Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN RISIKO DALAM PELAYANAN KESEHATAN

DI INSTALASI FARMASI DAN CONTOH KASUS YANG


TERJADI DI IFRS RSUD dr. ADJIDARMO KAB. LEBAK

Diajukan untuk memenuhi nilai mata kuliah


Patient Safety

NAMA : FITRI QORIAWATY


NIM : 260120150029

MAGISTER FARMASI KONSENTRASI


FARMASI RUMAH SAKIT FAKULTAS
FARMASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
TAHUN 2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Resiko merupakan keadaan adanya ketidakpastian dan tingkat
ketidakpastiannya terukur secara kuantitiatif. Resiko dapat dikategorikan ke dalam
resiko murni dan resiko spekulatif. Resiko murni merupakan resiko yang dapat
mengakibatkan kerugian, tetapi tidak ada kemungkinan menguntungkan.
Sedangnkan resiko spekulatif adalah resiko yang dapat mengakibatkan dua
kemungkinan, merugikan atau menguntungkan.
Seluruh kegiatan yang dilakukan baik perseorangan ataupun
organisasi/perusahaan juga mengandung resiko. Semakin besar resiko yang
dihadapi umumnya dapat diperhitungkan bahwa pengembalian yang diterima juga
akan lebih besar.
Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap yang berbeda terhadap
pengambilan resiko. Resiko adalah ketidakpastian dan dapat menimbulkan
terjadinya peluang kerugian terhadap pengambilan keputusan. Ketidakpastian
merupakan situasi yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, mendefinisikan resiko
sebagai peluang terjadinya hasil yang tidak diinginkan sehingga resiko hanya
terkait dengan situasi yang memungkinkan munculnya hasil negatif serta berkaitan
dengan kemampuan memperkirakan terjadinya hasil negatif tadi.
Manajeme resiko adalah suatu cara dalam mengorganisir suatu resiko yang
akan dihadapi baik itu sudah diketahui maupun yang belum diketahui atau yang
tak terpikirkan yaitu dengan cara memindahkan resiko kepada pihak lain,
menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menantang sebagian atau
semua konsekuensi resiko tertentu.
Resiko yang melekat dari tindakan pelayanan kesehatan adalah bahwa
dalam pelayanan kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan (inspaning
verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante verbintennis). IFRS merupakan
salah satu komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Setiap kegiatan
pelayanan yang dilakukan di Instalasi Farmasi pasti mengandung resiko, baik yang
sudah diketahui maupun yang belum diketahui. Oleh karena itu, dengan
manajemen resiko, diharapkan kerugian yang ditimbulkan dari ketidakpastian
dapat dikurangi bahkan dihilangkan untuk kelangsungan pelayanan kesehatan
khususnya di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
BAB II
MANAJEMEN RESIKO

2.1 Definisi Manajemen Resiko

Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur risiko,


serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia.
Strategi yang dapat digunakan antara lain mentransfer risiko pada pihak lain,
mengindari risiko, mengurangi efek buruk dari risiko dan menerima sebagian
maupun seluruh konsekuensi dari risiko tertentu.

Menurut Djojosoedarso (2003,p. 2) manajemen risiko merupakan berbagai


cara penanggulangan risiko. Dan menurut Peltier (2001, p. 224), manajemen risiko
merupakan proses mengidentifikasi risiko, mengukur untuk mengurangi risiko.
Sedangkan, menurut Dorfman (2004, p. 8) manajemen risiko merupakan proses
logik yang digunakan oleh perusahaan bisnis dan individual. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa setiap orang harus selalu berusaha untuk mencegah terjadinya
resiko, artinya bahwa adanya upaya untuk meminimumkan resiko yang terjadi.
Dan pencegahan resiko tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pengelolaan dari pencegahan resiko inilah yang kita sebut sebagai manajemen
risiko.

