Anda di halaman 1dari 21

Bangga Menggunakan Produk Batik (Batik Lifestyle) Sebagai Identitas dan

Perlindungan Warisan Budaya Nusantara Bentuk Pengimplementasian Wujud Bhakti


Pada Negeri

Disusun Oleh :

Muchammad noor abdillah


20225020011

Teknologi Rekayasa Otomotif


Fakultas Vokasi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Tahun Ajaran 2022 – 2023

Bangga Menggunakan Produk Batik (Batik Lifestyle) Sebagai Identitas dan


Perlindungan Warisan Budaya Nusantara Bentuk Pengimplementasian Wujud Bhakti
Pada Negeri

Muhammad Nizar Ramdhani, Teknologi Rekayasa Otomotif Program Vokasi,


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Abstrak

“Semenjak ditetapkannya sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO pada
2009, saat ini batik telah bertransformasi menjadi salah satu media yang mampu
mengkomunikasikan segala pesan yang terkandung di dalamnya serta tren dalam fesyen yang
digemari banyak orang di seluruh dunia. Pada mulanya, batik adalah sebuah fenomena
kultural yang mengonstruksi identitas si pemakainya. Batik merupakan suatu pertanda
identitas seseorang yang meliputi identitas budaya, kelas sosial dan identitas diri. Lewat
metode kualitatif deskriptif dan teori teori budaya populerdan teori identitas serta batik
disimbolkan sebagai warisan seni dan budaya Nusantara harus dijaga sekaligus dilestarikan.
namun fenomena saat ini sangat marak pembajakan batik. Ada tiga model pembajakan batik,
yaitu penjiplakan desain batik, pembajakan karya seni batik, dan klaim hak cipta batik.
Artikel ini bertujuan membahas tiga kajian. Pertama, batik sebagai gaya hidup atau identitas
warisan seni dan budaya Nusantara. Kedua, ironi pembajakan karya seni batik dan strategi
memutus mata rantai pembajakan karya seni batik.”

Kata Kunci : Batik , Identitas, Budaya, Warisan, Motif, Hak Cipta, Batik Lifestyle

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batik merupakan warisan budaya dunia yang diakui berasal dari bangsa
Indonesia. Batik ditetapkan sebagai Indonesian Cultural Heritage(warisan budaya bukan
benda) oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization)
pada tanggal 2 Oktober 2009 (Galih, 2017). Sejak saat itu setiap tanggal 2 Oktober
diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Batik menjadi identitas budaya Bangsa
Indonesia di era globalisasi. Batik memiliki kekhasan dan keunikan yang membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Patut disyukuri bahwa Indonesia masih memiliki
produk unggulan asli yang mengandung unsur budaya lokal, salah satunya adala “Batik”.
Popularitas batik Indonesia di dunia internasional merupakan hasil dari proses sejarahan
dan perjuangan yang panjang, batik mulai dikenal dunia sejak terbitnya buku The
History of Java karya Thomas Stamford Raffles di tahun 1817. Namun risalah batik
yang nisbi komplet baru bisa dibaca masyarakat dunia semenjak De Batik-kunst In
Nederlandsch-indie En Haar Geschiedenis karya dua antropolog Belanda, GP Rouffaer
dan HH Juynboll, terbit pada 1899 (R. Indonesia, 2019).Batik merupakan hasil budaya
yang mewakili identitas Indonesia di pentas dunia, dalam sehelai kain batik tidak hanya
terpotret identitas budaya lokal dan sejarah daerah tertentu, misalnya Yogyakarta,
Solo, pekalongan, Cirebon, dan daerah lainnya akan tetapi lebih jauh juga sudah terpatri
citra dan identitas nasional Indonesia. Bahkan tahun 2009 Batik secara resmi diakui
sebagai warisan budaya Indonesia melalui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and
Intangible Heritage of Humanity.Batik berasal dari Bahasa Jawa “amba” dan “titik” yang
berarti menulis titik. Batik lekat dengan kebudayaan Jawa meskipun batik juga
bersentuhan dengan budaya lain (Felaza, 2015; Yunus & Tulasi, 2012). Misalnya salah
satu contoh batik yang berasal dari Jawa dengan ragam hias dan motifnya memiliki fungsi
masing-masing mulai dari fungsi untuk menggendong bayi, untuk alas, selimut, khusus
dipakai raja, khusus dipakai pengantin sampai kain penutup jenazah (Iskandar & Kustiyah,
2017). Pemakaian batik tidak bisa secara sembarangan karena disesuaikan dengan filosofi
motif batik yang terkandung di dalamnya.
Selain itu industri fashion adalah salah satu kontributor paling signifikan bagi
Indonesia sektor ekonomi kreatif. Industri fashion menyumbang 2% (dua persen) dari
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sedangkan sektor ekonomi kreatif secara
keseluruhan menyumbang 7% (tujuh persen) dari PDB Indonesia (Asa, 2019). Salah satu
bagian khusus dari industri fashion Indonesia adalah Industri Batik sebagai warisan
budaya bangsa Indonesia. Industri batik dan tenun saja menyumbang 20% (dua puluh persen)
dari ekspor garmen Indonesia (Nikmatuzaroh, 2019).Sejalan dengan dukungan
pemerintah dan berbagai pihak ntuk melestarikan dan meningkatkan Penggunaan
batik dewasa ini batik semakin banyak digunakan dalam berbagai kegiatan baik formal
maupun non formal. Salah satu hal yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah
bagaimana sikap dan perilaku remaja terhadap produk fashion batik sebagai generasi
penerus akan melestarikan batik di masa depan. Batik yang merupakan salah satu warisan
budaya bangsa Indonesia, hingga saat ini telah banyak mengalami perkembangan
sesuai jaman dan gaya hidup. Batik telah memberikan kontribusi ekonomi Indonesia sebesar
Rp. 2,1 triliun sepanjang tahun 2018 (K. P. R. Indonesia, 2018). Saat ini pemakaian batik
tidak lagi hanya terlihat pada acara-acara seremonial, namun juga pada acara informal
sampai acara santai. Batik dipakai oleh semua lapisan masyarakat, baik tua maupun
muda, tingkat perekonomian menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Bahkan
berpakaian batik setiap hari Kamis dan Jumat untuk seluruh Pegawai Negeri Sipil
(PNS) maupun Pegawai Tidak Tetap (PTT) menjadi salah satu instruksi Gubernur DKI
Jakarta No. 27 tahun 2012 tentang penggunaan pakaian dinas harian batik yang mulai
berlaku tanggal 5 April 2012 (“Kamis dan Jumat wajib pakai Batik,” 2012). Batik berada
pada puncak popularitasnya ketika batik mendapat tempat di hati para milenial. Batik telah
menjadi gaya hidup berbusana generasi muda (Simatupang, Afrillia, Maharrani, & Pujiono,
2016).Menurut pandangan psikologi, perilaku berbusana batik dapat dijelaskan melalui
theory of planned behavior(teori perilaku terencana). Teori inimenjelaskan bahwa perilaku
seseorang muncul karena adanya niat (intensi). Intensi merupakan kemauan untuk melakukan
perilaku, sehingga kekuatan intensi dilihat dari besarnya kemauan individu untuk
melakukan prilaku tersebut.
Perilaku berbusana batik tidak lepas dari perilaku pembelian. Beberapa penelitian
telah dilakukan terkait dengan perilaku membeli batik. Risnamasari, Mujiasih, dan Putra
(2013) melalui penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara
persepsi terhadap kualitas produk dengan intensi membeli batik. Kusumodewi dan
Sudarwanto (2016) menuliskan gaya hidup, kualitas produk, dan harga berpengaruh
signifikan terhadap keputusan pembelian secara simultan dan harga merupakan variabel
yang paling dominan. Azhar dan Siswanto (2018) melakukan survey kecenderungan
masyarakat khususnya remaja terhadap batik dan hasilnya adalah sebagian besar responden
lebih sering berbusana batik untuk acara formal, sedangkan pemakai batik sebagai pakaian
kasual masih minim.Fenomena berbusana batik pada generasi muda belum pernah diteliti.
Peneliti melakukan pencarian literatur menggunakan pangkalan data googledan google
scholarmenggunakan kata kunci batik, batik sebagai gaya hidup, batik sebagai gaya hidup
generasi muda, persepsi terhadap batik. Generasi muda yang identik dengan sesuatu
yang berbau modern sejatinya berbusana berkiblat pada budaya unggul (fashionbusana
Eropa atau Amerika). Meskipun demikian, banyak didapati generasi muda berbusana batik
sebagai pakaian sehari-hari.
Namun muncul kendala untuk meningkatkan adopsi Batik karena adanya persepsi
di kalang muda bahwa Batik hanya cocok untuk digunakan pada acara-acara formal atau
bahwa Batik dianggap klasik dan hanya cocok untuk orang tua (Nikmatuzaroh,
2019). Selain itu seiring berkembangnya arus perdagangan bebas dan globalisasi,
masyarakat Indonesia hampir kehilangan kebudayaan mereka sendiri, karena ada yang
menganggap budaya asing lebih baik dari budaya bangsa sendiri, salah satunya dalam
bidang berpakaian. Hal tesebut terjadi oleh karena semakin maraknya modernisasi
di Indonesia sehingga pemikiran masyarakat Indonesia, peristiwa ini sebenarnya
memberikan dampak positif dan negatif dari perkembangan arus globalisasi dalam
segala bidang. Hal tersebut telah ikut memengaruhi perubahan budaya lokal Indonesia
yang terjadi karena proses sosial, misalnya Akulturasi dan Asimilasi. Konsep
akulturasi merupakan sesuatu yang penting bagi para pemasar dalam merencanakan
untuk menjual produk di berbagai pasar luar negeri atau multinasional (Schiffman
& Kanuk, 2015).
Problematika yang ada pada saat ini adalah maraknya pengambilan Hak
Kekayaan Tradisional budaya Indonesia seperti makanan daerah, tari tarian, desain batik,
karya seni daerah yang ternyata Hak Kekayaannya telah didaftarkan di negara lain sehingga
Indonesia sebagai Negara asalnya tidak memiliki hak dikarenakan telah didaftarkan di
Negara lain dan Negara yang mendaftarkan tersebut menjadi pemilik hak paten
dari kekayaan tradisional tersebut. Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
menyatakan bahwa ciptaan hasil seni budaya tradisional yang sudah tidak diketahui lagi
penciptanya, maka hak ciptanya dipegang oleh negara. Lebih lanjut disebutkan hal ini
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun peraturan yang mengatur tersebut belum
dibuat hingga saat ini, oleh karena itu perlindungan Hak Kekayaan Intelektual tradisional
sangat rentan dan tidak dilindungi oleh hukum. Kenyataannya bahwa industri batik
pekalongan kebanyakan adalah home industridan pemahaman pengrajin tentang Hak
Kekayaan Intelektual sangatlah minim karena kurang sosialisasi dari pejabat yang
berwenang. Perlu diadakan sosialisasi pentingnya Hak Kekayaan Intelektual dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual pada para pengrajin
batik Pekalongan guna untuk mengetahui dan memahami tentang hak kekayaan
intelektual. Harapan setelah diadakan sosialisasi para pengrajin batik menjadi faham
tentang hak kekayaan intelektual sehingga dapat melindungi karya-karya bangsa yang
mempunyai nilai jual tinggi, dan berdaya dalam melindungi karya-karya intelektual
tradisional Indonesia.
Perkembangan era globalisasi saat ini dapat menyebabkan semakin terabaikannya
fashion lokal seperti batik. Tidak jarang generasi muda masih menganggap batik adalah
pakaian yang kuno, pakaian kaum tua, tidak fashionable, dan terlalu formal. Padahal, batik
merupakan identitas warisan budaya Indonesia yang sudah mendunia dan sepatutnya kita
lestarikan agar tidak diplagiasi oleh negara lain. Saat ini, batik tengah berada di puncak
popularitas di kalangan generasi millennial. Busana batik tidak hanya digunakan pada acara
seremonial, tetapi juga digunakan dalam acara informal dan santai. Batik dapat dimodifikasi
dengan trend fashion modern saat ini sehingga generasi muda lebih antusias lagi dalam
melestarikannya. Kreatifitas seni batik ini tidak hanya berkutat pada budaya lokal atau
budaya Jawa saja, akan tetapi juga bertemu dengan budaya luar seiring sejalan dengan
ramainya jalinan perdagangan antar negara. Kebudayaan Jawa yang bersentuhan dengan
budaya lain seperti dalam hal perdagangan dengan Cina, India dan Timur Tengah
memberi warna tersendiri dalam ragam motifnya. Popularitas batik mulai meningkat pada
akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Munculnya batik cap menandai era
industrialisasi. Selain itu, sejak industrialisasi dan globalisasi yang memperkenalkan
teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul yakni batik printing banyak mempengaruhi
arah industri perbatikan karena prosesnya yang lebih cepat dan harganya jauh
lebih murah dibandingkan batik tulis. Dengan demikian, munculnya era industrialisasi juga
menandai pasang surutnya batik khususnya geliat industri kain batik di pulau Jawa.
Generasi muda millennial sudah seharusnya memahami bahwa batik tidak hanya
diperuntukkan bagi orang-orang penting dalam acara formal saja, tetapi juga dapat dijadikan
sebagai outfit yang fashionable. Batik juga dapat dipakai dalam keseharian seperti di area
rumah, kampus, dan lingkungan sekitar. Berbusana batik pada generasi muda terbagi menjadi
beberapa alasan, mulai dari karena batik adalah identitas khas Indonesia, keindahan motif,
corak, dan nilai seni (estetika), prestise (keanggunan, elegan, berwibawa, berkelas),
fashionable (up to date, keren, modis), dan fleksibilitas (cocok untuk semua acara).
Estetika adalah cabang ilmu dari bidang filsafat tentang seni, keindahan, kepekaan
dan tanggapan terhadap seni dan keindahan. Berkaitan dengan definisi tersebut, jawaban
responden yang menilai batik estetik adalah tentang motif, corak, keindahan, dan nilai seni
pada batik yang menarik perhatian mereka.Batik juga dapat memunculkan keindahan motif,
corak, dan nilai seni tersendiri bagi pemakainya. Di era globalisasi saat ini, batik tidak lagi
hanya memiliki warna yang monoton, namun sudah terdapat berbagai kombinasi warna
seperti merah, oranye, hijau, dan kuning. Batik dengan motif parang dan floral merupakan
motif batik yang tidak akan lekang oleh waktu dan dapat disulap menjadi busana manis dan
modis bagi generasi millennial.
Fashion batik juga memiliki nilai prestise yang elegan, anggun, dan berwibawa bagi
pemakainya. Prestise adalah ketenaran status sosial dan kehormatan dalam kehidupan sehari-
harinya. Status sosial sering disebut sebagai kedudukan individu dalam kelompok
masyarakatnya dimana hal tersebut berhubungan dengan ketenaran. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa berbusana batik membuat responden merasa elegan, anggun dan
berwibawa sehingga hal tersebut mengarah kepada prestise akan busana batik. Beberapa
responden juga berpendapat bahwa berbusana batik membuat mereka merasa fashionable.
Fashionable sendiri memiliki suatu makna “conforming to the fashion or established mode”
yang sering kita sebut keren, modis dan up to date. Batik juga dapat dipakai dalam acara
formal
maupun informal (Iriani, 2015). Responden merasa bahwa batik dapat dipakai sebagai style
casual maupun formal dan bahkan bisa dipakai untuk bersantai. Oleh karena itu, batik dapat
dikatakan memiliki keluwesan saat dipakai sehingga berhubungan dengan fleksibilitas.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk pelanggaran dan perlindungan Hak Cipta Warisan Budaya Batik
Indonesia yang pernah terjadi?
2. Bagaimana bentuk representasi batik life style dalam kehidupan sehari-hari sebagai
bentuk menjaga identitas budaya?

C. Metode Penelitian

Penelitian ini bertipe deskriptif kualitatif. Sumber data utama penelitian ini yakni ragam
batik di Indonesia. Sumber sekunder diambil dari bukubuku, jurnal dan sumber virtual
lainnya sebagai kajian pustaka. Adapun tipe data adalah teks berupa kata, frase, anak kalimat,
kalimat dan narasi. Peneliti menggunakan library research untuk mengumpulkan data.
Maksud dari library research yaitu mencari dan mengelompokkan ungkapan dan komentar
kritis yang berkaitan dengan topik penelitian. Kemudian, data-data tersebut dikumpulkan
melalui teknik pencatatan. Selanjutnya, data-data yang sudah diperoleh dikelompokkan
dalam domain- domain tertentu. Adapun dalam hal menganalisis data, peneliti menetapkan
tiga langkah. Pertama, data-data yang sudah terkumpul tersebut dianalisa secara deskriptif
hermeneutik. Saat ini, Batik berada di puncak popularitas. Batik sudah ditetapkan sebagai
Indonesian Cultural Heritage yaitu warisan budaya tak benda oleh United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) tepatnya pada tanggal 2
Oktober 2009. Batik adalah seni gambar di atas kain untuk pakaian. Seni gambar ini tidaklah
asal menggambar saja akan tetapi motif apa yang digambar juga memiliki makna filosofis.
Filosofi motif batik ini berkaitan erat dengan kebudayaan Jawa yang sangat kental dengan
simbolsimbol yang sudah mengakar kuat dalam falsafah kehidupan masyarakat Jawa.

Sebelum sampai pada pengakuan dunia akan Batik yang diakui sebagai warisan budaya
tak benda bangsa Indonesia (Intangible cultural heritage), maka peneliti akan membahas
beberapa hal berkaiatan dengan alasan Batik yang diperjuangkan bangsa Indonesia sebagai
warisan budaya serta Batik yang dijadikan identitas budaya bangsa Indonesia di era
globalisasi. Beberapa hal itu diantaranya Sejarah Batik di Indonesia, Elemen-elemen Yang
Mendukung Batik Sebagai Indonesian Cultural Heritage, dan Batik Sebagai Identitas Kultural
Bangsa Indonesia di Era Globalisasi dan bagaimana perlindungan hak cipta batik dapat
diimplementasikan dengan baik. Sale, et al. (2002) menyatakan bahwa penggunaan metode
dipengaruhi oleh dan mewakili paradigma yang merefleksikan sudut pandang atas realitas.
Lebih lanjut, Kasinath (2013) mengemukakan ada tiga alasan untuk menggunakan metode
kualitatif, yaitu (a) pandangan peneliti terhadap fenomena di dunia (a researcher’s view of the
world), (b) jenis pertanyaan penelitian (nature of the research question), dan (c) alasan praktis
berhubungan dengan sifat metode kualitatif (practical reasons associated with the nature of
qualitative methods). Sementara itu, menurut McCusker, K., & Gunaydin, S. (2015),
pemilihan penggunaan metode kualitatif dalam hal tujuan penelitiannya adalah untuk
memahami bagaimana suatu komunitas atau individu-individu dalam menerima isu tertentu.
Dalam hal ini, sangat penting bagi peneliti yang menggunakan metode kualitatif untuk
memastikan kualitas dari proses penelitian, sebab peneliti tersebut akan menginterpretasi data
yang telah dikumpulkannya. Metode kualitatif membantu ketersediaan diskripsi yang kaya
atas fenomena. Kualitatif mendorong pemahaman atas substansi dari suatu peristiwa. Dengan
demikian, penelitian kualitatif tidak hanya untuk memenuhi keinginan peneliti untuk
mendapatkan gambaran/penjelasan, tetapi juga membantu untuk mendapatkan penjelasan
yang lebih dalam (Sofaer, 1999). Dengan demikian, dalam penelitian kualitatif, peneliti perlu
membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai terkait permasalahan yang akan
ditelitinya. Penelitian yang baik harus memiliki pola atau desain yang baik, agar berjalan
sesuai dengan harapan dan memberikan jawaban yang jujur dari sebuah masalah yang
diteliti. (Sekaran & Bougie, 2017). Penelitian kualitatif dimulai dengan ide yang dinyatakan
dengan pertanyaan penelitian (research questions). Pertanyaan penelitian tersebut yang
nantinya akan menentukan metode pengumpulan data dan bagaimana menganalisisnya.
Metode kualitatif bersifat dinamis, artinya selalu terbuka untuk adanya perubahan,
penambahan, dan penggantian selama proses analisisnya (Srivastava, A. & Thomson, S.B.,
2009). Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian dapat menghasilkan kajian atas suatu
fenomena yang lebih komprehensif. Penelitian kualitatif yang memperhatikan humanisme
atau individu manusia dan perilaku manusia merupakan jawaban atas kesadaran bahwa
semua akibat dari perbuatan manusia terpengaruh pada aspek-aspek internal individu. Aspek
internal tersebut seperti kepercayaan, pandangan politik, dan latar belakang sosial dari
individu yang bersangkutan.

II. PEMBAHASAN
1. Pelanggaran Hak Cipta Batik

Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau
menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu
yang memiliki kekhasan. Batik merupakan salah satu budaya warisa asli Indonesia yang telah
di akui oleh UNESCO sebagai sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non
Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober
2009. Sehingga kemudian setiap tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai hari Batik Nasional.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau
menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada
masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya
“Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Setiap daerah
memiliki corak dan ciri batik yang khas, misalnya batik pekalongan, batik solo dan batik
Jogja memiliki perbedaan corak yang khas.
Batik menjadi salah satu budaya Indonesia yang mendunia dan dikenal luas. Meskipun
hak cipta batik telah diakui sebagai warisan budaya Indonesia, namn pada kenyataannya
kasus pelanggaran hak cipta terhadap Batik masih marak di temukan. Tentunya hal ini dapat
mencoreng citra sekaligus juga menimbulkan kerugian secara materiil terhadap penciptanya.
Banyak terjadi kasus yang termasuk kedalam pelanggaran hak cipta batik Plagiarisme atau
sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan
sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat
merupakan tindakan yang melanggar hukum sebab tergolong dalam perbuatan yang mencuri
hak cipta orang lain dan contoh pelanggaran hak cipta . Pelaku tindakan plagiat disebut
plagiator, tindakan ini kerap menuai hujatan sebab merupakan perbuatan yang dianggap tidak
menghargai karya orang lain. Dalam dunia batik, kita tentunya mengenal corak dan khas
setiap jenis batik. Corak ini telah melekat sebagai nilai eksklusif yang ada di batik tersebut.
Tentunya corak dan desain batik juga telah didaftarkan secara resmi sebagai hak cipta dari
penciptanya. Namun, kerap kali kita menemukan beberapa pihak yang melakukan plagiat
terhadap desain dan corak batik dan mengklain bahwa karya tersebut merupakan hasil karya
original mereka. Poin penting dalam kasus pelanggaran hak cipta ini adalah terletak pada
desai dan cirak yang mirip dan sama persis. Tentunya tindakan yang demikian tidak ubahnya
seperti tindakan copy paste sebuah tulisan tanpa menyertakan sumbernya. Dan lebih parahnya
lagi pelaku mengklaim tulisan tersebut merupakan original pendapatnya. Tentunya untuk
kasus pelanggaran penjiplakan ini pelakunya dapat dijerat hukum. Beberapa desainer
kenamaan juga menggunakan batik sebagai salah satu rancangannya. Namun, mereka tetap
menggunakam desain original dan menyertakan dasain asli dari penciptanya. Serta telah
mendapatkam izin atas karya tersebut. Tindakan ini tidak termasuk melanggar hukum dan
contoh kejahatan kerah putih , sebab malah dapat memberikan nilainplus dimana nilai jual
batik menjadi lebih tinggi.

Pembajakan merupakan bentuk tindakan yang memperbanyak karya seni seseorang tanpa
mendapatkan izin resmi. Selain itu, barang hasil bajakan, kualitasnya juga berada dibawah
kualitas barang yang asli. Sebagaimana kita tahu bahwa batik dapat berupa batik tulis yang
nilai jualnya tentu lebih tinggi dengan batik cap. Namun, batik cap sendiri memilik nilai
ekonomi dan permintaan yang cukup tinggi sebab harganya yang murah. Selain itu, batik cap
juga diproduksi dalam jumlah banyak, beda dengan batik tulis yang diproduksi dalam jumlah
terbatas dan sifatnya yang eksklusif. Sering kali para produsen nakal, memproduksi batik
dengan kualitas rendah namun menjiplak desain asli batik original, kemudian di produksi
dalam jumlah besar dan di klaim bahwa batik tersebut asli atau original dan di jual dengan
harga dibawah harga produk ori. Tentu saja tindakan ini melanggar hak cipta dari produsen
atau pemilik sebelumnya. Terlebih lagi tindakan ini marak dilakukan dalam upaya untuk
mengejar keuntungan semata sebagaimana pasal perjudian togel dan pasal perjudian online.
Dampaknya adalah pastinya produk ori akan jatuh di pasaran, sebab kalah dengan produk
bajakan. Sebelum akhirnya disahkan UNESCO sebagai bagian dari warisan budaya asli
Indonesia dalam prinsip-prinsip demokrasi pancasila . Batik sempat menjadi polemik, lagi-
lagi ada negara yang mencoba mengklaim hak cipta batik. Negara tersebut tidak lain adalah
Malaysia
yang merupakan negara tetangga dari Indonesia. Pihak Malaysia mengklaim bahwa Batik
adalah warisan dari nenek moyang mereka. Tentu saja klaim ini membuat masyarakat
Indonesia meradang dan marah atas sikap Malaysia.

2. Perlindungan Hak Cipta Batik

Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual terus mengalami perkembenagan pesat.


Setelah mengalami beberapa kali perubahan yang merupakan amanat dari perjanjian TRIPs
(Trade Related aspects of Intellectual Property Rights. TRIPs merupakan perjanjian
internasional di bidang HKI terkait perdagangan. Perjanjian ini merupakan salah satu
kesepakatan di bawah organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization)
yang bertujuan menyeragamkan sistem HKI di seluruh negara anggota WTO. Undang-
undang HKI terkini dari ketiga cabang utama tersebut adalah Undang-undang Hak Cipta
Tahun 2002 (UU No. 19 Tahun 2002), Undang-undang Paten Tahun 2001 (UU No. 14 Tahun
2001) dan Undang-undang Merek Tahun 2001 (UU No. 15 Tahun 2001). Untuk melengkapi
keberadaan Undang-undang HKI, pemerintah telah membuat 4 Undang- undang HKI
lainnya, yaitu Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman (UU No. 29 Tahun 2000),
Undang-undang Rahasia Dagang (UU No. 30 Tahun 2000), Undang-undang Desain Industri
(UU No. 31 Tahun 2000), dan Undang-undang Desain Tata Letak Terpadu (UU No. 32
Tahun 2000) dan sekarang Undang-undang Hak Cipta telah mengalami perubahan kembali
yaitu Undang Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. Indonesia merupakan ladang yang
subur untuk pembajakan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) tanpa terkecuali terhadap hak
cipta, seperti banyak pembajakan kaset, plagiat buku, penyiaran ringtone tanpa izin, terhadap
hak cipta dalam negeri maupun terhadap hak cipta dari luar negeri. Sebagai konsekuensi dari
hal dimaksud, maka sejak tahun 1996 Indonesia dimasukan dalam pengawasan khusus
(Priority Water List) berdasarkan Special 301 Us Trade Act 1974oleh Amerika Serikat,
bahkan Departemen Perdagangan Amerika Serikat sedang melakukan Out Of Cyle Review
(OCR) atau pengawasan terhadap Indonesia tentang pelaksanaan penegakan hukum dibidang
HAKI sesuai dengan ketentuan TRIPS.

Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
menyebutkan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.3
Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
menyebutkan Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.4 Hak Cipta
terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah
hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk terkait. Hak moral adalah
hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus
dengan alasan apapun walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan. Undang-Undang
Hak Cipta memberi perlindungan hukum terhadap karya cipta yang mencakup, misalnya:
buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik
(dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi,
dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri).
Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya
buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta
komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri
tanpa mengurangi Hak Cipta atas ciptaan asli.6 Secara yuridis tidak ada kewajiban untuk
mendaftarkan Hak Cipta, Namun apabila suatu ciptaan diklaim sebagai oleh pihak lain seperti
diperbanyak atau digandakan untuk tujuan komersial, maka disarankan ciptaan itu
didaftarkan pada Kantor Hak Cipta.

Hal ini dimaksudkan agar memudahkan pembuktiannya apabila timbul masalah yang
berkaitan dengan ciptaan tersebut. Filosofi pentingnya diberikan perlindungan hukum
terhadap hak cipta bukan hanya didasarkan pada teori hukum alam, tetapi juga
dijustifikasi oleh penganut utilitarian yang menekankan bahwa kecerdasan prinsip – prinsip
ekonomi, maka perlindungan hak cipta sangat dibutuhkan dalam rangka untuk memberikan
insentif bagi pencipta untuk menghasilkan karya ciptanya. Adanya semangat untuk mencipta
maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Batik Indonesia lahir sekitar tahun
1950, selain secara teknis merupakan paduan antara pola batik keraton dan batik pesisiran,
juga mengandung makna persatuan. Pada perkembangannya yang batik Indonesia ini bukan
sekedar hanya menampilkan paduan pola batik keraton dengan teknik batik pesisiran
melainkan juga memasukkan ragam hias yang berasal dari berbagai suku bangsa di
Indonesia. Ketekunan yang tinggi serta keterampilan seni yang tiada banding dari para
pengrajin batik maka batik Indonesia tampil lebih serasi dan mengagumkan. Hal ini
disebabkan karena unsur-unsur budaya pendukungnya yang sangat kuat sehingga terwujud
paduan ideal antara pola batik keraton yang anggun atau pola ragam hias busana adat
berbagai daerah di Indonesia dengan teknologi batik pesisiran dan dikemas dalam sebuah
simfoni warna yang tidak terbatas pada latarnya. Terdapat dua pengertian mengenai batik
yaitu tradisional dan modern. Batik tradisional umumnya ditandai oleh adanya bentuk motif,
fungsi dan teknik produksinya yang bertolak dari budaya tradisional, sementara itu batik
modern mencerminkan bentuk motif, fungsi dan teknik produksi yang merupakan aspirasi
budaya modern. Undang- undang No 28 Tahun 2014 pada Bab V menjelaskan tentang
ekspresi budaya tradisional dan ciptaan yang dilindungi. Kasus penjiplakan motif batik
banyak terjadi dikalangan masyarakat.

1. Perlindungan Hukum Terhadap Seni Karya Batik Yang Belum Terdaftar Menurut
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Perlindungan Hukum menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi


rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan Hukum
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan
perlindungan represif bertujuan untuk menyelessaikan terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan. Menurut teori perlindungan hukum salmon bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan
tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga
hukummemiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur
dan dilindungi.

Batik merupakan karya seni budaya bangsa Indonesia yang dikagumi dunia. Batik telah
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkemuka penghasil kain tradisional yang
halus di dunia karena berasal dari tradisi yang beranekaragam, kreatif serta artistik sebagai
unsur yang memenuhinya. Menurut Iwan Tirta batik merupakan teknik menghias kain dengan
menggunakan lilin dalam proses pencelupan warna, dimana semua proses tersebut
menggunakan tangan. Pengertian lainnya adalah seni batik sebagai rentangan warna yang
meliputi proses pemalaman (lilin), pencelupan (pewarnaan) dan pelorotan (pemanasan)
hingga menghasl kanmotif yang halus yang memerlukan tingkat ketelitian tinggi. Batik
adalah sehelai wastra (kain) yang dibuat secara tradisional dan digunakan juga dalam matra
tradisional, beragam hias pola tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup
rintang dengan malam (lilin batik) sebagai bahan perintang warna. Oleh karena itu suatu
wastra dapat disebut batik apabila mengandung 2 unsur pokok yaitu teknik celup rintang
dengan menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik.
Menurut terminologinya, batik adalah gambar yang dihasilkan dengan menggunakan alat
canting atau sejenisnya dengan bahan lilin sebagai penahan masuknya warna.
Dalamperkembangan bentuk dan fungsinya, batik kemudian tidak semata-mata untuk
kepentingan busana saja tetapi juga dapat digunakan untuk elemen interior, produk
cinderamata, media ekspresi bahkan barang-barang mebel.

2. Proses Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta Karya Seni Batik Menurut Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014

Pasal 95 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 menjelaskan tentang langkahlangkah yang


dapat ditempuh apabila terjadi pelanggaran terhadap Hak Cipta yaitu:

a) Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa,
arbitrase ,atau pengadilan.

b) Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Pengadilan Niaga.

c) Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak
berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta.

d) Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang
para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui
mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.

Jadi dalam proses penyelesaian sengketa yang disebutkan di atas tidak dijelaskan secara
detail mengenai batasan hak eklusif yang diberikan kepada pencipta yang karya ciptanya
belum di daftarkan ke lembaga karya cipta, walaupun secara undang-undang tidak ada
kewajiban atau keharusan, karena tanpa di daftarkan Hak cipta telah ada, diakui dan
dilindungi. Seperti yang tercantum dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 28 Tahun
2014“Kecuali terbukti sebaliknya yang di anggap sebagai pencipta, yaitu orang yang
namanya:

a. Dicatat dalam ciptaan


b. Dinyatakan sebagai pencipta pada suatu ciptaan

c. Disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau

d. Tercantum dalam daftar umum sebagai pencipta. Selain melalui jalur litigasi, maka
sengketa kasus hak cipta pun dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase atau alternatif
penyelesaian gsenketa.

Cara penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase dapat ditempuh dengan cara: konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Alternatif penyelesaian sengketa sering diartikan
sebagai alternative to litigation, namun seringkali juga diartikan sebagai alternative to adjudication.
Konsep penyelesaian sengketa alternatif (ADR), pada dasarnya bersumber pada upaya untuk
mengaktualisasikan ketentuan kebebasan berkontrak dalam berjalannya kontrak tersebut. Sehingga
akhir penyelesaian sengketa berupa perdamaian yang tidak lain merupakan upaya pihak-pihak sendiri
maupun dengan menggunakan pihak ketiga untuk mencapai penyelesaian.

3. Batik Sebagai Gaya Hidup (Batik Lifestyle)

Perkembangan yang terjadi membuktikan bahwa batik sangat dinamis dapat


menyesuaikan diri dengan baik dalam dimensi ruang, waktu, dan bentuk. Batik lebih
dimaknai sebagai pakaian tradisional yang khas dan menunjukkan keterikatan suatu
kelompok atau komunitas tertentu. Saat ini, batik telah bertransformasi menjadi salah satu
media yang mampu mengkomunikasikan segala pesan yang terkandung dalam motif batik itu
sendiri, serta tren dalam fashion yang digemari banyak orang di dunia. Batik dapat
disamakan dengan kemunculan identitas budaya suatu masyarakat yang merupakan adanya
pengakuan tentang suatu simbol yang menjadi ciri dari masyarakat itu sendiri. Dengan begitu,
batik tidak dapat dipisahkan dari „rasa‟ yang berkelindan pada setiap anggota masyarakat dan
dapat menjadi kebanggaan mereka. Sehingga, batik tidak dapat dilepaskan dari suatu identitas
budaya karena mengandung nilai-nilai tertentu yang kemudian diwariskan kepada
generasinya. Batik menjadi gaya hidup berkaitan dengan budaya konsumerisme yang
terbentuk akibat dari kemunculan industri industri salahsatunya adalah industri mode atau
fesyen. Tidak bisa dipungkiri, pakaian bisa menunjukkan nilai sosial atau status. Oleh sebab
itu, fesyen atau pakaian sering digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status, bahkan
orang kerap membuat penilaian terhadap nilai sosial atau status orang lain berdasarkan apa
yang dipakai orang tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, makna-makna batik pun
menjadi kabur akibat penggunaannya tidak lagi memenuhi aturan pada masa dahulu. Di lain
sisi, penggunaan batik sebagai gaya hidup cenderung diamati dari sisi positif bahwa gaya
hidup merupakan satu bentuk kreativitas yang diperlukan bagi kemajuan sosial dan kultural.
mengenakan baju batik bisa merupakan sebuah bentuk tanda resistensi atas “budaya unggul”
(high culture). Dengan perkembangannya, batik dengan berbagai fungsi praktis telah
berkembang melalui industri kreatif untuk memuaskan kebutuhan pasar. Kenyataan ini
menunjukkan adanya identitas manusia dalam lingkup yang lebih luas, baik identitas
personal melalui penggunaan
pakaian sebagai simbol identitas, identitas sosial, dan juga identitas nasional serta kultural.
Pembuatan batik berubah fungsi dari nilai guna menjadi satu gaya hidup yang berkaitan
dengan budaya konsumerisme yang terbentuk akibat dari kemunculan industri - industri.
Dalam sistem masyarakat konsumen, rasionalitas konsumsi telah jauh berubah. Pada saat ini,
masyarakat berkonsumsi bukan sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan (needs), namun
lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Kebutuhan mungkin dapat dipenuhi dengan
konsumsi objek, sebaliknya, hasrat justru tidak akan pernah terpenuhi. Salah satu perwujudan
itu adalah melalui pakaian/busana yang dalam hal ini adalah batik yang sesuai dengan
seleranya. Untuk mendapatkan pakaian yang diinginkannya, maka, seseorang dapat
mencarinya di berbagai tempat. Bagi masyarakat yang mengonsumsi simbol, yang terpenting
adalah dapat memperoleh sesuai dengan yang diinginkannya, dan yang paling penting,
masyarakat tersebut dapat menemukan pakaian yang menggambarkan diri atau yang
merupakan simbol dari dirinya. Sebagaimana kita ketahui, batik memiliki dua komponen
utama, yaitu warna dan garis yang membentuk batik menjadi tampilan kain yang indah dan
menawan. Tanpa perpaduan warna dan garis yang serasi dan selaras, maka, tidak mungkin
ada hiasan-hiasan maupun corak dan motif yang sesuai (Wulandari, 2011: 76). Sementara,
pola batik adalah gambar di atas kertas yang nantinya akan dipindahkan ke kain batik untuk
digunakan sebagai motif atau corak pembuatan batik. Artinya, pola batik adalah gambar-
gambar yang menjadi blue print pembuatan batik (Wulandari, 2011 : 102). Secara tegas dapat
dikatakan, batik merupakan suatu hasil budaya yang merupakan jenis kerajinan yang
memiliki nilai seni tinggi dan menjadi bagian dari budaya Indonesia dengan kandungan nilai-
nilai estetis. Apa lagi, kerajinan batik telah ada dan dikenal sejak zaman Majapahit. Pada era
sekarang, di bidang industri, batik sudah memiliki banyak perubahan. Di antaranya
perkembangan teknologi pembuatan batik, salah satunya kemunculan batik cap yang
kemudian menurunkan harga batik itu sendiri. Jadi, menurut penulis, batik yang dari asalnya
sebetulnya merupakan pakaian kemudian berubah menjadi suatu budaya populer dalam arti:
(1). Tren dan juga menjadi mode atau fesyen (fashion) dalam gaya berpakaian yang populer.
Dalam hal ini juga diminati dan disukai orang banyak. (2). Gaya dalam pakaian batik ini
dapat berubah dengan cepat. Mode pakaian batik yang digunakan seseorang mampu
mencerminkan siapa penggunanya dan menjadi mode yang sedang berkembang di tiap
zamannya. (3). Batik disukai oleh berbagai kalangan baik muda usia atau tua. (4). Dibuat
sesuai dengan keinginan masing-masing. Berkembangnya batik mejadi budaya populer
membawa kita pada realitas dengan dampak positif dan negatifnya.

Dampak positif dari berkembangnya batik menjadi budaya populer adalah: (1).
Memunculkan rasa memiliki dan merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia, apalagi
dengan adanya hak paten atas batik sebagai karya budaya Indonesia. Dengan demikian batik
menjadi semakin dikenal dan dapat ditemui dengan mudah (2). Batik menjadi disukai
berbagai kalangan. Sementara, dampak negatifnya adalah: (1). Eksklusifitas batik sebagai
„high culture‟ yang awalnya hanya dipakai di lingkungan kerajaan, sekarang menjadi
menurun eksklusivitasnya. (2) Seiring dengan perkembangan teknologi, maka, jenis batik cap
dan printing dalam proses pembuatan batik menjadi lebih banyak sehingga masyarakat
lebih
memilih jenis yang ini dengan pertimbangan harga yang lebih murah dan coraknya yang
seragam. (3) Kelangsungan pembuatan batik secara tradisional menurun, sehingga
berdampak dapat menurunkan pendapatan pada produsen batik tradisional. Apabila merujuk
pada pemikiran dari Bourdieu (1984) yang berkaitan dengan gaya hidup, maka, gaya hidup
adalah merupakan suatu pola yang ditampilkan secara berulang-ulang dengan ciri yang tidak
bersifat personal akan tetapi punya pengikut, serta melalui suatu siklus daur hidup (life-
cycle), sehingga dalam gaya hidup terdapat proses sosial yang melibatkan adanya modal,
kondisi objektif, habitus, disposisi, praktik, gaya hidup, sistem tanda dan juga struktur selera.
Dalam pandangan Bourdieu (1984: 101): (Habitus x Modal) + Arena = Praktik. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut: (a). Habitus. Habitus juga dipahami sebagai
perlengkapan yang ada pada tiap individu yang memungkinkan mereka menampilkan
beragam aktivitas harmonis dalam sebuah masyarakat habitus lahir dari pembiasaan yang
dialami individu dalam interaksi dengan dunia dan manusia lain. Pembiasaan serta pertemuan
manusia dengan dunia dan manusia lain menyebabkan adanya proses internalisasi melalui
proses imitasi, asosiasi, abstraksi, dan identifikasi. Proses internalisasi tersebut akan
memperkaya perlengkapan dalam diri manusia sehingga menghasilkan pengaruh tertentu
dengan cara-cara tertentu yang akan membentuk habitus tersebut. Dengan demikian, batik
dalam kaitan dengan habitus berkaitan dengan gaya hidup yang menyangkut penampilan diri.
Dengan merujuk pada penampilan gaya hidup tersebut, maka, memunculkan citra adalah
elemen utama pembentuk gaya hidup.

Citra mempunyai makna jamak. Dalam kaitannya dengan gaya hidup, maka lifestyle as a
way of giving meaning to the world of human life requires medium and space to express the
meaning such as languages and objects of an image which has a very central role (Widiastini,
2013: 241). Jadi gaya hidup adalah suatu cara untuk memberi makna kepada dunia kehidupan
manusia yang memerlukan suatu medium dan ruang untuk mengekspresikan makna seperti
bahasa dan suatu citra tertentu menjadi sangat berperan. Sehingga citra dengan konteks gaya
hidup adalah merupakan perumus gaya hidup yaitu: dengan pakaian batik menampilkan
berbagai macam citra grafis dalam bentuk pakaian yang kemudian dapat memunculkan
persepsi citra tertentu. Selain habitus yang menjadi kerangka dari gaya hidup, hal lain yang
tidak dapat dipisahkan dengan gaya hidup adalah citra (image). Apabila manusia
membutuhkan perlengkapan, yaitu berupa habitus untuk mengekspresikannya, maka, citra
mempunyai peran sentral di dalamnya.

Selaras dengan yang tersebut di atas, Bourdieu (2015: 170) juga mendefinisikan modal
sosial sebagai kumpulan dari sumber daya potensial atau aktual yang dikaitkan dengan
kepemilikan suatu jaringan kerja pada waktu tertentu dari hubungan pokok terlembaga yang
saling kenal dan saling mengakui. Dalam hal ini, modal dibagi menjadi 4 yaitu: (1). Modal
ekonomi atau modal kapital. Adalah memungkinkan seseorang untuk memperoleh
kesempatan dalam hidupnya berkaitan dengan sumber daya batik yang mengandung unsur
sebagai modal ekonomi yang dapat menjadi komoditi. (2). Modal sosial. Adalah modal sosial
yang didapatkan dari akibat hubungan sosial yang bisa melahirkan terciptanya jaringan-
jaringan sosial. Modal sosial ini akan dapat terus berkembang apabila digunakan secara
berkesinambungan. (3).
Modal budaya. Merupakan modal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan individu baik
yang diperoleh dari orang tuanya ataupun yang diperoleh dengan cara belajar. Kekayaan
budaya dalam seni batik menjadi modal budaya tersendiri. (4). Modal simbolis. Adalah yang
berkaitan dengan martabat, harga diri, prestise dari seseorang baik berupa simbol-simbol
ataupun atribut- atribut yang tidak dapat dilepaskan dari apa yang dipakai oleh individu untuk
menunjukkan kekuasaan simbolisnya. Sehingga tidak ada yang dapat menepis bahwa batik
telah berubah menjadi modal simbolis untuk harga diri, prestis dan lain-lain. Dengan
demikian, maka, analisis batik menjadi gaya hidup berkaitan dengan budaya konsumerisme
yang terbentuk akibat dari kemunculan industriindustri salahsatunya adalah industri mode
atau fesyen. Tidak bisa dipungkiri, pakaian bisa menunjukkan nilai sosial atau status. Oleh
sebab itu, fesyen atau pakaian sering digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status,
bahkan orang kerap membuat penilaian terhadap nilai sosial atau status orang lain
berdasarkan apa yang dipakai orang tersebut. Uraian di atas menunjukkan bahwa untuk
memenuhi unsur gaya hidup, maka, manusia membutuhkan perlengkapan atau habitus. Sudah
barang tentu, pakaian merupakan salah satu habitus atau perlengkapan bagi manusia untuk
menampilkan diri. Lingkup pakaian dapat berupa: rancangan atau desain, bentuk, warna,
bahan, maupun motif. Motif inilah yang tentunya juga menjadi bagian penting dalam
menerapkan pola-pola pakaian/busana. Batik yang pada masanya hanya diproduksi untuk
busana raja-raja Mataram dan penggunaannya pun tidak sembarangan, mengingat, batik
mempunyai motif sangat beragam dan masing-masing memiliki makna filosofis yang
berbeda.

Sejatinya, konsumsi penampilan dapat dimanifestasikan melalui busana sehingga


memunculkan berbagai style dalam perpaduan penggunaan pakaian batik, antara lain:

(1) Formal attire style. Ciri khasnya adalah busana dari batik yang modelnya elegan
berbahan sutra atau chiffon bermotif tidak terlalu ramai agar terkesan makin sophisticated.
Misalnya untuk wanita, kenakan gaun panjang atau sheath dress batik yang cantik. Bisa juga
menerapkan batik hanya sebagai aksen pada busana, misalnya memadukan little black dress
dengan selendang batik sutera atau off shoulder dress polos dengan detail batik sebagai
bagian pita. Sementara, untuk pria, dapat memberikan pilihan pada kemeja lengan panjang
berbelahan pinggir bermotif batik klasik. Atau kemeja batik lengan pendek dipadu jas dan
celana panjang bahan halus.

(2) At play style. Yaitu memadankan batik dengan jeans. Model busana yang atraktif
dalam sentuhan motif batik. Untuk wanita, bisa memilih gaun batik tanpa lengan, rok mini
batik berdetail jeans, blus batik dipadu short pants atau rompi batik patchwork. Untuk pria,
kenakan kemeja batik lengan pendek berbelahan samping dengan aplikasi tabrak motif yang
harmonis. Bisa juga memakai celana bermuda motif batik yang stylish dipadu polo shirt
polos.

(3). Party-goers style. Batik juga bisa tampil fun, playful dan fashionable terutama untuk
pesta. Untuk wanita, dapat mengenakan mini shirt dress dari batik warna cerah, rok batik
berdetail lipit sebagai padanan blouse satin, atau halter top batik yang edgy padanan fitted
jeans. Selanjutnya, untuk pria, mengenakan jaket batik warna klasik atau kemeja batik warna
cerah lengan pendek berbelahan samping berpadu skinny pants.

4. Batik Sebagai Identitas Warisan Budaya


Konsep identitas dapat berkaitan dengan pemahaman orang mengenai siapa mereka dan
apa yang bermakna baginya. Dalam hal ini, identitas berkaitan dengan proses menciptakan
adanya keterhubungan antara masa lalu serta masa depan. Secara leksikal, identitas berasal
dari kata identity yang berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada diri
seseorang sejak lahir untuk membedakan antara dirinya dengan orang lain. Berkait dengan
yang tersebut di atas, maka, batik dapat disamakan dengan kemunculan identitas budaya
suatu masyarakat yang merupakan adanya pengakuan tentang suatu simbol yang menjadi ciri
dari masyarakat itu sendiri. Dengan begitu, batik tidak dapat dipisahkan dari „rasa‟ yang
berkelindan pada setiap anggota masyarakat dan dapat menjadi kebanggaan mereka.
Sehingga, batik tidak dapat dilepaskan dari suatu identitas budaya karena mengandung
nilai-nilai tertentu yang kemudian diwariskan kepada generasinya.

Meminjam Koentjaraningrat (2016: 181) bahwa kebudayaan adalah "keseluruhan sistem,


yaitu gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar". Sehingga dapat dikatakan, batik memenuhi
unsur sebagai wujud dari kebudayaan. Adapun, wujud kebudayaan antara lain : (1)
Gagasan merupakan kebudayaan yang berisikan kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
normanorma, peraturan dan sebagainya yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau
disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam alam pikiran warga masyarakat yang
berfungsi mengatur, mengendalikan dan penunjuk arah pada tingkah laku manusia di dalam
bermasyarakat. Sebagai identitas, sejatinya, batik dapat dijadikan sebagai sebuah ciri khas
dari suatu masyarakat yang membanggakannya dan merupakan hasil dari ide dan nilai-nilai
yang tumbuh di tengah-tengah kehidupan sosial mereka. (2). Kebudayaan adalah merupakan
suatu aktivitas, yaitu suatu tindakan yang terpola dari dalam masyarakat itu sendiri. Wujud
bisa berupa sistem sosial dengan pelbagai aktivitas masyarakatnya yang saling berinteraksi di
dalam kehidupannya. Dalam hal ini, batik dapat mewakili adanya suatu aktivitas sosial di
tengah-tengah masyarakat mulai dari membuat pola, aktivitas mencanting, aktivitas
mengecap, sampai dengan aktivitas mengelem yang merupakan suatu kesatuan utuh dari
aktivitas „membatik‟ (3). Artefak, yaitu merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa
hasil aktivitas, karya semua manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat, bahkan dapat didokumentasikan.

Selanjutnya, artefak bersifat paling konkret. Dari artefak, maka, perlu dilakukan yang
namanya pewarisan nilai-nilai sosial budaya dan tidak dapat lepas dari „proses sosialisasi‟
karena di dalamnya terdapat proses pembelajaran dan pemahaman. Kemudian, proses ini
tidak sekadar mempelajari bagaimana membatik, akan tetapi, kemudian, makna pewarisan
nilai-nilai sosial budaya itu menjadi lebih mendalam dalam arti aspek sosial juga tersentuh;
artinya dapat menggambarkan karakteristik dari masyarakat tersebut --- dan identitas yang
terbentuk lainnya adalah identitas diri dan identitas sosial. Identitas sosial mengacu pada
karakteristik yang dikaitkan dengan individu oleh orang lain. Hal ini kerap terjadi pada
individu di dalam kelompok. Kenyataan ini dapat dilihat sebagai penanda yang menunjukkan
siapa (dalam arti dasar) orang itu. Selanjutnya, identitas diri mengacu pada proses
pengembangan diri dengan cara seseorang merumuskan rasa yang unik dari dirinya sendiri
serta hubungannya dengan dunia sekitar. Di dalam menciptakan identitas diri maupun
identitas sosial, maka, seseorang ataupun komunitas bisa saja menitikberatkan pada pilihan
busana dan gaya hidup. Oleh sebab itu, pakaian, model rambut, dan seterusnya adalah sama
tingkatannya dan dapat digunakan untuk menyatakan identitas seseorang.
III. Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap karya seni batik di Indonesia yang merupakan bagian
dari Hak Cipta terdapat dalam Undang-undang No. 28 tahun 2014. Hak Cipta memiliki konsep
tentang hak eklusif sebagai hak yang hakikat dan alami yang dimiliki oleh pencipta, sehingga
hak eklusif itu menjadi jaminan bagi setiap pencipta dalam mendapat perlindungan hukum,
dan sesuai dengan bunyi Pasal 1 Point 1 yaitu Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang
timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan konsep tersebut di atas mampu memberikan perlindungan terhadap
pencipta dalam konteks ini khususnya pencipta motif karya seni batik. Sehinnga bentuk
pelanggaran hak cipta bidang karya seni batik yang terjadi di Indonesia pada umumnya adalah
penjiplakan motif serta mendistribusikannya dan menjual untuk memperoleh kuntungan
komesial. Tidak adanya kepastian hukum yang menjamin perlindungan hukum bagi karya
cipta yang tidak di daftarkan (tidak dilakukan pencatatan) ke lembaga karya cipta, karna dalam
Undang-undang Nomor 28 tahun 2014. Dampak dari tidak adanya penegasan hukum atau hal
memaksa dalam proses mandapatkan hak terhadap karya ciptanya. Sehingga akan terjadi efek
hukum yang akan timbul dikemudian hari di antaranya akan sulit dalam membedakan sutau
karya yang original (asli) ketika terjadi sengketa serta tidak ada daya pembeda yang
menjelaskan kualitas suatu produk. Meskipun demikian, Jika terjadi sengketa hak cipta para
pihak dapat menempuh jalur litigasi ataupun non litigasi. Dan dapat menuntut secara
administratif, perdata dan pidana.

Fashion dari zaman ke zaman terus berganti, yang dahulu hanya sekedar kain penutup
saat ini kain sudah digunakan untuk kain pelindung tubuh Berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan seni batik ditujukan untuk mensosialisasikan ide-ide, pengetahuan, sikap dan tingkah
laku dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses ini berlangsung dimulai dari keluarga,
teman, pendidikan formal dan non formal, dan pergaulan di masyarakat. Sosialisasi
merupakan istilah yang sering dipakai oleh para sosiologist, adapun para antropologist
menggunakan istilah enkulturasi yang merujuk pada proses yang sama. Sedangkan
internalisasi adalah penjiwaan dari proses tersebut sampai membentuk pengetahuan dan
perilaku. Internalisasi meliputi proses penghayatan, proses penguasaan secara mendalam
melalui latihan, pengolahan, pemikiran, dan penghadiran tertentu lainnya.. Sebagai media
komunikasi aktifaktual, batik dapat membentuk konsep diri dalam arti memunculkan citra
yang mengarah pada identitas.
Batik sebagai sebuah konsumsi simbol yang kemudian menjadi salah satu upaya untuk
menjadi habitus bahkan dengan modal simbolik yang ada dan bermain dalam arena berbeda,
dapat melahirkan gaya hidup dan juga tumbuhnya identitas diri, identitas sosial dan juga
identitas budaya. Batik yang merupakan produk kebudayaan Indonesia yang awalnya high
culture‟ kini telah berubah menjadi budaya populer dan massa. Dengan begitu, maka,
pembuatan batik berubah fungsi dari nilai guna menjadi satu nilai yang dapat dipertukarkan
atau dengan kata lain menjadi komoditi, bahkan menjadi gaya hidup yang berkaitan dengan
budaya konsumerisme yang terbentuk akibat dari kemunculan industri-industri. Salah satunya
adalah industri mode atau fesyen. Batik dengan berbagai fungsi praktis telah berkembang
menjadi komoditi melalui industri kreatif untuk memuaskan kebutuhan pasar. Kenyataan ini
menunjukkan adanya identitas manusia dalam lingkup yang lebih luas, baik identitas personal
melalui penggunaan pakaian sebagai simbol identitas, identitas sosial dan juga identitas
nasional dan kultural. Masyarakat pengguna busana batik perlu memahami makna filosofis
dari setiap motif batik yang dikenakan. Perlu adanya wawasan mengenai budaya batik
yang dapat diberikan melalui proses pendidikan.

Daftar Pustaka

Hakim, L. M. (2018). Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa dan Nation Brand
Indonesia. Nation State: Journal of International Studies, 1(1), 61-90.

Widadi, Z. (2019). Pemaknaan Batik Sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pena Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, 33(2), 17-27.

Sakul, P. (2020). Perlindungan hukum terhadap hak cipta warisan budaya batik bangsa
indonesia ditinjau dari perspektif hukum internasional. Lex privatum, 8(3).

Husna, J. (2018). Implementasi Knowledge Management di Perpustakaan dalam Membangun


Koleksi Warisan Budaya Batik. Pustakaloka, 10(2), 146-161.

Azwa, P. A. G. D. D. (2022). Pelestarian Batik Jetis sebagai Warisan Budaya


Sidoarjo. Menatap Lebih Akrab: Antologi Hasil Penelitian Pembelajaran Berbasis
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Kelas X3 & X4 SMA Negeri 1 Sidoarjo, 1,
143.

Ratriningsih, D. (2017). Arahan Penataan Kampung Tradisional Wisata Batik Kauman


Surakarta. Inersia: Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur, 13(2), 116-128.

Faisal, A., Gunawan, A., Supiandi, A., Suherman, A., & Kusnadi, I. T. (2018). Aplikasi
Pengenalan Batik Tradisional Indonesia Berbasis Android. Jurnal Teknologi Dan
Informasi, 8(1), 1-12.

Wahyudi, H., Widodo, S. A., Setiana, D. S., & Irfan, M. (2021). Etnomathematics: Batik
activities in tancep batik. Journal of Medives: Journal of Mathematics Education
IKIP Veteran Semarang, 5(2), 305-315.

Mahuda, I. (2020). Eksplorasi Etnomatematika Pada Motif Batik Lebak Dilihat Dari Sisi
Nilai Filosofi Dan Konsep Matematis. Jurnal Lebesgue: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Matematika, Matematika dan Statistika, 1(1), 29-38.

Subadyo, H. T. (2016). Pengembangan motif batik Bondowoso sebagai ekspresi akulturasi


budaya. Abdimas: Jurnal Pengabdian Masyarakat Universitas Merdeka Malang, 1(1).

Kurniasih, R. (2018). Analisis perilaku konsumen terhadap produk batik tulias


Banyumas. Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi, 20(1).

Prasetyo, S. A. (2016). Karakteristik motif batik Kendal interpretasi dari wilayah dan letak
geografis. Imajinasi: Jurnal Seni, 10(1), 51-60.

Fauzi, M. I. (2022). Pemaknaan Batik sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Journal of
Indonesian Culture and Beliefs (JICB), 1(1).
Larasati, M. (2021). Pelestarian Budaya Batik Nusantara sebagai Identitas Kultural melalui
Pameran di Museum Batik Pekalongan pada Masa Covid-19. Tornare: Journal of
Sustainable and Research, 3(1), 46-50.

Surya, R. A., Fadlil, A., & Yudhana, A. (2017). Ekstraksi ciri metode Gray Level Co-
Occurrence Matrix (GLCM) dan Filter Gabor untuk klasifikasi citra batik
pekalongan. Jurnal Informatika: Jurnal Pengembangan IT, 2(2), 23-26.

Binti Rohmani Taufiqoh, I. N., & Khotimah, H. (2018, October). BATIK SEBAGAI
WARISAN BUDAYA INDONESIA. In Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan
Sastra Indonesia (SENASBASA) (Vol. 2, No. 2).

Wulandari, T., Nurmalitasari, D., Susanto, K., & Darmayanti, R. (2022, October).
Etnomatematika Pada Batik Daun Sirih dan Burung Kepodang Khas Pasuruan.
In Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran (Vol. 2, No. 1, pp. 95-103).

Rakhmawati, Y. (2016). Batik Madura: heritage cyberbranding. Jurnal Komunikasi, 10(1),


57- 65.

Kustiyah, I. E. (2017). Batik sebagai identitas kultural bangsa Indonesia di era


globalisasi. Gema, 30(52), 62476.

Nurjanah, M. K. (2021). Strategi Pelestarian Batik Tulis Sebagai Warisan Budaya (Studi
Kasus Batik Gunawan Setiawan di Kampung Wisata Batik Kauman, Solo).

De Carlo, I. (2019, December). Peran Perpustakaan Balai Besar Kerajinan Dan Batik Dalam
Melestarikan Batik. In Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik
(Vol. 1, No. 1, pp. C6-C6).

Rifqi, M., & Pratama, F. A. (2021). Pembuatan Konten Media Sosial Kampanye Batik Untuk
Rumah Batik Palbatu, Tebet, Jakarta Selata Rani, F., & Fachri, Y. (2012). MODEL
DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP UNESCO DALAM MEMATENKAN
BATIK SEBAGAI WARISAN BUDAYA INDONESIA PADA TAHUN
2009.n. Jurnal PkM Pengabdian kepada Masyarakat, 4(2), 179-187.

Wulandari, T., Nurmalitasari, D., Susanto, K., & Darmayanti, R. (2022, October).
Etnomatematika Pada Batik Daun Sirih dan Burung Kepodang Khas Pasuruan.
In Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran (Vol. 2, No. 1, pp. 95-103).

Latifah, A. (2011). Batik Dalam Tradisi Kekinian. On-line: staff. uny. ac.
id/sites/default/.../batik, 20.

Parmono, K. (2013). Nilai kearifan lokal dalam batik tradisional Kawung. Jurnal
Filsafat, 23(2), 134-146.
Wahyuni, A. T. (2020). Batik Jambi Kota Sebrang: Kajian Sosial Budaya Tentang Warisan
Budaya Masyarakat Jambi Kota Sebrang (1980-2019) (Doctoral dissertation,
Universitas Negeri Padang).

Rani, F., & Fachri, Y. (2012). MODEL DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP UNESCO
DALAM MEMATENKAN BATIK SEBAGAI WARISAN BUDAYA INDONESIA
PADA TAHUN 2009.

Rahayu, D. (2011). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Motif Batik Tanjungbumi
Madura. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 23(1), 115-131.

Kusumaningtyas, R. F. (2011). Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan
Budaya Bangsa. Pandecta Research Law Journal, 6(2).

KHOMEINI, I. M. A. PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA BATIK TRADISIONAL.

Utami, D. K. S. (2008). Perlindungan Hukum terhadap Hak Cipta Seni Batik (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Isnaini, E. (2013). Upaya Pemerintah Kabupaten Lamongan Dalam Melindungi Hak Cipta
Batik Tradisional. Jurnal Independent, 1(1), 22-28.

Syadiyah, T. N., & Jumino, J. (2020). Arsip Sebagai Dokumen Pendukung Untuk Pengajuan
Hak Kekayaan Intelektual Batik Pekalongan. Jurnal Ilmu Perpustakaan, 8(2), 189-
198.] CHRISAN LAKSMITA ANANTAPUTRI, S. H. (2015). PERAN BATIKMARK
DALAM PERLINDUNGAN HAK CIPTA BATIK DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Sitorus, V. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Motif Batik Bercak
Bondowoso.

AENI, L. N. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Batik di Kabupaten


Kebumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Suparman, E., Soerjati, E., Amirulloh, M., & Rahmawati, E. (2022). PENINGKATAN
PEMAHAMAN HAK CIPTA DAN PENDAMPINGAN PENCATATAN CIPTAAN
KARYA SENI BATIK BAGI PENGRAJIN BATIK CIREBONAN TRUSMI:
PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK CIPTA DAN PENDAMPINGAN
PENCATATAN CIPTAAN KARYA SENI BATIK BAGI PENGRAJIN BATIK
CIREBONAN TRUSMI. Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora, 4(3), 319-328.

Ibda, H. (2021). Strategi Memutus Mata Rantai Pembajakan Hak Cipta pada Seni Batik
Nusantara. Jurnal Ilmiah Citra Ilmu, 17(33), 65-78.

INDRIANI, R. F. (2016). PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA BATIK KHAS DAERAH


CIREBON DALAM UPAYA MENJADIKAN BATIK SEBAGAI PRODUK
UNGGULAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN CIREBON (Doctoral dissertation,
Fakultas Hukum Unpas).

Sunyoto, A., Sulistyowati, S., & Sukresno, S. (2020). URGENSI PERLINDUNGAN MOTIF
BATIK KUDUS MELALUI PENDAFTARAN HAK CIPTA. Jurnal Suara
Keadilan, 21(1), 59-71.

Umam, K., Absori, S. H., & Ibu Inayah, S. H. (2015). Perlindungan Karya Cipta Batik
Kontemporer Dari Kota Pekalongan (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

Kharisma, D., & Djulaeka, D. (2021). Perlindungan Hak Cipta Terkait Penggunaan Seni
Motif Batik Tradisional Pada Suatu Produk. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(2),
717-727.

Anda mungkin juga menyukai