
sebagainya kemudian muncul dalam bahasa Indonesia ”Korupsi”.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, kata


korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. (Djoko Prakoso. dkk.
1987: 389-390).

b) Tipe-tipe Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi pada Pasal 21 sampai dengan
24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ada 4 (empat ) tipe yaitu :
(1). Pengertian Korupsi Tipe Pertama
Tindak pidana korupsi pertama terdapat dalam ketentuan
Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Secara lengkap
redaksional Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
menyebutkan bahwa :
a) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
b) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati
dapat dijatuhkan
(2). Pengertian Korupsi Tipe Kedua
Pada asasnya, pengertian korupsi tipe kedua diatur dalam
ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang
redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut .
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara


atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)
(3). Pengertian Korupsi Tipe Ketiga
Pada asasnya, pengertian korupsi tipe ketiga terdapat
dalam ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan Pasal-pasal
Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP kemudian ditarik
menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan maka
korupsi tipe tiga dibagi menjadi 4 pengelompokan yaitu :
Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni
Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420
KUHP. Ketentuan Pasal 209, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal
420 KUHP ditarik menjadi Pasal 5, 6, 7, 11, 12, dan 13 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada dasarnya menurut
Pandangan doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana maka
ketentuan Pasal 209 dan Pasal 210 dikategorikan ke dalam
penyuapan aktif (aktieve omkoping) dan ketentuan Pasal 418
KUHP, Pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP ke dalam
penyuapan pasif (passive omkoping). Ketentuan Pasal 209
KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 209
KUHP (pemberi suap) berpasangan dengan ketentuan Pasal 418
KUHP dan Pasal 419 KUHP (Pegawai negeri yang menerima
suap). Sedangkan ketentuan Pasal 210 KUHP (Pemberi suap
kepada hakim) berpasangan dengan ketentuan Pasal 420 KUHP
(Hakim yang menerima suap) terhadap perkara yang
ditanganinya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

Apabila kita perhatikan lebih tajam, mendalam dan


terperinci walaupun penarikan perbuatan yang bersifat
penyuapan pada KUHP adalah serumpun, tetapi dalam Tindak
Pidana Korupsi ancaman pidana penjara atau dendanya
mempergunakan pidana minima/maksima yang bervariasi
(4). Pengertian Korupsi Tipe Keempat
Pada asasnya, pengertian korupsi tipe keempat adalah
tipe korupsi percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat
serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh orang luar wilayah
Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999). Konkretnya, perbuatan percobaan/poging sudah
diintrodusir sebagai Tindak Pidana Korupsi oleh karena
perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi
tinggi maka percobaan melakukan tindak pidana korupsi
dijadikan mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
meskipun masih merupakan persiapan sudah dapat dipidana
penuh sebagai suatu tindak pidana sendiri.
Selanjutnya, identik pula dalam hal pemberian kesempatan,
sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia dimana pemberian
bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan dalam ketentuan
Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tujuan
pencantuman konteks ini adalah untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas
teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

hasil tindak pidana korupsi dapat dicegah secara maksimal dan


efektif. (Lilik Muliady, 2000 : 17)

c) Bentuk-bentuk korupsi
United national office on drugs and crime (2004) mencatat
beberapa bentuk korupsi serta cara operasinya yaitu :
(1). Korupsi besar dan korupsi kecil dilihat dari beser kecilnya
jumlah uang yang dikorupsikan dan tingkatan yang melakukan;
(2). Korupsi aktif yang berkaitan dengan penawaran atau
pembayaran suap dan korupsi tidak aktif yang berkaitan
dengan penerimaan suap;
(3). Suap dalam berbagai bentuk dan tujuan seperti influence-
peddling (menjual pengaruh) pejabat public atau politik atau
orang dalam pemerintah menjual privileges (keistimewaan)
yang dimiliki atas status mereka, yang tidak dimiliki oleh orang
luar seperti akses kepada atau pengruh terhadap pengambilan
keputusan pemerintah; suap dalam bentuk menawarkan atau
menerima hadiah,pemberian atau komisi;suap untuk
menghindari uang atas pajak atau biaya lain;suap dalam
mendukung kecurangan; suap untuk menghindari tuntutan
kriminal; suap dalam mendukung persaingan yang tidak sehat;
suap sektor swasta misalnya pada kasus kridit macet di
bank;suap untu mendapatkan informasi rahasia.
(4). Penggelapan, pencurian, dan kecurangan yang dilakukan
ditempat kerja;
(5). Pemerasan pada calon pegawai (pejabat) untuk memuluskan
jalan atau karier;
(6). Penyalah gunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan yang
menyimpang dari kepentingan umum dan merugika masyarakt
luas;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

(7). Favoritisme (mengunggulkan seseorang atau sebagai


perusahaan untuk kepentingan terselubung), nepotisme
(memenangkan seseorang atau institusi yang pernah
menyumbang atau berutang budi tertentu dengan mengabaian
aturan-aturan yang benar atau sah);
(8). Membuat dan mengeksploitasi kepentingan yang saling
bertentangan;
(9). Konstribusi (dukungan atau sumbangan) politik tang
berlebihan atau tidak tepat. (majelis tarjih dan tajdid pp
muhamadiyah ,2006:19-20)

d) Ciri-Ciri Korupsi
Menurut Syed Hussein Alatas di dalam bukunya “Sosiologi
Korupsi“ menjelaskan mengenai ciri-ciri korupsi adalah:
(1). Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang;
(2). Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan;
(3). Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal
balik;
(4). Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik
kebenaran hukum;
(5). Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan
keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi
keputusan;
(6). Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik
atau masyarakat umum;
(7). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkianatan kepercayaan;
(8). Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontra
diktif dari mereka yang melakukan itu;
(9). Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

e) Sebab-Sebab Korupsi
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai
berikut ( Syed Hussein Alatas, 1980 : 47-48 ) :
(1). Kelemahan para pengajar agama dan etika;
(2). Kolonialisme, dimana suatu pemerintahan asing tidaklah
menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk
membendung korupsi;
(3). Kurangnya pendidikan, namun melihat pada realitas yang ada
pada saat ini ternyata kasus-kasus korupsi di Indonesia,
mayoritas koruptor adalah mereka yang memiliki kemampuan
intelektual yang tinggi, sehingga alas an ini dapat dikatakan
kurang tepat;
(4). Kemiskinan, pada kasus-kasus yang merebak di Indonesia dapat
disimpulkan bahwa para pelaku korupsi bukan disebabkan oleh
kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari
kalangan yang tidak mampu melainkan mereka adalah
konglomerat;
(5). Tiada sanksi yang keras;
(6). Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi;
(7). Stuktur pemerintahan;
(8). Perubahan radikal, di saat sistem nilai mengalami perubahan
radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional;
(9). Keadaan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa
mencerminkan masyarakat keseluruhan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah moral


dan intelektual para pemimpin masyarakat. Di bawah ini beberapa
faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak dapat
menjinakkannya :
(1). Suatu keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan
spiritual dan tugas kemajuan nasional dan publik maupun
birokrasi;
(2). Administrasi yang efisien dan penyesuaian struktural yang
layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari
penciptaan sumber-sumber korupsi;
(3). Kondisi-kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
(4). Berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi;
(5). Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar
normal dan intelektual yang tinggi.

3. Tinjauan mengenai KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK
adalah sebuah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan kepada
Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi.
Sesuai dengan Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002. Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
a) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
c) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

(1). Visi Komisi Pemberantasan Korupsi


“Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi”
Visi tersebut merupakan visi yang cukup sederhana namun
mengandung pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan
suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala
permasalahan yang menyangkut KKN. Pemberantasan korupsi
memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi
ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan
suatu penangganan yang komprehensif dan sistematis.

(2). Misi Komisi Pemberantasan Korupsi


“ Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti
Korupsi”
Dengan misi tersebut diharapkan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi ini nantinya merupakan suatu lembaga
yang dapat “membudayakan” anti korupsi di masyarakat,
pemerintah dan swasta di Indonesia. Komisi Pemberantasan
Korupsi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan komponen
masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya
untuk memberantas korupsi akan sulit diwujudkan.

