Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN ANALISIS EKOSISTEM KEBUDAYAAN

OBJEK PEMAJUAN KEBUDAYAAN TRADISI ZIARAH


PESAREAN AGENG DESA PAREMONO

Oleh:
Tim Pelindungan Objek Pemajuan Kebudayaan Desa Paremono
1. Maulida Masyitoh
2. Rani Purwanti

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
DIREKTORAT PELINDUNGAN KEBUDAYAAN
TAHUN 2022

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I KETERANGAN UMUM OBJEK PEMAJUAN
KEBUDAYAAN ....................................................................... 1
A. Deskripsi Umum ............................................................ 1
B. Elemen Objek Pemajuan Kebudayaan ........................... 4
C. Peserta ............................................................................ 10
D. Bentuk Kegiatan dan Tata Cara Pelaksanaan ................. 11
E. Deskripsi Nilai Ritual .................................................... 14

BAB II KONDISI KREASI .............................................................. 18


A. Proses ............................................................................. 18
B. Peta Pelaku ..................................................................... 19
C. Isu Pokok ........................................................................ 19
D. Permasalahan.................................................................. 19

BAB III KONDISI PRODUKSI ........................................................ 20


A. Proses ............................................................................. 20
B. Peta Pelaku ..................................................................... 20
C. Isu Pokok ........................................................................ 20
D. Permasalahan.................................................................. 21

BAB IV KONDISI DISTRIBUSI ...................................................... 22


A. Proses ............................................................................. 22
B. Peta Pelaku ..................................................................... 22
C. Isu Pokok ........................................................................ 22
D. Permasalahan.................................................................. 23

BAB V KONDISI KONSUMSI........................................................ 24


A. Proses Konsumsi ............................................................ 24
B. Peta Pelaku ..................................................................... 25
C. Isu Pokok ........................................................................ 25
D. Permasalahan.................................................................. 25

ii
BAB VI KONDISI APRESIASI ........................................................ 27
A. Proses Apresiasi dan Dukungan Masyarakat ................... 27
B. Peta Pelaku ..................................................................... 27
C. Isu Pokok ........................................................................ 27
D. Permasalahan.................................................................. 28

BAB VII ANALISIS EKOSISTEM KESELURUHAN ...................... 29


A. Peta Permasalahan Keseluruhan ..................................... 29
B. Kekuatan .............................................................................. 29
C. Kelemahan ........................................................................... 30
D. Potensi .................................................................................. 30
E. Tindak Lanjut ....................................................................... 31

BAB VIII REKOMENDASI RENCANA AKSI .................................. 32


A. Peran Stakeholder........................................................... 32
B. Rekomendasi .................................................................. 32
1. Rekomendasi Jangka Pendek ................................... 32
2. Rekomendasi Jangka Menengah .............................. 32
3. Rekomendasi Jangka Panjang ................................. 32

BAB IX PENUTUP ............................................................................ 33

iii
BAB I
KETERANGAN UMUM OBJEK PEMAJUAN KEBUDAYAAN
TRADISI ZIARAH DESA PAREMONO

A. Deskripsi Umum
Ziarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (mengunjungi makam
dan sebagainya) sambil mengirim doa. Dalam pengertian lain, ziarah juga bisa
disebut dengan mengunjungi suatu makam. Tujuan mengunjungi ini bukan
hanya sekedar mengetahui dimana seseorang itu dimakamkan atau bagaimana
keadaan makam tersebut. Akan tetapi untuk mendoakan si mayit/para leluhur
yang dikunjungi.

Foto : Warga Desa Paremono sedang melakukan Ziarah Kubur


(Dokumentasi oleh Rani)

Bagi mereka yang sering melakukan ziarah ke makam-makam


keramat, pasti sudah tidak asing jika mendengar Desa Paremono. Desa yang
secara administratif berada di kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah ini, banyak sekali menyimpan kisah-kisah masa lalu. Bukan
hanya itu, sisa-sisa peninggalan peradaban masa klasik pun berserakan di desa
ini.

1
Foto Papan Petunjuk Makam Leluhur
(Dokumentasi oleh Rani)

Foto Gapura Utama Masuk ke Area Pesarean Ageng Paremono


(Dokumentasi oleh Rani)

2
Foto Gapura Masuk ke Area Pesarean Ageng Paremono
(Dokumentasi oleh Rani)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Tokoh Masyarakat setempat


yaitu Bapak Widodo, Bapak Santri dan Bapak Dwi Hernawan leluhur yang
dimakamkan di Pesarean Agung Paremono seperti Kyai Patih Sindurejo yang
pernah didapuk menjadi patih Mataram sebagaimana diceritakan yang dalam
wawancara menceritakan silsilah Makam Kyai Ageng Karotangan dan Makam
Kyai Patih Sindurejo. Makam Kyai Ageng Karotangan terletak di Dusun
Trojayan Desa Paremono Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang Provinsi
Jawa Tengah.

Foto Wawancara dengan Bapak Widodo tentang Pesarean Ageng Paremono


(Dokumentasi oleh Rani)

3
Kyai Ageng Karotangan adalah cucu Kyai Ageng Selo yang terkenal
kesaktiannya menangkap petir, beliau juga adik Kyai Ageng Pemanahan,
pendiri Kerajaan Mataram Islam, berarti Kyai Ageng Karotangan adalah
paman Kyai Raden Santri yang dimakamkan di Gunungpring Muntilan. Kyai
Ageng Karotangan terkenal kesaktiannya dalam babat alas Kedu Magelang.
Kyai Ageng Karotangan bersama Kyai Jomblang berdakwah menyebarkan
agama Islam di kawasan Kedu Kabupaten Magelang dan sekitarnya. Melalui
jalur pertanian, menanam padi hal ini terbukti adanya Desa Parimono. Cara ini
dilakukan atas petunjuk dari guru beliau yaitu Kanjeng Sunan Kalijogo. Kyai
Ageng Karotangan merupakan wali penerus dari walisongo artinya memiliki
ilmu kewalian yang disebut walinupa.
Pada tahun 1595 M beliau wafat dan dimakamkan di Astonoloyo
Pesarean Agung Paremono. Di sebelah Timur makan Kyai Ageng Karotangan
terdapat makan Kyai Patih Sindurejo I, salah satu keturunan nasab Kyai
Ageng Karotangan yang terkenal adalah Kyai Patih Sindurejo. Beliau berhasil
memetik kembang Wijaya Kusuma di Pulau Nusakambangan adalah wahyu
keraton sebagai syarat penobatan raja Susuhunan Amangkurat II. Pada tahun
1677 M karena sangat besar jasa-jasanya terhadap Kerajaan Mataram, maka
pada tahun 1686 M beliau diangkat menjadi Patih Mataram bergelar Patih
Aryo Sindurejo I. Setelah selesai menjalankan tugas menjadi patih Mataram
dengan baik, beliau memilih kembali ke daerah asal mendalami agama Islam
dan berdakwah menyebarkan agama Islam di daerah Magelang, seperti
leluhurnya Kyai Ageng Karotangan. Maka mendapatkan sebutan Kyai Patih
Sindurejo I. Pada tahun 1703 M beliau wafat dan dimakamkan di Astoloyo
Pesarean Agung Paremono Dusun Trojayan Kecamata Mungkid Kabupaten
Magelang.

