Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344795511

Upaya Pengembangan Industri Batik di Indonesia

Article in Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah · June 2020


DOI: 10.22322/dkb.v37i1.5945

CITATIONS READS

16 4,962

8 authors, including:

Abi Pratiwa Siregar Alia Raya


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
28 PUBLICATIONS 81 CITATIONS 69 PUBLICATIONS 135 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Agus dwi Nugroho Riesma Andiani


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
52 PUBLICATIONS 226 CITATIONS 6 PUBLICATIONS 39 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

social sciaence project View project

Direct relationship between food commercialization and food security in Java, Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Alia Raya on 28 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


VOL. 37 NO. 1, JUNI 2020, Hal 79 - 92

UPAYA PENGEMBANGAN INDUSTRI BATIK DI INDONESIA


Batik Industry Development Efforts In Indonesia

Abi Pratiwa Siregar, Alia Bihrajihant Raya, Agus Dwi Nugroho, Fairuz Indana, I Made Yoga
Prasada, Riesma Andiani, Theresia Gracia Yunindi Simbolon, dan Agustina Tri Kinasih
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Korenspondesi Penulis
Naskah Masuk : 06 Februari 2020
Email : abipratiwasiregar@ugm.ac.id Revisi : 10 Maret 2020
Disetujui : 19 Maret 2020

Kata kunci : industri Batik, pengembangan, permasalahan, printing bermotif batik


Keywords : printed batik, development, batik industry, problems

ABSTRAK
Sejak pengakuan UNESCO pada tahun 2009, batik berkembang lebih cepat dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Namun demikian, hingga saat ini ketersediaan printing mengenai perkembangan batik
masih menjadi kendala yang belum terselesaikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perkembangan batik ditinjau dari jumlah usaha, jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, dan
permasalahan yang dihadapi oleh industri batik serta merumuskan upaya dalam pengembangan
industri batik. Penelitian ini dilakukan di 27 provinsi di Indonesia dengan menggunakan metode
deskriptif analitis menggunakan data primer dan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian,
diperkirakan jumlah industri batik di Indonesia mencapai 6.120 unit dengan tenaga kerja sebanyak
37.093 orang dan mampu mencapai nilai produksi sekitar 407,5 miliar rupiah per bulan atau setara
4,89 triliun rupiah per tahun. Permasalahan yang dihadapi industri batik terdiri dari printing, bahan
baku, keterampilan tenaga kerja, pengembangan usaha kain lokal, pengelolaan limbah, pembinaan
dan pendampingan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), persaingan dengan printing bermotif
batik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan batik yaitu memperbaharui printing
industri batik, koordinasi sistem database batik, pemanfaatan sumber daya alam lokal dengan
meningkatkan penggunaan pewarna alam, optimalisasi pembinaan industri dan peran Balai Latihan
Kerja (BLK) dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja, sosialisasi potensi batik, pembangunan
pengolahan limbah dan peningkatan kesadaran industri batik mengenai pengelolaan limbah,
penguatan brand batik tulis dan batik cap, dan advokasi dan pemasaran sosial kepada konsumen
mengenai batik tulis dan batik cap.

ABSTRACT
Since UNESCO's recognition in 2009, batik has developed faster than in previous years. However, until
now the database on the development of batik is still an unfinished solution. The purpose of this
study was to determine the development of batik in terms of the number of businesses, the number
of workers, production capacity, and problems related to the batik industry as well as formulating
development efforts in the batik industry. This research was conducted in 27 provinces in Indonesia
using descriptive-analytical methods using primary data and secondary data. Based on the research
results, it is estimated that the number of batik industries in Indonesia reached 6.120 units with a
workforce of 37,093 people and was able to reach a production value of around 407.5 billion rupiahs
per month or equivalent to 4.89 trillion rupiahs per year. Problems related to the batik industry consist
of basic data, raw materials, work skills, local fabric development, waste management, guidance and
assistance by the Regional Organization of Organizations (OPD), competition with printed batik.
ejournal.kemenperin.go.id/dkb
DOI 10.22322/dkb.V36i1.4149 - ISSN: E 2528-6196 / P 2087-4294
Akreditasi Kemenristekdikti 30/E/KPT/2018 79
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

Efforts can be made to develop batik, such as updating the batik industry database, batik system
database, utilizing local natural resources by increasing the use of natural dyes, optimizing industrial
development and the role of the Vocational Training Center (BLK) in increasing workforce, socializing
the potential of batik, construction of waste treatment and increasing awareness of the batik industry
about waste management, strengthening of written and printed batik brands, and advocacy and social
marketing for consumers regarding written batik and printed batik.

