Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN TEORETIS JUDICIAL RESTRAINT DALAM

PELAKSANAAN FUNGSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem

kekuasaan negara modern.71 Dalam bahasa Indonesia, cabang

kekuasaan kehakiman disebut sebagai cabang kekuasaan “yudikatif”

yang berasal dari istilah Belanda judicatief.72 Dalam bahasa Inggris

tidak dikenal istilah “judicatief”, sehingga untuk pengertian yang

sama dipergunakan istilah judicial, judiciary, atau judicature.73 Pada

negara civil law maupun common law, dan dalam sistem

pemerintahan presidensil maupun parlementer, cabang kekuasaan

kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang dijalankan secara

tersendiri (independent).74Sebagai contoh, dalam sistem

pemerintahan parlementer terdapat fusi antara legislatif dengan

eksekutif.75 Namun, cabang kekuasaan kehakiman tetap bersifat

independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.76

71
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,Op. cit., hlm. 44.
72
Ibid.
73
Ibid.
74
Ibid. hlm 45.
75
Douglas V. Verney, “Parliamentary Government and Presidential Government”
dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart,
Oxford University Press, 1992,hlm.32-40.
76
Ibid.

31
32

1. Fungsi Kekuasaan Kehakiman

Philip A. Talmadge mengemukakan bahwa fungsi

cabang kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan

sengketa yang terjadi di tengah masyarakat agar tidak terjadi

tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar hukum,

termasuk kekerasan. Lebih jelas Philip A. Talmadge mengatakan:

“The most significant court function is dispute


resolution; courts are designed to resolve disputes so
that the litigants do not resort to private remedies,
including violence, to vindicate their interests. In this
process, courts assign culpability for behaviors and
offer redress to litigants adversely affected by the
culpable conduct of others”.77

Fungsi inti lainnya dari cabang kekuasaan kehakiman

adalah sebagai pelindung hak-hak individu yang mungkin terancam

oleh kepentingan mayoritas.78 Dengan demikian, pengadilan

menjadi harapan masyarakat dalam menghadapi berbagai

permasalahan yang mendasar atau bahkan permasalahan yang

membingungkan.79

Aharon Barak mengatakan bahwa fungsi kekuasaan

kehakiman adalah untuk menjaga konstitusi dan demokrasi.80 Ide

mengenai judicial review dan penjaminan terhadap hak asasi

manusia merupakan bentuk-bentuk perlindungan terhadap ide

77
Philip A. Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in
General Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review No. 695, 1999,
hlm. 697.
78
Ibid, hlm. 699.
79
Ibid, hlm. 701.
80
Aharon Barak, op.cit., hlm. 20.
33

demokrasi yang dilekatkan pada cabang kekuasaan kehakiman. 81

Aharon Barak juga mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap

demokrasi merupakan fungsi utama cabang kekuasaan kehakiman.

Aharon Barak mengatakan:

“All of us (all branches of government, all parties and


factions, all institutions) must protect our young
democracy. This protective role is conferred on the
judiciary as a whole, and on the Supreme Court in
particular. Once again we, the judges of this
generation, are charged with watching over our basic
values and protecting them against those who
challenge them”.82

Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai penjaga

konstitusi dan demokrasi maka peran hakim juga harus diperluas

sebagai pendidik masyarakat (educational institution), terutama

mendidik masyarakat dalam hal hukum dan peran dari

pengadilan.83 Hakim harus dapat memperlihatkan demokrasi yang

tercermin dalam putusan-putusannya agar masyarakat

mendapatkan pembelajaran.84 Perlindungan terhadap demokrasi

ini mencakup dua aspek penting. Pertama, aspek formal dari

demokrasi yang diartikan sebagai kedaulatan rakyat yang tercermin

dalam pemilu yang bebas untuk memilih wakil-wakil rakyat di

parlemen yang kemudian menentukan kebijakan-kebijakan

81
Ibid, hlm 21.
82
Ibid, hlm 22.
83
Ibid, hlm. 23.
84
Ibid.
34

berdasarkan mayoritas.85 Kedua, aspek substantif demokrasi yang

berisi nilai-nilai lain yang terkandung selain nilai mayoritas. Nilai-

nilai tersebut berupa prinsip pemisahan kekuasaan, prinsip negara

hukum (the rule of law), independensi peradilan, hak asasi

manusia, moralitas, keadilan, tujuan sosial berupa perdamaian dan

keamanan, serta etika dan perilaku.86 Nilai-nilai tersebut

merupakan substansi inti demokrasi, tanpa nilai-nilai tersebut maka

demokrasi tidak akan pernah terwujud.87

Nilai-nilai demokrasi yang substantif bersandar pada

prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang menjadi

inti dari prinsip konstitusionalisme (the backbone of constitutional

system), yang melindungi rakyat dari pemerintahan otokrasi (save

the people from autocracy).88 Hal penting yang terkandung dalam

prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) adalah

mengenai hubungan diantara cabang-cabang kekuasaan dan

pembatasan kekuasaan pada masing-masing cabang kekuasaan,

serta mekanisme check and balances yang menghendaki

hubungan yang setara antara cabang kekuasaan tanpa ada

tendensi untuk saling melemahkan. Hal ini tergambar dari

pernyataan Aharon Barak bahwa:

“The importance of the principle of separation of


powers is in the very connection between the branches

85
Ibid.
86
Ibid, hlm. 24.
87
Ibid.
88
Ibid, hlm 35.
35

and in the limitations they place on each other. Thus,


for example, the legislature can change the rules of the
game, but it must do so within the framework of the
constitution. The binding interpretation of the
constitution is granted not to the legislative branch but
rather to the courts. The court is authorized to interpret
the constitution, but it is not authorized to create a
constitution, to amend a constitution, or to enact a
statute. Indeed, the three branches are equal; each has
its own unique character, and their equality is reflected
even in those characters. Each one‟s unique character
is balanced out by the others‟. In this way the internal
harmony of the system is ensured. No branch has total
power. The branches are connected and intertwined
with each other”.89

Dalam konteks pelaksanan check and balances,

kekuasaan kehakiman dilengkapi dengan kewenangan judicial

review sebagai penyeimbang dari kekuatan mayoritas yang

menjelma dalam tubuh parlemen atau lembaga perwakilan.90

Mekanisme perlindungan hak-hak asasi manusia

melalui judicial review tidak selalu tersentralisasi pada Mahkamah

Agung atau Supreme Court di suatu negara.91 Kewenangan judicial

review di banyak negara dijalankan pula oleh lembaga peradilan

tersendiri yang terpisah dari Supreme Court atau Mahkamah

89
Ibid, hlm. 36.
90
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Court in
Asian Case, Cambridge University Press, New York, 2003. hlm. 21.
91
Amerika menjadi salah satu contoh negara yang meletakkan kewenanganjudicial
reviewpadaSupreme courtdan badan peradilan dibawahnya (decentraliced system)
tanpa membentuk lembaga peradilan yang terpisah dari Supreme Court.
LihatMauro Cappelletti, Judicial Review in the Contemporary World, The Bobbs-
Merril Company, New York, 1971, hlm. 46. Dick Howard, “Judicial Independence in
Post-Communist Central and Eastern Europe”, dalam Peter H. Russel, David
O‟Brien, Judicial Independence in The Age of Democracy: Critical Perspectives
From Around The World, University Press of Virginia, Carlotsville and London,
2001. hlm. 92.
36

Agung negaranya. Pengadilan yang terpisah ini secara spesifik

menangani isu-isu konstitutional. Pemisahan kekuasaan

kehakiman semacam ini disebut sebagai sistem bifurkasi

(bifurcated system). Sistem bifurkasi ini banyak dianut oleh negara-

negara yang baru terlepas dari rezim otoritarian dan menuju rezim

demokrasi, dan banyak pula dianut oleh negara-negara eks-

komunis di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Sistem bifurkasi

dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga

kekuasaan kehakiman yang telah ada sebelumnya.92 Pembentukan

sebuah lembaga peradilan konstitusional yang baru dianggap

sebagai sebuah simbol keterbukaan dari pemerintahan yang

baru.93

Pengadilan konstitusi juga memiliki sistem, struktur dan

tradisi yang berbeda dari pengadilan biasa. Pengadilan konstitusi

pada umumnya memiliki sembilan sampai lima belas hakim

konstitusi yang menjabat pada satu periode tertentu yang tidak

dapat diperpanjang.94 Kewenangan untuk memilih hakim-hakim

92
Pada negara-negara eks-komunis seperti di Eropa Tengah dan Eropa Timur,
rezim komunis dan otoritarian telah mengurangi legitimasi kekuasaan kehakiman di
mata publik, sehingga setelah runtuhnya rezim-rezim tersebut, Pemerintah yang
baru lebih memilih menciptakan sebuah institusi baru sebagai sebuah simbol
perubahan ketimbang memperbaiki institusi kekuasaan kehakiman yang lama.
Lihat Ibid.
93
Bahkan di Perancis yang menganut prinsip supremasi parlemen sekalipun, serta
memiliki ketidakpercayaan publik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman,
terdapat sebuah Council Constitutionnel sebagai institusi tersendiri yang
berwenang memeriksa konstitusionalitas sebuah produk legislasi baik berupa
rancangan undang-undang maupun undang-undang. Lihat Ibid. hlm. 91.
94
Ibid, hlm. 94.
37

konstitusi dipegang oleh cabang kekuasaan legislatif dan

eksekutif.95

Sebagaimana cabang kekuasaan kehakiman pada

umumnya, jaminan independensi menjadi suatu hal yang penting

untuk dinyatakan secara eksplisit di dalam konstitusi.96 Meskipun

pernyataan jaminan independensi bagi kekuasaan kehakiman tidak

selalu menjamin adanya independensi pada tataran pelaksanaan,

namun para ahli beranggapan bahwa pencantuman jaminan

independensi kekuasaan kehakiman merupakan langkah awal

untuk menginstitusionalkan lembaga peradilan yang independen.97

2. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Secara umum, terdapat dua prinsip pokok yang penting

dalam sistem peradilan dan menjadi prasyarat pokok sebuah

negara hukum, yakni:98

1. The principle of judicial independence; dan

2. The principle of judicial impartiality.

Prinsip independensi ini penting demi keberlangsungan

penerapan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers)

95
Di Bulgaria, Hakim Pengadilan Konstitusi terdiri dari dua belas orang hakim
dengan masa jabatan selama sembilan tahun yang dipilih masing-masing empat
calon dari National Assambly, Presiden dan Mahkamah Agung. Lihat Ibid.
96
Ibid.
97
Di Inggris, meskipun tidak terdapat naskah konstitusi yang tertulis, namun
independensi cabang kekuasaan kehakiman tetap terpelihara, sedangkan Uni-
Soviet yang memiliki konstitusi tertulis yang bagus, demokrasi dan independensi
kekuasaan kehakiman tidak pernah terwujud. Lihat Ibid. hlm. 95.
98
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2,op. cit., hlm. 52.
38

dalam dunia modern yang tidak diartikan sebagai pemisahan

secara total organ-organ negara, melainkan tercipta melalui sistem

„check and balances‟.99 Fungsi dari cabang kekuasaan kehakiman

yang independen dalam kerangka pemisahan kekuasaan adalah

melaksanakan fungsi kontrol dan penyeimbang vis-à-vis kedua

kekuasaan lainnya, yakni kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Berkaitan dengan hal tersebut, Simon Shetreet menyatakan

bahwa:

“The judicial branch will so far as possible avoid


interference with the process of the legislative branch,
and, in the absence of specific authority to do so, will
not interfere with legislation. In addition, the judicial
branch will exercise self-restraint in its interference with
the activities of the executive branch. In return, the
executive branch is obliged to act according to the
decisions of the judicial branch. In parallel, it is required
that the responsibility for court administration will be
held jointly by the judicial and executive branches. It is
also clear that the legislative branch must avoid
interfering by way of legislation with the work of the
judicial branch and its authority”.100

Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka

dipandang sebagai suatu pilar untuk mencegah penyelenggaraan

negara atau pemerintahan secara sewenang-wenang dan

menjamin kebebasan anggota masyarakat negara.101Kekuasaan

kehakiman yang merdeka pada dasarnya memiliki dua tujuan

99
Susi Dwi Harijanti, “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, Makalah peserta
aktif pada Seminar Nasional yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta,
25-26 Agustus, 2008. hlm. 2.
100
Shimon Shetreet, “The Challenge of Judicial Independence in the Twenty-First
Century”,8 Asia Pacific Law Review. hlm. 153.
101
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman op. cit., hlm. 3.
39

utama, yaitu terciptanya keadilan prosedural bagi setiap individu

dalam persidangan, serta menjaga nilai-nilai demokrasi.102 Hal

senada juga dikemukakan oleh Chief Justice Lamer dari Supreme

Court of Canada yang mengatakan bahwa “judicial independence

is essential for fair and just dispute-resolution in individual cases. It

is also the life blood of constitutionalism in democratic societies”.103

Tanpa adanya independensi pada cabang kekuasaan kehakiman,

tidak akan ada pelembagaan kehidupan yang demokratis. Jaminan

terhadap cabang kekuasaan kehakiman haruslah berdasarkan

hukum yang direalisasikan dalam praktek dan didukung oleh

kepercayaan masyarakat,104 sehingga pengadilan dapat menjadi

salah satu institusi utama yang memberikan kontribusi untuk

pembentukan kehidupan masyarakat.105

Aharon Barak menyatakan bahwa konsep kekuasaan

kehakiman yang independen selalu mencakup dua hal yang

fundamental, yakni pertama, the independency of individual judge,

dan yang kedua the independency of the judicial branch.106 Hal

fundamental yang pertama dalam independensi kekuasaan

kehakiman adalah kemandirian hakim secara individu, artinya

setiap hakim harus bebas dalam menentukan atau melahirkan

putusan berdasarkan fakta-fakta yang ada serta pemahaman

102
Aharon Barak, op. cit., hlm. 77.
103
Ibid.
104
Ibid.
105
Susi Dwi Harijanti, op. cit., hlm. 1.
106
Aharon Barak, loc. cit.
40

hukum yang dimilikinya, tanpa pengaruh, bujukan, atau tekanan

secara langsung atau tidak langsung, dari pihak manapun dan

untuk alasan apapun.107Artinya, dalam membuat putusan dan

menjalankan tugas-tugas lainnya, hakim hanya tunduk pada

hukum, inilah yang disebut Simon Shetreet sebagai „substantive

independence‟.108Substantive independence ini bukan berarti

hakim tidak melihat kenyataan sosial, perkembangan masyarakat,

serta putusan-putusan pengadilan lain yang turut mengikat hakim

dalam membentuk putusan, melainkan hakim harus bebas dari

berbagai tekanan yang dapat timbul dari berbagai hal, seperti

pengaruh dari teman atau kerabat, dari pihak yang berperkara,

bahkan dari sesama hakim, dan juga bebas dari pengaruh

pemegang jabatan dari cabang kekuasaan yang lain. Hakim hanya

tunduk pada hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Aharon

Barak bahwa “The judge‟s master is the law. The judge has no

other master. From the moment a person is appointed as judge, he

must act without any dependence on another”.109

Hal fundamental yang kedua adalah cabang

kekuasaan kehakiman harus terbebas dari gangguan cabang

kekuasaan legislatif dan eksekutif, dan memiliki yurisdiksi secara

langsung terhadap seluruh masalah yang bersifat judicial.110 Selain

107
Ibid.
108
Simon Shetreet, op. cit., hlm. 155.
109
Aharon Barak, op. cit, hlm. 78.
110
Ibid.
41

itu, aspek pengelolaan administrasi pengadilan menjadi hal yang

penting dalam menciptakan independensi ini. Aspek pengelolaan

ini meliputi supervisi para pegawai administrasi; penyiapan

anggaran pengadilan; pemeliharaan gedung-gedung pengadilan;

dan lain sebagainya.111Untuk dapat mencapai hal-hal tersebut,

maka diperlukan undang-undang, tradisi-tradisi peradilan serta

kebiasaan-kebiasaan yang harus dibentuk untuk meningkatkan

personal independence, yakni independensi dalam masa jabatan

dan kedudukan yang bersifat tetap.112

Dalam praktek, hakim secara individu maupun lembaga

peradilan secara keseluruhan, mendapat pengaruh-pengaruh

positif maupun negatif. Peter H. Russel memberikan empat

kategori pengaruh yang bersifat negatif, yaitu pengaruh secara

struktural (structural), personal (personnel), administratif

(administrative), dan pendekatan secara langsung (direct

approaches).113Pengaruh struktural yang dimaksudkan oleh

Russell adalah pengaruh yang berkaitan dengan kekuasaan

lembaga-lembaga di luar pengadilan yang mempunyai wewenang

membentuk dan memodifikasi peradilan.114Sedangkan pengaruh

personel meliputi hal-hal yang berkenaan dengan metoda

111
Susi Dwi Harijanti, op.cit., hlm. 4., Lihat juga Simon Shetreet, loc. cit.
112
Ibid.
113
Peter H. Russel, David M. O‟Brien, op. cit. hlm 13.
114
Ibid. Lihat juga Susi Dwi Harijanti, op. cit., hlm 5.
42

pengangkatan, penggajian115, pemindahan, pemecatan116, metoda

promosi jabatan, cara pendisiplinan, evaluasi jabatan, pelatihan

dan pendidikan berkelanjutan.117Pengaruh di bidang administrasi

peradilan berkaitan dengan pengelolaan pengadilan dan tugas-

tugas hakim.118 Pengaruh langsung dimaksudkan berkaitan dengan

tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk secara langsung

mempengaruhi hakim, misalnya penyuapan atau ancaman

terhadap hakim atau keluarganya.119

Dengan memperhatikan berbagai karakteristik

mengenai independensi kekuasaan kehakiman diatas, maka

beberapa ahli seperti Aharon Barak memberikan definisi mengenai

independensi kekuasaan kehakiman sebagai “building a protective

wall around the individual judge that will guard against the

possibility of influencing decisions by influencing the conditions of

his employment”.120 Selain itu, Larkins mengutip Becker

menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman adalah:

115
Aharon Barak mengatakan bahwa “Judges should be protected against
reductions or erosions in their salaries. Further, a judge‟s salary and conditions of
service should not be set by the executive branch. In my opinion, the salaries of
judges should be set by an independent body chosen by the parliament, and not by
the parliament itself”. Aharon Barak, op. cit., hlm 79.
116
Aharon Barak mengkritik makanisme impeachment terhadap hakim di Amerika
yang dilakukan oleh Senat. Menurutnya, pemberhentian hakim harus pula
dilakukan melalui judicial proceeding yang dilakukan oleh hakim. Pengadilan yang
dilakukan oleh lembaga politik telah mencederai prinsip independensi kekuasaan
kehakiman. Lihat Aharon Barak, Loc. cit.
117
Peter H. Russel, David M. O‟Brien, op. cit. hlm 14.
118
Ibid, hlm 19.
119
Ibid, hlm 20.
120
Aharon Barak, op. cit., hlm. 79.
43

“(a) the degree to which judges … decide [cases]


consistent with… their interpretation of the law, (b) in
opposition to what others, who are perceived to have
political or judicial power, think about or desire in like
matters, and (c) particularly when a decision averse to
the beliefs or desires of those with political or judicial
power may bring some retribution on the judges
personally or on the power of the court”. 121

Larkins sendiri memberikan definisi mengenai independensi

kekuasaan kehakiman dengan menambahkan beberapa komponen

lain berupa pengadilan sebagai bagian dari satu sistem politik dan

masyarakat, serta legitimasi pengadilan dalam menentukan benar

atau salah, sah atau tidak sah. Berdasarkan karakteristik utama

dan komponen-komponen lain tersebut, maka Larkins memberikan

definisi independensi kekuasaan kehakiman sebagai:

“…the existence of judges who are not manipulated for


political gain, who are impartial towards parties of a
dispute, and who form a judicial branch which has the
power as an institution to regulate the legality of
government behavior, enact „neutral‟ justice, and
determine significant constitutional and legal values”.122

Prinsip kedua, yaitu the principle of judicial impartiality

merupakan prinsip yang sangat penting yang diartikan bahwa

dibutuhkan hakim yang bekerja secara imparsial (to be impartial).

O. Hood Phillips dan kawan-kawan juga mengatakan pentingnya

prinsip imparsial ini, O. Hood Phillips mengatakan bahwa “the

impartiality of the judiciary is recognized as an important, if not the

121
Susi Dwi Harijanti, loc. cit.
122
Ibid, hlm. 4.
44

most important element, in the administration of justice”.123 Prinsip

imparsial ini adalah prinsip yang melekat pada fungsi hakim

sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan pada

setiap perkara yang diajukan kepadanya, yang mencakup sikap

netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait

dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak

manapun.124

Selain kedua prinsip tersebut terdapat beberapa prinsip

lain yang merupakan hasil dari the Judicial Conference di

Bangalore India pada tahun 2001.The Bangalore Conference ini

melahirkan The Bangalore Principle of Judicial Conduct yang

berisikan enam prinsip kode etik hakim berupa, independence,

impartiality, integrity, propriety, equality, dan competence and

diligence.125Selain prinsip independence dan impartial

sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, prinsip-prinsip

lainnya berupa prinsip integritas (integrity)yang merupakan sikap

batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan

kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat

negara dalam menjalankan tugas jabatannya.126 Prinsip

propierty,merupakan prinsip mengenai kepantasan dan kesopanan

berupa norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang

123
Jimly Asshiddiqie,Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2 op. cit., hlm. 52.
124
Ibid, hlm. 53.
125
The Bangalore Draft Code of Judicial Conduct 2002.
126
Ibid.
45

tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi

maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas

profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan

kepercayaan.127 Prinsip kesetaraan,merupakan prinsip yang

menjamin perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua

orang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa membeda-

bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama,

suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial

ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain

yang serupa (diskriminasi).128 Prinsip kecakapan dan keseksamaan

(competence and diligence),merupakan prinsip yang harus

tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari

pendidikan, pelatihan, dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas,

sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang

menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan,

dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim

tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan.129

127
Ibid.
128
Ibid.
129
Ibid.
46

B. Konstitusionalisme dan Judicial Restraint

1. Konstitusionalisme

Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan

kekuasaan atau paham konstitusionalisme. Konstitusionalisme

diartikan sebagai pembatasan kekuasaan negara melalui

konstitusi,130 karena manurut Wheare, konstitusi adalah

instrumen untuk mengontrol pemerintah (an instrument by which

government can be controlled).131Prinsip pembatasan inilah yang

kemudian dikenal sebagai prinsip “limited government”.132

Menurut William G. Andrew, konstitusionalisme mencakup dua

macam pembatasan, yaitu kekuasaan melarang dan prosedur

ditentukan (power prescribe and procedure prescribed).133

Menurut C. F. Strong, konstitusi memiliki tiga tujuan, yakni:134

1. Untuk membatasi tindakan pemerintah (to limit the

arbitrary action of the government).

2. Untuk menjamin hak-hak yang diperintah (to guarantee the

rights of the governed).

3. Untuk menentukan batas-batas dari kekuasaan yang

berdaulat (to define the operation of the sovereign power).

130
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, op. cit., hlm. 19.
131
Kenneth Clinton Wheare, op. cit., hlm. 7.
132
Ibid, hlm 23.
133
William G. Andrews, op. cit., hlm. 13.
134
Charles Frederick Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction To
The Comparative Study Of Their History And Existing Forms, Sidgwick and
Jackson,London,1972, hlm. 12.
47

Sedangkan gagasan konstitusionalisme menurut Carl

J. Friedrich adalah:

“Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang


diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk
kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk
memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan
untukpemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh
mereka yang mendapat tugas untuk memerintah”135

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa

konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang berkaitan satu

sama lain, yaitu :136

1. Hubungan antara pemerintah dengan warga negara;

2. Hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu

dengan lembaga pemerintahan yang lain.

Pada awalnya perhatian utama dari konsep

konstitusionalisme adalah memastikan kekuasaan pemerintah

tidak disalahgunakan, yang salah satunya menekankan pada

jaminan hak-hak sipil dan politik.137 Namun pada abad ke-20,

terjadi transformasi makna konstitusionalisme yang tidak hanya

memberikan jaminan terhadap hak-hak sipil dan politik saja,

melainkan juga hak-hak ekonomi, sosial dan

135
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta,
2008,hlm. 57.
136
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, op. cit., hlm 23.
137
Indra Perwira, Susi Dwi Harijanti, Budaya Konstitusi (Constitutional Culture)
Dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD
1945, Hasil Penelitian Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009,
hlm. 9.
48

budaya.138Konstitusionalisme menghendaki adanya syarat-syarat

minimal tertentu yang harus dipenuhi agar kekuasaan pemerintah

dapat dibatasi.139 Syarat atau prinsip minimal konstitusionalisme

ini berbeda-beda untuk tiap negara, tergantung isi dari

kesepakatan atau konsensus yang dikehendaki rakyat di masing-

masing negara.140 Berdasarkan hal tersebut, maka

konstitusionalisme tidak dapat disamakan dengan konstitusi

sebagai sebuah naskah tertulis, karena negara yang memiliki

konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme,

tetapi “constitutionalism asks for a legitimate constitution”

(konstitusionalisme menginginkan sebuahkonstitusi yang

terlegitimasi).141

Secara singkat, konstitusionalisme menghendaki

adanya pembatasan kekuasaan demi perlindungan terhadap hak-

hak dasar manusia, terutama pada masyarakat minoritas dari

ancaman mayoritas. Pada institusi politik yang mencerminkan

kedaulatan mayoritas melalui proses elektoral sebagai

perwujudan demokrasi sekalipun, tidak diperkenankan untuk

dapat mengurangi hak-hak dasar manusia.142 Pada era setelah

Perang Dunia Kedua, dikembangkan berbagai pemikiran

mengenai konstitusionalisme yang terfokus pada dua hal utama

138
Ibid.
139
Ibid, hlm 10.
140
Ibid.
141
Ibid.
142
Tom Ginsburg, op. cit., hlm. 2.
49

berupa pembatasan kekuasaan negara demi melindungi hak-hak

dasar manusia, serta mekanisme perlindungan hak-hak dasar

manusia melalui sebuah lembaga peradilan konstitusional yang

dapat melindungi nilai-nilai substantif demokrasi dari institusi

yang terlegitimasi melalui pemilihan umum yang mencerminkan

nilai prosedural demokrasi.143

Pembatasan kekuasaan negara melalui lembaga

peradilan dilakukan, antara lain, melalui mekanisme judicial

review. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alexander Bickel

bahwa judicial review adalah sebuah mekanisme yang dilekatkan

pada cabang kekuasaan kehakiman untuk membatalkan produk

hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif yang dipilih secara

demokratis ketika bertentangan dengan konstitusi atau undang-

undang dasar.144 Pelembagaan judicial review yang dapat

membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh lembaga

perwakilan rakyat pada mulanya dianggap sebagai sebuah

bentuk pencederaan terhadap demokrasi,145 namun pada era „the

global expansion of judicial power‟ seperti yang dikemukakan

oleh Tom Ginsburg saat ini,146judicial review menjadi sebuah

143
Ibid.
144
Christopher F. Zurn, Deliberative Democracy and the Institution of Judicial
Review, Cambridge University Press, Cambridge, 2007. hlm. 32.
145
Tom Ginsburg, op. cit., hlm. 3.
146
Pendapat Tom Ginsburg ini didasarkan pada fakta bahwa seiring gelombang
demokratisasi yang melanda dunia, judicial review yang berasal dari tradisi
Amerika telah menyebar ke negara-negara lainnya, mulai Perancis hingga Afrika
Selatan dan Israel. Bahkan di Inggris yang menganut paham supremasi parlemen
sekalipun, terdapat mekanisme untuk melakukan review terhadap produk legislasi
50

instrumen penyeimbang dari kekuatan mayoritas yang sangat

penting demi keberlangsungan kehidupan demokrasi itu

sendiri.147 Dalam melembagakan kehidupan demokrasi, judicial

review dianggap sebagai sebuah sarana untuk menjaga

keharmonisan antara mayoritas dan minoritas.148 Menurut

Ginsburg, judicial review juga dapat diartikan sebagai sebuah

sarana dialog yang institusional antara warga negara dengan

cabang-cabang kekuasaan yang ada dalam kerangka demokrasi

deliberatif.149 Selain itu, Alexander Bickel juga menyatakan

bahwa fungsi dari judicial review adalah meliputi:150

1. Substantially legitimate protection on minority rights;

2. Protector of values;

3. Procedurally legitimate protection of democracy.

Meskipun memiliki arti yang penting dalam kehidupan

demokrasi, kewenangan judicial review tidak selalu dinyatakan

secara eksplisit di dalam undang-undang dasar suatu negara

sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat dan Israel.

Kalaupun ada, judicial review didasarkanpada norma-norma

yang dihasilkan Parlemen Inggris. Review tersebut dapat dilakukan melalui Council
of Europe dariEuropean Union yang bersifat „supranational law‟ yang mengikat
negara-negara anggotanya, serta mekanisme review melalui konvensi-konvensi
ketatanegaraan yang hidup di Inggris. Selain melalui konvensi ketatanegaraan,
pengadilan di Inggris juga dapat melakukan review terhadap konstitusionalitas dari
produk legislasi Parlemen. Hal ini merupakan konsekuensi diinkorporasikannya the
European Convention of Human Rights kedalam hukum nasional Inggris pada
tahun 1998. Lihat, Ibid, hlm. 3-4.
147
Ibid.
148
Ibid.
149
Ibid.
150
Christopher F. Zurn, op. cit., hlm. 32-39.
51

selain norma konstitusi tertulis ataupun sebagai konsekuensi dari

dianutnya prinsip supremasi konstitusi.151

Praktek judicial review sebagaimana yang dikenal pada

saat ini merupakan „legacy‟ dari tradisi hukum di Amerika melalui

perkara Marbury v. Madison yang diputus oleh Supreme Court

pada tahun 1803. Sebelum perkara Marbury v. Madison ini

diputus oleh Supreme Court dan menjadi landmark decision bagi

perkara judicial review, sebenarnya telah terlebih dahulu terdapat

perkara judicial review yang diputus oleh beberapa pengadilan

negara bagian Amerika yang muncul akibat diadopsinya

konstitusi Amerika. Salah satu perkara yang cukup dikenal adalah

perkara Trevett v. Wheeden di Rhode Island pada tahun 1786

ketika Superior Court of Judicature of Rhode Island

membatalkan undang-undang tentang mata uang kertas yang

bertentangan dengan Konstitusi Amerika.152Selain itu, Inggris

telah mengenal lebih dulu praktek judicial reviewmelalui perkara

Dr. Bonham‟s Case pada tahun 1610.153 Seorang hakim ternama

dari Inggris pada saat itu, Sir Edward Coke menyatakan bahwa

„parliamentary enactment‟ haruslah tunduk pada prinsip-prinsip

fundamental yang ada pada tradisi common law.154 Pada perkara

ini, Edward Coke menyatakan pula bahwa hukum yang dibentuk

151
Tom Ginsburg, op. cit., hlm. 34.
152
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, American Constitutional Law Volume
I:Sources of Power and Restraint,Thomson Wadsworth, Belmont, 2008, hlm. 36.
153
Ibid, hlm. 35.
154
Ibid.
52

oleh parlemen tidak boleh bertentangan dengan hukum yang

memiliki derajat yang lebih tinggi.155 Lebih jelas, Sir Edward Coke

mengatakan:

“And it appears in our books, that in many cases, the


common law will control Acts of Parliament, and
sometimes adjudge them to be utterly void: for when an
Act of Parliament is against common right and reason,
or repugnant, or impossible to be performed, the
common law will control it, and adjudge such Act to be
void”.156

Meskipun begitu, praktek judicial review tidak dapat berkembang

dalam tradisi hukum Inggris yang menganut prinsip supremasi

parlemen. Berdasarkan prinsip supremasi parlemen, pengadilan

di Inggris tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan

parliamentary enactment.157

Chief Justice John Marshall yang mengadili perkara

Marbury v. Madison menyatakan bahwa kewenangan judicial

review merupakan kewenangan yang inheren pada jabatan hakim

sebagai penafsir dari hukum untuk menentukan hukum yang

berlaku “…to say what the law is” demi menjaga konstitusi yang

ditempatkan sebagai „the supreme law of the land‟.158

Konsepjudicial review pada dasarnya telah

menempatkan kewenangan dan kekuasaan yang begitu besar

155
Ibid.
156
Dauglas E. Edlin, Judges and Unjust Law: Common Law Constitutionalism and
the Foundation of Judicial Review, The University of Michigan Press, United States
of America, 2010, hlm. 53.
157
Ibid.
158
Ibid, hlm. 38.
53

kepada hakim yang tidak dipilih melalui proses yang demokratis

seperti pemilihan umum untuk dapat membatalkan hukum yang

dibentuk oleh lembaga-lembaga yang dipilih langsung oleh

rakyat.159 Independensi yang dimiliki oleh hakim dapat pula

menjadi pintu masuk bagi hakim untuk memaksakan visi

subjektifnya mengenai bentuk masyarakat yang baik. 160 Putusan

hakim yang tidak memiliki argumen hukum yang kuat sekalipun

akan sangat sulit untuk diubah atau dibatalkan.161 Berdasarkan

hal-hal tersebut, maka judicial review bagaikan pedang bermata

dua yang memiliki fungsi yang sangat penting demi kehidupan

masyarakat, namun juga rentan untuk disalahgunakan.162

Rentannya penyalahgunaan kekuasaan dalam rangka

menjalankan kewenangan judicial review melahirkan beberapa

prinsip mengenai pembatasan kekuasaan bagi kekuasaan

kehakiman yang didasari oleh paham konstitusionalisme. Salah

satu prinsip pembatasan kekuasaan kehakiman, khususnya

dalam rangka menjalankan kewenangan judicial review disebut

dengan prinsip judicial restraint.

159
Ronald C. Den Otter, Judicial Review In an Age of Moral Pluralism, Cambridge
University Press, New York, 2009, hlm. 23.
160
Ibid.
161
Ibid.
162
Ibid.
54

2. Judicial Restraint

Penerapan paham konstitusionalisme mencakup pula

pembatasan kekuasaan pada cabang kekuasaan kehakiman.

Chief Justice Frank Hale memberikan batasan-batasan yang jelas

berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of

powers) antara legislatif dengan yudikatif guna menggambarkan

pembatasan kekuasaan terhadap cabang kekuasaan kehakiman.

Menurut Justice Frank Hale, pengadilan seharusnya mengekang

kecenderungan untuk bertindak sebagai “miniparliament”.163

Pengekangan diri ini tidak hanya sebagai bentuk pelaksanaan

perintah konstitusi, tetapi juga prinsip-prinsip hukum yang berlaku

umum serta akal sehat.164 Menurut Hale dalam prinsip pemisahan

kekuasaan (separation of powers), legislatif bertugas membentuk

undang-undang, sedangkan yudikatif menafsirkan, menerapkan,

dan menegakkan hukum. Aharon Barak juga mengungkapkan

bahwa hakim tidak berwenang untuk membentuk undang-undang

yang dilakukan melalui penafsiran terhadap konstitusi, undang-

undang, atau peraturan lainnya. Aharon Barak mengatakan:

“It is therefore appropriate to clarify and reiterate that a


judge is not authorized to enact statutes and that
judicial legislation means creating law (legislation) by
judges, either through the common law or through
interpreting written law such as a constitution, statute,
or regulation”.165

163
Philip A. Talmadge,op. cit., hlm. 711.
164
Ibid.
165
Aharon Barak, op. cit., hlm. 156.
55

Pembentukan hukum oleh hakim hanya dapat

dilakukan apabila hukum yang lama tidak lagi dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat atau untuk melindungi konstitusi beserta

nilai-nilainya.166 Apabila hakim atau cabang kekuasaan

kehakiman membentuk hukum tanpa mengindahkan kedua

syarat tersebut, maka pembentukan hukum yang dilakukan oleh

hakim telah keluar dari ide pemisahan kekuasaan, dan apabila

terjadi secara terus menerus akan dapat memancing tindakan

pembalasan dari legislative.Justice Frank Hale mengatakan:167

“A good restraint among many to be practiced by the


judiciary is to curb its tendency to act as a
miniparliament. Not only do the constitutions mandate
this, but the common law, and common sense as well,
ordains it. Aside from the Bill of Rights, the separation
of powers of government into three separate functions
probably represents the highest achievement of
constitutional theory. A basic tenet of the separation of
powers proposition is that legislators shall enact the
laws and judges shall interpret, apply and enforce
them. In brief, legislators should legislate and judges
should adjudicate and neither ought do the other. There
is a practical as well as constitutional basis for this idea,
I think, because, no matter how great the temptation or
exalted the claimed purpose, when courts legislate they
usually do a bad job of it-and in the long run invite
legislative reprisal”.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka ide

pembatasan kekuasaan juga diperlukan pada cabang kekuasaan

kehakiman. Salah satu pembatasan yang dilakukan oleh cabang

166
Ibid, hlm. 159.
167
Philip A. Talmadge, loc. cit.
56

kekuasaan kehakiman adalah judicial restraint. Posner

mengartikan judicial restraint sebagai sebuah upaya dari cabang

kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara-perkara

yang akan dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain atau

mengganggu prinsip pemisahan kekuasaan (separation of

powers).168Judicial restraint memandang pengadilan bukan

sebagai lembaga utama (primary custodian) dalam sistem politik

yang akan menentukan kesejahteraan rakyat (social

welfare).169Judicial restraint menolak menjadikan pengadilan

sebagai “philosoper kings” seperti ajaran plato tentang negara

yang dipimpin oleh para filsuf.170 Esensi dari judicial restraint

adalah bahwa pengadilan hanya mengadili perkara-perkara yang

secara eksplisit dinyatakan sebagai kewenangan pengadilan

berdasarkan Undang-Undang Dasar atau undang-undang yang

secara langsung memberikan kewenangan kepada

pengadilan.171Judicial restraint dalam kerangka

konstitusionalisme diartikan sebagai limited jurisdiction.172

Menurut Justice O‟Connor, pelembagaan judicial

restraint ini penting dalam kerangka konstitusionalisme serta

sebagai sebuah bentuk kehati-hatian dalam menjalankan

kewenangan kekuasaan kehakiman yang merupakan cabang

168
Lihat Aharon Barak, op. cit., hlm. 267.
169
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit., hlm. 49.
170
Ibid.
171
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm. 706.
172
Ibid, hlm. 707.
57

kekuasaan yang tidak mencerminkan keterwakilan rakyat melalui

mekanisme pemilihan.173Judicial restraint sebagai sebuah bentuk

pembatasan terhadap lembaga kekuasaan kehakiman terdiri dari

berbagi jenis pembatasan yang membatasi pengadilan

melakukan pemeriksaan terhadap permasalahan-permasalahan

konstitusional (constitutional matters).174

a. Pembatasan Konstitusional (Constitutional

Constraints)

Judicial restraint meliputi beberapa bentuk

pembatasan. Pertama adalah pembatasan konstitusional

(constitutional constraints). Pembatasan konstitusional adalah

pembatasan yang berdasarkan ketentuan dalam konstitusi.

Pembatasan konstitusional dapat terlihat pada Article III

Konstitusi Amerika Serikat yang mensyaratkan adanya case

and controversy.175 Dengan syarat ini, maka Supreme Court

dalam memutus perkara judicial review akan selalu

didasarkan pada case and controversy dan bukan hanya

hypothetical case semata.176 Penilaian mengenai apa yang

tergolong case and controversy diserahkan kepada Supreme

173
Ibid.
174
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, loc. cit.
175
Susi Dwi Harijanti, op. cit., hlm. 10.
176
Ibid.
58

177
Court. ChiefJustice Hughes mengatakan bahwa yang

dimaksud dengan case and controversy adalah keadaan yang

pasti dan nyata yang menyentuh hubungan hukum pihak yang

dirugikan oleh sebuah undang-undang. Lebih jelas Justice

Hughes mengatakan:

“A „controversy‟ in this sense must be one that is


appropriate for judicial determination. A justiciable
controversy is thus distinguished from a difference or
dispute of a hypothetical character; from one that is
academic or moot. The controversy must be definite
and concrete, touching the legal relations of parties
having adverse legal interests. It must be a real and
substantial controversy admitting of specific relief
through a decree of a conclusive character, as
distinguished from an opinion advising what the law
would be upon a hypothetical state of facts”.178

Chief Justice Earl Warren juga mengatakan bahwa

doktrin case and controversy merupakan sebuah bentuk

pembatasan terhadap kekuasaan kehakiman untuk menjamin

agar pengadilan tidak mengganggu cabang-cabang

kekuasaan yang lain, lebih jelas Justice Warren mengatakan:

“…And in part those words define the role assigned to


the judiciary in a tripartite allocation of power to assure
that the federal courts will not intrude into areas
committed to the other branches of government.
Justiciability is the term of art employed to give
expression to this dual limitation placed upon federal
courts by the case and controversy doctrine”.179

177
Kern Alexander, David Alexander, American Public School Law, Thomson
West, Belmont, 2005. hlm. 9.
178
Ibid.
179
Ibid.
59

Supreme Court Amerika Serikat juga tidak akan

memutuskan constitutional question180 atas perintah Congress

atau Presiden.181 Pembatasan konstitusional pada dasarnya

ditujukan untuk menjaga prinsip pemisahan kekuasaan

(separation of powers) dari dua hal yang menjadi ancaman,

yakni : 182

1. Penanganan tugas yang lebih tepat untuk dilaksanakan

oleh cabang kekuasaan yang lain (handling of tasks

more appropriately assigned to other branches of

government);

2. Pengambilalihan fungsi salah satu cabang kekuasaan

terhadap cabang kekuasaan yang lain (invasion by one

branch of government of core functions assigned to

another branch or branches).

180
Constitutional question adalah mekanisme mempertanyakan konstitusionalitas
sebuah peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh hakim kepada
Supreme Court. Di Jerman, constitutional question mencakup tiga kondisi yakni:
pertama, jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu undang-
undangbertentangan dengan konstitusi negara bagian (Land) ataupun konstitusi
Federal (Bundesgesetz). Yang kedua, jika suatu pengadilan menganggap bahwa
suatu undang-undang negara bagian tidak sesuai dengan undang-undang Federal
dan yang ketiga, suatu pengadilan selama berlangsungnya persidangan dalam
suatu perkara merasa ragu apakah suatu ketentuan hukum internasional
merupakan bagian dari undang-undang Federal dan apakah ketentuan hukum
internasional itu secara langsung melahirkan hak dan kewajiban pada individu.
Lihat Prasetya Online Humas UB, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Constitutional-
Question-di-Indonesia-2887-id.html, diunduh pada tanggal 9 Oktober 2011 pkl.
22.00 wib.
181
Susi Dwi Harijanti, loc. cit.
182
Philip A. Talmadge,op. cit., hlm. 713.
60

b. Pembatasan Berdasarkan Kebijakan (Policy Limitation)

Selain pembatasan secara konstitusional (constitutional

constraints), dikenal pula pembatasan berdasarkan kebijakan

(policy limitation) yang dikemukakan oleh Justice Brandels

pada tahun 1936 dan dikembangkan oleh Supreme Court

sendiri yang terefleksi kedalam tujuh prinsip yang seluruhnya

bermuara pada komitmen pengadilan untuk melakukan

pengekangan diri (self-restraint) dalam rangka menjalankan

kewenangan judicial review.183 Ketujuh prinsip tersebut

adalah:184

1. It would avoid deciding a constitutional issue raised


in friendly non-adversary proceedings;
2. A federal court will not decide a constitutional issue
until it is absolutely necessary;
3. A federal court will presume that legislation is
constitutional, imposing on the challenging party the
burden of demonstrating its invalidity;
4. The Court will not formulate a rule of constitutional
law broader than is required by the precise facts to
which it is to be applied;
5. The Court will not pass upon a constitutional
question although properly presented by the record,
if there is also present some other ground upon
which the case may be disposed of;
6. The Court will not pass upon the validity of a statute
upon complaint of one who fails to show that he or
she is injured by its operation;
7. The Court will not pass upon the constitutionality of
a statute at the instance of one who has availed
himself or herself of its benefits.

183
Lihat Kern Alexander, David Alexander, op. cit., hlm. 5. Lihat juga Susi Dwi
Harijanti, loc. cit.
184
Ibid.
61

Selain pembatasan yang dikemukakan oleh Justice

Brandels dalam Ashwander Rules di atas, terdapat beberapa

kebijakan lain yang dapat dikembangkan oleh pengadilan,

yakni:

1. Strict necessity. Pengadilan selayaknya menolak

mengadili perkara konstitusional ataupun perkara

yang bersifat constitusional question atau perkara

yang memiliki isu politis yang kuat jika perkara

tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme

konstitusional lainnya.185

2. Saving construction. Pengadilan seharusnya

menemukan makna asli dari sebuah norma dalam

undang-undang yang diuji sebelum menentukan

mengenai konstitusionalitasnya. Kebijakan ini

disebut juga sebagai statutory construction.

Statutory construction diartikan sebagai sebuah

upaya untuk mengetahui maksud asli (original

intent) pembentuk undang-undang tentang norma

yang dipermasalahkan. Original intent tidak selalu

dapat tergambar dengan jelas dalam risalah-risalah

perdebatan anggota legislatif. Oleh karena itu,

ketika original intent tersebut tidak dapat secara

185
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit., hlm. 51.
62

jelas terlihat, maka pengadilan dapat menentukan

makna dari norma tersebut. Apabila sebuah norma

memiliki tafsir yang berbeda-beda, maka judicial

restraint menghendaki hakim untuk memilih

penafsiran yang melindungi konstitusionalitas

norma tersebut.186

3. The presumption of constitutionality. Pengadilan

akan selalu menganggap bahwa undang-undang

yang diajukan untuk diuji adalah konstitusional.

Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang

memiliki kewajiban untuk membuktikan sendiri

bahwa undang-undang yang diajukannya untuk diuji

telah bertentangan dengan undang-undang dasar.

The presumption of constitutionality merupakan

perwujudan rasa hormat pengadilan kepada

lembaga legislatif dalam negara demokrasi (a

fundamental respect for the legislative bodies in a

democratic system).187

4. Avoiding the creation of new principles. Pengadilan

tidak seharusnya menciptakan sebuah prinsip baru

186
Ibid.
187
Ibid, hlm. 52.
63

jika sebuah perkara dapat diselesaikan dengan

menerapkan prinsip-prinsip yang telah ada.188

5. Stare decisis (stand by decided matters).

Pengadilan pada negara yang menganut sistem

hukum common law seperti Amerika,

mengharuskan pengadilannya untuk terikat pada

putusan-putusan hakim yang terdahulu (the binding

force of precedent). Justice Brandels mengatakan

bahwa: “Stare decisis is usually the wise policy,

because in most matters it is more important that

the applicable rule of law be settled than that it be

settled right”.Ketaatan terhadap precedent

merupakan salah satu ciri dari judicial restraint.189

c. Pembatasan Berdasarkan Doktrin (Doctrine Limitation)

Dalam judicial restraintdikenal pula pembatasan lain

yang dilakukan melalui pendekatan prinsip kehati-hatian

(prudential constraints). Pembatasan ini didasarkan pada

doktrin-doktrin tertentu (doctrine limitation).190Prudential

constraints mencakup pembatasan-pembatasan berupa :

1. Standing, merupakan prasyarat yang harus

terpenuhi yang sesuai dengan yurisdiksi


188
Ibid.
189
Ibid, hlm. 53.
190
Susi Dwi Harijanti, loc. cit.
64

pengadilan.191 Pada dasarnya, pihak yang

berperkara haruslah memiliki kepentingan secara

langsung terhadap perkara berupa kerugian yang

bersifat nyata yang diakibatkan oleh berlakunya

suatu undang-undang.192 Doktrin standing sangat

penting untuk dapat mencegah ekspansi yudisial,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Justice Lewis

Powell pada concurring opinion dalam perkara

United States v. Richardson tahun 1975 bahwa:

“Relaxation of standing requirements is directly


related to the expansion of judicial power. It
seems to me that allowing unrestricted . . .
standing would significantly alter the allocation of
power at the national level, with a shift away
from a democratic form of government”. 193

Terdapat tiga syarat agar doktrin standing ini dapat

terpenuhi, yakni:194

a. Adanya kerugian yang timbul karena adanya

pelanggaran kepentingan pemohon yang

dilindungi secara hukum yang bersifat

spesifik atau khusus, dan aktual dalam satu

kontroversi dan bukan yang bersifat

potensial;

191
Ibid.
192
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit., hlm. 26.
193
Ibid, hlm. 27.
194
Maruarar Siahaan, op. cit., hlm. 80.
65

b. Adanya hubungan sebab akibat atau

hubungan kausalitas antara kerugian dengan

berlakunya satu undang-undang;

c. Kemungkinan dengan putusan yang

diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan

atau dipulihkan.

2. Mootness, bahwa pengadilan selayaknya menarik

diri dari perkara-perkara yang diperdebatkan yang

akan membuat pengadilan sulit untuk membuat

penyelesaian yang efektif bagi pihak-pihak yang

berperkara.195Mootness adalah keadaan dimana

latar belakang masalah yang diperkarakan telah

terselesaikan atau telah lenyap sehingga putusan

pengadilan tidak dapat diimpelementasikan atau

tidak memiliki efek praktis.196 Hilang atau telah

terselesaikannya permasalahan pada sebuah

perkara sebelum adanya putusan pengadilan

mengakibatkan perkara tersebut tidak lagi memiliki

sifat kontroversi yang aktual sebagai salah satu

syarat berperkara di pengadilan.197 Kern Alexander

dan David Alexander memberikan beberapa alasan

195
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm. 719.
196
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, loc. cit.
197
Ibid.
66

sebuah perkara termasuk pada kategori mootness,

yakni:

a. facts did not hold at all stages of the


appellate process;
b. the law has changed; the defendant no
longer wishes to appeal;
c. the wrongful behavior has passed and
cannot reasonably be expected to recur;
d. a statutory age limit no longer
appliesbecause of lapse of time;
e. a party to the suit has died.198

3. Ripeness, menyangkut kematangan sebuah perkara

untuk dapat diadili oleh pengadilan. Ripeness ini

ditujukan untuk dapat menghindari keterlibatan

pengadilan secara prematur dalam mengadili suatu

perkara yang mungkin dapat diselesaikan melalui

cara-cara lain yang tersedia berdasarkan hukum.199

Doktrin ripeness ini penting untuk menjaga agar

pengadilan tidak mengadili perkara-perkara yang

bersifat potensial (hypothetical case).200 Doktrin

ripeness ini serupa dengan doktrin exhausted of

administrative remedies pada dimensi hukum

administrasi.201 Doktrin ripeness menghendaki para

198
Kern Alexander, David Alexander, op. cit., hlm. 10.
199
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit. hlm. 28.
200
Kern Alexander, David Alexander, loc. cit.
201
Philip A. Talmadge,op. cit., hlm. 718.
67

pihak yang bersengketa untuk menempuh proses

non-judicial terlebih dahulu.202

4. Abstention doctrine, adalah doktrin yang melarang

pengadilan yang lebih tinggi untuk melakukan

intervensi terhadap perkara yang sedang bergulir di

pengadilan yang lebih rendah sampai terdapat

putusan akhir.203

5. Political question doctrine, adalah doktrin

pengekangan diri yang dilakukan cabang

kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili

perkara yang memiliki sifat politis yang

berat.204Penarikan diri ini, menurut Philip A.

Talmadge dikarenakan pengadilan tidak akan

mampu menyelesaikan permasalahan yang

memiliki nilai politis yang besar, lebih jelas Philip A.

Talmadge mengatakan : “The courts are not readily

capable of managing the resolution of large-scale

political problems”.205 Aharon Barak dengan

mengutip pendapat dari Justice Brennan pada

perkara Baker v. Carr pada tahun 1962,

menyatakan political question sebagai:

202
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, loc. cit.
203
Ibid, hlm. 29.
204
Ibid, hlm 705.
205
Philip A. Talmadge, op. cit.,, hlm. 698.
68

“Political question textually demonstrable


constitutional commitment of the issue to a
coordinate political department; . . . or the
impossibility of a court‟s undertaking independent
resolution without expressing lack of the respect
due coordinate branches of government; or an
unusual need for unquestioning adherence to a
political decision already made; or the potentiality of
embarrassment from multifarious pronouncements
by various departments on one question”.206

Political question merupakan cerminan dari

prinsip pemisahan kekuasaan.207 Penerapan

political question harus dilakukan oleh cabang

kekuasaan kehakiman apabila perkara yang timbul

merupakan exclusive power dari cabang kekuasaan

yang lain, atau sebagaimana yang dikemukakan

Philip A. Talmadge sebagai “the sole concern of the

coordinate branch of government”.208Political

question diterapkan dalam rangka melindungi

prinsip pemisahan kekuasaan serta menghormati

cabang-cabang kekuasaan yang lebih demokratis

secara konstitusional, dan merupakan sebuah

bentuk kehati-hatian pengadilan untuk menjaga

citranya di mata masyarakat sebagai lembaga non-

206
Aharon Barak, op. cit., hlm. 183.
207
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm. 705.
208
Ibid.
69

politis,209 sehingga penyelesaian perkara yang

tergolong political question sudah selayaknya

ditempuh melalui proses politik.210 Berdasarkan

doktrin political question, perkara yang memiliki

nuansa politis yang kuat akan ditolak oleh

pengadilan meskipun memiliki argumen hukum

yang sah dan kuat.211 Terdapat beberapa kriteria

perkara yang tergolong political question, yakni :212

a. Apabila dalam perkara tersebut nampak nyata

secara konstitusional merupakan exclusive

power dari cabang kekuasaan politik;

b. Kurangnya standar penyelesaian perkara secara

hukum di pengadilan;

c. Ketidakmungkinan penyelesaian perkara tanpa

membentuk sebuah kebijakan melalui proses

non-judicial;

d. Apabila penyelesaian perkara yang dilakukan

pengadilan akan menggambarkan kurangnya

penghormatan (lack of respect) terhadap cabang

kekuasaan yang lain.

209
Frank B. Cross, Decision Making in The U.S. Courts of Appeals, Stanford
University press, California, 2007, hlm. 181.
210
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm 706.
211
Frank B. Cross, loc. cit.
212
Philip A. Talmadge, loc. cit.

Anda mungkin juga menyukai