B. Elemen Objek Pemajuan Kebudayaan


Hal-hal yang mendasari tradisi ziarah di Pesarean Ageng Paremono
adalah selain sebagai makam yang mempunyai peninggalan sejarah juga
terdapat kisah dan jejak yang tersimpan di makan tersebut.

4
1. Babat Alas Paremono
Menurut kisah popular yang berkembang di masyarakat setempat,
asal mula Desa Paremono berawal pada sekitar abad ke-15 ketika Ki
Ageng Pamanahan, sang pendiri Kasultanan Mataram, diberikan sebuah
wilayah dibagian barat daya Kasultanan Pajang yang bernama “Bhumi
Mentaok” oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Ki Ageng Pamanahan
yang terkenal sakti ini akhirnya berhasil membuka hutan Mentaok yang
dulunya terkenal angker dan banyak dihuni binatang buas. Dalam proses
Babat Alas Bhumi Mentaok ini, Ki Ageng Pamanahan juga meminta
bantuan adik kandungnya, Raden Bagus Bancer yang bergelar Ki Ageng
Pagergunung I untuk membabat alas (hutan) di daerah barat gunung
Merapi. Daerah barat gunung Merapi ini mencakup wilayah dataran Kedu
dan sekitarnya yang mana daerah ini juga terkenal tak kalah angker
dibanding Alas Mentaok di daerah Yogyakarta.
Syahdan, Ki Ageng Pagergunung I sedang beristirahat disebuah
sendang (sendang ini sampai sekarang masih ada) disuatu wilayah di
dataran Kedu. Disana, beliau bertemu dengan seseorang warga desa dan
kemudian bertanya-tanya mengenai wilayah tersebut. Karena didaerah
tersebut terdapat banyak sekali padi didalamnya, kemudian beliau berujar
‘Parine Semono = Padinya banyak sekali’. Istilah nama Pari Semono
diperkirakan muncul pertama kali pada 1521 Hijriah atau 1601 Masehi.
Lama kelamaan, dari nama Parine Semono berubah menjadi Pariono,
kemudian berbah lagi menjadi Parimono. Pada masa - masa menjelang
masa kemerdekaan, nama Parimono akhirnya berubah lagi untuk terakhir
kalinya menjadi Paremono. Begitulah konon nama desa Paremono
berasal.
Sebagai seorang adik kandung Ki Ageng Pamanahan, maka tidak
heran jika Ki Ageng Pagergunug I juga mempunyai ilmu kanuragan yang
tinggi. Dikisahkan, ketika Ki Ageng Pagergunung I membuka alas di
kawasan Magelang, beliau hanya menggunakan tangan kosong. Konon,
beliau membabat pepohonan dan rumputan yang ada di daerah Kedu ini

5
sampai wilayah yang apa sekarang disebut sebagai Wates, Magelang.
Nama Wates (dalam bahasa Indonesia berarti Batas) sendiri sebenarnya
adalah suatu batas dimana Ki Ageng Pagergunung I berhenti membuka
hutan. Karena kesaktianya membuka hutan hanya dengan tangan kosong
inilah, beliau juga memiliki julukan sebagai Ki Ageng Karotangan (Karo
= menggunakan; tangan = tangan).

Foto: Peta Jalur Babat Alas Kedu


(Arsip Tokoh Masyarakat Desa Paremono)

Berdasarkan Pernyataan Juru Kunci Makam Kyai Ageng Ngenis


yang berada di Laweyan, Solo, Ki Ageng Karotangan adalah putra dari
Kiai Ageng Ngenis/ Anis yang jika diruntut silsilahnya kebelakang akan
sampai pada Trah Bondan Kejawan. Trah ini merupakan keturunan dari
putra Prabu Brawijaya V dan Raden Roro Nawangsih pada era Majapahit.
Ki Ageng Karotangan sendiri mempunyai putra bergelar Patih Sindurejo I.
Patih Sindurejo I ini merupakan patih pada zaman Sunan Amangkurat
Agung (Mangkurat I). Beliau beristrikan GRA Klenting Kuning yang
merupakan Putri Raja Amangkurat Agung dengan selir yang bernama RA.
Mayang Sari. Sebagai hadiah karena berhasil memetik bunga
Wijayakusuma di Cilacap/ Nusa Kambangan, anak dari Ki Ageng
Karotangan ini mendapat gelar Patih Sindurejo I.

6
Foto : Papan Nasab Kyai Ageng Karongan yang dipajang dimakam
(Dokumentasi oleh Maulida Masyitoh)

2. Pesarean Ageng Paremono


Menurut cerita tokoh masyarakat desa Paremono secara turun
temurun, di dalam kompleks Pemakaman Ageng Paremono terdapat
makam Kiai Ageng Karotangan beserta keluarganya. Kompleks makam
dari keluarga Ki Ageng Karotangan sendiri letaknya berada dibagian
dalam kompleks pemakaman. Makam trah Ki Ageng Karotangan ini
berbeda dengan makam-makam yang lain. Makam keramat ini adalah
satu-satunya makam yang bercungkup (berbangunan rumah). Jika dilihat
dari bentuk batu-batu nisan makam yang terdapat di kompleks pemakaman
agung ini, sebagian besar makam terbuat dari batu-batu andesit. Ditilik
dari segi ragam hiasannya, pusara-pusara ini berasal dari era awal
berdirinya kerajaan mataram islam seperti bentuk-bentuk makam yang
terdapat dikompleks pemakaman raja-raja Mataram di Kota Gede,
Yogyakarta.

7
Foto : Makam Kyai Ageng Karongan yang sudah dipugar
(Dokumentasi oleh Rani Purwanti)

Di dalam pagar kompleks cungkup makam Ki Ageng Karotangan,


kurang lebih terdapat 7 buah makam kuno diluar cungkup dan 4 makam
keramat lain berada dalam bangunan inti cungkup. Konon yang
dimakamkan didalam kompleks cungkup ini adalah Ki Ageng Karotangan,
Patih Sindurejo I, GRA Klenting Kuning, dan kerabat dekat lain dari trah
Ki Ageng Karotangan. Uniknya, dalam salah satu makam yang terdapat
dalam kompleks keramat ini terdapat sebaris tulisan beraksara jawa yang
berbunyi angka 1625. Kemungkinan angka ini adalah penanda
meninggalnya sang pemilik makam dalam hitungan tahun jawa. Angka
1625 saka sendiri jika dikonversi kedalam tahun masehi akan merujuk
pada tahun 1703. Tahun tersebut adalah tahun-tahun awal Sunan
Amangkurat III bertakhta atas Tlatah Bhumi Mataram setelah sang ayah
Sunan Amangkurat II meninggal dunia. Sebagaimana yang telah kita
ketahui, tahun-tahun tersebut adalah tahun krusial bagi Kesultanan
Mataram dimana VOC mulai ikut campur dalam kancah perpolitikan
feodalisme kesultanan. Kejadian yang mengikuti setelah tahun 1703
adalah kekacauan politik dan kekuasaan yang berakibat perang suadara
dan pecahnya Mataram dikemudian hari.

8
Kompleks pemakaman Agung Paremono ini biasanya ramai
dikunjungi para peziarah pada tanggal 25 Ruwah kalender penanggalan
jawa. Para peziarah datang secara berombongan. Setibanya di dalam
kompleks pemakaman, biasanya peziarah memanjatkan doa disekeliling
makam Ki Ageng Karotangan. Hal lain yang menarik pada kompleks
pemakaman milik Ki Ageng Karotangan ini adalah terdapatnya Pohon
Nagasari didepan cungkup makam. Konon pohon ini hanya bisa tumbuh
disekitar makam kerabat kerajaan Mataram. Pohon serupa juga tumbuh di
kompleks pemakaman raja-raja di Kota Gede, Yogyakarta. Dipercaya
pohon ini berfungsi sebagai pelindung makam. Yang unik dari pohon
Nagasari ini adalah, daun dari pohon ini bisa dibakar walaupun masih
dalam keadaan basah.

Foto Pohon Nagasari didepan kompleks pemakaman


Ki Ageng Karotangan. Pohon yang dipercaya hanya tumbuh di pusara
kerabat Raja Mataram
(Dokumentasi oleh Maulida Masyitoh)

9
3. Remah-Remah Peradaban Paremono
Lokasi geografis Desa Paremono yang berada dalam kawasan
Candi Borobudur membuat kawasan ini diduga menyimpan banyak sisa-
sisa peradaban masa klasik. Selain banyak ditemukan makam-makam tua
zaman kerajaan Mataram.

C. Peserta
Warga melakukan tradisi ziarah Pesarean Ageng Paremono biasanya
dilaksanakan pada setiap hari Kamis Malam Jum’at dan Minggu Malam Senin
Kliwon, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih. Bunga
telasih digunakan sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara
peziarah dengan arwah yang diziarahi.
Selain warga sekitar Desa Paremono, Pesarean Ageng Paremono ramai
juga dikunjungi oleh warga luar daerah. Hal ini diakui oleh Keraton Surakarta
bahwa sejumlah tokoh yang dimakamkan di Makam Kyai Ageng Karotangan
di Dusun Trojayan, Desa Paremono Kecamatan Mungkid, Kabupaten
Magelang merupakan keturunan keluarga Keraton Surakarta. Pemberian
pikukul atau wewengkon atau surat keputusan pesarean Kiai Ageng Karongan
dilakukan oleh GKR Koes Moertiyah (putri PB XII) dari Keraton Surakarta
Hadiningrat.

Foto: Penyerahan Sertifikat, 02-05-2009


(Dokumentasi Pribadi Tokoh Masyarakat Desa Paremono)

10
Putri PB XII itu menyempatkan datang pada acara Sadranan yang
dilakukan pada Tahun 2019 . pada kesempatan itu beliau menandatangani
format SK yang sudah disiapkan. Selanjutnya diserahkan kepada Tokoh
Masyarakat setempat, KH Santri. Oleh karenanya pada setiap bulan
Sya’ban/Ruwah dihadiri oleh ribuan orang dari warga setempat dan luar
daerah dengan memberikan doa kepada para leluhur.

D. Bentuk Kegiatan dan Tata Cara Pelaksanaan


Menurut pernyataan narasumber, tradisi ziarah makam itu sudah
berlangsung sejak raturan tahun silam. Ketika narasumber masih kecil pun
sudah ada tradisi ziarah setiap menjelang puasa maupun mengikuti keluarga
setiap hari Kamis Malam Jum’at atau Hari Minggu Malam Senin Kliwon.
Warga yang datang untuk melakukan ziarah biasanya membawa alat
dan perlengkapan, diantaranya:
1. Sapu, meskipun di makam sudah disediakan sapu tetapi tidak mencukupi
jika warga yang datang untuk melakukan ziarah cukup banyak. Biasanya
warga inisitif untuk membawa dari rumah. Sapu digunakan untuk
membersihkan area sekitar makam yang kotor dengan daun yang rontok
dan ditumbuhi rumput liar.
2. Buku Yasin, dibawa warga untuk membacakan yasin di makam orang tua
atau saudaranya.
3. Bunga, sudah umum bagi peziarah untuk membawa bunga saat melakukan
tradisi ziarah makam untuk ditaburkan di atas makam.

11
Foto: Wawancara dengan Peziarah
(Dokumentasi oleh Maulida Masyitoh)

Adapun tata cara melaksanakan ziarah kubur di desa paremono yang


dilakukan oleh warga sekitar seperti hasil kunjungan dan wawancara penulis
adalah sebagai berikut:
1. Sebelum masuk ke makan, peziarah akan berwudlu dulu, atau sebagian
peziarah lain sudah melakukan wudlu dari rumah. Sebelum pergi untuk
ziarah baiknya kita berwudu dahulu untuk menyempurnakan dan
mensucikan niat dalam menjalankan ziarah kubur

Foto: Peziarah berwudlu terlebih dahulu sebelum masuk ke makam


(Dokumentasi oleh Rani Purwanti)

12
2. Masuk ke makam dengan melepas sandal/alas kaki, saat berziarah
disunnahkan untuk tidak memakai alas kaki saat berjalan di atas kuburan.
Hal ini bertujuan untuk menghormati penghuni kuburan.
3. Mengucapkan salam pada ahli kubur, para peziarah disunnahkan
mengucap salam kepada ahli kubur. Salam ini hendaknya dibaca dengan
menghadap pada arah wajah ahli kubur.
4. Sebelum memanjatkan doa, peziarah akan melakukan pembersihan sekitar
area makam dengan menyapu dan mencabut rumput liar yang tumbuh di
sekitar makam.

Foto: Peziarah saat menyapu di sekitar area makam


(Dokumentasi oleh Rani Purwanti)

5. Membaca istighfar, dengan bacaan latin: "Astaghfirullah hal adzim alladzi


la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi."
6. Membaca Doa untuk almarhum/almarhumah, kemudian dilanjut dengan
membaca tasbih, takbir, tahmid, zikir, doa yang dikhususkan untuk mayit,
dan diakhiri dengan bacaan surat al-Fatihah dan Surat Pendek, seperti:
surat Al Fatihah, surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas. Dengan
membaca surat pendek, orang yang hadir diharapkan mendapat pahala.
Sementara bagi almarhum atau almarhumah diharapkan akan mendapat
rahmat (saat berdoa menghadap ke arah kiblat).

13
7. Membaca Tahli dan Yasin.
8. Peziarah tidak diperkenankan duduk atau menginjak bagian atas kuburan.
Hal ini karena menghormati almarhum/almarhumah dengan melakukan
tata cara ziarah kubur yang baik, yakni tidak menduduki atau menginjak
bagian atas dari kuburan tersebut. Biasanya warga membawa kursi kecil
atau bangku saat melakukan doa.

Foto: Peziarah sedang berdoa dengan duduk menggunakan bangku yang


dibawa dari rumah. (Dokumentasi oleh Rani Purwanti)

E. Deskripsi Nilai Ritual


Upacara Ziarah di Desa Paremono dapat dikategorikan sebagai warisan
budaya turun-temurun yang telah dijalankan sejak ratusan tahun yang lalu.
Keberadaannya sebagai sebuah tradisi mengandung nilai-nilai luhur yang bisa
dijadikan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan. Sebagai contoh,
elemen-elemen ubo rampe yang disertakan dalam upacara Ziarah memiliki
makna dan maksud masing-masing sesuai dengan keterkaitannya terhadap
kehidupan masyarakat.
Interpretasi terhadap makna tradisi “zaroh” ini memang harus lebih
produktif. “Zaroh” bukan hanya realitas dari praktik keagamaan atau
kepercayaan, tetapi bahkan lebih luas dari itu, tradisi “zaroh” melibatkan
ranah kebudayaan, sosial, bahkan ekonomi. Karena tradisi “zaroh” di samping

14
merupakan bentuk akulturasi dan model budaya keislaman pribumi, “zaroh”
juga merupakan ajang merajut kembali akar historis serta merefleksikan masa
depan. Artinya, dengan “zaroh” yang dimaknai secara lebih mendalam,
seseorang diharapkan dapat merefleksikan sisi-sisi historis eksistensinya, dari
mana dia berasal serta bagaimana dia dibesarkan dan dilimpahi kasih sayang
oleh orang-orang yang dia datangi di maqbarahnya itu. Dengan begitu,
diharapkan timbul rasa sayang, iba, dan harapan besar akan ampunan dari
Tuhan untuk mereka yang telah “kembali” tersebut. Dan di sinilah ketulusan
dan keikhlasan terwujud. Tidak hanya itu, tradisi “zaroh” juga diharapkan
dapat merefleksikan apa yang harus diperbuat seseorang untuk masa depan,
yang telah berada di dalam kubur pasti telah “meninggalkan” banyak
“pekerjaan” yang belum terselesaikan, bisa berbentuk cita-cita perjuangan,
atau bahkan hal-hal yang mungkin harus diperbaiki dalam kehidupan ke
depan. Nah, yang masih hidup inilah yang harus “meneruskan” cita dan
harapan tersebut serta memperbaiki semuanya.
Kemudian yang tak boleh terlupakan bahwa tradisi “zaroh” harus
menjadi wahana mengingat kematian, yang mana kematian adalah hal yang
pasti, tetapi mati dengan tenang dan husnul khatimah bukanlah sesuatu yang
mudah. Untuk mencapai ujung hidup yang indah harus pula terwujud upaya
maksimal yang indah pula. Karena dalam bahasa agama, hanya yang kita
perbuatlah yang nanti kita bawa sebagai bekal menghadap-Nya, berupa amal
yang tiada putus pahalanya (amal jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang senantiasa mendoakan.
Saat ini, tidak lagi relevan membicarakan apakah tradisi “zaroh”
adalah merupakan hal yang halal atau haram, sunnah atau bid’ah, dianjurkan
atau bahkan terlarang. Karena dalam realitas kebangsaan dan keberagamaan di
Indonesia, akulturasi budaya selalu menjadi hal yang bahkan “memperkaya”
dimensi-dimensi kehidupan. Tradisi “zaroh” dengan mengunjungi makam
tertentu, apakah makam saudara, kerabat, tokoh-tokoh “hebat”, dan lainnya,
ditambah dengan upacara tabur bunga di atasnya, ternyata telah terpraktekkan
sepanjang sejarah peradaban bangsa ini, lantas, apa yang salah? Yang salah

15
hanyalah apabila terjadi disorientasi dalam tradisi tersebut. Tradisi zaroh yang
semula diniatkan untuk selalu mengenang jasa dan cita-cita mereka yang telah
tiada, yang asalnya dimaksudkan sebagai wahana mengingat kematian dan
kehidupan setelah kematian, sebagai ajang refleksi dan interospeksi diri, serta
sebagai wahana “balas budi” dengan sebanyak-banyaknya serta seikhlas-
ikhlasnya mengirim untaian doa pengampunan, malah berubah menjadi
praktik-praktik “kemusyrikan”, menyembah kuburan, meminta-minta kepada
kuburan, bahkan menggantungkan urusan hidup dan kehidupan dengan
“wangsit” dari kuburan. Inilah yang perlu diluruskan.
“Zaroh” harus selalu dilakukan sebagai wujud masyarakat yang
berbudaya, yang keberagaman dan keberagamaannya terlihat syi’ar lahir-
batin. Dengan tradisi “zaroh” akan terlihat adanya komunikasi yang selalu
terbangun antara mereka yang telah meninggal dan mereka yang masih hidup,
dan itu seharusnya menjadi bukti nyata bahwa mereka yang telah “kembali”
ke hadirat-Nya adalah orang-orang yang “terkenang” dan bukan yang
“terlupakan”, sekaligus membuktikan bahwa mereka yang masih hidup dan
mengunjungi dengan taburan bunga dan untaian doa-doa merupakan generasi
shalih yang selalu mendoakan. Tradisi “zaroh” (terlebih yang dilakukan di
akhir sya’ban, mengahadapi ramadhan) juga menjadi pengingat –secara
kultural- bahwa kita harus bersiap memasuki bulan yang penuh berkah,
rahmah, dan ampunan, sehingga untuk mencapai itu semua, perlu yang
namanya pembersihan diri (tazkiyatun nafs), di atara caranya adalah dengan
memperbanyak istighfar, membaca ayat-ayat suci, minta maaf pada sanak
saudara baik yang hidup maupun yang telah meninggal, serta mengingat akan
kematian dan kehidupan setelah kematian, dan langkah-langkah semacam ini
terwadahi dalam satu ritual yaitu “zaroh”. Begitu pula yang dilakukan di akhir
ramadhan (menghadapi syawwal), seakan-akan mengingatkan bahwa bulan
termulya sebentar lagi meninggalkan kita, sehingga sudah seharusnya kita
tetap mempertahankan berkah, rahmah, dan ampunan yang -insya Allah- telah
kita raih di Ramadhan kemarin, dengan tetap menjaga “kesucian” diri menuju
fitrah, tidak melupakan istighfar, tidak melalaikan membaca ayat-ayat suci,

16
tetap mengenang dan mendoakan mereka yang telah kembali pada-Nya, serta
tetap menjaga silaturrahmi “lintas-alam” sebagaimana ramai dan hangatnya
tempat-tempat pemakaman pada hari-hari tersebut. Inilah syi’ar budaya, yang
sudah selayaknya kita apresiasi sebagai sebuah tradisi yang “mengingatkan”,
meramaikan, serta mencerahkan syi’ar keagamaan kita. Selamat ber-
Ramadhan dan berpuasa, semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan, kasih
sayang dan ampunan-Nya kepada kita sekalian, mu’min yang taat.

17
BAB II
KONDISI KREASI

A. Proses Kreasi
Tradisi Ziarah sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat diyakini
sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Agak sulit mengungkap proses
penciptaan dan latar belakang sejarah tradisi Ziarah di Desa Paremono. Hal ini
dikarenakan di Desa Paremono tidak ada dokumen tertulis yang menjelaskan
mengenai Ziarah. Semua hal tentang Ziarah diwariskan secara lisan dari para
pendahulu kepada orang-orang di masa sekarang.
Ritual Ziarah memberi dampak yang sangat besar bagi masyarakat
Jawa, karakteristik kuat orang Jawa sangat tampak dalam setiap pekan yaitu
Kamis Malam Jum’at, selapan yaitu Minggu Malam Senin Kliwon serta ritual
tahunan pada bulan Sya’ban atau lebih dikenal dengan istilah “nyadran”
tersebut. Tradisi Ziarah selain bermakna ritualistik juga sarat akan pendiikan,
nilai dan karakteris dalam tradisi Ziarah terdapat proses penanaman dan
pengembangan nilai-nilai dari seseorang kepada masyarakat dari satu generasi
ke generasi selanjutnya.
Ziarah menjadi media internalisasi nilai-nilai agama dan budaya
kepada masyarakat. Ziarah memiliki beberapa pendidikan, nilai dan karakter
yang tinggi diantaranya nilai religus, nilai syukur, nilai gotong royong, nilai
saling menghormat dan saling menyayangi. Ziarah merupakan kearifan lokal
masyarakat Jawa yang sarat nilai dan karakter luhur. Tradisi apapun
bentuknya jika tidak dijaga dan dilekstaikan akan hilang tergerus zaman. Jika
tidak bukan manusia sekarang lalu siapa lagi yang akan menjaga dan
mengamalkan tradisi luhur kita.

B. Peta Pelaku
Pelaku tradisi Ziarah di Desa Paremono yang berkaitan dengan aspek
kreasi hanya terbatas kepada para sesepuh desa, atau orang yang dituakan di
Desa Paremono. Dalam hal ini, orang yang dipandang sebagai sesepuh desa

18
adalah Bapak Santri yang saat ini telah berusia 70 tahun. Bapak Santri juga
merupakan salah satu sesepuh desa yang masih tradisi di Desa Paremono. Hal
ini berarti Beliau akan menjadi salah satu penentu jika ke depan
memungkinkan adanya perubahan terhadap tata cara atau perubahan atas isi
sesaji, dan hal lain yang berkaitan dengan tradisi Ziarah di Desa Paremono.

C. Isu Pokok
Tradisi Ziarah di Desa Paremono dalam aspek kreasi atau
penciptaannya tidak memiliki asal-usul maupun latar belakang yang kuat. Hal
ini disebabkan tidak adanya dokumen pendukung yang kuat yang berisi tata
cara maupun aturan baku terkait tradisi Ziarah. Tradisi Ziarah diwariskan
melalui tradisi lisan dari generasi ke generasi. Hal ini juga berarti
keberadaannya dapat terancam hilang jika tidak ada generasi yang mau
mewarisi tradisi Ziarah ini.

D. Permasalahan
Terlepas dari nilai sejarah yang yang melekat pada makam tersebut,
masyarakat kerap melakukan kegiatan ziarah kubur dengan berbagai motif dan
tujuan. Unsur mistik pada makam para leluhur di Pesarean Ageng Paremono
diakui sangat dominan. Bahkan kerap terjadi hal-hal di luar nalar manusia
salah satunya seperti kesurupan, misalnya. Diakui oleh warga setempat dan
para pengunjung makam, kesurupan terbilang sering terjadi, biasanya
disebabkan oleh niat (baik dan buruknya) seseorang datang ketempat tersebut.
Pak Widodo sebagai narasumber menjelaskan bahwa,berbagai peristiwa mistis
yang terjadi hakikatnya menggambarkan isi hati atau niat para peziarah.
Namun sakralitas dan berbagai hal yang transenden inilah yang juga kemudian
menjadi daya pikat makam tersebut. Melakukan ritual ziarah kubur atau
sekedar berkunjung untuk berwisata.

19
BAB III
KONDISI PRODUKSI

A. Proses Produksi
Dalam kaitannya terhadap proses produksi, tradisi Ziarah memiliki
elemen-elemen ritual yang harus disusun dan dipersiapkan sebelum prosesi
ritual dimulai. Elemen-elemen ritual pada tradisi Ziarah sudah dijelaskan
secara detail pada bab sebelumnya. Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana
para pelaku memproduksi elemen-elemen tersebut.
Peralatan dari tradisi Ziarah pada umumnya merupakan peralatan
sehari-hari yang biasa ditemukan di rumah. Peralatan-peralatan ini antara lain
keranjang sapu, cangul atau arit digunakan untuk membersihkan sekitar
makam dan bila mungkin terjadi, terkadang ada makam keluarga yang ambrol
dikarenakan musim hujan.

B. Peta Pelaku
Pelaku proses produksi dalam tradisi Ziarah adalah para warga
masyarakat Desa Paremono atau wilayah di luar Desa Paremono yang akan
melakukan prosesi Ziarah beserta segenap orang-orang yang terlibat dalam
proses persiapan kelengkapan atau ubo rampe tradisi Ziarah.
Dari segi lokasi, pelaku produksi dalam tradisi Ziarah ini bisa berasal
dari mana saja, tidak terbatas hanya kepada orang-orang Desa Paremono saja.
Siapapun yang berperan dalam persiapan tradisi Ziarah, termasuk dalam
penyediaan alat-alat dan perlengkapan, mereka semua bisa disebut sebagai
pelaku proses produksi dalam upacara Ziarah.

C. Isu Pokok
Proses produksi dalam tradisi Ziarah di Desa Paremono memang
berkaitan dengan banyak orang baik yang terlibat secara langsung maupun
yang tidak terlibat secara langsung. Pada kondisi nyata di lapangan, tidak
banyak orang yang mengetahui secara detail apa saja yang dibutuhkan dalam

20
proses produksi ritual Ziarah ini.

D. Permasalahan
Permasalahan yang umum terjadi dalam proses produksi ritual Ziarah
ini adalah tidak adanya generasi penerus yang mengetahui secara detail
tentang apa dan bagaimana proses produksi dari ritual Ziarah dijalankan. Hal
ini berkaitan dengan mulai hilangnya jenis makanan dan tempat kenduri yang
tidak dipertahankan. Tidak adanya penerus dapat mengakibatkan hilangnya
pelaku yang mengetahui proses produksi tradisi Ziarah di masa yang akan
datang serta kurangnya kesadaran warga dalam mempertahankan kearifan
lokal.

21
BAB IV
KONDISI DISTRIBUSI

A. Proses Distribusi
Konsep distribusi merupakan pengiriman sesuatu ke suatu tempat atau
kegiatan. Dalam konteks tradisi Ziarah di Desa Paremono, distribusi dapat
diartikan sebagai proses berpindahnya kepercayaan atas keharusan melakukan
tradisi Ziarah dari pelaku atau pewaris tradisi, kepada para pelaku yang lain
sampai kegiatan tersebut dilakukan. Distribusi di sini dapat diartikan sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam ritual atau upacara Ziarah.

B. Peta Pelaku
Proses pendistribusian tradisi Ziarah di Desa Paremono dilakukan
sebagian warga di Desa Paremono dan di luar Desa Paremono. Hal ini juga
termasuk melalui proses edukasi dari para sesepuh kepada para generasi
muda, atau orang-orang yang masih mau belajar tentang tradisi Ziarah.
Selain itu ada pula orang-orang yang berkonsultasi kepada sesepuh yang pada
akhirnya juga bertanya mengenai tradisi Ziarah. Terlepas dari akan dilakukan
atau tidaknya tradisi Ziarah tersebut.

C. Isu Pokok
Proses distribusi dari upacara Ziarah terhambat oleh perbedaan
keyakinan yang ada pada masyarakat. Bahkan, saat ini ada yang melakukan
Ziarah dengan cara sembunyi-sembunyi karena tidak ingin mendapat cibiran
dari orang-orang yang berkeyakinan berbeda. Hal ini juga yang pada akhirnya
membuat pelestarian tradisi Ziarah mengalami kendala.

22
D. Permasalahan
Perbedaan keyakinan yang terjadi di masyarakat Desa Paremono
membuat proses distribusi tradisi Ziarah terhambat. Hal ini menjadi sebuah
kendala tersendiri yang harus dihadapi para pelestari tradisi Ziarah. Meski
demikian, toleransi antar-pemeluk keyakinan tetap dapat terjaga. Dalam
prakteknya, para pelaku tradisi Ziarah lebih memilih mengadakan upacara
atau ritual Ziarah secara kecil-kecilan sehingga tidak banyak yang tahu.
Namun demikian, permasalahan seperti ini lama-kelamaan dikhawatirkan
akan membuat tradisi Ziarah benar-benar hilang dari Desa Paremono.

23
BAB V
KONDISI KONSUMSI

A. Proses Konsumsi
Proses konsumsi tradisi Ziarah di Desa Paremono mengacu pada
seberapa banyak tradisi Ziarah dilakukan atau dipraktekkan. Pada kondisi di
lapangan saat ini telah dijelaskan bahwa masih banyak orang-orang yang
masih melakukan ritual tradisi Ziarah di Desa Paremono. Berdasarkan
penuturan narasumber, tradisi upacara Ziarah di Desa Paremono masih banyak
dilakukan sampai sekarang. Peristiwa pandemi Covid-19 tidak menjadikan
warga melakukan aktifitas atau ziarah ke makam.
Ziarah kubur dipandang sebagai aktivitas yang yang terbilang umum
dan unik di kalangan Muslim khususnya. Yang menarik dalam ziarah kubur
atau ‘ritual ziarah kubur’ di Pesarean Ageng Paremono adalah bentuk
pelaksanaan ritual dilakukan. Para peziarah turut datang ke makam dengan
motif dan tujuan masing-masing. Menjalani praktik ritual agar pekerjaan
maupun usahanya semakin mapan dan lebih baik dari sebelumnya. Dinaikkan
jabatannya, disegerakan jodohnya, diperbaiki kondisi ekonominya dan
seterusnya. Ada yang menyampaikan maksud dan tujuan disertai dengan
melepaskan nadzar seperti kembali lagi melakukan syukuran dan melakukan
penyembelihan hewan ternak, kemudian dibagikan kepada warga sekitar.
Tindakan ini sebagai bentuk ungkapan rasa syukur yang telah diberikan Allah
Swt kepadanya.
Ziarah Kubur merupakan komunikasi personal dengan Tuhannya yang
telah menciptakan makhluknya. Komunikasi melalui doa dengan berdzikir
menjadi sebuah tradisi yang diyakini muslim bahwa, doa mampu
mendekatkan dan memberikan pengharapan apa yang diiginkan manusia. Doa
menjadi dialektika universal karena, semua yang beragama melakukan dengan
cara-caranya. Komunikasi satu arah tetapi, diyakini mampu direspon oleh
Tuhan pencipta alam semesta.
Ziarah kubur menjadi tradisi masyarakat yang sangat populer, dengan

24
ragam peristiwa dan lokasi yang dianggap sakral memiliki nilai-nilai suci di
masa hidupnya. Orang-orang yang memiliki keluhuran budi pekerti dan
kedalaman ilmu serta pengabdian yang besar terhadap agama dan negara
menjadi simbol yang dikeramatkan atau dipetuahkan. Sebutan sebagai pejuang
pahlawan, Kiai, syekh, pangeran dan sebagainya mendasari orang-orang
tersebut, disebut sebagai orang-orang istimewa. Dialektika universal menjadi
pijakan bahwa, ziarah kubur bukan lagi suatu tradisi lokal tetapi, telah terjadi
proses akulturasi dengan Islam dan membudaya di masyarakat Indonesia
bahkan, ziarah ke makam Rasulullah menjadi wajib bagi umat Islam saat
melaksanakan haji. Dialektika sakral hanya dapat dijumpai bagi orang-orang
yang meyakini bahwa, doa yang dipanjatkan akan dikabulkan oleh Tuhan
pencipta alam semesta.

B. Peta Pelaku
Masyarakat yang masih melaksanakan ritual upacara Ziarah di Desa
Paremono saat ini adalah masyarakat setempat Desa Paremono, Dusun
Trojayan, Dusun Paremono, Dusun Mertan, Dusun Namengan dan di luar
wilayah Desa Paremono.

C. Isu Pokok
Tradisi Ziarah di Desa Paremono yang merupakan tradisi turun
temurun yang memang masih mempunyai kepercayaan atau keyakinan untuk
mendoakan leluhur atau nenek moyang mereka.
Akan tetapi ada sebagian dari warga masyarakat sekitar yang tidak
mengikuti tradisi Ziarah, karena pergeseran tradisi karena tidak sesuai dengan
kepercayaan dan keyakinan mereka. Bagi yang tidak meyakini hal ini cukup
mendoakan dari rumah setelah selesai melaksanakan sholat.

D. Permasalahan
Tradisi Ziarah di Desa Paremono yang merupakan warisan dari nenek
moyang terancam hilang jika tidak dijaga kelestariannya dan diwariskan ke

25
generasi muda. Hal ini juga berpengaruh terhadap semakin hilangnya nilai-
nilai luhur warisan nenek moyang yang mengajarkan tentang keharmonisan
antara manusia dan alam, serta rasa syukur terhadap Sang Pencipta. Kondisi
ekosistem yang berubah telah membuat tradisi Ziarah sulit untuk bertahan.
Jika tidak ada campur tangan pihak ketiga untuk ikut menjaga dan
melestarikan tradisi Ziarah, besar kemungkinan tradisi ini akan hilang untuk
selama-lamanya.

26
BAB VI
KONDISI APRESIASI

A. Proses Apresiasi dan Dukungan Masyarakat


Masyarakat memegang peran penting dalam menjaga eksistensi sebuah
tradisi, termasuk tradisi Ziarah di Desa Paremono. Pada saat ini, di tengah
masyarakat yang telah banyak berubah keyakinannya, serta di tengah kondisi
di mana kesejahteraan ekonomi menjadi salah satu aspek terpenting dalam
masyarakat, tradisi Ziarah mulai diabaikan keberadaannya. Hal ini
menyebabkan pelaku tradisi Ziarah menurun drastis dan tidak memiliki
generasi muda yang dipandang bisa meneruskan tradisi ini.
Dalam pandangan para pemerhati budaya di Desa Paremono (dalam
hal ini para sesepuh desa), tradisi Ziarah diupayakan untuk tetap dijaga
kelangsungannya. Dukungan berupa tenaga maupun material diberikan
semaksimal mungkin agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman. Meski
demikian, masih ada orang-orang yang berupaya untuk melarang tradisi ini
karena tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Dua perbedaan keyakinan ini
menjadi hal utama yang mempengaruhi proses apresiasi terhadap tradisi
Ziarah di Desa Paremono.

B. Peta Pelaku
Para pelestari budaya, petani sebagai pelaku tradisi, serta para sesepuh
Desa Paremono memegang peran penting sebagai pelaku utama proses
apresiasi tradisi Ziarah di Desa Paremono. Selain itu, masyarakat Desa
Paremono yang tidak antipati terhadap tradisi Ziarah juga tidak menentang
pelaksanaan tradisi Ziarah di Desa Paremono.

C. Isu Pokok
Tradisi Ziarah di Desa Paremono diapresiasi secara baik oleh
masyarakat yang mendukungnya. Meskipun demikian, masih ada sekelompok
orang tertentu yang menentang atau setidaknya memberi label buruk kepada

27
pelaku tradisi Ziarah maupun tradisi Ziarah itu sendiri.

D. Permasalahan
Perbedaan keyakinan yang ada di masyarakat dapat dikatakan sebagai
akar dari permasalahan mengenai kondisi apresiasi terhadap tradisi Ziarah.
Perbedaan keyakinan ini ditakutkan akan tumbuh menjadi masalah yang besar
sehingga terjadi konflik antar masyarakat dan ketidakrukunan. Perselisihan
yang timbul di masyarakat ditakutkan akan menimbukan dampak buruk
terhadap kelangsungan tradisi Ziarah di Desa Paremono.

28
BAB VII
ANALISIS EKOSISTEM KEBUDAYAAN

A. Peta Permasalahan Keseluruhan


Keyakinan para peziarah terhadap yang magis nyatanya mampu
mengantarkan mereka pada pucuk pengharapan terhadap arwah para leluhur.
Kemurahan hati dan sekatian orang-orang suci dibalas oleh masyarakat
dengan menjaga warisan yang ada; alam, prasasti-prasasti, menjaga keaslian
makam, kesopanan dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut merupakan wujud
penghargaan adanya sejarah dari Pesarean Ageng Paremono yang kemudian di
lekatkan dengan adat dan kegiatan keagamaan warga setempat. Pada
masyarakat serta pengunjung yang sampai saat ini masih mengamalkan nilai-
nilai yang ada di Pesarean Ageng Paremono, melestarikan nilai-nilai leluhur
karena mereka mempercayai bahwa hal tersebut bisa menyelamatkan dan
melancarkan proses kehidupan mereka.
Tradisi dan adat istiadat menjadi alasan lain yang mendorong
masyarakat menjaga praktik tersebut dan mempertahankan keyakinan mereka.
Bagaimanapun bentuk masyarakat Paremono khususnya, memenuhi
kebutuhan pribadi yang mencakup aspek spiritual dan emosional. Melalui
ritual seseorang bisa memperoleh ketenangan batin, pikiran serta
meningkatkan ikatan emosional.
Ritual ziarah kubur di Pesarean Ageng Paremono juga menjadi ajang
untuk menjaga kebersamaan, nilai kekeluargaan dan tali silaturrahmi antar
masyarakat Desa. Kekuatan magis yang cukup besar dan dipercaya bahwa doa
yang dipanjatkan di makam yang berada di Pesarean Ageng Paremono dapat
cepat terkabul melalui perantara leluhur yang diyakini sakral.

B. Kekuatan
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi Ziarah di Desa
Paremono membuat para sesepuh masih berupaya melestarikan tradisi Ziarah
di Desa Paremono dengan masih melaksanakan tradisi ini.

29
Aturan tradisi Ziarah di Desa Paremono bersifat longgar dan tidak
terlalu ketat, sebenarnya sangat fleksibel dilakukan dari segi waktu maupun
tempat. Usia tradisi Ziarah sudah ratusan tahun atau bahkan lebih. Hal ini
menjadikan tradisi Ziarah layak untuk diajukan sebagai warisan budaya tak
benda.

C. Kelemahan
Kepercayaan masyarakat setempat terhadap kesaktian Kyai Ageng
Karotangan dalam babt alas Kedu Magelang dan berdakwah menyebarkan
agama Islam dalam mengabulkan keinginan terpendam mereka yang menurut
kemampuan manusia normal sulit dilakukan. Maka melalui perantara
para leluhur tersebut segalanya lebih mudah dan cepat. Ini adalah bentuk dari
sintesis dari kepercayaan masyarakat setempat. Publik figur (tokoh masyarakat
atau agama) dari masa lampau hakikatnya bersifat formal, tak tentu, dan tak
terbatas. Sementara sikap kontradiksi sebagai jembatan yang menghubungkan
tesis dan antitesis dalam kasus ini atau dialektika (jalan menuju kebenaran)
melalui ritual ziarah kubur.
Secara praktik duniawi maupun ukhrawi ritual ziarah kubur di
Pesarean Ageng Paremono bertentangan dengan ajaran Islam. Namun,
masyarakat percaya bahwa ritual tersebut menyangkut dunia material dan hal-
hal yang bersifat transenden. Artinya ritual ziarah kubur merupakan suatu cara
bagi masyarakat untuk berinterkasi langsung dengan para leluhur mereka ada
yang berkepentingan seperti meminta jodoh agar disegerakan, kelancaran
urusan dan macam-macam. Tapi semuanya tetap diserahkan sama Gusti Allah.

D. Potensi
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi atau upacara Ziarah di
Desa Paremono telah diwariskan turun-temurun selama ratusan tahun. Hal ini
membuat tradisi Ziarah di Desa Paremono layak dipertahankan. Jika eksistensi
tradisi Ziarah di Desa Paremono sulit dipertahankan dalam berbagai alasan,
barangkali pengemasan ritual. Selain itu, Desa Paremono saat ini memiliki

30
potensi wisata makanan khas, jika tradisi Ziarah diikutkan menjadi salah satu
event wisata barangkali akan memberikan banyak keuntungan, baik kepada
pelaku maupun pelestari tradisi Ziarah itu sendiri.

E. Tindak Lanjut
Dukungan dari berbagai pihak menjadi syarat mutlak yang diperlukan
untuk melestarikan dan mempertahankan eksistensi tradisi Ziarah di Desa
Paremono. Untuk itu, proses penanaman kesadaran masyarakat untuk terus
melestarikan tradisi Ziarah perlu dilakukan. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh
para sesepuh desa, pelaku wisata, serta dukungan dari stakeholder maupun
pemerintah desa. Dukungan-dukungan yang dimaksud dalam hal ini baik
secara moral-spiritual, maupun secara material.

31
BAB VIII
REKOMENDASI RENCANA AKSI

A. Peran Stakeholder
Stakeholder memiliki peran yang penting dalam melindungi dan
menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi atau upacara Ziarah di
Desa Paremono. Stakeholder yang dimaksud di sini bisa berasal dari
Pemerintah seperti dari Direktorat Perlindungan Kebudayaan yang ada di
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Pemerintah
Daerah Kabupaten Magelang. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
stakeholder berasal dari pihak swasta atau masyarakat setempat yang peduli
terhadap kelestarian tradisi Ziarah di Desa Paremono.

B. Rekomendasi
1. Rekomendasi Jangka Pendek
a. Melestarikan kegiatan ritual Ziarah di masyarakat Desa Paremono
b. Melakukan diskusi-diskusi untuk mewariskan nilai-nilai luhur Ziarah
dan manfaatnya dari para sesepuh kepada generasi muda agar tradisi
Ziarah di Desa Paremono tidak hilang atau punah.
2. Rekomendasi Jangka Menengah
a. Melakukan kegiatan pencatatan atau dokumentasi tertulis terhadap
tradisi Ziarah di Desa Paremono sebagai arsip yang kelak dapat selalu
diakses oleh yang membutuhkan.
b. Memasukkan tradisi Ziarah Desa Paremono sebagai bagian dari event
desa kaitannya dengan salah satu budaya desa agar lebih memberikan
manfaat untuk banyak pihak.
3. Rekomendasi Jangka Panjang
Mengajukan tradisi Ziarah Desa Paremono sebagai warisan budaya tak
benda dari Kawasan Cagar Budaya Nasional Borobudur.

32
BAB IX
PENUTUP

Analisis mengenai ekosistem objek pemajuan kebudayaan (OPK) pada


tradisi Ziarah Desa Paremono, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang
merupakan bagian dari inventarisasi objek pemajuan kebudayaan yang berada
dalam Kawasan Cagar Budaya Nasional Borobudur. Inventarisasi dilakukan untuk
menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur dari tradisi yang telah berlangsung
lama, serta mencegah dari hilangnya kearifan lokal yang telah diwariskan secara
turun-temurun. Pada akhirnya, seluruh kegiatan ini bertujuan untuk memberikan
manfaat kepada berbagai pihak, terutama bagi masyarakat di Kawasan Cagar
Budaya Nasional Borobudur.

33

Anda mungkin juga menyukai