PENDAHULUAN berkorelasi positif dengan jumlah


Batik merupakan karya seni adiluhung permintaan (Suliyanto et al., 2015).
bangsa Indonesia yang dikenal sejak zaman Pemerintah memberikan himbauan agar
kerajaan Majapahit dan terus berkembang para pegawai negeri menggunakan batik
hingga saat ini (Salma & Eskak, 2012). pada hari-hari tertentu, khususnya pada
Namun demikian, karena perlindungan peringatan Hari Batik Nasional (Nurainun et
hukum terhadap kekayaan intelektual al., 2008). Sedangkan masyarakat umum
masyarakat asli tradisional masih lemah, semakin bangga menggunakan batik, baik
batik pernah diakui sebagai milik negara untuk yang tua maupun kaum muda (Utami
lain atau milik perusahaan swasta (Patji, & Triyono, 2011).
2010; Tololiu, 2014). Menanggapi hal Dampak lain pengakuan UNESCO
tersebut, Indonesia menyiapkan berbagai adalah bertambahnya variasi teknik
kajian, seminar, dan workshop/pameran membatik (Wulandari, 2011). Saat ini
terkait batik untuk kemudian mengambil terdapat batik yang dibuat secara tulis, lukis,
upaya hukum. dan cap (Singgih, 2016). Ketiga jenis batik
Perlindungan hukum terhadap batik tersebut merupakan buatan tangan
dilakukan melalui keanggotaan Indonesia di (handmade), sehingga proses
UNESCO (Randa & Rani, 2014). Pada pembuatannya relatif lama dan harga
tanggal 3 September tahun 2008, jualnya relatif mahal. Akibatnya, tidak
pemerintah menominasikan batik dan seluruh masyarakat dapat membeli (Kina,
akhirnya diterima untuk diproses oleh 2013).
UNESCO beberapa bulan kemudian Seiring berkembangnya teknologi, saat
(Lusianti & Rani, 2012). Menjelang akhir ini telah tersedia jenis printing bermotif
tahun 2009, UNESCO secara resmi batik, yaitu tekstil bermotif batik yang
mengakui batik sebagai warisan budaya tak dihasilkan melalui proses sablon. Sistem
benda (Kemanusiaan untuk Budaya Lisan produksi tersebut menghasilkan tekstil
dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral bermotif batik secara massal dalam waktu
and the Intangible Heritage of Humanity)), singkat, dan mampu dijual dengan harga
tepatnya tanggal 2 Oktober 2009 ((Setiawan relatif murah dibandingkan batik cap,
et al., 2014; Aditya, 2015; Triana & apalagi batik tulis (Setiawati et al., 2011;
Retnosary, 2020) Nawawi, 2018). Menurut Kurniasih (2018),
Adanya pengakuan secara resmi dari apabila dihadapkan pada produk yang sama,
lembaga internasional terhadap batik konsumen cenderung memilih harga yang

80 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92

lebih murah. Hal tersebut terjadi pada Tantangan lain dalam pengembangan
industri batik. Masyarakat awam cenderung batik adalah ketersediaan data. Setelah
membeli printing bermotif batik dibanding sepuluh tahun memperingati Hari Batik
batik jenis lainnya. Nasional, Indonesia belum memiliki data
Industri batik tidak saja terancam oleh batik yang mutakhir. Terakhir kali pada
batik tiruan produksi lokal melainkan juga tahun 2012, industri batik di Indonesia
produksi negara lain (Oscario, 2014; sebanyak 40.922 unit dengan nilai produksi
Masiswo et al., 2017). Sejak tahun 2012 Rp. 3,1 triliyun. Tujuan dari penelitian ini
hingga 2014, impor produk tekstil batik dan adalah untuk mengetahui jumlah industri,
motif batik naik 17,9% atau sebesar jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, dan
US$13,25 juta (Handoyo & Wikanto, 2015). permasalahan serta merumuskan upaya
Fenomena ini merupakan suatu hal yang dalam pengembangan industri batik.
tidak dapat dihindari, khususnya bagi
produsen batik cap, karena target/segmen METODOLOGI PENELITIAN
pasarnya sama dengan printing bermotif Penelitian ini dilaksanakan sejak
batik (Setiawati et al., 2011). November hingga Desember tahun 2019 di
Lebih lanjut, status yang diberikan di 27 provinsi dari total 34 provinsi di
UNESCO kepada batik tidak hanya Indonesia. Total responden sebanyak 53
membawa manfaat namun juga tanggung industri batik dan untuk menggali informasi
jawab yang besar. Pemerintah diminta lebih dalam, dilakukan wawancara dengan
untuk sanggup menjaga, melestarikan, dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di
mewariskan secara estafet kepada generasi setiap provinsi. Tujuh provinsi yang tidak
yang akan datang. Jika tidak dilaksanakan, termasuk lokasi penelitian adalah Nusa
maka sanksinya adalah dicabut atau Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
dihapus dari daftar warisan budaya dunia Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi
(Asri, 2018). Barat, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat.
Atas dasar hal tersebut, pemerintah Hal ini dikarenakan tidak adanya industri
perlu merumuskan upaya yang efektif batik berdasarkan informasi dari OPD di
dalam mengembangkan batik di Indonesia. masing-masing wilayah tersebut.
Apabila industri batik dibiarkan bersaing Metode penelitian ini adalah deksriptif
dengan printing bermotif batik melalui analitis yaitu suatu metode yang
mekanisme pasar, maka akan kalah dan memberikan gambaran keadaan yang
terpaksa menutup usahanya (Setiawati et al., sebenarnya dari obyek yang diteliti
2011). Lebih lanjut, jika printing bermotif berdasarkan fakta-fakta yang ada dengan
batik mendominasi industri batik, maka hal cara mengumpulkan, mengolah, dan
tersebut tidak sejalan dengan filosofi batik menganalisis berbagai macam data
sebagai sebuah teknik dan proses yang sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan
bersama di dalamnya ada motif/pola (Rori, 2013). Data dalam penelitian ini
dengan nilai seni yang dihasilkan dan
bernilai ekonomi (Nawawi, 2018).

Siregar, A.P.., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia 81


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

Gambar 1. Persebaran Industri Batik di Indonesia menurut Jumlah Industri


(keterangan: na = tidak termasuk sebagai lokasi penelitian)
Sumber: Pemerintah Daerah Provinsi di Indonesia (2019)

terdiri dari data primer yang berasal dari hingga saat ini (Handayani, 2018). Di
wawancara kepada dinas perindustrian wilayah ini, beberapa perajin batik bahkan
(OPD), asosiasi dan industri batik dan data telah memiliki cabang di kota besar lain,
sekunder yang berasal dari para pemangku seperti Jakarta dan Yogyakarta sehingga
kepentingan terkait industri batik. pemasarannya semakin meluas. Selain itu,
ada beberapa perajin batik tulis besar yang
HASIL DAN PEMBAHASAN berhasil ekspor (Wahyuningsih & Fauziah,
Jumlah Industri Batik di Indonesia 2016). Perkembangan industri batik di
Status wilayah penghasil batik masih Cirebon juga dipengaruhi oleh pesanan
melekat pada Pulau Jawa. Delapan puluh motif khas dari daerah lain seperti Sumatera
tujuh persen industri batik di Indonesia Selatan karena keterbatasan sumber daya
tersebar di Jawa Barat (38,42%), Jawa manusia di wilayahnya (Suryani, 2017).
Tengah (26,22%), Daerah Istimewa Di luar Pulau Jawa, perkembangan
Yogyakarta (DIY) (19,52%), Jawa Timur industri batik di Provinsi Jambi merupakan
(2,66%), Banten (0,23%), dan Daerah Khusus yang paling masif. Jika ditinjau berdasarkan
Ibukota (DKI) Jakarta (0,05%) sedangkan di sejarahnya, perkembangan batik di wilayah
luar Pulau Jawa industri batik terbanyak ini juga tidak terlepas dari perkembangan
berada di Provinsi Jambi. kerajaan dan penggunaan batik yang
Provinsi Jawa Barat menempati awalnya terbatas pada keluarga kerajaan,
peringkat satu dengan jumlah industri batik kerabat kerajaan, maupun kaum bangsawan
terbanyak. Hal ini tidak terlepas dari status (DISBUDPAR Jambi, 2017).
Cirebon yang merupakan salah satu sentra Batik Jambi memiliki daya saing untuk
batik dan telah mengukir perjanan panjang berkompetisi di pasar lokal maupun

82 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92

Gambar 2. Persebaran Industri Batik di Indonesia menurut Jumlah Tenaga Kerja


Sumber: Pemerintah Daerah Provinsi di Indonesia (2019)

nasional. Faktor pendukungnya antara lain Untuk 1 lot (110 potong) batik tulis
spesifikasi produk, infrastruktur, kebijakan membutuhkan waktu 6.594 menit (Rinawati
pemerintah, sumber daya manusia dan et al., 2013), sementara batik cap sejak awal
IPTEK. Kebijakan pemerintah diwujudkan pemotongan kain penglorodan
hingga
dalam bentuk peningkatan sarana dan kurang lebih 912 menit (Rinawati et al.,
fasilitas pemasaran showroom
seperti 2012). Di sisi lain, printing bermotif batik
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Jambi, dihasilkan melalui proses sablon dengan
Art Shop Kembang Seri Wisma Perwakilan lama pembuatan sekitar 5 menit (Suhardi et
Jambi-Jakarta, Showroom Kembang Seri al., 2017). Pada batik tulis dan cap,
Jambi, Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang kebutuhan atas tenaga kerja relatif tinggi
Masak Mudung Laut Seberang Jambi dan karena pada setiap tahapannya dikerjakan
Galeri Batik Berkah Jambi (Raf, 2012). secara manual. Sedangkan printing bermotif
batik menggunakan mesin sehingga tidak
Jumlah Tenaga Kerja Industri Batik di butuh banyak tenaga kerja.
Indonesia Jika berdasarkan wilayah, maka Jawa
Sejauh mana industri batik berperan di Tengah, Aceh, dan Jawa Timur merupakan
masyarakat dapat ditinjau melalui berapa tiga wilayah teratas, di mana setiap industri
banyak tenaga kerja yang diserap oleh batiknya menyerap tenaga kerja masing-
industri batik tersebut. Selain itu, banyaknya masing sebanyak 12 orang, 10 orang, dan 9
tenaga kerja yang dilibatkan bisa menjadi orang.
indikasi terhadap jenis batik yang dihasilkan.

Siregar, A.P.., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia 83


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

Gambar 3. Persebaran IKM Batik di Indonesia menurut Nilai Produksi


Sumber: Pemerintah Daerah Provinsi di Indonesia (2019)

Nilai Produksi Industri Batik di Indonesia Tabel 1. Permasalahan Industri Batik di


Berdasarkan hasil pengumpulan data, Indonesia
diketahui nilai produksi batik di Indonesia No Keterangan Parameter %
1 Printing a. Database tidak 4
mencapai 407,5 miliar rupiah per bulan atau
update
setara 4,89 triliun rupiah per tahun. b. Database perlu 4
Pencapaian produksi tersebut ditopang oleh verifikasi ulang
tenaga kerja sebanyak 37.093 orang. c. Database lengkap 43
d. Database tidak 31
Diperkirakan jumlah tenaga kerja dan nilai
lengkap
produksi batik yang tercatat masih di bawah e. Tidak ada 19
dari nilai aktual (undervalued) karena database
beberapa provinsi tidak memiliki printing 2 Bahan a. Kesulitan bahan 66
Baku baku
tentang nilai kedua variabel tersebut.
b. Tidak kesulitan 34
bahan baku
PERMASALAHAN INDUSTRI BATIK DI 3 Keteram- a. Tenaga kerja 58
INDONESIA pilan kurang terampil
tenaga b. Tenaga kerja 42
Antusiasme masyarakat di Indonesia
kerja terampil
terhadap batik baik untuk pakaian formal 4 Pengem- a. Fokus pada kain 26
maupun sehari-hari semakin tinggi dari bangan lokal
waktu ke waktu. Namun demikian, industri usaha kain b. Mengembangkan 74
lokal seluruh jenis kain
ini juga tidak terlepas dari berbagai tidak hanya lokal
permasalahan. Dimulai dari ketersediaan 5 Pengelola- a. Tidak melakukan 81
printing, faktor produksi seperti bahan baku an limbah b. Melakukan 19
dan tenaga kerja, hingga fokus dalam 6 Persaingan a. Ya 48
dengan b. Tidak 52
pengembangan kain lokal.
printing
bermotif
batik

84 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92

Printing Pengembangan usaha kain lokal


Ketersediaan printing yang valid dan Beberapa wilayah di luar Pulau Jawa
mutakhir merupakan salah satu prasyarat lebih fokus pada pengembangan usaha kain
untuk menyusun rencana pengembangan lokal yang sudah ada sejak lama
yang efektif dan efisien. Dari total 27 dibandingkan batik yang baru saja
provinsi, sebagian besar tidak memiliki disosialisasikan oleh pemerintah sejak
printing atau tidak memperbaharui data. adanya pengakuan UNESCO. Sebagai
Hal yang menjadi alasan antara lain belum contoh, Provinsi Sumatera Selatan, Sulawesi
adanya komunikasi antara pemerintah Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan
daerah dan industri batik, dan keterbatasan provinsi di Kalimantan memiliki kain lokal
anggaran untuk melaksanakan yang lebih berkembang daripada usaha
pengumpulan data. batik.
Usaha kain lokal tersebut bahkan telah
Bahan baku menembus pasar ekspor. Serapan pasar
Bahan baku merupakan salah satu terhadap kain lokal ini juga sangat tinggi
komponen strategis dalam industri batik. sehingga OPD di provinsi dan industri lebih
Bagi industri batik yang berada di Pulau memilih mengembakan usaha kain lokal.
Jawa, bahan baku relatif mudah untuk Akibatnya insentif bagi usaha batik masih
dijangkau. Kondisi sebaliknya dihadapi rendah dan membuat industri batik kurang
industri batik di luar Pulau Jawa, di mana berkembang.
bahan baku dibeli dari Pulau Jawa sehingga
harus dikirimkan dan membutuhkan waktu Pengelolaan limbah
yang relatif lama. Hal ini berdampak pada Sebagian besar industri batik di Pulau
kurang lancarnya aktivitas produksi dan Jawa menggunakan bahan pewarna buatan.
meningkatnya biaya produksi. Keadaan ini dapat menjadi masalah di
waktu yang akan datang karena limbah
Keterampilan tenaga kerja yang dihasilkan belum dikelola. Bahkan,
Produksi batik, khususnya batik cap dan banyak industri yang membuang limbah ke
batik tulis membutuhkan keterampilan dan sungai. Dampaknya, warna sungai berubah
ketelitian. Oleh karena itu, tidak semua dan menghasilkan bau tidak sedap. Hal ini
orang bisa membuat batik. Bagi industri dapat merugikan masyarakat yang
batik di Pulau Jawa, tenaga kerja terampil mengandalkan sungai sebagai mata
relatif mudah ditemukan. Sementara bagi pencaharian atau aktifitas sehari-hari.
industri batik di luar Pulau Jawa, pada
umumnya mengundang perajin batik dari Persaingan dengan printing bermotif
Pulau Jawa untuk memberi pelatihan dalam batik
kurun waktu tertentu. Setelah itu, Perkembangan usaha printing bermotif
mengupayakan SDM lokal yang telah batik pada prinsipnya sangat mengganggu
terlatih untuk menjadi tenaga kerja. keberlanjutan industri batik. Keunggulan
produk printing bermotif batik adalah bisa
dihasilkan dalam jumlah banyak namun

Siregar, A.P.., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia 85


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

waktunya relatif singkat. Namun demikian, Pembinaan dan pendampingan oleh OPD
apabila industri batik dihadapkan pada Selain permasalahan yang sudah
segmen pasar yang sama, industri batik tulis dicantumkan pada Tabel 1 di atas
dan batik cap akan kalah dari sisi harga dan berdasarkan hasil observasi di lapangan,
kuantitas produk. salah satu tantangan dalam pengembangan
Usaha printing bermotif batik sebagian batik adalah tekad dari pemerintah daerah
besar dimiliki oleh pengusaha bermodal melalui OPD terkait. Beberapa OPD (Dinas
besar dengan kecenderungan berorientasi Perindustrian) di provinsi di Pulau Jawa
keuntungan tanpa memperhatikan sangat aktif dalam melakukan pembinaan.
kelestarian budaya. Terkait hal ini, Pembinaan terkait dengan peningkatan
persaingan batik tulis dan batik cap dengan keterampilan industri batik baik dalam
usaha printing bermotif batik terjadi di proses produksi maupun pemasaran.
setiap wilayah yang memiliki industri batik, Namun demikian, pembinaan ini belum
baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau sepenuhnya menyasar seluruh industri.
Jawa. Bahkan, ada industri di Kabupaten
Pada akhirnya, ada industri batik yang Bangkalan yang sudah lama tidak mendapat
awalnya hanya ingin fokus pada batik tulis pelatihan dari dinas.
dan/atau batik cap juga terpaksa menjual
printing bermotif batik. Alasannya untuk
memenuhi permintaan pasar dalam jumlah STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI
banyak seperti seragam kantor atau sekolah BATIK DI INDONESIA
dan untuk menjangkau konsumen Memperbaharui printing industri batik
menengah ke bawah. Kegiatan memperbaharui printing
Masyarakat belum memahami industri batik perlu diupayakan oleh dinas
perbedaan antara printing dengan batik cap perindustrian di tingkat kabupaten/kota dan
dan tulis, sehingga variabel utama dalam provinsi. Dinas tersebut dapat bekerjasama
memilih batik adalah harga. Tidak dapat dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
dipungkiri, pemerintah daerah juga dalam sehingga printing dapat diperbaharui secara
beberapa kegiatan turut serta membeli berkala.
produk printing bermotif batik untuk Langkah lain yang dapat ditempuh
keperluan seragam. adalah menjalin kerja sama dengan asosiasi
Bagi beberapa industri, usaha printing pengusaha/perajin batik baik di tingkat
bermotif batik ini tidak dapat dikatakan kabupaten/kota maupun provinsi. Untuk
sebagai batik seperti halnya tulis dan cap. menyusun database yang baik, maka data
Sebab proses pembuatannya hanya yang diperlukan antara lain: kode industri,
disablon. Dari aspek budaya, printing nama industri, nama merk, nomor IUI,
bermotif batik memiliki motif atau unsur nomor SNI, nama pemilik, alamat industri,
budaya daerah namun dalam proses nomor telepon, jumlah tenaga kerja, jenis
pembuatannya, mengusung modernisme produk batik, jumlah produksi, nilai
melalui penggunaan alat atau mesin sablon. produksi, nilai investasi, jenis bahan baku,

86 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92

kebutuhan bahan baku, ketersediaan alat, meningkatkan kearifan lokal dan kekhasan
jumlah penjualan, dan wilayah pemasaran. warna batik dari masing-masing wilayah.
Selain itu, permasalahan lingkungan terkait
Koordinasi sistem database batik limbah pewarna batik dapat diminimalisir.
Apabila printing industri batik di tingkat Untuk meningkatkan minat industri
provinsi belum tersedia, maka data yang menggunakan bahan pewarna alami maka
berada di pusat juga belum tentu sesuai dinas harus aktif melaksanakan sosialisasi.
dengan kondisi faktual di setiap wilayah di Bahkan, apabila memungkinkan dinas
Indonesia. Pada saaat ini, koordinasi sistem menjalin kerja sama dengan eksportir untuk
pendataan batik di antara pemerintah mengirim batik tersebut ke luar negeri. Hal
provinsi, kota/kabupaten bahkan ini sangat mungkin terjadi karena pembeli
pemerintah pusat belum terlaksana dengan di luar negeri sangat menyukai batik
baik. Sebagai contoh, beberapa daerah dengan bahan pewarna alami.
menyatakan telah melaporkan langsung
data batik ke pusat melalui sistem online. Optimalisasi pembinaan industri dan
Namun, pada kenyataannya provinsi, peran BLK dalam peningkatan
kabupaten dan kota tidak mempunyai keterampilan tenaga kerja industri
rekapitulasi data tersebut karena Dinas dan asosiasi perlu mengupayakan
pemerintah pusat tidak memberikan akses pelatihan yang sebisa mungkin
data kepada dinas. Hal ini tentu saja mengutamakan para perajin baru karena
merugikan industri yang telah mempunyai cenderung lebih cepat dalam mengadopsi
izin usaha industri tetapi keberadaannya hal yang baru. Hal ini dicontohkan oleh
tidak diketahui oleh pemerintah daerahnya. Dinas Perindustrian Provinsi Bengkulu yang
mendorong peserta pelatihan berusia 18-35
Pemanfaatan sumber daya alam lokal tahun. Lulusan pelatihan diharapkan
dengan meningkatkan penggunaan mampu menjadi tenaga kerja terampil
pewarna alam dalam usaha batik.
Ketergantungan pewarna kimia yang Solusi lain adalah peningkatan
ketersediaannya hanya ada di Pulau Jawa keterampilan teknik membatik melalui
menyebabkan usaha batik di luar Pulau kerjasama dengan Balai Latihan Kerja (BLK).
Jawa mengalami kesulitan dalam BLK diharapkan dapat membekali tenaga
pengadaan bahan pewarna. Proses muda dengan materi mengenai
pengiriman bahan pewarnanya tentunya kemampuan teknis produksi maupun
membutuhkan waktu distribusi yang lama pemasaran batik. Selain itu, jika peserta
serta biaya tinggi. Masalah ini dapat pelatihan telah lulus maka BLK juga dapat
terselesaikan apabila industri batik mampu memberikan bantuan berupa alat standar
memanfaatkan pewarna alam yang ada di produksi batik seperti meja produksi,
wilayah sekitar usaha. Banyak sekali bahan cap/canting, wajan dan kompor.
pewarna yang tersedia di alam, misalnya Langkah lain yang dapat diadopsi
indigofera, kulit kayu, sari daun atau buah dicontohkan oleh Provinsi Sumatera Barat
dan sebagainya. Proses ini nantinya akan dan NTB. Kedua wilayah ini berupaya

Siregar, A.P.., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia 87


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

meningkatkan keterampilan sumber daya tekstil. Batik sebaiknya tidak hanya dimaknai
manusia melalui pembentukan SMK batik. sekedar kain bergambar seperti desain pada
Langkah konkret ini dapat industri tekstil tetapi batik adalah sebuah
diimplementasikan juga di wilayah lain. proses pewarnaan kain dengan melalui
Akan tetapi, jika dirasa akan menelan biaya tahapan penutupan kain menggunakan lilin
yang relatif tinggi, upaya selanjutnya yang dan fiksasi warna sehingga menghasilkan
bisa dilakukan adalah melibatkan batik motif ciri khas kewilayahan sebagai sebuah
sebagai mata pelajaran. Misalnya, membatik karya seni.
sebagai muatan lokal kurikulum. Langkah lain yang dapat dilakukan
adalah adanya informasi yang tegas dan
Sosialisasi potensi batik jelas terkait jenis produk (batik tulis/batik
Untuk meningkatkan minat berbisnis cap/batik tulis) di pengusaha batik baik
batik, khususnya di luar Pulau Jawa maka dalam bentuk toko modern atau di pasar
perlu ada sosialisasi secara berkala tradisional.
mengenai potensi bisnis batik. Masyarakat
Pembangunan pengolahan limbah dan
saat ini belum mengetahui bahwa usaha
peningkatan kesadaran industri batik
batik mampu memberikan penerimaan
mengenai pengelolaan limbah
cukup besar. Selain itu, potensi ekspor batik
Upaya yang dapat dilakukan dalam
juga sangat tinggi karena batik merupakan
mengatasi permasalahan limbah batik
warisan budaya yang diakui dunia.
adalah mengadakan instalasi pengolahan
Untuk mempercepat sosialisasi potensi
air limbah (IPAL). Proses membangun IPAL
batik ini, dapat bekerjasama dengan public
dapat memanfaatkan pendanaan, baik
figure dan disampaikan baik dalam event
swadaya industri batik, pemanfaatan dana
seperti pameran maupun media sosial.
APBD/APBN maupun akses dana CSR
Lebih lanjut, dapat juga melibatkan desainer
perusahaan.
lokal/nasional untuk mengolah kain batik
Pasca pembangunan IPAL, maka perlu
menjadi lebih fashionable.
diadakan pembimbingan untuk
Penguatan brand batik tulis dan batik meningkatkan kesadaran industri batik
cap untuk pengelolaan limbah. Proses ini
Menurut keterangan OPD dan industri menjadi penting karena kondisi faktual
batik, usaha printing bermotif batik telah membuktikan kesadaran industri batik
menghilangkan esensi dan aspek seni pada untuk mengelola limbah masih rendah.
pembuatan batik. Esensi batik adalah Bahkan, di Kabupaten Pekalongan sebagai
pewarnaan dengan teknik menutup bagian salah satu sentra batik di Indonesia,
yang tidak diwarnai dengan lilin. Selain itu sebenarnya sudah dibangun IPAL namun
juga pengakuan dunia atas batik dilihat saat ini tidak digunakan oleh industri batik
sebagai warisan kekayaan dunia karena yang ada.
aspek seni motif batik.
Oleh karena itu, perlu adanya
pemisahan kode usaha bagi batik dengan

88 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92

Advokasi dan pemasaran sosial kepada perbedaan batik tulis, batik cap, dan
konsumen mengenai batik tulis dan batik printing bermotif batik. Selain itu, juga perlu
cap dilakukan penelitian mengenai persepsi dan
Advokasi dan pemasaran sosial (social preferensi konsumen terhadap batik motif
marketing) terhadap esensi batik bertujuan budaya lokal.
untuk meningkatkan pemahaman
konsumen mengenai perbedaan antara UCAPAN TERIMA KASIH
batik tulis/cap dengan printing bermotif Terima kasih kami sampaikan kepada
batik. Advokasi dan pemasaran sosial dapat Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah
dilakukan melalui media massa maupun dan Aneka atas kesempatan yang telah
media digital. Pemanfaatan media digital diberikan untuk melaksanakan penelitian ini.
dengan melakukan digital storytelling Terima kasih juga kepada Dinas
dimana pemerintah, asosiasi, industri batik, Perindustrian, asosiasi pengusaha/perajin
pendamping, dan masyarakat penggiat batik, dan industri batik pada masing-
batik mengedukasi masyarakat luas melalui masing wilayah penelitian atas kesediannya
tulisan yang mendukung batik tulis/cap. berbagi informasi dan berdiskusi mengenai
Untuk mempercepat proses ini, maka perlu perkembangan industri batik.
pemanfaatan media sosial seperti Instagram,
Facebook, Twitter maupun lainnya. DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D. F. (2014). Fashion and Fashion
KESIMPULAN DAN SARAN Education Journal. Fashion and Fashion
Kesimpulan Education Journal, 3(1), 27–33.
Asri, D. P. B. (2018). Perlindungan Hukum
Jumlah industri batik di Indonesia
Terhadap Kebudayaan Melalui World
diperkirakan mencapai 6.120 unit dengan
Heritage Centre UNESCO. Jurnal
tenaga kerja sebanyak 37.093 orang dan Hukum IUS QUIA IUSTUM, 25(2), 256–
mampu mencapai nilai produksi sekitar 276.
407,5 miliar rupiah per bulan atau setara DISBUDPAR Jambi. (2017). Batik Jambi.
4,89 triliun rupiah per tahun. Permasalahan https://disparbud.jambikota.go.id/batik
yang dihadapi oleh industri batik terdiri dari -jambi/
Handayani, W. (2018). Bentuk, Makna Dan
printing, bahan baku, keterampilan tenaga
Fungsi Seni Kerajinan Batik Cirebon.
kerja, pengembangan usaha kain lokal, Jurnal ATRAT, 6(1), 58–71.
pengelolaan limbah, pembinaan dan Handoyo, & Wikanto, A. (2015). Impor Batik
pendampingan oleh Organisasi Perangkat tak Lagi Bebas.
Daerah (OPD), persaingan dengan printing https://nasional.kontan.co.id/news/imp
bermotif batik. or-batik-tak-lagi-bebas
Kina. (2013). Batik Nusantara : Batik of the
Archipelago.
Saran
Kurniasih, R. (2018). Analisis Perilaku
Perlu dilakukan pendataan secara Konsumen Terhadap Produk Batik Tulis
reguler dan berkelanjutan mengenai Banyumas. Jurnal Ekonomi, Bisnis, Dan
sebaran industri batik di Indonesia dan Akuntansi (JEBA), 20(01), 1–12.
sosialisasi kepada masyarakat tentang Lusianti, L. P., & Rani, F. (2012). Model

Siregar, A.P.., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia 89


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

Diplomasi Indonesia Terhadap Batik Saud Effendy, Laweyan ). J@Ti


UNESCO Dalam Mematenkan Batik Undip : Jurnal Teknik Industri, VII(3),
Sebagai Warisan Budaya Indonesia 143–150.
Tahun 2009 Leni Putri Lusianti ∗ & Rinawati, D. I., Sari, D. P., WP, S. N., Muljadi,
Faisyal Rani ∗. Jurnal Transnasional, F., & Lestari, S. P. (2013). Pengelolaan
3(2). Produksi Menggunakan Pendekatan
Masiswo, Setiawan, J., Atika, V., & Lean and Green untuk Menuju Industri
Mandegani, G. B. (2017). Karakteristik Batik yang Berkelanjutan (Studi Kasus
Fisik Produk Batik Dan Tiruan Batik. di UKM Batik Puspa Kencana). J@Ti
Dinamika Kerajinan Dan Batik: Majalah Undip : Jurnal Teknik Industri, VIII(1),
Ilmiah, 34(2), 103–112. 43–50.
https://doi.org/10.22322/dkb.v34i2.343 https://doi.org/10.12777/jati.8.1.43-50
9 Rori, H. (2013). Analisis Penerapan Tax
Nawawi, E. (2018). Jangan Sebut itu “Batik Planning Atas Pajak Penghasilan Badan.
printing” Karena Batik Bukan printing. Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen,
Melayu Arts and Performance Journal, Bisnis Dan Akuntansi, 1(3), 410–418.
1(1), 25–36. Salma, I. R., & Eskak, E. (2012). Kajian
Nurainun, Heriyana, & Rasyimah. (2008). Estetika Desain Batik Khas Sleman
Analisis Industri Batik di Indonesia. “Semarak Salak.” Dinamika Kerajinan
Fokus Ekonomi, 7(3), 124–135. Dan Batik: Majalah Ilmiah, 32(2), 1–8.
Oscario, A. (2014). Simulasi Citra Nasionalis Setiawan, J., Mandegani, G. B., & Rufaida, E.
Melalui Fashion: Studi Kasus Batik Y. (2014). Analisis Kesesuaian Kursi
printing dalam Gaya Hidup Post Pembatik Terhadap Kondisi
Modern Masyarakat Kota. Humaniora, Antropometri Pekerja Batik Tulis.
5(2), 551–560. Dinamika Kerajinan Dan Batik: Majalah
https://doi.org/10.21512/humaniora.v5 Ilmiah, 31(2), 113.
i2.3112 https://doi.org/10.22322/dkb.v31i2.107
Patji, A. R. (2010). Pengembangan dan 7
Perlindungan Kekayaan Budaya Daerah: Setiawati, E., Abdullan, I., & Lasiyo. (2011).
Respon Pemerintah Indonesia Strategi Pengembangan Komoditas
Terhadap Adanya Klaim Oleh Pihak Studi Tentang Budaya Ekonomi di
Lain. Masyarakat & Budaya, 167–188. Kalangan Pengusaha Batik Laweyan.
Raf, M. (2012). Analisis Eksplanatori Faktor KAWISTARA, 1(3), 213–320.
Daya Saing Industri Kecil (Studi pada https://doi.org/10.1017/CBO97811074
Sentra Industri Kecil Batik di Kota 15324.004
Jambi). Manajemen Dan Singgih, A. P. (2016). Karakteristik Motif
Kewirausahaan, 14(2), 91–101. Batik Kendal Interpretasi dari Wilayah
Randa, G., & Rani, F. (2014). Diplomasi dan Letak Geografis. Jurnal Imajinasi,
Indonesia Terhadap UNESCO dalam X(1).
Meresmikan Subak Sebagai Warisan Suhardi, B., Laksono, P. W., & Fadhilah, N. N.
Budaya Dunia. JOM FISIP, 2(2), 1–14. (2017). Analisis Penerapan Produksi
https://doi.org/10.1017/CBO97811074 Bersih pada Batik printing IKM Batik
15324.004 Puspa Kencana Laweyan Surakarta.
Rinawati, D. I., Puspitasari, D., & Muljadi, F. Jurnal Teknologi Industri Pertanian,
(2012). Penentuan Waktu Standar dan 27(2), 182–191.
Jumlah Tenaga Kerja Optimal Pada https://doi.org/10.24961/j.tek.ind.pert.
Produksi Batik Cap (Studi Kasus : IKM 2017.27.2.182

90 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92

Suliyanto, Novandari, W., & Setyawati, S. M.


(2015). Persepsi Generasi Muda
Terhadap Profesi. XVIII(1), 135–144.
Suryani, I. (2017). Terpesona Lembaran Kain
Sumatera Selatan.
https://travel.detik.com/dtravelers_stori
es/u-3673319/terpesona-lembaran-
kain-sumatera-selatan
Triana, N. N., & Retnosary, R. (2020).
Pengembangan Model Pemasaran
Batik Karawang Sebagai Produk
Unggulan Daerah. Jurnal Inovasi Dan
Pengelolaan Laboratorium, 2(1), 21–27.
Tololiu, A. P. (2014). Perlindungan Hukum
terhadap Kain Bentenan sebagai
Ekspresi Budaya Tradisional Sulawesi
Utara. Jurnal Hukum Unsrat, II(2), 1–12.
Utami, A. D., & Triyono, R. A. (2011).
Pemanfaatan Blackberry Sebagai
Sarana Komunikasi dan Penjualan Batik
Online dengan Sistem Dropship di
Batik Solo 85. Jurnal Speed - Sentra
Penelitian Engineering Dan Edukasi,
3(3), 33–40.
https://doi.org/10.3112/speed.v4i4.109
9
Wahyuningsih, N., & Fauziah, N. (2016).
Industri Kerajinan Batik Tulis Trusmi
dan Dampaknya Terhadap Pendapatan
Pengrajin Batik Tulis Trusmi di Desa
Trusmi Kulon Cirebon. 4(2), 124–132.
Wulandari, A. (2011). Batik Nusantara
Makna Filosofis, Cara Pembuatan, dan
Industri Batik. Andi OFFSET.

Siregar, A.P.., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia 91


Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92

92 Siregar, A.P., dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai