Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356188331

Hak dan Kewajiban

Preprint · October 2021


DOI: 10.13140/RG.2.2.35918.59204/1

CITATIONS READS
0 2,549

1 author:

Shidarta Shidarta
Binus University
433 PUBLICATIONS 272 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Digital Paul Scholten Project View project

Legal Text-Mining View project

All content following this page was uploaded by Shidarta Shidarta on 20 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

BINA NUSANTARA BINUS UNIVERSITY Business Law

People Innovation Excellence

Home Rubric of Faculty Members HAK DAN KEWA JIBAN

HAK DAN KEWA JIBAN

Oleh SHIDARTA (Oktober 2022)

Tulisan ini semula dipersiapkan sebagai bagian dari buku yang akan diterbitkan atas inisiatif Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta. Draf tulisan ini
tentu tidak sepenuhnya bakal sama dengan isi buku (kumpulan tulisan bersama dengan penulis
lain) yang diharapkan dapat diluncurkan pada tahun 2022. Salah satu materi dari tulisan tersebut
menyoroti kaitan antara hak asasi manusia dan hukum keperdataan. Atas dasar latar belakang
itulah, tulisan ini membawa kita pada satu tema perenial dalam filsafat hukum, yakni tentang hak
dan kewajiban.

Dalam studi hukum, sangat lazim kita menghadap-hadapkan konsep hak dengan kewajiban.
Apeldoorn menelusuri kedua konsep ini dengan mengatakan keduanya sebagai dua segi dari
satu hubungan hukum. Seolah-olah jika pada satu pihak terdapat hak, maka pada pihak lain
terdapat kewajiban (timbul secara refleks). Kelsen memberi penjelasan yang sedikit berbeda,
dengan mengatakan bahwa konfigurasi hak dan kewajiban itu berkaitan dengan hubungan antara
hukum dan moral. Dalam buku “Pure Theory of Law” (Bab IV Bagian 29), Kelsen menyatakan bahwa
moral selalu mengedepankan kewajiban, sebaliknya hukum selalu mengedepankan hak.

Dalam bahasa Jerman dan Belanda, kata “hak” dan “hukum” memang menggunakan terminologi
yang sama, yakni Recht. Hukum adalah Recht im objektiven Sinne (hukum dalam pengertian
objektif), sedangkan hak adalah Recht im subjektiven Sinne (hukum dalam pengertian
subjektif). Setiap individu dipahami sejak dilahirkan, pastilah sudah memiliki kebebasan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Itulah hakikat dari hak, yakni kebebasan bagi si subjek

1 of 7 20/11/21 08.59
HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

hukum untuk berperilaku. Kelsen menyebutkan hak demikian sebagai kebolehan yang positif
(positive permission). Jika kita memiliki hak, berarti kita memiliki kebolehan untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang. Sampai di sini kita pahami bahwa karena semua orang
memiliki kebolehan seperti itu, akhirnya izin demikian memunculkan ketidakbebasan pula.
Ketidakbebasan tersebut datang karena perbenturan kebebasan-kebebasan yang memunculkan
potensi konflik. Perbenturan terjadi apabila kebolehan melakukan sesuatu itu dilaksanakan secara
melampaui batas, yang kerap disebut penyalahgunaan hak (misbruik van recht; abuse of right).

Hukum dikatakan objektif apabila ia memuat aturan-aturan yang berlaku umum. Sementara itu,
hukum dikatakan subjektif apabila hukum berurusan dengan hubungan hukum yang konkret
dengan melibatkan subjek-subjek hukum di dalamnya. Di sinilah masing-masing subjek hukum itu
akan mengklaim telah memiliki hak atas hubungan hukum itu dan menuntut pihak lawan
menghormati hak tadi. Dengan perkataan lain, hak-hak itu saling berusaha satu sama lain agar
dipenuhi oleh pihak lawan pada hubungan hukum itu.

Klaim-klaim itu akan memanas jika suatu hubungan hukum telah sampai pada tahap sengketa.
Namun, karena manusia adalah mahluk sosial, maka dengan sendirinya manusia selalu rindu
untuk memiliki sebanyak mungkin teman yang dapat mendukung keberadaan dirinya. Dengan
demikian konflik sedapat mungkin dihindari agar tidak sampai merusak kebersamaan
(kolektivitas). Tenggang rasa dan toleransi terhadap hak orang lain, sesungguhnya adalah dalam
rangka mempertahankan kebersamaan itu. Tuntutan tersebut tidak harus dipaksakan oleh
siapapun dan dengan kekuatan dari manapun karena memang naluri setiap manusia
menghendakinya demikian. Aturan kencana (golden rule) mengatakan, “Jangan engkau lakukan
kepada orang lain apa yang tidak engkau inginkan orang lain lakukan terhadapmu!” Prinsip ini
diakui oleh semua agama dan dipandang sebagai prinsip utama dalam moralitas. Kata “jangan” di
sini menunjukkan adanya kewajiban yang bernada negatif (larangan).

Salah satu jenis norma yang sarat dengan muatan kewajiban adalah kesusilaan. Menurut
Apeldoorn, hukum sesungguhnya bertujuan untuk menjaga tata tertib masyarakat yang baik,
sementara kesusilaan bertujuan pada penyempurnaan diri seseorang. Jadi, moralitas memiliki
kedalaman karena menyentuh langsung sisi internal kejiwaan manusia. Moralitas bersifat
otonom. Sebagian besar moralitas menghuni domain otonom manusia itu. Hal ini berbeda
dengan hukum yang sudah cukup puas apabila dapat mengobservasi perilaku manusia secara
fisik. Jika ada seorang pengendara sepeda motor berhenti karena lampu lalu lintas berwarna
merah, maka perilaku itu sudah cukup di mata hukum. Hukum tidak akan menyelidiki lebih jauh
apakah secara internal pengemudi itu ikhlas untuk berhenti pada saat itu. Moralitas tentu tidak
puas dengan perilaku kasatmata seperti itu. Moralitas akan mempersoalkan sisi internalnya, yakni
apakah si pengendara sepeda motor itu benar-benar menyadari kewajibannya untuk berhenti.
Bukan karena hukum, melainkan karena moralitasnya memintanya melakukannya. Immanuel
Kant menyebutkan hal ini sebagai imperatif kategoris (kewajiban moral tanpa syarat).

2 of 7 20/11/21 08.59
HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

Contoh di atas tidak berarti bahwa hukum tidak peduli dengan aspek otonom itu. Kewajiban
moral seperti ini penting karena muatan inilah yang akan diambil alih oleh hukum dan diolah
menjadi substansi hukum. Atas dasar itu, hukum tersebut lalu memiliki dasar keberlakuan
filosofis

Dalam wacana tentang hukum dalam makna subjektif, perbincangan kita akan berfokus pada hak
versus kewajiban. Keduanya memang populer untuk dipasangkan. Pertanyaannya adalah: di
antara hak dan kewajiban itu, mana yang lebih dulu muncul? Penganut aliran hukum kodrat
meyakini haklah yang terlebih dulu ada. Hal serupa juga dipersepsikan oleh Mazhab Sejarah.
Hans Kelsen menjelaskan persoalannya sebagai berikut:

The traditional view that the right and the obligation are two different objects of legal cognition,
that, in fact, the former has a priority in relation to the latter, is probably rooted in the natural
law doctrine. This doctrine assumes the existence of natural rights, inborn in man, hat are valid
before any positive legal order is established. Among these natural rights, the right of individual
property plays a major role. The function of a positive legal order (i.e. of the state), which
terminates the state of nature, is–according to this doctrine–to guarantee the natural rights by
stipulating corresponding obligations. This view has influence the representatives of the School of
Historical Jurisprudence, who inaugurated the legal positivism of the nineteenth century and
decisively influence the concept of a general theory of law.

Jadi, antara aliran hukum kodrat dan mazhab sejarah memiliki kesamaan dalam melihat hak. Hak
ini adalah hukum dalam pengertian subjektif dan hadir sebagai kenyataan pra-positif. Aliran
hukum kodrat memandang hak sudah ada secara alami tanpa harus menunggu hukum positif
menghadiahkannya kepada kita. Mazhab sejarah juga berpikiran demikian, bahwa hak pun telah
hadir melalui pergulatan sejarah tanpa perlu dipositifkan oleh penguasa negara. Kalau pun
negara akhirnya turut campur, hal itu terjadi demi memastikan atau menjamin pemenuhan hak
tersebut.

Hak yang paling utama dan perlu hadir secara alami dan/atau historis itu adalah ha-hak
kebendaan. Setiap orang berkeinginan agar dirinya punya kebebasan untuk memiliki dan
menikmati kekayaannya berupa benda-benda, termasuk mengalihkan (mendistribusikan)
kekayaannya itu kepada siapapun. Hak kebendaan ini ada yang mutlak (absolut) dan ada yang
relatif. Dikatakan mutlak karena hak itu eksis dan dapat dipertahankan pada semua orang (jus in
rem). Jika saya memiliki sebidang tanah, maka tanah itu adalah hak mutlak bagi saya. Sementara
itu, hak yang relatif adalah hak yang eksis terkait pada orang-orang tertentu saja. Sebagai contoh,
jika saya memiliki piutang kepada seorang mitra bisnis, maka hak itu hanya eksis dan dapat
dituntut pada mitra bisnis saya itu saja (jus in personam). Hak seperti ini tidak berurusan dengan
semua orang.

3 of 7 20/11/21 08.59
HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

Bagaimana dengan hak asasi manusia, hak penduduk, dan hak warga negara? Hak-hak semacam
ini dapat digolongkan sebagai hak politik. Karakternya berbeda dengan hak dalam lapangan
hukum keperdataan. Hak politik ini biasanya dimuat di dalam konstitusi negara. Kelsen
mengingatkan bahwa jaminan hak politik di dalam konstitusi itu tidak dengan sendirinya
(otomatis) memberikan hak tersebut. Hak itu pada dasarnya memberikan larangan bagi
pembentuk undang-undang untuk mengeluarkan ketentuan yang mencederai hak politik setiap
manusia, penduduk, dan/atau warganegara. Ia menulis lebih lanjut sebagai berikut:

The “unconstitutional” statute is a valid law until it is individually or generally annulled. It is not
void, but voidable. The situation is analogous when the constitution guarantees freedom of
religion. Such a guarantee means that a statute prohibiting the exercise of a certain religion may
be annulled as unconstitutional.

Hak politik itu adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, namun ia membutuhkan peraturan
pelaksanaan, berupa undang-undang untuk menghadirkannya di dalam kenyataan. Bahkan,
apabila ada undang-undang yang tidak menjalankan amanat konstitusi itu, undang-undang itu
tidak serta merta batal demi hukum. Untuk pembatalannya undang-undang ini harus diproses
melalui permohonan uji material.

Sebagai contoh, Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan tidak boleh ada satu
bentuk hukuman pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata. Pasal 3 ini tidak ada
rumusannya di dalam konstitusi, tetapi kita dapat memahami kaitan pernyataan itu dengan hak
asasi manusia sebagaimana ditegaskan sebelumnya di dalam Pasal 1 KUH Perdata, bahwa
menikmati hak-hak keperdataan itu tidak bergantung pada hak-hak kenegaraan (baca: pemberian
negara). Kita dapat memformulasikan dengan kalimat lain, bahwa hak-hak keperdataan itu tidak
harus terlebih dulu ditransfromasikan terlebih dulu menjadi hak-hak politik. Kendati tidak
ditegaskan sebagai hak politik, misalnya di dalam konstitusi, ada kemungkinan pula pelanggaran
hak keperdataan itu secara implisit merupakan pelanggaran hak politik.

Kita ketahui bahwa penghukuman (penjatuhan sanksi) dalam bentuk apapun adalah suatu
pembebanan kewajiban bagi si penerima hukuman. Kewajiban tersebut tidak boleh sekali-kali
mematikan hak-hak keperdataan seseorang, seperti hak untuk berkeluarga, memiliki keturunan,
dan memiliki harta kekayaan. Pembebanan seperti ini adalah pembebanan yang melampaui
batas. Lon Fuller mengingatkan kita dalam salah satu prinsip legalitasnya bahwa law should not
require conduct beyond the abilities of those affected. Jadi, apabila ada undang-undang di luar KUH
Perdata sampai memuat sanksi yang menghalangi seseorang memiliki keturunan, maka undang-
undang seperti itu tidak lagi sekadar menerjang hak keperdataan, tetapi juga hak politik
(konstitusional) si terhukum, yakni hak asasi manusia. Polemik biasanya akan muncul tatkala
persoalannya di bawah ke diskursus tentang hak politik, bahwa terhukum yang mengklaim hak
atas dasar hak politik itu lalu dikonfrontasikan dengan hak pihak lain (korban yang dirugikan)

4 of 7 20/11/21 08.59
HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

untuk mendapatkan keadilan. Jawabannya akan lebih jernih seandainya diskursus dibawa murni
ke ranah hak keperdataan, bahwa hak menurut Pasal 3 itu adalah suatu jus in rem, sementara hak
dari pihak yang dirugikan untuk meminta seseorang dijatuhkan hukuman (kalau perlu seberat-
beratnya) adalah suatu jus in personam. (***)

Published at : 31 October 2021 Updated

RELATED CONTENT

DEKLARASI DJUANDA
GRATIFIKASI VERSUS SUAP
ASPEK HUKUM INSENTIF PA JAK SEKTOR KEHUTANAN SEBAGAI PEMICU INVESTASI

SHARE THIS

LEAVE YOUR FOOTPRINT

NAME*

5 of 7 20/11/21 08.59
HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

EMAIL*

MESSAGE*

SUBMIT

GET CONNECTED WITH


SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.

Coba deh sebutin kalian paling pewe dimana? https://t.co/BbTL8GgoZj

15 hours · reply · retweet · favorite

More From
BINUS EDUCATION

Select Program

6 of 7 20/11/21 08.59
HAK DAN KEWAJIBAN https://business-law.binus.ac.id/2021/10/31/hak-dan-kewajiban/

Say Hi ! or..
SEND YOUR QUESTION

BINUS UNIVERSITY | Business Law


Kijang Campus
Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah
Jakarta 11480, Indonesia
Phone +62-21 532 7630, +62-21 534 5830 ext. 2451
Fax +62-21 533 2985

Copyright © BINUS UNIVERSITY. All rights reserved.

7 of 7 View publication stats


20/11/21 08.59

Anda mungkin juga menyukai