Program manajemen risiko dengan demikian mencakup tugas-tugas,


seperti (1) Mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi; (2) Mengukur atau
menentukan besarnya risiko tersebut; (3) Mencari jalan untuk menghadapi atau
menanggulangi risiko; (4) Menyusun strategi untuk memperkecil ataupun
mengendalikan risiko; (5) Mengkoordinir pelaksanaan penanggulangan risiko
serta mengevaluasi program penanggulangan risiko yang telah di buat.
2.1 Fungsi- Fungsi Pokok Manajemen Risiko

Menurut Djojosoerdarso(2005, p.14), fungsi pokok manajemen risiko terdiri dari:

1. Menemukan Kerugian Potensial


Artinya berupaya untuk menemukan atau mengidentifikasi seluruh risiko
murni yang dihadapi perusahaan, yang meliputi (a) Kerusakan fisik dari harta
kekayaan perusahaan; (b) Kehilangan pendapatan atau kerugian lainnya
akibat terganggunya operasi perusahaan; (c) Kerugian akibat adanya tuntutan
hukum dari pihak lain; (d) Kerugian-kerugian yang timbul karena penipuan,
tindakan
tindakan kriminal lainnya, tidak jujurnya karyawan; (e) Kerugian-kerugian
yang timbul akibat karyawan kunci (keymen) meninggal dunia, sakit dan
cacat.
2. Mengevaluasi Kerugian Potensial
Artinya melakukan evaluasi dan penilaian terhadap semua kerugian potensial
yang dihadapi oleh perusahaan. Evaluasi dan penilaian ini akan meliputi
perkiraan mengenai (a) Besarnya kemungkinan frekuensi terjadinya kerugian
artinya memperkirakan jumlah kemungkinan terjadinya kerugian selama
suatu periode tertentu atau berapa kali terjadinya kerugian tersebut selama
suatu periode tertentu; (b)Besarnya bahaya dari tiap-tiap kerugian, artinya
menilai besarnya kerugian yang diderita, yang biasanya dikaitkan dengan
besarnya pengaruh kerugian tersebut, terutama terhadap kondisi financial
perusahaan; (c) Memilih teknis/cara yang tepat atau menentukan suatu
kombinasi dari teknik-teknik yang tepat guna menanggulangi kerugian.

2.3 Identifikasi dan Analisa Resiko


Menurut Darmawi (2008) tahapan pertama dalam proses manajemen risiko
adalah tahap identifikasi risiko. Identifikasi risiko merupakan suatu proses yang
secara sistematis dan terus menerus dilakukan untuk mengidentifikasi
kemungkinan timbulnya risiko atau kerugian terhadap kekayaan, hutang, dan
personil perusahaan. Proses identifikasi risiko ini mungkin adalah proses yang
terpenting, karena dari proses inilah, semua risiko yang ada atau yang mungkin
terjadi pada suatu proyek, harus diidentifikasi.
Proses identifikasi harus dilakukan secara cermat dan komprehensif,
sehingga tidak ada risiko yang terlewatkan atau tidak teridentifikasi. Dalam
pelaksanaannya, identifikasi risiko dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara
lain:
a. Brainstorming
b. Questionnaire
c. Industry benchmarking
d. Scenario analysis
e. Risk assessment workshop
f. Incident investigation
g. Auditing
h. Inspection
i. Checklist
j. HAZOP (Hazard and Operability Studies)

Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap berikutnya adalah


pengukuran risiko dengan cara melihat potensial terjadinya seberapa besar
severity (kerusakan) dan probabilitas terjadinya risiko tersebut. Penentuan
probabilitas terjadinya suatu event sangatlah subyektif dan lebih berdasarkan nalar
dan pengalaman. Beberapa risiko memang mudah untuk diukur, namun sangatlah
sulit untuk memastikan probabilitas suatu kejadian yang sangat jarang terjadi.
Sehingga, pada tahap ini sangtalah penting untuk menentukan dugaan yang
terbaik supaya nantinya kita dapat memprioritaskan dengan baik dalam
implementasi perencanaan manajemen risiko. Kesulitan dalam pengukuran risiko
adalah menentukan kemungkinan terjadi suatu risiko karena informasi statistik
tidak selalu tersedia untuk beberapa risiko tertentu. Selain itu, mengevaluasi
dampak severity (kerusakan) seringkali cukup sulit untuk asset immateriil.
2.4 Pengelolaan Resiko
Jenis-jenis cara mengelola risiko:
1. Risk avoidance
Yaitu memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas yang mengandung risiko
sama sekali. Dalam memutuskan untuk melakukannya, maka harus
dipertimbangkan potensial keuntungan dan potensial kerugian yang dihasilkan
oleh suatu aktivitas.
2. Risk reduction
Risk reduction atau disebut juga risk mitigation yaitu merupakan metode yang
mengurangi kemungkinan terjadinya suatu risiko ataupun mengurangi dampak
kerusakan yang dihasilkan oleh suatu risiko.
3. Risk transfer
Yaitu memindahkan risiko kepada pihak lain, umumnya melalui suatu kontrak
(asuransi).
4. Risk deferral
Dampak suatu risiko tidak selalu konstan. Risk deferral meliputi menunda
aspek saat dimana probabilitas terjadinya risiko tersebut kecil.
5. Risk retention
Walaupun risiko tertentu dapat dihilangkan dengan cara mengurnagi maupun
mentransfernya, namun beberapa risiko harus tetap diterima sebagai bagian
penting dari aktivitas.

Penanganan risiko

High probability, high impact : risiko jenis ini umumnya dihindari ataupun
ditransfer.
Low probability, high impact : respon paling tepat untuk tipe risiko ini
adalah dihindari. Dan jika masih terjadi, maka lakukan mitigasi risiko serta
kembangkan contingency plan.
High probability, low impact : mitigasi risiko dan kembangkan
contingency plan
Low probability, low impact : efek dari risiko ini dapat dikurangi, namun
biayanya dapat saja melebihi dampak yang dihasilkan. Dalam kasus ini
mungkin lebih baik untuk menerima efek dari risiko tersebut.
Contingency plan: Untuk risiko yang mungkin terjadi maka perlu
dipersiapkan contingency plan seandainya benar-benar terjadi.
Contingency plan haruslah sesuai dan proporsional terhadap dampak risiko
tersebut. Dalam banyak kasus seringkali lebih efisien untuk
mengalokasikan sejumlah sumber daya untuk mengurangi risiko
dibandingkan mengembangkan contingency plan yang jika
diimplementasikan akan lebih mahal. Namun beberapa scenario memang
membutuhkan full contingency plan.

2.5 Proses Manajemen Resiko


Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat
secara efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang
berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai
tambah. Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8
komponen (tahap)
1. Internal environment (Lingkungan internal)
Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi Pemerintah
berada dan beroperasi. Cakupannya adalah risk-management philosophy
(kultur manajemen tentang risiko), integrity (integritas), risk-perspective
(perspektif terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan terhadap
risiko), ethical values (nilai moral), struktur organisasi, dan pendelegasian
wewenang.
2. Objective setting (Penentuan tujuan)
Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi agar
dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko. Objective dapat
diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective. Strategic
objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan pencapaian dan
peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan panjang, dan
merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara itu,
activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu (1) operations
objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance objectives. Risk
tolerance dapat diartikan sebagai variasi dalam pencapaian objectif yang
dapat diterima oleh manajemen.
3. Event identification (Identifikasi risiko)
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang terjadi
di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi
strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bisa
berdampak positif (opportunities), namun dapat pula sebaliknya atau negatif
(risks).
4. Risk assessment (Penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauhmana dampak dari events (kejadian atau
keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya dampak
dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua
perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau peluang) dan
impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko). Dengan demikian,
besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi merupakan perkalian antara
likelihood dan consequence. Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik,
yaitu: (1) qualitative techniques; dan (2) quantitative techniques. Qualitative
techniques menggunakan beberapa tools seperti self-assessment (low,
medium, high), questionnaires, dan internal audit reviews. Sementara itu,
quantitative techniques data berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti
probability based, non-probabilistic models (optimalkan hanya asumsi
consequence), dan benchmarking. Yang perlu dicermati adalah events
relationships atau hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang terpisah
mungkin memiliki risiko kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi
signifikan. Demikian pula, risiko yang mempengaruhi banyak business units
perlu dikelompokkan dalam common event categories, dan dinilai secara
aggregate.
5. Risk response (Sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk response
dari organisasi dapat berupa:
(1) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau pelayanan yang
menyebabkan risiko;
(2) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah mengurangi likelihood atau
impact dari risiko;
(3) sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau sebagian
dari risiko dengan pihak lain;
(4) acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang
kecil), dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih sikap
(response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh tiap
respon terhadap risk likelihood dan impact, respon yang optimal sehingga
bersinergi dengan pemenuhan risk appetite and tolerances, analis cost
versus benefits, dan kemungkinan peluang (opportunities) yang dapat
timbul dari setiap risk response.
6. Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)
Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan (policies)
dan prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana dengan
efektif. Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian yang
meliputi: (1) integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan
praktik-praktik SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya
kepemimpinan manajemen; (6) struktur organisasi; dan (7) wewenang dan
tanggung jawab.
Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis dan
aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian, diantaranya
adalah preventive, detective, corrective, dan directive. Sementara aktifitas
pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2) pengamanan
kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang dan pemisahan fungsi; dan (4)
supervisi atasan. Aktifitas pengendalian hendaknya terintegrasi dengan
manajemen risiko sehingga pengalokasian sumber daya yang dimiliki
organisasi dapat menjadi optimal.
7. Information and communication (Informasi dan komunikasi)
Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan
kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan komunikasi
adalah kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi. Informasi
yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang ingin disampaikan, dan
kualitas informasi dapat dipilah menjadi: (1) appropriate; (2) timely; (3)
current; (4) accurate; dan (5) accessible. Arah komunikasi dapat bersifat
internal dan eksternal. Sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya
manual, memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
8. Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (on going) maupun
terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing tercermin pada
aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya. Monitoring
terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu (kasuistis). Pada
monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses evaluasi metodologi,
dokumentasi, dan action plan. Pada proses monitoring, perlu dicermati
adanya kendala seperti reporting deficiencies, yaitu pelaporan yang tidak
lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan). Kendala ini timbul dari
berbagai faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang
disampaikan laporan, dan arahan bagi pelaporan.
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kasus Yang Pernah Terjadi di IFRS RSUD dr. Adjidarmo

Kasus yang pernah terjadi di IFRS RSUD dr. Adjidarmo adalah terjadinya
kesalahan pemberian obat di depo rawat jalan pada pasien dengan nama yang
sama dan berasal dari poliklinik yang sama. Pasien berasal dari poliklinik spesialis
jantung. Pasien memiliki dua nama yang sama secara lafal (pengucapan), tetapi
berbeda secara penulisan. Pasien pertama bernama Sunarya, dan pasien kedua
bernama Sunariah.

Kesalahan terjadi ketika petugas farmasi memanggil pasien untuk


penyerahan obat dan akan diberikan informasi obat. Ketika diberikan pertanyaan
oleh petugas farmasi mengenai data-data pasien untuk memastikan kembali obat
yang akan diberikan, orang yang mengambil obat tersebut hanya mengangguk
(sepertinya bukan pasien/keluarga pasien ybs atau suruhan pasien).

Petugas farmasi baru menyadari kalau obat yang diberikan keliru ketika
pasien atas nama Sunariah menanyakan obatnya (karena ybs ada keperluan lain,
jadi resep ditinggal di apotek tetapi obat belum diambil). Sementara obat atas
nama pasien Sunariah sudah tidak ada di apotek. Obat yang ada di apotek hanya
ada atas nama Sunarya.

Setelah ditelusuri ternyata kesalahan bukan hanya terjadi di Instalasi


Farmasi saja, melainkan juga terjadi di poliklinik jantung. Perawat di poliklinik
salah menulis nama di resep (tidak sesuai dengan SEP/jaminan yang ada pada
lembar kedua).

Segera setelah petugas farmasi menyadari terjadi kesalahan pemberian


obat pada pasien tersebut, petugas farmasi segera mencari kembali resep atas
nama Sunariah dan menyiapkan kembali obatnya. Sementara pasien atas nama
Sunarya ditelusuri alamat rumah dan nomer telepon yang bisa dihubungi. Tetapi
dari data
yang ada di sydtem pendaftaran tidak mencantumkan dengan lengkap no telepon.
Sehingga mau tidak mau petugas farmasi mencari alamat pasien tersebut, dan
mendatangi rumahnya, untuk menukar obat yang salah. Beruntungnya pasien ybs
belum meminum obat tsb satupun, sehingga resiko lebih besar dari kesalahan
penggunaan obat tidak terjadi dan dengan segera tertanggulangi.