(3). Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan KPK


a) Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak pidana Korupsi.
b) Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
c) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

d) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran


serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam penegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
e) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
f) Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
g) Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
h) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem
Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

B. Kerangka Pemikiran

Kasus Pengadaan
helikopter

Tindak Pidana
korupsi

Penyidikan Oleh KPK

Diputus oleh
PN Jakpus
implikasinya

Banding

Argumentum
Kasasi penerapan
A contrario

Keterangan kerangka pemikiran :


Salah satu kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus
pengadaan helicopter yang melibatkan Ir. H Abdullah Puteh. Kasus tersebut
terjadi pada bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004. Kasus tersebut
telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Putusan No
01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst. KPK melakukan tindakan penyidikan
terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Ir. H. Abdullah
Puteh, M.Si dengan dasar Surat Perintah Penyidikan No. Sprint-
DIK/02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004. Berdasarkan Pasal 72 Undang-
Undang KPK yang berada di bawah judul Bab Ketentuaan Penutup,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

selengkapnya berbunyi: Undang-Undang ini berlaku pada tanggal


diundangkan, tanggal pengundangan Undang-Undangan dimaksud adalah 27
Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut jelas bahwa Undang-
Undang KPK berlaku kedepan (prospective) yaitu sejak tanggak 27 Desember
2002, artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diberlakukan
terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-
Undang a quo diundangkan. Secara argumentum a contrario Undang-Undang
ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi
sebelum Undang-Undang a quo diundangkan. Dengan adanya kewenangan
KPK yang berlaku kedepan atau Prospective maka berarti KPK tidak
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana
yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak
pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum
tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
diundangkan).
Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengetahui penerapan
penafsiran a contrario argumentum dalam proses pengambilan putusan
perkara korupsi pengadaan helicopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
M.Si oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu Penulis juga
ingin mengetahui pengaruh penerapan a contrario argumentum terhadap
Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
perkara Korupsi pengadaan helicopter dengan terdakwa Ir. H Abdullah Puteh.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum oleh Hakim Untuk


Menilai Berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK
1. Deskripsi Kasus
Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, Msi, Gubernur Propinsi Nanggroe
Aceh Darusalam baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dan bersekutu dengan saksi Bram HD MaNopo, MBA, Presiden Direktur
PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) telah melakukan serangkaian perbuatan
yang berhubungan sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang
dilanjutkan pada bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004, bertempat
di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darusalam atau setidak-tidaknya di tempat
yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat yang berwenang memeriksa
dan mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kooperasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekoNomian negara.
Ditinjau dari sudut perdataan, maka yang bertindak sebagai
Pembeli adalah H.Abdullah Puteh., para Bupati/Walikota dan DPRD yang
telah memberikan persetujuannya.
Dalam perkara ini tidak terungkap dengan jelas mengenai apakah
pembelian helikopter tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum
ataukah prosedur pembelian helikopter tersebut dipandang merupakan
tindakan melawan hukum. Tidak disitanya helikopter sebagai barang bukti
hasil kejahatan membuktikan bahwa Dakwaan lebih diarahkan kepada
penyimpangan prosedur pembelian helikopter merupakan tindakan yang
memenuhi unsur melawan hukum.

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

2. Kasus Posisi
Inti perbuatan tindak pidana korupsi tersebut adalah Pembelian Helikopter
Model M1-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082 untuk
digunakan oleh Gubernur dalam melaksanakan tugas-tugas Gubernur
maupun Bupati-Bupati dan berkunjung ke daerah-daerah di wilayah
konflik di NAD. Pembelian menggunakan Dana Alokasi Umum untuk
setiap kabupaten atau kotamadya yang telah disetujui oleh DPRD
kabupaten.

3. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap : Ir. H. ABDULLAH PUTEH, M.Si.
Tempat Lahir : Idi, Aceh Timur.
Umur/Tanggal Lahir : 56 Tahun/04 Juli 1948
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan/Kewarganegaraan : Indonesia
Tempat Tinggal : 1. Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah
No. 1 Banda Aceh.
2. Jalan Warung Sila No. 1 Ciganjur
Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (yang dahulu disebut
Porpinsi Daerah Istimewa Aceh)
Pendidikan : Pasca Sarjana (52) Universitas
Indonesia

4. Dakwaan
Primer :
Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dan
bersekutu dengan saksi Bram HD Manoppo, MBA, Presiden Direktur P.T
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Putra Pobiagan Mandiri (PPM) telah melakukan serangkaian perbuatan


yang berhubungan sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang
dilanjutkan pada Bulan Februari 2001 sampai dengan Juli 2004, bertempat
di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidak-tidaknya di
tempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
berwenang memeriksa dan mengadilinya, secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, rangkaian perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut:
- Sekitar bulan Februari-Maret 2001, Terdakwa menghadiri Rapat Kerja
Gubernur se Sumatera di Palembang, dan salah satu acara Rapat Kerja
adalah presentasi pesawat terbang buatan Rusia yang disampaikan oleh
saksi Bram HD Manoppo, MBA, Presiden Direktur P.T. Putra
Pobiagan Mandiri (PPM);
- Pada tanggal 28 Juni 2001, Terdakwa menandatangani Letter of Intent
(LOI) Nomor: 553.3/23580, yang dikirimkan kepada Bram HD
Manoppo, yang isinya antara lain menyatakan Pemerintah Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam bermaksud untuk membeli 1 (satu) unit
pesawat terbang helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil buatan
tahun 2000-2001 dari pihak pabrik Mil Moscow Helikopter Plant
Rusia;
- Selanjutnya saran Terdakwa, maka pada tanggal 15 Juli 2001 Bram
HD Manopo membuat surat dengan Nomor: 0135/PPM/BM/VII/2001
kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang isinya
meminta pembayaran uang muka sebesar Rp. 4.000.000,- (empat
milyar rupiah);
- Pada tanggal 2 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan surat No.
KU.570/3578 ditujukan kepada para Bupati/Walikota se-provinsi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

Nanggroe Aceh Darussalam yang berisi mengenai pemberitahuan


tentang diterimanya tambahan alokasi Dana Bantuan Perlakuan
Khusus sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001;
- Pada tanggal 7 Agustus 2001, Terdakwa mengadakan pertemuan
dengan para Bupati/Walikota beserta Ketua DPRD, dan meminta agar
mereka menandatangani surat pernyataan yang isinya para Bupati/
Walikota dapat menyetujui dana Spesial Treatment yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 451/KMK.07/2001
tanggal 23 Juli 2001;
- Pada tanggal 28 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan Surat
Keputusan Gubernur Nomor 45 Tahun 2001 tentang Penetapan
Rincian Jumlah Bantuan Perlakuan Khusus untuk Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Atas dasar surat tersebut, saksi
Thanthawi Ishak, selaku Sekretaris Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam atas nama Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
menerbitkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Nomor 255/R/2001
tanggal 24 September 2001 tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin,
yang dalam lampirannya memuat pemotongan dari Dana Bantuan
Perlakuan Khusus sebesar Rp. 700.000,- guna biaya pembelian
helikopter tersebut;
- Dari dana bantuan perlakuan khusus bagian Kabupaten/Kota
terkumpul sebesar Rp. 9.100.000.000,- dan oleh Terdakwa dana
tersebut tidak dimasukkan ke dalam Perubahan APBD Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam tahun Anggaran 2001 maupun tahun
2002, sehingga bertentangan dengan mekanisme pengelolaan dan
pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
- Kemudian terdakwa memerintahkan Zainuddin , SE, Kepala Kas
Daerah melalui Drs. Teuku Meurah Lizam, Karo Keuangan untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

menempatkan dana APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun


2001 sebesar Rp. 4.000.000.000,- ke rekening pribadi Terdakwa
Nomor: 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta;
- Pada tanggal 24 Agustus 2001, Terdakwa membayar uang muka
pembelian helikopter MI-2 kepada Bram HD Manopo dengan
memberikan cek senilai Rp. 750.000.000,-. Tindakan tersebut
bertentangandengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000
tentang Pedoman Pelaksanakan Pengadaan Barang/Jasa Instansi
Pemerintah, padahal waktu itu belum ada perjanjian pembelian
helicopter antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dengan Bram HD Manoppo;
- Pada tanggal 20 Oktober 2001, Terdakwa meminta persetujuan prinsip
pengadaan helikopter sebesar Rp. 12.500.000.000,- kepada Pimpinan
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui surat Nomor: Ku.
024/5190;
- Pada tanggal 26 Desember 2001, Terdakwa kembali mengirim surat ke
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: Ku-024/6269
meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter, akan tetapi
Terdakwa tidak memberitahukan bahwa sebelumnya Terdakwa telah
membayar uang muka pembelian helicopter tersebut sebesar Rp.
750.000.000,-
- Pada tanggal 26 Juni 2002, Terdakwa dan Bram HD Manoppo
menandatangani Perjanjian Jual-Beli helikopter MI-2 Nomor:
04/SPJB/2002, yang berisi Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam akan membeli helikopter MI-2 dengan cabin versi VIP dan
anti peluru, helikopter 100% baru dibuat tahun 2000-2001 dengan
harga sebesar US$ 1,250,000 dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri;
- Pada tanggal 29 Juni 2002, Terdakwa menerbitkan surat Nomor:
602/22395 perihal Rekomendasi Penunjukkan Langsung yang
ditujukan kepada Ketua Panitia Pengadaan Pekerjaan Daerah (P3D);
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

- Pada tanggal 8 Juli 2002, Terdakwa menerbitkan Keputusan Nomor:


602.1/262/2002 tentang Penunjukkan P.T. Putra pobiagan Mandiri
sebagai pelaksana pengadaan pesawat Helikopter Mi-2. Penunjukkan
langsung tersebut bertentangan dengan Ketentuan Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Instansi Pemerintah;
- Pada tanggal 10 Juli 2002, Terdakwa turut menandatangani surat
perjanjian Pembelian Helikopter MI-2 Nomor: 05/KOP/PRJ/VII/2002
antara P.T. Putra Pobiagan Mandiri yang diwakili oleh Bram HD
Manoppo dengan Drs. Khalid, MSi. Sehubungan dengan
penandatanganan tersebut, pada tanggal 15 Juli 2002 dan 30 Juli 2002,
Munawar anggota Panitia Pengadaan Pekerjaan Daerah (P3D)
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atas perintah Drs.
Khalid, MSi., Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk pengadaan
helikopter telah melakukan pembayaran helikopter kepada P.T. Putra
Pobiagan Mandiri yaitu masing-masing sebesar:
a. Rp. 2.000.000.000,- ditransfer tanggal 15 Juli 2002 ke rekening
P.T. putra Pobiagan Mandiri Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank
Bukopin;
b. Rp. 1.500.000.000,- ditransfer tanggal 30 Juli 2002 ke rekening
P.T. Putra Pobiagan Mandiri Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank
Bukopin Jakarta;
- Pada tanggal 31 Oktober 2002, Zainuddin mentransfer uang Rp.
3.750.000.000,- ke rekening Terdakwa No. 01.01.038492;
- Pada tanggal 5 November 2002, Terdakwa melakukan pembayaran
kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri sebesar Rp. 3.400.000.000,-;
- Pada tanggal 25 Februari 2003 dilakukan serah terima pesawat
helikopter dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri yang diwakili oleh Bram
HD Manoppo kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang diwakili oleh Drs. Khalid, MSi. Sebagai Pimpinan Proyek
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

Pengadaan Kendaraan Operasional Pemerintah Provinsi Nanggroe


Aceh Darussalam yang dituangkan dalam Berita Acara Nomor:
01/BA/KOP/II/2003 tanggal 25 Februari 2003 tanpa dilakukan
pengecekan fisik;
- Pada bulan Juli 2003, Terdakwa mengembalikan uang ke kas Daerah
melalui pemindahbukuan dari rekening Kas daerah sebesar Rp.
1.300.000.000,-. Pengembalian tersebut adalah atas dasar permintaan
Kepala Kas daerah, Zainuddin, SE., sebagai penggantian dana yang
telah dibayarkan kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri tanggal 25 Juli
2003 sebesar Rp. 1.275.000.000,-
- Terdakwa memerintahkan Zainuddin, SE., melalui Ir. H. Syahruddin
Gadeng, Msc., Kepala Biro Perlengkapan, untuk mengirimkan uang
sebesar Rp. 964.350.000,- kepada Teuku Djohan Basyar untuk
melakukan pembayaran pembelian helikopter langsung ke pabrik
Rostov Mil Rusia tanpa melalui P.T. Putra Pobiagan Mandiri;
- Selanjutnya terdakwa memerintahkan Zainuddin melalui Ir. H.
Syahruddin Gadeng, Msc. untuk mentransfer uang sebesar Rp.
198.150.000,- kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiriuntuk pembayaran
helikopter;
- Terdakwa pada tanggal 6 Juli 2004, setelah dilakukan penyidikan,
sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan No. SPRINDIK-
02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juli 2004 mengembalikan uang yang
ada padanya melalui Bank Bukopin ke Kas Daerah rekening khusus
PPh/PPN Nomor 01.02.121.007.1 di Bank Pembangunan Daerah
Cabang Aceh sebesar Rp. 2.300.000.000,-;
- Setelah dilakukan pemeriksaan fisik oleh Ahli Ir. Tutisno Hartono dari
P.T. Dirgantara Indonesia pada tanggal 21-22 Juli 2004 terhadap
helikopter MI-2, maka diperoleh kesimpulan bahwa engine GTD 350
W serial IV engine number 481664021 W (LH) dan engine number
471683016 W (RH) yang terpasang di Pesawat MI-2 Rostov dapat
dinyatakan bahwa kondisi engine bukan engine baru, karena telah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

memiliki jam terbang terhitung sejak baru, dengan istilah lain yaitu
telah memiliki flying time since new (TSN), sebagaimana tertuang
dalam Hasil Pemeriksaan/Inventory Check Helikopter Model Rostov
MI-2 Manufacturing Number 5111238082 yang dibuat dan
ditandatangani Ahli tertanggal 22 Juli 2004;
Dari rangkaian perbuatan terdakwa, telah memperkaya terdakwa sendiri
atau saksi Bram HD Manoppo, MBA atau orang lain atau P.T. Putra
Pobiagan Mandiri yang telah atau setidak-tidaknya dapat merugikan
keuangan negara sejumlah Rp. 13.687.500.000,- atau setidak-tidaknya
sejumlah Rp. 10.087.500.000,- yang dihitung dari jumlah pengeluaran
uang dari kas oleh Bendaharawan Umum Daerah Rp. 13.687.500.000,-
dikurangi jumlah pengembalian ke rekening Kas Daerah yang disetor
kembali oleh terdakwa Rp. 3.600.000.000,- sebagaimana hasil perhitungan
kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan sesuai dengan surat nomor SR-
548/D6/1/2004 tanggal, atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut.
Perbuatan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, MSi., diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Subsider :
Bahwa ia Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, MSi., selaku Gubernur
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disahkan pengangkatannya
dengan Keputusan Presiden Nomor: 298/M tahun 2000 tanggal 15
November 2000 yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah mempunyai kewajiban antara lain
meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat dan mengajukan rancangan peraturan daerah dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

menetapkannya sebagai peraturan daerah sama Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah, baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan
Saksi Bram HD Manoppo, MBA., Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan
mandiri (PPM) (yang perkaranya diajukan secara tersendiri) telah
melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang
sebagai suatu perbuatan yang dilanjutkan, pada hari dan tanggal yang tidak
dapat dipastikan lagi didalam bulan Februari 2001 sampai dengan tahun
2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidak-
tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, masih termasuk dalam wilayah
hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai
berikut:
- Sekitar bulan Februari-Maret 2001, Terdakwa menghadiri Rapat Kerja
Gubernur se Sumatera di Palembang, dan salah satu acara Rapat Kerja
adalah presentasi pesawat terbang buatan Rusia yang disampaikan oleh
saksi Bram HD Manoppo, MBA, Presiden Direktur P.T. Putra
Pobiagan Mandiri (PPM);
- Pada tanggal 28 Juni 2001, Terdakwa menandatangani Letter of Intent
(LOI) Nomor: 553.3/23580, yang dikirimkan kepada Bram HD
Manoppo,MBA., Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri
(PPM) yang copynya dikirim pula ke Mil Moscow Helikopter Plant
Russia, isinya antara lain menyatakan Pemerintah Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam bermaksud untuk membeli 1 (satu) unit pesawat
terbang helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil buatan tahun
2000-2001 dari pihak pabrik Mil Moscow Helikopter Plant Russia,
penandatanganan Letter of Intent (LOI) tersebut adalah sebagai tindak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

lanjut dari pertemuan Terdakwa dengan saksi Bram HD


Manoppo,MBA di Jakarta, sedangkan terdakwa mengetahui bahwa
dana/uang untuk pembelian Helikopter tersebut belum tersedia dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam, dan juga belum dibicarakan/diminta persetujuan
kepada DPRD Provinsi Nangroe Aceh Darussalam;
- Terdakwa setelah menandatangani dan mengirimkan Letter of Intent
(LOI) kepada Bram HD Manoppo,MBA., pada sekitar bulan Juli 2001
menyarankan kepada Saksi Bram HD Manoppo,MBA., untuk
membuat surat permintaan pembayaran uang muka pembelian
helikopter kepada Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan
atas saran tersebut maka Saksi Bram HD Manoppo,MBA.,
mengajukan permintaan dengan surat Nomor:
0135/PPM/BM/VII/2001 tertanggal 15 juli 2001 yang isinya meminta
pembayaran uang muka sebesar Rp. 4.000.000.000,- (Empat milyar
rupiah) untuk ditransfer (dikirimkan) ke pabrik Mil Moscow
Helikopter Plant Russia;
- Pada tanggal 2 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan surat No.
KU.570/3578 ditujukan kepada para Bupati/Walikota se-provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang berisi mengenai pemberitahuan
tentang diterimanya tambahan alokasi Dana Bantuan Perlakuan
Khusus sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001, dalam surat tersebut
diberitahukan kepada para Bupati/Walikota antara lain bahwa dana
sumbangan biaya pengadaan helikopter akan diambilkan/bersumber
dari penerimaan Dana Bantuan Perlakuan Khusus bagian
Kabupaten/Kota, padahal dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan
Nomor: 451/KMK.07/2001 tanggal 23 Juli 2001 Dana Bantuan
Perlakuan Khusus hanya dapat dipergunakan untuk membiayai belanja
pegawai dan non pegawai;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

- Pada tanggal 28 Agustus 2001, Terdakwa menerbitkan Surat


Keputusan Gubernur Nomor 45 Tahun 2001 tentang Penetapan
Rincian Jumlah Bantuan Perlakuan Khusus untuk Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Atas dasar surat tersebut, saksi
Thanthawi Ishak, selaku Sekretaris Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam atas nama Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
menerbitkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Nomor 255/R/2001
tanggal 24 September 2001 tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin,
yang dalam lampirannya memuat pemotongan dari Dana Bantuan
Perlakuan Khusus sebesar Rp. 700.000,- guna biaya pembelian
helikopter yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam;
- Adapun perincian jumlah dana perlakuan khusus untuk Penerimaan
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 255/R/2001 tanggal 24
September 2001 tersebut adalah sebagai berikut:

Kabupaten Jumlah Dana Biaya Biaya Rutin


No Kota Bantuan Pengadaan Kab/Kota
Helikopter
1. Banda 2.712.500.000 700.000.000 2.012.500.000
Aceh
2. Sabang 2.607.500.000 700.000.000 1.907.500.000
3. Aceh Besar 2.712.500.000 700.000.000 2.012.500.000
4. Pidie 2.695.000.000 700.000.000 1.995.000.000
5. Beureum 2.719.500.000 700.000.000 2.019.500.000
6. Aceh Utara 2.688.000.000 700.000.000 1.988.000.000
7. Aceh 2.688.000.000 700.000.000 1.988.000.000
Timur
8. Aceh 2.870.000.000 700.000.000 2.170.000.000
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

Tengah
9. Aceh Barat 2.695.000.000 700.000.000 1.995.000.000
10. Aceh 2.667.000.000 700.000.000 1.967.000.000
Selatan
11. Aceh 2.695.000.000 700.000.000 1.995.000.000
Tenggara
12. Aceh 2.677.500.000 700.000.000 1.977.500.000
Singkil
13. Aceh 2.572.500.000 700.000.000 1.872.500.000
Simeuleu
Jumlah 35.000.000.000 9.100.000.000 25.900.000.000

dari dana bantuan perlakuan khusus bagian Kabupaten/Kota yang


dipotong secara langsung tersebut terkumpul sebesar Rp.
9.100.000.000,- (Sembilan milyar seratus juta rupiah) dan oleh
terdakwa dana tersebut tidak dimasukkan kedalam Perubahan APBD
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun Anggaran 2002, sehingga
bertentangan dengan mekanisme pengelolaan dan pertanggungan
jawaban keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor: 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
- Terdakwa juga telah memerintahkan saksi Zainuddin, S.E., Kepala Kas
Daerah melalui saksi Drs. Teuku Meurah Lizam, M.M., Karo
Keuangan untuk menempatkan dana APBD Provinsi nanggroe Aceh
Darussalam tahun 2001 sebesar Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar
rupiah) ke rekening pribadi terdakwa No. 01.01.038492 di Bank
Bukopin Jakarta, atas pemerintah terdakwa tersebut pada tanggal 15
Agustus 2001 saksi Zainuddin, S.E., dana APBD Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam tahun 2001 yang tersimpan pada Bank Pemerintah
Daerah Aceh dengan cek No: AA 026334 dan mentransfer ke rekening
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

pribadi Terdakwa No. 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta sebesar


Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah);
- Terdakwa secara bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 18
tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa
Instansi Pemerintah, pada tanggal 24 Agustus 2001 membayar uang
muka pembelian helikopter MI-2 kepada saksi Bram HD Manoppo,
MBA., dengan memberikan cek Bank Bukopin Jakarta senilai Rp.
750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) sedangkan pada
waktu itu antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dengan Saksi Bram HD Manoppo, MBA., belum ada perjanjian
pembelian helikopter;
- Terdakwa selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 2001 mengirimkan
surat kepada pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam Surat
Nomor: KU.024/5190 untuk meminta persetujuan prinsip pengadaan
helikopter sebesar Rp. 12.500.000.000,- (dua belas milyar lima ratus
juta rupiah) dan disebutkan pula bahwa pembayaran akan dilaksanakan
sebesar 30% dari total harga, yang dibayar pada saat penandatanganan
kontrak;
- Terdakwa pada tanggal 26 Desember 2001 sekali lagi mengirim surat
ke DPRD Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: KU-
024/6269 meminta persetujuan prinsip pengadaan helikopter, dan
dalam syrat tersebut Terdakwa tidak memberitahukan bahwa
Terdakwa sebelumnya telah membayarkan uang muka pembelian
helikopter sebesar Rp. 12.500.000.000,- (dua belas milyar lima ratus
juta rupiah), atas dasar surat tersebut DPRD Provinsi Daerah Nanggroe
Aceh Darussalam memberitahukan persetujuan prinsip pengadaan
helikopter dengan surat tanggal 12 Juni 2002 Nomor: 065/962;
- Terdakwa pada tanggal 26 Juni 2002 menandatangani surat perjanjian
jual beli helikopter MI-2 Nomor: 04/SPJB/2002 dengan saksi Bram
HD Manoppo, MBA., Presiden direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri
(PPM) yang berisikan antara lain bahwa Pemerintah daerah Nanggroe
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

Aceh Darussalam akan membeli helikopter MI-2 dengan cabin versi


VIP dan anti peluru, helikopter 100% baru dibuat tahun 2000-2001
dengan harga sebesar US$ 1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh
ribu US dollar) dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sedangkan
Terdakwa telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor:
KU.945/155.B/2002 tertanggal 18 Juni 2002 yang menunjuk Saksi
Drs. Khalid, MSi., sebagai Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaran
Operasional Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam;
- Terdakwa secara bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa Instansi Pemerintah, pada tanggal 29 Juni 2002
menerbitkan surat Nomor: 602/22395 perihal Rekomendasi
Penunjukan Langsung yang ditujukan kepada pelaksanakan penawaran
harga dengan cara menunjukkan langsung kepada Ketua Panitia
Pengadaan Pekerjaan Daerah (P3D) yang menyetujui pelaksanakan
penawaran harga dengan cara penunjukkan langsung kepada P.T. Putra
Pobiagan Mandiri (PPM), karena perusahaan tersebut merupakan satu-
satunya agen tunggal untuk pemasaran helikopter dari Rostov Mil
Rusia, padahal dalam kenyataannya P.T. Putra Pobiagan Mandiri
(PPM) bukan satu-satunya agen tunggal dari Rostov Mil Rusia dan
pada waktu diterbitkanya rekomendasi tersebut surat perjanjian jual
beli helikopter antara Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
dengan P.T. Putra Pobiagan Mandiri telah ditandatangani, bahkan
Terdakwa telah membayar uang muka pembelian helikopter tersebut
kepada Saksi Bram HD Manoppo, MBA., selaku Presiden Direktur
P.T.Putra Pobiagan mandiri (PPM) sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh
ratus lima puluh milyar rupiah);
- Terdakwa pada tanggal Keputusan 8 Juli 2002 menerbitkan Keputusan
Nomor: 602.1/262/2002 tentang Penunjukan Perusahaan P.T. Putra
Pobiagan Mandiri (PPM) sebagai Pelaksana Pengadaan Pesawat
Helikopter MI-2 untuk keperluan Pemda Provinsi Daerah Nanggroe
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

Aceh Darussalam sedangkan dalam kenyataanya terdakwa sebelumnya


pada tanggal 26 Juni 2002 telah 2002 telah menandatangani surat
perjanjian jual beli helikopter MI-2 tersebut;
- Terdakwa selanjutnya pada tanggal 10 Juli 2002 turut menandatangani
Surat Perjanjian pembelian Helikopter MI-2 Nomor:
05/KOP/PRJ/VII/2002 dengan saksi Bram HD Manoppo, MBA.,
Presiden Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang berisikan
yang diwakili oleh Saksi Bram HD Manoppo, MBA., dengan Saksi
Drs. Khalid, MSi. Selaku Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaraan
Operasional Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam padahal sebelumnya Terdakwa juga telah menandatangani
surat perjanjian jual beli Nomor: 04/SPJB/2002 tanggal 26 Juni 2002
bahkan Terdakwa telah membayar uang muka pembelian helikopter
tersebut kepada saksi Bram HD Manoppo, MBA., selaku Presiden
Direktur P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM);
- Sehubungan dengan telah ditandatangani Surat Perjanjian Pembelian
Helikopter MI-2 Nomor: 05/KOP/VII/2002 tanggal 10 Juli 2002 yang
turut ditandatangani oleh Terdakwa maka pada tanggal 15 Juli 2002
dan 30 Juli 2002 Saksi Munawar anggota Panitia Pengadaan Pekerjaan
daerah (P3D) Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
atas perintah Saksi Drs. Khalid, MSi Pemimpin Proyek Pengadaan
Kendaraan Operasional Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam termasuk pengadaan helikopter telah melakukan
pembayaran pembelian helikopter, kepada P.T. Putra Pobiagan
Mandiri (PPM) yaitu masing-masing sebesar:
a. Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) di transfer tanggal 15 Juli
2002 ke rekening P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) Nomor a/c
101.4941-01-7 di Bank Bukopin Jakarta;
b. Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) di transfer
tanggal 30 Juli 2002 ke rekening P.T. Putra Pobiagan Mandiri
(PPM) Nomor a/c 101.4941-01-7 di Bank Bukopin Jakarta;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

- Terdakwa melalui Saksi Drs. Teuku Meureh Lizam, MM Karo


Keuangan memerintahkan Bendaharawan Umum Daerah/Kepala Kas
Daerah Saksi Zainuddin, S.E untuk mengirimkan/mentransfer uang
sebesar Rp. 3.750.000.000,- (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta
rupiah) ke rekening pribadi terdakwa Nomor: 01.01.038492 di Bank
Bukopin Jakarta untuk pembayaran pembelian helikopter kepada P.T.
Putra Pobiagan Mandiri (PPM) dan pada tanggal 31 Oktober 2002
Saksi Zainuddin, SE mentransfer uang tersebut sesuai dengan perintah
Terdakwa;
- Terdakwa secara bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Instansi Pemerintah yaitu menyimpang dari syarat
pembayaran dalam Surat Perjanjian Pembelian, pada tanggal 5
November 2002 telah melakukan pembayaran kepada P.T. Putra
Pobiagan Mandiri (PPM) sebesar Rp. 3.400.000.000,- (tiga milyar
empat ratus juta rupiah) dengan cara memindah bukuan dari rekening
pribadi Terdakwa Nomor: 01.01.038492 di Bank Bukopin Jakarta;
- Pada tanggal 25 Februari 2003 telah dilakukan serah terima pesawat
helikopter dari P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang diwakili oleh
Saksi Bram HD Manoppo, MBA. Kepada Pemerintah Provinsi Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam yang diwakili oleh Drs. Khalid, MSi
sebagai Pemimpin Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional
Pemerintah Provinsi Provinsi Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
yang dituangkan dalam Berita Acara Nomor: 01/BA/KOP/II/2003
tanggal 25 Februari 2003 tanpa dilakukan pengecekan fisik;
- Terdakwa pada bulan Juli 2003 mengembalikan uang kas daerah
melalui pemindah bukuan dari rekeningnya di Bank Bukopin Jakarta
ke rekening Kas Daerah pada Bank Bukopin Banda Aceh sebesar Rp.
1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah), pengembalian
tersebut adalah atas permintaan Kepala Kas Daerah Saksi Zainuddin,
SE sebagai penggantian dana yang telah dibayarkan kepada P.T. Putra
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Pobiagan mandiri (PPM) pada tanggal 25 Juli 2003 sebesar Rp.


1.275.000.000,- (satu milyar dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah);
- Terdakwa secara bertentangan dengan tata cara pembayaran
sebagaimana yang diatur dalam perjanjian, melalui Saksi Ir. H.
Syahruddin Gadeng, M.Sc., Kepala Biro Perlengkapan memerintahkan
Saksi Zainuddin, SE., Kepala Kas Daerah untuk
mengirimkan/mentransfer uang sebesar Rp. 964.350.000,- (Sembilan
ratus enam puluh empat juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) kepada
Saksi Teuku Djohan Basyar untuk melakukan pembayaran pembelian
helikopter langsung ke Pabrik Rostov Mil Russia tanpa melalui P.T.
Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang oleh Saksi Zainuddin, Se Kepala
Kas daerah uang tersebut ditransfer pada tanggal 8 Maret 2004 ke
rekening Teuku Djohan Basyar Nomor: 133-00-0223282-5 pada Bank
Mandiri Cabang Bogor;
- Terdakwa selanjutnya melalui Saksi Ir. H. Syahruddin Gadeng, M.Sc.
Kepala Biro Perlengkapan memerintahkan Saksi Zainuddin,SE Kepala
Kas Daerah untuk mengirimkan/mentransfer uang sebesar Rp.
198.150.000,- (seratus sembilan puluh delapan juta seratus lima puluh
ribu rupiah) kepada P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) untuk
melakukan pembayaran pembelian helikopter, yang oleh Saksi
Zainuddin, SE Kepala Kas Daerah uang tersebut ditransfer ke rekening
P.T. Putra Pobiagan mandiri (PPM) pada Bank Bukopin Jakarta pada
tanggal 1 Juli 2004 yang ditarik dengan Cek Nomor AF 011864
tanggal 31 Mei 2004;
- Terdakwa pada tanggal 6 Juli 2004 setelah dilakukan penyidikan,
sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan No. SPRINDIK-
02/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004 mengembalikan uang yang ada
padanya melalui Bank Bukopin Jakarta ke Kas Daerah rekening
khusus PPh/PPN Nomor: 01.02.121.007.1 di Bank Pembangunan
Daerah Cabang Aceh sebesar Rp. 2.300.000.000,- (dua milyar tiga
ratus juta rupiah);
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

- Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan fisik oleh Ahli Ir. Tutisno


Hartono dari P.T. Dirgantara Indonesia pada tanggal 21-22 Juli 2004
terhadap helikopter MI-2 yang telah diserahkan oleh Saksi Bram HD
Manoppo, MBA mewakili P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) kepada
Saksi Khalid, MSi mewakili Pemerintah Provinsi Daerah Nanggroe
Aceh Darussalam diperoleh kesimpulan engine GTD 350 W serial IV
engine number 481664021 W (LH) dan engine number 471683016 W
(RH) terpasang di pesawat MI-2 Rostov dapat dinyatakan bahwa
kondisi engine bukan engine baru karena telah memiliki jam terbang
terhitung sejak baru dengan istilah lain yaitu telah memiliki flying time
since new (TSN) sebagaimana yang tertuang dalam Hasil Pemeriksaan
Inventory Check Helikopter Model MI-2 Rostov Manufacturing
Number 5111238082 yang dibuat dan ditandatangani Ahli tertanggal
22 Juli 2004;
Dari rangkaian perbuatan terdakwa tersebut, dengan tujuan
menguntungkan Terdakwa sendiri atau Saksi Bram HD Manoppo, MBA
atau orang lain atau P.T. Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang telah atau
setidak-tidaknya dapat merugikan Keuangan Negara sejumlah Rp.
13.687.500.000,- (tiga belas milyar enam ratus delapan puluh tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sejumlah Rp.
10.087.500.000,- (sepuluh milyar delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu
rupiah), yang terhitung dari jumlah pengeluaran Kas oleh Bendaharawan
Umum Daerah Rp. 13.687.500.000,- (tiga belas milyar enam ratus delapan
puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dikurangi jumlah pengembalian ke
rekening Kas Daerah yang disetor kembali oleh Terdakwa Rp.
3.600.000.000,- (tiga milyar enam ratus juta rupiah) sebagaimana hasil
perhitungan kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh Ahli dari
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sesuai dengan Surat
Nomor SR-548/D6/1/2004 tanggal 9 November 2004, atau setidak-
tidaknya sekitar jumlah tersebut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

