Anda di halaman 1dari 7

Mari Belajar HIRADC : Hazard

Identification Risk Assessment &


Determining Control
Suatu senja saat saya pulang sehabis beraktivitas, saya diajak teman untuk mengopi
bareng di sebuah kedai kopi tepi jalan yang agak sunyi. Hanya ada beberapa
pengunjung saja, langsung saya pesan racikan kopi yang cukup familier V-60 dari
racikan barista lokal. Ternyata, morfologi kopi berbeda beda antara kopi robusta,
arabica atau liberica terutama kandungan caffeinnya. Kebetulan waktu itu saya
memilih biji kopi liberica yang kadar kafein lebih rendah diantara ketiganya sekitar
0,7 sampai 1,2 persen per biji kopinya.

Sambil berbincang-bincang dengan teman, alam bawah sadar saya berkelana ke


suasana kampung nun jauh di sana, di kaki gunung Arjuna dengan udara yang segar,
pemandangan hijau lebatnya hutan, dipadu dengan uap segelas kopi yang
mengeluarkan aroma khas pekatnya bubuk kopi semakin menambah kenikmatan
dalam mengecap segelas kopi tanpa gula.

Tiba-tiba, pikiran saya kembali ke realita di site ketika ada suara notifikasi dari salah
satu aplikasi pesan di handphone saya yang tergeletak di atas meja. Ternyata, pesan
dari salah satu member group yang saya ikuti, ia menanyakan kabar dan posisi
sekarang. Di awal, hanya ada omongan basa-basi dan dilanjut dengan mengajak
diskusi tentang apa itu HIRADC.

Hmmmm…”Ternyata masih banyak yang belum paham akan dasar sebuah HIRADC,
bagaimana cara membuatnya, cara melakukan penilaian termasuk bagaimana kita
mengetahui keefektifan sebuah HIRADC tersebut dalam sebuah proses perusahaan”,
pikir saya.

Suatu pertanyaan sederhana namun memaksa pikiran saya untuk fokus ke suatu
materi HIRADC yang membutuhkan konsentrasi tinggi, fokus dan pengerahan energi
yang ekstra untuk menjawabnya.

Apa itu Risiko dalam HIRADC?


Ok sebelum membahas lebih lanjut tentang HIRADC, alangkah baiknya kalau kita
menyamakan dulu persepsi atau pemahaman istilah-istilah yang akan dipakai dalam
sebuah HIRADC.

Kita akan membahas tentang cara mengelola sebuah risiko, yang kita ketahui
bersama, sebuah risiko tidak bisa dihilangkan namun hanya bisa diturunkan nilainya
sampai batas tertentu (acceptable risk), artinya adalah setiap perusahaan
mempunyai nilai tersendiri untuk menerima risiko yang tersisa, bagi
perusahaan besar atau mapan dari sisi finasialnya mungkin menghendaki nilai yang
terkecil. Namun, ada juga perusahaan yang “berani” menerima risiko dengan nilai
yang agak tinggi.

Apa sih risiko itu sendiri? Kalau kita mau browsing di berbagai sumber akan banyak
menemukan definisi yang beragam seperti menurut IEC/TC56 (AS/NZS 3931),
mengartikan risiko sebagai “kombinasi dari frekuensi, atau probabilitas munculnya,
dan konsekuensi dari suatu kejadian berbahaya yang spesifik” (Cross, 1998)

Menurut AS/NZS 4360:2004 risiko adalah peluang munculnya suatu kejadian yang
dapat menimbulkan efek terhadap suatu objek.

Risk is Effort of Uncertainty on Object atau Dampak dari ketidak pastian terhadap
pencapaian (www.iso.org)

Dari definisi di atas, kita bisa mengetahui ada 2 poin yang terpenting dari sebuah
risiko yaitu frekuensi atau likelihood dan konsekuensi. Jadi, untuk mengetahui besar
atau kecilnya nilai sebuah risiko adalah dari perkalian keduanya atau lebih mudahnya:

Risk = consequences vs likelihood

Setelah mengetahui nilai dari sebuah risiko tersebut, tahap selanjutnya adalah
melihat matrik hasil penilaiannya, apakah hasil tersebut sudah bisa diterima oleh
perusahaan ataukah masih perlu tindakan lebih lanjut untuk menurunkan penilaian.

Dalam pembuatan matrik ini, kita bisa mengambil berdasarkan klasifikasi dari
perusahaan atau dari perundang undangan yang belaku di sektor bisnis tersebut.
Misal, matrik konsekuensi di pertambangan jika menganut di kepmen
1827K/30/MEM/2018 pada lampiran III sudah ada penggolongan cideranya,
sedangkan matrik likelihood bisa diambil dari sejarah hasil investigasi di perusahaan
tersebut, daerah sekitar, atau perusahaan lain yang sama, atau bisa juga mengambil
acuan yang lain.

