Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Calon Guru Penggerak

Modul 1.4 Budaya Positif

Nama : Mustaman Laurensyah


Asal Sekolah : SMK Negeri 1 Bambalamutu
CGP Angkatan 9_Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat.

Berkolaborasi Membangun Budaya Positif.

Budaya positif sangat berkaitan erat dengan materi-materi yang telah dibahas dalam Modul
Program Guru Penggerak. Hal ini dikarenakan Budaya Positif menjadi sebuah bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari refleksi filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru
Penggerak, serta Visi Guru Penggerak. Jika semuanya dipahami maka akan dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan sekolah. Budaya positif
yang di dalamnya membahas tentang materi perubahan paradigma, konsep disiplin positif dan
motivasi, keyakinan kelas, pemenuhan kebutuhan dasar, lima posisi kontrol, serta segitiga
restitusi dapat ditumbuhkembangkan di sekolah melalui sebuah kegiatan dan pembiasaan yang
diawali dan dipelopori oleh calon guru penggerak.

Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif,
aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka,
mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk
disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Sudah sewajarnya, guru di sekolah
mulai menerapkan dan membangun budaya positif secara bersama-sama dengan warga sekolah,
bahu-membahu dengan dimulai dari diri sendiri, untuk selanjutnya ditularkan kepada murid kita
sebagi subyek pendidikan dalam rangka menggapai Profil Pelajar Pancasila. Seperti diketahui,
Profil pelajar Pancasila dapat terbentuk dari lingkungan sekolah yang memiliki budaya positif.
Terwujudnya budaya positif ini memerlukan proses dan kolaborasi semua warga sekolah, orang
tua, dan lingkungan masyarakat.
Oleh karenanya, diperlukan peran guru penggerak untuk dapat mewujudkannya. Peran guru
penggerak sebagai pemimpin pembelajaran dapat secara nyata menggerakkan komunitas praktisi,
menjadi coach bagi guru dan mendorong kolaborasi antar guru untuk bersama-sama
mewujudkan budaya positif. Peran ini dapat diwujudkan apabila guru penggerak memiliki nilai-
nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid. Berdasarkan filosofi Ki
Hadjar Dewantara, tidak ada keabadian dalam kehidupan manusia dan lingkungannya. Pengaruh
alam dan zaman adalah penguasa kodrat yang tidak bisa dihindari oleh manusia.

Anak-anak merupakan sebuah kehidupan yang akan tumbuh menurut kodratnya sendiri, yaitu
kekuatan hidup lahir dan hidup batin mereka. Maka, Ki Hadjar Dewantara menekankan arti
penting memperhatikan kodrat alam dalam diri anak semasa pendidikan. Hal tersebut berarti
Pendidikan itu sudah setua usia manusia ketika manusia mulai bertahan hidup dan
mempertahankan hidup dengan membangun peradabannya. Mendidik anak itu sama dengan
mendidik masyarakat karena anak itu bagian dari masyarakat. Mendidik anak berarti
mempersiapkan masa depan anak untuk berkehidupan lebih baik, demikian pula dengan
mendidik masyarakat berarti mendidik bangsa.

Budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di


sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis,
penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang
peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya
positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga
diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi
pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan
disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.

Penting bagi guru untuk memahami bagaimana guru harus memposisikan diri saat berhadapan
dengan murid. Oleh karena itu, dalam sesi ini kita harus merefleksi diri seperti Guru apa kita
selama ini. Dalam komponen kelas, posisi guru dapat dikatakan sebagai penggerak utama. Hal
ini mewujudkan juga adanya kontrol guru dalam proses belajar mengajar. Terwujudnya Budaya
Positif, tantangannya banyak dan tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan satu cara saja.
Butuh cara yang bervariasi untuk menuntun murid sampai mereka benar-benar dapat berubah
menjadi bertanggung jawab dan mandiri. Penerapan akan tidak memberikan hukuman lagi tetapi
lebih pada pembinaan terhadap murid, kita harus memosisikan diri sebagai manajer dalam upaya
mendidik murid. Artinya membiarkan murid menemukan dan sadar sendiri apa yang dapat
dilakukan untuk merubah diri dan apa yang akan dilakukan terkait masalah yang dialami. Dalam
proses menuntun dan mendidik tidak lagi dibutuhkan ancaman, paksaan atau memberi hukuman
kepada murid. Praktik nyata tentang segitiga restitusi yang ada dalam modul 1.4 memberi dasar
pemahaman kepada kita untuk memupuk disiplin positif.

Disiplin positif merupaka model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif murid agar
menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung. Disiplin positif mengajarkan keterampilan
sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat dan
membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua,
guru, staf administrasi, dan lainnya). Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang
berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial,
emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat
mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.

Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid diawali dengan
membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan
menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam
pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar
mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Seringkali permasalahan dengan murid
berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu
aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini
menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik.

Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama
membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya
berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun
dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid. Dalam menyusun kesepakatan kelas,
guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat
mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 – 8 aturan untuk setiap
kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari
kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat
memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka.

Sekolah memiliki peran penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan


kepada murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar perubahan berhasil, diperlukan pendekatan
terkoordinasi yang melibatkan semua peran di komunitas sekolah. Sekolah perlu bekerja dengan
orangtua untuk memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka
dengan informasi dan alat untuk mempraktikkan disiplin positif di rumah. Dengan pemahaman
yang komprehensif akan konsep budaya positif berikut konsep mengenai posisi kontrol guru dan
disiplin positif yang merupakan landasan dalam membangun budaya positif di sekolah, guru
memiliki bekal yang memadai dalam menjalankan peran untuk membangun budaya positif di
sekolah.

Materi restitusi dengan jelas menguraikan bahwa tujuan restitusi adalah sebagai disiplin positif.
Penekanannya bukan pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau
menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-
nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui restitusi ketika murid berbuat salah, guru akan
menanggpai dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang
apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali
harga dirinya. Dalam arti itu, maka restitusi menguntungkan korban tetapi juga menguntungkan
orang yang telah berbuat salah. Dalam teori restitusi tidak ada yang salah, yang ada adalah
menang menang.
Dengan melaksanakan restitusi ini anak dibimbing memperbaiki kesalahannya dan untuk
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Mudah-mudahan budaya positif di sekolah
dapat terwujud seiring dengan penerapan konsep disiplin positif dan motivasi, keyakinan kelas,
pemenuhan kebutuhan dasar, lima posisi kontrol, serta segitiga restitusi. Dengan dimulai dari
diri, dari yang kecil semoga bisa menular dan mengilhami semua warga sekolah dan profil
Pelajar Pancasila dapat terwujud sehingga Merdeka Belajar akan terasa di lingkungan sekolah
kita.

Akhirnya, membangun budaya positif yang berpihak pada murid adalah dengan mengembangkan
visi bersama tentang apa yang ingin dicapai sekolah. Daripada berfokus pada masalah dan
perilaku buruk, ada baiknya kita mulai dengan melihat hal-hal positif yang sudah berhasil di
sekolah. Ini semua akan memberikan landasan untuk membangun visi bersama bagi komunitas
sekolah yang berpusat pada diri murid dan pemberdayaannya sehingga akan membawa visi
tersebut menjadi kenyataan.
Berikut uraian model refleksi setelah mempelajari Modul 1.4 Budaya.

Facts (Peristiwa) :
Selasa tanggal 17 Oktober 2023. Saya melakukan praktik segitiga restitusi dengan alur cerita
yang cukup sederhana. Sahra siswi kelas XI Multimedia ketika mengikuti pelajaran di kelas pak
Andi memberikan tugas untuk diselesaikan selama jam pelajaran berlangsung. Pak Andi
memeriksa tugas yang dikerjan siwa, Semuanya telah mengumpulkan tugas yag diberikan pak
guru, hanya Sahra yang tidak mengumpulkan tugas tersebut. Di Sore hari jadwal kegiatan
ekstrakurikuler pramuka dilaksanakan, Sahra tidak hadir mengikuti kegiatan eskul. Keesokan
harinya pak Andi saat jam istirahat memanggil Sahra ke ruangan pak Andi untuk menyakan
perihal tugas yang tidak dikumpulkan Sahra dan mengapa saat kegiatan eskul pramuka Sahra
juga tidak megikuti kegiatan eskul tersebut.

Pertama, setelah percakapan antara pak Andi dan Sahra, akhirnya diketahui penyebabnya. Sahra
tidak mnegerjakan tugas di kelas karena mengatuk akhirnya ketiduran, saat tugas dikumpulkan
Sahra baru bangun dari tidurnya. Kedua penyebab Sahra tidak mengikuti kegiatan eskul pramuka
karena ada acara keluarga di rumah, sehingga Sahra tidak ke sekolah. Namun, Sahra tidak
mengkongfirmasi ke pak Andi perihal penyebab Ia tidak mengikuti kegiatan eksul pramuka.
Dalam praktik segitiga restitusi pak Andi memposisikan diri sebagai manajer.

Feelings (Perasaan):
Perasaan yang saya alami selama Praktik segitiga restitusi adalah senang karena telah memahami
penerapan budaya positif di lingkungan sekolah dan telah mempraktikan segitiga restitusi
sebagaibentuk pembelajaran agar lebih memahami apa dan bagaimana penerapan segitiga
restitusi dalam menyelesaikan permasalahan siswa dan memberikan solusi yag tepat tanpa
memarahi atau memberi hukuman kepada Sahra yag telah melanggar keyakinan kelasnya.
Sahra juga merasa senang dan surprise, ada sesuatu yang berbeda ketika menyelesaikan masalah
tidak mengerjakan tugas dan tidak mengikuti kegiatan eskul pramuka. Sahra merasa bahagia
bahwa guru tidak memarahi dan tidak memberikan hukuman kepada Sahra.
Findings (Pembelajaran):
Pelajaran yang sangat berharga dan bermakna buat saya sebagai seorang pendidik adalah saya
merasa bahagia dan bersyukur karena telah memahami cara menyelesaikan permasalahan siswa
dengan sederhana, aman dan nyaman. Siswa juga merasa diperhatikan, dan diperlakukan dengan
baik, merasa diperlakukan dengan baik. Tidak dimarahi dan tidak memberikan sanksi fisik atau
hukuman lainnya. Seorang pendidik hanya perlu bersabar dan mengontrol emosi atau perasaan
yang dapat merugikan diri sendiri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa. Ada
bayak cara yang bisa dilakukan oleh seorang guru untuk sekadar mendisiplinkan siswa atau
berperan dalam menyelesaikan permasalahan siswa tanpa kekerasan atau tanpa hukuman.

Future (Penerapan) :
Sederhana namun sangat bermakna, menerapkan kolaborasi dalam memahami permasalahan
siswa. Langkah awal yag perlu dilakukan adalah membuat keyainan kelas dan melibatkan siswa
secara langsung dalam proses penyusunan keyakinan kelas. Memberikan ruang demokrasi
kepada siswa dalam menyalurkan aspirasi atau pendapat terkait keyakinan kelas atau bahkan
kesepakatan kelas. Agar tercipat suasana kelas yang aman, nyaman, menyenangkan bagi murid
dalam proses pembelajaran di kelas. Meski demikian, tentunya penerapan budaya positif secara
umum dan penerapan segitiga restutusi secara khusus pasti memiliki tantangan yang harus
dihadapi. Misalnya, masih terdapat guru yang melakukan pemberian hukuman atau sanksi
kepada siswa ketika melakukan pelanggaran. Atau masih terdapat guru yang belum memahami
apa dan bagaimana segitiga restitusi itu. Siswa juga perlu mengetahui penerapan segitiga restitusi
agar siswa lebih mudah diberikan arahan atau pemahaman terkait dengan sikap seperti apa yag
perlu siswa tingkatkan dan tindakan apa yang baik untuk dilakukan oleh siswa ketika melakukan
kesalahan atau pealnggaran aturan di lingkungan sekolah.

Demikian refleksi dwi mingguan yang saya susun pada kesempatan ini. Semoga tulisan ini dapat
memberikan wawasan dan inspirasi bagi siapa saja yang tertarik pada program guru penggerak
Terima kasih.

Salam Guru Penggerak,


Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Anda mungkin juga menyukai