Laporan Praktikum Peta Rawan Longsor 2
Laporan Praktikum Peta Rawan Longsor 2
Disusun oleh:
NIM : 117210047
Plug : 01
BAB I
PENDAHULUAN
2. Mengapa tanah longsor bisa terjadi dan faktor apa saja yang mempengaruhinya?
3. Parameter apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan peta rawan longsor?
4. Daerah mana saja di kabupaten Sleman yang memiliki potensi rawan longsor?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari dilakukannya praktikum kali ini adalah:
1. Mengetahui pengertian dari tanah longsor.
2. Mengetahui sebab terjadinya tanah longsor dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
3. Mengetahui parameter-parameter yang dibutuhkan dalam pembuatan peta
rawan longsor.
4. Mengetahui daerah mana saja di kabupaten Sleman yang memiliki potensi
rawan longsor.
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Bencana Alam
Menurut Peraturan Kepala BNPB (2012) bencana merupakan suatu peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh alam dan/atau non-alam maupun
manusia itu sendiri sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana alam merupakan salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat,
dimana pun dan kapan pun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap
kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa (Nugroho et
al., 2009).
2.2. Tanah Longsor
Tanah longsor merupakan suatu perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material tersebut yang bergerak ke
bawah atau ke luar lereng (SNI 13-7124-2005). Sedangkan menurut Bayuaji et al.,
(2016) mendefinisikan tanah longsor sebagai contoh dari suatu proses geologi yang
disebut dengan mass wasting atau sering disebut juga gerakan massa (mass
movement), merupakan perpindahan massa batuan dan tanah dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah karena adanya gaya gravitasi.
Tanah longsor terjadi akibat adanya gangguan kestabilan pada tanah atau
batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng tersebut dapat dikontrol oleh
kondisi morfologi (terutama kemiringan lereng), kondisi tanah atau batuan
penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Secara umum,
bencana longsor ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor
pemicu. Faktor pendorong itu sendiri merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kondisi material, sedangkan faktor pemicu merupakan faktor yang menyebabkan
bergeraknya material tersebut (Faizana et al., 2015).
Potensi terjadinya tanah longsor pada lereng tergantung pada kondisi batuan
dana tanah penyusunnya, struktur geologi, curah hujan, dan juga penggunaan lahan.
Namun, tanah longsor ini umumnya terjadi pada musim hujan dengan curah hujan
yang tinggi. Tanah yang kasar akan lebih berisiko terjadi longsor karena tanah
tersebut mempunyai kohesi agregat tanah yang rendah (Faizana et al., 2015).
Faktor Kelas
0% - 8% 1
8% - 25% 2
Slope (Kemiringan) 30% 25% - 40% 3
40% - 100% 4
< 2000 1
Precipitation (Curah hujan) 20% 2000-3000 2
(mm/yr) > 3000 3
Bandara/Pelabuhan 1
Belukar 2
Hutan Kering Sekunder 1
Hutan Tanaman 1
Landcover (Tutupan lahan) 20% Pemukiman 1
Pertanian Lahan Kering 2
Pertanian Lahan Kering Campur 2
Sawah 1
Tanah Terbuka 1
BAB III
METODE PRAKTIKUM
▪ Input data curah hujan, geologi, dan juga tutupan lahan kabupaten
Sleman dengan cara klik kanan pada layers → add data → pilih data
curah hujan, geologi, dan tutupan lahan → add.
▪ Input juga data DEM (Digital Elevation Model) dengan cara klik kanan
pada layers → add data → pilih data → add.
▪ Buat peta kemiringan lahan menggunakan data DEM dengan cara klik
menu geoprocessing → Arctoolbox → 3D analyst tools → raster surface
→ slope → drag data DEMNAS ke kolom input raster. Pada kolom
output raster pilih tempat untuk menyimpan file DEMNAS tersebut. Klik
Ok
▪ Untuk dapat mengisi kolom keterangan dapat dilakukan dengan cara klik
editor → start editing → pilih layer RasterT_Reclass1_Dissolve →
continue → OK.
▪ Setelah selesai kemudian save dengan cara pilih editor → save edits →
stop editing.
▪ Lakukan hal yang sama pada parameter lain yang belum dilakukan
penyederhanaan data.
▪ Beri nilai pada masing-masing kelas dengan cara klik kanan pada layer
Curah_hujan_sleman → open attribute table → table options → add
field → tambahan tabel nilai, bobot, dan total.
▪ Klik kanan pada layer curah hujan → open attribute table → tambahkan
nilai dari masing-masing parameter curah hujan dengan cara pilih editor
→ start editing.
▪ Masukan juga nilai bobot hujan dengan cara klik kanan pada kolom
bbt_hujan → field calculator → tambahkan bobot berdasarkan pada
jurnal yang telah direkomendasikan yaitu sebesar 20 → OK.
▪ Tambahkan juga nilai total curah hujan dengan cara klik kanan pada
kolom ttl_hujan → field calculator → [c_hujan]*[bbt_hujan]*0.01 →
OK.
▪ Maka nilai dari total curah hujan akan terisi secara otomatis.
▪ Masukan juga nilai bobot geologi dengan cara klik kanan pada kolom
bbt_geo → field calculator → tambahkan bobot berdasarkan pada jurnal
yang telah direkomendasikan yaitu sebesar 30 → OK.
▪ Tambahkan juga nilai total geologi dengan cara klik kanan pada kolom
ttl_hujan → field calculator → [c_geo]*[bbt_geo]*0.01 → OK.
▪ Lakukan hal yang sama pada parameter slope untuk menambahkan nilai
kelas berdasarkan potensi longsor terhadap kelas tersebut. Sehingga
nilainya akan seperti pada gambar di bawah.
▪ Tentukan kelas kerawanan dari nilai total yang telah dihitung dengan cara
lakukan sort dengan nilai terendah → select attribute berdasarkan nilai
yang sama pada nilai totalnya → pada field Kerawanan klik kanan →
field calculator → beri nama kelas kerawanan: “Cukup Rawan” → OK.
▪ Maka secara otomatis, atribut yang dipilih memiliki kelas yang terisi
pada tabel kerawanan cukup rawan.
▪ Lakukan hal yang sama untuk mengkelaskan berdasarkan nilai total pada
tabel kerawanan sebelumnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.2. Pembahasan
Dengan mempertimbangkan beberapa parameter seperti curah hujan,
kemiringan, geologi, dan tutupan lahan maka ada sekitar 249 area/wilayah di
kabupaten Sleman yang berpotensi terkena bencana tanah longsor. Dengan
rincian sebagai berikut: 154 area/wilayah yang cukup rawan, 89 area/wilayah
rawan tanah longsor, dan 6 area/wilayah yang sangat rawan tanah longsor.
Dari data tersebut juga dapat disimpulkan bahwa semakin besar tingkat
kemiringan lereng maka semakin rawan pula area tersebut terkena tanah
longsor. Terlebih jika tingkat curah hujan di area tersebut cukup tinggi, maka
tingkat kerawanan tanah longsor juga tentunya akan semakin tinggi.
BAB V
KESIMPULAN
Dari praktikum Peta Rawan Longsor yang telah dilaksanakan ini, maka dapat dibuat
suatu kesimpulan, yaitu:
➢ Tanah longsor merupakan suatu perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material tersebut yang bergerak ke
bawah atau ke luar lereng.
➢ Tanah longsor terjadi akibat adanya gangguan kestabilan pada tanah atau
batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng tersebut dapat dikontrol
oleh kondisi morfologi (terutama kemiringan lereng), kondisi tanah atau batuan
penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Secara umum,
bencana longsor ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan
faktor pemicu. Faktor pendorong itu sendiri merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi material, sedangkan faktor pemicu merupakan faktor
yang menyebabkan bergeraknya material tersebut.
➢ Penentuan tingkat ancaman bencana tanah longsor dilakukan dengan cara
menggabungkan pembobotan parameter kelerengan, jenis tanah dan batuan,
curah hujan, dan tutupan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, T. (2010). Visualisasi Risiko Bencana di Atas Peta. Yogyakarta: Fakultas
Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada.
Anwar, A. (2012). Pemetaan Daerah Rawan Longsor Di Lahan Pertanian
Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Sleman. 2011. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Sleman 2011-2031. Bappekab Sleman : DIY.
Bayuaji, D. G., Nugraha, A. L., & Sukmono, A. (2016). Analisis penentuan zonasi
risiko bencana tanah longsor berbasis sistem informasi geografis (Studi
kasus: Kabupaten Banjarnegara). Jurnal Geodesi Undip, 5(1), 326-335.
Bencana, B. N. P. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta: Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.
Destriani, N., & Pamungkas, A. (2013). Identifikasi daerah kawasan rentan tanah
longsor dalam KSN Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Jurnal Teknik
ITS, 2(2), C134-C138.
Effendi, A. D. (2008). Identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor
utama penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor.
Faizana, F., Nugraha, A. L., & Yuwono, B. D. (2015). Pemetaan risiko bencana
tanah longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip, 4(1), 223-234.
Khoiri, M., Jaelani, L. M., & Widodo, A. (2018). Landslides Hazard Mapping
Using Remote Sensing Data in Ponorogo Regency, East Java. Internet J.
Soc. Soc. Manag. Syst, 11(2), 101-110.
Purba, J. O., Subiyanto, S., & Sasmito, B. (2014). Pembuatan peta zona rawan tanah
longsor di kota Semarang dengan melakukan pembobotan
parameter. Jurnal Geodesi Undip, 3(2), 40-52.