Sampai saat ini belum ada acuan berapa tingkatan yang mau dipergunakan, semua
diserahkan ke perusahaan mau 4×4, 5×5, atau nilai yang lainnya yang terpenting
adalah ada jenjang yang jelas dalam penggolongannya mulai terendah sampai
jenjang yang tertinggi dan diterima oleh top manajemen perusahaan.
Contoh Matrix HIRADC

Jika nilainya berada di zona penerimaan atau acceptable risk (biasa di beri warna
hijau) tentu tidak ada masalah karena berada di zona aman menurut perusahaan
tersebut. Namun, jika berada di zona di atasnya (biasanya kuning menuju merah)
perlu di turunkan nilai risk atau risikonya. Nah, bagaimana caranya?

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam pengendalian risiko ada istilah
Hirarki Kontrol, yang mana saya juga sangat yakin rekan-rekan sudah banyak yang
paham dan hafal. Namun, ada yang harus diingat bahwa hierarki pengendalian bahaya
yang sering dipergunakan banyak perusahaan bukan satu-satunya metode karena
kadang ada yang mengacu sampai 7 hirarki control atau mengacu pada regulasi untuk
kegiatan usaha tersebut, seperti di dunia pertambangan sesuai kepmen 1827 memiliki
hirarki kontrol sendiri sebagai acuan dalam mengendalikan risikonya.

Dalam tulisan ini, saya memakai hirarki kontrol yang sering rekan-rekan gunakan
sampai 5 tingkatan seperti gambar di bawah ini
Skema pengendalian risiko

Mitigasi Aktif dan Pasif


Beberapa rekan sering melupakan dan tidak mengetahui bahwa dalam hirarki kontrol
ini adalah memilah mana yang merupakan bagian dari mitigasi aktif mana yang pasif.

Mitigasi sendiri mempunyai arti tindakan-tindakan yang bertujuan mengurangi efek


yang dapat muncul atas sebuah risiko. Mitigasi dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

 Mitigasi aktif melakukan tindakan secara langsung, biasanya membutuhkan


biaya yang cukup besar, namun memiliki dampak yang cukup besar juga dalam
menanggulangi risiko yang terjadi. Pengendalian yang termasuk dalam
mitigasi aktif seperti eliminasi, subtitusi, dan rekayasa enginering
 Mitigasi pasif suatu tindakan dalam hal kontrol yang dilakukan terhadap
kemungkinan risiko akan terjadi. Pengendalian yang masuk dalam mitigasi
pasif adalah pengendalian administrasi seperti peraturan, prosedur, rambu-
rambu, instruksi kerja dan APD. Dalam mitigasi pasif, efek yang ditimbulkan
tidak bersifat sekaligus dan membutuhkan biaya yang minim seperti standart
kerja, aturan perusahaan, instruksi kerja, rambu, APD. Kenapa dalam mitigasi
pasif efeknya tidak sekaligus karena membutuhkan pengawasan lebih lanjut
secara berkala supaya apa yang dibuat tetap berjalan sesuai dengan yang
direncanakan.
Kedua hal di atas sangat penting dan perlu dipahami terlebih dahulu karena kedua
hal ini akan berhubungan dengan nilai yang akan diturunkan. Kesalahan yang sering
dilakukan dalam menurunkan nilai risiko ini salah satunya seperti memilih
menurunkan risiko dengan menggunakan mitigasi pasif (likelihood) namun nilai yang
turun di consequence atau dampaknya.

Perhitungan Consequences dan Likelihood


Selanjutnya, hal yang perlu dipahami adalah termasuk bagian mana pengendalian
yang kita lakukan? Apakah mengurangi dampaknya ataukah mengurangi
kekerapannya (frekuensi)?

Contoh sederhana seperti ini, saat kita membawa mobil di jalan, risiko terjadinya
kecelakaan kerja adalah tabrakan antar unit dan kemungkinan tingkat keparahan
adalah meninggal (consequence). Kecelakaan kendaraan misalnya pernah terjadi di
lokasi kerja dalam waktu setahun 2 kali, maka asumsinya dengan berdasarkan matrik
diatas (gambar matrik) nilai consequence nya 4 (tertinggi) dan likelihoodnya 5
(sering terjadi lebih dari sekali dalam setahun). Jadi, nilai resiko dari kesemuanya
adalah 4 x 5 =20 dan masuk pada zona merah yang perlu perbaikan atau tindak lanjut.

Kalau kita memilih tindakan mitigasi pasif saja seperti pembuatan prosedur
berkendaraan, instruksi kerja mengemudi, pembuatan rambu, dan lain-lain, berarti
nilai yang diturunkan di angka 5 (likelihood). Sedangkan, kalau memilih menurunkan
dampaknya (consequence) misalnya membuat separator jalan dua lajur, memasang
alat batas kecepatan di mobil (pilihan engineering control) maka nilai yang berkurang
di angka 4.

Anggaplah perusahaan memilih kombinasi keduanya (penurunan likelihood dan


consequences) maka nilai awal 20 bisa berkurang. Consequences nya menjadi 2
(asumsi jika terjadi kecelakaan dengan kecepatan rendah menjadi cidera ringan) dan
tingkat kekerapannya (likelihood) berkurang menjadi 2 (asumsi kemungkinan terjadi
kecelakaan tidak terlalu sering dalam kurun waktu 10 tahun) maka hasil akhir setelah
dikendalikan adalah 2×2 =4 dan masuk zona hijau artinya aman untuk
pengendaliannya.

Hati-hati dalam melakukan pengendalian risiko tersebut karena semua akan


mempengaruhi keefektifan dari HIRADC, jika kita memilih mitigasi yang Aktif maka
biaya yang akan dikeluarkan cukup besar jika di bandingkan dengan mitigasi Pasif,
namun dampaknya cukup besar. Sebaliknya jika memilih mitigasi pasif biaya yang
dikeluarkan cenderung sedikit namun dibutuhkan ekstra pengawasan. Semakin kita
mengandalkan pengawasan, risiko akan terjadinya kecelakaan semakin besar
dibandingkan jika kita menggunakan alat.
Ilustrasi sederhannya, di jalan masuk sebuah pabrik, untuk mengendalikan laju
kendaraan yang masuk, kita bisa melakukan mitigasi pasif dengan rambu-rambu
batas kecepatan, menempatan security di depan untuk mengawasi laju kendaraan
atau pilihan kedua adalah membuat polisi tidur di depan pintu masuk dengan jarak
tertentu. Dari ilustrasi tersebut, pilihan pertama kita mengandalkan ‘orang’ untuk
melakukan pengawasan memang kesannya efektif namun ada kalanya orang tersebut
lalai, atau tidak menjalankan pengawasan maka yang akan terjadi ada kemungkinan
laju kendaraan akan cepat.

Pilihan kedua dengan membuat polisi tidur, tanpa diawasi pun kendaraan secara
otomatis akan mengurangi laju kendaraan jika akan masuk ke dalam. Semakin kita
mengurangi ketergantungan pada manusia maka akan semakin kecil peluang
terjadinya kecelakaan akan terjadi.

Contoh HIRADC

Bisa juga kita lakukan keduanya secara berimbang: membuat polisi tidur dan rambu-
rambu dan memasang kamera yang mengkontrol kecepatan kendaraan misalnya.
Namun, biaya yang akan di keluarkan cukup besar juga. Pada akhirnya, semua akan
dikembalikan ke manajemen, metode mana yang akan dipakai, sampai batas risiko
tersebut bisa diterima perusahan.

Selain HIRADC
Ada yang perlu diingat dan dipahami bersama bahwa HIRADC bukan satu-satunya alat
untuk mengendalikan bahaya. Masih banyak metode lain yang bisa dipergunakan baik
secara sendirian maupun gabungan, seperti TRA, JSA, HAZID, HAZOP, dan lain
sebagainya.

Ilustrasi sederhananya seperti ketika kita mau menuju dari kota A ke kota B dan
memilih metode transportasinya dengan kendaraan kecil. Nah, kendaraan kecil inikan
banyak merk dan macamnya bisa zenia, avanza, terios, expander, hilux, fortuner dan
lainnya. Kendaraan itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dan
semua juga pasti dikembalikan kepada penggunanya mau melilih yang mana?

Tentu bagi orang yang banyak modal akan memilih kendaraan yang mahal dengan
tingkat keamanan yang lebih terjamin. Namun, bagaimana jika modal yang dimiliki
hanya cukup untuk kelas yang paling rendah? Pasti mau tidak mau akan memilih
kendaraan tersebut dan sudah pasti juga tingkat pengawasan akan lebih tinggi dalam
mengendarainya.

Satu hal yang hampir tertinggal, banyak pertanyaan apa bedanya antara HIRA,
HIRADC, HIRARC atau IBPR? Menurut saya semua sama saja, itu hanya sebutan atau
bahasa halusnya merk dagang biar kelihatan lebih keren dan ada bedanya.

Bagaimana sudah sedikit paham kan sekarang dengan HIRADC? semoga tulisan
diatas menambah wawasan kita tentang cara pengendalian bahaya.

SALAM K3

Molore, 18 Juni 2021

Budhi Setiyawan

Dept. Head SHE PT. MMP

Anda mungkin juga menyukai