Anda di halaman 1dari 7

Artikel Kimia Tanah

Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah


Fakultas Pertanian Universitas Andalas

Pengaruh Suhu Terhadap Pembentukan Pasir Semu Gambut dan


Pengaruh Lama Penggenanangan Terhadap Potensial Redoks pada
Berbagai Jenis Tanah

Hikmah Wulandari1, Amsar Maulana, Arestha Leo Lita, An Nisa Mutiara Fathi,
Muhammad Al Kusyairi, Rodiatul Annisa, Miranda Stefhani2

e-mail:hikmahwlndari2002@gmail.com

Abstract
Peat dries and does not return, it will form pseudo sand. It is called pseudo sand because physically
it remains peat soil but is no longer able to hold water like sand. The change or formation of
pseudo sand on peat soil takes a long time which will change with a little treatment given. Redox
potential value is closely related to soil acidity (pH). Oxidation-reduction conditions that occur in
flooded soils affect iron and manganese compounds in the soil. in flooded soil conditions will cause
the redox potential (Eh) of the soil to be low which results in lower levels of NO3-, S and Zn, and
increases the availability of Fe and P. Negative Eh values due to inundation indicate the system is in
a reduced state. A positive value indicates an oxidative state of the system.

Keywords : oxidative,peat soil, redox potential, pseudo sand, reduction

Pendahuluan
1.1 Pasir Semu
Gambut merupakan akumulasi sisa tumbuhan yang terdekomposisi sebagian dan terawetkan dalam
kondisi aerasi tidak sempurna dan kadar air yang tinggi. Gambut dapat terakumulasi di mana pun
jika kondisinya cocok, yaitu, di areal dengan kelebihan curah hujan dan drainase yang buruk atau
tergenang. Gambut terbentuk ketika bahan tumbuhan, biasanya di daerah berawa, terhambat untuk
terdekomposisi secara sempurna karena lingkungan yang asam kurang atau tidak mendukung
adanya aktivitas mikroba (Huat dkk., 2014). Pembentukan gambut tropika merupakan proses
pembentukan biomassa dari sisa tumbuhan setempat lebih cepat dibandingkan dengan proses
penguraian, maka terbentuklah lapisan bahan organik yang semakin tebal yang disebut tanah
gambut (Noor, M. dkk, 2014).

Lahan gambut dapat terbentuk melalui dua proses yaitu proses pengisian badan air (pembentukan
daratan) dan proses paludifikasi (Huat dkk., 2014). Sementara itu Rydin H., dan J.K. Jeglum (2016),
menyebutkan adanya 3 proses pembentukan gambut yaitu pengisian cekungan (terrestrialization),
pembentukan gambut primer dan paludifikasi. Tanah gambut tropika terbentuk secara bertahap
dengan memakan waktu yang sangat panjang. Selanjutnya proses pembentukan diikuti oleh proses
penyederhanaan atau penguraian menjadi ion (larut) dan gas (emisi) yang melibatkan

1
Artikel Kimia Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Andalas

mikroorganisme yang aktivitasnya juga memerlukan air, dan udara (Noor, M. Dkk, 2014). Akibat
kondisi lingkungan rawa yang reduktif, maka proses penimbunan sisa tumbuhan setempat
berlangsung lebih cepat dibandingkan proses penguraian, sehingga membentuk lapisan bahan
organik yang disebut gambut (Maas, 2012). Struktur gambut adalah bentuk permukaan yang akan
menentukan bagaimana air mengalir dan berfluktuasi. Saling keterkaitan ini menyiratkan bahwa
ketika salah satu dari komponen ini mengalami perubahan, komponen lainnya juga akan berubah.
Belum tentu perubahan terjadi sekaligus, tetapi dalam jangka panjang pasti akan terjadi (Schumann,
M. dan Joosten, H.,2010).

Terjadinya kondisi kering tak balik juga menunjukkan bahwa bagian aktif dari tanah gambut dalam
bentuk fase cair sebagian telah hilang. Menurut Sabiham (2011), penurunan kemampuan gambut
menyerap air berkaitan dengan penurunan ketersediaan gugus karboksilat dan OH-fenolat dalam
bahan gambut. Kedua komponen organik ini merupakan senyawa yang bersifat hidrofilik, sehingga
jika fase cair telah hilang maka gambut yang pada mulanya bersifat hidrofilik berubah menjadi
bersifat hidrofobik (menolak air). Ketika gambut mengalami kering tak balik maka akan terbentuk
pasir semu (pseudo sand). Disebut pasir semu karena secara fisik tetap tanah gambut tetapi tidak
mampu lagi menahan air seperti halnya pasir (Hardjowigeno, S., 2010). Hasil penelitian Masganti
dkk. (2011) menunjukkan bahwa munculnya sifat hidrofobisitas gambut saprik terjadi pada tingkat
lengas 54,89 % dengan lama pengeringan 7 jam 30 menit.

Pasir semu adalah suatu keadaan dimana tanah gambut memiliki sifat seperti pasir yaitu tidak dapat
menahan air namun secara fisik tanah ini memiliki tetap tanah gambut. Pasir semu terbentuk akibat
tanah gambut yang terlalu kering atau melewati batas kering tak balik yang terjadi pada tanah
gambut (tanah yang berasal dari pelapukan bahan organik).sifatnya sama seperti air, apabila
diberikan air maka tidak bisa menyerap air (Hardjowigeno, 2013).

Kondisi jenuh air dan juga tergenang pada tanah histosol dapat mencegah penghancuran dan
mineralisasi bahan organik yang pada waktunya akan membentuk timbunan bahan organik yang
merupakan gambut topogen atau gambut air tanah. Oleh karena itu, lahan gambut jenuh air dan
longgar BV nya rendah. Gambut mempunyai daya dukung beban atau daya tumpu yang rendah.
Akibat dari sifat ini jika tanah gambut jika tanah gambut mengalami pengeringan karena drainase,
gambut akan mengecil dan dan diwujudkan dalam bentuk subsisdensi atau penurunan permukaan
tanah gambut tersbut (Hakim et al, 2013).

Pasir semu memiliki sifat seperti pasir, yaitu bersifat tidak dapat menahan air.proses perubahan atau
terbentuknya pasir semu pada tanah gambut memerlukan waktu yang lama yang akan berubah
dengan sedikit perlakuan yang diberikan. Jika tanah gambut berubah dai sangat menyerap air
menjadi menjadi sama sekali tidak menyerap air, kondisi inilah yang menjadikan tanah gambut
menjadi pasir semu. Tanah gambut adalah tanah yang berlapisan cukup tebal yang merupakan
pengendapan bahan organik atau pengendapan setempat yang terutama terdiri atas sisa jaringan
tumbuhan yang menumbuhi daerah rawa. Lahan gambut yang dijadikan sebagai lahan pertanian
harus diperhatikan pengelolaannya terutama mengenai drainasenya, dimana drainase harus diatur
agar tidak terlalu kering atau pun sangat tergenang. Bila tanah gambut terlalu jenuh, maka tanah
akan bersifat mudah meloloskan air, namun apabila tanah bersifat kering maka tanah tidak mampu
menahan air sehingga tanah menjadi rentan terbakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan drainase pada tanah gambut dapat meningkatkan emisi gas CO2 hingga 15-20%
dibandingkan apabila tidak berdrainase. Pencampuran lumpur dengan gambut secara nyata telah
meningkatkan kandungan kation-kation berupa Ca, Mg, dan Na menjadi dapat dipertukarkan,
kejenuhan basa dan pH tetapi menurunkan KTK dan P tersedia Hanafiah, 2015).

2
Artikel Kimia Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Andalas

1.2 Potensial Redoks


Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi tanaman adalah
genangan. Genangan merupakan kandungan lengas tanah di atas kapasitas lapang. Dampak buruk
tehadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang disebabkan oleh genangan yaitu menurunkan
pertukaran gas antara udara dan tanah yang mengakibatkan berkurangnya ketersediaan O2 bagi akar,
menghambat distribusi O2 bagi akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah
maupun menghambat laju difusi). Proses respirasi, permeabilitas akar, penyematan N, penyerapan
air dan hara juga bisa berpengaruh akibat adanya genangan. Genangan menyebabkan kematian akar
di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat
permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.

Potensial redoks (Eh) adalah sifat kimia tanah yang pertama kali berubah akibat pengairan (Ethan,
2015; Fan et al., 2014). Berkurangnya O2 dalam pori tanah akibat terdesak air menjadikan tanah
sawah lebih reduktif atau menurun Eh-nya. Selanjutnya, pengairan menyebabkan konvergensi pH,
yaitu perubahan pH tanah menuju netral. Pada tanah masam yang banyak mengandung Fe, kondisi
lebih reduktif akibat peningkatan KAL menyebabkan kenaikan pH yang dipengaruhi oleh reaksi
keseimbangan Fe(OH)3 → Fe(OH)2-H2O. Kondisi lebih reduktif akibat pengairan pada tanah
alkalin menyebabkan penurunan pH yang dipengaruhi oleh reaksi keseimbangan CaCO3→ CO2-
H2O (Ponnamperuma, 2010).

Potensial redoks adalah suatu ukuran yang dipergunakan untuk mengukur adanya perpindahan
electron (e-). Dengan demikian, potensial redoks erat kaitannya dengan proses reduksi dan oksidasi
(redoks). Perubahan potensial redoks merupakan parameter yang paling penting untuk menentukan
sifat elektro kimia suatu tanah. Apabila tanah digenangi, oksigen didesak keluar dan proses
dekomposisi berlangsung dalam keadaan anaerob. Ketika seluruh ruang pori tanah diisi air,
ketersediaan oksigen dalam tanah berkurang drastic. Hal ini menyebabkan terjadinya difisit air.

Nilai potensial redoks berhubungan erat dengan kemasaman tanah (pH). Kondisi reduksi-oksidasi
yang terjadi pada tanah tergenang mempengaruhi senyawa besi dan mangan di dalam tanah
(Kozlowski, 2014). Menurut Suntari et al. (2013), menjelaskan bahwa pada kondisi tanah yang
tergenang akan menyebabkan potensial redoks (Eh) tanah menjadi rendah.

Dari berbagai hasil penelitian, terbukti bahwa penggenangan Ultisols menyebabkan perubahan nilai
potensial redoks (Eh) menjadi lebih kecil dan pH tanah mendekati netral, sehingga berdampak pada
berubahnya kesetimbangan perilaku hara terutama Al, Fe, Mn, N, P, K, S, Zn, Cu, dan Si.
Penggenangan dapat meningkatkan ketersediaan P dalam larutan tanah, akibat menurunnya
potensial redoks (Eh), meningkatnya pH tanah dan menurunnya reaktivitas gugus aluminol dan
ferol dari permukaan mineral Kaolinit, Gibsit, dan Goetit terhadap anion fosfat. Pemahaman
mengenai nasib kimia permukaan Ultisols yang disawahkan ditinjau dari aspek mineralogi,
karakteristik muatan permukaan, dan kesetimbangan kimia dalam larutan tanah dapat dijadikan
dasar dalam pengelolaan hara, terutama dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas
pemupukan fosfat.

Penggenangan akan menurunkan potensial redoks yang mengakibatkan turunnya kadar NO3-, S
dan Zn, dan meningkatkan ketersediaan Fe dan P. Nilai Eh yang menjadi negatif akibat
penggenangan mencirikan sistem dalam keadaan tereduksi. Nilai positif mencirikan keadaan
sistem yang oksidatif (Ponnamperuma 2012).

3
Artikel Kimia Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Andalas

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Suhu Terhadap Pembentukan
Pasir Semu Gambut dan Pengaruh Lama Penggenanangan Terhadap Potensial Redoks pada
Berbagai Jenis Tanah.

Bahan dan Metode


2.1 Pasir Semu
2.1.1 Waktu dan Tempat
Praktikum dilakukan secara langsung di Laboratorium Kimia Tanah, Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas pada tanggal 5 April 2022
2.1.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum pasir semu ini yaitu cawan alumunium dan oven.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pasir semu tanah gambut, dan air.
2.1.3 Metode
Dalam penetapan Potensial redoks digunakan metode Gravimetry dengan cara kerja yaitu: (1)
Ditimbang berat awal cawan, dengan jumlah cawan sebanyak 9 buah; (2) Ditimbang 10 gram tanah
gambut masing masing cawan dan beri label pada cawan; (3) Diinkubasi sample pada suhu 25, 60,
dan 105 derajat celcius; (4) Setelah satu minggu inkubasi, ditimbang tanah dan ditambahkan air
dengan perbandingan 1 : 1 kemudian didiamkan selama 2 x 24 jam; (5)Setelah didiamkan lalu di
oven selama 1 x 24 jam; (6) Selanjutnya ditimbang berat cawan dan lakukan perhitungan.

2.2 Potensial Redoks


2.2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum dilakukan secara langsung di Laboratorium Kimia Tanah, Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas pada tanggal 20 maret 2022
2.2.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Potensial redoks ini yaitu tabung ukur dan Ph meter.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum Potensial redoks yaitu anah dan aquades.
2.2.3 Metode
Dalam penetapan Potensial redoks digunakan metode volumetry dengan cara kerja yaitu: (1)
Dimasukan tanah kedalam tabung ukur sebanyak 1/3 dari tinggi tabung ukur, tandanya terdapat 5
sample; (2) Ditambahkan aquades sampai kondisi tanah jenuh dan tinggi air 5 cm diatas permukaan
tanah dan beri tanda kemudian di diamkan;(3) Apabila terjadi penurunan muka air, ditambahkan
aquades sesuai dengan tanda yang ada; (4) Didiamkan selama 1 bulan dengan tetap di amati tinggi
permukaan airnya; (5) Setelah satu bulan diukur potensial redoksnya menggunakan ph meter dan
catat.

Hasil dan Pembahasan


3.1 Hasil
3.1.1 Analisis Hasil Pengukuran Pasir Semu
Suhu Minggu 1 (%) Minggu 2 (%) Minggu 3 (%)
25 214,48 101,85 93,33
60 108,43 94,91 79,27
105 87,24 83,71 72,17

4
Artikel Kimia Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Andalas

Pasir Semu
250

200

150

100

50

0
25 60 105

Minggu 1 (%) Minggu 2 (%) Minggu 3 (%)

3.1.2 Analisis Hasil Pengukuran Potensial Redoks


Jenis Tanah Hasil eH

Regosol 235

Histosol 184

Sawah 279

Andisol 83

Ultisol -1

5
Artikel Kimia Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Andalas

3.2 Pembahasan
3.2.1 Pasir Semu
Pada praktikum pengukuran pasir semu didapatkan pada suhu 250C maka penambahan airnya juga
banyak hal ini disebabkan karena pada suhu yang rendah tanah tidak mampu menyerap air oleh
karena itu penambahan airnya juga semakin sedikit. penurunan kemampuan gambut menyerap air
berkaitan dengan penurunan ketersediaan gugus karboksilat dan OH-fenolat dalam bahan gambut.
Kedua komponen organik ini merupakan senyawa yang bersifat hidrofilik, sehingga jika fase cair
telah hilang maka gambut yang pada mulanya bersifat hidrofilik berubah menjadi bersifat
hidrofobik (menolak air). Ketika gambut mengalami kering tak balik maka akan terbentuk pasir
semu (pseudo sand). Disebut pasir semu karena secara fisik tetap tanah gambut tetapi tidak mampu
lagi menahan air seperti halnya pasir.

Pada suhu 1050C yang merupakan suhu tertinggi maka dapat dilihat bahwa penambahan airnya
lebih sedikit setiap minggunya dibanding dengan suhu yang lain, hal ini disebabkan oleh pada suhu
yang tinggi tanah mampu menyerap air sehingga untuk kebutuhan penambahan airnya semakin
tinggi. Untuk KA % hilang, semakin tinggi suhu maka KA% hilangnya semakin besar, dapat dilihat
pada suhu terendah yaitu 250C pada minggu pertama KA% hilangnya sebesar 21,4 dan minggu
kedua 22, 55 dan minggu ketiga sebesar 83,49. Pada suhu Tertinggi yaitu pada suhu 1050C
didapatkan bahwa KA % hilang pada minggu pertama yaitu 82,81, minggu kedua 108,11 dan
minggu ketiga 303,4.

3.2.2 Potensial Redoks


Potensial redoks (Eh) adalah sifat kimia tanah yang pertama kali berubah akibat pengairan.
Berkurangnya O2 dalam pori tanah akibat terdesak air menjadikan tanah sawah lebih reduktif atau
menurun Eh-nya. Selanjutnya, pengairan menyebabkan konvergensi pH, yaitu perubahan pH tanah
menuju netral. Pada tanah masam yang banyak mengandung Fe, kondisi lebih reduktif akibat
peningkatan KAL menyebabkan kenaikan pH yang dipengaruhi oleh reaksi keseimbangan Fe(OH)3
→ Fe(OH)2-H2O. Kondisi lebih reduktif akibat pengairan pada tanah alkalin menyebabkan
penurunan pH yang dipengaruhi oleh reaksi keseimbangan CaCO3→ CO2- H2O.

Kondisi tanah yang tergenang akan menyebabkan potensial redoks (Eh) tanah menjadi rendah.
Nilai potensial redoks berhubungan erat dengan kemasaman tanah (pH). Kondisi reduksi-oksidasi
yang terjadi pada tanah tergenang mempengaruhi senyawa besi dan mangan di dalam tanah.
Berdasarkan hasil analisis pengaruh lama penggenangan terhadap potensial redoks pada berbagai
jenis tanah menunjukkan bahwa tanah sawah setelah dilakukan penggenangan memiliki potensial
redoks tertinggi yaitu 279 mV dan tanah dengan potensial redoks terendah adalah tanah ultisol yaitu
-1 mV.

Kesimpulan
Berdasarkan Praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa KA % hilangnya
berhubungan dengan suhu yang semakin tinggi maka KA %hilang nya semakin besar. begitupun
dengan penambahan airnya , Apabila suhunya semakin tinggi maka tanah semakin tidak mampu
menyerap air maka penambahan airnya semakin sedikit. Pada potensial redoks, kondisi tanah yang
tergenang akan menyebabkan potensial redoks (Eh) tanah menjadi rendah. Nilai potensial redoks
berhubungan erat dengan kemasaman tanah (pH). Kondisi reduksi-oksidasi yang terjadi pada tanah
tergenang mempengaruhi senyawa besi dan mangan di dalam tanah.

6
Artikel Kimia Tanah
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Andalas

Ucapan Terima Kasih


Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesehatan dan kekuatan sehingga saya dapat menyelesaikan jurnal ini dengan baik. Penulis ucapkan terima
kasih kepada Prof. Dr. Ir. Herviyanti, MS selaku dosen penanggung jawab praktikum, Amsar Maulana S.P.
MP., Arestha Leo Lita S.P., An Nisa Mutiara Fathi S.P., Muhammad Al Kusyairi, Rodiatul Annisa, dan
Miranda Stefhani selaku asisten pembimbing pembuatan jurnal. Penulis menyadari bahwa jurnal ini juga tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan jurnal
ini. Penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan jurnal ini agar dapat bermanfaat.

Daftar Pustaka
Ethan, S. 2015. Effect of flooding on chemistry of paddy soils. J. Inovat. Sci. Eng. Techno., 2: 413-420.
Fan, M.S., R.F. Liang, E.S. Zhang, S.H. Lu and X.J. Liu. 2014. Nutrient management strategy of paddy
rice upland crop rotation system. Chinese J. Appl. Ecol., 19: 421-432.
Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H. H.
Bailey, 2013. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.
Hanafiah, Kemas Ali. 2015. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hardjowigeno. S, 2010. Ilmu Tanah. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.
Hardjowigeno. S, 2013. Ilmu Tanah. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo.
Huat, Bujang B.K., Arun Prasad, Afshin Asadi, Sina Kazemian, 2014. Geotechnics of Organik Soils and Peat.
CRC Press/Balkema. ISBN: 978-0-203- 38630-9
Kozlowski, T.T. 2014. Response of Woody Plants to Flooding and Salinity. Heron Publising: Victoria-
Canada.
Maas, A. 2012. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan gambut masa mendatang. Kata Pengantar. Hlm.
xvii-xxiii. Dalam M. Noor et al. (Eds.). Lahan Gambut : Pemanfaatan dan Pengembangannya untuk
Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Masganti , T. Notohadikusumo, A. Maas dan B. Radjagukguk. 2011. “Hidrofobisitas dan Perubahan Sifat
Kimia Bahan Gambut.” Hasil Penelitian Intern . Makalah Seminar HGI IV, Jakarta. 14 hlm
Noor, M., Masganti, dan Fahmuddin Agus, 2014. Pembentukan dan Karakteristik Gambut Tropika
Indonesia. Dalam: Lahan Gambut Indonesia Pembentukan, arakteristik, dan Potensi Mendukung
Ketahanan Pangan (Edisi Revisi), Penyunting Fahmudin Agus, Markus Anda, Ali Jamil dan
Masganti. IAARD Press, Jakarta. ISBN 978-602-344-034-4.
Ponnamperuma, F.N.2010. Chemical kinetics of wetland rice soil relative to soil fertility, p. 71-89 In Wetland
Soils: Characterization, Classification and Utilization. International Rice Research Institute. Los
Banos
Rydin, H., and J.K. Jeglum, 2016. The Biology of Peatlands. Oxford University Press. ISBN 019852871X.
Sabiham, S., 2011. Kadar Air Kritik Gambut Kalimantan Tengah dalam Kaitannya dengan Kejadian Kering
Tidak Balik. Jurnal Tanah Tropika 11 : 21 – 30.
Schumann, M. & Joosten, H. (2010) Global Peatland Restoration Manual. Institute of Botany and Landscape
Ecology, Griefswald University, Germany.
Suntari, R., R. Retnowati, Sumarno dan M. Munir. 2013. The effect of flooding and application of different
urea on soil chemical properties and N-available (NH4 + and NO3 - ) on Vertisols. International
Journal of Ecosystem 3(6), 196- 202.

Anda mungkin juga menyukai