Perbuatan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, MSi., diancam pidana


sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

5. Pembelaan terdakwa dan Penasehat Hukum

Nota pembelaan dari terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut ;

a. Bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyidikan penyidikan dan


penuntutan, terhadap perkara yang terjadi sebelum tanggal 27
Desember 2002 (saat Undang-Undang KPK) ditetapkan ;
b. Bahwa dakwaan penuntut umum tidak terbukti;

Nota pembelaan dari penasehat hukum terdakwa,yang pada pokoknya


sebagai berikut;
a. Menerima pembelaan dari tim penasehat hukum terdakwa
Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi,;
b. Menyatakan dakwaan demikian juga akibat hukumnya dengan
tuntutan pidana penuntut umum pada KPK tidak dapat diterima;
c. Menyatakan terdakwa Ir.H. ABDULLAH PUTEH, Msi, tidak terbukti
secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat
(1) huruf a,b, ayat (2),(3) Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 Ayat (1)
ke- 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo. Pasal 3 jo.Pasal 18 ayat (1) huruf
a,b, ayat (2),(3), Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 jo. Pasal55 ayat (1) ke-i
jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

d. Membebaskan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, dari setiap


dan semua dakwaan;
e. Mengembalikan dan merehabilitasi nama baik terdakwa pada harkat
dan martabatnya semula;
f. Membebankan biaya perkara terhadap negara.

6. Penggunaan Penafsiran A Contrario Argumentum oleh Hakim Dalam


Menilai Berlakunya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK

Menimbang, bahwa pada Putusan Sela


No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST. tanggal 10 januari 2005 pada
pertimbangan hukum pada poin 1, tentang penangguhan dengan alasan
Preaiudideell Ceschill, di mana pada pertimbangan hukumnya antara lain
sebagai berikut:

"Bahwa di satu pihak, perkara yang kita hadapi sekarang ini adalah
perkara pidana yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi, dan di lain pihak
perselisihan hukum (Pre-ludicieell Geschill) yang dijadikan alasan
keberatan Terakwa dan Penasihat Hukumnya adalah bahwa objektum litis
sebagai titik preajudicieell mengenai kewenangan KPK yang berlaku
surut, masih dalam proses pemeriksaan (hak uji materil ) di Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan Nomor register 069/PUU-ll/ 2004 tanggal 11
Nopember 2004, sedangkan pemeriksaan prosesual kewenangan KPK
memiliki objectum litis yang sama pada proses persidangan perkara pidana
terhadap Terdakwa sekarang ini."

"Bahwa dengan hal-hal yang mempertimbangkan di atas pemeriksaan


perkara ini tetap dilanjutkan sepanjang belum ada putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan lain."

Menimbang, bahwa perkara No.069/PUU-ll/2004 telah diputus oleh


Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2005, di dalam pertimbangan
hukumnya Mahkamah Konstitusi, mempertimbangkan secara sistimatis
kaitan Pasal 68, 72 dan Pasal 70 sebagai berikut:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

a. Pasal 72 Undang-Undang KPK yang berada di bawah judul Bab


Ketentuaan Penutup, selengkapnya berbunyi: Undang-Undang ini
berlaku pada tanggal diundangkan, tanggal pengundangan Undang-
Undangan dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan
Pasal 72 tersebut jelas bahwa Undang-Undang KPK berlaku kedepan
(prospective) yaitu sejak tanggak 27 Desember 2002, artinya
keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap
peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-
Undang a quo diundangkan. Secara argumentum a contrario Undang-
Undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus
delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a quo diundangkan;
b. Pasal 70 Undang-Undang KPK menyatakan bahwa " Komisi
Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling
lambat 1 ( satu ) tahun setelah Undang-Undang ini di undangkan ".
Pasal ini adalah mengatur tentang saat KPK mulai melaksanakan tugas
dan wewenangnya yaitu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-
Undang a quo diundangkan. Undang-Undang a quo diundangkan pada
tanggal 27 Desember 2002 sekaligus berarti saat itu pulalah KPK
melaksanakan tugas dan wewenangnya;
c. Pasal 68 Undang-Undang KPK, yang berada di bawah Bab ketentuaan
Peralihan (Bab XI) menyatakan semua tindakan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses
hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 9 dan seterusnya;

Menimbang, bahwa dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi


tersebut di atas yang menjadi pokok persoalan hukum yang harus
dipertimbangkan dalam perkara ini a quo perkara Ir. H. Abdullah Puteh,
M.Si adalah:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

a. Apakah KPK mengambil alih proses hukum yang sebelumnya


dilakukan oleh Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak;

b. Kapan tempus delicti peristiwa pidana terjadi a quo Ir. H. Abdullah


Puteh, M.Si;

Menimbang, bahwa pertama-tama kami akan pertimbangkan, apakah KPK


telah mengambil alih proses hukum yang dilakukan sebelumnya oleh
Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak;

Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Penyidikan oleh KPK


No.BP/01 .Xl/ 2004/KPK tanggal 29 Nopember 2004, terlihat bahwa KPK
melakukan tindakan penyidikan berdasarkan laporan kejadian Korupsi
No.LKK/02/VI/2004/KPK tanggal 25 Juni 2004, yang dilaporkan oleh
AKBP Yurod Saleh, Penyidik pada Sat Gas KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), dan berdasarkan laporan tersebut KPK melakukan penyidikan
terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Ir. H.
Abdullah Puteh, M.Si., dengan dasar Surat Perintah Penyidikan No.
Sprint-DIK/02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004, dan selanjutnya
dilakukan Penuntutan oleh KPK dengan melimpahkan perkara ini ke
Pengadilan dengan Surat Dakwaan No.01/TUT.KPK/XII/2004 yang
terdaftar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST.
Menimbang, bahwa Terdakwa dipersidangan juga menerangkan bahwa ia
sebelumnya belum pernah diperiksa oleh Kepolisiaan atau Kejaksaan
dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa di dalam berita acara penyidik tersebut juga tidak
ditemukan Surat atau bukti lainnya, bahwa penyidik KPK melakukan
proses a quo dalam perkara ini dengan cara pengambil alihan proses
hukum yang belum selesai yang dilakukan oleh Lembaga Kepolisian atau
Kejaksaan, yang juga berwenang melakukan proses hukum penyidikan
tindak pidana korupsi, yang telah ada sebelum KPK terbentuk.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

Menimbang, bahwa dengan demikian KPK dalam perkara a quo, dalam


melakukan proses hukum murni menggunakan kewenangan berdasarkan
Pasal 6 c, dan bukan berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No. 30 tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Menimbang bahwa berdasarkan Dakwaan Penuntut Umum dan dikuatkan
oleh saksi-saksi dan Terdakwa serta bukti surat, terbukti dari rentetan
peristiwa tersebut tempus delictinya telah terjadi beberapa tindak pidana
sejak Februari 2002 sampai 5 Nopember 2002 sebelum KPK terbentuk
tanggal 27 Desember 2002;
Menimbang, bahwa meskipun ada rentetan peristiwa pidana yang di
dalamnya terdapat perbuatan melawan hukum yang juga terjadi setelah
tanggal 27 Desember 2002, hal tersebut tidaklah dapat dipisah-pisahkan,
karena sesuai dengan Dakwaan Penuntut Umum di mana Terdakwa
didakwa melakukan tindak pidana Korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut (lihat dakwaan baik Primair
maupun subsidair);
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK murni
melakukan proses hukum berdasarkan Pasal 6 c, bukan pengambilalihan
proses hukum yang belum selesai berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang
No.30 Tahun 2002 dan tempus delicti nya terjadi a quo perkara Ir. H.
Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (sebelum KPK
terbentuk), maka kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan berlaku ketentuan Pasal 70 jo. Pasal 72
Undang-Undang No.30 Tahun 2002, di mana kewenangan KPK berlaku
ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002 (Undang-
Undang diundangkan). Artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya
dapat diperlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya
terjadi setelah Undang-Undang dimaksud diundangkan. Secara
agumentum a contrario, Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap
peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang
a quo diundangkan, kecuali dalam hal penerapan Pasal 68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

(pengambilalihan hukum yang belum selesai) dan harus memenuhi


ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002;
Menimbang, bahwa sebab kami mempertimbangkan kewenangan KPK
karena menurut salah satu asas KPK sebagaimana tersebut dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 adalah kepastian hukum,
proporsionalitas dan demikian juga menurut penjelasan umum Undang-
Undang No. 30 tahun 2002 pada alinea VI, pengaturan kewenangan
KPKdilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpangtindih
kewenangan dengan berbagai instansi;
Menimbang, bahwa adapun instansi yang berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP adalah
Polri, sedangkan Jaksa diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal
17 PP No. 27 Tahun 1983;
Menimbang, bahwa terhadap kewenangan (kompetensi) tersebut di-
pertimbangkan, karena menyangkut hukum acara dan hukum acara
merupakan ketentuan hukum yang baku tidak dapat ditafsirkan lain, selain
ditentukan dalam Undang-Undang tersebut;
Menimbang, bahwa setiap Tersangka berhak diselidiki, dan disidik di atas
landasan sesuai dengan hukum acara, tidak boleh undue process, hak due
process dalam tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-cita Negara
hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum (the law is supreme)
yang menegaskan "kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh orang
(government of law and not of men). Konsep due process dikaitkan dengan
landasan menjunjung tinggi supermasi hukum". Di dalam menangani
tindak pidana tidak seorangpun berada dan menempatkan diri di atas
hukum (No one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada
siapapun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fait
manner). Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum
pidana sesuai dengan "persyaratan konstitusional" serta harus "menaati
hukum". Due process tidak "membolehkan pelanggaran" terhadap suatu
bagian ketentuan hukum dengan dalih menegakkan bagian hukum lain.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

Menimbang bahwa penyelesaian Tindak Pidana Korupsi harus didasarkan


atas ketentuan dan procedure yang berlaku, menyandarkan diri "Rule of
Law", bahwa penyimpangan Hukum Acara Pidana (Umum) masih harus
bergerak dalam batas yang diakui oleh prinsip dalam Negara Hukum.
Selanjutnya dalam symposium Tracee Baru pada tahun 1966 mengenai
Indonesia Negara hukum, adanya 3 (tiga) ciri dari unsur utama dalam
Negara hukum Indonesia, yaitu:
a. Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia;
b. Peradilan bebas dan tidak memihak;
c. Legalitas dalam arti hukum baik formil maupun materiil;
Menimbang, bahwa Oemar Senoadji, (2007:32) berpendapat suatu
perUndang-Undangan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam aspek hukum Pidana materiil maupun Hukum Acara Pidana dalam
Negara hukum Indonesia; berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila; tidak akan meninggalkan hak azasi manusia dan prinsip
legalitas, yang dalam Negara hukum manapun dipandang sebagai
palladium dari kepastian hukum, apa lagi sistem Peradilan bebas, dari
factor extra-judisiel dan dari paksaan ("compulsion") dan jauh dari
tekanan, direktiva atau rekomendasi dari executive dan legislative;
Menimbang, bahwa sebagaimana diketahui fungsi Peradilan tidak lain
dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan (to enforce the truth justice) atau menemukan
keadilan menurut hukum (Legal Justice) yaitu suatu keadilan yang
diwujudkan berdasarkan sistem hukum yang dianut (according to legal
system), jadi suatu keadilan yang lahir dari proses peradilan sesuai dengan
hukum acara yang berlaku (dueprocess);
Menimbang, bahwa dengan demikian proses peradilan bukan semata-mata
menemukan keadilan moral (not moral justice) yang lepas dalam kaitan
penyelesaian perkara ataupun sistem hukum yang dianut, maka keadilan
diharapkan harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-
Undang dan berbagai peraturan lainnya yang mengatur kewenangan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

Majelis untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, sehingga proses


penegakan hukum dilakukan secara professional dan proporsionalitas
sehingga diharapkan diperoleh keadilan yang sebenarnya;
Menimbang, bahwa Hakim adalah tangan keadilan, bukan algojo bagi
sekedar nafsu hukum, tangan keadilan Hakim bukan saja untuk
memuaskan khalayak ramai, atau korban, tetapi juga keadilan untuk
pelaku dan keluarganya, rasa malu, tercoreng yang mungkin akan
dikenang turun temurun merupakan faktor sosiologis yang harus
dipertimbangkan. Keadilan Hakim adalah keadilan Komprenhensif, bukan
keadilan sesaat atau untuk kepentingan tertentu (Sambutan Ketua
Mahkamah Agung R.I. pada pembukaan Rapat Kerja Nasional tanggal 27-
30 September 2004 halaman 4 dan 5);
Menimbang, bahwa Hakim dalam hal tertentu juga tidak kaku dalam
menerapkan hukum hal ini terbukti dalam putusan sela, eksepsi lainnya
dari Penasihat Hukum yang lainnya tidak mendasar, telah
dikesampingkan;
Menimbang, bahwa karena tentang kewenangan suatu lembaga penegak
hukum adalah kaitan dengan HAM, dan dalam hukum acara pidana
merupakan hal yang mendasar suatu proses penegakan hukum;
Menimbang, bahwa dengan adanya kewenangan KPK yang berlaku
kedepan atau Prospective sebagaimana pertimbangan Mahkamah
Konstitusi tersebut dan juga uraian-uraian tersebut di atas di mana dalam
penegakan hukum harus didasarkan hukum acara yang berlaku (due
process), maka berarti KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang terjadi
sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan oleh
Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember
2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan);
Menimbang, bahwa oleh karena KPK tidak berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK
dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak
sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara
tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si.,
dengan demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa
juga tidak sah;
Demikianlah pendapat dari Hakim Ketua dan Hakim Anggota I yang
berbeda pendapat dengan Hakim-Hakim Anggota lainnya dalam
musyawarah untuk mengambil keputusan, dan pendapat ini merupakan
satu kesatuan dengan putusan ini, sebagaimana yang dimaksud Pasal 19
ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 2002 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.

7. Pembahasan
KPK dibentuk berdasarkan Undang-undang sehingga mempunyai
legitimasi yang kuat, KPK juga bersifat indepanden dan bebas dari
pengaruh siapapun. Kewenangan KPK adalah: (a) melakukan pengkajian
terhadap sistem pengelolaan administrasi semua lembaga negara dan
pemerintah; (b) memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian,
sistem pengelolan administrasi tersebut berpotensi korupsi; (c) melaporkan
kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyar Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi
Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak
diindahkan. ( Pasal 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 )
Begitu pula dengan pemeriksaan aparat maupun pejabat negara
yang terlibat dengan dugaan korupsi, wewenang untuk memerintahkan
Presiden agar membuat izin juga dimiliki oleh KPK. Kewenangan inilah
yang digunakan KPK untuk memeriksa kasus dugaan korupsi pembelian
helikopter MI-2 senilai Rp 12 Miliar oleh Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam ( NAD ) Abdullah Puteh. Inilah kasus pertama yang berhasil
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

dibawa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) hingga ke meja


pengadilan.
Terlepas dari keistimewaannya sebagai kasus pertama yang dibawa
KPK hingga ke hadapan para hakim, kasus ini ternyata menghadirkan
tantangan lain yang cukup berat bagi KPK. Tantangan tersebut dipicu
dengan diajukannya gugatan yang dilempar Bram HD Manoppo, Direktur
Utama PT Putra Pobiagan Mandiri. Bram mengajukan gugatan judicial
review terhadap Undang-undang No 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar
berdirinya KPK kepada Mahkamah Konstitusi ( MK ). Gugatan tersebut
mulai disidangkan MK pada akhir November 2004. Dalam gugatannya,
Bram mempersoalkan pasal 68 UU KPK yang menurutnya menetapkan
azas retroaktif. Pasal 68 tersebut menyebutkan ”Semua tindakan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidada korupsi yang
proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ”.
Pasal tersebut dianggap oleh Bram HD Manoppo dinilai bertentangan
dengan pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan yang
lebih tinggi tingkatannya itu menegaskan : ” Hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Gugatan Bram inilah yang
kemudian menghasilkan putusan MK yang dinilai banyak kalangan
kontroversial.
Dalam keputusan yang dibacakan dalam sidang pada 15 Februari
2005, para hakim MK memang menolak gugatan Bram HD Manoppo.
Namun begitu, dalam bagian pertimbangan dari keputusan tersebut, MK
mengemukakan hal-hal yang menimbulkan persepsi bahwa KPK tidak
boleh menyelidiki kasus-kasus korupsi yang terjadi sebelum UU KPK
ditetapkan, yakni pada 27 Desember 2002.
Hakim Ketua, KRESNA MENON dan Hakim Anggota I
GUSRIAL, berpendapat bahwa kewenangan KPK adalah berlaku kedepan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

atau Prospective. Hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan


Mahkamah Konstitusi. Kresna Menon dan Gusrial juga berpendapat KPK
tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak
pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in
casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh,
M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 diundangkan).
Selanjutnya karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan
dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan
tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara
yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau
tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana
korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si.. Dengan
demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa
Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah.
Dikaitkan dengan adanya penafsiran A Contrario Argumentum,
yang menyatakan bahwa ada kalanya suatu peristiwa tidak diatur secara
khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut
diatur oleh undang-undang. Dan bagaimana menemukan hukumnya bagi
peristiwa yang tidak diatur itu adalah dengan cara menemukan hukum
dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal
tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada
peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya,
ini merupakan metode A Contrario Argumentum.
Metode A Contrario Argumentum merupakan cara penafsiran atau
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian
antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang. Dengan mengatur suatu peristiwa tetapi peristiwa yang
mirip lainnya tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku secara
kebalikannya. Hakim mengatakan “ peraturan ini saya terapkan pada
peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

contrario argumentum titik berat diletakkan pada ketidak samaan


persitiwanya.
Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara
Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah
meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif,
walaupun KPK hanya dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah
diundangkannnya Undang-undang KPK sampai dengan terbentuknya
KPK.
Doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) menyebutkan bahwa
hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan :
a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang
menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena
menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004,
”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya”;
b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya
mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada
saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit;
c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij
dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim
seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum
dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika
putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya :
Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai
dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya
yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya”;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

d. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi


kita, bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukan banyak
kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun
demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam
hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk
menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau
artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-
Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang
secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris”.

B. Implikasi Penggunaan Penafsiran Hukum A Contrario Argumentum Oleh


Hakim Mahkamah Agung Terhadap Keabsahan Tindakan Penyidikan
Oleh KPK Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter

Di dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam perkara


Korupsi Pengadaan Helikopter dengan terdakwa Abdullah Puteh ini, Hakim
Ketua, KRESNA MENON dan Hakim Anggota I GUSRIAL, berpendapat
bahwa kewenangan KPK adalah berlaku kedepan atau Prospective. Hal
tersebut didasarkan kepada pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Kresna
Menon dan Gusrial juga berpendapat KPK tidak berwenang melakukan
penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya
yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan
oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember
2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan).

Selanjutnya karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan


dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan tidak
sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara yang tidak
sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau tidak dapat
diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama
Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si.. Dengan demikian Penahanan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa Abdullah Puteh juga dianggap tidak
sah.
Kewenangan KPK terkait Putusan MK No. 069/PUU-II/2004
Pertimbangan hukum MK yang kontroversial tersebut berbunyi:
Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab
KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-
undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72
tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan
(prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan
undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana
yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud
diundangkan. Secara A Contrario Argumentum, undang-undang ini tidak
berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum
undang-undang a quo diundangkan.
Berkaitan dengan permohonan Hak Uji Materil yang diajukan oleh
Bram Manopo yang pada saat itu merupakan terdakwa Korupsi bersama-sama
dengan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh (dalam dakwaan terpisah).
Putusan MK tersebut diputus oleh MK sebelum Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi menjatuhkan putusannya baik terhadap Bram Manopo sendiri
maupun Abdullah Puteh. Tak lama setelah Putusan MK tersebut dijatuhkan
Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusannya, yang pada intinya menghukum
keduanya. Dari putusan yang menghukum tersebut terlihat bahwa Pengadilan
Tipikor tetap menganggap bahwa KPK tetap berwenang untuk menangangi
perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum berdirinya KPK, atau
dengan kata lain Pengadilan Tipikor tidak sependapat dengan pendapat hukum
MK sebagaimana dikutip diatas. Dalam tingkat banding terjadi hal yang sama,
Pengadilan Tinggi tetap menghukum terdakwa walapun terdakwa telah
membawa putusan MK tersebut sebagai bagian dari memori bandingnya.
Selanjutnya dalam tingkat kasasi Abdullah Puteh kembali mengajukan
pertimbangan hukum MK sebagai salah satu alasan dalam memori kasasinya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

Namun atas alasan tersebut Mahkamah Agung melalui putusannya no. 1334
K/Pid/2005 berpendapat lain, dalam pertimbangan hukumnya di halaman 80-
82 Mahkamah Agung berpendapat:

“ Menimbang bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah


Konstitusi khususnya pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
pemberlakuan Undang-Undang a quo, pertimbangan mana menimbulkan pro
dan kontra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap
penerapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung memandang perlu
mempertimbangkan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memberikan
pertimbangan atas pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mengingat
pertimbangan tersebut, menimbulkan penafsiran sebagai pendapat Mahkamah
Konstitusi.

“ Menimbang, bahwa dengan menunjuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi


khususnya pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang KPK berlaku kedepan (prospective) sekalipun diakui bahwa
masalah penerapan Undang-Undang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi
dihubungkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 23 c ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 jo pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
pertimbangan tersebut diatas adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan
melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum mengenai wewenang


Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2)
Undang-Undang-Undang Dasr Negara RI 1945 jo pasal 10 ayat (1), (2), pasal
56 ayat (3) dan (5), pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

dihubungkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah


Konstitusi dalam putusannya Nomor : 069/PUU/II/2004, Judex Factie telah
dengan tepat dan benar mengadili perkara a quo menurut ketentuan Undang-
Undang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut keberatan-keberatan kasasi yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa huruf B butir 4 sampai dengan 16
tidak dapat dibernarkan, karena tidak beralasan menurut hukum;”.
Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa Mahkamah
Agung tidak sependapat dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi
mengenai tidak berwenangnya KPK dalam menangani perkara korupsi yang
terjadi sebelum 2002. Dengan ditolaknya argumentasi Pemohon Kasasi yang
mendalilkan bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor salah menerapkan hukum
dengan mendasarkan diri pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka
hal ini berarti Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan
oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan
oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara
korupsi yang demikian.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan 2 ( dua ) simpulan sebagai
berikut :
1. Penafsiran a contrario argumentum dalam Proses penyidikan Perkara
Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlihat dengan adanya perbedaan
pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I.
Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara
korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh.
Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Abdullah Puteh terjadi sebelum diundangkannya UU No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27
Desember 2002. Dengan tidak diperbolehkannya KPK melakukan
penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka
berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang
dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat
surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap
tidak sah. Penahanan terhadap Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah
karena didasarkan kepada penyidikan yang tidak sah.
2. Implikasi penafsiran a contrario argumentum dalam penyidikan perkara
korupsi pengadaan Helikopter oleh Abdullah Puteh ini sesuai dengan
putusan MA bahwa KPK secara hukum dapat melakukan tindakan
penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak
Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan
sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20


Tahun 2001. Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat
menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi
Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.

B. Saran-Saran
1. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang eksistensi KPK dan juga
berbagai kasus lain memberi pesan agar legislatif lebih berhati-hati, lebih
cermat dan lebih cerdas dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Kerja legislatif diharapkan harus serius karena ketidakcermatan sebuah
produk hukum berdampak dalam banyak hal termasuk tanggung jawab
moril terhadap semua produk peraturan perundang-undangan.
2. KPK harus berani berperan menjadi ‘pengendali’ bagi gerakan
pemberantasan korupsi nasional. Dari banyaknya kasus korupsi yang
muncul di media, hanya sebagian kecil yang bias ditindak lanjuti dan
diselesaikan di pengadilan. Tidak efektifnya pemberantasan korupsi
disebabkan tumpang tindihnya upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga
penegak hukum. KPK sebagai lembaga yang memegang amanat
mengkoordinasikan, mensupervisi dan melaksanakan pemberantasan
korupsi seharusnya berani tampil paling depan dan menjadi ‘dirigen’ bagi
lembaga penegak hukum lainnya, bukan seperti saat ini yang masih ragu
menggunakan kewenangannya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Adami Chazawi. 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia. Malang : Bayumedia Publishing.
Danang Kurniadi. 2008. Mega skandal korupsi di Indonesia. Yogyakarta :
Pukat Korupsi.
Johnny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publising.
Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Satjipto Raharjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung : Alumni.
Sudikno Mertokusumo. 1995. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty
Yogyakarta.
Suradi. 2006. Korupsi dalam sektor pemerintahan dan swasta. Yogyakarta :
Gaya Media Yogyakarta.

Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana ( KUHAP )
UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi
UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Internet :
Liza Erwina S.H.,M.Hum, Penemuan Hukum Oleh Hakim di Fakultas
Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. Diakses pada
tanggal 3 Desember 2009, Pukul 09.22 WIB
Kewenangan KPK dalam Menangani Korupsi Sebelum Tahun 2003
Antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Diakses pada
tanggal 2 Maret 2010, Pukul 16.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai