Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Batik merupakan hasil karya adiluhung bangsa Indonesia yang masih eksis

sampai saat ini. Setelah dikukuhkan oleh UNESCO dalam kategori Warisan

Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral

and Intangible Heritage of Humanity) yang diberikan pada 2 Oktober 2009, batik

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup bangsa Indonesia. Fungsi

batik sendiri banyak digunakan untuk sarung, kain panjang (jarit), selendang,

sarung, ikat kepala, taplak, pakaian , upacara/ritual, maupun tren dalam

pemanfaatan motif yang digunakan dalam berbagai kegiatan maupun acara.

Sejarah batik di Indonesia sendiri berhubungan dengan perkembangan kerajaan di

Indonesia seperti Majapahit, Pajang, Demak, Mataram maupun Kasultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Setelah beberapa dekade

batik juga mempengaruhi kerajaan lain seperti Kasultanan Cirebon dan Banten.

Sedangkan di luar Jawa batik juga berkembang di wilayah Madura, Bali, Flores,

Makasar, Banjar, Lampung hingga daerah Aceh (Prasetyo, 2010:5).

Batik Bantul merupakan varian dari motif batik yang berkembang di Jawa.

Soebyarno dalam Sugihardjo (1991: 3), awalnya untuk wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta batik hanya diproduksi di daerah kota Yogyakarta karena dekat

dengan pusat pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu

Kauman, Mantrijeron, Karangkajen, Prawirotaman dan Brontokusuman. Untuk

wilayah kabupaten Bantul sejarah mencatat bahwa perkembangan batik Bantul

didominasi oleh pengaruh kerajaan Mataram Islam Kotagede. Setelah kerajaan


Mataram Islam terpecah menjadi dua karena perjanjian Giyanti yaitu Kasultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, banyak

masyarakat yang berasal dari Bantul menjadi abdi dalem Kraton Kasultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah adanya pendidikan dan pelatihan cara membatik di Kraton, para

abdi dalem mengembangkan untuk dijadikan pakaian maupun diperjualbelikan di

khalayak umum demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, hal itu terus berlanjut

sampai dengan abad 21 ini. Motif khas batik Bantul yang khas Matraman menjadi

daya tarik tersendiri ketika ingin mengklasifikasikan dengan batik yang berasal

dari daerah lain. Bantul dikenal juga dengan penghasil batik motif tradisional

Matraman yang pada awalnya diproduksi dengan tehnik batik tulis tetapi seiring

berkembangnya zaman, batik tulis juga berkembang menjadi batik cap atau

kolaborasi keduanya seperti yang diakui United Nations Educational Scientific

Organization (UNESCO). Ada dua tempat penghasil batik tradisional Bantul yaitu

Sanden dan Wukirsari. Untuk di Sanden kebanyakan memproduksi motif semen

berlatang belakang putih ( bledak ) dengan motif semen, boketan, kawung, lereng,

ceplok dan udan liris, batik Sanden dikenal juga dengan sebutan batik Rinen.

Sedangkan di Wukirsari membuat motif garuda, ukel cantel, bledak, semen romo,

sido asih, wahyu tumurun, ceplok tegel, dan satrio wibowo (Sugihardjo:1991).

Batik Bantul secara filosofis memiliki kebermaknaan yang tinggi. Akan

tetapi, dalam perkembangannya ketertarikan generasi muda di Daerah Istimewa

Yogyakarta khususnya di Kabupaten Bantul sudah mengalami pergeseran. Hal ini

terjadi karena beberapa faktor yaitu pengaruh media media massa, perkembangan

fashion, budaya-budaya baru yang memuat gaya dan busana yang menarik dan
relatif cepat (Indra Jaya: (2013-3). Pengetahuan generasi muda terhadap

corak/motif batik tradisional Bantul cukup menjadi perhatian. Aruman, dkk

(2011:15-16) menjelaskan tentang minat pelajar SMA di Bantul terhadap seni

batik, menggambarkan bahwa dengan hasil analisis kuantitatif jumlah responden

yang tidak mengetahui motif batik tradisional Bantul adalah 57,66% dari 300

responden, sedangkan jumlah responden yang tidak mengetahui tehnik pembuatan

batik adalah 57,67% dari 300 responden. Dari data tersebut terlihat kesenjangan

antara harapan dan kenyataan ( das sein dan das solen) yang ada. Adapun grafik

hasil penelitian Aruman dkk tentang pengetahuan motif batik tradisional Bantul

sebagai berikut:

Grafik 1.1. Tingkat Pengetahuan Tentang Motif Batik Tradisional Bantul

(Sumber: Aruman, dkk tahun 2011)

Sedangkan untuk pengetahuan tehnik pembuatan batik grafik hasil

penelitian dapat di jabarkan sebagai berikut:


Grafik 1.2. Tingkat Pengetahuan Tentang Tehnik Pembuatan Batik

(Sumber: Aruman, dkk tahun 2011)

Selain itu, pangsa pasar yang luas di Indonesia ditambah dengan kurang

tersosialisasikan batik yang orisinil menjadi masalah tersendiri bagi para pengrajin

batik khususnya di Bantul. Banyaknya pengrajin batik yang gulung tikar karena

produk batik membanjiri pasar domestik dengan kain yang menyerupai batik

dengan kain sebagian besar diimpor dari China dengan tehnik pembuatan printing.

Selain itu, makin menjamurnya industri tekstil dan bahan baku kain batik yang

terus diimpor menjadi juga mematikan industri batik di daerah1. Kebijakan

Pemerintah terkait dengan pelestarian batik baru bersifat mendukung pengakuan

dunia akan batik. Sehingga imbasnya motif trasidisional batik belum banyak di

kenal oleh masyarakat luas. Di Indonesia ada beberapa kota yang dinobatkan oleh

World Craft Council menjadi kota batik seperti Yogyakarta2. Sebagai imbas dari

pengakuan itu, maka kota yang dinobatkan harus memiliki tekad untuk

1
Dikutip dari “Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat: Kisah Berkembangnya Batik Bantul”
dalam Jurnal PMI Nomor 2 Volume X (2013), karangan Pajar Hatma Indra Jaya.
2
Dikutip dari “ Selebrasi Yogyakarta Kota Batik Dunia” dalam
Http://jogjaprov.go.id/pemerintahan/kalender-kegiatan/view/selebrasi-yogyakarta-kota-batik-
dunia.(Online). Tersedia ( 18 Oktober 2015).
melestarikan batik. Kabupaten Bantul sebagai wilayah yang berada di Daerah

Istimewa Yogyakarta memiliki sentra industri batik seperti, Sanden, Wukirsari

dan Pandak. Daerah-daerah ini banyak memproduksi batik tradisional Matraman

sampai saat ini. Pemerintah Kabupaten Bantul telah menerbitkan berbagai

kebijakan daerah untuk mengembangkan industri batik Bantul sehingga lebih

dikenal oleh masyarakat. Sebelum batik dikukuhkan oleh UNESCO menjadi

warisan budaya dunia, Pemerintah Kabupaten Bantul sejak tahun 2007 sudah

mewajibkan Pegawai Negeri Sipil untuk mengenakan kain batik sebagai salah

satu pakaian dinas kepegawaian sebanyak dua kali dalam seminggu. Hal ini

tertuang dalam Keputusan Bupati Bantul Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Ketentuan Hari Kerja di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam pasal

14 ayat 1 menyebutkan bahwa pakaian kerja disebutkan bahwa salah satu pakaian

kerja Aparatur Pemerintah Bantul ditetapkan menggunakan batik, yaitu pada hari

Jum’at dan Sabtu. Setelah terjadi perubahan hari kerja, menjadi lima hari maka

batik digunakan untuk hari Kamis dan Jum’at. Sedangkan untuk guru yang

bekerja selama enam hari maka hari Sabtu juga mengenakan kain batik (Indra

Jaya, 2013: 540).

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bantul juga berusaha melestarikan batik

dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 05A Tentang Penetapan

Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah / Madrasah. Kebijakan

publik merupakan upaya pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang

bersifat publik maupun tehnokratis. Selain itu, dengan adanya kebijakan tentu

diharapkan akan mengakomodasi kepentingan dari sasaran yang mengalami

problem/masalah. Palumbo dalam Parson (2005: 549), secara garis besar


kebijakan menuntut adanya solving (penyelesaian) yang dimulai dari legitimasi

kebijakan, desain kebijakan, definisi kebijakan, penentuan agenda , terminasi,

implementasi, legitimasi kebijakan serta desain kebijakan.

Dari ilustrasi diatas, maka Pemerintah Kabupaten Bantul diharuskan

melakukan evaluasi, untuk mewujudkan tujuan yang telah dicanangkan dalam

agenda setting kebijakan yaitu untuk melestarikan motif batik Bantul terutama

pada siswa sekolah/madrasah. Oleh sebab itu, dari beberapa realitas diatas,

penelitian mengenai evaluasi kebijakan Bupati Bantul tentang penetapan

membatik sebagai muatan lokal wajib bagi sekolah / madrasah terhadap

pelestarian motif batik tradisional Kabupaten Bantul, layak untuk diteliti sebagai

upaya untuk memberikan gambaran konkret dilapangan terkait dengan pelestarian

motif batik tradisional Bantul di kalangan generasi muda. Selain itu, tujuan

penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap pengembangan

ilmu pengetahuan terkait dengan evaluasi kebijakan Pemerintah Daerah

khususnya mengenai batik tradisional.

1.2. Rumusan Masalah

Dari berbagai latar belakang masalah diatas dapat disimpulkan dan ditarik

beberapa rumusan permasalahannya yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Evaluasi Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010

Tentang Penetapan Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah /

Madrasah Dalam Pelestarian Motif Batik Tradisional Kabupaten Bantul

Tahun 2011-2014?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat pelestarian Motif Batik

Tradisional Kabupaten Bantul Tahun 2011-2014 bagi Sekolah/Madrasah di

Kabupaten Bantul?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengevaluasi Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010

Tentang Penetapan Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah /

Madrasah Dalam Pelestarian Motif Batik Tradisional Kabupaten Bantul

Tahun 2011-2014.

2. Untuk Mengetahui Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat

pelestarian Motif Batik Tradisional Kabupaten Bantul Tahun 2011-2014

bagi Sekolah/Madrasah di Kabupaten Bantul.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1. Menambah referensi pengembangan keilmuan dan khasanah hasil penelitian

jurusan Ilmu Pemerintahan mengenai evaluasi kebijakan publik.

2. Memberikan sumbangsih kepada pemerintah daerah terutama dalam hal

Evaluasi Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010 Tentang

Penetapan Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah /

Madrasah Dalam Pelestarian Motif Batik Tradisional Kabupaten Bantul

Tahun 2011-2014.

3. Memberikan gambaran kepada masyarakat luas, akan pentingnya evaluasi

kebijakan pemerintah daerah untuk mendukung konsep transparansi, good

government dan akuntabilitas krinerja Pemerintah Daerah.


4. Bagi Peneliti, menambah pengalaman dan pengetahuan terutama dalam

kegiatan penyusunan karya tulis ilmiah skripsi yang manfaatnya sebagai

syarat memperoleh gelar sarjana strata-1.

1.4. Kerangka Dasar Teori

Bagian landasan teori dalam karangan ilmiah merupakan deskripsi lengkap

teori-teori yang digunakan. Pada bagian ini disajikan serangkaian teori yang

berhubungan dengan variabel yang diteliti. Landasan teori disajikan landasan

keilmuan yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian (

Kusmana, ( 2010: 114-115). Teori adalah kumpulan dari konsep, defenisi, dan

proposisi-proposisi yang sistematis yang digunakan untuk menjelaskan dan

memprediksi fenomena atau fakta. Kinney (1986) dalam Jogiyanto (2008: 43)

menjelaskan teori menyediakan penjelasan tentatif tentang hubungan antara fakta-

fakta secara umum.

1.4.1. Kebijakan Publik

1.4.1.1. Definisi Kebijakan Publik

Kebijakan publik pada dasarnya adalah sebagai problem oriented. Secara

tegas menangani isu-isu publik dan mengajukan rekomendasi-rekomendasi

penyelesaian. Anderson dalam Winarno (2013: 21) mengemukakan bahwa

kebijakan merupakan arah tindakan yang ditetapkan oleh seorang aktor dalam

mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Sedangkan Amir Santoso

menyimpukan pada dasarnya kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah

kategori. Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan

tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung

menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan


publik. Kedua, para ahli yang memberikan perhatian khusus terhadap pelaksanaan

kebijakan. Para ahli terbagi kedalam dua kubu, yaitu memandang kebijakan

publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang memiliki maksud tertentu

dan menganggap memiliki akibat-akibat yang diramalkan ( Winarno, (2013:22).

Kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah apapun yang dipilih oleh

pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sedangkan menurut Richard

Rose kebijakan adalah sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak

berhubungan berserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang

bersangkutan daripada suatu keputusan tersendiri. Sedangkan pengertian dan

pemahaman akan kebijakan publik dipertegas oleh Carl Friedrich yang

memandang kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh

seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang

memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang

diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai tujuan atau

merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu (Winarno, (2013:20-21).

Sedangkan menurut Suwitri dalam Suaedi dkk ( 2010: 138) kebijakan

publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara yang merupakan

kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan

usulan dari seseorang atau kelompok orang didalam pemerintahan atau diluar

pemerintahan3. Chandler dan Plano dalam Hamzah (2012:19) menjelaskan

kebijakan publik merupakan pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber

3
Dikutip dari “ Evaluasi Kebijakan Publik, Evaluasi terhadap Proses Pengadaan Anjungan
Mandiri Kepegawaian Berdasarkan Perpres No. 54 tahun 2010 di Badan Kepegawaian Kota
Malang. Jurnal Administrasi Publik Universitas Brawijaya, No 1 Vol 1 ( 2012) karangan Ratih
Anggraeni, dkk.
daya yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan publik atau pemerintah. Dari

beberapa pendapat ahli diatas maka secara umum kebijakan publik dapat

disimpulkan menjadi beberapa kesimpulan: (1) Kebijakan publik berhubungan

dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah, (2) kebijakan publik merupakan

usulan dari berbagai pihak tidak hanya pemerintah untuk mengatasi suatu masalah

tertentu, (3) Kebijakan publik bertujuan untuk memecahkan masalah publik.

Hogwood dan Gunn (1984) dalam Parson 2006-cetakan kedua)

sebagaimana dikutip oleh Indiahono ( 2009:17-18) menyatakan bahwa terdapat 10

istilah kebijakan dalam ilmu modern, yaitu:

1. Sebagai label untuk sebuah aktivitas.

2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan.

3. Sebagai proposal spesifik.

4. Sebagai keputusan pemerintah.

5. Sebagai otorisasi formal.

6. Sebagai sebuah program.

7. Sebagai output.

8. Sebagai “hasil” (outcame).

9. Sebagai teori dan model.

10. Sebagai sebuah proses.

1.4.1.2. Tahapan-Tahapan Kebijakan Publik

Dari berbagai permasalahan dalam suatu kebijakan atau analisis suatu

kebijakan, maka penting kiranya untuk menjelaskan mengenai siklus/tahapan-


tahapan dalam kebijakan publik. Jann, dkk (2015: 65-79) menjelaskan teori siklus

kebijakan publik sebagai berikut:

1. Tahap Penetapan Agenda dalam Siklus Kebijakan: Pengenalan Masalah dan

Pemilihan Isu.

Suatu pembuatan kebijakan publik membutuhkan pengenalan masalah

kebijakan. Pengenalan masalah sangat penting untuk mengetahui masalah sosial

yang akan didefinisikan melalui sebuah kebijakan. Pertimbangan serius sebelum

suatu kebijakan diagendakan harus dilihat dari derajat permasalahan publik yang

ada. Poin terpenting dalam penetapan agenda adalah apa yang dianggap masalah

dan kenapa masalah lain tidak dimasukkan dalam agenda kebijakan. Proses

penyaringan isu dan masalah penting untuk dilakukan sebelum menjadi sebuah

agenda dalam kebijakan.

2. Perumusan Kebijakan dan Pengambilan Keputusan

Perumusan dan adopsi kebijakan/pengambilan keputusan meliputi,

penetapan tujuan yang terkait dengan tujuan dicapainya sebuah kebijakan. Aspek

penting lain dari perumusan kebijakan adalah peran saran kebijakan yang

membedakan antara keputusan kebijakan tergantung pada keunggulan

pengetahuan yang disediakan oleh ahli terkait dengan analisis kebijakan. Aktor

negara harus memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan dan

mengambil keputusan.

3. Implementasi

Implementasi kebijakan akan mencakup unsur-unsur inti yaitu, (1)

spesifikasi rincian program (bagaimana kebijakan dilaksanakan dan ditafsirkan),

(2) Alokasi sumber daya ( bagaimana anggaran didistribusikan, siapa yang


menjalankan program, serta unit usaha mana yang bertanggungjawab untuk

melaksanakan, (3) Keputusan ( bagaimana keputusan jika ada kasus dalam

kebijakan).

4. Evaluasi dan Penghentian Kebijakan

Pada tahap evaluasi, penekanannya adalah pada perspektif sebelum

kebijakan dan setelah kebijakan ( ex ante dan ex post ). Penilaian evaluasi harus

menilai seluruh proses kebijakan yang disesuaikan dengan dampak dan tujuan

yang sebelumnya sudah ditentukan. Hasil penilaian evaluasi akan menghasilkan

dua keputusan yaitu mempertahankan dan menghentikan kebijakan.

Mempertahankan kebijakan dilihat dari hasil yang sesuai dengan harapan

sedangkan penghentian kebijakan dilakukan jika sebuah kebijakan dilihat tidak

efektif dalam menangani tujuan kebijakan.

Dalam berbagai sumber yang menjelaskan model siklus kebijakan publik.

Ada beberapa ahli yang menjelaskan lebih rinci mengenai tahapan-tahapan dalam

kebijakan publik. Seperti dikemukakan oleh Dunn, (1994:17) siklus kebijakan

dimulai dengan perumusan masalah yang bertujuan untuk menyusun agenda,

forecasting yang bertujuan untuk memformulasi kebijakan, rekomendasi

kebijakan yang bertujuan untuk mengadopsi kebijakan, monitoring kebijakan

yang bertujuan untuk sarana implementasi kebijakan serta evaluasi kebijakan yang

bertujuan untuk menilai sebuah kebijakan. Dalam konsep ini seperti dikemukakan

oleh Subarsono, (2005: 10) dalam Indiahono, (2009: 21) karakteristik dalam tiap

tahapan siklus kebijakan dapat diklasifikasikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 1.1 Tahap Analisa Kebijakan Publik


Tahap Karakteristik

Perumusan Masalah Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi

yang menimbulkan masalah

Forecasting (Peramalan) Memberikan informasi mengenai konsekuensi di

masa mendatang dari diterapkannya alternatif

kebijakan termasuk apabila membuat kebijakan

Rekomendasi Kebijakan Memberikan informasi mengenai manfaat bersih

dari setiap alternatif dan merekomendasikan

alternatif kebijakan yang memberikan manfaat

bersih paling tinggi

Monitoring Kebijakan Memberikan informasi mengenai konsekuensi

sekarang dan masa lalu diterapkannya alternatif

kebijakan termasuk kendala-kendalanya

Evaluasi Kebijakan Memberikan informasi mengenai kinerja atau

hasil dari suatu kebijakan

( Sumber: Indiahono, tahun 2009)

1.4.2. Evaluasi Kebijakan Publik

1.4.2.1 Definisi Evaluasi Kebijakan Publik

Evaluasi dalam kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai alat dan

prosedur analisis yang dimaksudkan untuk melakukan dua hal. Pertama, untuk

melakukan penelitian evaluasi sebagai alat analisis, meneliti program kebijakan

yang bertujuan mendapatkan semua informasi yang berkaitan dengan penilaian

kinerja, baik proses maupun hasil. Kedua, merupakan siklus kebijakan yang

umumnya mengacu pada melaporkan kembali informasi pada proses kebijakan (


Wollmann 2003b, 4)4. Winarno (2013: 228-230) menjelaskan evaluasi kebijakan

publik merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Secara umum evaluasi

kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau

penilaian kebijakan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang

mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan

dipandang sebagai kegiatan operasional. Artinya, evaluasi tidak dilihat dari tahap

akhir saja, melainkan dilihat dari seluruh proses kebijakan. Dengan demikian,

evaluasi kebijakan bisa meliputi tahapan perumusan masalah-masalah kebijakan,

program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan ,

implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

Evaluasi kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan, yakni pengkhususan

(specification), pengukuran (measurement), analisis dan rekomendasi. Spesifikasi

meliputi identifikasi tujuan dan kireteria program kegiatan yang akan dievaluasi.

Ukuran-ukuran atau kireteria inilah bertujuan untuk menilai manfaat program

kebijakan. Pengukuran menyangkut aktivitas pengumpulan informasi yang

relevan untuk obyek evaluasi , sedangkan analisis adalah penggunaan informasi

yang telah terkumpul dalam rangka menyusun kesimpulan. Sedangkan

rekomendasi, yakni penentuan mengenai apa yang akan dilakukan di masa yang

akan datang. Nugroho (2009:535-536) menjelaskan bahwa tujuan utama dari

evaluasi adalah untuk melihat seberapa besar kesenjangan atara pencapaian suatu

harapan suatu kebijakan publik, mencari kekurangan dan menutup kekurangan

serta bagaimana menutup kesenjangan tersebut.

4
Fischer, Frank dkk. 2015. “ Handbook Analisis Kebijakan Publik, Teori Politik dan Metode”.
Bandung: Nusa Media.
Evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan khusunya

pada implementasi kebijakan publik. Dye (1987:6) dalam Parson (2005:547)

defenisi evaluasi kebijakan publik adalah pemeriksaan obyektif, sistematis dan

empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari

segi tujuan yang ingin dicapai. Wibawa, dkk (1994:9) memberikan definisi

evaluasi kebijakan yaitu bermaksud untuk mengetahui proses pembuatan

kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan dan efektivitas kebijakan.

Dari beberapa definisi mengenai evaluasi kebijakan diatas dapat diambil beberapa

kesimpulan. Pada hakikatnya evaluasi kebijakan mencakup, (1) cara untuk

memberikan penilaian dan pengukuran terhadap siklus kebijakan publik seperti,

pengambilan keputusan, formulasi kebijakan, implementasi serta dampak

kebijakan (2) untuk menyelesaikan masalah kebijakan dan memberikan

rekomendasi terkait dengan implementasi kebijakan (3) mengetahui proses

kebijakan, meneliti kebijakan dan mengetahui tujuan dan sasaran kebijakan.

1.4.2.2. Model atau Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan Publik

Dunn (1999:608-610) dalam Nugroho (2009:536-537) menyamakan

evaluasi kebijakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan

penilaian (assessment). Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai

nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi valid mengenai

kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan , nilai dan kesempatan telah

dicapai oleh tindakan publik sebagai konstituen dari kebijakan publik. Secara

umu, tipe evaluasi kebijakan publik yang digambarkan Dunn sebagai berikut:
Tabel 1.2 Tipe Evaluasi Menurut William N. Dun

Tipe Kireteria Pertanyaan Ilustrasi

Efektivitas Apakah hasil yang Unit Pelayanan

diinginkan telah tercapai?

Efisiensi Seberapa banyak usaha Unit biaya, manfaat

diperlukan untuk bersih, rasio cost benefit

mencapai hasil yang

diinginkan?

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian Biaya tetap, efektivitas

hasil yang diinginkan tetap

memecah masalah?

Perataan Apakah biaya manfaat Kireteria Pareto,

didistribusikan merata Kireteria Kaldor Hicks

kepada kelompok- dan Kireteria Rawls

kelompok berbeda?

Responsivitas Apakah hasil kebijakan Konsisten terhadap

memuaskan kebutuhan, survei warga negara

preferensi atau nilai-nilai

kelompok tertentu?

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) Program publik harus

yang diinginkan benar- merata dan efisien

benar berguna atau

bernilai?

(Sumber: Nugroho, tahun 2009)


Anderson dalam Winarno, (2013:2020-232) membagi evaluasi kebijakan

menjadi tiga tipe. Masing-masing tipe evaluasi didasarkan pada pemahaman

evaluator terhadap evaluasi. Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai

kegiatan fungsional. Artinya evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang

sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri. Para pembentuk kebijakan dan

administrator selalu membuat pertimbangan-pertimbangan mengenai manfaat atau

dampak dari kebijakan-kebijakan, program-program dan proyek-proyek.

Pertimbangan-pertimbangan ini banyak memberikan kesan bahwa pertimbangan-

pertimbangan tersebut didasarkan bukti yang terpisah-pisah dan dipengaruhi oleh

ideologi, kepentingan para pendukungnya dan kireteria-kireteria lainnya. Tipe

kedua merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan

atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini berangkat dari pertanyaan-

pertanyaan dasar yang menyangkut: siapa yang menerima manfaat (pembayaran

atau pelayanan) dan berapa jumlahnya? Apakah terdapat duplikasi dan kejenuhan

dan berapa jumlahnya? Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur secara sah

diikuti. Maka evaluasi dengan tipe seperti akan lebih membicarakan sesuatu

mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program.

Tipe ketiga adalah tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe ini secara

komparatif masih dianggap baru. Tipe ini melihat secara obyektif program-

program yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan

melihat seberapa jauh kebijakan itu menjawab kebutuhan atau masalah

masyarakat. Adapun petanyaan-pertanyaan yang menyangkut evaluasi kebijakan

sistematis meliputi: Apakah kebijakan yang dijalankan mencapai tujuan

sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya? Berapa biaya yang dikeluarkan


serta apa keuntungan yang didapat? Siapa yang menerima keuntungan dari

kebijakan yang telah dijalankan? Dengan mendasarkan pada tipe-tipe pertanyaan

evaluatif seperti ini, maka konsekuensi yang diberikan oleh evaluasi sistematis

adalah bahwa evaluasi ini akan memberikan suatu pemikiran terhadap dampak

kebijakan dan merekomendasikan perubahan-perubahan mendasar berdasar

kenyataan yang sebenarnya dari pembentuk kebijakan dan masyarakat umum.

1.4.2.3. Jenis- Jenis Evaluasi Kebijakan Publik

Evaluasi kebijakan dipahami sebagai upaya untuk menilai, mengukur dan

memberikan rekomendasi terkait dengan siklus kebijakan. Oleh sebab itu, jenis-

jenis evaluasi terdiri dari beberapa yang dipahami dan dijabarkan oleh beberapa

ahli. Adapun jenis-jenis evaluasi kebijakan sebagaimana dikemukakan Lester dan

Steward (2000) dalam Nugroho (2009: 542) membagi evaluasi kebijakan menjadi

empat, yaitu:

1. Evaluasi proses, yang fokus bagaimana proses implementasi kebijakan.

2. Evaluasi Impak, yang fokus pada hasil akhir suatu kebijakan.

3. Evaluasi kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang

direncanakan dalam kebijakan pada saat dirumuskan.

4. Meta-evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau

temuan evaluasi dari berbagai kebijakan yang terkait.

Sedangkan menurut Howlet dan Ramest dalam Nugroho (2009: 542-543)

membagi evaluasi kebijakan menjadi tiga yaitu:

1. Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan sisi administratif sampai

anggaran, efisiensi, biaya sampai proses kebijakan dalam pemerintah yang

berkenaan dengan:
a. Effort Evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan

oleh kebijakan

b. Performance Evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang

dikembangkan oleh kebijakan.

c. Adequacy of Performance Evaluation atau Effectiveness Evaluation, yang

menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang telah ditetapkan.

d. Efficiency Evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan

penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.

e. Process Evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh

organisasi untuk melaksanakan pogram.

2. Evaluasi Judisial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan

hukum tempat kebijakan diimplmentasikan, termasuk kemungkinan

pelanggaran terhadap kostitusi, sistem hukum, etika, sistem administrasi

negara, hingga hak asasi manusia.

3. Evaluasi Politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen politik

terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Sedangkan Wollmann dalam Fischer dkk (2015:554-556)

mengelompokkan jenis evaluasi kebijakan dalam tiga jenis meliputi:

1. Evaluasi ex-ante, evaluasi ex ante adalah evaluasi yang dilakukan pra

pelaksanaan kebijakan yang dimaksudkan mengantisipasi dan melakukan

penilaian terhadap efek dan konsekuensi dari kebijakan dan tindakan yang

direncanakan atau ditetapkan. Evaluasi ini adalah alat untuk membuat

pilihan diantara pilihan-pilihan kebijakan alternatif yang secara analitis lebih


transparan, lebih dapat diramalkan dan secara politis lebih dapat

diperdebatkan.

2. Evaluasi yang sedang berjalan (ongoing evaluation), merupakan evaluasi

yang dilakukan ketika sedang berjalannya kebijakan (evaluasi berjalan).

Bertugas mengidentifikasi efek-efek dan hasil-hasil (sementara) dari

program dan langkah-langkah kebijakan sekaligus dalam siklus kebijakan,

implementasi kebijakan, dan realisasi yang sedang berlangsung. Fungsi

utamanya untuk menyediakan kembali informasi yang relevan pada proses

implementasi pada titik dan tahap ketika informasi terkait dapat digunakan

untuk menyesuaikan, membenarkan, atau mengarahkan kembali proses

implementasi atau bahkan keputusan kebijakan kunci yang mendasar.

3. Evaluasi ex-post, merupakan varian klasik evaluasi untuk menilai

pencapaian tujuan dan dampak kebijakan dan langkah-langkah, setelah

terlaksana. Tujuannya adalah untuk menilai pencapaian tujuan kebijakan

apakah sudah tercapai dan untuk menjawab seperti apa efek perubahan

dengan kebijakan atau program tersebut.

1.4.3. Kebijakan Pendidikan

1.4.3.1. Defenisi Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan

yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup didalamnya tujuan

pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut ( Nugroho (2008:36). Marget

E. Goeertz mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan

efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Kebijakan pendidikan dipahami


sebagai kebijakan dibidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan

negara dibidang pendidikan ( Nugroho ( 2008:37) dalam Ferry ( 2012:13).

Kebijakan pendidikan sebagaimana dikemukakan Tilaar dan Nugroho dalam

Bakri ( 2010) merupakan kebijakan yang tidak lepas dengan hakikat pendidikan

dalam proses memanusiakan anak manusia menjadi manusia merdeka. Manusia

merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya.

Selain itu, kebijakan pendidikan berkaitan dengan upaya pemberdayaan

peserta didik dan merupakan penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam

masyarakat tertentu5. Good (1959) dalam Imron (1996:18) sebagaimana dikutip

Budimansyah (2004:63-64). memberikan pengertian kebijakan pendidikan

(educational policy) yakni “Educational policy judgement, derived from some

system of values and some assesment of situational factors, operating within

instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding

means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang

didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang

bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk

mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga, pertimbangan tersebut

merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk

mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai).

Istilah kebijakan pendidikan banyak dikonotasikan dengan istilah

perencanaan pendidikan (educational planning), rencana induk tentang

pendidikan (master plan of education), pengaturan pendidikan (educational

regulation), kebijakan tentang pendidikan (policy of education) serta istilah lain

5
Bakri, A (2010) “ Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik”. Jurnal MEDTEK Volume
2, Nomor 1.
yang mirip dengan istilah tersebut ( Soebijanto (1986) dalam Rohman (2012:85).

Kebijakan pendidikan sebagaimana dikemukakan Rohman (2012:86) merupakan

kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan penyerapan

sumber, alokasi, dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam

pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan (educational policy)

merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana

maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar

yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program, serta

rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan. Sedangkan

menurut Sa’ud (2002:5) Kebijakan pendidikan merupakan hasil dari keputusan

yang diambil dengan mempertimbangkan kaitan pendidikan dengan komponen

sosial yang lain. Oleh karena itu, seperti halnya analisis kebijakan dalam bidang

lain, sifat kontekstual dan interdisipliner ini merupakan ciri analisis kebijakan

pendidikan.

1.4.3.2. Kerangka Kerja Pengembangan Kebijakan Pendidikan

Sa’ud (2002:6-8) membagi kerangka kerja pengembangan kebijakan

pendidikan menjadi empat klasifikasi yaitu: informasi kebijakan, metode

memperoleh informasi, argumentasi kebijakan, bentuk analisis kebijakan.

1.4.3.2.1. Informasi Kebijakan

Ada tiga macam informasi yang harus dihasilkan, yaitu informasi tentang

(a) nilai (bagaimana nilai yang terkandung dalam kebijakan itu), (b) fakta (apakah

hal itu ada) dan (c) perbuatan (apa yang harus dilakukan). Pertanyaan yang

berhubungan dengan nilai menghasilkan jenis informasi yang sifatnya evaluatif,


pertanyaan yang berhubungan dengan fakta menghasilkan informasi yang bersifat

deskriptif dan pertanyaan yang bersifat normatif menghasilkan informasi yang

bersifat pembelaan atau pembenaran.

1.4.3.2.2. Metode Perolehan Informasi

Dalam analisis kebijakan, prosedur analitik berhubungan dengan empat

metode, yaitu (a) pemonitoran, (b) peramalan, (c) penilaian, dan (d) pemberian

rekomendasi. Disamping itu ada dua metode yang tidak dapat digolongkan ke

dalam empat metode itu, yaitu (e) penstrukturan masalah (problem structuring),

yaitu suatu fase dalam proses analisis dimana analisis mulai merasakan adanya

sesuatu yang “menunggu” situasi atau suasana, dan (f) inferensi praktis, yaitu

pengambilan keputusan tentang sampai seberapa jauh masalah kebijakan itu telah

dipecahkan.

1.4.3.2.3. Argumentasi Kebijakan

Karena kebijakan menyangkut usaha untuk “meyakinkan‟ masyarakat

umum tentang manfaat kebijakan, maka informasi kebijakan sebagian diubah

menjadi argumentasi tentang kebijakan. Elemen argumentasi kebijakan antar lain;

(a) informasi yang relevan dengan kebijakan, (b) klaim kebijakaan, yaitu

kesimpulan dari argumentasi kebijakan, (c) pembenaran, dapat berupa otoritatif,

intuitif, analisentrik, sebab akibat, programatik atau penilaian, (d) pendukung,

yaitu untuk membela pembenaran, dapat berbentuk formula ilmiah, usulan kepada

ahli bidang, prinsip moral dan etis, (e) bukti, merupakan kesimpulan, asumsi atau

argumen kedua apabila klaim kebijakan tidak diterima atau diterima dengan

prasyarat, (f) kriteria, yaitu menyatukan pada tingkat mana analisis yakin tentang

klaim kebijakan.
1.4.3.2.4. Bentuk Analisis Kebijakan

Tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu (a) prospektif, melibatkan produksi

dan transformasi informasi sebelum pelaksanaan kebijakan dimulai dan

dilaksanakan, (b) retrospektif, merupakan usaha memproduksi dan

mentransformasikan informasi sesudah kebijakan dilakukan, (c) integratif, adalah

analisis yang lebih komprehensif yang mengkombinasikan analisis prospektif dan

restrospektif.

1.4.3.3. Standar Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 19 tahun 2005 menjelaskan standar pendidikan adalah kriteria minimal

tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Di dalam Peraturan Pemerintah ini, terbagi atas delapan lingkup

standar pendidikan yaitu:

1. Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi

kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Standar Kompetensi Lulusan tersebut meliputi standar kompetensi lulusan

minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan

minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata

pelajaran.

2. Standar Isi adalah kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat

kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis

pendidikan tertentu. Standar isi tersebut memuat kerangka dasar dan struktur

kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender

pendidikan.
3. Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada

satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

4.Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah kriteria mengenai

pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan

dalam jabatan. Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat

pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan

dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

5. Standar Sarana dan Prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat

berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja,

tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang

diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan

teknologi informasi dan komunikasi.

6. Standar Pengelolaan adalah kriteria mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,

provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

pendidikan.

7. Standar Pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya

operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.

8. Standar Penilaian Pendidikan adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur,

dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

1.4.3.4. Kurikulum dan Muatan Lokal dalam Kebijakan Pendidikan

Departemen Pendidikan Nasional (2006:3) menjelaskan konsep kurikulum

dan muatan lokal yang menjadi bagian dari kelengkapan pendidikan di Indonesia.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan

bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Muatan Lokal

merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang

disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah,

yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada.

Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak

terbatas pada mata pelajaran keterampilan.

Muatan lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang

terdapat pada Standar Isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan

Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk penyelenggaraan

pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya agar penyelenggaraan pendidikan

di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya terhadap keadaan dan

kebutuhan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan

mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan kurikulum muatan lokal

mendukung dan melengkapi kurikulum nasional. Muatan lokal merupakan mata

pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar

Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang

diselenggarakan. Sedangkan menurut PERMENDIKBUD Nomor 79 tahun 2014

tentang muatan lokal kurikulum 2013, yang dimaksud dengan muatan lokal

adalah merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang

berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang

dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan

dan kearifan di daerah tempat tinggalnya.


1.4.3.4.1. Ruang Lingkup Muatan Lokal

Departemen Pendidikan Nasional (2006:4) mengklasifikasikan muatan

lokal menjadi dua lingkup. Pertama, lingkup keadaan dan kebutuhan daerah.

Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat didaerah tertentu yang pada

dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan

lingkungan sosial budaya. Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang

diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup

dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan

arah perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan Kebutuhan

daerah tersebut misalnya kebutuhan untuk:

a. Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah.

b. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu, sesuai

dengan keadaan perekonomian daerah.

c. Meningkatkan penguasaan bahasa Inggris untuk keperluan sehari- hari, dan

menunjang pemberdayaan individu dalam melakukan belajar lebih lanjut

(belajar sepanjang hayat).

d. Meningkatkan kemampuan berwirausaha.

Sedangkan kedua, adalah lingkup jenis/isi muatan lokal. Pada lingkup ini

dapat berisi tentang dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah,

keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang

berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh

daerah yang bersangkutan. Adapun bentuk muatan lokal menurut

PERMENDIKBUD nomor 79 tahun 2014 mencakup seni budaya, prakarya,

pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, bahasa dan tehnologi.


1.4.3.5. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum

Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan

prinsip- prinsip sebagai berikut.

1. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan

kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.

Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang

bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara

bebas, dinamis dan menyenangkan.

2. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a)

belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar

untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan

berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang

lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses

pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

3. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan

yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi,

tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan

keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan,

keindividuan, kesosialan, dan moral.

4. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik

yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip

tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang

memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di

depan memberikan contoh dan teladan).


5. Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan

multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan

lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi

guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan

sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan

teladan).

6. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan

budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan

seluruh bahan kajian secara optimal.

7. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran,

muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan,

keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis

serta jenjang pendidikan6.

1.4.3.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan

Pendidikan

Rohman (2012:115-117) menjelaskan tiga faktor yang menjadi indikator

keberhasilan dan kegagalan kebijakan pendidikan. Pertama, faktor yang terletak

pada rumusan kebijakan, faktor ini berkaitan dengan diktum atau rumusan

kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan (decision maker).

Menyangkut apakah rumusan kalimatnya jelas atau tidak, tujuannya tepat atau

tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah difahami atau tidak, mudah

diinterpretasikan atau tidak, terlalu sulit dilaksanakan atau tidak.

6
Dikutip dari http://smpn1piyungan-btl.sch.id/images/stories/pdf/kurikulum/ktsp1213.pdf. Bab 1
Pendahuluan, Kurikulum KTSP. (Online). Tersedia. (22 Oktober 2015)
Kedua, personil pelaksananya, yakni menyangkut tingkat pendidikan,

pengalaman, motivasi, komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-

kebiasaan, serta kemampuan kerjasama dari pelaku pelaksana kebijakan tersebut.

Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang, bahasa, ideologi

kepartaian. Sedangkan faktor ketiga adalah organisasi pelaksana, yakni

menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing peran, model

distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari pemimpin organisasi, aturan

organisasinya, target masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring

yang biasa dipakai serta evaluasi yang dipilih.

1.4.4. Batik (Rambataning Titik/ Amba Titik)

1.4.4.1. Definisi Batik

Prasetyo (2010:1) mendefenisikan batik sebagai salah satu pembuatan

bahan pakaian dengan tehnik pewarnaan kain menggunakan malam7 (wax-resist

dyeing) untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain dan menggunakan motif-

motif tertentu serta memiliki kekhasan. Sedangkan menurut Wikipedia bahasa

Indonesia batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan

menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya

diproses dengan cara tertentu yang memiliki kekhasan8. Sedangkan pengakuan

dari United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) dalam kategori Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan

Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity)

7
Malam (lilin batik) adalah bahan yang dipakai untuk menutup permukaan kain menurut gambar
motif batik , sehingga permukaan yang tertutup menolak terhadap warna yang diberikan pada kain
tersebut. Contoh-contoh malam berasal dari bahan-bahan seperti: gondoruem, dammar mata
kucing, paraffin, microwax, lemak binatang, minyak binatang dan lilin tawon (lanceng)
8
Wikipedia Bahasa Indonesia. Batik. (Online). https://id.m.wikipedia.org/wiki/batik. (06 Oktober
2015).
yang diberikan pada 2 Oktober 2009, yang diakui sebagai batik terkait dengan

tehnik pembuatan, tehnologi serta motif batik Indonesia (Prasetyo (2010:1-2).

1.4.4.2. Defenisi Batik Tradisional Bantul

Batik (rambataning titik) merupakan warisan bangsa Indonesia yang tak

ternilai. Batik tradisional dapat dimaknai sebagai batik dengan motif yang secara

turun temurun dilestarikan karena memiliki motif yang syarat akan filosofi.

Adapun defenisi batik tradisional Bantul dapat dibagi menjadi dua yaitu batik

tradisional Sanden dan batik tradisional Wukirsari. Suwarno, (1989) dalam

Sugihardjo (1991: 9) menjelaskan batik tradisional Sanden Kabupaten Bantul

adalah merupakan warisan nenek moyang yang berasal dari Kraton Yogya, dari

beberapa abdi dalem yang menjadi pembatik, mengerjakan batikannya di desa

(Sanden), dan setelah jadi maka dibawa ke kota untuk ditukarkan malam (lilin),

mori serta uang, sampai sekarang kegiatan itu masih terus berlangsung. Dari

definisi ini dapat dijelaskan bahwa batik tradisional Sanden berasal dari abdi

dalem yang berasal dari Sanden yang menjadi pembatik di Kraton Yogyakarta,

para abdi dalem mengembangkan batik di Sanden turun temurun sampai saat ini.

Sedangkan batik tradisional Wukirsari merupakan batik yang bermula dari

istri abdi dalem yang berdomisili di Giriloyo dan Pajimatan yang mempunyai

kegiatan membatik yang merupakan istri penjaga makam raja-raja Imogiri.

Awalnya membatik hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan, dalam

perkembangannya membatik diikuti oleh para penduduk daerah asli daerah

tersebut dengan meniru istri penjaga makam raja-raja Imogiri. Para pembatik pada

umumnya menjual batikan mereka ke pasar setempat atau dipakai sendiri.


Kegiatan itu berlanjut sampai sekarang (Harsono, (1991) dalam Sugihardjo

(1991:29). Dari beberapa kronologi dan defenisi diatas maka dapat disimpulkan

bahwa batik tradisional Bantul merupakan batik yang berasal dari Kraton

Yogyakarta karena dibawa oleh para abdi dalem dan istri abdi dalem setempat

yang mengembangkan kemampuan membatiknya didaerah asalnya, sehingga

dalam perkembangannya ditiru oleh masyarakat umum dan berkembang sampai

saat ini.

1.4.4.3. Motif Batik Tradisional Bantul

Sejarah batik tradisional Bantul sudah sejak lama, bahkan sejak zaman

Sultan Agung Hanyokrokusumo dan bermula dari Kraton Yogyakarta. Dari

sejarah dan perkembangannya awal mula batik dikembangkan di daerah Sanden

dan Wukirsari oleh para abdi dalem yang mengabdi di Kraton Yogyakarta maka

dapat di simpulkan bahwa motif batik tradisional Bantul juga berasal dari dua

daerah diatas yang mayoritas didominasi oleh motif batik Kraton dan Matraman

dengan latar belakang warna putih ( bledak ). Pengrajin batik di Sanden dan

Wukirsari masih mengembangkan motif tradisional. Untuk di Sanden kebanyakan

pengrajin memproduksi motif semen berlatar belakang putih ( bledak ) dengan

motif semen, boketan, kawung, lereng, ceplok dan udan liris, batik Sanden dikenal

juga dengan sebutan batik Rinen. Sedangkan di Wukirsari membuat motif garuda,

ukel cantel, bledak, semen romo, sido asih, wahyu tumurun, ceplok tegel, dan

satrio wibowo (Sugihardjo:1991:37).

1.4.4.4. Jenis Batik

Prasetyo (2010:7-8) mengelompokkan batik kedalam dua jenis yaitu batik

tulis dan batik cap. Batik tulis merupakan batik yang dikerjakan dengan
menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa

menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil

untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.

Gambar batik tulis bisa dilihat dari kedua sisi kain nampak lebih rata. Warna dasar

biasanya lebih muda dibandingkan warna pada goresan motif. Setiap potongan

gambar yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk

dan ukurannya. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu tiga hingga

enam bulan.

Sedangkan batik cap adalah batik yang proses pengerjaannya

menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan

gambar atau motif yang dikehendaki). Batik cap selalu ada pengulangan yang

jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan

ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan batik tulis. Warna dasar kain

biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Waktu

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sehelai batik cap berkisar satu sampai tiga

minggu. Sedangkan saat ini terdapat batik kombinasi antara cap dan tulis yang

proses pembuatannya mengkombinasikan antara tulis dengan canting dan cap.

Setelah sepotong kain melalui beberapa tahap selama pemalaman dengan canting

dan cap serta pewarnaan, kain batik kembali ditulis dengan canting untuk

memperhalus motif9. Sedangkan untuk jenis batik printing yang saat ini

berkembang dipasaran bukan sebagai batik walaupun motifnya adalah batik10.

1.4.5. Defenisi Konsepsional

9
http://thebatik.co.id/kain-batik-bahan/batik-cap-kombinas-tulis/. Batik Cap Kombinasi Tulis.
(Online). ( 06 Oktober 2015.
10
http://m.detik.com/finance/read/2014/04/22/163425/2562185/4/wamendag-batik-printing-itu-
bukan-batik. Wamendag: Batik Printing Itu Bukan Batik. (Online). (06 Oktober 2015
Definisi konsepsional merupakan bagian dari definisi-definisi yang berisi

penjelasan dari konsep yang digunakan dalam karya ilmiah skripsi. Definisi

konsepsional merupakan penjelasan atas istilah yang dibahasakan oleh penulis

karya ilmiah11.

1.4.5.1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan dan keputusan yang

diambil oleh pemerintah yang merupakan usulan dari berbagai pihak baik

individu, kelompok maupun golongan yang bertujuan untuk mengatasi masalah

publik dan memberikan penyelesaian melalui keluaran (output) yang berbentuk

kebijakan.

1.4.5.2. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan merupakan proses/siklus di dalam kebijakan publik

yang bertujuan untuk memberikan penilaian dan pengukuran terhadap siklus

kebijakan publik seperti, pengambilan keputusan, formulasi kebijakan,

implementasi serta dampak kebijakan , menyelesaikan masalah kebijakan serta

memberikan rekomendasi terkait dengan implementasi kebijakan.

1.4.5.3. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan merupakan dengan kumpulan hukum atau aturan

yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan yang berkenaan berkenaan dengan

efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan, pembangunan negara dibidang

pendidikan dalam rangka memanusiakan anak manusia menjadi manusia

merdeka.

1.4.5.4. Standar Pendidikan

11
Materi Muhammad Affan. Landasan Teori, Defenisi Konsepsional, Defenisi OperasionaL.
Http://www.stisipolp12.ac.id. (Online). (06 Oktober 2015).
Standar pendidikan adalah suatu kireteria yang menjadi pedoman dalam

pelaksanaan pendidikan serta menjadi acuan penyelenggaraan kegiatan

pendidikan.

1.4.5.5. Kurikulum dan Muatan Lokal

Kurikulum adalah perencanaan dalam sistem pendidikan yang memuat

tujuan, serta bahan ajar pendidikan yang menjadi pedoman dalam

penyelenggaraan satuan pendidikan. Muatan Lokal merupakan bagian dari

kurikulum yang memuat kegiatan kurikuler dan memiliki pedoman tertentu serta

disesuaikan dengan ciri khas potensi daerah seperti kebudayaan serta

menanamkan keterampilan yang dapat bernilai ekonomis

1.4.5.6. Batik

Batik merupakan salah satu pembuatan bahan pakaian/busana dengan

tehnik pembuatan menggunakan canting, cap atau kolaborasi keduanya dengan

tehnik pewarnaan menggunakan malam ( lilin batik ) dan mempunyai motif-motif

tertentu serta kekhasan.

1.4.5.7. Batik Tradisional Bantul

Batik tradisional Bantul merupakan batik yang berasal dari Kraton

Yogyakarta karena dibawa oleh para abdi dalem dan istri abdi setempat yang

mengabdi di Kraton dan mengembangkan kemampuan membatiknya didaerah

asalnya, sehingga dalam perkembangannya ditiru oleh masyarakat umum dan

berkembang sampai saat ini.

1.4.6. Defenisi Operasional

Definisi operasional adalah cara atau metode untuk mengukur suatu

variable dalam indikator yang konkret dan menurunkan konsep gagasan agar lebih
dapat terukur dalam suatu karya ilmiah. Dalam defenisi operasional mengenai

Studi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Bantul tahun

2011-2014 “Evaluasi Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A Tahun 2010 Tentang

Penetapan Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah / Madrasah

Dalam Pelestarian Motif Batik Tradisional Bantul” penulis menggunakan model

pengelompokan evaluasi yang akan mengukur kebijakan karya Howlet dan

Ramest (dalam Nugroho (2009: 542-543) membagi evaluasi kebijakan menjadi

tiga yaitu:

1. Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan sisi administratif sampai

anggaran, efisiensi, biaya sampai proses kebijakan yang ada dalam

Keputusan Bupati Bantul

Nomor 05 A tahun 2010 berkenaan dengan:

a. Effort Evaluation, yang menilai dari sisi input Keputusan Bupati Bantul

Nomor 05 A tahun 2010

b. Performance Evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang

dikembangkan dengan adanya Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun

2010

c. Adequacy of Performance Evaluation atau Effectiveness Evaluation, yang

menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang telah ditetapkan

dalam pengembangan Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010 di

instansi yang bersangkutan dengan amanat kebijakan ini.

d. Efficiency Evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan

penilaian tentang keefektifan biaya untuk mendukung Keputusan Bupati

Bantul Nomor 05 A tahun 2010.


e. Process Evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh

organisasi untuk melaksanakan pogram sebagai amanat dan turunan dari

Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010

2. Evaluasi Judisial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan

hukum implementasi Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010

3. Evaluasi Politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen politik

terutama sasaran kebijakan Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A tahun

2010.

Adapun indikator yang dipergunakan untuk mengukur tingkat evaluasi

kebijakan pendidikan adalah dengan mempergunakan model Rohman (2012:115-

117) yaitu . Pertama, faktor yang terletak pada rumusan kebijakan, faktor ini

berkaitan rumusan kalimatnya jelas atau tidak, tujuannya tepat atau tidak,

sasarannya tepat atau tidak, mudah difahami atau tidak, mudah diinterpretasikan

atau tidak, terlalu sulit dilaksanakan atau tidak. Kedua, personil pelaksananya,

yakni menyangkut tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen,

kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta kemampuan

kerjasama dari pelaku pelaksana kebijakan tersebut. Sedangkan faktor ketiga

adalah organisasi pelaksana, menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan

masing-masing peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari

pemimpin organisasi, aturan organisasinya, target masing-masing tahap yang

ditetapkan, model monitoring yang biasa dipakai serta evaluasi yang dipilih

1.4.7. Metode Penelitian

Metode penelitian sosial merupakan cara sistematis yang digunakan

peneliti karya ilmiah yang diperlukan dalam proses identifikasi dan penjelasan
fenomena sosial yang tengah ditelisiknya. Pada penelitian ilmiah ini

menggunakan metode kualitatif. Bogdan dan Taylor ( Moleong: 2007:3)

menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-

orang dan perilaku yang diamati.

1.4.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan deskritif dengan metode kualitatif.

Penelitian deskriptif dapat didefinisikan suatu metode penelitian yang ditujukan

untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini

atau saat yang lampau (Sukmadinata, 2006:5). Penelitian deskriptif kualitatif

bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang terjadi. Didalamnya terdapat

upaya untuk mendeskripsikan, mencatat analisis dan menginterpretasikan kondisi

yang saat ini terjadi atau ada. Dengan kata lain untuk memperoleh informasi-

informasi mengenai keadaan yang ada12. Fokus dari penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan Studi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten

Bantul tahun 2011-2014 “Evaluasi Keputusan Bupati Bantul Nomor 05 A Tahun

2010 Tentang Penetapan Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah /

Madrasah Dalam Pelestarian Motif Batik Tradisional Bantul”.

1.4.7.2. Sumber Data

Menurut Zulkifli Amsyah data adalah keterangan atau bukti mengenai suatu

kenyataan yang masih mentah, masih berdiri sendiri, belum diorganisasikan dan

belum diolah. Jenis data terbagi atas dua yaitu:

12
MA Arafat. 2009. http://digilib.uinsby.ac.id/7354/3/bab%203.pdf. BAB III Metode Penelitian.
(Online). ( 10 Oktober 2015.
a. Data Primer

Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari informan

penelitian yang akan dituju. Melalui data primer diharapkan penelitian

mendapatkan hasil yang di harapkan, karena pada dasarnya data primer diperoleh

dari pihak-pihak terkait yang mengetahui dan berkompeten terhadap maksud

penelitian. Adapun data primer dalam penelitian ini akan dirinci dalam tabel di

bawah ini:

Tabel 1.3 Daftar Narasumber

NO NARASUMBER KUANTITAS NAMA

NARASUMBER

1 Kepala Seksi Kurikulum 1 Orang Subiyati, M.Pd.

Tenaga Kependidikan Sekolah

Dasar Bidang Pendidikan SD

Dinas Pendidikan Dasar

Kabupaten Bantul

2 Kepala Seksi Kurikulum dan 1 Orang Drs. Suyatno, M.Si.

Tenaga Kependidikan Bidang

Pendidikan Sekolah SMP

Dinas Pendidikan Dasar

Bantul

3 Kepala Seksi Perencanaan dan 1 Orang Ali Suriansyah, M.Pd.

Pelaporan Bidang Bina

Program Dinas Pendidikan

Menengah dan Non Formal


Kabupaten Bantul

4 Kepala Seksi Pendidikan 1 Orang Drs. H. Jauzan Sanusi,

Madrasah Kantor Kementrian M.A.

Agama Kabupaten Bantul

5 Guru Muatan Lokal Batik 1 Orang Tatik Sutrismiyati, S.Pd

SMAN 1 Bantul

6 Guru Muatan Lokal Batik 1 Orang Nur Budiyanto, S.Pd

smpn 1 Bantul

7 Guru Muatan Lokal Batik 2 Orang Wiyono,S.Pd.

SDN 02 Sanden Kuswantini, S.Pd.

8 Kepala Sekolah SDN 02 1 Orang Siswanti Ribudini, S.Pd.

Sanden

9 Peserta Didik SMAN 1 Bantul 2 Orang Fani, Riza

10 Peserta Didik SMPN 1 Bantul 2 Orang Kartika Tasya, Annas

Al-Fandi

11 Peserta Didik SDN 02 Sanden 2 Orang Oliza Ramadhani,

Triadana Prasetyo

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh untuk melengkapi data

primer yang telah ada, data sekunder dapat berasal dari studi-studi sebelumnya,

modul, buku pedomen, salinan kebijakan, arsip, laporan maupun dokumentasi

lainnya. Data sekunder yang diminta dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan

tabel di bawah ini:


Tabel 1.4 Daftar Dokumen

NO DOKUMEN

1 SK Bupati Bantul Nomor 05 A tahun 2010 Tentang Penetapan

Membatik Sebagai Muatan Lokal Wajib Bagi Sekolah / Madrasah.

2 Kurikulum, Silabus dan Buku Panduan Batik

3 Media Massa yang memberitakan tentang pelaksanaan Program dan

Kegiatan Muatan Lokal Membatik dari tahun 2011-2014

1.4.8. Tehnik Pengumpulan Data

1.4.8.1. Wawancara

Jogiyanto (2008:11) mendefenisikan wawancara sebagai komunikasi dua

arah untuk mendapatkan data dari responden. Wawancara (interview) dapat

berupa wawancara personal ( personal interview), wawancara intersep (intercept

interview) dan wawancara telepon (telephone interview). Penentuan sampel

narasumber dilakukan dengan Snow Ball Sampling dimana responden/narasumber

diminta merekomendasikan beberapa narasumber yang berkompeten dan mengerti

terhadap rumusan masalah yang akan dijawab.

Wawancara dilakukan kepada beberapa responden yaitu: Seksi Kurikulum

dan Tenaga Kependidikan Bidang Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan

Dasar Kabupaten Bantul, Seksi Kurikulum dan Tenaga Kependidikan Bidang

Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten

Bantul, Seksi Perencanaan dan Pelaporan Bidang Bina Program Dinas Pendidikan

Menengah dan Non Formal Kabupaten Bantul, guru muatan lokal batik SMAN 1
Bantul, guru muatan lokal batik SMPN 1 Bantul serta guru muatan lokal batik

SDN 02 Sanden dan beberapa siswa-siswi yang menjadi sasaran kebijakan.

1.4.8.2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang akan menjelaskan

mengenai bahan yang terdokumentasi melalui studi kepustakaan. Dalam

penelitian ini peneliti akan mengumpulkan dokumentasi salinan kebijakan, foto,

laporan, modul, maupun arsip. Tujuannya adalah untuk mengklarifikasi dari

pernyataan yang ada dalam metode pengumpulan data lainnya melalui bahan yang

terdokumentasi, menjawab serta menganalisa yang ada dalam rumusan masalah.

1.4.8.3. Observasi

Metode observasi dalam pengumpulan data dilakukan dengan terjun

langsung ke lingkungan subyek penelitian dengan tujuan untuk mengamati,

menganalisa serta membuat catatan lapangan terkait dengan obyek yang akan

diteliti. Observasi merupakan tehnik untuk mendapatkan data primer dengan cara

mengamati secara langsung obyek datanya. Pendekatan observasi dapat

diklasifikasikan kedalam observasi perilaku (behavioral observation) dan

observasi non perilaku (non behavioral observation) ( Jogiyanto: 2008:88). Dalam

penelitian ini, observasi dilakukan secara partisipatif seperti mengamati proses

berjalannya program dan kegiatan muatan lokal membatik.

1.4.8.4. Tehnik Analisis Data

Tehnik pengumpulan data pada penelitian diskriptif kualitatif dalam

penelitian ini menggunakan tehnik triangulasi tehnik, artinya teknik pengumpulan

data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan

sumber data yang telah ada. Sedangkan triangulasi sumber dilakukan untuk
menjustifikasi data dari pemerintah daerah ( evaluator kebijakan), pelaksana

kebijakan maupun sasaran kebijakan ( Sugiono dalam Arafat (2009:53).

Gambar 1.1. Triangulasi Tehnik

Observasi
Partisipatif

Wawancara Sumber Data


Mendalam Sama

Dokumentasi

Sumber: Arafat, tahun 2009

Gambar 1.2. Triangulasi Sumber

Dinas Pendidikan
Dasar, Dinas
Pendidikan Menengah
dan Non Formal dan
Kemenag Bantul
Sumber Data
Guru Muatan Lokal
Sama
Batik SMAN 1
Bantul, SMPN 1
Bantul dan SDN 2
Sanden
Peserta Didik Muatan
Lokal Batik SMAN 1
Bantul, SMPN 1
Bantul, SDN 2
Sanden

Sumber: Arafat, tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai