Anda di halaman 1dari 16

Sebelum penulis menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam pertanyaan

soal UAS semester 6 mata kuliah Rezim Internasional, yaitu “Apakah menyebarkan
demokrasi melalui paksaan (by force) dan/ atau intervensi (intervention) terhadap
negara lain dapat dibenarkan?“, maka sebelumnya menurut penulis kita harus dapat
memahami beberapa hal berikut, yaitu :

 Apa itu The Democratic Peace Theory ?

 Apakah ‘demokrasi’ suatu sistem sempurna ?

 Apa itu peperangan dan perdamaian ?

 Apakah tidak mungkin sesama penganut demokrasi berperang ?

 Apa ada pandangan lain sebagai penunjang perdamaian ?

 Setalah memahami poin-poin diatas baru kita menjawab rumusan


masalah inti yang diajukan dengan menggunakan ‘pisau bedah’ analisa
berdasarkan poin-poin-poin tersebut.

Mudah untuk menjawab pertanyaan inti sebenarnya secara normatif, secara normatif
tidak berhak suatu pihak manapun baik itu individu, kelompok, maupun negara dalam
memaksakan pemahamannya atas suatu hal kepada pihak lain.

Maka pertanyaan inti pun telah terjawab, jawabannya adalah tidak dapat dibenarkan
pemaksaan suatu pengadopsian sistem demokrasi oleh suatu negara kepada negara lain
dengan alasan apapun, termasuk pengklaiman bahwa sistem demokrasi (liberal) adalah
sistem terbaik yang dapat menciptakan perdamaian.

Tapi tentu di dunia akademisi tidak semudah itu, untuk menjawab suatu
permasalahan dibutuhkan suatu teori untuk dapat ‘membunuh’ teori lain sehingga dapat
muncul suatu perspektiv baru yang dianggap secara subjektiv adalah yang terbaik.

Baik kita mulai pemaparan mengenai pemahaman secara teoritis dalam upaya
menjawab rumusan masalah yang diajukan.

1
I. The Democratic Peace Theory ( Teori Demokrasi Damai)

I.1. Pengertian demokrasi 1

Sebelum mengetahui secara dalam mengenai The Democratic Peace Theory,


maka kita harus paham apa itu ‘demokrasi’ terlebih dahulu. Demokrasi pun
memiliki banyak tafsir berbeda antara suatu pihak dengan pihak lainnya, tetapi
menurut penulis demokrasi yang dimaksud dalam The Democratic Peace
Theory adalah demokrasi dalam perspektiv liberal. Berikut pengertiannya:

Demokrasi (liberal) adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan


suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independent) dan berada
dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga
jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga


pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau
oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum
legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Suatu negara akan dianggap benar-benar menerapkan sistem demokrasi jika


negara tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, seperti dibawah
ini:2

1
Astarizon, “Demokrasi”, http://www.astarizon.org/wawasan/demokrasi.html
2
Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara yang Demokratis,
(Jakarta: PT Grafindo Media Pratama, 2006)
2
 Kedaulatan rakyat;
 Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
 Kekuasaan mayoritas;
 Hak-hak minoritas;
 Jaminan hak asasi manusia;
 Pemilihan yang bebas dan jujur;
 Persamaan di depan hukum;
 Proses hukum yang wajar;
 Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
 Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
 Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

I.2. Memahami Teori Demokrasi Damai

Teori Demokrasi Damai (The Democratic Peace Theory) adalah suatu


teori atau pemahaman bahwa jika dibangunnya suatu sistem demokrasi dalam
suatu negara maka negara tersebut akan cenderung untuk menghindari perang
terkecuali untuk melakukan pertahanan diri. Pemahaman ini dicetuskan oleh
Immanuel Kant seorang filsuf Jerman pada sekitar tahun 1795.3

Ada dua alasan teoretik yang dapat menjelaskan mengapa negara


demokrasi tidak memerangi negara demokrasi lainnya. Dua alasan ini mengacu
pada penjelasan Zeev Maoz dan Bruce Russet (1993) tentang “ Penjelasan
Struktural dan Penjelasan Normatif ” :4

 Penjelasan Struktural

Hal ini dikarenakan dalam suatu negara penganut sistem


demokratis maka prosedur pembuatan kebijakan memiliki hambatan
struktural (checks and balance). Hambatan seperti ini diyakini akan
mencegah negara demokrasi dalam memulai perang. Pada tingkat umum
penjelasan dari struktural menyatakan bahwa para elit di negara

3
Mtholyoke, “Immanuel Kant Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”,
http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/kant/kant1.htm
4
Portalhi, “kritik terhadap teori perdamaian demokrasi”, http://portalhi.web.id/?p=124
3
demokrasi dikendalikan oleh warga negara, sehingga upaya suatu negara
demokrasi untuk melakukan mobilisasi perang dapat dihambat.

Dalam negara demokrasi, badan legislatif adalah contoh lembaga


struktural yang dapat menghambat eksekutif ketika ingin memutuskan
perang. Dengan adanya hambatan tersebut, negara-negara demokrasi
dapat dicegah untuk memulai perang. Untuk itu ketika dua negara
demokrasi saling berkonfrontasi satu sama lain secara internasional,
mereka tidak akan mungkin terburu-buru untuk menjerumuskan
negaranya dalam perang karena pemimpin mereka akan memiliki lebih
banyak waktu untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.

Sementara itu satu jenis penjelasan struktural lainnya menyatakan


bahwa proses berdemokrasi seperti kebebasan berbicara dari publik dapat
membuat negara-negara demokrasi terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan kesalahpahaman (missperception), karena publik tidak
akan menghendaki negaranya terjerumus dalam perang.

 Penjelasan Normatif

Sebagaimana penjelasan struktural, penjelasan normatif juga


memiliki dua asumsi yang cukup penting. Penjelasan normatif pertama
dari perdamaian demokratik menyatakan bahwa norma-norma yang
dimiliki negara-negara demokrasi diyakini dapat mencegah perang di
antara mereka. Salah satu versi dari argumen ini menilai bahwa negara
liberal tidak akan memerangi negara liberal lainnya, karena hal itu dapat
melukai prinsip-prinsip pokok liberalisme.

Negara-negara liberal hanya akan memulai perang ketika ia


bermaksud memapankan tujuan-tujuan liberalnya seperti peningkatan
kebebasan individual di negara lain. Negara liberal tidak dapat
memapankan tujuan liberalnya apabila memerangi negara liberal lainnya.

Dengan kata lain, demokrasi tidak berperang satu sama lain


karena ideologi liberal tidak memberikan justifikasi bagi peperangan
antara negara demokrasi liberal.

4
Sementara itu versi kedua dari penjelasan normatif menyatakan
bahwa demokrasi memiliki suatu norma yang diwujudkan dalam bentuk
resolusi damai atas konflik. Norma ini diterapkan antar dan dalam negara
demokrasi. Negara demokrasi seperti kita ketahui dapat menyelesaikan
konflik domestik mereka tanpa kekerasan, dan melalui skenario itulah
mereka dapat pula menyelesaikan perselisahan internasional mereka
secara damai.

II. Beberapa Kritik Terhadap Demokrasi

Setelah kita sedikit memahami mengenai Teori Demokrasi Damai, kita harus
mengetahui bahwa sistem atau ideologi ini tidaklah sempurna, berikut adalah beberapa
kekurangan yang menjadi kritik kaum anti-demokratik.

 Plato : 5

o Plato mengkritik penerapan demokrasi pada masa Yunani Kuno, yaitu


kekalahan Athena dalam peperangan Peloponesia pada 404 SM antara
Athena dan Sparta. Menurutnya, kekalahan Athena tersebut akibat
ketidakmampuan sistem demokrasi untuk memenuhi kebutuhan rakyat di
bidang politik, moral, dan spiritual.

o Kematian guru tercinta Plato, yaitu Socrates, yaitu akibat rekayasa


hukuman pemerintahan demokrasi Athena. Kejadian traumatik tersebut
membuat Plato berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan demokrasi
tidak baik karena dipenuhi kebobrokan (dekadensi) moral para penguasa
demokrasi Athena saat itu.

 Thomas Hobbes (1588-1679), menurutnya rakyat tidak dapat dipercaya untuk


membuat keputusan tersendiri sebagaimana diterapkan dalam sistem demokrasi
karena rakyat cenderung mementingkan kepentingan mereka sendiri (selfishly
motivated). Watak alami rakyat adalah jahat dan tidak dapat dipercaya untuk
memerintah.6

5
Newsvine, “Plato's Criticisms of Democracy”, http://newsvine.com/_news/2008/02/16/1305759-platos-
criticisms-of-democracy
6
Anti-democracy,” Bioethics and Deliberative Democracy: Five Warnings from Hobbes”,
http://www.anti-democracy.com/2010/02/article-bioethics-and-deliberative.html
5
 Carol Gould, menyatakan bahwa teori demokrasi (liberal) yang berdiri di atas
landasan prinsip individualisme liberal yang menjunjung kebebasan individu
tidak relevan lagi pada saat ini. Sebab prinsip seperti itu hanya akan
menciptakan manusia yang egois dan asosial, yang menguntamakan kepentingan
sendiri. Dengan demikian prinsip individualisme liberal memberikan
pembenaran terhadap ketimpang kehidupan sosial dan ekonomi dalam struktur
sosial masayarakat.7

 Noreena Hertz, menurutnya praktik demokrasi telah dibajak oleh kekuatan


korporasi-korporasi internasional yang mampu mempengaruhi dan menaklukkan
negara-negara dengan kekuatan modalnya. Korporasi-korporasi tersebut tampil
menjadi kekuatan ekonomi yang jauh lebih berkuasa daripada pejabat negara
yang terpilih melalui pemilihan umum yang demokratis sekalipun. Korporasi-
korporasi yang sepak terjangnya melintasi pelbagai penjuru bumi tersebut
kerapkali memanipulasi dan menekan pemerintah dengan cara legal maupun
ilegal sekaligus. Para pemimpin politik pada zaman ini, meski dipilih melalui
pemilihan umum, cenderung melayani kepentingan korporasi multinasional
yang sejak empat dekade ini merupakan aktor ekonomi politik internasional
yang sangat penting disamping negara. Kondisi inilah yang menyebabkan
terancamanya demokrasi pada suatu negara sehingga terjadi the death of
democracy.8

III. Hakekat Sebuah Peperangan dan Perdamaian

Mengapa kita harus membicarakan peperangan? Hal ini dikarenakan bahwa Teori
Demokrasi Damai mengklaim dirinya merupakan teori yang dapat menciptakan
perdamaian abadi jika semua negara didunia mengadopsi sistem demokrasi. 9 Karena itu
kita pahami definisi peperangan sebagai berikut.

Peperangan berdasarkan pengertian dari Kamus Oxford adalah, “A state of armed


conflict between different nations, states, or armed group”.10

7
Journals Cambridge,” Globalizing Democracy and Human Rights Carol Gould”,
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=5453148
8
Racialicious, “Herts critical Democracy”, http://www.racialicious.com/2009/11/04/capitalism-isnt-a-
love-story-noreena-hertz-the-new-world-order/
9
Loc.Cit., Mtholyoke
10
Askoxford, http://www.askoxford.com/concise_oed/warx?view=uk
6
Dalam Bahasa Indonesia, “Suatu keadaan konflik bersenjata antara negara, bangsa,
atau kelompok bersenjata yang berbeda.”

Penulis menganggap pemahaman perang dalam konteks ini sesuai dengan


pemahaman Immanuel Kant karena beliau adalah seorang filsuf pada tahun 1795 yang
mana tentu peperangan pada zaman itu hanya dipahami dalam konteks ini, berbeda
dengan zaman sekarang yang memahami perang dalam konteks lebih luas.

Setelah kita memahami definisi perang tersebut, lalu kita harus memahami alasan
suatu pihak terlibat perang, ada beberapa alasan menurut penulis pribadi mengapa
perang dapat terjadi :

 Perbedaan ideologi

 Memperluas kekuasaan politik dan/ atau wilayah

 Perbedaan kepentingan

 Kebutuhan sumber daya

Selanjutnya kita pahami definisi dari ‘damai’ berdasarkan Kamus Oxford, damai
adalah,”freedom from disturbance; tranquillity or freedom from or the ending of war”.11
Dalam Bahasa Indonesia, ”bebas dari gangguan; ketenangan atau kebebasan dari
peperangan”.

Dengan kata lain Teori Damai Demokrasi haruslah bisa menciptakan kedamaian
dalam artian tidak adanya suatu peperangan dalam bentuk kontak senjata maupun dalam
hal luas misalnya seperti Perang Ekonomi pada konteks saat ini, serta dapat menjamin
manusia dari gangguan ketenangan dan kebebasan dari perang yang seperti kaum
pendukungnya katakan.

IV. ‘Peperangan’ Sesama Penganut Teori Demokrasi

Kita mengetahui bahwa satu-satunya negara yang menggembar-gemborkan


demokrasi (liberal) adalah Amerika Serikat. Karena itu kita jadikan negara ini suatu
patokan implementasi dari ide Teori Damai Demokrasi.

 AS vs. Chili
11
Ibid.
7
Sulit untuk dapat mencerna implementasi nyata atas Teori Damai Demokratik
terlebih ketika pemerintah AS berniat menggulingkan seorang penguasa yang terpilih
secara demokratik Presiden Salvadro Allende di Chili, dan menempatkan pembunuh
yang kejam (Pinochet) seorang otoriter yang bersahabat dengan AS ditampuk
kekuasaan. Chili, yang meskipun pemilunya berlangsung secara demokratis, tetapi
mereka tidak dimasukkan sebagai negara demokratis dalam kategori ‘Teori Damai
Demokratik’, karena agaknya hal itu akan membuat sulit bagi Teori Damai Demokratik
untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana sebuah negara demokrasi seperti
pemerintah AS tidak mau mengakui mereka sebagai negara demokrasi.

Padahal, sejumlah studi menunjukkan bahwa pada tahun 1970, Chili tercatat sebagai
salah satu dari negara demokratis yang paling stabil dan awet di Amerika Latin.
Pemilihan pada tahun 1970 membawa Salvador Allende, kandidat yang didukung oleh
koalisi sayap kiri Popular Unity, ke tampuk kekuasaan. Kebijakan ekonominya
bertujuan untuk mereformasi redistribusi yang melawan kepentingan pribadi elit,
termasuk kepentingan ekonomi Amerika Serikat di Chili. Washington telah berupaya
mencegah terpilihnya Allende dengan mendukung kandidat-kandidat yang menjadi
rivalnya; pasca pemilihan Allende, Amerika Serikat terlibat secara aktif dalam
mendukung oposisi pada partai politik, militer Chili, dan lembaga lainnya. Konfrontasi
tersebut berpuncak pada kup militer yang dipimpin oleh Augusto Pinochet pada tahun
1973, yang memberikan jalan bagi lebih dari lima belas tahun kediktatoran militer
Cili.12

 AS vs. Hamas

Kemenangan demokratik Hamas (Harakah al-Muqâwamah al-Islâmiyah) dalam


pemilu legislatif Palestina 25 Januari 2006, sedikit banyaknya telah mengubah peta dan
arus perpolitikan Palestina. Hamas menang telak dengan perolehan 57,6 % suara atau 80
kursi dari 120 kursi parlemen.13

Berbeda dengan rekan serumpunnya Fatah, tipikal Hamas dilihat terlalu ‘buas’
untuk diajak berunding apalagi bersahabat, sehingga ditakutkan akan menjadi batu
sandungan bagi kepentingan-kepentingan AS dan Israel di Timur Tengah.

12
Loc.cit., Portalhi
13
Tempointeraktiv, “Hamas Menang Pemilu”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2006/01/26/brk,20060126-72998,id.html
8
Sikap arogansi Israel dan AS terhadap kemenangan Hamas ini terlihat dari tindakan
embargo yang dilakukannya terhadap pemerintahan Hamas dan Palestina. Kalau Israel
memulainya dengan pemutusan hubungan komunikasi dengan pemerintah Hamas,
penutupan Jalur Gaza dan penetapan final perbatasan wilayah Israel, maka sekutunya
AS ikut serta melakukan embargo terhadap Palestina, baik politik, ekonomi, sosial dan
kesejahteraan.

AS juga dengan lantang mengajak sekutu negaranya untuk turut memboikot


Palestina (Hamas) seperti yang dilakukannya dan mengutus Condoleza Rice dan
beberapa pejabat tinggi gedung putih untuk mengadakan lawatan ke sejumlah negara
demi meyakinkan dunia bahwa Palestina tidak mungkin mencapai keadilan.14

Bahkan AS sangat mendukung Fatah (partai oposisi) untuk menggulingkan


pemerintahan sah Hamas. Konflik pun berlanjut dimana Hamas mendapat tekanan dari
dunia barat termasuk AS, Eropa, Israel, dan saudaranya sendiri Fatah. Dan sampai kini
pun konflik ini belum berakhir.

Inilah fakta yang sesungguhnya terjadi, karena AS dalam hubungan luar negerinya
hanya melihat negara lain sebagai ‘teman disaat dibutuhkan’ dan tidak pernah
mendasari hubungannya pada persamaan ideologi (demokrasi). Uniknya lagi, AS
pernah juga memasukkan negara-negara sahabat yang non-demokratik tetapi bisa
dipercaya seperti Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Singapura, Indonesia dimasa Presiden
Soeharto, Yugoslavia dimasa Presiden Tito, Portugal dimasa Presiden Salazar, Spanyol
dimasa Presiden Franco, Turki di bawah rezim militer, dan banyak negara Amerika
Latin sebelum ‘trend’ demokrasi dikumandangkan. Karena itu, meskipun pemerintahan
berdasarkan otokrasi, otoriter-diktator, rezim militer dan lainnya adalah negara yang
tidak demokratis, tetapi itu tidak berarti bahwa AS dapat dengan mudah melepaskan
mereka sebagai sekutu, dan itu juga tidak berarti bahwa demokrasi akan membuat
mereka lebih bisa dipercaya. Chili dan Hamas adalah salah satu bukti konkret.

V. Paradigma/ Teori Penunjang Perdamaian Disamping Democratic Peace


Theory

14
Ynetnews, “Rice: Hamas' power must come with responsibility
”, http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3554094,00.html
9
Selama penulis menjalani perkuliahan kurang lebih 6 semester atau 3 tahun,
penulis melihat banyak paradigma atau sebuah pandangan mengenai suatu
penciptaan perdamaian yang memang memiliki perspektiv yang berbeda-beda, tapi
tetap pada tujuan yang sama yaitu menciptakan suatu perdamaian. Berikut adalah
dua paradigma atau pemahaman yang penulis telah dapatkan selama perkuliahan :

 Realisme

Paradigma ini melihat bahwa dunia ini sebenarnya bersifat anarkis (tidak
ada kekuatan yang dapat mengendalikan semua negara), karena itu
dibutuhkan suatu penciptaan power (militer) agar suatu negara dapat
mempertahankan negaranya secara mandiri. Di dalam paradigma ini ada
sebuah teori yang bernama balance of power atau keseimbangan
kekuatan. Teori ini berpendapat bahwa suatu perdamaian akan tercipta
jika kekuatan negara-negara tersebut berimbang. Sebagai analogi, pada
saat ini Amerika Serikat (AS) dapat dikatakan suatu negara super power,
karena itu untuk mengimbangi kekuatannya maka dibutuhkan suatu
kekuatan tandingan agar AS tidak bertindak semenamena dalam
menyatakan perang terhadap negara lain, dan kekuatan tandingannya
adalah jika China dan Rusia bersatu misalnya. Karena adanya
keseimbangan kekuatan tersebut maka perang tidak akan terjadi dan
perdamaian tercipta.

 Liberalis

Paradigma ini lahir akibat melihat adanya kehancuran teramat parah


pasca Perang Dunia I, baik dalam segi korban jiwa, material, dan
lainnya. Mereka berpendapat karena dunia ini anarkis karena itu
dibutuhkan suatu institusi yang bersifat internasional yang mempunyai
suatu hak memberikan punishment bagi negara yang menganggu
perdamaian dan ketentraman dunia. Mereka optimis institusi ini (yang
diakui hampir semua negara dunia, contoh LBB atau PBB) akan menjaga
kelanggengan perdamaian dunia tersebut. Didalam paradigma ini ada
sebuah teori bernama dependensi atau teori ketergantungan, karena
negara-negara tadi telah diikat dalam suatu institusi tentu mereka akan

10
menjalin komunikasi dan interaksi antar sesamanya sehingga
menciptakan suatu ketergantungan. Karena ketergantungan ini mereka
akan berpikir berulang kali untuk berperang.

Sebenarnya masih banyak pradigma-paradigma maupun teori lain yang


mempunyai tujuan sama yaitu menciptakan perdamaian dunia, bukan hanya Teori
Damai Demokrasi saja.

VI. Menjawab Rumusan Masalah Inti

Kita telah melihat berbagai analisa dan suatu pemaparan teoritis diatas mengenai
Teori Damai Demokrasi dan hal-hal lain yang terkait. Penjabaran-penjabaran diatas kita
akan gunakan dalam ‘membedah’ untuk menjawab rumusan masalah inti yaitu “Apakah
menyebarkan demokrasi melalui paksaan (by force) dan/ atau intervensi (intervention)
terhadap negara lain dapat dibenarkan ?”.

Kita mengetahui klaim mengenai Teori Demokrasi Damai dan argumen


penopangnya yang mengatakan bahwa dengan sistem demokrasi yang diterapkan oleh
semua negara maka akan tercipta kedamaian abadi. Apakah atas dasar ini mereka bisa
memaksakan kehendak kepada negara lain untuk mengadopsinya melalui paksaan atau
intervensi? Tentu tidak. Anggapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem yang akan
menciptakan perdamaian memiliki penilaian subjektivitas yang amat tinggi. Kita dapat
melihat banyak cara untuk menciptakan perdamaian seperti beberapa paradigma-teori
yang telah dijelaskan diatas. Karena itu setiap negara berhak untuk menentukan sistem
apakah yang terbaik untuk diterapkan kepada pemerintahannya sekaligus menciptakan
perdamaian bagi dunia.

Demokrasi hanyalah salah satu sistem yang mungkin dapat menciptakan suatu
perdamaian, tetapi bukan satu-satunya sistem yang dapat menciptakan perdamaian.
Terlebih kita dapat melihat bahwa demokrasi itu sendiri bukanlah suatu sistem yang
sempurna tetapi juga memiliki banyak kekurangan, seperti yang telah dijelaskan diatas.

Selain itu demokrasi tidak menyentuh semua akar persoalan dari hakekat
peperangan itu sendiri, penulis telah menjelaskan penyebab peperangan diatas. Memang
salah satunya adalah perbedaan ideologi, tapi jika kita berandai-andai semua negara
menerapkan demokrasi, lalu apa benar tidak akan terjadi peperangan? Belum tentu.

11
Karena alasan penyebab peperangan pun ada lagi selain perbedaan ideologi, seperti
perbedaan kepentingan, kebutuhan sumber daya, dan lainnya.

Karena itu demokrasi tidak bisa menjadi jaminan akan terjadinya perdamaian karena
banyak hal lain yang menjadi alasan untuk berperang disamping ideologi, maka dari itu
untuk apa memaksa negara lain untuk mengadopsi sistem yang tidak ada jaminan penuh
menciptakan perdamaian?.

Dalam penerapannya pun ini jauh dari teori, kita lihat negara Amerika Serikat (AS)
yang merupakan ‘dedengkot’-nya demokrasi (liberal) pada kenyataanya menyerang
negara lain yang juga mengadopsi sistem demokrasi. AS menggulingkan pemerintahan
sah Chili khususnya Presiden Allende yang terpilih melalui mekanisme demokratis,
melalui tangan seorang diktator Pinochet dalam sebuah kudeta.

AS juga berusaha menggulingkan pemerintahan parlemen terpilih sah secara


demokratis di Palestina (Hamas) melalui banyak cara, seperti mengembargo secara
ekonomi, sosial, kesejahteraan dan mengajak seluruh sekutunya untuk melakukan hal
yang sama, mempropagandakan bahwa Hamas tidak akan bisa memimpin Palestina,
hingga mengecap partai ini sebagai gerakan terroris.

Hal ini terbukti bahwa pada kenyataannya sesama penganut demokrasi saja masih
tetap saling menyerang. Lucunya AS malahan berteman baik dengan negara yang
notabene bukan penganut demokrasi seperti yang telah dijelaskan diatas. Walaupun
perang tersebut bukan dalam konteks kontak senjata secara langsung, tapi tetap saja
teori ini gagal dalam menjelaskan fenomena ini. Ini membuktikan perdamaian bukan
hanya tercipta melalui suatu sistem pemerintahan saja.

Kalau kita melihat hal tersebut (penyerangan AS) sepertinya teori ini malah berbalik
menjelaskan bahwa Teori Damai Demokrasi hanyalah suatu alasan bagi suatu negara
untuk menyerang negara lain yang sebenarnya tujuan utamanya adalah kepentingan
negara (national interest) tetapi dibungkus rapih dengan ‘tujuan perdamaian’.

Jika kita melihat paradigma atau teori lain yang juga memiliki tujuan menciptakan
perdamaian seperti realis-balance of power dan liberal-dependency, dan pandangan-
pandangan lainnya, maka kita melihat teori tersebut jarang yang berkutat pada sistem
pemerintahan. Kebanyakan berkutat pada power, yang penafsiran power saat ini pun
bermacam-macam.
12
Selain itu jika ada negara yang tetap memaksakan Teori Damai Demokrasi ini
kepada negara lain bukankah akan menghina kedaulatan negara tersebut, apakah ada
negara yang kedaulatannya ingin di hina seperti itu. Terlebih jika pemaksaan atau
intervensi tersebut dilakukan melalui peperangan, maka hal lucu pun akan terjadi
dimana pihak yang memaksakan teori yang katanya ‘menciptakan perdamaian’ tetapi
dengan jalan ‘menciptakan peperangan’, lalu jika hal ini terjadi siapa yang akan percaya
kebenaran teori ini? Hal ini terjadi ketika AS menginvasi Irak atas dasar pembebasan
rakyat Irak atas kediktatoran Saddam Husein dan mengenalkan demokrasinya, yang
ternyata belakangan ketahuan bahwa motif invasi tersebut adalah kandungan minyak di
Irak. Parahnya AS banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam operasi
militernya tersebut.

Kesimpulannya, dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan suatu negara


memaksakan atau intervensi terhadap negara lain agar menerapkan sistem demokrasi,
dikarenakan banyak hal seperti ketidakmampuan demokrasi menciptakan perdamaian
itu sendiri, ketidak sempurnaan demokrasi, penghinaan atas kedaulatan negara lain,
ketidakbenaran pemaksaan atau intervensi dalam bentuk apapun apalagi perang yang
identik dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia, ketidakpercayaan pihak lain terhadap
demokrasi, dan kebebasan setiap negara di dunia dalam menentukan sistem
pemerintahan yang terbaik bagi mereka.

Format Penulisan

Tipe tulisan : Times New Roman

Ukuran : 12

Spasi : 1,5

Margin : kiri-kanan 3,5 cm

Jumlah kata dalam pembahasan : 3017

13
Tipe footnote : Chicago style

Daftar Pustaka

Buku

Abdulkarim, Aim. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara


yang Demokratis, Jakarta: PT Grafindo Media Pratama.

Website/ situs

Anti-democracy,” Bioethics and Deliberative Democracy: Five Warnings from

Hobbes”, http://www.anti-democracy.com/2010/02/article-bioethics-and-
deliberative.html, (diakses tgl. 14 Juni 2010, pkl. 13.10 wib)

14
Astarizon, “Demokrasi”, http://www.astarizon.org/wawasan/demokrasi.html, (diakses
tgl. 13 Juni 2010, pkl. 08.25 wib)

Askoxford, http://www.askoxford.com/concise_oed/warx?view=uk, (diakses tgl. 14


Juni 2010, pkl. 14.20 wib)

Journals Cambridge,” Globalizing Democracy and Human Rights Carol Gould”,


http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?
fromPage=online&aid=5453148, (diakses tgl. 14 Juni 2010, pkl. 12.20 wib)

Mtholyoke, “Immanuel Kant Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”,


http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/kant/kant1.htm, (diakses tgl. 13 Juni
2010, pkl. 09.15 wib)

Newsvine, “Plato's Criticisms of Democracy”,


http://newsvine.com/_news/2008/02/16/1305759-platos-criticisms-of-
democracy, (diakses tgl. 14 Juni 2010, pkl. 12.45 wib)

Portalhi, “Kritik Terhadap Teori Perdamaian Demokrasi”,


http://portalhi.web.id/?p=124,
(diakses tgl. 13 Juni 2010, pkl. 10.20 wib)

Racialicious, “Herts Critical Democracy”,


http://www.racialicious.com/2009/11/04/capitalism-isnt-a-love-story-noreena-
hertz-the-new-world-order/, (diakses tgl. 14 Juni 2010, pkl. 10.15 wib)

Tempointeraktiv, “Hamas Menang Pemilu”,


http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2006/01/26/brk,20060126-
72998,id.html, (diakses tgl. 14 Juni 2010, pkl. 14.30 wib)

Ynetnews, “Rice: Hamas' power must come with responsibility


”, http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3554094,00.html, (diakses tgl. 14
Juni 2010, pkl. 14.30 wib)

15
16

Anda mungkin juga menyukai