3.2 Proses Manajemen Resiko Pada Kasus

a. Mengidentifikasi resiko
Resiko merupakan peristiwa yang menghambat pencapaian tujuan
perusahaan. Seluruh resiko yang mungkin terjadi dan berdampak negatif bagi
perusahaan secara signifikan harus terlebih dahulu diidentifikasi. Hal-hal
yang dapat menyebabkan terjadinya resiko di Instalasi Farmasi diantaranya
adalah sebagai berikut :
- Pada proses perencanaan untuk pembelian, data yang digunakan
berdasarkan pada pola konsumsi, bukan pada pola penyakit, sehingga
menyebabkan perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada,
sehingga perlu ada perencanaan susulan, sehingga bisa jadi terjadi
stock out, menjadikan pasien tidak mendapat obat sesuai permintaan
dokter.
- Pada proses pengadaan, dapat terjadi barang kosong di pihak
distributor, padahal barang tersebut sangat diperlukan oleh pasien,
sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mencari barang yang sama
di distributor lain. Resiko lain adalah pihak rumah sakit belum
menyelesaikan pembayaran (kesalahan dari pihak distributor tidak
melakukan penagihan, ataupun pihak rumah sakit karena panjangnya
prosedur yang harus ditempuh), sehingga instalasi farmasi tidak
mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan.
- Pada proses penerimaan barang dari pihak distributor, terjadi resiko
barang tidak diperiksa betul masa kadaluarsanya, sehingga bisa jadi
diberikan barang yang dekat masa kadaluarsanya. Dekat masa
kadaluarsa berakibat terjadinya barang kadaluarsa, sehingga
merugikan pihak rumah sakit bila barang tersebut ternyata
perputarannya tidak baik (mengendap).
- Pada proses penyimpanan, terjadi resiko barang tidak disimpan pada
suhu ataupun kelembaban yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat
mengurangi kualitas dari barang tersebut, menjadikan obat tidak
efektif diberikan pada pasien. Pada penyimpanan yang memerlukan
perlakuan khusus, seperti narkotika dan psikotropika yang harus
disimpan pada lemari dua pintu dua kunci, dipegang oleh dua orang
yang berbeda, mempunyai resiko tidak ditaati oleh petugas karena
dirasakan tidak efektif dalam bekerja, mengakibatkan dapat terjadi
penyalahgunaan.
- Pada proses distribusi ke unit, dapat terjadi resiko barang yang
didistribusikan tidak sesuai baik jumlah maupun item, sehingga unit
terkait tidak mendapatkan obat yang diperlukan dalam pelayanan.
Untuk tempat yang agak jauh, resiko yang terjadi adalah barang dalam
kemasan kaca, dapat pecah dalam proses distribusi, sehingga
merugikan pihak rumah sakit.
- Pada proses distribusi ke pasien, resiko yang mungkin terjadi
diantaranya :
Salah membaca tulisan dokter, sehingga pasien tidak mendapat
obat sesuai penyakitnya, dapat berakibat fatal bila obat yang
diberikan ternyata memberikan dampak yang berbahaya bagi
pasien.
Salah mengambil obat karena mirip nama atau kemasan
(LASA, look alike sound alike), karena tidak dipisahkan dalam
penyimpanannya, ataupun kesalahan karena ketidaktelitian
pengambilan.
Salah memberikan etiket (tertukar dengan etiket obat lain),
sehingga dalam aturan pakainya dapat terjadi kesalahan.
Tidak mengkaji resep ada tidaknya interaksi antar obat,
sehingga bila ada interaksi yang menurunkan potensinya,
tujuan pengobatan tidak berjalan maksimal.
Salah memberikan obat kepada pasien yang bukan seharusnya
(tertukar karena nama sama misalnya), sehingga dapat
menyebabkan efek yang dapat berbahaya bagi pasien (seperti
kasus yang akan dibahas).
Salah memberikan informasi kepada pasien (misalnya
penggunaan obat off label, tapi pasien tidak ditanya terlebih
dahulu, sehingga terjadi kesalahan informasi)
b. Menganalisis Resiko
Setelah seluruh resiko diidentifikasi, maka dilakukan pengukuran tingkat
kemungkinan dan dampak resiko. Pengukuran resiko dilakukan setelah
mempertimbangkan pengendalian resiko yang ada. Pengukuran resiko
dilakukan menggunakan criteria pengukuran resiko secara kualitatif, semi
kualitatif, atau kuantitatif tergantung pada ketersediaan data tingkat
kejadian peristiwa dan dampak kerugian yang ditimbulkannya. Pada kasus
salah memberikan obat pada pasien, maka pengukuran kualitatif
frekuensi/kemungkinan (likehood) adalah sebagai berikut :
Kemungkinan Deskripsi Nilai

jarang Terjadi pada keadaan khusus 1

Kadang-kadang Dapat terjadi sewaktu-sewaktu 2


(Unlikely)
Mungkin (Possible) Mungin terjadi sewaktu-waktu 3

Mungkin sekali (likely) Mungkin terjadi pada banyak 4


keadaan tapi
tidak menetap
Hampir pasti (almost Dapat terjadi pada tiap keadaan dan 5
certain) Menetap
Termasuk kadang-kadang (bobot nilai 2), dengan sebab diantaranya :
- Perawat poliklinik dan petugas farmasi dalam kondisi lelah karena
banyaknya jumlah pasien yang dilayani/hari.
- Tidak ada cross cek

Pengukuran kualitatif konsekuensi / dampak

tingkat Deskriptor Contoh deskripsi

1 Tidak bermakna Tidak ada cedera, kerugian keuangan kecil

2 Rendah Pertolongan pertama dapat diatasi, kerugian


keuangan sedang

3 Menengah Memerlukan pengobatan medis, kerugian


keuaangan besar

4 Berat Cedera luas, kehilangan kemampuan


produksi, kerugian keuangan besar

5 Katostropik Kematian, kerugian keuangan sangat besar

Dan dampak yang ditimbulkan berbobot nilai dua (2) yaitu rendah, pertolongan
pertama dapat diatasi, kerugian keuangan sedang.

Kerugian keuangan sedang, karena instalasi farmasi harus menyiapkan kembali


obat yang sudah dibawa oleh pasien yang salah (Sunarya vs Sunaria).
Pertolongan pertama dapat diatasi, karena adanya laporan dari pasien Sunaria
bahwa obatnya belum diambil, sehingga petugas farmasi dapat segera
mengantisipasinya, dengan menyiapkan kembali obat tersebut dan mengganti obat
pasien Sunarya dengan mendatangi rumah pasien tsb, diberikan penjelasan dan
segera dilakukan perbaikan.
Dampak

Kemungkinan Sangat rendah sedang besar Ekstrim


rendah
(likehood)

Jarang 1 2 3 4 5

Kadang-kadang 2 4 6 8 10

Mungkin 3 6 9 12 15

Mungkin sekali 4 8 12 16 20

Hampir pasti 5 10 15 20 25

Nilai :

1-3 4-6 8-12 15-25

rendah sedang bermakna Tinggi

Bobot likehood = 2

Bobot dampak = 2

Bobot total penilaian adalah (2x2 = 4) berada di kolom kuning yaitu sedang.

c. Mengevaluasi Resiko
Setelah resiko diukur tingkat kemungkinan dan dampaknya, maka disusunlah
urutan prioritas resiko. Mulai dari resiko dengan tingkat resiko tertinggi,
sampai dengan resiko terendah. Resiko yang tidak termasuk dalam resiko
yang dapat diterima/ditoleransi merupakan resiko yang menjadi prioritas
untuk segera ditangani. Setelah diketahui besarnya tingkat resiko dan prioritas
resiko,
maka perlu disusun peta resiko. Dari kasus salah memberikan obat pada
pasien, peta resiko yang dapat dibuat berdasarkan prioritas resiko adalah
sebagai berikut :
Penerimaan resep (identitas pasien, umur, berat badan untuk pasien anak)
Pembacaan resep (pengkajian)
Pengentrian ke komputer untuk pengklaiman keuangan
Pembuatan etiket
Penyiapan obat (dispensing)
Penggabungan antara etiket dan obat yang telah disiapkan
Pemberian informasi kepada pasien ketika menyerahkan obat
Menjadi prioritas utama dalam penerimaan resep, terutama saat pembacaan
resep (bila salah membaca resep, salah pula obat yang diberikan). Diperlukan
juga ketelitian dalam kesesuaian antara lembar resep dengan lembar
SEP/jaminan pasien. Ini adalah langkah yang menempati urutan prioritas
resiko untuk kasus ini.

d. Menangani Resiko
Resiko yang tidak dapat diterima/ditoleransi segera dibuatkan rencana
tindakan untuk meminimalisir kemungkinan dampak terjadinya resiko dan
personel yang bertanggung jawab untuk melaksanakan rencana tindakan. Cara
menangani resiko untuk kasus ini adalah, mengurangi tingkat kemungkinan
terjadinya resiko dengan cara menambah/meningkatkan kecukupan
pengendalian internal yang ada pada proses pelayanan kefarmasian, dan
mengeksploitasi resiko bila tingkat resiko dinilai lebih rendah dibandingkan
dengan peluang terjadinya peristiwa yang akan terjadi. Pemilihan cara
menangani resiko dilakukan dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat,
yaitu biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan rencana tindakan lebih
rendah daripada manfaat yang diperoleh dari pengurangan dampak kerugian
resiko. Seluruh resiko yang diidentifikasi, dianalisis, dievaluasi, dan ditangani
dimasukkan ke dalam register resiko yang memuat informasi mengenai nama
resiko, uraian mengenai indikator resiko, faktor pencetus terjadinya peristiwa
yang merugikan, dampak kerugian bila resiko terjadi, pengendalian resiko
yang ada, ukuran tingkat kemungkinan/dampak terjadinya resiko setelah
mempertimbangkan pengendalian yang ada, dan rencana tindakan untuk
meminimalisir tingkat kemungkinan/dampak terjadinya resiko, serta personil
yang bertanggung jawab melakukannya.

Untuk kasus ini, cara menangani resiko tersebut adalah dengan segera
membuat perbaikan agar masalah pasien terantisipasi. Kendali intern, dengan
memanggil petugas terkait (baik dari petugas farmasi maupun perawat di
poliklinik), agar kasus tersebut diharapkan tidak terjadi lagi di masa yang
akan dating. Analisis beban kerja ditinjau ulang, dengan menghitung
pelayanan yang diberikan kepada pasien.

e. Memantau Resiko
Perubahan kondisi internal dan eksternal menimbulkan resiko baru, mengubah
tingkat kemungkinan/dampak terjadinya resiko, dan cara penanganan
resikonya. Sehingga setiap resiko yang teridentifikasi masuk dalam register
resiko dan peta resiko perlu dipantau perubahannya.
Untuk kasus ini, cara memantau resiko adalah dengan mengetatkan kembali
sistem double cross cek diantara petugas farmasi dan perawat di poliklinik,
sehingga diharapkan kesalahan dalam proses penyiapan resep, mulai dari
penerimaan resep dan seterusnya, tetap dilakukan kontrol untuk masing-
masing pekerjaan tersebut. Cara lain adalah dengan mensosialisasikan
kembali prosedur-prosedur yang ada, untuk dapat ditaati, sehingga kesalaha
tersebut diharapkan tidak terulang kembali.
f. Mengkomunikasikan Resiko
Setiap tahapan kegiatan identifikasi, analisis, evaluasi, dan penanganan resiko
dikomunikasikan/dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan terhadap
aktivitas bisnis yang dilakukan perusahaan untuk memastikan bahwa tujuan
manajemen resiko dapat tercapai sesuai dengan keinginan pihak yang
berkepentingan. Pihak yang berkepentingan berasal dari internal (manajemen,
karyawan) dan eksternal (pemasok, pemerintah daerah/pusat, masyarakat
sekitar lingkungan rumah sakit). Untuk kasus ini, cara mengkomunikasikan
resiko salah satu yang dapat diperbuat adalah dengan melakukan pertemuan
penyegaran, dengan memberikan materi seputar manajemen resiko dan
akibat- akibat yang dapat timbul bila para petugas tidak mempedulikan
keselamatan pasien. Petugas diberikan pemahaman, bagaimana agar dapat
memahami bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan karena berkaitan dengan kelangsungan hidup dari
pasien yang datang ke rumah sakit.

3.3 Pembahasan

Error secara garis besar terbagi dua, yaitu: human error dan organizational
error. Human error sendiri dapat berasal dari faktor pasien dan faktor tenaga
kesehatan. Organizational error sendiri seringkali diistilahkan sebagai system
error, atau dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit diistilahkan sebagai
hospital error.
Pendekatan yang saat ini paling banyak menjadi perhatian dalam
mengelola terjadinya resiko dan terbukti memberikan leverage yang tinggi dalam
memperbaiki mutu pelayanan kesehatan adalah melakukan intervensi pada
organisasi pelayanan karena akan mereduksi organizational error. Landasan teori
ini sangat sederhana, bahwa terjadinya unsafe act dari tenaga kesehatan adalah
kondisi kerja yang tidak baik dan mendorong hal tersebut terjadi. Kondisi kerja ini
sangat tergantung dari proses organisasi yang ada di dalamnya, dalam hal ini
manajemen pengelolaan sarana pelayanan yang ada di belakangnya.

Pendekatan pada Sistem (Sarana) Pelayanan Kesehatan


Filosofi dari risk management melalui intervensi organisasi dilakukan
melalui 5 pendekatan, yaitu:
1) Recognition of Organizational Disease;
2) Commitment to Produce Results;
3) Managing Risk by Objectives;
4) Organizational Acceptance; dan
5) Staff management.
Dalam perjalanannya, dilakukan langkah-langkah yang bersifat: 1)
Preventif, 2) Korektif,; 3) Dokumentasi; 4) Edukatif, 5) Administratif; 6)
Penanganan problem potensial.
Manajemen Resiko dalam Pelayanan Kesehatan merupakan upaya untuk
mereduksi KTD yang dalam pelayanan kesehatan apabila hal ini terjadi akan
merupakan beban tersendiri, terlepas dari KTD tersebut karena resiko yang
melekat ataupun memang setelah dianalisis karena adanya error atau negligence
dalam pelayanan. Apabila KTD sudah terjadi, beban pelayanan tidak hanya pada
sisi finansial semata, namun beban psikologis dan sosial kadang-kadang terasa
lebih
berat.
Untuk mencegah KTD dan menempatkan resiko KTD secara prorposional
beberapa pendekatan dapat dilakukan pada sumber penyebab itu sendiri, baik pada
faktor manusianya (pasien dan tenaga kesehatannya), maupun dari sisi
organisasinya. Dari sisi organisasi, konsep intervensi organisasi-pendekatan pada
sistem (sarana) pelayanan kesehatan memerlukan penanganan khusus namun akan
jauh lebih antisipatif dalam mengelola resiko kemungkinan terjadinya KTD.
Sehingga akhir-akhir ini manajemen resiko melalui konsep pengelolaan pada
sistem pelayanan kesehatan merupakan metode yang banyak dikembangkan.
BAB IV
KESIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kasus yang telah dibahas antara lain :

1. Man (Sumber Daya Manusia) perlu dianalisis kembali berkaitan dengan beban
kerja, karena beban kerja yang berat dapat memunculkan resiko terjadinya
kesalahan.
2. Money (keuangan) berakibat sedang karena instalasi farmasi harus memberikan
obat pengganti yang telah dibawa oleh pasien yang salah. Keungan akan lebih
berat bila menyangkut resiko yang lebih berat.
3. Methode (Metoda), diperhatikan kembali berkaitan dengan standar operasional
prosedur, agar dapat ditaati oleh seluruh pegawai, dan juga perlunya refreshing
ulang untuk sosialisasi standar operasional prosedur yang ada. Diperlukan adanya
double check disetiap tahapan pekerjaan, agar dapat meminimalisir resiko
terjadinya kesalahan.
4. Machine, berhubungan dengan alat-alat yang digunakan dalam pelayanan,
diantaranya system komputerisasi (data pasien yang lengkap dan terintegrasi) dan
alat komunikasi lain (iphone, whatsapp/bbm dengan tenaga kesehatan lain) yang
dapat dimaksimalkan kembali fungsinya untuk meminimalisir terjadinya
kesalahan, minimal pada saat input resep ataupun koneksi data dengan bagian
pendaftaran dan poliklinik rawat jalan.
5. Material, berhubungan dengan sarana dan prasarana yang ada di instalasi farmasi,
dalam hal ini adalah tidak adanya sistem nomer antrian yang terintgrasi secara
otomatis yang dipegang oleh pasien dan petugas apotek, sehingga tingkat
kesalahan masih tinggi dan tidak ada data penunjang yang lengkap untuk petugas
farmasi.
DAFTAR PUSTAKA

http://e-journal.uajy.ac.id/402/3/2MTS01427.pdf diakses tanggal 16 Maret 2016

https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0039-bab2.pdf
diakses tanggal 16 Maret 2016

http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/3769/Bab%
202.pdf?sequence=7 diakses tanggal 16 Maret 2016

https://s2informatics.files.wordpress.com/2007/11/proses_manajemen_risiko.pdf
diakses tanggal 16 Maret 2016

Idris, Fachmi Dr. dr. M.Kes. 2007. Manajemen Resiko Dalam Pelayanan
Kesehatan: Konsep Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Bagian Ilmu
Kesehatan MasyarakatKedokteran Komunitas (IKM/IKK) Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya-Palembang.
http://eprints.unsri.ac.id/313/1/15. Manajemen_Resiko.pdf diakses
tanggal 16 Maret 2016

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai