Anda di halaman 1dari 10

Reinterpretasi Kriteria Fakir Miskin Sebagai Mustahik Zakat

Perspektif Hadis

Samanarnik

Abstrak

Kata Kunci : Reinterpretasi, Mustahiq Zakat, Pengentasan Kemiskinan

A. Pendahuluan
Kemiskinan adalah salah satu masalah serius yang dihadapi oleh
Indonesia. Meskipun negara ini telah mencapai kemajuan ekonomi yang
signifikan dalam beberapa dekade terakhir, tingkat kemiskinan masih tinggi,
terutama di daerah pedesaan dan di beberapa bagian perkotaan. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik ( BPS) pada bulan September 2022, garis
kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar Rp535.547,00 per kapita per bulan.
1
Garis kemiskinan ini digunakan sebagai ukuran untuk menentukan
apakah seseorang atau sebuah rumah tangga dianggap miskin atau tidak.
Dalam komposisi tersebut, Garis Kemiskinan Makanan mencapai
Rp397.125,00 atau sekitar 74,15 persen dari total garis kemiskinan, sementara
garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp138.422,00 atau sekitar 25,85
persen.2
Selain itu, jika kita melihat dari sisi rumah tangga miskin secara rata-
rata, setiap rumah tangga miskin memiliki 4,34 orang anggota. Dengan angka
tersebut, dapat dihitung bahwa Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin
secara rata-rata mencapai Rp2.324.274,00 per bulan. Angka ini mencerminkan
jumlah pendapatan minimum yang diperlukan agar sebuah rumah tangga tidak
tergolong dalam kategori kemiskinan.3
1
Badan Pusat Statistik, Presentase Penduduk Miskin Pada September 2022 Naik 9, 57 Persen,
16-01-2023, https://www.bps.go.id/, diakses pada 26-06-2023, 13:04
2
Badan Pusat Statistik, Presentase Penduduk Miskin
3
BPS, Presentase Penduduk Miskin
Angka-angka tersebut menggambarkan betapa pentingnya mengatasi
kemiskinan secara serius sebagai bagian dari upaya penanggulangan. Dalam
perspektif agama Islam, terdapat berbagai konsep yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw. untuk mengatasi kemiskinan, di antaranya adalah kewajiban
zakat sebagai salah satu pilar utama, serta didukung oleh konsep infak dan
sedekah.
Dalam Islam, zakat digunakan untuk menjaga keseimbangan
pendapatan dalam masyarakat. Tidak semua individu dapat berpartisipasi
dalam kegiatan ekonomi karena beberapa di antaranya, baik fakir maupun
miskin, tidak mampu melakukannya. Pengeluaran zakat adalah pengeluaran
minimal yang bertujuan menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Zakat dengan fungsi utamanya sebagai upaya pengentasan kemiskinan
menitikberatkan target penerimanya bagi kaum dengan keterbatasan secara
finansial atau sering disebut dengan kaum fakir dan miskin. Akan tetapi,
dalam konsep dalam penetapan kategori fakir miskin sendiri ada berbagai
macam pandangan, baik dari sisi agama maupun pemerintahan. Hal ini
menandakan bahwa tidak ada ketetapan baku yang dapat dijadikan sebagai
acuan tetap.

Pembahasan

Definisi Zakat

Zakat dilihat secara epistemologi berasal dari kata zaka yang memiliki
beberapa arti, seperti “al-barakatu” keberkahan, “al-namaa’” yaitu pertumbuhan dan
perkembangan, “al-thaharatu”kesucian, dan “al-shalahu” keberesan. Sedangkan
secara terminologi zakat adalah sebagaian dari harta yang dengan syarat-syarat
tertentu, oleh Allah Swt mewajibkan pemiliknya untuk menyerahkan harta tersebut
kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dengan berbagai syarat tertentu pula. 4
4
Didin Hafidhuddin, “ Zakat dalam Perekonomian Modern”, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm.
7
Terdapat perbedaan redaksi dan para ulama, akan tetapi pada dasarnya prinsip dan
tujuannya sama.

Korelasi makna antara pengertian zakat dalam tinjauan bahasa dan


terminologi saling berkesinambungan, dimana harta yang dikeluarkan
zakatnya akan menjadi harta yang berkah, terus bertambah, suci dan baik
(beres).5 Hal ini sudah dikatakan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah: 103 dan
surah Ar-Rum: 39.

‫ْۗم ّٰل ِمَس ِل‬ ‫ِه ْۗم ِا‬ ‫ِه‬ ‫ِهِل‬ ‫ِم‬
‫ُخ ْذ ْن َاْم َوا ْم َص َدَقًة ُتَطِّه ُرُه ْم َوُتَزِّك ْي ْم َهِبا َو َص ِّل َعَلْي َّن َص ٰل وَتَك َس َك ٌن ُهَّل َوال ُه ْيٌع َع ْيٌم‬
“Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka,
dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi
mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S At-Taubah[9]:103).6
‫ّٰلِه ٰۤل‬ ‫ٍة ِر‬ ‫ِع ّٰلِه‬ ‫ِل‬ ‫ِّل ۟ا‬
‫َوَم ٓا ٰاَتْيُتْم ِّم ْن ِّرًبا َيْرُبَو ِف َاْم َوا الَّناِس َفاَل َيْرُبْوا ْنَد ال ۚ َوَم ٓا ٰاَتْيُتْم ِّم ْن َزٰك و ُت ْيُد ْو َن َوْجَه ال َفُاو ِٕى َك ُه ُم‬
‫اْلُم ْض ِعُفْو ن‬
“Riba yang kamu berikan agar berkembang pada harta orang lain, tidaklah
berkembang dalam pandangan Allah. Adapun zakat yang kamu berikan
dengan maksud memperoleh keridaan Allah, (berarti) merekalah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).”( Q.S Ar-Rum[30]:39).7
Historisitas Zakat

Peran dan tujuan Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT ke tengah-
tengah umat manusia, bangsa Arab khususnya adalah untuk memperbaiki
akhlak orang-orang jahiliah yang sudah melampaui batas. Dikala maraknya
eksploitasi dan penindasan oleh para penguasa kepada kaum yang lemah
seperti fakir miskin, Allah menurunkan ayat-ayat terkait perintah yang

5
Hafidhuddin, “Zakat dalam Perekonomian...,8
6
Qur’an Kemenag, V.1
7
Qur’an Kemenag, V.1
menyuruh orang-orang kaya untuk membantu kaum fakir miskin dengan
memberikan sebagian harta mereka melalui zakat, infaq dan sedekah.8

Ditinjau dari sisi sejarah, perintah untuk berzakat sudah disyariatkan


oleh Allah SWT bahkan sejak masa nabi-nabi terdahulu sebelum Rasulullah
diutus. Contoh perintah zakat yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim seperti yang
disebutkan dalam Q.S Al-Anbiya: 73

ۙ ‫َوَجَعْلٰنُه ْم َإِى َّم ًة َّيْه ُد ْو َن ِبَاْم ِرَنا َوَاْوَح ْيَنٓا ِاَلْيِه ْم ِفْع َل اَخْلْيٰرِت َوِاَقاَم الَّص ٰل وِة َوِاْيَتۤاَء الَّزٰك وِۚة َوَك اُنْوا َلَنا ٰع ِبِد ْيَن‬
“Kami menjadikan mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
atas perintah Kami dan Kami mewahyukan kepada mereka (perintah) berbuat
kebaikan, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, serta hanya kepada
Kami mereka menyembah”. (Al-Anbiyā' [21]:73)9
Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai awal
diwajibkannya zakat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat
ditetapkan pada tahun kedua Hijriah sebelum turunnya kewajiban puasa
Ramadan. Pendapat ini dikaitkan dengan Imam An-Nawawi. Namun, Ibnu
Atsir, dalam kitab At-Tarikh, menegaskan bahwa zakat pertama kali
diwajibkan pada tahun kesembilan Hijriah. Namun, pendapat ini perlu
dikritisi karena dalam hadis Dhamam bin Tsa'labah dan hadis utusan Abdul
Qais serta beberapa hadis lainnya telah disebutkan mengenai zakat.10

Fakir Miskin Sebagai Mustahik Zakat Dalam Perspektif Hadis

a) Shahih Bukhari 1395

، ‫ َأَّن الَّنَّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َوَس َّلَم َبَعَث ُمَع اًذا َرِض َي الَّل ُه َعْن ُه ِإىَل الَيَم ِن‬:‫َعِن اْبِن َعَّب اٍس َرِض َي الَّل ُه َعْنُه َم ا‬
‫ِل‬ ‫ِل ِل‬ ‫ِه‬ ‫ِة‬
‫ َفَأْع ْمُه ْم َأَّن الَّلَه‬، ‫ َفِإْن ُه ْم َأَطاُعوا َذ َك‬، ‫ َوَأيِّن َرُس وُل الَّل‬،‫ «اْد ُعُه ْم ِإىَل َش َه اَد َأْن اَل ِإَلَه ِإاَّل الَّلُه‬: ‫َفَق اَل‬

8
Hamdan Ladiku, “Analisis Epistemologis Zakat Dalam Perspektif Fiqih” Al-Jauhari: Vol 5, 2020,
hlm 17
9
Qur’An Kemenag
10
Terj. Fathul Bari, jil. 8, hlm 16
‫ِل‬ ‫ِل ِل‬ ‫ٍم ٍة‬ ‫ٍت‬ ‫ِد‬
‫ َف َأْع ْمُه ْم َأَّن الَّل َه اْفَتَرَض‬، ‫ َف ِإْن ُه ْم َأَط اُعوا َذ َك‬، ‫َق اْفَتَرَض َعَلْيِه ْم ْمَخَس َص َلَوا يِف ُك ِّل َيْو َو َلْيَل‬
‫ِئِه‬ ‫ِم ِن ِئِه‬ ‫ِهِل‬ ‫ِه‬
‫َعَلْي ْم ‌َص َدَقًة‌يِف ‌َأْم َوا ْم ‌ُتْؤَخ ُذ ‌ ْن ‌َأْغ َيا ْم ‌َو ُتَرُّد‌َعَلى‌ُفَق َرا ْم‬
11

“Dari Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma bahwa ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam mengutus Mu'adz radliyallahu 'anhu ke negeri Yaman, Beliau berkata:
"Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) tidak ada ilah yang berhak
disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah
mentaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menta'atinya, maka
beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari
harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada
orang-orang faqir".12

b) Shahih Bukhari nomor 1401


‫ِح‬ ‫ِل ِذ‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬ ‫ِض‬
‫َعْن اْبِن َعَّباٍس َر َي الَّلُه َعْنُه َم ا َقاَل َقاَل َرُس وُل الَّل َص َّلى الَّلُه َعَلْي َوَس َّلَم ُم َع ا ْبِن َجَب ٍل َني َبَعَثُه‬
‫ِإىَل اْلَيَم ِن ِإَّن َك َس َتْأيِت َقْوًم ا َأْه َل ِكَت اٍب َف ِإَذا ِج ْئَتُه ْم َف اْد ُعُه ْم ِإىَل َأْن َيْش َه ُد وا َأْن اَل ِإَل َه ِإاَّل الَّل ُه َوَأَّن‬
‫ِل‬
‫َحُمَّم ًد ا َرُس وُل الَّل ِه َف ِإْن ُه ْم َأَطاُعوا َل َك ِبَذ َك َف َأْخ ْرِبُه ْم َأَّن الَّل َه َقْد َفَرَض َعَلْيِه ْم ْمَخَس َص َلَواٍت يِف ُك ِّل‬
‫َيْو ٍم َو َلْيَلٍة َفِإْن ُه ْم َأَطاُعوا َلَك ِبَذ ِلَك َفَأْخ ْرِبُه ْم َأَّن الَّلَه َقْد َفَرَض َعَلْيِه ْم َص َدَقًة ُتْؤَخ ُذ ِم ْن َأْغ ِنَي اِئِه ْم َفُتَرُّد‬
‫ِم‬ ‫ِئ ِهِل‬ ‫ِل‬ ‫ِئ‬
‫َعَلى ُفَق َرا ِه ْم َفِإْن ُه ْم َأَطاُعوا َلَك ِبَذ َك َفِإَّياَك َوَك َرا َم َأْم َوا ْم َواَّتِق َدْع َوَة اْلَم ْظُلو َفِإَّنُه َلْيَس َبْيَن ُه َو َبَنْي‬
‫ِه ِح‬
‫الَّل َج اٌب‬
13

“Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berkata, Rasulullah ‫ ﷺ‬berkata, kepada


Mu’adz bin Jabal radhiallahu’anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman,
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahlul Kitab, jika kamu sudah
mendatangi mereka maka ajaklah mereka untuk bersaksi tidak ada ilah yang berhak
disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka
telah menaati kamu tentang hal itu, maka beritahukanlah mereka bahwa Allah
mewajibkan bagi mereka salat lima waktu pada setiap hari dan malamnya. Jika
mereka telah mena’ati kamu tentang hal itu maka beritahukanlah mereka bahwa
Allah mewajibkan bagi mereka zakat yang diambil dari kalangan orang mampu dari
mereka dan dibagikan kepada kalangan yang faqir dari mereka. Jika mereka
mena’ati kamu dalam hal itu maka janganlah kamu mengambil harta-harta
terhormat mereka dan takutlah terhadap doanya orang yang terzholimi karena antara
dia dan Allah tidak ada hijab (pembatas yang menghalangi) nya”
11
Maktabah Syamilah
12
HaditsSoft Ver. 4.0
13
HaditsSoft ver.4.0
Ibnu Bathal dalam syarahnya berpendapat para ulama mengalami
perbedaan apakah zakat harus dibagikan kepada semua golongan yang
disebutkan Allah dalam Q.S At-Taubah:60 atau hanya pada golongan
tertentu. Menurut Imam Malik, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah dan para
pengikutnya yang mengutip dari Atha’, An-Nakhai dan Hasan Al-Basri
mengatakan bahwa penempatan zakat cukup pada satu golongan yang telah
disebutkan berdasarkan ijtihad para imam.14
Berdasarkan hadis di atas, prioritas sasaran zakat ditujukan pada
orang-orang fakir dan miskin baru setelah itu beberapa asnaf lainnya. Hal ini
karena secara kondisional fakir miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar seperti makanan, pakaian serta tempat tinggal secara memadai,
sehingga menghalangi kedua golongan tersebut menjalani kehidupan yang
layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah.
Selain itu secara kontekstual, turunnya ayat-ayat zakat berdasarkan
kondisi umat Islam secara mayoritas kesulitan dari segi ekonomi, karena
pada masa Nabi mereka kerap memperoleh diskriminasi dan pengasingan
oleh masyarakat Arab pada saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan
utama disyariatkannya zakat paling utama adalah upaya untuk
mengentaskan kemiskinan.15
Kontekstualisasi Kriteria Fakir Miskin
Secara eksplisit tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an dan Hadis yang
menetapkan bagaimana kriteria seseorang bisa disebut fakir miskin. Oleh sebab itu
para ulama khususnya mazhab Syafi’i menetapkan kategori fakir dan miskin
berdasarkan urf kondisi masyarakat yang ada. 16 Oleh sebab itu, jika dikaitkan dengan

14
Abu al-Hasan 'Ali bin Khalaf bin 'Abd al-Malik bin Bathal al-Bakri, Syarah Shahih Bukhari,
jil. 3, dalam Maktabah Syamilah, hlm. 547
15
T.M. Rizal, Transformasi Kriteria Fakir Miskin Sebagai Mustahiq Zakat Dalam Penyaluran
Zakat Menurut Al-Qur’an ( Implementasi Metode Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed),
( Yogyakarta, REPOSITORY UIN Sunan Kalijaga, https://digilib.uin-suka.ac.id/, 2023, diakses pada 27-
06-2023
kontekstualisasi masyarakat di Indonesia saat ini, penetapan kriteria fakir miskin
maka mengacu pada data yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.

Menurut standar BPS, seseorang dianggap miskin jika rumah


tangganya memenuhi setidaknya 9 dari 14 kriteria berikut: [1]. Luas lantai
tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. [2]. Jenis lantai tempat tinggal
terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.[3]. Jenis dinding tempat tinggal
terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plesteran.
[4]. Tidak memiliki fasilitas buang air besar yang terpisah dari rumah tangga
lain.[5]. Tidak menggunakan listrik sebagai sumber penerangan rumah tangga.
[6]. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak
terlindung/sungai/air hujan.[7]. Menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah
sebagai bahan bakar memasak. [8]. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam
sekali seminggu. [9]. Membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. [10].
Hanya mampu makan satu atau dua kali sehari. [11]. Tidak mampu membayar
biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. [12]. Sumber penghasilan kepala
rumah tangga berasal dari petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani,
nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp 600.000,- per bulan.[13]. Pendidikan tertinggi kepala
rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD.[14]. Tidak memiliki
tabungan/barang yang mudah dijual senilai minimal Rp 500.000,- seperti
sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal
lainnya.17

Sebagian besar dari kriteria yang ditetapkan oleh BPS sangat berbeda
dengan kategori fakir miskin yang ditetapkan ulama dahulu. Menurut mayoritas
ulama, fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang

16
Romsi Khairi, Kontesktualisasi Kriteria Fakir Miskin dalam Pandangan Mazhab Syafi’i di
Indonesia, (Washatiyah: Vol.4, 2022), hlm. 51
17
https://sendangsari.bantulkab.go.id/, 14 Kriteria Masyarakat Miskin Menurut Standar BPS,
( Bantul, 14-02-2020), diakses pada 04-07-2023, 20:07
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, tempat
tinggal, dan kebutuhan pokok lainnya, baik untuk diri sendiri maupun keluarga serta
tanggungannya. Namun, dalam hal mendefinisikan orang miskin, kedua golongan
ulama di atas memiliki pendapat yang berbeda. Menurut Imam Abu Hanifah, orang
miskin adalah mereka yang memiliki pekerjaan tetap namun tidak dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa orang
miskin adalah mereka yang memiliki harta atau penghasilan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi pendapatan tersebut tidak
mencukupi. Namun, Imam Abu Yusuf dan Ibn Qasim, tokoh fikih dari madzhab
Maliki, tidak membedakan secara pasti kedua kelompok tersebut. Menurut mereka,
fakir dan miskin adalah dua istilah yang memiliki makna yang sama.18
Perbedaan antara kategori ulama fikih terdahulu dengan ketetapan
pemerintah masa sekarang tentunya didasari dengan perbedaan kondisi dan
kebutuhan di setiap daerah. Perbedaan kebutuhan antara masyarakat zaman dahulu
dan sekarang jelas terlihat. Kebutuhan masyarakat saat ini jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan masyarakat di masa lalu. Hal ini disebabkan oleh pesatnya
perkembangan zaman yang membuat manusia semakin kreatif.
Banyaknya pendapat ulama terkait kategori
Urgensi Reinterpretasi Mustahik Zakat
Dari segi ekonomi, implementasi pengumpulan zakat seharusnya mampu
mengurangi kesenjangan kekayaan yang signifikan dan menciptakan redistribusi yang
lebih merata, sambil membantu mengendalikan laju inflasi. Selain ketidakpastian
perkembangan mata uang dalam negeri, ketidakcukupan pasokan barang dan
kecepatan peredaran uang, distribusi kekayaan yang tidak tepat dan tidak merata juga
dapat menyebabkan laju inflasi. Penanganan yang tepat terhadap pajak zakat secara
bertahap dapat menciptakan kondisi keseimbangan ekonomi seperti yang diinginkan.

18
Kuntarno Noor Aflah, Urgensi Penetapan Kriteria Fakir Miskin Bagi Penyaluran Zakat di
Indonesia, (Ziswaf: Vol.4, 2017), hlm. 182
Oleh karena itu, zakat didistribusikan kepada mustahiq zakat sesuai dengan hukum
syariat Islam.19

Dengan merujuk pada konsep tersebut, visi zakat dirumuskan sebagai tujuan
untuk mengubah penerima zakat (mustahiq) menjadi pemberi zakat (muzakki). Visi
ini bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin. Jika zakat telah diberikan
kepada orang miskin dan mereka tetap berada dalam kondisi kemiskinan, maka visi
tersebut belum tercapai secara sempurna. Oleh karena itu, pengelolaan zakat
membutuhkan peran yang produktif dari pihak Amil. Distribusi zakat pada dasarnya
merupakan tanggung jawab Amil untuk mengurangi tingkat kemiskinan.20

Oleh karena itu, tujuan zakat bukan hanya memberikan sedikit uang kepada
orang miskin, tetapi bertujuan untuk memberikan standar hidup yang layak. Standar
hidup yang layak mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, pakaian
yang sesuai dengan cuaca, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainnya untuk diri
sendiri dan keluarganya. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menganggap
manusia sebagai khalifah di bumi dan sebagai anggota umat yang dipilih Allah yang
mengutamakan keadilan dan kebaikan.

Kesimpulan

Daftar Pustaka

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath Al-Bari “Penjelasan Sahih Bukhari” Terjemah Pustaka
Azam

Atabik, Ahmad. (2016). Peranan zakat dalam pengentasan kemiskinan. ZISWAF:


Jurnal Zakat Dan Wakaf, 2(2), 339-361.

Hafidhuddin, Didin. (2002). Zakat dalam perekonomian modern. Gema insani.

19
Samheri, “ Reinterpretasi Mustahiq Al-Zakah...,152
20
Samheri, Reinterpretasi Mustahiq Al-Zakah..., 152
Ladiku, H. (2020). Analisis Epistimologi Zakat dalam Perspektif Fiqih . Jurnal Ilmiah
AL-Jauhari: Jurnal Studi Islam Dan Interdisipliner, Vol.5

Mushthafa, M. (2019). Mustahiq Zakat Fitrah Dan Relevansinya Dengan Kewajiban


Menunaikannya Bagi Setiap Muslim (Telaah Pendapat Imam Malik W. 178
H). JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 18(1), 1-10.

Qur’an Kemenag, V.1

SAMHERI,. (2018). Reinterpretasi Mustahiq al-Zakah Sebagai Solusi Pengentasan


Kemiskinan. El-Furqania: Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu
Keislaman, 4(02), 149-164.

Suryadi, Andi. (2018). Mustahiq dan Harta yang Wajib dizakati menurut kajian para
Ulama. Tazkiya, 19(01), 1-12.

Wahyuni, E. T., & Chintya, A. (2017). Pembagian Zakat Fitrah Kepada Mustahiq:
Studi Komparatif Ketentuan Ashnaf Menurut Imam Syafi’i dan Imam
Malik. Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 8, 154-167.

Anda mungkin juga menyukai