Anda di halaman 1dari 15

RESUME

“PEMBUKAAN dan PENYIAPAN LAHAN”

Disusun Oleh:
DIA YUNA 422021027
Dosen Pengampu
Dr. Yopie Moelyohadi, S.P., M.Si.

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2023
A. LAHAN KERING
Sebagian besar lahan sawah di Indonesia pada awalnya merupakan hasil
pembukaan areal lahan kering. Banyak lahan kering yang semula digunakan
untuk hutan maupun perkebunan sekarang ini sudah dimanfaatkan sebagai
kawasan persawahan. Badan Pusat Statistik (2010) mencatat bahwa luas lahan
pertanian di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 6.048.447 ha, luas lahan padi
ini meningkat sebesar 6,12 % dari tahun sebelumnya. Dalam budidaya padi
sawah, dilakukan proses penggenangan yang dapat menyebabkan perbedaan
karakteristik tanah yang terdapat pada lahan sawah dan lahan kering. proses
penggenangan menciptakan keadaan reduksi yang dapat merubah ciriciri
morfologi dan sifat-sifat fisika kimia pada profil tanah asal. Perubahan
sifatsifat tanah yang terjadi pada lahan sawah juga menyebabkan perubahan
klasifikasi tanah asalnya. Di dalam Sistem Taksonomi Tanah yang
dikembangkan oleh Soil Survey Staff (2010). belum ada acuan yang
digunakan pengklasifikasian tanah khusus untuk tanah yang disawahkan,
sehingga klasifikasi tanah sawah seharusnya perlu dilakukan untuk
mengetahui perubahan klasifikasi tanah pada lahan kering dan lahan kering
yang telah disawahkan.
Titik pengamatan dan pengambilan contoh tanah didasarkan pada kesamaan
formasi geologi di daerah penelitian, yaitu Qa (alluvium). Dari formasi
geologi tersebut, selanjutnya dipilih dua tipe lahan berdasarkan perlakuan
penggenangan yang berbeda, yaitu lahan kering (tidak pernah disawahkan)
dan lahan yang disawahkan (ditanami padi sawah terus-menerus). Dari 2 jenis
penggunaan lahan tersebut, selanjutnya diambil 3 profil pada lahan kering
(NS1, NS2, NS3) dan 3 profil lahan yang disawahkan (LS1, LS2, LS3).
Lokasi keenam profil disajikan dalam Gambar 1. Pengamatan di lapangan
meliputi pengamatan kondisi lahan sekitar dan morfologi tanah. Pengamatan
di lapangan dilakukan pada musim kemarau dan pada sawah pada saat
dikeringkan atau saat sawah tidak digenangi, yaitu setelah panen sampai menj
elang pengolahan tanah awal pada musim tanam berikutnya. Pengamatan
morfologi tanah dilakukan pada profil tanah yang dibuat dengan ukuran 1,5 x
1 meter dengan kedalaman 1,5 meter. Pengambilan contoh tanah utuh dan
terganggu dilakukan pada masing-masing horison sesuai dengan Petunjuk
Teknis Pengamatan Tanah (Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2004).
Contoh tanah yang diambil di lapangan kemudian di analisis di laboratorium
fisika dan kimia tanah. Jenis dan metode analisis tanah disajikan dalam Tabel
1.
Berdasarkan peta geologi, daerah penelitian terdapat tiga macam batuan
induk, yaitu Qa (Endapan Alluvium), Qt (Endapan Teras) dan Qpnv (Formasi
Notopuro). Namun, penelitian ini hanya didasarkan pada bahan endapan
Aluvium saja, yaitu Qa yang menempati luasan paling besar di Kecamatan
Perak. Endapan alluvium (Qa) merupakan endapan sungai dan endapan banjir
dari sungai Brantas, Widas, Brangkal, Bangsal, Konto dan lainlainnya.
Endapan alluvium tersusun atas kerakal, kerikil, pasir, lempung, lumpur dan
sisa tumbuhan. Data Curah Hujan (CH) diperoleh dari stasiun pengamat Perak
(55 mdpl) menunjukkan CH rata-rata tahunan sebesar 270,1 mm dengan CH
tertinggi sebesar 373,8 (Maret) dan CH terendah sebesar 22 mm (Agustus).
Suhu udara rata-rata bulanan sebesar 25,2-27,4 °C. menurut klasifikasi iklim
Oldeman daerah penelitian termasuk kedalam tipe iklim C3. Prediksi rejim
suhu dan rejim kelembaban tanah menggunakan program Java Newhall
Simulation Model (JNSM) menunjukkan daerah penelitian termasuk kedalam
rejim kelembaban ustik dan rejim suhu isohipertermik.

MORFOLOGI
Tanah Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa susunan horison
pada tanah kering berbeda dengan tanah yang disawahkan. Tanah kering
mempunyai susunan A, Bw dan Cg, sedangkan tanah yang disawahkan secara
umum mempunyai susunan horison Apg, Adg, Bwg dan Cg. Tanah yang
sering disawahkan cenderung berwarna keabu-abuan (semakin terang).
Terdapat penambahan simbol g (gleisasi) pada lahan yang disawahkan, yang
dicirikan dengan adanya warna keabu-abuan maupun adanya kenampakan
Redoximorphic Features (RMF). Pada tanah yang disawahkan juga tedapat
penambahan simbol horison baru, yaitu Adg yang menunjukkan adanya
lapisan tapak bajak. Tidak semua pedon didaerah penelitian terbentuk lapisan
tersebut. Tidak terbentuknya lapisan tapak bajak pada pedon LS1 disebabkan
pada tanah ini mempunyai air tanah yang relatif dangkal serta lokasi pedonnya
yang dekat dengan sumber air, sehingga proses pembentukan lapisan tapak
bajaknya terhambat.

SIFAT FISIKA TANAH


Struktur Tanah
Struktur tanah lapisan olah pada tanah kering adalah granuler sampai
membulat, berukuran halus sampai sedang dengan tingkat perkembangan
yang masih lemah. Pada tanah yang disawahkan lapisan olah menjadi tidak
berstruktur (massif) seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hardjowigeno dan
Rayes (2005) mengemukakan bahwa perubahan sifat fisik tanah yang mula-
mula terjadi pada tanah sawah merupakan akibat pelumpuran. Pelumpuran
dilakukan dengan pengolahan tanah dalam keadaan tergenang, ketika tanah
dibajak kemudian digaru sehingga agregat tanah hancur menjadi lumpur yang
sangat lunak. Pengambilan contoh tanah pada tanah yang disawahkan
dilakukan pada saat tanaman padi baru dipanen, sehingga pengeringan masih
belum berlanjut dan tanah masih dalam keadaan basah sehingga tanah masih
belum dapat membentuk struktur dan masih dalam keadaan seperti pasta
(massif). Hasil penelitian Arabia (2009) menjelaskan bahwa struktur tanah
baru terbentuk setelah satu sampai tiga bulan tidak disawahkan dan tidak
diirigasi.
Konsistensi Tanah
Konsistensi tanah tidak terlalu berbeda antara tanah kering dengan tanah yang
disawahkan kecuali pada tanah yang mempunyai lapisan tapak bajak
mempunyai konsistensi yang lebih teguh dibandingkan dengan lapisan diatas
maupun dibawahnya serta pada lapisan olah di tanah yang disawahkan
mempunyai konsistensi basah agak lekat dan agak plastis. Arabia (2009)
mengemukakan bahwa lapisan olah tanahtanah yang sedang disawahkan
cenderung memiliki kandungan liat yang tinggi, sehingga dalam keadaan
basah umumnya lekat dan plastis.

Tekstur Tanah
Tanah kering dan tanah yang disawahkan mempunyai tekstur yang hampir
sama, yaitu berpasir (Tabel 2). Hal ini disebabkan lokasi penelitian terbentuk
dari bahan alluvium yang umurnya relatif muda, sehingga banyak ditemukan
tekstur berpasir di semua pedon tanah yang diamati. Persentase pasir di tanah
sawah dan tanah kering juga tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rayes (2000) yang menemukan
bahwa lahan kering mempunyai tekstur yang lebih kasar bila dibandingkan
dengan lahan yang disawahkan 1 kali atau 2 kali setahun.

Bobot Isi Tanah


Pada umumnya,tanah yang disawahkan mempunyai nilai bobot isi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tanah kering kecuali pada pedon LS1. Hal ini
dikarenakan pengambilan sampel tanah di pedon LS1 dilakukan pada saat
tanah masih basah, sehingga kandungan air masih banyak dan bobot isi
rendah. Lapisan tapak bajak pada pedon tanah yang disawahkan terbentuk
pada pada pedon LS2 dan LS3. Pedon LS1 tidak terbentuk lapisan tapak bajak
dikarenakan keberadaan air tanah yang relatif dangkal yang akan
menghambat proses pemadatan tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sutrisno (1988) bahwa proses pembentukan lapisan tapak
bajak bisa tidak terbentuk karena air tanah selalu mengisi bongkahbongkah
tanah dan tidak adanya perubahan kondisi oksidasi-reduksi menyebabkan
terjadinya pemadatan.

SIFAT KIMIATANAH
pH Tanah
Kemasaman Tanah (pH) pada semua pedon, baik tanah kering dan tanah yang
disawahkan memiliki pH yang netral, yaitu berkisar antara 6,16-7,5 (Tabel 3).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses penyawahan tidak mengakibatkan
perubahan nilai pH tanah pada tanah yang semula telah mempunyai pH netral.
Secara keseluruhan nilai pH pada tanah yang disawahkan menurun dengan
meningkatnya kedalaman tanah, walaupun tidak terlalu besar. Hal ini diduga
karena proses penggenangan menyebabkan dekomposisi bahan organik lebih
lambat sehingga menurunkan pH tanah. Proses penggenangan yang dilakukan
pada tanah sawah akan berpengaruh pada tanah tanah masam dan alkalis,
seperti yang telah dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Rayes (2005) bahwa
penggenangan menyebabkan pH semua tanah mendekati 6,5-7,0, kecuali
pada gambut masam atau tanah dengan kadar Fe aktif (Fe2+) yang rendah.

KENDALA YANG DIHADAPI


Media Tanam
Tanah pasiran yang terdapat di sebagian besar daerah kering di Negara Timur
Tengah menjadi kendala besar bagi usaha pertumbuhan tanaman. Kendala-
kendala tersebuat adalah terlalu besarnya pori-pori tanah yang mengakibatkan
infiltrasi tinggi sehingga tidak dapat menahan air serta memiliki kadar garam
yang tinggi sebagai dampak dari kombinasi tingginya evapotranspirasi akibat
suhu yang tinggi dan tingginya infiltrasi akibat tanah yang terlalu porous. ifat
tanah lempung yang kekurangan air akan merekah (nelo:jawa), sehingga tidak
dapat ditumbuhi tanaman dengan optimal. Tanah sebagai media tanam
seharusnya memiliki kemampuan menahan air dari infiltrasi dan
evapotranspirasi, mampu memberikan nutrisi bagi tanaman, serta memiliki
pori-pori proporsional untuk sirkulasi udara (O2 dan CO2). Untuk mengatasi
hal tersebut, maka diperlukan soil amendment atau pengatur tanah, pupuk
organik untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan kapur untuk meningkatkan
pH tanah atau gypsum untuk menurunkan pH tanah.
Air
Rendahnya curah hujan yang menjadi ciri-ciri khas daerah lahan kering
mengakibatkan ketersediaan air untuk irigasi sangat terbatas. Untuk
mengatasi hal tersebut diperlukan soil amendment untuk meningkatkan
kapasitas tanah dalam menahan air (water holding capacity), mulsa untuk
mengurangi evapotranspirasi dan penggunaan sistem irigasi yang tepat guna
seperti irigasi tetes ataupun sprinkler tergantung dengan topografi lahan. Bila
lahan datar, maka dapat digunakan irigasi tetes, dan apabila lahan
bergelombang, maka penggunaan sistem irigasi sprinkler lebih tepat.
Kolaborasi penggunaan soil amendment, mulsa dan sistem isrigasi tepat guna
tersebut bertujuan untuk menghemat penggunaan air dan meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pendistribusian nutrisi tanaman.
Cahaya
Tingginya radiasi cahaya matahari di daerah lahan kering mengakibatkan
tingginya evapotranspirasi, rendahnya suplai oksigen (O2), dan salinasi /
penggaraman di tanah. Cara mengatasi kendala tersebut dengan melakukan
penghijauan, atau secara terintegrasi melakukan kegiatan pertanian dan
perkebunan di lahan kering dapat mengurangi dampak tingginya radiasi
cahaya matahari.
Angin
Minimnya vegetasi di daerah lahan kering mengakibatkan termodinamika
pindah panas terjadi secara monoton/ single direction, hal tersebut
mengakibatkan angin melaju dengan kencang, karena angin merupakan
dampak dari udara yang digerakkan oleh perbedaan suhu. Salah satu dampak
dari hal tersebut adalah terjadinya badai gurun (sand storm atau orang arab
menyebutnya haboob) yang membawa banyak material pasir di daerah
pemukiman maupun areal pertanian. Tentu saja hal tersebut sangat
menghambat pelaksanaan kegiatan pertanian. Adapun alternatif untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan tanaman pohon sebagai
pemecah laju kecepatan angina (wind breaker). Aplikasi penanaman pohon
sebagai wind breaker di areal pertanian lahan kering biasanya ditanam
mengelilingi areal pertanian. Adapun berikut ini merupakan contoh desain
lahan pertanian lahan kering yang terdapat di Negara Timur Tengah.

Nutrisi

Dengan mengambil analogi manusia, nutrisi sebagai makanan bagi tanaman


itu diumpamakan seperti adanya karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin bagi
manusia. Namun bagi tanaman membutuhkan nutrisi makro (N, P, K, Ca, Mg,
S) dan mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn dan Cl). Tingginya kadar garam di tanah
pertanian lahan kering mengakibatkan unsur-unsur nutrisi yang diperlukan
tanaman tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, karena garam
sifatnya mereduksi unsur-unsur makro dan membuat unsur-unsur mikro
bersifat toksit atau beracun bagi tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
dibutuhkan pemupukan organik terpadu yang menyediakan unsur hara
tanaman dari bahan-bahan alam untuk mereduksi kandungan unsur logam
dari pupuk-pupuk kimia serta memberikan unsur mikro tanaman dalam
bentuk organik (chillate) yang tidak beracun bagi tanaman di daerah dengan
kadar garam yang tinggi.

B. LAHAN LEBAK
Luas lahan rawa lebak di Indonesia sekitar 13,28 juta hektar, luas ini
diperkirakan sekitar sepertiga dari luas totallahan rawa. Luas lahan rawa lebak
yang telah dibuka untuk persawahan dan permukiman sekitar 1,55 juta hektar,
dari luasan tersebut sekitar 1,01 juta hektar (71%) dibuka meialui swadaya
masyarakat dan sisanya (29%) oleh pemerintah. Berdasarkan data terse but,
maka luas lahan rawa lebak yang belum dibuka masih cukup luas (sekitar
11,73 juta hektar). Namun menurut lrianto (2006) luas lahan rawa Iebak yang
berpotensi untuk pertanian dan belum dibuka hanya sekitar 1.411.317 ha
(10,6%). Lahan rawa lebak dangkal merupakan bagian yang paling potensial
untuk pertanian dibandingkan lahan rawa lebak tengahan dan dalam. Lahan
rawa lebak dangkal dan tengahan umumnya dijadikan persawahan dengan
pertanaman palawija dan sayuran di bagian guludanlbedengan pada sistem
surjan. Sementara lebak dalam, karena bentuknya mirip eekungan kondisi
airnya relatif masih tetap dalam walaupun pada musim kemarau, sehingga
lebih sesuai untuk budidaya perikanan air tawar. Indonesia mempunyai lahan
rawa lebak sangat luas sekitar 13,28 juta hektar yang tersebar di Sumatera
sekitar 2,79 juta hektar, Kalimantan 3,58 juta hektar, Papua 6,31 juta hektar,
dan Sulawesi 0,61 juta hektar. Lahan rawa lebak yang sudah dibuka oleh
pemerintah sekitar 578.934 ha (4,4%) dan yang dibuka oleh masyarakat
setempat secara swadaya sekitar 346.901 ha (2,6%), sementara lahan rawa
lebak yang berpotensi untuk pertanian dan belum dibuka terdapat sekitar
1.411.317 ha (10,6%) (Nugroho et al., 1992; Irianto, 2006).
Tabell. Potensi lahan rawa lebak untuk padi sawah berdasarkan elevasi
Tabel 2. Luas lahan rawa lebak berdasarkan posisi topografi, iklim dan kemasaman
tanah

SIFAT KIMIA TANAH


Karakterisasi sifat kimia tanah dilakukan dengan mengambil contoh tanah
dari lapisan profil tanah, hasil analisis dirangkum dalam Tabel 6 untuk
mengevaluasi sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah mineral di lahan rawa
lebak.
Sifat kimia tanah di lahan rawa lebak sangat tergantung pada jenis tanahnya.
Tanah mineral (endapan sungai) memiliki tekstur liat dan pH 4,5-6,5. Setiap
tahun lahan lebak mendapat endapan lumpur dari daerah di atasnya (kawasan
hulu), sehingga kesuburan tanahnya tergolong sedang. Pada umumnya nilai
N, P, dan K rendah sampai sedang, tetapi kandungan Ca dan Mg serta KTK
umumnya sedang sampai tinggi (Tabel 7). Tinggi rendahnya kandungan hara
dipengaruhi oleh besarnya sumbangan hara dari kawasan hulu yang masuk
melalui limpasan air. Lahan ini layak untuk usaha pertanian, permasalahan
hanya terletak pada dinamika tinggi muka air yang sulit diprediksi.

SIFAT FISIK TANAH


Tekstur Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah
(separat) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi dalam persen (%)
relatif antara fraksi pasir (sand) berdiameter 2,00 – 0,20 mm atau 2000 – 200
um, debu (silt) berdiameter 0,20 – 0,002 mm atau 200 – 2 um dan liat (clay)
< 2 um. Partikel berukuran diatas 2 mm seperti kerikil dan bebatuan kecil
tidak tergolong sebagai fraksi tanah. Tanah yang didominasi pasir akan
banyak mempunyai pori-pori makro (besar) disebut lebih poreus, tanah yang
didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) atau tidak
poreus atau agak poreus, sedangkan yang didominasi liat akan banyak
mempunyai pori-pori mikro (kecil) atau tidak poreus (Hanafiah, 2014).
Tekstur tanah dibagi menjadi dua belas kelas yang tercantum didalamnya
yaitu pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu,
debu, lempung liat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, liat berpasir,
liat berdebu dan liat. Disamping penggolongan kedalam kelas tekstur tersebut
untuk tingkat klasifikasi family tanah kadang-kadang tanah digolongkan
kedalam kelas sebaran butir (particle size distribution) seperti sangat halus
(very fine), halus (fine), berdebu halus (fine silty), berdebu kasar (coarse
silty), berlempung halus (fine loamy), berlempung kasar (coarse loamy),
berpasir(sandy)(Hardjowigeno, 2007). S

KENDALA YANG DI ALAMI


Kendala utama dalam pengelolaan lahan rawa lebak adalah tinggi air selama
musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau tinggi genangan air berangsur
turun menjadi hampir kering. Seeara tradisional, petani menanami lahannya
setelah genangan air mulai turun pada akhir musim hujan. Penanaman dimulai
dari lebak dangkal dan berlanjut ke lebak tengahan. Pada kondisi ElNino
(kemarau panjang), lahan rawa lebak merupakan lahan subur untuk
pertanaman padi, palawija dan hortikultura. Lahan rawa lebak merupakan
salah satu lumbung padilberas nasional yang mampu mendukung dan
mengamankan program ketahanan pangan. Oleh karena itu, potensinya yang
besar untuk perluasan areal produksi pertanian dapat dilakukan melalui
perbaikan biofisik lahan. Penelitian yang lebih intensif perlu dilakukan untuk
mendapatkan varietas-varietas tanaman yang mampu beradaptasi dan
berproduksi tinggi serta rasanya disenangi konsumen, sehingga sesuai
dibudidayakan di lahan rawa lebak.

C. LAHAN PASANG SURUT


Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia diperkirakan mencapai 20,11 juta
ha dari luas keseluruhan lahan rawa sekitar 33,4 juta ha. Provinsi Jambi
memiliki lahan rawa pasang surut 684.000 ha sementara lahan yang
berpotensi dikembangkan untuk pertanian 246.481 ha. Luasnya areal
berpotensi untuk dikembangkan serta meningkatnya produktivitas padi
menyebabkan kekurangan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja untuk operasi
pertanian di daerah rawa pasang surut dapat diatasi dengan penggunaan alat
dan mesin pertanian. Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi
tanah, iklim, relif,
hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap
penggunaannya. Dalam hal ini menyangkut akibat-akibat pantai, penebangan
hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Lebih jauh dijelaskan, bahwa
karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur/ditaksir,
seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia dan sebagainya. Sifat-
sifat
tersebut saling berinteraksi. Wilayah rawa pasang surut merupakan satu
kesatuan geografis yang khas,
dibentuk oleh keadaan tata air yang khas pula. Kekhususan ini disebabkan
oleh
hasil kerjasama antara lain faktor iklim, tanah dan vegetasi di daratan antara
garis
pantai dan daratan yang dipengaruhi oleh keadaan dan ketinggian air laut
(Akhmad, 1996). Menurut Widjaja Adi et al (1993) dalam Widjaja Adi dan
Alihamsyah (1998) membagi lahan pasang surut ke dalam empat tipologi
utama,
yaitu: lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan lahan salin
dengan
tipe empat luapan, yaitu: A, B, C, D. lebih lanjut dijelaskan bahwa tipe A
yaitu
daerah yang terluapi air baik pasang besar maupun pasang kecil, tipe B adalah
rawa yang hanya terluapi pasang besar saja, tipe C yaitu daerah yang terluapi
air
pasang tetapi kedalaman air tanahnya < 50 cm dan tipe D sama seperti tipe C
tetapi kedalaman air tanahnya > 50 cm.

SIFAT FISIK dan KIMIA


Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir tanah yang
terdiri dari fraksi pasir (2.00 ≤ 0.05 mm), fraksi debu (0.005 ≤ 0.02 mm)
dan fraksi liat (<0.002 mm). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan
pada tabel 1, tekstur tanah tergolong dalam lempung liat berdebu. Tekstur
tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang berpengaruh pada sifat
kimia, fisika dan biologi tanah dan berperan bagi penetrasi akar tanaman
serta kemampuan retensi air tanah.

Berdasarkan analisis karakterisasi lahan sulfat masam, disimpulkan bahwa


lahan memiliki sifat fisik meliputi tekstur tanah lempung liat berdebu
dengan porositas total tanah yang baik. Sifat kimia lahan sulfat masam
memiliki pH tanah yang sangat masam dengan kandungan Al yang
tergolong
Jurnal Hexagro sedang serta kandungan Fe yang sangat tinggi dengan
kedalaman pirit yang dangkal.

KENDALA LAHAN RAWA PASANG SURUT


Tanah-tanah di daerah rawa pasang surut berkembang dari bahan endapan
muda yang berasal dari aktivitas pengendapan sungai-sungai yang bermuara
di
daerah tersebut. Bahan yang terangkut oleh aliran sungai terendapkan dalam
dua
macam lingkungan pengendapan, yaitu lingkungan pengendapan air tawar
(aluvial
sungai) yang terdapat pada bagian atas dan air payau/asin (aluvial marin) pada
bagian bawahnya.
D. LAHAN GAMBUT
Potensi lahan gambut sebagai lahan pertanian di Indonesia cukup luas sekitar
6 juta ha. Pemanfaatannya sebagai lahan pertanian memerlukan perencanaan
yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan
yang tepat karena ekosistemnya yang marginal dan fragile. Lahan gambut
sangat rentan terhadap kerusakan lahan, yaitu kerusakan fisik (subsiden dan
irriversible drying) serta kerusakan kimia (defisiensi hara dan unsur beracun).
Pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara lain
tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik yang
beracun dapat dikurangi dengan teknologi pengelolaan air dan menambahkan
bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu
dan Zn. Kahat unsur harauntuk memberikan hasil yang optimal pada sistem
usahatani dapat dilakukan dengan tindakan ameliorasi dan pemupukan.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar
21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut
sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%,
Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmaera
dan Seram 3%( Radjagukguk, 1992; 1995 ).
Pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian terdapat berbagai
kendala baik fisik, kimia maupun biologis. Lahan gambut merupakan lahan
yang sangat fragile dan produktivitasnya sangat rendah. Kendala sifat fisik
gambut yang paling utama adalah sifat kering tidak balik (irriversible drying),
sehingga gambut tidak dapat berfungsi lagi sebagai koloid organik.
Produktivitas lahan gambut yang rendah karena rendahnya kandungan unsur
hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman, tingkat kemasaman
tinggi, serta rendahnya kejenuhan basa. Tingkat marginalitas dan fragilitas
lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat gambut yang inherent, baik
sifat fisik, kimia maupun biologisnya.

SIFAT FISIK GAMBUT


Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak
balik (irriversible drying). Beberapa sifat fisik yang perlu diperhatikan
kaitannya dengan konservasi tanah gambut adalah kadar air serta kapasitas
memegang air. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari
berat keringnya(13 kali bobotnya) menyebabkan BD menjadi rendah. Bulk
density terkait dengan tingkat kematangan dan kandungan bahan mineral,
dimana semakin matang dan semakin tinggi kandungan bahan mineral maka
BD akan semakin besar dan tanah gambut semakin stabil (tidak mudah
mengalami kerusakan). Sajarwan (2007) mengemukakan bahwa terjadi
penurunan nilai BD dari pinggir sungai ke arah kubah gambut. Nilai BD tanah
gambut fibrik di Indonasia kurang dari 0,1 g/cm3 (0,06 - 0,15 g/cm3 )dan
gambut saprik lebih dari 0,2 g/cm3 (Driessen dan Rochimah, 1976) dan
gambut hemik/saprik antara 0,1 - 0,3 g/cm3 .

SIFAT KIMIA GAMBUT


Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan ,
ketebalan,dan jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat
dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya
kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari
senyawasenyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya
adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin,
protein, dan senyawa lainnya.Komposisi kimia gambut sangat dipengaruhi
oleh bahan induk tanamannya, tingkat dekomposisi dan sifat kimia
lingkungan aslinya aromatik yang memiliki gugus fungsional yang aktif
seperti karboksil, hidroksil dan amine. Karakteristik dari asam-asam organik
ini akan menentukan sifat kimia dari gambut. Sebagai akibat dari tingginya
asam organik, maka reaksi tanah pada umumnya masam. Namun karena
karena asam organik adalah asam lemah, maka pH tanah biasanya berkisar
antara 4 - 5. pH tanah bisa lebih rendah bila ada lapisan sulfidik yang
teroksidasi atau gambut yang terbentuk di atas lapisan tanah yang sangat
miskin seperti pasir kuarsa.
SIFAT BIOLOGI
Parameter analisis sifat biologi tanah gambut diantaranya adalah organisme
tanah yang meliputi (1) makrofauna menggunakan metode handsorting, (2)
mesofauna menggunakan metode Berlesse Tullgren (Modifikasi Djajakirana,
2000), dan (3) total mikrob menggunakan metode Plate Count); respirasi
tanah menggunakan metode Verstraete titrate; dan C-mic menggunakan
metode Sonifikasi.

KENDALA YANG DI HADAPI


Lahan gambut adalah ekosistem marginal dan fragile, sehingga dalam
pemanfaatannya harus didasarkan atas penelitian dan perencanaan yang
matang, baik dari segi teknis, sosial ekonomis maupun analisis dampak
lingkungannya. Tipe penggunaan lahan gambut harus mengacu pada
kapabilitas dan kesesuaian lahan agar diperoleh hasil optimal dan
berkelanjutan.Sifat fisik gambut, berpengaruh langsung terhadap tingkat
pengelolaan untuk penggunaan lahan tertentu. Gambut di Indonesia pada
umumnya memiliki BD rendah, sehingga, pemanfaatan untuk pertanian lahan
kering tidak bisa menghindari adanya proses subsiden dan irriversible drying.
Asamasam organik adalah bagian yang aktif dari tanah gambut dan
menentukan sifat kimia dari gambut tersebut. Gambut Indonesia umumnya
memiliki kandungan asam fenolat tinggi yang beracun bagi tanaman. Kation-
kation polivalen dapat menetralkan asam-asam tersebut secara efektif,
sehingga penambahan dalam dosis tepat dapat meningkatkan produktivitas
lahan gambut secara berkelanjutan.Lahan gambut sangat miskin hara makro
maupun mikro, sehingga perlu ditambahkan bila dimanfaatkan untuk
usahatani tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pemanfaatan lahan
gambut untuk pertanian hendaknya mempertimbangkan adanya kawasan
tampung hujan di bagian “dome” gambut yang berfungsi sebagai penyimpan
air untuk kawasan disekitarnya. Kawasan ini minimal luasnya 1/3 dari
ekosistem gambut tersebut.

Anda mungkin juga menyukai